Anda di halaman 1dari 25

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kami ucapkan kepada tuhan yang Maha Esa,
atas karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. kami
juga berterima kasih kepada Dosen Muhammad Ya’rif Arifin, SH.,MH.
Yang telah memberikan tugas akhir semester ini sebagai acuan bagi kami
mengenai lingkungan hidup di sekita kita.

Kami menyadari makalah yang kami buat ini masih banyak


kekurangannya. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca. Akhir kata saya mengharapkan Makalah tentang “ Sarana-
Sarana (Intrumen) Hukum Lingkungan” ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca.

Makassar, 30 November 2019

1
DAFTAR ISI

2
BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Menurut Munadjat Danusaputro, lingkungan atau lingkungan hidup adalah semua benda dan
daya serta kondisi, termasuk di dalamnya manusia dan tingkah perbuatannya, yang terdapat
dalam ruang dimana manusia berada dan mempengaruhi kelangsungan hidup serta
kesejahteraan manusia dan jasad-jasad hidup lainnya .Rumusan pengertian lingkungan hidup
menurut seorang akademisi itu sama dengan rumusan normative dalam Pasal 1 butir 1
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup dengan demikian (LN Tahun 2009 No. 140, yang untuk seterusnya dalam disertasi ini
disebut dengan singkatan UUPPLH),yaitu “kesatuan ruang dengan semua benda, daya,
keadaan dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya yang memengaruhi alam itu
sendiri, kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain”.
Rumusan dalam UUPPLH tersebut juga sama dengan rumusan undang-undang lingkungan
hidup sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 sebagaimana ditelaah oleh
seorang sarjana hukum pemerhati lingkungan Dengan demikian, terdapat keajegan atau
kesinambungan pengertian lingkungan hidup dari masa ke masa. UUPPLH menyatakan ada
dua jenis masalah lingkungan hidup yang perlu dicegah terjadinya dan diatasi jika timbulnya
kedua masalah itu tidak dapat dicegah oleh pemberlakuan ketentuan UUPPLH. Kedua
masalah lingkungan itu adalah pencemaran lingkungan dan kerusakan lingkungan, Pengertian
pencemaran lingkungan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 butir 14 UUPPLH adalah
“masuknya atau dimasukannya makhluk hidup, zat, energi, atau komponen lain ke dalam
lingkungan oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang
ditetapkan.” Pencemaran lingkungan dapat terjadi dalam bentuk pencemaran air permukaan,
pencemaran air bawah tanah, pencemaran laut, pencemaran tanah, pencemaran
udara,pemanasan global, penipisan lapisan ozon, kebauan, kebisingan dan getaran.
Kebakaran kawasan hutan atau perkebunan yang menimbulkan pencemaran udara atau kabut
asap dapat menimbulkan dampak infeksi saluran pernapasan akut. Pengertian kerusakan
lingkungan hidup sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 butir 17 UUPPLH adalah
perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik,kimia dan/atau hayati
lingkungan hidup yang melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.” Kerusakan
lingkungan dapat terjadi dalam bentuk penggundulan hutan, lahan kritis, penambangan
mineral tanpa pemulihan lingkungan, punahnya spesies tertentu.Kedua masalah lingkungan
hidup Menurunnya kualitas lingkungan hidup tersebut menimbulkan ancaman atau dampak
negatif terhadap kesehatan, menurunnya nilai estetika, kerugian ekonomi, dan terganggunya

3
sistem alami. Kesadaran lingkungan merupakan kesadaran yang lahir dari pemahaman
tentang relasi antara manusia dengan lingkungannya. Kesadaran bahwa manusia adalah
bagian integral yang tidak terpisahkan dari lingkungannya, merupakan “kunci” keberhasilan
pengelolaan lingkungan. Salah satu instrumen untuk menanamkan kesadaran itu adalah
melalui pemahaman tentang hukum lingkungan. Melalui pemahaman tersebut, di satu sisi
diharapkan akan terwujud kualitas lingkungan yang baik dan sehat sebagai salah satu hak
konstitusional warga sebagaimana di atur dalam pasal 28H UUD 1945.

Menurut Andi Hamzah, penegakan hukum lingkungan sangat rumit dan banyak
pelanggaran beranekaragam, mulai dari yang paling ringan seperti pembuangan sampah
dapur sampai kepada paling berbahaya seperti pembuangan limbah berbahaya dan beracun
serta radiasi atom. Penegakan hukum lingkungan menempati titik silang berbagai bidang
klasik. Hukum Lingkungan ditegakkan dengan berbagai instrumen, berupa instrumen
administratif, perdata, hukum pidana maupun hukum internasional (public dan privat)
bahkan dapat ditegakkan dengan ketiga instrumen sekaligus. Kemudian, dalam rangka
penegakan hukum para penegak hukum lingkungan harus pula menguasai berbagai bidang
hukum klasik seperti hukum pemerintahan (administratif), hukum perdata, dan hukum
pidana, bahkan sampai kepada hukum internasional. Penyelesaian sengketa lingkungan
melalui instrumen hukum administratif bertujuan agar perbuatan atau pengabaian yang
melanggar hukum atau tidak memenuhi persyaratan, berhenti atau mengembalikan kepada
keadaan semula (sebelum ada pelanggaran). Oleh karena itu, fokus perbuatan dari sanksi
administratif, sedangkan orang (dader; offender) dari sanksi hukum pidana. Selain itu, sanksi
hukum tidak hanya ditujukan kepada pembuat, tetapi juga kepada mereka yang potensial
menjadi pelanggar . Disamping memberi ganjaran atau ganti kerugian (retribution), juga
merupakan nestapa bagi pembuat dan untuk memuaskan kepada korban individual maupun
kolektif. Selain dari wewenang untuk menerapkan paksaan administratif (besturdwang),
hukum lingkungan mengenal pula sanksi administratif yang lain seperti penutupan
perusahaan, larangan memakai peralatan tertentu, uang paksa (dwangsom), dan penarikan
izin. Tujuan paksaan administratif atau pemerintahan adalah untuk memperbaiki hal-hal
sebagai akibat dilanggarnya suatu peraturan. Dalam mempergunakan instrumen administratif,
penguasa harus memperhatikan apa yang disebut oleh Hukum tata usaha negara sebagai asas-
asas pemerintahan yang baik (the general principles of good administration atau bahasa
Belandanya algemen beginselen van behorlijk bestuur). Penegakan hukum lingkungan dapat
juga melalui jalur hukum perdata. Jalur ini di Indonesia kurang disenangi karena proses yang
berlarut-larut di pengadilan. Hampir semua kasus perdata diupayakan ke pengadilan yang
tertinggi untuk kasasi karena selalu tidak puasnya para pihak yang kalah. Bahkan, ada
kecenderungan orang sengaja mengulur waktu dengan selalu mempergunakan upaya hukum,
bahkan walaupun kurang beralasan biasa dilanjutkan pula ke peninjauan kembali. Sesudah
ada putusan itu masih juga sering sulit untuk dilaksanakan.Sengketa (perdata) lingkungan
hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan
sukarela para pihak yang bersangkutan. Sesungguhnya masalah lingkungan hidup baru

4
menjadi perhatian dunia setelah terselengarakannnya Konferensi Perserikatakan Bangsa-
Bangsa (PBB) tentang lingkungan hidup, yang diselenggarakan pada tanggal 5 sampai 16
juni 1972 di Stockholm Swedia , terkenal dengan United Nations Conference on Human
Environment. Konferensi berhasil melahirkan kesepakatan internasional dalam menangani
masalah lingkungan hidup, dan mengembangkan hukum lingkungan hidup baik pada tingkat
nasional , regional , maupun internasional .Deklarasi ini mengakui hak asasi manusia untuk
menikmati lingkungan yang baik dan sehat atau hak perlindungan setiap orang atas
pencemaran lingkungan atau enviromental protection. Serta membebankan kewajiban untuk
memelihara lingkungan hidup dan sumber kekayaan alam hingga dapat dinikmati oleh
generasi-generasi yang akan datang.Menurut Daud Silalahi , pengaruh konferensi Stockholm
terhadap gerakan kesadaran lingkungan tercermin dari perkembangan dan peningkatan
perhatian terhadap masalah lingkungan dan terbentuknya perundang-undangan nasional.

5
BAB II

PEMBAHASAN

1. Hukum LIngkungan Administrasi


A. Perizinan Lingkungan
salah satu instrument yuridis yang diamankan dalam UUPPLH ( UU No. 32
Tahun 2009) adalah izin Lingkungan ( Pasal 14 UUPLH j,o Pasal 1 butir 35
UUPPLH) yang secara lengkap dapat disebut “ izin lingkungan hidup”. Izin
lingkungan hidup (ILH) berimplikasi langsung dengan AMDAL dan izin usaha
dan/atau kegiatan (SIU). Artinya, bahwa izin lingkungan ini dapat di peroleh
berdasarkan hasil dan rekomendasi AMDAL. Adapun izin lingkungan (IL)
menjadi prasyarat bagi dikeluarkannya izin usaha dan/atau kegiatan.
Izin dalam arti luas ialah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-
undang atau peraturan pemerintah, untuk dalam keadaan tertentu menyimpang
dari ketentuan-ketentuan larangan perundangan. Makna hukum yang dapat
ditemukan dalam izin menurut pendapat ini adalah adanya perkenan untuk
melakukan sesuatu yang semestinya dilarang, sehingga akan ditemukan dalam
berbagai wujud perizinan, seperti izin, dispensasi, lesensi, konsesi, rekomendasi
dan lain sebaginya.
1). Syarat penerbitan izin lingkungan
Dalam UUPPLH, Bab V pengendalian bagian kedua paragraph 7, perizinan,
pasal 36 ayat 1 ditegaskan “ setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajim memiliki
AMDAL dan UKL-UPL wajib memiliki izin lingkungan”. Selanjutnya pada ayat
2 ditegaskan “ izin lingkungan sebagaimana diomaksud pada ayat 1 diterbitkan
berdasarkan keputusan kelayakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud
dalam pasal 31 atau rekomendadi UKL-UPL”. Pasal 31 ayat 3 menegaskan “ izin
lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 wajib mencantumkan persyaratan
yang dimuat dalam keputusan kelayakan lingkungan atau rekomendasi UKL-
UPL. Ayat 4 “ izin lingkungan diterbitkan oleh Mentri, Gurbernur, atau Bupati/
Walikota menetapkan keputusan kelayakan atau ketidak layakan lingkungan
hidup sesuai dengan kewenangannya”.
Pasal 37 ayat 2 UUPPLH, izin lingkungan yang telah diterbitkan oleh pejabat
yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 36 ayat 4 UUPPLH dapat
dibatalkan apabila :
a). persyaratan yang diajukan dalam permohonan izin mengandung cacat hukum,
kekeliruan, penyalahgunaan serta ketidakbenaran dan atau pemalsuan data,
dokumen dan atau informasi.

6
b). penerbitannya tanpa memenuhi syarat sebagaimana tercantum dalam
keputusan komisi tentang kelayakan lingkungan hidup atau rekomendasi
UKL-UPL.
c). kewajiban yang ditetapkan dalam dokumen AMDAL atau UKL-UPL tidak
dilaksanakan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan

2). Prosedur peroleh izin lingkungan


Peraturan pemerintah No.27 Tahun 2012 tentang izin lingkungan (PPIL),
secara tegas mengatur tentang tata cara memperoleh izin lingkungan pada Bab IV
permohonan dan penerbitan izin lingkungan pasal 42 sampai pasal 53. Bagian
kesatu, permohonan izin lingkungan, pasal 42 menegaskan, bahwa :
a). permohonan izin lingkungan diajukan secara tertulis oleh penganggungjawab
usaha atau kegiatan selaku pemrakkarsa kepada menteri , gubernur atau
bupati dan walikota sesuai dengan kewenangannya
b). permohonan izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 disampaikan
bersama dengan pengajuan penilaian AMDAL dan RKL-RPL atau
pemeriksaan UKL-UPL
pasal 43 PPIL ditegaskan , permohonan izin lingkungan harus dilengkapi
dengan :
a. Dokumen amdal atau formulir atau UKL-UPL
b. Dokumen usaha atau kegiatan
c. Profil usaha dan kegiatan

3). Penerbitanizin usaha


Pasal 47 ayat 1 PPIL menetapkan bahwa izin lingkungan diterbitkan oleh :
a. Mentri (yang menangani lingkungan hidup), untuk keputusan lingkungan
hidup atau rekomendasi UKL-UPL yang diterbitkan oleh mentri
b. B. gubrtnur, untuk keputusan kekayaan lingkungan hidup atau UKL-UPL
yang diterbitkan oleh gubernur
c. Bupati atau walikota untuk keputusan kelayakan lingkungan hidup atau
rekomendasi UKL-UPL yang diterbitkan oleh bupati atau walikota

Izin lingkungan yang diterbitkan itu memuat 3 hal yaitu :

a. Persyaratan dan kewajiban yang dimuat dalam keputusan, kelayakan


lingkungan hidup atau rekomendasi AMDAL
b. Persyaratan dan kewajiban yang ditetapkan oleh mentri, gubernur, bupati dan
walikota.
c. Berakhirnya izin lingkungan, izin lingkungan berakhir bersamaan dengan
berakhirnya izin usaha dan atau kegiatan yang bersangkutan.

7
B. Baku Mutu Lingkungan dan Kriteria Baku kerusakan
Paska konfensi Stockholm pada tahun 1972 masyarakat dunia berharap akan
terjadi perubahan yang sangat siknifikan terhadap perbaikan kualitas
lingkungan.Namun demikian, harapan tersebut merupakan sebuah impian karena
sejak decade tahun 1972 pembangunan merupakan sesuatu yang harus dilakukan
oleh setiap warga Negara untuk meningkatkan kesejahtraan masyaraka

Sebab tolak ukur suatu Negara dikategorikan menjadi Negara maju atau Negara
berkembang di lihat dari seberapa banyak Negara tersebut melaksanakan
pembangunan. Melaksanakan prongram pembangunan pada satu sisi akan
meningkatkan kesejahtraan penduduk dan pada sisi lain akan merusak
lingkungan.

Menyadari setiap hari terjadi pencamaaran dan penrusakan lingkungan hidup


baik yang diakibatkan karena peroses alam maupun yang diakibatkan oleh
pembangunan melalui aktifitas manusia maka hampir semua Negara mempunyai
keinginan bagaimana agar pembangunan berjalan tanpa merusak atau mencemari
lingkungan hidup untuk itu timbul pemikiran untuk membuat suatu standar yang
dijadikan patokan dasar dalam menentukan apakah suatu aktifitas pembangunan
termasuk dalam kategori pencemaran atau penrusakan lingkungan yang lazim
disebut baku mutu lingkungan.

1) Dasar Hukum Pengaturan Baku Mutu Lingkungan Hidup


Pengaturan dasar hukum baku mutu lingkungan di Indonesia
dapat dikatakan telah ada sebelum dijajah oleh kolonial Belanda. Hal
ini dapat dibuktikan dengan berkembangnya kearifan lingkungan
hidup hampir disetiap daerah di Indonesia. Namun, memang disadari
bahwa kearifan lokal yang dipraktekkan oleh masyarakat disebabkan
belum mempunyai kosakata baku mutu lingkungan, hanya sebatas
pelarangan mengambil, misalnya mengambil kayu berlebihan atau
ikan yang berlebihan seperti hukum adat “sasi” di Maluku.
1
Supriadi, Op. Cit.h.193
2
Istilah baku mutu dapat menimbulkan pengertian yang ambivalen dan banyak orang lebih senang
menggunakan istilah nilai ambang batas. Perbedaan kedua istilah itu adalah baku mutu lingkungan
mempunyai karakter diwajibkan sementara itu pada pasal 1 UU. No. 23 Tahun 1997 pppoin 11
dijelaskan pppengertian baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas atau kadar mahluk hidup, zat,
energy atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang
keberadaannya dalam sumberdaya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup.ibid.
3
M. Daud Silalahi, 1996, Hukum LIngkungan dan system penegakan hukum lingkungan Indonesia
Aumni, Bandung, h. 116

8
Sebelum dimasukkannya baku mutu lingkungan hidup ke
dalam peraturan perundang-undangan, maka jika ditelusuri pengaturan
kebijaksanaan baku mutu lingkungan pertama kali terdapat pada TAP
MPR No. IV/1978 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN)
dalam Bab IV, huruf D butur 13 c.

Pelaksanaan lebih lanjut dari TAP MPR di atas, secara rinci


ditindak lanjuti oleh Presiden dengan mengeluarkan Keputusan
Presiden No. 11 Tahun 1979 tentang Program-program pembangunan
dalam Repelita III, yang diantaranya menyatakan bahwa:

a) Sumber-sumber alam merupakan kegiatan tidak terlepaskan dari suatu


ekosistem, yaitu lingkungan tempat berlangsungnya hubungan timbal
balik antara makhluk hidup dan faktor-faktor alam, antara mahkluk-
mahkluk hidup satu sama lain dan faktor alam satu sama lain. Oleh
karena itu, pendayagunaan sumber daya alam pada hakikatnya berarti
melakukan perubahan-perubahan didalam suatu ekosistem yang
pengaruhnya akan menjalar pada seluruh jaringan sistem kehidupan.
b) Lingkungan hidup sebagai media hubungan timbal balik antara
mahkluk dengan faktor-faktor alam terdiri dari bermacam-macam
proses ekologi yang merupakan suatu kesatuan yang mantap. Proses-
proses tersebut merupakan mata rantai atau siklus penting yang
menentukan daya dukung lingkungan hidup terhadap pembangunan.
Peraturan masalah baku mutu pertama kali diatur dalam UU
No. 4 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH)
dan dilanjutkan dengan UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH).
1
Dalam rangka menjamin pelestarian lingkungan, maka perlu
ditetapkan ambang batas kadar/tingkat bahan pencemar yang dapat
ditenggang melalui baku mutu lingkungan dan sudah ditetapkan
dengan peraturan perundang-undangan seperti:

a) Baku mutu udara dan bising:


(1) pemerintah No. 41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian
Pencemaran Udara

4
M. Hadi Muhjad, Op.cit.h. 52-53

9
(2) Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 35 Tahun 1993
Tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor
(3) Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 48 Tahun 1996
Tentang Baku Tingkat Kebisingan
(4) Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 45 Tahun 1997
Tentang Indeks Standar Pencemar Udara
b) Baku mutu tanah:
(1) pemerintah No. 150 Tahun Tentang Pengendalian Kerusakan
Tanah untuk Produksi Biomassa
c) Baku mutu air:
(1) Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan
Kualitas air dan pengendalian pencemaran air
(2) Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 23 Tahun 2003
tentang Metode Analisa Kualitas air permukaan dan
pengambilan contoh air permukaan
(3) Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 113 Tahun 2003
tentang Baku Mutu air limbah bagi usaha dan atau kegiatan
pertambangan batu bara
2) Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup
Dalam undang-undang No. 32 Tahun 2009 disebutkan yang
dimaksud dengan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup adalah
ukuran batas perubahan fisik, kimia dan/atau hayati lingkungan hidup
yang dapat ditenggang oleh lingkungan hidup untuk dapat tetap
melestarikan fungsinya.2
Untuk kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup diatur dalam pasal
21 UUPPLH yaitu:
a) Untuk menentukan terjadinya kerusakan lingkungan hidup, ditetapkan
kriteria baku kerusakan lingkungan hidup
b) Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup meliputi kriteria baku
kerusakan ekosistem dan kriteria baku kerusakan akibat perubahan
iklim
c) Kriteria baku kerusakan ekositem meliputi:
(1) Kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa
(2) Kriteria baku kerusakan terumbu karang

5
Lihat pasa 1 angka 15 Undang-Undang No.32 Tahun 2009 tentang Undang-Undang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH)

10
(3) Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan
kebakaran hutan dan/atau lahan
(4) Kriteria baku kerusakan mangrove
(5) Kriteria baku kerusakan padang lamun
(6) Kriteria baku kerusakan gambut
(7) Kriteria baku kerusakan karst
(8) Kriteria baku kerusakan ekosistem lainnya sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
d) Kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim didasarkan pada
parameter antara lain:
(1) Kenaikan temperatur
(2) Kenaikan muka air laut
(3) Badai
(4) Kekeringan

C. Analisis Megenai Dampak Ligkungan (AMDAL)

Dalam rangka melaksanakan pembangunan berkelanjutan,


lingkungan perlu dijaga keserasian hubungan antara berbagai kegiatan.
Salah satu instrumen tersebut adalah Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan (AMDAL) yang secara resmi diperkenalkan pertama kali
melalui National Environmental Polict Act (NEPA) tahun 1969 di
Amerika Serikat. Di Indonesia AMDAL pertama kali diatur dalam pasal
15 UU No. 4 Tahun 1982kemudian terdapat pengaturan lebih lengkap
dalam pasal 22 sampai pasal 32 UU No. 32 Tahun 2009. Sebagai
pelaksanaan pasal 15 UU No. 23 Tahun 1997 ditetapkan PP. No. 27
Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Peraturan
pemeri tah pada dasarnya merupakan peraturan yang berisi political
policy, executive policy, administrative policy dan technical policy. Dalam
hal ini, PP tentang AMDAL berisi kebijaksanaan administrative. Sebagai
salah satu instrument kebijaksanaan lingkungan AMDAL pada
hakekatnya merupakan upaya administrative untuk mencegah pencemaran
serta perusakan lingkungan dan merupakan bagian dari prosedur
perizinan.

1) AMDAL Menurut UU No. 32 Tahun 2009


Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) adalah kajian
mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang

11
direncanakan dan diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang
penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan di Indonesia. AMDAL dibuat saat
perencanaan suatu proyek yang diperkirakan akan memberikan pengaruh
terhadap lingkungan hidup disekitarnya. 3Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan (AMDAL) adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha
dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan
bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau
kegiatan.

Pengaturan AMDAL dalam UU No. 32 Tahun 2009 diatur lebih


lengkap dari UU No. 23 Tahun 2009. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam
pasal 22 yaitu:

a) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap


lingkungan hidup wajib memiliki AMDAL
b) Dampak penting ditentukan berdasarkan kriteria:
(1) Besarnya jumlah penduduk yang akan terkena dampak rencana usaha
dan/atau kegiatan
(2) Luas wilayah penyebaran dampak
(3) Intensitas dan lamanya dampak berlangsung
(4) Banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan terkena
dampak
(5) Sifat kumulatif dampak
(6) Berbalik atau tidak berbaliknya dampak
(7) Kriteria lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi
Selanjutnya diatur pada pasal 23 kriteria usaha dan/atau keguatran,
yaitu:
a) Kriteria usaha dan/atau kegiatan yang dampaknya penting yang wajib
dilengkapi AMDAL terdiri dari:
(1) Pengubahan bentuk lahan dan bentang alam
(2) Ekspolitasi sumber daya alam, baik yang terbarukan maupun yang
tidak terbarukan
(3) Proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan
pencemaran

6
Lihat Pasal 1 angka 11 UU.No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup (UUPPLH)

12
b) Pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta pemborosan dan
kemerosotan sumber daya alam dalam pemanfaatannya:
(1) Proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan
alam, lingkungan buatan serta lingkungan sosial dan buaya
(2) Proses kegiatan yang hasilnya akan mempengaruhi pelestarian
kawasan konservasi sumber daya alam dan/atau perlindungan cagar
budaya
(3) Intoduksi jenis tumbuh-tumbuhan, hewan dan jasad renik
(4) Pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan nonhayati
(5) Kegiatan yang mempunyai resiko tinggi dan/atau mempengaruhi
pertahanan Negara
(6) Penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar
untuk mempengaruhi lingkungan hidup.
Fungsi dokumen AMDAL menurut pasal 24 UUPPLH adalah
merupakan dasar penetapan keputusan kelayakan lingkungan hidup.

Pasal 25 UUPPLH menentukan bahwa dokumen AMDAL memuat:

1) Pengkajian mengenai dampak rencana usaha dan/atau kegiatan


2) Evaluasi kegiatan disekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan
3) Saran masukan serta tanggapan masyarakat terhadap rencana usaha
dan/atau kegiatan
4) Prakiraan terhadap besaran dampak serta sifat penting dampak yang
terjadi jika rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut dilaksanakan
5) Evaluasi serta holistic terhadap dampak yang terjadi untuk
menentukan kelayakan atau ketidak layakan lingkungan hidup
6) Rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup
Dalam Penyusun AMDAL partisipasi masyarakat adalah hal yang
penting sebagaimana disebutkan dalam pasal 26 UUPPLH:

1) Dokumen AMDAL sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 disusun


oleh pemrakarsa dengan melibatkan masyarakat
2) Pelibatan masyarakat harus dilakukan berdasarkan prinsip pemberian
informasi yang transparan dan lengkap serta diberitahukan sebelum
kegiatan dilaksanakan.
3) Masarakat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi:
(a) Yang terkena dampak
(b) Pemerhati lingkungan hidup

13
(c) Yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dan proses
AMDAL
4) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat mengajukan
keberatan terhadap dikumen AMDAL
Berdasarkan pasal 30 ayat 1 UU. No. 32 Tahun 2009 keanggotaan
Komisi Penilai AMDAL terdiri atas wakil dari unsur:
1) Instansi lingkungan hidup
2) Instansi teknis terkait
3) Pakar dibidang pengetahuan yang terkait dengan jenis usaha
dan/atau kegiatan yang sedang dikaji
4) Pakar dibidang pengetahuan yang terkait dengan dampak yang
timbul dari suatu usaha dan/atau kegiatan yang sedang dikaji
5) Wakil dari masyarakat yang berpotensi terkena dampak
6) Organisasi lingkungan hidup

2. Hukum Lingkungan Kepidanaan

Jika sanksi administrasi dinilai tidak efektif, barulah sarana sanksi


pidana digunakan sebagai senjata pamungkas (ultimum remedium).Ini berarti
bahwa kegiatan penegakan hukum pidana terhadap suatu tindak pidana
lingkungan hidup baru dapat dimulai apabila :

Aparat yang berwenang telah menjatuhkan sanksi administrasi dan


telah menindak pelanggar degan menjatuhkan suatu sanksi administrasi
tesebut, namun ternyata tidak mampu menghentikan pelanggaran yang terjadi,
atau. Antara perusahaan yang melakukan pelanggaran dengan pihak
masyarakat yang menjadi korban akibat terjadi pelanggaran, sudah
diupayakan penyelesaian sengketa melalui mekanisme altenatif di luar
pengadilan dalam bentuk musyawarah/ perdamaian / negoisasi / mediasi,
namun upaya yang dilakukan menemui jalan buntu, dan atau litigasi melalui
pengadilan pedata, namun upaya tersebut juga tidak efektif, baru dapat
digunakan instrumen penegakan hukum pidana lingkungan hidup.

Instrument kedua yang diberlakukan setelah sanksi administrative


tidak dipindahakan oleh pelaku pelanggaran atau kejahatan lingkungan hidup
adalah pengguna instrument perdata dan pidana , kedua instrument sanksi
hukum ini biasa digunakan secara pararel maupun berjalan sendiri sendiri.
Penerapan sanksi pidana tersebut bisa saja terjadi karena pemegang kendali
penerapan instrument sanksi pidana adalah aparat penegak hukum dalam hal
ini Penyidik Pegawai Negeri (PPNS) yang berada tingkat pusat dalam hal ini

14
di Kementrian Negara Lingkungan Hidup atau Instansi Lingkungan Hidup
Daerah dan Penyidik Kepolisian RI .

Tindak Pidana Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup:

1. Delik Sengaja Mengakibatkan Pencemaran Lingkungan Hidup Atau


Perusakan Lingkungan Hidup

Pasal 98 Ayat 1 Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan


yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air,
baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar
rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Dari rumusan Pasal 98 Ayat 1 UUPPLH dapat dianalisis menjadi beberapa


unsur. Pertama, bentuk kesalahan dalam pasal ini adalah “sengaja”, yang
berarti harus dibuktikan bahwa perbuatan yang dilakukan beserta akibatnya
dikehendaki oleh pelaku (teori kehendak). Atau, pelaku mengetahui tentang
perbuatannya dan akibat yang akan timbul (teori pengetahuan), serta pelaku
menyadari kemungkinan besar perbuatannya akan menimbulkan akibat yang
dilarang (kesengajaan sebagai kemungkinan).

Kedua, rumusan delik pidana dalam Pasal 98 Ayat 1 dirumuskan secara


materiil. Hal tersebut dari terlihat dari frasa “melakukan perbuatan yang
mengakibatkan”. Pasal tersebut menekankan bahwa kejahatan yang dilarang
adalah akibatnya, tanpa mempermasalahkan bagaimana cara melakukan
perbuatan. Delik materiil mensyaratkan adanya hubungan kausalitas antara
perbuatan yang dilakukan dengan akibat yang terjadi

2. Delik Kealpaan Menyebabkan Pencemaran Lingkungan atau Perusakan


Lingkungan

Pengaturan dalam Pasal 99 UUPPLH secara umum memiliki


kesamaan dengan unsur yang terdapat dalam Pasal 98 UUPPLH. Perbedaan
mendasar terletak pada bentuk kesalahan. Pasal 99 mensyaratkan kealpaan
sebagai unsur kesalahan. Berbeda dari kesalahan, kealpaan diartikan
melakukan tindakan tanpa praduga atau sikap hati-hati. Padahal seyogianya
pelaku melakukannya. Bentuk kesalahan kealpaan ini dianggap lebih ringan
daripada sengaja. Dalam pasal ini harus dibuktikan pelaku seharusnya dapat

15
menduga berdasarkan kemampuan, pengetahuan, dan pengalaman yang dia
miliki untuk dapat menduga bahwa perbuatannya dapat mengakibatkan
pencemaran atau perusakan lingkungan hidup.

Pasal 99 Ayat 1 Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan


dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut,
atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda
paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Ayat berikutnya, yakni Ayat 2 dan 3 mengatur juga mengenai delik


yang dikualifisir oleh akibat. Delik kealpaan menyebabkan pencemaran
lingkungan atau perusakan lingkungan diperberat ancaman pidananya jika
mengakibatkan luka dan/atau bahaya kesehatan dan luka berat atau mati
seperti tercantum dalam Pasal 99 Ayat 2 dan 3 UUPPLH.

Pasal 99 Ayat 2 Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada Ayat


1 mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam)
tahun dan denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan
paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).

Pasal 99 Ayat 3 Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada Ayat


1 mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun dan denda
paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak
Rp9.000.000.000,00 (sembilan miliar rupiah).

3. Tindak Pidana Pelanggaran Baku Mutu Konsep pidana

sebagai upaya terakhir penegakan hukum (ultimum remidium), terlihat


dalam pengaturan Pasal 100 UUPPLH tentang tindak pidana pelanggaran
baku mutu air limbah. Pada Pasal 98 dan 99 UUPPLH, penegak hukum bisa
langsung menegakkan pidana, jika terdapat bukti permulaan yang cukup
bahwa pelaku melakukan perbuatan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 98
dan 99 UUPPLH. Tetapi, penegakan hukum pidana pada Pasal 100 ini
tergantung pada ketaatan pelaku pada sanksi administratif (asas subsidaritas).

16
Pasal 100 Ayat 1 Setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah,
baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan dipidana, dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga
miliar rupiah)

Rumusan Pasal 100 Ayat 1 pada dasarnya juga mengatur tentang delik
pencemaran lingkungan hidup karena baku mutu air limbah, baku mutu emisi
atau baku mutu gangguan adalah bagian dari komponen baku mutu
lingkungan yang dijadikan standar ada tidaknya pencemaran lingkungan
hidup berdasarkan Pasal 20 UUPPLH. Pasal ini dirumuskan secara formil.
Artinya, cukup dibuktikan bahwa perbuatan pelaku telah melanggar baku
mutu air limbah, baku mutu emisi atau baku mutu gangguan yang ditetapkan
tanpa mempermasalahkan ada atau tidaknya akibat yang timbul. Cukup
dengan pembuktian bahwa limbah yang dikeluarkan melebihi baku mutu yang
dipersyaratkan.

Pasal 100 Ayat 2 Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada Ayat 1


hanya dapat dikenakan apabila sanksi administratif yang telah dijatuhkan
tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali.

Penegakan hukum pidana berdasarkan Pasal 100 UUPPLH tidak bisa


langsung dilakukan seketika perbuatan itu dilakukan. Penegakannya
tergantung pada: pertama, ketaatan pelaku untuk menjalankan sanksi
administrasi yang telah dijatuhkan terlebih dahulu. Ketika sanksi administrasi
dijalankan, maka menutup kemungkinan dilakukannya penuntutan pidana.
Sebaliknya, jika sanksi administrasi tidak dijalankan, maka hal tersebut bisa
dijadikan bukti permulaan yang cukup untuk proses pidana. Kedua,
penuntutan pidana menggunakan Pasal 100 Ayat 1 UUPPLH. Pelanggaran
Pasal 100 Ayat 1 dapat langsung dilakukan jika pelaku melanggar lebih dari
satu kali. Hal itu berarti setelah pelaku terbukti melanggar Pasal 100 Ayat 1
UUPPLH yang pertama, kemudian mengulangi perbuatannya, maka
penuntutan spidana dapat langsung dilakukan(residive).

3. Hukum Lingkungan Keperdataan dan Adat

Lingkunga hidup saat ini telah menjadi sebuah asset bagi sutu Negara
dalam melkasanakn pembagungan. Oleh karena itu, sangat wajar kalau
pemerintah melakukan perlindungan terhadapnya. Oleh karena ini pemerintah
menyediakan 3 wadah atau saran yang dijadikan dalam menuntut pelanggaran

17
terhadap lingkungan hidup, yaitu sarana hukum administrasi, saran hukum
perdata, dan sarana hukum pidana.

Penyelesaian sengketa lingkungan melalui instrument hukum perdata,


menurut Mas Ahmad Santoso untuik menentukan seseorang atau badan
hukum bertanggung jawab terhadap kerugian yang diakibatkan oleh
pencemaran atau perusakan lingkungan, penggugat dituntut membuktikan
adanya pencemaran, serta kaitan antara pencemaran dan kerugian yang
dideritannya.

Pembuktian dalam kasus lingkungan, khususnya delik, karena kasus-


kasus pencemaran sering kali ditandai oleh sifat-sifat khasnya,antara lain :

a. Penyebab tidak selalu dari sumber tunggal, akan tetapi berasal dari
berbagai sumber (multisources);
b. Melibatkan disiplin-disiplin ilmu lainnya serta menuntut keterlibatan
pakar-pakar diluar hukum sebagai saksi;
c. Sering kali akibat yang diderita tidak timbul seketika, akan tetapi selang
beberapa lama kemdian (long period of latency);

Kenyataan menunjukkan bahwa penanggungjawab dalam gugatan


perdata sering kali menjadi kendala bagi para korban pencemaran untuk
menuntut keadilan lewat forum pengadilan. Teori yang kini berkembang
berkaitan dengan pertanggungjawaban dalam gugatan perdata antara lain :

1. Market Share Liability,


2. Risk Contribution,
3. Concert Of Action,
4. Alternative Liability, dan
5. Enterprise Liability.

Untuk memberikan gambaran mengenai teori-teori yang berkaitan


dengan pertanggungjawaban dalam hukum perdata akan diuraikan sebagai
berikut :

1. Market Share Libility


Teori ini pada intinya dimaksud untuk mengatasi persoalan di
mana penggugat menderita kerugian akibat pencemaran oleh sejumlah
industry (banyak). Dalam menerapkan teori ini, penggugat diharuskan
menghadirkan sejumlah industri sebagai pihak yang diduga sebagai

18
contributor substansi (substansial share) zat-zat pencemaran. Beban
pembuktian (burden of proof) menurut teori ini berpindah pada tergugat
untuk membuktikan bahawa tergugat tidak melepaskan zat-zat
pencemaran seperti yang dituduhkan kedalam lingkungan penerima
(misalnya sungai atau danau).

2. Risk Contribution

Tujuan dari pengembangan teori ini tidak berbeda dengan maksud


dan tujuan dari perkembangan teori Market Share Liability, yaitu
mengatasi permasalahan di mana penggugat mengalami kerugian yang
disebabkan pencemaran, akan tetapi tidak dapat diindifikasi secara pasti
penyebab kerugian tersebut. Penggugat hanya berhasil melakukan
identifikasi zat-zat pencemar serta kadar yang dikondisikan penggugat
melalui air (minuman) dan makanan. Perbedaan Market Share Liability
dengan Risk Contribution, adalah diperkenankannya penggugat Risk
Contribution mengajukan gugatan pada satu industry/produsen dari bahan
kimia berbahaya tertentu.

3. Concert Action

Teori ini muncul dan berkembang sebai jawaban terhadap


kemungkinan terlibatnya pihak-pihak lain yang membantu dan bekerja
sama dengan pencemaran sehingga perbuatan pencemaran dapat
terlaksana dengan sempurna. Melalui teori ini, pihak konsultan yang
member nasihat untuk tidak mengoprasikan alat pembuangan limbahnya,
dapat dituntut bertanggung jawan atas kerugian yang dialami oleh
penggugat. Juga dapat dituntut berdasarkan teori ini, pemerintah yang
telah memberikan persetujuan atas kerugian yang merugikan penggugat.
Pihak-pihak yang bekerja sama dan memberikan bantuannya
bertanggungjawab secara rentang.

4. Alternative Liability

Teori ini muncul dilandasi suatu prinsip bahwa sangatlah tidak adil
apabila tergugat mesti dibebaskan hanya karena penggugat tidak dapat
membuktikan secara pasti satu dari sekian banyak pihak yang bertanggung
jawab atas perbuatan yang menimbulkan kerugian bagi orang lain
(misalnya pencemaran). Teori ini muncul pertama kali lewat kasus

19
Summers vs tice (1984). Dalam kasus ini 2 orang pemburu binatang
menembakkan senjatannya secara bersamaan ke arah penggugat di mana
saat itu berbeda.

5. Enterprise Liability

Teori pertanggungjawaban ini sesungguhnya merupakan perluasan


pengertian dari teori Market Share Liability. Teori ini diterpakan dalam
situasi ketika penggugat tidak dapat secara spesifik menunjuk pelaku
pencemaran dari sekian banyak perusahaan yang potensi menjadi
penyebab yang ternyata telah mengikuti atau mematuhi standard dan
petunjuk yang ditentukan, misalnya yang ditentukan di dalam Rencana
Kelola Lingkungan (RKL), rencana Pemantauan Lingkungan (RPL),
perizinan industri, dan perizinan pengendalian pencemaran.

Teori ini memperkenankan penggugat melibatkan seluruh industry


yang potensial mengakibatkan kerugian penggugat, serta pihak-pihak yang
terlibat di dalam pemberian RKL dan RPL dan perizinan. Tanggung jawab
atas penderitaan penggugat diletakkang secara bersamaan (jointly liable
for injuries caused by pollution).

Teori-teori yang berkembang dalam product liability ini tentu saja


belum mengatasi seluruh permasalahan yang melekat pada kasus
pencemaran umumnya. Teori ini hanya dapat mengatasi permasalahannya
yang bersumber pada tuntutan kepastian dari sumber-sumber penyebab
pencemaran, lebih dari satu atau sepuluh bahkan ratusan industri yang
menjadi penyebabnya. Disamping itu, berbagai teori ini memberikan dasar
bagi pembuktian terbalik (shifting burden of froof) tentang faktor sebab
akibat.

Berdasarkan UU No. 23 Tahun 1997 maupun hukum acara perdata


(HIR), sistem pembuktian perdata di Indonesia tidak menganut prinsip
pembuktian terbalik. UU No. 23 Tahun 1997 hanya mengenal strict
liability di mana penggugat tidak perlu lagi membuktikan unsur kesalahan
tergugat. Namun beban pembuktian tentang kausalitas (kerugian yang
dikemukakan merupakan akibat dari tergugat),tetap berada pada
penggugat. Berbagai konsep dari teori diatas perlu dikaji lebih dalam
untuk dapat bermanfaat lagi pengembangan hukum pembuktian dalam
kasus lingkungan.

20
Dengan demikian, penyelesaian sengketa lingkungan hidup secara
perdata, terjadi karena pada satu sisi masyarakat dirugikan atas
pengelolaan lingkungan hidup yang menyimpang dari aturan yang
sebenarnya. Dalam pasal 20 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun1997
dinyatakan bahwa:

Barang siapa merusak atau mencemarkan lingkungan hidup


memikul tanggung jawab dengan kewajiban membayar ganti kerugian
kepada penderita yang telah dilanggar haknya atas lingkungan hidup
yang baik dan sehat.

4. Hukum lingkungan internasional

Deklarasi Stockholm 1979 merupakan pilar perkembangan hukum


lingkungan international modern, artinya semenjak saat itu hukum lingkungan
berubah sifatnya dari use-oriented menjadi environment-oriented. jauh
sebelum dikeluarkanya Deklarasi Stockholm 1972, Hukum Kebiasaan
Internasional juga telah mengatur pencegahan pencemaran lingkungan.
Misalnya, prinsip sic utere tuo ut alienum non laedas atau di kenal juga
dengan prinsip good neighborliness melarang penggunaan teritorial suatu
negara bila menimbulkan gangguan atau kerugian pada teritorial negara
lain.Masyarakat Internasional dalam perkembanganya lebuh cenderung untuk
membentuk suatu perjanjian Internasional, karena dengan adanya kesepakatan
bersama, di harapkan masing-masing negara peserta lebih memiliki rasa
tanggung jawab moril yang lebih tinggi untuk mematuhi isi perjanjian yang
telah disepakati sendiri. Dengan demikian, akan ada suatu pengharapan bahwa
hukum internasional akan lebih punya makna bila dibentuk berdasarkan
perjanjian yang di kenal dengan Hukum Konvensi Internasional.

Perkembangan hukum konvensi di bidang pengelolaan dan


perlindungan lingkungan internasional cenderung dimulai dengan membuat
perangkat hukum lunak (soft law), seperti deklarasi dan resolusi dan
kemudian baru di ikuti dengan pembuatan hukum keras (hard law) seperti
konveksi dan protokol.Masyarakat internasional telah berhasil membentuk
beberapa deklarasi dan konvensi nternasional untuk mengatur pengelolaan
lingkungan hidup, baik yang mengatur tentang pencemaran laut maupun
pencemaran udara daan atsmofer.

1. Hukum lunak (soft law)

lunak (soft law) merupakan satu bentuk hukum internasional yang


secara tidak langsung mengikat negara, tetapi ia harus dipedoman untuk

21
membentuk hukum masa datang (the future law). Setelah berumur sepuluh
tahun, ternyata banyak negara tidak melaksankan Deklarasi Stockholm
dan 109 Rekomendasinya. Deklarasi Nairobi 1982 dibuat sebagai
himbauan kepada masyarakat internasional untuk secara konsekuen dan
serius menerapkan prinsip-prinsip dalam Deklarasi Stockholm. Hal ini
dilakukan mengingat selama masa sepuluh tahun sebelumnya, hanya
sebagai kecil negara yang mengimpletmentasikan prinsip-prinsip itu ke
dalam hukum nasional mereka.

Deklarasi Nairobi ternyata juga tidak berhasil meningkatkan


kepatuhan masyarakat internasioanl. Salah satu faktor penyebab adalah
sengketa antara Utara dan Selatan tentang tugas dan tanggung jawab
mereka dalam pengelolaan lingkungan. Deklarasi Rio lahir sebagai
pengendali pertikaian antara negara maju dan negara berkembang
terutama dalam melihat siapa harus berbuat apa. Di samping itu, Deklarasi
Rio dibuat untuk menghadapi persoalan lingkungan global yang marak
menjadi pembicaraan dunia, yaitu global warming dan global climate
change. Deklarasi ini sangat penting bagi pengelolaan lingkungan karena
secara tegas menerima prinsip Sustainable Development. Di samping itu,
Deklarasi ini juga mengukuhkan beberapa prinsip hukum lingkungan
baru. Dalam perkembanganya, prinsip Sustainable Development ternyata
juga tidak diinterprestasikan dan diterapkan secara baik oleh negara-
negara di dunia. Setelah d evaluasi, ternyata penyebab utamanya adalah
pemerintahan yang tidak bersih dan tidak peduli dalam lingkungan dan
ekosistem.

2. Hukum keras (Hard Law)

Hard law adalah satu bentuk hukum internasional yang mempunyai


kekuatan mengikat (binding power) terhadap negara peserta (contracting
parties) secara langsung sesuai dengan asas pacta sunt servanda. Hard Law
ini dapat berupa treaty, convetion, agreement, protocol, dan lain-lain,seperti:

 Perlindungan lingkungan laut


Perlindungan lingkungan laut terpisah-pisah dalam beberapa konveksi
berdasarkan sumber pencemarannya. Oleh sebab itu, uraian pada bagian
ini dibagi kepada beberapa subbagian, yaitu perlindungan laut dari
kegiatan penambangan minyak, dumping , dan sumber dari darat.

1. Konvensi Paris 1974


2. Konvensi London 1976
3. Perlindungan atsmofer

22
4. Konvensi Wima 1985
5. Konvensi tentang Perubahan Iklim 1992
6. Protokol Kyoto 1997
7. Bali Roadmap 2007

 Konservasi Alam
Hukum Internasional untuk perlindungan kenekaragaman hayati terdapat
di dalam dua konvensi internasional, yaitu CITES 1973 dan Konvensi
Keanekaragaman Hayati. Kedua konvensi ini merupakan produk hukum
internasional yang memberikan perlindungan terhadap semua spesies
semua habitat di dunia ini.

1. CITES 1973
2. Konvensi keanekaragaman Hayati

Dan masih banyak lagi instrument-instrumen dalam hukum


lingkungan internasional yang mengatur tentang pengelolaan dan
pelestarian lingkungan hidup serta isu-isu lingkungan lain seperti
perubahan iklim (Protokol Kyoto 1997, Bali Roadmap 2007) yang
menjadi isu hangat beberapa tahun terakhir. Semua instrument tersebut
tercipta karena komitmen Negara-negara untuk pelestarian lingkungan
hidup yang tentunya akan berdampak pada kehidupan umat manusia di
bumi pada masa yang akan datang.

23
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

24
Hukum Lingkungan

Nama Kelompok

Nurwahida 0402017 0085 Namira Aryani 04020170617


Mihrunnisa 04020170087 Fitria Musfira 04020170644
Nurfadhilah 04020170072 Nur Rahma 04020170637
Fitriani. A 04020170081 Dhyan emyratih 04020170656
Pratiwi Sriwardani 04020170448 M.Farhan Yusuf 04020170509
Muh. Noval 04020170391 Dewi Putri Abbas 04020170621
Muh. Saldi 04020170480 Reza Dwi Andrean 04020170452

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA


FAKULTAS HUKUM
ILMU HUKUM
2019

25

Anda mungkin juga menyukai