KELOMPOK 4 KONTRA
Dosen Pembimbing
Ronaldi., SH.,MH.
Disusun Oleh :
Puji syukur kehadirat Tuhan yang maha esa, Sehingga saya dapat menyusun makalah
PERBANDINGAN HUKUM PIDANA tentang “ PENJATUHAN PIDANA TERHADAP
ANAK DI BAWAH UMUR ”. Dengan menyelesaikan makalah ini semoga dapat berguna
bagi para pembaca, serta teman- teman sekalian.
Makalah ini telah saya susun dengan mendapat bantuan dari berbagi situs di internet dan
bantuan dari taman maupun keluarga sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah
ini untuk itu saya ucapkan terimakasih.
Terlepas dari semua itu,saya menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik
dari segi penyusunan kalimat atau tata bahasa oleh karena itu dengan tangan terbuka saya
menerima kritik dan saran dari pembaca dan saya juga meminta ma af atas kekurangan
dari makalah ini.
Akhir kata saya berharap semoga makalah ini yang berjudul PENJATUHAN PIDANA
TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR ini dapat memberi manfaat dan pengetahuan
yang lebih terhadap pembacanya.
Contra kelompok 4
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
BAB II Pembahasan
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUHAN
Anak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia
dan keberlangsungan sebuah Bangsa dan Negara. Dengan peran anak yang penting ini,
maka mereka mendapatkan perlindungan khusus oleh konstitusi, hal tersebut terdapat
dalam UUD 1945 Pasal 28B ayat (2) : bahwa Negara menjamin setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi. Kepentingan terbaik bagi anak patut dihayati, sebagai
kepentingan terbaik bagi kelangsungan hidup umat manusia.Oleh karena itu, kita semua
selalu berupaya agar anak jangan sampai menjadi korban kekerasan, maupun anak
terjerumus melakukan perbuatan-perbuatan jahat atau perbuatan tidak terpuji lainnya.
Kenakalan anak setiap tahun meningkat, oleh karena itu, berbagai upaya pencegahan dan
penanggulangan kenakalan anak, perlu segera dilakukan. Salah satu upaya cara .
pencegahan dan penanggulangan kenakalan anak, perlu segera dilakukan. Salah satu
pencegahan dan penanggulangan kenakalan anak (politik kriminal anak) saat ini melalui
penyelenggaraan sistem pidana anak. Tujuan penyelenggaraan sistem tidak semata-mata
bertujuan untuk menjatuhkan sanksi pidana bagi anak pelaku tindak pidana, tetapi lebih
difokuskan pada dasar pemikiran bahwa penjatuhan sanksi tersebut sebagai sarana
mendukung mewujudkan kesejahteraan anak pelaku tindak pidana. Kenakalan-kenakalan
yang dilakukan oleh anak dan remaja diupayakan secara sungguh-sungguh, teristimewa di
dalam penanggulangan yang setuntas-tuntasnya. Dasar pemikiran atau titik tolak prinsip
ini, merupakan ciri khas penyelenggaraan sistem pidana anak. Dengan adanya ciri khas
dalam penyelenggaraan proses pengadilan pidana bagi anak ini, maka aktifitas
pemeriksaan yang dilakukan oleh polisi,jaksa, hakim dan pejabat lainnya, tidak
meninggalkan aspek pembinaan dan perlindungan, serta didasarkan pada prinsip demi
kepentingan anak atau melihat kriterium apa yang paling baik untuk kesejahteraan anak
yang bersangkutan, tanpa mengurangi perhatian kepada kepentingan masyarakat.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah penjatuhan pidana penjara terhadap anak merupakan suatu sanksi yang tepat ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui Apakah penjatuhan pidana penjara terhadap anak merupakan suatu
sanksi yang tepat.
2. Untuk mengetahui ketentuan dalam undang-undang no 35 tahun 2014
3. Untuk mengetahui dampak negatif bagi pemenjaraan anak di bawah umur.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Apakah penjatuhan pidana penjara terhadap anak merupakan suatu sanksi yang
tepat.
Apabila kita berbicara masalah hukum, maka kita akan dihadapkan dengan hal-hal yang
berkenaan dengan kegiatan pergaulan hidup manusia di masyarakat yang diwujudkan
dengan proses interaksi dan interrelasi antara manusia yang satu dengan yang lainnya.
Dalam pergaualn hidup, pada hakekatnya setiap manusia bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan materil dan immaterial. Dimana dalam upaya
mencapai tujuan tersebut, tidak sedikit kemungkinan timbul kebersamaan atau bahkan
sebaliknya. Cukup banyak yang saling bertubrukan atau bertentangan satu sama lainnya.
Pertentangan yang timbul dapat mengakibatkan terjadinya kekacauan, bahkan sangat
memungkinkan adanya tindakan anarkis. Dan kondisi yang sedemikian bukanlah hal yang
dicita-citakan dalam pergaulan hidup bermasyarakat, karena hal yang dicita-citakan oleh
masyarakat dalam pergaulan hidup sejatinya adalah terciptanya kehidupan yang tertib,
damai, dan tentram
Demi terciptanya kehidupan yang tertib, damai dan tentram tersebut, maka negara sebagai
penguasa dalam hal ini telah memberikan ketentuan-ketentuan dan norma-norma atau
kaidah-kaidah yang menentukan bagaimana seharusnya bertingkah laku dalam
bermasyarakat, sehingga segala jenis pelanggaran terhadap norma-norma atau kaidah-
kaidah tersebut akan dikenakan hukuman, baik penderitaan ataupun nestapa.
Pemberian sanksi atau hukuman dan proses hukum yang berlangsung dalam kasus
pelanggaran hukum oleh anak memang berbeda dengan kasus pelanggaran hukum oleh
orang dewasa, karena dasar pemberian hukuman oleh negara adalah setiap warga
negaranya adalah makhluk yang bertanggung jawab dan mampu
mempertanggungjawabkan perbuatannya. Sementara anak dianggap sebagai individu yang
belum dapat secara penuh bertanggung jawab atas perbuatannya. Karena itulah dalam
proses hukum dan pemberian hukuman anak harus mendapat perlakuan khusus yang
membedakannya dari orang dewasa, tetapi juga tidak berarti bahwa anak kebal terhadap
hukum.
Pada hakekatnya, segala bentuk penanganan terhadap anak yang melanggar hukum harus
memprioritaskan kepentingan terbaik untuk si anak. Oleh karena itu, keputusan yang
diambil hakim harus adil dan proporsional, serta tidak semata-mata dilakukan atas
pertimbangan hukum, tapi juga mempertimbangkan faktor lain, seperti kondisi lingkungan
sekitar anak, status sosial anak, dan keadaan keluarga. Hal ini dijamin dan diatur dalam
UU Pengadilan anak. Misalnya ketika polisi melakukan pemeriksaan atau penangkapan, ia
wajib menghubungi dan mendatangkan seorang petugas Bapas (Balai Pemasyarakatan)
dan biasa juga disebut PK atau Petugas Kemasyarakatan). Polisi wajib menyertakan hasil
Litmas (Penelitian Kemasyarakatan) yang dibuat oleh petugas Bapas dalam Berita Acara
Pemeriksaannya. Tanpa Litmas, jaksa harus menolak BAP dan meminta kelengkapannya
kembali. Litmas ini berisi tentang latar belakang anak secara keseluruhan, seperti data diri,
keluarga, sekolah, dan lingkungan sekitar, sampai dengan latar belakang kasus, seperti
kronologi kejadian, motif, gambaran mengenai keseriusan kasus, kondisi tersangka, dll.
Litmas juga berisi kesimpulan petugas Bapas tentang kasus yang bersangkutan dan
rekomendasi mengenai disposisi (untuk kasus dewasa biasanya disebut vonis) apa yang
terbaik bagi anak. Rekomendasi yang bisa diberikan mulai dari kembali ke orang tua,
pidana bersyarat, pidana dengan keringanan hukuman, pidana sesuai perbuatan, anak
negara, dan anak sipil.
Dalam kasus ini, jika anak ditahan sebaiknya segera ditanyakan apakah ia telah ditemui
oleh seorang petugas Bapas. Dan apakah padanya telah diberikan haknya untuk tetap
memperoleh penasehat hukum, karena petugas Bapas bukanlah seorang penasehat hukum.
Harus diingat, anak berhak memperoleh dan negara wajib memberikan proses hukum yang
cepat.
Apabila pihak korban akan menarik tuntutannya, penyelesaian di luar proses hukum
sangat mungkin untuk dilakukan karena petugas hukum, yang dalam hal ini adalah polisi,
memiliki keleluasaan untuk melakukan diskresi (sewaktu-waktu menghentikan proses
hukum) demi kepentingan anak. Apabila polisi menolak diskresi, sanksi pidana berupa
penjara masih dapat diupayakan untuk diganti dengan program pembinaan di luar
lembaga, atau kompensasi bagi korbam, yang bisa diupayakan melalui jalur hukum.
Selama proses hukum berlangsung, pihak orang tua atau wali juga dapat meminta agar
anak diberi tahanan luar dengan memberikan jaminan. Dalam kasus anak, tahanan luar
juga dipertimbangkan mengingat anak masih harus bersekolah.
Ternyata, masih kurangnya pengertian dan pengetahuan mengenai proses hukum yang
berlaku di dalam suatu negara masih menjadi masalah bagi kita, dimana berbagai pihak
yang semestinya terlibat dan bahkan berperan penting dalam kasus-kasus seperti ini belum
dapat melaksanakan proses peradilan hukum dengan sebenar-benarnya. Mungkin suatu
hari nanti, Indonesia sebagai negara berdaulat dapat menyelenggarakan proses hukum
yang baik dan seadil-adilnya, dengan mengadakan sosialisasi terhadap masyarakat luas
mengenai ketentun-ketentuan hukum yang berlaku. Karena semakin banyak orang yang
paham mengenai ketentuan tersebut, diharapkan semakin baik juga penegakkan hukum di
negara ini.
Diversi dapat dilakukan atas persetujuan korban dan ancaman pidananya dibawah 7
(tujuh tahun) dan bukan merupakan pengulangan pidana (UU SPPA pasal 7 ayat 2), tetapi
apabila korban tidak menghendaki diversi maka proses hukumnya akan terus berlanjut.
Hasil Kesepakatan Diversi dapat berbentuk (pasal 11): perdamaian dengan atau tanpa
ganti rugi; penyerahan kembali kepada orang tua/wali; keikutsertaan dalam pendidikan
atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau
pelayanan masyarakat.
Pasal 20 disebutkan dalam hal tindak pidana dilakukan oleh anak sebelum genap
berumur 18 (delapan belas) tahun dan diajukan ke sidang pengadilan setelah Anak yang
bersangkutan melampaui batas umur 18 (delapan belas) tahun, tetapi belum mencapai
umur 21 (dua puluh satu) tahun, anak tetap diajukan ke sidang anak. pasal 21 ayat 1
dijelaskan bahwa dalam hal Anak belum berumur 12 (dua belas) tahun melakukan atau
diduga melakukan tindak pidana, penyidik, pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja
Sosial Profesional mengambil keputusan untuk menyerahkan kembali kepada orang
tua/wali; atau mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan
pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang menangani bidang
kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) bulan.
pasal 32 menjelaskan bahwa penahanan terhadap anak tidak boleh dilakukan dalam hal
anak memperoleh jaminan dari orang tua/Wali dan atau lembaga bahwa anak tidak
melarikan diri, tidak akan menghilangkan atau merusak barang bukti, dan/atau tidak
akan mengulangi tindak pidana.
Penahanan terhadap anak hanya dapat dilakukan dengan syarat sebagai berikut: a. anak
telah berumur 14 (empat belas) tahun atau lebih; dan b. diduga melakukan tindak pidana
dengan ancaman pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih. pasal 69 ayat 1 menjelaskan
bahwa anak hanya dapat dijatuhi pidana atau dikenai tindakan berdasarkan ketentuan
dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Ayat 2 menjelaskaskan
bahwa anak yang belum berusia 14 (empat belas) tahun hanya dapat dikenai tindakan.
pasal 70 menjelaskan bahwa ringannya perbuatan, keadaan pribadi anak, atau keadaan
pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar
pertimbangan hakim untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan
dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.
b. Anak yang menjadi korban tindak pidana (Anak Korban) (Pasal 1 angka 4 UU
SPPA); dan
c. Anak yang menjadi saksi tindak pidana (Anak Saksi) (Pasal 1 angka 5 UU SPPA)
2. Penjatuhan Sanksi
Menurut UU SPPA, seorang pelaku tindak pidana anak dapat dikenakan dua jenis sanksi,
yaitu tindakan, bagi pelaku tindak pidana yang berumur di bawah 14 tahun (Pasal 69
ayat (2) UU SPPA) dan Pidana, bagi pelaku tindak pidana yang berumur 15 tahun ke atas.
• Perawatan di LPKS;
• Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh
pemerintah atau badan swasta;
b. Sanksi Pidana
Sanksi pidana yang dapat dikenakan kepada pelaku tindak pidana anak terbagi atas Pidana
Pokok dan Pidana Tambahan (Pasal 71 UU SPPA):
· Pidana peringatan;
· Pidana dengan syarat, yang terdiri atas: pembinaan di luar lembaga, pelayanan
masyarakat, atau pengawasan;
· Pelatihan kerja;
· Penjara.
Selain itu, UU SPPA juga mengatur dalam hal anak belum berumur 12 (dua belas) tahun
melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan,
dan Pekerja Sosial Profesional mengambil keputusan untuk: (lihat Pasal 21 UU SPPA)
3. Hak-hak Anak
e. bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak
manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya;
g. tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam
waktu yang paling singkat;
h. memperoleh keadilan di muka pengadilan anak yang objektif, tidak memihak, dan
dalam sidang yang tertutup untuk umum;
j. memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan orang yang dipercaya oleh anak;
n. memperoleh pendidikan;
Pasal 4 UU SPPA menyatakan bahwa anak yang sedang menjalani masa pidana berhak
atas:
b. Asimilasi;
d. Pembebasan bersyarat;
f. Cuti bersyarat;
4. Penahanan
Pasal 32 ayat (2) UU SPPA menyatakan bahwa penahanan terhadap anak hanya dapat
dilakukan dengan syarat anak telah berumur 14 (empat belas) tahun, atau diduga
melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara tujuh tahun atau lebih. Jika
masa penahanan sebagaimana yang disebutkan di atas telah berakhir, anak wajib
dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
UU SPPA ini memberikan kemudahan bagi anak saksi atau anak korban dalam
memberikan keterangan di pengadilan. Saksi/korban yang tidak dapat hadir untuk
memberikan keterangan di depan sidang pengadilan dengan alasan apapun dapat
memberikan keterangan di luar sidang pengadilan melalui perekaman elektronik yang
dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan setempat, dengan dihadiri oleh Penyidik
atau Penuntut Umum, dan Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya yang terlibat
dalam perkara tersebut. Anak saksi/korban juga diperbolehkan memberikan keterangan
melalui pemeriksaan jarak jauh dengan menggunakan alat komunikasi audiovisual. Pada
saat memberikan keterangan dengan cara ini, anak harus didampingi oleh orang tua/Wali,
Pembimbing Kemasyarakatan atau pendamping lainnya [lihat Pasal 58 ayat (3) UU
SPPA].
UU SPPA memperbolehkan anak yang terlibat dalam tindak pidana untuk mendapatkan
bantuan hukum tanpa mempermasalahkan jenis tindak pidana telah dilakukan.
Anak berhak mendapatkan bantuan hukum di setiap tahapan pemeriksaan, baik dalam
tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, maupun tahap pemeriksaan di
pengadilan (Pasal 23 UU SPPA). Anak Saksi/Anak Korban wajib didampingi oleh orang
tua/Wali, orang yang dipercaya oleh anak, atau pekerja sosial dalam setiap tahapan
pemeriksaan. Akan tetapi, jika orang tua dari anak tersebut adalah pelaku tindak
pidana, maka orang tua/Walinya tidak wajib mendampingi (Pasal 23 Ayat (3) UU SPPA).
Dasar hukum:
Tidak seharusnya anak dijatuhi hukuman pidana penjara, kecuali kejahatan yang dilakukan
berupa pembunuhan, pemerkosaan,perampokan dan pencurian dengan pemberatan.
Dengan catatan, umur anak yang dapat diajukan ke sidang anak adalah sekurang-
kurangnya 8 (delapan) tahun dan belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan
belum pernah menikah. Tetapi, untuk usia anak yang dapat dijatuhkan hukuman pidana
penjara adalah 12 (dua belas) tahun keatas. Demikian yang diatur Pasal 4 Undang-Undang
No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
Perlu untuk digarisbawahi adalah jika seorang anak yang dijatuhkan hukuman pidana
penjara ketika itu dia masih bersekolah maka dia juga harus tetap mendapat haknya untuk
memperoleh pendidikan selama dia menjalani hukuman. Namun, jika perbuatan yang
dilakukan bukan tindak pidana berat yang ancaman hukumannya dibawah 5 (lima) tahun,
sebaiknya penyelasaiannya secara musyawarah mufakat atau penyelesaian secara
kekeluargaan dan bila dimungkinkan diselesaikan secara adat saja (istilah hukumnya
Restorative Justice).
A. Kesimpulan
Usia anak berat ringannya perbuatan melawan hukum dapat dijadikan pertimbangan
bahwa anak tersebut dipidana atau tidak. Kasus anak biasanya bisa dilakukan
penyelesaian dengan DIversi terlebih dahulu tetapi juga melihat ancaman hukumannya
kalau menurut UU SPPA ancaman hukumannya dibawah 7 (tujuh) tahun. Jadi kami
sangat kontra terhadap penjatuhan pidana aanak di bawah umur karena jika anak
dibawah umur di jatuhkan sanksi pidana akan berakibat bagi masa depannya seperti
anak akan kehilangan hak nya sebagai anak dan mungkin anak akan di cap sebagai
anak nakal dan bisa saja di kucilkan dilingkungannya.
B. Saran
a. Keluaraga tetap memberikan prioritas terhadap pertumbuhan dan perkembangan
anak baik fisik amsupun psikis nya, sehingga dapat menjalankan proses KB dan
akibatnya meningkatkan kesejahtreaan bagi para keluarga itu sendiri, orangtua dan
anak anak
b. Pemrintah melalaui CJS menghukum dengan sebverat-beratnya bagi pelaku atau
terpida pelaku kejahatan seksusal dan atau pedofil kepada anak anak
DAFTAR PUSTAKA
https://id.wikipedia.org/wiki/Pengadilan_anak_di_Indonesia
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt4fe2cc383856d/perlindungan-anak/
https://rendratopan.com/2020/03/26/tindak-pidana-dalam-perlindungan-anak/
https://bangopick.wordpress.com/2012/04/15/penjara-berdampak-buruk-bagi-anak/
https://mariaulfarifia.wordpress.com/2014/01/06/makalah-tindak-pidana-anak/
https://www.kpai.go.id/hukum/undang-undang-republik-indonesia-nomor-35-tahun-2014-
tentang-perubahan-atas-undang-undang-nomor-23-tahun-2002-tentang-perlindungan-anak