Istilah konsep berasal dari bahasa latin conceptum, artinya sesuatu yang
dipahami. Aristoteles dalam "The classical theory of concepts" menyatakan bahwa
konsep merupakan penyusun utama dalam pembentukan pengetahuan ilmiah dan
filsafat pemikiran manusia. Konsep merupakan abstraksi suatu ide atau gambaran
mental, yang dinyatakan dalam suatu kata atau simbol. Konsep dinyatakan juga
sebagai bagian dari pengetahuan yang dibangun dari berbagai macam karakteristik.
Pemberantasan tindak pidana korupsi adalah serangkaian tindakan melalui upaya
koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan
di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan
perundangan yang berlaku (Pasal 1 ayat (3) UU No. 30/ 2002).1Dapat disimpulkan
bahwa konsep pemberantasan korupsi adalah kerangka acuan yang digunakan dalam
pemberantasan korupsi. Segala bentuk pemberantaasan korupsi yang akan dilakukan
berdasarkan pada konsep yang telah disusun tersebut.
Korupsi dapat terjadi jika ada peluang, keinginan, dan bobroknya sistem
pengawasan dalam waktu yang bersamaan. Korupsi dapat dimulai darimana saja,
misalnya suap ditawarkan pada seorang pejabat, atau sebaliknya seorang pejabat,
meminta atau bahkan dengan rara memaksa memberikan uang pelicin. Orang yang
menawarkan suap karena ia menginginkan sesuatu yang bukan haknya dan ia
menyuap pejabat supaya pejabat itu mengabaikan peraturan. Keinginan korupsi dapat
timbul karena kemiskinan. Karena korupsi menyangkut semua aspek bidang
kehidupan masyarakat, sehingga sangat sulit diberantas. Konsep pemberantasan
korupsi harus disesuaikan dengan konteks, masyarakat ataupun organisasi yang
dituju. Berikut merupakan contoh yang berkaitan dengan konsep pemberantasan
korupsi berdasarkan konteks, masyarakat ataupun organisasi:
1. Masyarakat dengan konteks atau kondisi taat pada agama akan memilih konsep
pemberantasan korupsi yang berorientasi pada hukun agama. Sehingga dalam
penyusunan konseppun akan mengacu pada hukum agama yang dianut.
2. Suatu organisasi yang memiliki konsep demokratis akan menyusun sebuah konsep
yang menitik beratkan pada nilai-nilai demokratis.
1
Septiana Dwiputrianti, “Memahami Strategi Pemberantasan Korupsi di indonesia”, Jurnal Ilmu Administrasi,
Vol. 6 No. 3, 2009, hal. 270.
Agar penanganan dan pemberantasan korupsi dapat dilakukan secara
menyeluruh dan berkesinambungan, maka perlu dipayungi hukum berupa peraturan
perundangan. Berikut ini peraturan-peraturan yang berkaitan dengan korupsi:
1. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1);
2. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi;
3. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
XI/ MPR/ 1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme;
4. UU no. 28 Th. 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas dari
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3851);
5. UU no. 31 Th. 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3874); sebagaimana telah diubah
dengan UU no. 20 Th. 2001. Berdasarkan pemahaman pasal 2 UU ini
disebutkan bahwa korupsi adalah perbuatan secara melawan hukum
dengan maksud memperkaya diri sendiri/orang lain (perseorangan atau
korporasi) yang dapat merugikan keuangan/perekonomian negara.
Pasal 12 B UU no. 31 th. 1999 jo UU no. 20 th. 2001 menjelaskan tentang
gratifikasi, yaitu pemberian dalam arti luas, meliputi pemberian uang, barang, rabat
(discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket, perjalanan, fasilitas penginapan,
perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Pasal 5, pasal 6,
pasal 11, pasal 12 huruf a, b, c, d dan pasal 13 UU no. 31 th. 1999 jo UU no. 20 th.
2001 menjelaskan bahwa suap merupakan tindak pidana. Gratifikasi kepada pegawai
negeri/ penyelenggara negara yang berhubungan dengan jabatan/kedudukannya
dianggap sebagai suap.
Selain peraturan yang telah disebutkan, peraturan lainnya adalah:
1. UU no. 30 Th. 2002;
2. PP no. 71 Th. 2000;
3. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
4. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;
5. Keputusan Pimpinan KPK no. KEP–06/ P.KPK/ 02/ 2004;
Keputusan Pimpinan KPK no. KEP–07/ P.KPK/ 02/ 2004;2
B. UPAYA PENANGGULANGAN KEJAHATAN (KORUPSI)
Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian
integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai
kesejahteraan (social welfare). Kebijakan penanggulangan kejahatan atau bisa disebut juga
politik kriminal memiliki tujuan akhir atau tujuan utama yaitu “perlindungan masyarakat
untuk mencapai kesejahteraan masyarakat”. Kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal
policy) itu sendiri merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement
policy). Kebijakan penegakan hukum merupakan bagian dari kebijakan social (social policy)
dan termasuk juga dalam kebijakan legislatif (legislative policy). Politik riminal pada
hakikatnya juga merupakan bagian integral dari kebijakan sosial yaitu kebijakan atau upaya
untuk mencapai kesejahteraan sosial.3
2. Ada keterpaduan antara upaya penggulangan kejahatan dengan penal maupun non penal
Upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur “penal” lebih menitikberatkan pada sifat
“repressive” (penindasan/pemberantasan/penumpasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan
jalur “non-penal” lebih menitikberatkan pada sifat “preventive” (pencegahan/penangkalan)
2
Ibid., hal. 272.
3
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP
Baru), (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hal. 2.
4
Paulus Hadisuprapto, Juvenile Delinquency, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hal.72
sebelum kejahatan terjadi. Dikatakan sebagai perbedaan secara kasar, karena tindakan refresif
pada hakikatnya dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas.5
Menurut G.P. Hoefnagels yang dikutip oleh Barda Nawawi Arief, bahwa upaya
penangulangan kejahatan dapat ditempuh dengan:
Dari ketiga jenis penanggulangan di atas, yang pertama dikategorikan dalam jalur
penal (hukum pidana), sedangkan dua jenis terakhir dapat dikelompokkan dalam jalur penal
(non pidana).
Berdasarkan pendapat di atas maka upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat
dibagi menjadi dua, yakni jalur penal dan non penal.
Menurut Barda Nawawi Arief, bahwa upaya penanggulangan lewat jalur penal ini
bisa juga disebut sebagai upaya yang dilakukan melalui jalur hukum pidana. Upaya ini
merupakan upaya penanggulangan yang lebih menitikberatkan pada sifat represif, yakni
tindakan yang dilakukan sesudah kejahatan terjadi dengan penegakan hukum dan penjatuhan
hukuman terhadap kejahatan yang telah dilakukan. Selain itu, melalui upaya penal ini,
tindakan yang dilakukan dalam rangka menanggulangi kejahatan sampai pada tindakan
pembinaan maupun rehabilitasi.7
Pada hakikatnya, kebijakan hukum pidana (penal policy, criminal policy, atau
strafrechtpolitiek) merupakan proses penegakan hukum pidana secara menyeluruh atau total.
Kebijakan hukum pidana merupakan tindakan yang berhubungan dalam hal-hal:
Kebijakan penal yang bersifat represif, namun sebenarnya juga mengandung unsur
preventif, karena dengan adanya ancaman dan penjatuhan pidana terhadap delik diharapkan
ada efek pencegahan/penangkalnya (deterrent effect). Di samping itu, kebijakan penal tetap
diperlukan dalam penanggulangan kejahatan, karena hukum pidana merupakan salah satu
sarana kebijakan sosial untuk menyalurkan “ketidaksukaan masyarakat (social dislike) atau
pencelaan/kebencian sosial (social disapproval/social abhorrence) yang sekaligus juga
diharapkan menjadi sarana “perlindungan sosial” (social defence). Oleh karena itu sering
dikatakan bahwa “penal policy” merupakan bagian integral dari “social defence policy”.
Hal senada juga dikemukakan oleh Roeslan Saleh, yang mengemukakan tiga alasan yang
cukup panjang mengenai masih diperlukannya pidana dan hukum pidana, adapun intinya
sebagai berikut:
a. Perlu tidaknya hukum pidana tidak terletak pada persoalan tujuantujuan yang hendak
dicapai, tetapi terletak pada persoalan seberapa jauh untuk mencapai tujuan itu boleh
menggunakan paksaan; persoalannya bukan terletak pada hasil yang akan dicapai, tetapi
dalam pertimbangan antara nilai dari hasil itu dan nilai dari batas-batas kebebasan pribadi
masing-masing.
8
Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana: Perspektif, Teoritis, dan Praktik, (Bandung: Alumni, 2008), hal.
390.
b. Ada usaha-usaha perbaikan atau perawatan yang tidak mempunyai arti sama sekali bagi si
terhukum; dan di samping itu harus tetap ada suatu reaksi atas pelanggaranpelanggaran
norma yang telah dilakukannya itu dan tidaklah dapat dibiarkan begitu saja.
c. Pengaruh pidana atau hukum pidana bukan semata-mata ditujukan pada si penjahat, tetapi
juga untuk mempengaruhi orang yang tidak jahat yaitu warga masyarakat yang menaati
norma-norma masyarakat.9
Berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief dan Roeslan Saleh,
dapat ditarik kesimpulan bahwa penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan
masih sangat diperlukan pada saat ini, mengingat bahwa hukum pidana selain memiliki sisi
represif juga memiliki sisi preventif untuk mencegah agar masyarakat yang taat pada hukum
tidak ikut melakukan atau akan berfikir dua kali jika ingin melakukan kejahatan.
Menurut Barda Nawawi Arif, efektivitas pidana penjara dapat ditinjau dari dua aspek
pokok tujuan pemidanaan, yaitu aspek perlindungan masyarakat dan aspek perbaikan si
pelaku. Bahwa yang dimaksud dengan aspek perlindungan masyarakat meliputi tujuan
mencegah, mengurangi atau mengendalikan tindak pidan dan memulihkan keseimbangan
masyarakat (antara lain menyelesaikan konflik, mendatangkan rasa aman, memperbaiki
kerugian/kerusakan, menghilangkan noda-noda, memperkuat kembali nilai-nilai yang hidup
di dalam masyarakat), sedangkan yang dimaksud dengan aspek perbaikan si pelaku meliputi
berbagai tujuan, antara lain melakukan rehabilitasi dan memasyarakatkan kembali si pelaku
dan melindunginya dari perlakuan sewenang-wenang di luar hukum.
Menurut Barda Nawawi Arief, bahwa upaya penanggulangan lewat jalur non penal ini
bisa juga disebut sebagai upaya yang dilakukan melalui jalur di luar hukum pidana. Upaya ini
merupakan upaya penanggulangan yang lebih menitikberatkan pada sifat preventif, yakni
tindakan yang berupa pencegahan sebelum terjadinya kejahatan. Melalui upaya nonpenal ini
sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan,
yakni meliputi masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak
langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan.11
10
Ibid, hal. 230
11
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Semarang: Fajar Interpratama, 2011), hal. 46.
Mengingat upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur “non penal” lebih bersifat
tindakan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah menangani
faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktorfaktor kondusif itu antara lain,
berpusat pada masalah-masalah atau kondisikondisi sosial yang secara langsung atau tidak
langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan. Dengan demikian, dilihat
dari sudut politik kriminal secara makro dan global, maka upaya-upaya nonpenal menduduki
posisi kunci dan strategis dari keseluruhan upaya politik kriminal. Di berbagai Kongres PBB
mengenai “The Prevention of Crime and Treatment of Offenders” ditegaskan upayaupaya
strategis mengenai penanggulangan sebab-sebab timbulnya kejahatan.12
Upaya non penal dapat pula digali dari berbagai sumber lainnya yang juga
mempunyai potensi efek-preventif, misalnya media pers/media massa, pemanfaatan
kemajuan teknologi (dikenal dengan istilah techno-prevention) dan pemanfaatan potensi
efek-preventif dari aparat penegak hukum. Mengenai yang terakhir ini, Sudarto pernah
mengemukakan, bahwa kegiatan patroli dari polisi yang dilakukan secara kontinu termasuk
upaya non penal yang mempunyai pengaruh preventif bagi penjahat (pelanggar hukum)
potensial. Sehubungan dengan hal ini, kegiatan razia/operasi yang dilakukan pihak kepolisian
di beberapa tempat tertentu dan kegiatan yang berorientasi pada pelayanan masyarakat atau
kegiatan komunikatif edukatif dengan masyarakat, dapat pula dilihat sebagai upaya non penal
yang perlu diefektifkan.
Penjelasan di atas pada dasarnya ingin menekankan bahwa upaya non penal yang
paling strategis adalah segala upaya untuk menjadikan masyarakat sebagai lingkungan sosial
dan lingkungan hidup yang sehat (secara materil dan immateril) dari faktor-faktor kriminogen
(sebab-sebab terjadinya kejahatan). Ini berarti, masyarakat dengan seluruh potensinya harus
dijadikan sebagai faktor penangkal kejahatan atau faktor anti kriminogen yang merupakan
bagian integral dari keseluruhan politik kriminal.
12
M. Hamdan, Politik Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hal. 20
samping negara masyarakat dapat pula berusaha melalui upaya-upaya sosial, seperti dalam
bidang pendidikan, perbaikan taraf hidup anggota masyarakat.13
a. Cara Moralistik
Cara moralistik dapat dilakukan secara umum melalui pembinaan mental dan moral
manusia, khotbah-khotbah, ceramah dan penyuluhan di bidang keagamaan, etika dan
hukum.
b. Cara Abolisionik
Cara ini muncul dari asumsi bahwa korupsi adalah suatu kejahatan yang harus di
berantas dengan terlebih dahulu menggali sebab-sebabnya dan kemudian diserahkan
kepada usaha-usaha untuk menghilangkan sebab-sebab tersebut.14
Dengan demikian, jika dilihat dari sudut pandang politik kriminal, keseluruhan
kegiatan preventif yang non penal mempunyai kedudukan yang sangat strategis dalam
pencegahan tindak pidana korupsi.
13
IS Heru Permana, Politik Kriminal, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2007),
14
Edy Yunara, “Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korupsi”, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005, hal.
60