Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

PERBANDINGAN HUKUM PIDANA

“PENJATUHAN PIDANA TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR”

KELOMPOK 4 KONTRA

Dosen Pembimbing

Ronaldi., SH.,MH.

Disusun Oleh :

Fatnike Kurniadi (EAA 117 180)

Edi (EAA 117 153)

Armando Simbolon (EAA 117 127)

Bramundita (EAA 117 178)

Dwi azhari gumilang (EAA 117 217)


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan yang maha esa, Sehingga saya dapat menyusun makalah
PERBANDINGAN HUKUM PIDANA tentang “ PENJATUHAN PIDANA TERHADAP
ANAK DI BAWAH UMUR ”. Dengan menyelesaikan makalah ini semoga dapat berguna
bagi para pembaca, serta teman- teman sekalian.
Makalah ini telah saya susun dengan mendapat bantuan dari berbagi situs di internet dan
bantuan dari taman maupun keluarga sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah
ini untuk itu saya ucapkan terimakasih.
Terlepas dari semua itu,saya menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik
dari segi penyusunan kalimat atau tata bahasa oleh karena itu dengan tangan terbuka saya
menerima kritik dan saran dari pembaca dan saya juga meminta ma af atas kekurangan
dari makalah ini.
Akhir kata saya berharap semoga makalah ini yang berjudul PENJATUHAN PIDANA
TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR ini dapat memberi manfaat dan pengetahuan
yang lebih terhadap pembacanya.

Palangka Raya ,04 Oktober 2020

Contra kelompok 4
DAFTAR ISI

Kata Pengantar

Daftar Isi

BAB I Pendahuluan

A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan

BAB II Pembahasan

A. Apakah penjatuhan pidana penjara terhadap anak merupakan suatu sanksi


yang tepat.
B. Bagaimana ketentuan dalam undang-undang no 35 tahun 2014.
C. Apa dampak negatif bagi pemenjaraan anak di bawah umur.

BAB III Penutup


A. Kesimpulan
B. Saran

Daftar Pustaka
BAB I

PENDAHULUHAN

A. Latar Belakang Masalah

Anak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia
dan keberlangsungan sebuah Bangsa dan Negara. Dengan peran anak yang penting ini,
maka mereka mendapatkan perlindungan khusus oleh konstitusi, hal tersebut terdapat
dalam UUD 1945 Pasal 28B ayat (2) : bahwa Negara menjamin setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi. Kepentingan terbaik bagi anak patut dihayati, sebagai
kepentingan terbaik bagi kelangsungan hidup umat manusia.Oleh karena itu, kita semua
selalu berupaya agar anak jangan sampai menjadi korban kekerasan, maupun anak
terjerumus melakukan perbuatan-perbuatan jahat atau perbuatan tidak terpuji lainnya.
Kenakalan anak setiap tahun meningkat, oleh karena itu, berbagai upaya pencegahan dan
penanggulangan kenakalan anak, perlu segera dilakukan. Salah satu upaya cara .
pencegahan dan penanggulangan kenakalan anak, perlu segera dilakukan. Salah satu
pencegahan dan penanggulangan kenakalan anak (politik kriminal anak) saat ini melalui
penyelenggaraan sistem pidana anak. Tujuan penyelenggaraan sistem tidak semata-mata
bertujuan untuk menjatuhkan sanksi pidana bagi anak pelaku tindak pidana, tetapi lebih
difokuskan pada dasar pemikiran bahwa penjatuhan sanksi tersebut sebagai sarana
mendukung mewujudkan kesejahteraan anak pelaku tindak pidana. Kenakalan-kenakalan
yang dilakukan oleh anak dan remaja diupayakan secara sungguh-sungguh, teristimewa di
dalam penanggulangan yang setuntas-tuntasnya. Dasar pemikiran atau titik tolak prinsip
ini, merupakan ciri khas penyelenggaraan sistem pidana anak. Dengan adanya ciri khas
dalam penyelenggaraan proses pengadilan pidana bagi anak ini, maka aktifitas
pemeriksaan yang dilakukan oleh polisi,jaksa, hakim dan pejabat lainnya, tidak
meninggalkan aspek pembinaan dan perlindungan, serta didasarkan pada prinsip demi
kepentingan anak atau melihat kriterium apa yang paling baik untuk kesejahteraan anak
yang bersangkutan, tanpa mengurangi perhatian kepada kepentingan masyarakat.
B. Rumusan Masalah

1. Apakah penjatuhan pidana penjara terhadap anak merupakan suatu sanksi yang tepat ?

2. Bagaimana ketentuan dalam undang-undang no 35 tahun 2014?

3. Apa dampak negatif bagi pemenjaraan anak di bawah umur ?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui Apakah penjatuhan pidana penjara terhadap anak merupakan suatu
sanksi yang tepat.
2. Untuk mengetahui ketentuan dalam undang-undang no 35 tahun 2014
3. Untuk mengetahui dampak negatif bagi pemenjaraan anak di bawah umur.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Apakah penjatuhan pidana penjara terhadap anak merupakan suatu sanksi yang
tepat.

Apabila kita berbicara masalah hukum, maka kita akan dihadapkan dengan hal-hal yang
berkenaan dengan kegiatan pergaulan hidup manusia di masyarakat yang diwujudkan
dengan proses interaksi dan interrelasi antara manusia yang satu dengan yang lainnya.

Dalam pergaualn hidup, pada hakekatnya setiap manusia bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan materil dan immaterial. Dimana dalam upaya
mencapai tujuan tersebut, tidak sedikit kemungkinan timbul kebersamaan atau bahkan
sebaliknya. Cukup banyak yang saling bertubrukan atau bertentangan satu sama lainnya.
Pertentangan yang timbul dapat mengakibatkan terjadinya kekacauan, bahkan sangat
memungkinkan adanya tindakan anarkis. Dan kondisi yang sedemikian bukanlah hal yang
dicita-citakan dalam pergaulan hidup bermasyarakat, karena hal yang dicita-citakan oleh
masyarakat dalam pergaulan hidup sejatinya adalah terciptanya kehidupan yang tertib,
damai, dan tentram

Demi terciptanya kehidupan yang tertib, damai dan tentram tersebut, maka negara sebagai
penguasa dalam hal ini telah memberikan ketentuan-ketentuan dan norma-norma atau
kaidah-kaidah yang menentukan bagaimana seharusnya bertingkah laku dalam
bermasyarakat, sehingga segala jenis pelanggaran terhadap norma-norma atau kaidah-
kaidah tersebut akan dikenakan hukuman, baik penderitaan ataupun nestapa.

Tapi bagaimana apabila pelanggaran terhadap norma-norma atau kaidah-kaidah yang


diatur negara dilakukan oleh anak dibawah umur? apakah tetap mendapat penanganan
tindak pidana yang sama seperti pelanggaran yang dilakukan oleh orang dewasa? sebagai
contoh, kasus pencurian motor yang terjadi di Makassar pada Agustus 2012 yang lalu.
Dari pencurian yang berjumlah tujuh orang , ternyata empat diantaranya adalah anak
dibawah umur. Kepolisian yang menangani kasus ini secara sigap langsung melakukan
penahanan terhadap para pelaku, tindakan dari pihak kepolisian ini langsung menuai
banyak tanggapan dari berbagai pihak. Lalu, bagaimana sanksi yang seharusnya diberikan
bagi anak berumur 14 tahun yang melakukan pencurian motor?

Pemberian sanksi atau hukuman dan proses hukum yang berlangsung dalam kasus
pelanggaran hukum oleh anak memang berbeda dengan kasus pelanggaran hukum oleh
orang dewasa, karena dasar pemberian hukuman oleh negara adalah setiap warga
negaranya adalah makhluk yang bertanggung jawab dan mampu
mempertanggungjawabkan perbuatannya. Sementara anak dianggap sebagai individu yang
belum dapat secara penuh bertanggung jawab atas perbuatannya. Karena itulah dalam
proses hukum dan pemberian hukuman anak harus mendapat perlakuan khusus yang
membedakannya dari orang dewasa, tetapi juga tidak berarti bahwa anak kebal terhadap
hukum.

Pada hakekatnya, segala bentuk penanganan terhadap anak yang melanggar hukum harus
memprioritaskan kepentingan terbaik untuk si anak. Oleh karena itu, keputusan yang
diambil hakim harus adil dan proporsional, serta tidak semata-mata dilakukan atas
pertimbangan hukum, tapi juga mempertimbangkan faktor lain, seperti kondisi lingkungan
sekitar anak, status sosial anak, dan keadaan keluarga. Hal ini dijamin dan diatur dalam
UU Pengadilan anak. Misalnya ketika polisi melakukan pemeriksaan atau penangkapan, ia
wajib menghubungi dan mendatangkan seorang petugas Bapas  (Balai Pemasyarakatan)
dan biasa juga disebut PK atau Petugas Kemasyarakatan). Polisi wajib menyertakan hasil
Litmas (Penelitian Kemasyarakatan) yang dibuat oleh petugas Bapas dalam Berita Acara
Pemeriksaannya. Tanpa Litmas, jaksa harus menolak BAP dan meminta kelengkapannya
kembali. Litmas ini berisi tentang latar belakang anak secara keseluruhan, seperti data diri,
keluarga, sekolah, dan lingkungan sekitar, sampai dengan latar belakang kasus, seperti
kronologi kejadian, motif, gambaran mengenai keseriusan kasus, kondisi tersangka, dll.

Litmas juga berisi kesimpulan petugas Bapas tentang kasus yang bersangkutan dan
rekomendasi mengenai disposisi (untuk kasus dewasa biasanya disebut vonis) apa yang
terbaik bagi anak. Rekomendasi yang bisa diberikan mulai dari kembali ke orang tua,
pidana bersyarat, pidana dengan keringanan hukuman, pidana sesuai perbuatan, anak
negara, dan anak sipil.

Dalam kasus ini, jika anak ditahan sebaiknya segera ditanyakan apakah ia telah ditemui
oleh seorang petugas Bapas. Dan apakah padanya telah diberikan haknya untuk tetap
memperoleh penasehat hukum, karena petugas Bapas bukanlah seorang penasehat hukum.
Harus diingat, anak berhak memperoleh dan negara wajib memberikan proses hukum yang
cepat.

Apabila pihak korban akan menarik tuntutannya, penyelesaian di luar proses hukum
sangat mungkin untuk dilakukan karena petugas hukum, yang dalam hal ini adalah polisi,
memiliki keleluasaan untuk melakukan diskresi (sewaktu-waktu menghentikan proses
hukum) demi kepentingan anak. Apabila polisi menolak diskresi, sanksi pidana berupa
penjara masih dapat diupayakan untuk diganti dengan program pembinaan di luar
lembaga, atau kompensasi bagi korbam, yang bisa diupayakan melalui jalur hukum.
Selama proses hukum berlangsung, pihak orang tua atau wali juga dapat meminta agar
anak diberi tahanan luar dengan memberikan jaminan. Dalam kasus anak, tahanan luar
juga dipertimbangkan mengingat anak masih harus bersekolah.

Ternyata, masih kurangnya pengertian dan pengetahuan mengenai proses hukum yang
berlaku di dalam suatu negara masih menjadi masalah bagi kita, dimana berbagai pihak
yang semestinya terlibat dan bahkan berperan penting dalam kasus-kasus seperti ini belum
dapat melaksanakan proses peradilan hukum dengan sebenar-benarnya. Mungkin suatu
hari nanti, Indonesia sebagai negara berdaulat dapat menyelenggarakan proses hukum
yang baik dan seadil-adilnya, dengan mengadakan sosialisasi terhadap masyarakat luas
mengenai ketentun-ketentuan hukum yang berlaku. Karena semakin banyak orang yang
paham mengenai ketentuan tersebut, diharapkan semakin baik juga penegakkan hukum di
negara ini.

B. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014


Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak pasal 1 angka 1 mengatakan, anak adalah seseorang yang belum berusia 18
(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang sistem Peradilan
Pidana Anak dalam pasal 1 disebutkan: angka 2: anak yang berhadapan dengan hukum
adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi tindak pidana anak, dan
anak yang menjadi saksi tindak pidana; angka 3: anak yang berkonflik dengan hukum
yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun,
tetapi belum berumur 18 (delapan belas) yang diduga melakukan tindak pidana.
Undang-Undang yang digunakan dalam hal pidana anak adalah Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Dalam hal pidana anak
dikenal dengan istilah diversi yaitu pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses
peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.

Diversi dapat dilakukan atas persetujuan korban dan ancaman pidananya dibawah 7
(tujuh tahun) dan bukan merupakan pengulangan pidana (UU SPPA pasal 7 ayat 2), tetapi
apabila korban tidak menghendaki diversi maka proses hukumnya akan terus berlanjut.
Hasil Kesepakatan Diversi dapat berbentuk (pasal 11): perdamaian dengan atau tanpa
ganti rugi; penyerahan kembali kepada orang tua/wali; keikutsertaan dalam pendidikan
atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau
pelayanan masyarakat.

Pasal 20 disebutkan dalam hal tindak pidana dilakukan oleh anak sebelum genap
berumur 18 (delapan belas) tahun dan diajukan ke sidang pengadilan setelah Anak yang
bersangkutan melampaui batas umur 18 (delapan belas) tahun, tetapi belum mencapai
umur 21 (dua puluh satu) tahun, anak tetap diajukan ke sidang anak. pasal 21 ayat 1
dijelaskan bahwa dalam hal Anak belum berumur 12 (dua belas) tahun melakukan atau
diduga melakukan tindak pidana, penyidik, pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja
Sosial Profesional mengambil keputusan untuk menyerahkan kembali kepada orang
tua/wali; atau mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan
pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang menangani bidang
kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) bulan.
pasal 32 menjelaskan bahwa penahanan terhadap anak tidak boleh dilakukan dalam hal
anak memperoleh jaminan dari orang tua/Wali dan atau lembaga bahwa anak tidak
melarikan diri, tidak akan menghilangkan atau merusak barang bukti, dan/atau tidak
akan mengulangi tindak pidana.
Penahanan terhadap anak hanya dapat dilakukan dengan syarat sebagai berikut: a. anak
telah berumur 14 (empat belas) tahun atau lebih; dan b. diduga melakukan tindak pidana
dengan ancaman pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih. pasal 69 ayat 1 menjelaskan
bahwa anak hanya dapat dijatuhi pidana atau dikenai tindakan berdasarkan ketentuan
dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Ayat 2 menjelaskaskan
bahwa anak yang belum berusia 14 (empat belas) tahun hanya dapat dikenai tindakan.
pasal 70 menjelaskan bahwa ringannya perbuatan, keadaan pribadi anak, atau keadaan
pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar
pertimbangan hakim untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan
dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.

Berikut kami rangkum hal-hal penting yang diatur dalam UU SPPA: 

1. Definisi Anak di Bawah Umur


UU SPPA mendefenisikan anak di bawah umur sebagai anak yang telah berumur 12 tahun
tetapi belum berumur 18 tahun, dan membedakan anak yang terlibat dalam suatu tindak
pidana dalam tiga kategori:

a.    Anak yang menjadi pelaku tindak pidana (Pasal 1 angka 3 UU SPPA);

b.    Anak yang menjadi korban tindak pidana (Anak Korban) (Pasal 1 angka 4 UU
SPPA); dan

c.    Anak yang menjadi saksi tindak pidana (Anak Saksi) (Pasal 1 angka 5 UU SPPA)

 Sebelumnya, UU Pengadilan Anak tidak membedakan kategori Anak Korban dan Anak


Saksi. Konsekuensinya, Anak Korban dan Anak Saksi tidak mendapatkan perlindungan
hukum. Hal ini mengakibatkan banyak tindak pidana yang tidak terselesaikan atau bahkan
tidak dilaporkan karena anak cenderung ketakutan menghadapi sistem peradilan pidana.

2.    Penjatuhan Sanksi

Menurut UU SPPA, seorang pelaku tindak pidana anak dapat dikenakan dua jenis sanksi,
yaitu tindakan, bagi pelaku tindak pidana yang berumur di bawah 14 tahun (Pasal 69
ayat (2) UU SPPA) dan Pidana, bagi pelaku tindak pidana yang berumur 15 tahun ke atas.

a.    Sanksi Tindakan yang dapat dikenakan kepada anak meliputi (Pasal 82 UU SPPA):

•    Pengembalian kepada orang tua/Wali;

•    Penyerahan kepada seseorang;

•    Perawatan di rumah sakit jiwa;

•    Perawatan di LPKS;
•    Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh
pemerintah atau badan swasta;

•    Pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau

•    Perbaikan akibat tindak pidana.

b.    Sanksi Pidana

Sanksi pidana yang dapat dikenakan kepada pelaku tindak pidana anak terbagi atas Pidana
Pokok dan Pidana Tambahan (Pasal 71 UU SPPA):

Pidana Pokok terdiri atas:

·         Pidana peringatan;

·         Pidana dengan syarat, yang terdiri atas: pembinaan di luar lembaga, pelayanan
masyarakat, atau pengawasan;

·         Pelatihan kerja;

·         Pembinaan dalam lembaga;

·         Penjara.

Pidana Tambahan terdiri dari:

·         Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau

·         Pemenuhan kewajiban adat.

Selain itu, UU SPPA juga mengatur dalam hal anak belum berumur 12 (dua belas) tahun
melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan,
dan Pekerja Sosial Profesional mengambil keputusan untuk: (lihat Pasal 21 UU SPPA)

a.    menyerahkannya kembali kepada orang tua/Wali; atau


b.    mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di
instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial,
baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) bulan.

3.    Hak-hak Anak

Setiap anak dalam proses peradilan pidana berhak: (Pasal 3 UU SPPA)

a.    diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan


umurnya;

b.    dipisahkan dari orang dewasa;

c.    memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif;

d.    melakukan kegiatan rekreasional;

e.    bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak
manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya;

f.     tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup;

g.    tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam
waktu yang paling singkat;

h.    memperoleh keadilan di muka pengadilan anak yang objektif, tidak memihak, dan
dalam sidang yang tertutup untuk umum;

i.      tidak dipublikasikan identitasnya;

j.     memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan orang yang dipercaya oleh anak;

k.    memperoleh advokasi sosial;

l.      memperoleh kehidupan pribadi;

m. memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat;

n.    memperoleh pendidikan;

o.    memperoleh pelayananan kesehatan; dan

p.    memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


 

Pasal 4 UU SPPA menyatakan bahwa anak yang sedang menjalani masa pidana berhak
atas:

a.    Remisi atau pengurangan masa pidana;

b.    Asimilasi;

c.    Cuti mengunjungi keluarga;

d.    Pembebasan bersyarat;

e.    Cuti menjelang bebas;

f.     Cuti bersyarat;

g.    Hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

4.    Penahanan

Pasal 32 ayat (2) UU SPPA menyatakan bahwa penahanan terhadap anak hanya dapat
dilakukan dengan syarat anak telah berumur 14 (empat belas) tahun, atau diduga
melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara tujuh tahun atau lebih. Jika
masa penahanan sebagaimana yang disebutkan di atas telah berakhir, anak wajib
dikeluarkan dari tahanan demi hukum.

5.    Pemeriksaan Terhadap Anak Sebagai Saksi atau Anak Korban

UU SPPA ini memberikan kemudahan bagi anak saksi atau anak korban dalam
memberikan keterangan di pengadilan. Saksi/korban yang tidak dapat hadir untuk
memberikan keterangan di depan sidang pengadilan dengan alasan apapun dapat
memberikan keterangan di luar sidang pengadilan melalui perekaman elektronik yang
dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan setempat, dengan dihadiri oleh Penyidik
atau Penuntut Umum, dan Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya yang terlibat
dalam perkara tersebut. Anak saksi/korban juga diperbolehkan memberikan keterangan
melalui pemeriksaan jarak jauh dengan menggunakan alat komunikasi audiovisual. Pada
saat memberikan keterangan dengan cara ini, anak harus didampingi oleh orang tua/Wali,
Pembimbing Kemasyarakatan atau pendamping lainnya [lihat Pasal 58 ayat (3) UU
SPPA].

6.    Hak Mendapatkan Bantuan Hukum

UU SPPA memperbolehkan anak yang terlibat dalam tindak pidana untuk mendapatkan
bantuan hukum tanpa mempermasalahkan jenis tindak pidana telah dilakukan.

 Anak berhak mendapatkan bantuan hukum di setiap tahapan pemeriksaan, baik dalam
tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, maupun tahap pemeriksaan di
pengadilan (Pasal 23 UU SPPA). Anak Saksi/Anak Korban wajib didampingi oleh orang
tua/Wali, orang yang dipercaya oleh anak, atau pekerja sosial dalam setiap tahapan
pemeriksaan. Akan tetapi, jika orang tua dari anak tersebut adalah pelaku tindak
pidana, maka orang tua/Walinya tidak wajib mendampingi (Pasal 23 Ayat (3) UU SPPA).

 Dasar hukum:

1.    Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak;

2.    Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

C. Dampak negatif pemenjaraan bagi anah di bawah umur.

Tidak seharusnya anak dijatuhi hukuman pidana penjara, kecuali kejahatan yang dilakukan
berupa pembunuhan, pemerkosaan,perampokan dan pencurian dengan pemberatan.
Dengan catatan, umur anak yang dapat diajukan ke sidang anak adalah sekurang-
kurangnya 8 (delapan) tahun dan belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan
belum pernah menikah. Tetapi, untuk usia anak yang dapat dijatuhkan hukuman pidana
penjara adalah 12 (dua belas) tahun keatas. Demikian yang diatur Pasal 4 Undang-Undang
No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

Perlu untuk digarisbawahi adalah jika seorang anak yang dijatuhkan hukuman pidana
penjara ketika itu dia masih bersekolah maka dia juga harus tetap mendapat haknya untuk
memperoleh pendidikan selama dia menjalani hukuman. Namun, jika perbuatan yang
dilakukan  bukan tindak pidana berat yang ancaman hukumannya dibawah 5 (lima) tahun,
sebaiknya penyelasaiannya secara musyawarah mufakat atau penyelesaian secara
kekeluargaan dan bila dimungkinkan diselesaikan secara adat saja (istilah hukumnya
Restorative Justice).

Pemenjaraan memang berdampak buruk bagi psikologis anak, dampak tersebut antara


lain bisa jadi anak akan kehilangan percaya diri, ketakutan,dan sebagainya. Dampat itu
bukan hanya secara psikologis, ada 2 (dua) dampak besar lainnya pemenjaraan bagi anak
yang pertama; Dimensi sosial yaitu anak yang di penjara beranggapan bahwa dirinya telah
dibuang oleh masyarakat, resikonya pasti berpengaruh pada psikologisnya kembali, jika
dia adalah orang yang bermartabat maka martabatnya akan jatuh, kedua ; Dimensi
pendidikan yaitu orang yang di penjara kemungkinan besar tidak berkesempatan
melanjutkan pendidikannya. Pemenjaraan juga menyebabkan turunnya tingkat pendidikan
secara umum di masyarakat disamping pula menyebabkan kebodohan dan ketiadaan nilai-
nilai moral di dalam masyarakat. Sehingga mereka kehilangan harapan hidup dan cita-cita.
Tentunya ada hukuman lain yang dapat diberikan untuk mengurangi dampak tersebut;
misalnya perampasan barang-barang tertentu atau pembayaran ganti rugi, dikembalikan
kepada orang tua untuk di didik, menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan,
pembinaan dan latihan kerja, atau menyerahkan kepada Departemen Sosial atau
Organisasi Sosial Kemasyarakatan di bidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja.

Kemudian, upaya yang bisa dilakukan adalah mensosialisasikan atau mengkampanyekan


tentang perlindungan anak kepada aparat penegak hukum, melakukan training tentang
penanganan anak yang berhadapan dengan hukum kepada aparat penegak hukum, dan
mengadvokasi pemerintah agar dalam rekrutmen aparat penegak hukum diberi capacity
building dalam penanganan kasus-kasus anak, misalnya rekrutmen kepolisian ketika
pendidikan di Sekolah Pendidikan Kepolisian Negara (SPN) dimasukan kurikulum
perlindungan anak,termasuk juga dalam rekrutmen jaksa atau hakim. Selanjutnya 
melakukan sosialisai/kampanye/training kepada seluruh lapisan masyarakat termasuk
anak-anak.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Usia anak berat ringannya perbuatan melawan hukum dapat dijadikan pertimbangan
bahwa anak tersebut dipidana atau tidak. Kasus anak biasanya bisa dilakukan
penyelesaian dengan DIversi terlebih dahulu tetapi juga melihat ancaman hukumannya
kalau menurut UU SPPA ancaman hukumannya dibawah 7 (tujuh) tahun. Jadi kami
sangat kontra terhadap penjatuhan pidana aanak di bawah umur karena jika anak
dibawah umur di jatuhkan sanksi pidana akan berakibat bagi masa depannya seperti
anak akan kehilangan hak nya sebagai anak dan mungkin anak akan di cap sebagai
anak nakal dan bisa saja di kucilkan dilingkungannya.

B. Saran
a. Keluaraga tetap memberikan prioritas terhadap pertumbuhan dan perkembangan
anak baik fisik amsupun psikis nya, sehingga dapat menjalankan proses KB dan
akibatnya meningkatkan kesejahtreaan bagi para keluarga itu sendiri, orangtua dan
anak anak
b. Pemrintah melalaui CJS menghukum dengan sebverat-beratnya bagi pelaku atau
terpida pelaku kejahatan seksusal dan atau pedofil kepada anak anak
DAFTAR PUSTAKA

https://id.wikipedia.org/wiki/Pengadilan_anak_di_Indonesia

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt4fe2cc383856d/perlindungan-anak/

https://rendratopan.com/2020/03/26/tindak-pidana-dalam-perlindungan-anak/

https://bangopick.wordpress.com/2012/04/15/penjara-berdampak-buruk-bagi-anak/

https://mariaulfarifia.wordpress.com/2014/01/06/makalah-tindak-pidana-anak/

https://www.kpai.go.id/hukum/undang-undang-republik-indonesia-nomor-35-tahun-2014-
tentang-perubahan-atas-undang-undang-nomor-23-tahun-2002-tentang-perlindungan-anak

Anda mungkin juga menyukai