Anda di halaman 1dari 109

PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN PEMBORONGAN

PEKERJAAN KONSTRUKSI
(STUDI KASUS PEKERJAAN KONSTRUKSI REHABILITASI BANGUNAN
GEDUNG KANTOR PENGADILAN TINGGI AGAMA YOGYAKARTA)

Tesis
Untuk memenuhi sebagian persyaratan
mencapai derajat Sarjana S-2
Program Studi Magister Hukum
Konsentrasi Hukum Bisnis

diajukan oleh
ARI WIBOWO
08/287308/PHK/05756

Kepada
PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2014
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL …………………………………………………………… i

HALAMAN PENGESAHAN …………………………………………………… ii

HALAMAN PERNYATAAN …………………………………………………… iii

PRAKATA ……………………………………………………………………… iv

DAFTAR ISI ……………………………………………………………………. v

INTISARI ……………………………………………………………………….. vi

ABSTRACT …………………………………………………………………….. vii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1

B. Rumusan Masalah .............................................................................. 6

C. Keaslian Penelitian ............................................................................ 6

D. Kegunaan Penelitian ......................................................................... 8

E. Tujuan Penelitian .............................................................................. 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian ................................................ 10

1. Pengertian dan Tempat Pengaturan Perjanjian ........................... 11

2. Asas-asas Hukum Perjanjian ...................................................... 13

3. Syarat Sahnya Suatu Perjanjian .................................................. 16

4. Prestasi dan Wanprestasi ............................................................ 21

5. Berakhirnya Perjanjian ............................................................... 28


B. Tinjauan Umum Mengenai Wanprestasi Dalam Perjanjian Pemborongan

Pekerjaan Konstruksi

1. Pengertian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.......................... 33

2. Pengertian Perjanjian dalam Pengadaan

Barang/ Jasa Pemerintah.............................................................. 46

3. Macam Perjanjian dalam Pengadaan

Barang/ Jasa Pemerintah ............................................................. 48

4. Wanprestasi dalam perjanjian Pengadaan

Barang/ Jasa Pemerintah ........................................................... 56

5. Penyelesaian Perselisihan dalam Perjanjian

Pemborongan Konstruksi ...................................................... ..... 59

6. Berakhirnya Perjanjian dalam Pengadaan

Barang/ Jasa Pemerintah ........................................................... 63

BAB III METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian ................................................................................... 69

B. Sifat Penelitian ................................................................................ 69

C. Sumber Data.................................................................................... 69

D. Macam Data..................................................................................... 71

E. Analisis Data ................................................................................... 71

F. Hambatan Penelitian dan Cara Mengatasi ....................................... 73

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


A. Bentuk wanprestasi yang terjadi pada perjanjian pekerjaan

konstruksi pada Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta .................... 74

B. Penyelesaian wanprestasi dalam perjanjian pekerjaan

konstruksi pada Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta.................... 87

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan......................................................................................... 96

B. Saran................................................................................................... 97

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN
INTISARI

PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN PEMBORONGAN


PEKERJAAN KONSTRUKSI
(STUDI KASUS PEKERJAAN KONSTRUKSI REHABILITASI BANGUNAN
GEDUNG KANTOR PENGADILAN TINGGI AGAMA YOGYAKARTA)

Ari Wibowo1

Pitaya, SH.,MHum2

Penelitian mengenai Penyelesaian Wanprestasi Dalam Perjanjian


Pemborongan Pekerjaan Konstruksi (Studi Kasus Pekerjaan Konstruksi Rehabilitasi
Bangunan Gedung Kantor Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta) bertujuan untuk
mengetahui bentuk wanprestasi dan penyelesaian wanprestasi dalam pelaksanaan
perjanjian pemborongan pekerjaan konstruksi.
Penelitian ini bersifat deskriftif eksplanatif dengan mengandalkan data
sekunder sebagai sumber data utama melalui dokumen-dokumen resmi yang
berhubungan dengan penelitian. Penelitian lapangan tetap dilakukan untuk
menunjang penelitian kepustakaan. Data yang diperoleh dari penelitian dianalisis
secara kualitatif dan disajikan secara deskriftif.
Hasil penelitian menunjakkan bahwa bentuk wanprestasi yang terjadi dalam
pelaksanaan perjanjian pemborongan antara PPK PTA Yogyakarta dengan CV Tri
Jaya yaitu pihak penyedia tidak sempurna menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan
apa yang diperjanjikan. Penyelesaian wanprestasi dilakukan dengan musyawarah
mufakat, pihak CV Tri Jaya menerima keputusan wanprestasi dari PPK dengan
pencairan jaminan pemeliharaan yang dipergunakan untuk perbaikan-perbaikan
kantor.

Kata kunci : Perjanjian, Pemborongan pekerjaan, Wanprestasi


1
Mahasiswa Magister Hukum UniversitasGadjah Mada Yogyakarta
2
Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
ABSTRACT

Miss-Achievement Settlement In The Contract Agreement Of Construction


Work
(Case Study Construction Work For Rehabilitation in High Relegion Court Of
Yogyakarta Office Building)

Ari Wibowo1

Pitaya, SH.,MHum2

Research on Miss-Achievement Settlement In The Contract Agreement Of


Construction Work (Case Study Construction Work for Rehabilitation in High
Relegion Court Of Yogyakarta Office Building) aims to determine the form of Miss-
Achievement Settlement execution and completion of the construction work
chartering agreement.

This research is an deskriptif eksplanatif by relying on secondary data as the


primary data source through official documents which related with the research. Field
research is still being done in supporting the research literature. The data obtained
from the study were analyzed qualitatively and presented descriptively.

As the results showed that the form of Miss-Achievement that occurred in the
execution of contract agreement between the PPK (Committing Officer) of Religious
High Court of Yogyakarta with CV Tri Jaya as the provider held what in agreement
but is doesn’t accordance with what was agreed. Completion of Miss-Achievement
Settlement made by the issuance of a Miss-Achievement statement from the CO to
the CV Tri Jaya which has an effect in the termination of the agreement between the
parties and then the retention will be cashed to use as office improvements. In
addition, CV Tri Jaya proposed to LKPP by CO to put in the blacklist.

Keywords : Agreement, Construction Work, Miss-Achievement Settlement

1
Student of Magister Law Gadjah Mada University of Yogyakarta
2
Lecturer of Magister Law Gadjah Mada University of Yogyakarta
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pembinaan Badan Peradilan dilakukan sejak Pemerintahan Hindia

Belanda, dilanjutkan pada permulaan kemerdekaan dan berkesinambungan

berlangsung sampai kini melewati pemerintahan beberapa kali kurun waktu

pergantian Presiden Republik Indonesia. Dengan berkembangnya tugas-tugas

Kelembagaan Negara/Kementerian dirasakan oleh masyarakat, pakar hukum,

akademisi, advokasi dan pemerintah adanya masalah-masalah kekurang

pengertian atas pelayanan Lembaga Negara/ Kementerian khususnya terhadap

badan-badan peradilan. Dirasakan adanya suatu hambatan kemajuan dibidang

pelayanan terhadap badan peradilan, sehingga timbul gagasan bahwa sebaiknya

mengenai semua persoalan yang menyangkut peradilan ditangani langsung oleh

Mahkamah Agung sebagai satu kesatuan.1

Diawali dengan Munas IKAHI (Ikatan Hakim Indonesia) ke IV di Jakarta

pada Bulan November dan dilanjutkan Munas IKAHI ke V di Yogyakarta tanggal

18 sampai dengan tanggal 20 Oktober 1968 yang menuntun agar diakhirinya

dualisme dalam bidang kekuasaan kehakiman antara Departemen Kehakiman dan

Mahkamah Agung. Setelah melaksanakan berbagai seminar dan uji kelayakan

1
Pedoman Bangunan Gedung Kantor dan Rumah Jabatan Badan Peradilan Dibawah Mahkamah
Agung RI. 2006. hlm. 1
2

maka wacana tentang sistem peradilan satu atap dibawah Mahkamah Agung

mendapat respon yang cukup baik dari berbagai kalangan.

Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-

Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 1999 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

3879) akhirnya pemerintah menyetujui Kekuasaan Kehakiman berada di

Mahkamah Agung RI yang kemudian dilaksanakan secara tegas dengan

diterbitkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan

Kehakiman. Keberadaan Undang-Undang dimaksud menjadi penting dan strategis

karena merupakan kerangka umum yang mengandung dasar-dasar fundamental

dan asas-asas umum peradilan yang akan menjadi pedoman dalam menyusun dan

membentuk Badan Peradilan Umum, Badan Peradilan Agama, Badan Peradilan

Tata Usaha Negara dan Peradilan Militer.

Pimpinan Mahkamah Agung sudah menentukan bahwa pembinaan

peradilan harus dilaksanakan secara integral/menyeluruh, tertib dan teratur

berdasarkan pola-pola yang tetap dan perlu disempurnakan, dengan maksud untuk

lebih memantapkan pola-pola yang sudah ada terutama bagian yang menyangkut

wewenang Mahkamah Agung.

Tim perumus telah membuat Rancangan Pola Gedung Kantor dan Rumah

Jabatan/Mess pada 4 (empat) lingkungan peradilan untuk disampaikan kepada

Ketua Mahkamah Agung agar mendapat persetujuan. Khusus untuk pola

bangunan gedung pengadilan yang memiliki sifat bangunan ada 4 (empat)


3

tiang/pilar dimuka bangunan sebagai simbol perwujudan 4 (empat) lingkungan

peradilan sudah menjadi ketetapan yang baku.2 Pola Gedung Kantor dan Rumah

Jabatan/Mess pada 4 (empat) lingkungan peradilan dimaksudkan untuk

memberikan pedoman/ petunjuk kepada para pimpinan/pejabat pada Mahkamah

Agung dan 4 (empat) lingkungan peradilan sehingga keseragaman, pengertian,

persepsi serta langkah dalam upaya membangun, merenovasi, gedung kantor

pengadilan, rumah jabatan/mess pada 4 (empat) lingkungan peradilan.

Berdasarkan hal tersebut, gedung Kantor Pengadilan Tinggi Agama

Yogyakarta (selanjutnya disebut PTA Yogyakarta) ternyata masih tidak sesuai

dengan prototype gedung pengadilan yang disyaratkan Mahkamah Agung.

Ketidaksesuaian tersebut terlihat pada bentuk atap gedung, kusen pintu dan

jendela, dan bentuk pilar. Oleh sebab itu perlu diadakan rehabilitasi gedung kantor

PTA Yogyakarta agar sesuai dengan prototype dari Mahkamah Agung. Maka

pada Rencana Kerja Kementerian/Lembaga (RKKL) Mahkamah Agung RI tahun

2012 PTA Yogyakarta memasukkan Rehabilitasi Gedung Kantor PTA

Yogyakarta sebagai salah satu rencana dan program kerja tahunannya.

Setelah mendapat persetujuan dari Mahkamah Agung melalui Badan

Urusan Adminitrasi cq Biro Perencanaan dan Organisasi maka pada Daftar Isian

Pengelolaan Anggaran (DIPA) PTA Yogyakarta tahun 2012 No. 0164/005-01-2-

01/14/2012 tanggal 9 Desember 2011 untuk dicantumkan Rehabilitasi Gedung

Kantor PTA Yogyakarta sebagai salah satu program kerja tahunannya.

2
Ibid. hlm. 2
4

Menindaklanjuti hal tersebut Kuasa Pengguna Anggaran PTA Yogyakarta

mengumumkan Rencana Umum Pengadaan Barang/Jasa dilingkungan Kantor

PTA Yogyakarta dengan paket pekerjaan berupa Rehabilitasi Bangunan Gedung

Sesuai Prototype Gedung Kantor PTA Yogyakarta dengan nilai kontrak sebesar

Rp 848.487.000,- (delapan ratus empat puluh delapan juta empat ratus delapan

puluh tujuh ribu rupiah). Setelah melalui lelang terbuka di LPSE maka

diumumkan bahwa pemenang lelang Rehabilitasi Bangunan Gedung Sesuai

Prototype Gedung Kantor PTA Yogyakarta adalah CV. Tri Jaya berdasarkan atas

surat Pejabat Pembuat Komitmen PTA Yogyakarta nomor : W.12-A/

0776/PL.01/V/2012 tanggal 24 Mei 2012 dengan jangka waktu pekerjaan 150

(seratus lima puluh) hari kalender.

Setelah berjalan dan sesuai dengan berita acara serah terima pekerjaan

nomor : 01/BASTP-TJ/XII/2012 tanggal 10 Desember 2012 pihak pemborong

dalam hal ini CV. Trijaya menyerahkan hasil pekerjaan Rehabilitasi Bangunan

Gedung sesuai Prototype Gedung Kantor Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta

kepada Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan. Sesuai dengan pasal 31 kontrak

pekerjaan konstruksi dengan ditandatanganinya berita acara serah terima

pekerjaan tersebut maka pekerjaan konstruksi rehabilitasi gedung kantor

Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta dinyatakan selesai 100% dengan catatan

yaitu penyedia wajib memelihara hasil pekerjaan selama masa pemeliharaan

sehingga kondisi tetap seperti saat penyerahan pertama pekerjaan.3 Dalam Pasal

31 terutama pada angka 8 menyebutkan berakhirnya kontrak antara Pejabat

3
Lampiran 2 SSUK Surat perjanjian paket pekerjaan rehabilitasi bangunan sesuai prototype
gedung kantor PTA Yogyakarta B3 angka 31.6.
5

Pembuat Komitmen dengan penyedia barang jasa adalah setelah penyedia

menyelesaikan semua kewajibannya selama masa pemeliharaan. Kewajiban-

kewajiban pemborong pada masa pemeliharaan ini timbul dikarenakan pada masa

pelaksanaan pekerjaan banyak kekurang sempurnaan pekerjaan dan kerusakan

yang ditimbulkan akibat pekerjaan pemborong.

Masa pemeliharaan bangunan oleh pihak pemborong adalah 180 (seratus

delapan puluh) hari, sesuai dengan ringkasan kontrak. Pada masa pemeliharaan

inilah penyedia melaksanakan wanprestasi atau tidak berprestasi dengan

menunda-nunda pekerjaan yang berupa kerusakan akibat pekerjaan pada masa

pelaksanaan. Akhirnya PPK memberikan 3 kali surat teguran kepada pihak

penyedia namun pihak penyedia atau pemborong tidak mampu memenuhi target

pekerjaan sesuai waktu dan menyatakan tidak sanggup lagi melaksanakan

kewajibannya selama masa pemeliharaan. Berdasarkan peraturan Kepala

Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 6 tahun 2012 Bab

II huruf A.m tentang pemutusan kontrak dan Lampiran Syarat-Syarat Umum

Kontrak Rehabilitasi Gedung Kantor Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta

Angka B.3 tentang penyelesaian kontrak PPK menyatakan bahwa pihak penyedia

dalam hal ini CV Trijaya dinyatakan wanprestasi dengan surat pernyataan Nomor:

W12-A/0682.a/OT.01.1/V/2013 tanggal 13 Mei 2013. Pernyataan wanprestasi

oleh PPK terhadap pemborong ini secara langsung telah mengakibatkan putusnya

kontrak antara PPK dan pihak penyedia.


6

Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis tertarik untuk meneliti

lebih dalam tentang penyelesaian wanprestasi dalam pengadaan Barang/Jasa

Pemerintah terutama pada pemborongan pekerjaan konstruksi serta menulisnya

dalam bentuk tesis dengan judul “PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM

PERJANJIAN PEMBORONGAN PEKERJAAN KONSTRUKSI (STUDI

KASUS PEKERJAAN KONSTRUKSI REHABILITASI BANGUNAN

GEDUNG KANTOR PENGADILAN TINGGI AGAMA YOGYAKARTA)”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan

permasalahan sebagai berikut :

1. Bentuk wanprestasi apakah yang terjadi pada perjanjian pekerjaan

konstruksi pada Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta?

2. Bagaimana penyelesaian wanprestasi dalam perjanjian pekerjaan

konstruksi pada Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta?

C. Keaslian Penelitian

Penelitian ini merupakan hasil karya penulis, bukan merupakan duplikat

atau pun plagiasi dari hasil penelitian orang lain. Sampai sejauh penelusuran yang

dilakukan di perpustakaan Fakultas Hukum Gadjah Mada, perpustakaan pusat

Universitas Gadjah Mada dan sumber-sumber lainnya ditemukan tesis yang terkait

mengenai wanprestasi dalam perjanjian pemborongan konstruksi bangunan

diantaranya :
7

1. Rahmiwati, 4 program studi magister kenoktariatan, Fakultas Hukum,

Universitas Gadjah Mada tahun 2013, menulis tentang “Pelaksanaan

Sub Kontrak Perjanjian antara PT Waskita Karya dengan CV.

Surontani Pembayun Sakti Pada Proyek Pembangunan Basko Green

City Pekanbaru”. Penelitian ini menitik beratkan tentang bentuk

wanprestasi dan penyelesaiannya dalam pekerjaan pemborongan yang

disubkontrakkan.

2. Farida Ratna Dewi,5 Program Studi Magister Kenoktariatan, Fakultas

Hukum, Universitas Gadjah Mada tahun 2013, menulis tentang,

“Pelaksanaan Perjanjian pengadaan barang di lingkungan

Pemerintah Kabupaten Klaten”. Penelitian ini menitik beratkan

tentang pelaksanaan perjanjian pengadaan barang/jasa dan tanggung

jawab PPK dalam hal penyedia barang melakukan wanprestasi.

3. Ruri Damayanti Putri Dewi, 6 Magister Kenotariatan, Universitas

Diponegoro tahun 2008, menulis tentang, ”Pelaksanaan Perjanjian

Pekerjaan Pemborongan Antara CV. Subur Jaya Dengan STSI

Surakarta Dalam Rangka Pelaksanaan Pembangunan Sarana dan

Prasarana Gedung STSI Surakarta”. Penelitian ini menitikberatkan

4
Rahmiwati, 2013, “Pelaksanaan Sub Kontrak Perjanjian antara PT Waskita Karya dengan CV.
Surontani Pembayun Sakti Pada Proyek Pembangunan Basko Green City Pekanbaru”.Unversitas
Gadjah Mada, Yogyakarta
5
Farida Ratna Dewi, 2013, “Pelaksanaan Perjanjian pengadaan barang di lingkungan pemerintah
Kabupaten Klaten”, Unversitas Gadjah Mada, Yogyakarta
6
Ruri Damayanti Putri Dewi, 2008, ”Pelaksanaan Perjanjian Pekerjaan Pemborongan Antara
CV. Subur Jaya Dengan STSI Surakarta Dalam Rangka Pelaksanaan Pembangunan Sarana dan
Prasarana Gedung STSI Surakarta” Universitas Diponegoro, Semarang
8

tentang penyelesaian wanprestasi dan faktor-faktor yang menyebabkan

terjadinya wanprestasi.

D. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah :

1. Teoritis

Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pengembangan

penerapan ilmu pengetahuan hukum, khususnya di bidang hukum

perjanjian.

2. Praktis

Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi masukan atau

pertimbangan sekaligus memberikan sumbangan pemikiran bagi para

pihak yang terkait dalam penyusunan perjanjian kerjasama khususnya

perjanjian pemborongan.

E. Tujuan Penelitian

Mengacu kepada permasalahan yang telah diuraikan diatas, maka tujuan

penelitian ini adalah :

1. Tujuan Obyektif

Untuk mengetahui bentuk wanprestasi dan penyelesaian

wanprestasi dalam perjanjian pemborongan pekerjaan konstruksi

rehabilitasi gedung kantor Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta.

2. Tujuan Subyektif
9

Untuk memperoleh data yang diperlukan guna penyusunan tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Hukum pada

Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.


10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian

Sebelum melihat apa yang dimaksud dengan perjanjian, ada baiknya

mengetahui terlebih dahulu tentang perikatan dan hubungannya dengan perjanjian.

Menurut Subekti, perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang

atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal

dari pihak yang lain dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan

itu. Pihak yang berhak menuntut sesuatu, dinamakan kreditur atau si berpiutang

sedangkan pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan dinamakan debitur atau si

berhutang.7

Suatu perjanjian, merupakan suatu peristiwa di mana seseorang berjanji

dengan orang lain, atau di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan

sesuatu hal. Dari peristiwa ini timbullah hubungan antara dua orang tersebut yang

dinamakan perikatan. Dengan demikian, hubungan antara perikatan dan perjanjian

adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian merupakan bagian

dari perikatan, jadi perjanjian melahirkan perikatan. Perjanjian merupakan sumber

terpenting yang melahirkan perikatan walaupun ada sumber-sumber lain yang

melahirkan perikatan yang tercakup dengan nama undang-undang. Jadi ada

perikatan yang lahir dari perjanjian dan ada perikatan yang lahir dari undang-

undang. Kontrak sesuai KUH Perdata lebih diartikan sebagai perjanjian obligatoir

7
Subekti, 1998, Hukum Perjanjian, PT Intermasa, Jakarta, hlm. 1
11

yaitu perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban diantara para pihak.

Menurut Subekti, kontrak lebih sempit maknanya karena ditujukan kepada

perjanjian yang tertulis.

1. Pengertian dan Tempat Pengaturan Perjanjian

Buku III KUH Perdata Indonesia mengatur tentang perikatan,

terdiri dari dua bagian yaitu peraturan-peraturan umum yang berlaku

bagi segala macam perjanjian dari Bab I sampai dengan Bab IV dan

tentang berbagai perjanjian khusus dari Bab V sampai dengan Bab

XVIII. Pengertian perjanjian sendiri terdapat pada Bab II Bagian ke

satu Pasal 1313 KUH Perdata yang berbunyi : “Perjanjian adalah suatu

perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya

terhadap satu orang lain atau lebih”.

Terhadap pasal tersebut, terdapat beberapa tanggapan dari para

ahli hukum, antara lain Mariam Darus Badrulzaman, mengungkapkan

bahwa : ”Para sarjana hukum perdata pada umumnya berpendapat

bahwa pengertian perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan Pasal

1313 KUHPerdata adalah tidak lengkap dan terlalu luas. Tidak lengkap

karena dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja.

Pengertian ini dikatakan terlalu luas karena mencakup perbuatan di

dalam lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin, yang merupakan

perjanjian juga, tetapi sifatnya berbeda dengan perjanjian yang diatur


12

dalam KUHPerdata Buku III kriterianya dapat dinilai secara materiil

dengan kata lain dinilai dengan uang.8

Pasal 1313 KUH Perdata tersebut juga hanya menunjuk kepada

perjanjian yang dilakukan secara sepihak saja dimana hal tersebut tidak

sesuai dengan semangat yang terkandung dari pelaksanaan dari suatu

perjanjian yang menekankan adanya kesepakatan yang terjadi antara

pihak yang terkait dengan perjanjian tersebut.

Istilah perjanjian berasal dari kata overeenkomst dalam bahasa

Belanda. Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa overeenkomst

sebagai perjanjian dan mengatakan bahwa untuk adanya perjanjian,

harus ada kata sepakat dari dua pihak dengan kata lain persetujuan.9

R. Setiawan menerjemahkan kata overeenkomst sebagai

persetujuan. Menurut beliau, istilah persetujuan lebih tepat, sebab jika

dilihat dari asal katanya, maka persetujuan lebih mencerminkan asas

kata sepakat.10

Subekti memberikan pengertian perjanjian adalah suatu

peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua

orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.11

Dari beberapa rumusan tentang perjanjian di atas dapat

disimpulkan bahwa pokok-pokok perjanjian adalah12 :

8
Mariam Darus Badrulzaman, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung,
hlm.65
9
Sudikno Mertokusumo, 2007, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, hlm. 110-
111
10
R. Setiawan, 1999, Pokok-pokok Hukum Perikatan,Putra Aabardin, Bandung, hlm. 2
11
Subekti, loc. cit.
13

1. Ada para pihak.

2. Ada persetujuan antara pihak-pihak tersebut.

3. Ada tujuan yang akan dicapai.

4. Ada prestasi yang akan dilaksanakan.

5. Ada bentuk tertentu, baik lisan maupun tulisan.

6. Adanya syarat-syarat tertentu.

2. Asas-Asas Hukum Perjanjian

Pengertian asas hukum menurut Sudikno adalah suatu pemikiran

dasar yang bersifat umum yang melatarbelakangi pembentukan hukum

positif. Dengan demikian asas hukum tersebut pada umumnya tidak

tertuang dalam di dalam peraturan yang konkret akan tetapi hanyalah

merupakan suatu hal yang menjiwai atau melatarbelakangi

pembentukannya.13

Hukum perjanjian memiliki beberapa asas hukum yang

digunakan sebagai dasar bagi pihak-pihak dalam mencapai tujuan. Asas

hukum yang berkaitan erat dengan dalam perjanjian adalah :

1) Asas Konsensualisme

Asas konsensulisme berasal dari kata consensus yang

artinya sepakat. Berdasarkan asas ini perjanjian lahir sejak adanya

kata sepakat. Pasal 1320 KUH Perdata dikatakan bahwa sahnya

perjanjian adalah adanya kata sepakat. Pada detik tercapainya

kesepakatan, lahirlah suatu perjanjian. Jadi menurut asas

12
Abdul Kadir Muhammad, 1990, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 80
13
Sudikno Mertokusumo, op.cit.,hlm. 34
14

konsensualisme, perjanjian itu sudah ada dan sah mengikat apabila

sudah tercapai kesepakatan mengenai hal-hal pokok dalam

perjanjian atau juga disebut esensial perjanjian, tanpa diperlukan

lagi adanya suatu formalitas, kecuali ditetapkan lain berdasarkan

undang-undang seperti, perjanjian formil dan riil.

2) Asas Kebebasan Berkontrak

Maksudnya adalah setiap orang bebas mengadakan suatu

perjanjian berupa apa saja, baik bentuknya, isinya dan pada siapa

perjanjian itu ditujukan. Asas ini dapat disimpulkan dari Pasal 1338

ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi: “Semua perjanjian yang

dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang

membuatnya”.

Tujuan dari pasal tersebut adalah bahwa suatu perjanjian

dapat dibuat secara bebas untuk membuat atau tidak membuat

perjanjian, bebas mengadakan perjanjian dengan siapapun, bebas

menentukan bentuknya maupun syarat-syarat dan pilihan

hukumnya.

Kebebasan berkontrak dari para pihak untuk membuat

perjanjian meliputi perjanjian yang telah diatur oleh undang-

undang dan perjanjian-perjanjian baru atau campuran yang belum

diatur dalam undang-undang. Asas ini merupakan asas yang paling

penting dalam hukum perjanjian karena dari asas inilah tampak

adanya pernyataan dan ungkapan hak asasi manusia dalam


15

mengadakan perjanjian sekaligus membuka peluang bagi

perkembangan hukum perjanjian. Meskipun demikian asas ini juga

dibatasi oleh undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.

3) Asas Kekuatan Mengikat (Pacta Sunt Servanda)

Asas ini berhubungan dengan akibat suatu perjanjian seperti

tertuang dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi

“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai

undang-undang bagi mereka yang membuat”. Jadi para pihak

harus mentaati perjanjian seperti halnya mentaati undang-undang.

Para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian tidak dapat

menarik diri tanpa persetujuan pihak lain. Bahkan pihak ketiga pun

(termasuk hakim) harus menghormati perjanjian yang telah dibuat

oleh para pihak.

4) Asas Kepribadian

Asas ini berhubungan dengan subyek yang terkait dalam

suatu perjanjian. Pada umumnya tidak seorangpun dapat

mengadakan perjanjian kecuali untuk dirinya sendiri. Sesuai

dengan pasal 1340 KUH Perdata yang berbunyi: “Suatu perjanjian

hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya.”

Pengecualian dari asas ini adalah adanya janji untuk kepentingan

pihak ketiga yang dinyatakan dengan tegas di dalam perjanjian

(Pasal 1317 KUH Perdata).


16

5) Asas Iktikad Baik

Asas itikad baik ini berkaitan dengan pelaksanaan

perjanjian. Pasal 1338 ayat (3) menyatakan bahwa perjanjian harus

dilaksanakan dengan itikad baik. Itikad baik dalam pengertian yang

subyektif dapat diartikan sebagai kejujuran seseorang dalam

melakukan suatu perbuatan hukum, yaitu sikap batin seseorang

pada waktu diadakan perbuatan hukum. Itikad baik dalam

pengertian obyektif adalah bahwa pelaksanaan suatu perjanjian

hukum harus didasarkan pada norma kepatutan dalam masyarakat.

3. Syarat Sahnya Suatu Perjanjian

Syarat sahnya suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUH

Perdata, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

Kesepakatan terjadi apabila para pihak saling

berkomunikasi dan menawarkan sesuatu yang kemudian

tawaran tersebut diterima oleh pihak yang laiannya.

Artinya, tawar-menawar merupakan proses awal yang

terjadi sebelum terwujudnya kata sepakat di antara para

pihak yang mengadakan perjanjian. Komunikasi yang

mendahului itu bertujuan untuk mencari titik temu agar

tercapai kata sepakat.


17

Dengan sepakat yang dimaksud, para pihak yang

mengadakan perjanjian itu harus bersepakat atau setuju

mengenai hal-hal pokok dari perjanjian yang diadakan itu.

Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga

dikehendaki oleh pihak yang lainnya. Mereka menghendaki

sesuatu yang sama secara timbal balik.

Syarat kesepakatan mereka yang mengikatkan

dirinya dalam KUH Perdata dicantumkan beberapa hal yang

merupakan faktor yang dapat menimbulkan cacat pada

kesepakatan tersebut. Menurut Pasal 1322 KUH Perdata :

“Tidak ada kata yang sah apabila sepakat itu diberikan

karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau

penipuan”.

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

Orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap

menurut hukum. Pada dasarnya setiap orang yang sudah

dewasa dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum

(Pasal 1329 KUH Perdata). Dalam Pasal 1330 KUH Perdata

disebut sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk

membuat suatu perjanjian :

1) Orang yang belum dewasa;

2) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;


18

3) Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan

oleh undang-undang dan semua orang kepada

siapa undang-undang telah melarang membuat

perjanjian-perjanjian tertentu.

Ada beberapa aturan hukum yang mengatur tentang

batas usia dewasa di Indonesia antara lain yaitu :

1. KUH Perdata Pasal 330 yang menyatakan bahwa

usia dewasa adalah usia 21 tahun atau sudah

menikah.

2. UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pada

pasal 47 ayat (1) menyatakan bahwa usia dewasa

adalah usia 18 atau sudah menikah.

3. UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa anak adalah

seseorang yang belum berusia 18 tahun.

Akibat hukum dari ketidakcakapan ini adalah

perjanjian yang telah dibuat dapat dimintakan

pembatalannya kepada hakim.

3. Suatu hal tertentu

Sebagai syarat ketiga disebutkan bahwa suatu

perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu, artinya apa

yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah


19

pihak jika timbul perselisihan. Barang yang dimaksudkan

dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya.

Bagaimana halnya apabila barang yang dijadikan

objek perjanjian itu jumlahnya belum tentu, misal hasil

panen padi suatu sawah di musim panen pada tahun

mendatang. Menurut undang-undang hal tersebut tidak

menjadi halangan, asalkan jumlah barang itu kemudian

ditentukan atau dihitung.Bahkan hasil panen ini pun

merupakan barang yang baru akan ada kemudian namun

dapat dijadikan objek perjanjian dan itu adalah sah. Tentu

saja dalam hal ini sawah yang dimaksud sekurang-

kurangnya sudah ditentukan luas dan letaknya serta saat

panennya tiba.14

Pembentuk undang-undang mempunyai pandangan,

bahwa perjanjian-perjanjian mungkin juga diadakan tanpa

sebab atau sebab terlarang yaitu sebab yang dilarang oleh

undang-undang atau berlawanan dengan kesusilaan dan

ketertiban umum (Pasal 1337 KUH Perdata).

4. Suatu sebab yang halal

Pasal 1320 KUH Perdata menetapkan syarat

keempat untuk suatu perjanjian yang sah adanya suatu

sebab yang halal. Sebab itu adalah sesuatu yang

14
I.G. Ray Widjaya, 2008, Merancang Suatu Kontrak, Megapoin, Jakarta, hlm . 49
20

menyebabkan seseorang membuat perjanjian. Jadi yang

dimaksud dengan sebab atau causa dari suatu perjanjian

adalah isi perjanjian itu sendiri. Isi suatu perjanjian harus

memuat suatu causa yang diperbolehkan atau halal. Causa

yang diperbolehkan di sini dimaksudkan selain yang

diperbolehkan berdasarkan undang-undang juga tidak boleh

bertentangan dengan ketertiban umum dan atau kesusilaan.

Menurut Pasal 1335 KUH Perdata yaitu suatu perjanjian

tanpa sebab atau telah dibuat karena sesuatu hal yang palsu

atau terlarang tidak mempunyai kekuatan hukum.

Syarat pertama dan kedua dinamakan syarat

subyektif, karena kedua syarat tersebut mengenai subyek

perjanjian. Syarat subyektif mencakup adanya unsur

kesepakatan secara bebas dari para pihak yang berjanji, dan

kecakapan dari para pihak yang mengadakan perjanjian.

Jika syarat subyektif tidak dipenuhi, akibatnya perjanjian

tersebut dapat dibatalkan. Syarat ketiga dan keempat

dinamakan syarat obyektif, karena kedua syarat tersebut

mengenai obyek perjanjian. Syarat obyektif meliputi

keberadaan dari pokok persoalan yang merupakan obyek

yang diperjanjikan, dan causa dari obyek yang berupa

prestasi yang disepakati untuk dilaksanakan tersebut

haruslah sesuatu yang tidak dilarang atau diperkenankan


21

oleh hukum. Jika syarat obyektif ini tidak dipenuhi,

akibatnya adalah perjanjian tersebut batal demi hukum.

4. Prestasi dan Wanprestasi

1. Prestasi

Prestasi atau yang dalam Bahasa Inggris disebut dengan istilah

”performance” dalam hukum kontrak dimaksudkan sebagai sebuah

pelaksanaan hal-hal yang tertulis dalam suatu kontrak oleh pihak yang

mengikatkan diri untuk itu, pelaksanaan mana sesuai dengan “term” dan

“condition” sebagaiaman disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan.

Adapun yang merupakan bentuk dari prestasi adalah seperti yang

disebutkan dalam Pasal 1234 KUH Perdata, yaitu :

1. Memberikan sesuatu;

2. Berbuat sesuatu;

3. Tidak berbuat sesuatu.

Pasal 1235 KUH Perdata menyebutkan: “Dalam tiap-tiap

perikatan untuk memberikan sesuatu termaktub kewajiban si berutang

untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk

merawatnya sebagai seorang bapak rumah yang baik, sampai pada saat

penyerahan”.

Dari pasal tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa dalam

suatu perikatan, pengertian “memberi sesuatu” mencakup pula


22

kewajiban untuk menyerahkan barangnya dan untuk memeliharanya

hingga waktu penyerahannya.

Istilah “memberikan sesuatu” sebagaimana disebutkan di dalam

Pasal 1235 KUH Perdata tersebut dapat mempunyai dua pengertian,

yaitu :

1. Penyerahan kekuasaan belaka atas barang yang menjadi

obyek perjanjian.

2. Penyerahan hak milik atas barang yang menjadi obyek

perjanjian, yang dinamakan penyerahan yuridis.

Wujud prestasi yang lainnya adalah berbuat sesuatu dan tidak

berbuat sesuatu. Berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan yang

telah ditetapkan dalam perjanjian. Sedangkan tidak berbuat sesuatu

adalah tidak melakukan sesuatu perbuatan sebagaimana juga yang telah

ditetapkan dalam perjanjian, manakala para pihak telah menunaikan

prestasinya maka perjanjian tersebut akan berjalan sebagaimana

mestinya tanpa menimbulkan persoalan. Kadangkala ditemui bahwa

debitur tidak bersedia melakukan atau menolak memenuhi prestasi

sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian.

2. Wanprestasi

Secara sederhana wanprestasi adalah tidak melakukan prestasi,

atau melakukan prestasi tetapi tidak dilaksanakan tepat waktu, dan tidak

sesuai dengan seharusnya. Menurut Subekti wanprestasi adalah


23

kelalaian, kealpaan, cidera janji, tidak menepati kewajibannya dalam

perjanjian.15

Tindakan wanprestasi membawa konsekuensi terhadap

timbulnya hak pihak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang

melakukan wanprestasi memberikan ganti rugi, sehingga oleh hukum

diharapkan agar tidak ada satu pihakpun dirugikan karena wanprestasi

tersebut. Tindakan wanprestasi dapat terjadi karena :

1. Kesengajaan;

2. Kelalaian;

3. Tanpa kesalahan (tanpa kesengajaan atau kelalaian)

Subekti menyatakan bahwa seorang yang dapat dikatakan

telah melakukan wanprestasi apabila :

1. Debitur tidak melakukan apa yang disanggupi akan

dilakukan.

2. Debitur melaksankan apa yang dijanjikan tetapi tidak

sebagaimana yang dijanjikan.

3. Debitur melakukan apa yang dijanjikan tetapi

terlambat/tidak tepat waktu.

4. Debitur melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak

boleh dilakukan.16

Debitur yang dikatakan wanprestasi harus memenuhi dua

syarat :

15
R. Subekti., Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 2008, hlm. 110
16
R. Subekti, op. cit., hlm.43
24

1. Syarat materiil

Adanya kesalahan (sengaja dan lalai) yang

dilakukan oleh debitur. Sengaja : perbuatan yang dilakukan

memang diketahui dan dikehendaki. Lalai : yang diketahui

hanya perbuatan itu mungkin menimbulkan kerugian bagi

orang lain. Untuk adanya kesalahan harus dipenuhi dua

syarat, yaitu: perbuatan tersebut harus dapat dihindarkan

dan perbuatan tersebut harus dapat dipersalahkan kepada si

pelaku.

2. Syarat formil

Adanya teguran atau penetapan lalai atau somasi

dari kreditur kepada debitur. Teguran atau yang disebut

“sommatie” pemberitahuan yang dilakukan oleh kreditur

kepada debitur, bahwa perikatan itu harus ditepati sesuai

dengan apa yang tercantum dalam pemberitahuan tersebut.

Menurut Pasal 1238 KUH Perdata yang menyatakan bahwa:

“Si berhutang adalah lalai, apabila ia dengan surat


perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah
dinyatakan lalai, atau demi perikatan sendiri, ialah jika ini
menetapkan bahwa si berhutang harus dianggap lalai
dengan lewatnya waktu yang ditentukan”.

Dari Pasal 1238 KUH Perdata tersebut menunjukkan

bahwa ada tiga bentuk somasi, yaitu :

1. Surat perintah;
25

Surat perintah tersebut berasal dari hakim

yang biasanya berbentuk penetapan. Dengan

penetapan ini juru sita memberitahukan secara lisan

kepada debitur kapan selambat-lambatnya dia harus

berprestasi.

2. Akta sejenis;

Perkataan akta sejenis sebenarnya oleh

undang-undang dimasudkan suatu peringatan tertulis.

3. Tersimpul dalam perikatan itu sendiri.

Maksudnya sejak pembuatan perjanjian,

kreditur sudah menentukan saat adanya

wanprestasi.17

Dalam hal tertentu somasi tidak diperlukan, yaitu dalam hal :

1. Adanya ketentuan batas waktu dalam perjanjian

(fataal termijn);

2. Prestasi dalam perjanjian berupa tidak berbuat

sesuatu, karena seseorang dikatakan wanprestasi

apabila melakukan sesuatu yang tidak diperbolehkan;

3. Debitur mengakui dirinya wanprestasi.

Pada umumnya suatu wanprestasi baru terjadi jika debitur

dinyatakan telah lalai untuk memenuhi prestasinya atau dengan kata

lain, wanprestasi ada kalau debitur itu tidak dapat membuktikan

17
Subekti, op. cit., hlm 46
26

bahwa ia telah melakukan wanprestasi di luar kesalahannya. Surat

somasi inilah yang digunakan sebagai alat bukti bahwa debitur telah

wanprestasi.

Debitur yang dituduh lalai dan dimintakan supaya kepadanya

diberikan hukuman atas kelalainnya dapat membela diri dengan

mengajukan beberapa macam alasan untuk membebaskan dirinya

dari hukuman-hukuman itu. Pembelaan tersebut ada tiga macam,

yaitu :

1. Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa (overmacht

atau force majeur);

Dengan mengajukan pembelaan ini, debitur

berusaha menunjukkan bahwa tidak terlaksananya apa yang

diperjanjikan itu disebabkan oleh hal-hal yang sama sekali

tidak terduga dan dimana ia tidak dapat berbuat apa-apa

terhadap keadaan atau peristiwa yang timbul di luar dugaan

tadi. Dalam KUH Perdata soal keadaan memaksa diatur

dalam Pasal 1244 dan 1245. Dua pasal tersebut terdapat

dalam bagian yang mengatur tentang ganti rugi. Dasar

pemikirannya adalah: keadaan memaksa adalah suatu alasan

untuk dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi.

Pasal 1244 berbunyi : “Jika ada alasan untuk itu, si


berhutang harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga,
bila ia tidak dapat membuktikan, bahwa hal
dilaksanakannya perjanjian itu disebabkan karena suatu
hal yang tak terduga, pun tidak dapat
27

dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika


itikad buruk tidak ada pada pihaknya”.

Pasal 1245 berbunyi : “Tidaklah biaya, rugi dan


bunga harus digantinya, apabila kareana keadaan
memaksa atau karena suatu kejadian yang tak disengaja, si
berhutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu
yang diwajibkan, atau karena hal-hal yang sama telah
melakukan perbuatan yang terlarang”.

Dari pasal-pasal tersebut di atas dapat dilihat bahwa

keadaan memaksa itu adalah suatu kejadian yang tak

terduga, tak disengaja dan tak dapat dipertanggungjawabkan

kepada debitur serta memaksa dalam arti debitur terpaksa

tidak dapat menepati janjinya.

2. Mengajukan bahwa si berpiutang sendiri juga telah lalai

(exceptio non adimpleti contractus);

Dengan pembelaan ini si debitur yang dituduh lalai

dan dituntut membayar ganti rugi itu mengajukan di depan

hakim bahwa kreditur sendiri juga tidak menepati janjinya.

3. Mengajukan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk

menuntut ganti rugi (pelepasan hak : rechtsverwerking).

Alasan ketiga yang dapat membebaskan debitur

yang dituduh lalai dari kewajiban mengganti kerugian dan

memberikan alasan untuk menolak pembatalan perjanjian

adalah pelepasan hak atau rechtsverwerking. Dengan ini

dimaksudkan suatu sikap pihak kreditur dari mana pihak


28

debitur boleh menyimpulkan bahwa kreditur sudah tidak

akan menuntut ganti rugi.18

Akibat wanprestasi yang dilakukan debitur, dapat

menimbulkan kerugian bagi kreditur maka debitur akan menerima

sanksi atau akibat-akibat hukum, yaitu :

1. Debitur diharuskan membayar ganti kerugian yang diderita

oleh kreditur (Pasal 1243 KUH Perdata).

2. Pembatalan perjanjian disertai dengan pembayaran kerugian

(Pasal 1267 KUH Perdata).

3. Peralihan resiko kepada debitur sejak saat terjadinya

wanprestasi (Pasal 1237 ayat 2 KUH Perdata).

4. Pembayaran biaya perkara apabila diperkarakan dimuka

hakim (Pasal 181 ayat 1 HIR).19

5. Berakhirnya Perjanjian

Suatu perjanjian baru akan berakhir apabila segala perikatan yang

timbul dari perjanjian tersebut telah hapus seluruhnya.Berakhirnya

perikatan tidak dengan sendirinya mengakibatkan berakhirnya perjanjian,

sedangkan berakhirnya perjanjian dengan sendirinya mengakibatkan

berakhirnya perikatan. Dengan berakhirnya suatu perjanjian

makaperikatan-perikatan yang terdapat di dalam perjanjian tersebut secara

otomatis menjadi hapus.

18
Subekti, op.cit., hlm. 58
19
PNH Simanjuntak, 1999, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, Djambata, Jakarta, hlm 340.
29

Untuk hapusnya perikatan, diatur dalam KUH Perdata Pasal 1381,

yaitu :

a. Pembayaran;

Pembayaran adalah pemenuhan perjanjian secara sukarela.

Pihak pembeli membayar uang harga pembelian, tetapi juga

pihak penjual pun dikatakan membayar dengan menyerahkan

barang yang dijualnya.

b. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau

penitipan;

Ini adalah suatu cara pembayaran yang dilakukan melalui

notaris atau juru sita pengadilan. Apabila si berpiutang menolak

pembayaran maka pembayaran tersebut dapat disimpan oleh

pengadilan.

c. Pembaharuan utang;

Pembaharuan utang atau novasi berdasarkan Pasal 1413 KUH

Perdata ada tiga macam : membuat suatu perikatan utang baru,

mengganti debitur baru, mengganti kreditur baru.

d. Perjumpaan utang atau kompensasi;

Ini adalah suatu cara penghapusan utang dengan jalan

memperjumpakan atau memperhitungkan utang piutang secara

timbal balik antara kreditur dan debitur.

e. Pencampuran utang;
30

Apabila kedudukan sebagai orang berpiutang dan orang

berutang berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi

hukum suatu percampuran utang dengan mana utang-piutang itu

dihapuskan.

f. Pembebasan utang;

Apabila si berpiutang dengan tegas menyatakan bahwa tidak

menghendaki lagi prestasi dari si berhutang maka perikatanpun

hapus.

g. Musnahnya barang yang terutang;

Jika barang tertentu yang menjadi obyek perjanjian musnah, tak

dapat lagi diperdagangkan atau hilang sama sekali maka

hapuslah perikatannya.

h. Batal/ pembatalan;

Kalau perjanjian dinyatakan batal demi hukum maka tidak ada

perikatan hukum diantaranya.

i. Berlakunya suatu syarat batal;

Syarat batal adalah suatu syarat yang apabila terpenuhi,

menghentikan perjanjian dan mengembalikan segala sesuatu

kepada keadaan semula seolah-olah tidak terjadi perjanjian.

j. Lewatnya waktu

Menurut Pasal 1946 KUH Perdata yang dinamakan lewat waktu

adalah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk

dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu


31

tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-

undang.

Ada beberapa hal yang mengakibatkan berakhirnya perjanjian,

yaitu:

1. Ditentukan dalam perjanjian oleh para pihak.

Suatu perjanjian berakhir pada saat yang telah ditentukan

oleh para pihak dalam perjanjian.

2. Batas berlakunya suatu perjanjian ditentukan oleh undang-undang,

Misalnya dalam Pasal 1066 KUH Perdata bahwa para ahli

waris dapat mengadakan perjanjian untuk tidak melakukan

pemecahan harta selama jangka waktu tertentu, yaitu hanya

mengikat selama 5 (lima) tahun.

3. Perjanjian menjadi hapus dengan terjadinya suatu peristiwa baik

yang ditentukan oleh para pihak maupun undang-undang

Misalnya: Pasal 1603 KUH Perdata menentukan bahwa

perjanjian kerja berakhir dengan meninggalnya si buruh. Pasal 1646

KUH Perdata menentukan salah satu sebab berakhirnya suatu

persekutuan adalah dengan musnahnya barang atau diselesaikannya

perbuatan yang menjadi pokok persekutuan jika salah seorang

sekutu meninggal atau ditaruh di bawah pengampuan, atau

dinyatakan pailit.

4. Pernyataan menghentikan perjanjian baik oleh kedua belah pihak

maupun oleh salah satu pihak (Opzegging).


32

Hanya dapat dilakukan pada perjanjian yang bersifat

sementara, misalnya dalam Pasal 1603 ayat (1) ditentukan bahwa

para pihak dapat mengakhiri perjanjian kerja jika diperjanjikan

suatu waktu percobaan atau pada perjanjian sewa-menyewa.

5. Adanya putusan hakim

Misalnya dalam suatu perjanjian sewa-menyewa rumah tidak

ditentukan kapan berakhirnya, maka untuk mengakhiri perjanjian ini

dapat dilakukan dengan putusan Pengadilan Negeri.

6. Apabila tujuan perjanjian telah tercapai.

Dengan dicapainya tujuan perjanjian, maka perjanjian itu

akan berakhir. Misalnya dalam perjanjian jual beli televisi, setelah

televisi diserahkan oleh penjual dan pembeli telah membayar

harganya, maka perjanjian itupun berakhir.

7. Dengan adanya perjanjian para pihak (Heroping). 20

Pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata memberi kemungkinan

berakhirnya suatu perjanjian dengan adanya kesepakatan antara

kedua belah pihak.

20
R. Setiawan, op.cit., hlm. 69
33

B. Tinjauan Umum Mengenai Wanprestasi Dalam Perjanjian

Pemborongan Pekerjaan Konstruksi

1. Pengertian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

Sebagai pedoman pelaksanaan pengadaan barang/jasa telah

ditetapkan dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 yang terakhir

diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2011. Tujuan

ditetapkan pengaturan pengadaan barang/jasa pemerintah adalah

terwujudnya pengadaan barang/jasa pemerintah yang efisien, terbuka dan

kompetitif bagi ketersediaan barang/jasa yang terjangkau dan berkualitas,

sehingga akan berdampak pada peningkatan pelayanan publik.

Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sesuai dengan Pasal 1 angka 1

Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 yang telah dirubah dengan

Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2011 adalah kegiatan untuk

memperoleh barang/jasa oleh Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja

Perangkat Daerah/Institusi lainnya yang prosesnya dimulai dari

perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk

memperoleh barang/jasa.

Kebijakan umum pengadaan barang/jasa pemerintah bertujuan

untuk mensinergikan ketentuan pengadaan barang/jasa dengan kebijakan-

kebijakan disektor lainnya. Langkah-langkah kebijakan yang ditempuh

pemerintah dalam pengadaan barang/jasa sesuai dengan Peraturan

Presiden Nomor 54 Tahun 2010 yang telah diubah dengan Peraturan


34

Presiden Nomor 35 Tahun 2011 tentang Pengadaan Barang/Jasa

Pemerintah, meliputi :

a. Peningkatan penggunaan produksi barang/jasa dalam negeri

yang sasarannya untuk memperluas kesempatan kerja dan basis

industri dalam negeri dalam rangka meningkatkan ketahanan

ekonomi dan daya saing nasional;

b. Kemandirian industri pertahanan, industri alat utama sistem

senjata (alutsista) dan industri alat material khusus (almatsus)

dalam negeri;

c. Peningkatan peran serta usaha mikro, usaha kecil, koperasi

kecil dan kelompok masyarakat dalam pengadaan barang/jasa;

d. Perhatian terhadap aspek pemanfaatan sumber daya alam dan

pelestarian fungsi lingkungan hidup secara arif untuk menjamin

terlaksananya pembangunan berkelanjutan;

e. Peningkatan penggunaan teknologi informasi dan transaksi

elektronik;

f. Penyederhanaan ketentuan dan tata cara untuk mempercepat

proses pengambilan keputusan dalam pengadaan barang/jasa;

g. Peningkatan profesionalisme, kemandirian dan tanggung jawab

para pihak yang terlibat dalam perencanaan dan proses

pengadaan barang/jasa;

h. Peningkatan penerimaan negara melalui sektor pajak;

i. Penumbuhkembangan peran usaha nasional;


35

j. Penumbuhkembangan industri kreatif, inovatif, budaya dan

hasil penelitian laboratorium atau institusi pendidikan dalam

negeri;

k. Memanfaatkan sarana/prasarana penelitian dan pengembangan

dalam negeri;

l. Pelaksanaan pengadaan barang/jasa di dalam wilayah Negara

Kesatuan Republik Indonesia, termasuk di kantor Perwakilan

Republik Indonesia; dan

m. Pengumuman secara terbuka rencana dan pelaksanaan

pengadaan barang/jasa di masing-masing Kementerian/

Lembaga/ Satuan Kerja Pemerintah Daerah/ Institusi lainnya

kepada masyarakat luas.

Prinsip dasar pengadaan barang/jasa pemerintah sesuai dengan

Perpres Nomor 54 tahun 2010 yang telah dirubah dengan Perpres Nomor

35 Tahun 2011 Pasal 5 adalah:

a. Efisiensi, berarti pengadan barang/jasa harus diusahakan dengan

menggunakan dana dan daya yang minimum untuk mencapai kualitas

dan sasaran dalam yang ditetapkan atau menggunakan dana yang

telah ditetapkan untuk mencapai hasil dan sasaran dengan kualitas

maksimum.

b. Efektif, berarti pengadaan barang/jasa harus sesuai dengan kebutuhan

dan sasaran yang telah ditetapkan serta memberikan manfaat yang

sebesar-besarnya.
36

c. Transparan, berarti semua ketentuan dan informasi mengenai

pengadaan barang/jasa bersifat jelas dan dapat diketahui secara luas

oleh penyedia barang/jasa yang berminat serta oleh masyarakat pada

umumnya.

d. Terbuka, berarti pengadaan barang/jasa dapat diikuti oleh semua

penyedia barang/jasa yang memenuhi persyaratan/kriteria tertentu

berdasarkan ketentuan dan prosedur yang jelas.

e. Bersaing, berarti pengadaan barang/jasa harus dilakukan melalui

persaingan yang sehat di antara sebanyak mungkin penyedia

barang/jasa yang setara dan memenuhi persyaratan sehingga dapat

diperoleh barang/jasa yang ditawarkan secara kompetitif dan tidak

ada intervensi yang menggangu terciptanya mekanisme pasar dalam

pengadaan barang/jasa.

f. Adil/tidak diskriminatif, berarti memberikan perlakuan yang sama

bagi semua calon penyedia barang/jasa dan tidak mengarah untuk

memberikan keuntungan kepada pihak tertentu, dengan tetap

memperhatikan kepentingan nasional.

g. Akuntabel, berarti harus sesuai dengan aturan dan ketentuan yang

terkait dengan pengadaan barang/jasa sehingga dapat

dipertanggungjawabkan.

Proses pengadaan barang/jasa pemerintah dapat dilakukan melalui

dua cara, sesuai dengan Perpres 54 Tahun 2010 sebagaimana telah diubah

terakhir dengan Perpres 35 Tahun 2011 Pasal 3 yaitu :


37

a. Swakelola: pengadaan barang/jasa dimana pekerjaannya direncanakan,

dikerjakan dan/atau diawasi sendiri oleh K/L/D/I sebagai penanggung

jawab anggaran, instansi pemerintah lain dan/atau kelompok

masyarakat.

b. Pemilihan penyedia barang/jasa : pengadaan barang/jasa pemerintah

dengan menggunakan penyedia barang/jasa.

Para pihak dalam pengadaan barang/jasa sesuai dengan Perpres 54

Tahun 2010 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Perpres 35 Tahun

2011 Pasal 7 adalah:

a. Pengguna Anggaran (PA) adalah pejabat pemegang kewenangan

pengguna anggaran Kementerian/ Lembaga/Satuan Kerja Perangkat

Daerah (K/L/D/I) atau pejabat yang disamakan pada Institusi lain

Pengguna APBN/APBD.

b. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) adalah pejabat yang ditetapkan PA

untuk menggunakan APBN atau ditetapkan oleh Kepala Daerah untuk

menggunakan APBD.

c. Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disebut PPK adalah

pejabat yang bertanggungjawab atas pelaksanaan pengadaan

barang/jasa.

d. Unit Layanan Pengadaan yang selanjutnya disebut ULP adalah unit

organisasi pemerintah yang berfungsi melaksanakan pengadaan

barang/jasa di K/L/D/I yang bersifat permanen, dapat berdiri sendiri

atau melekat pada unit yang sudah ada.


38

e. Pejabat Pengadaan adalah personil yang memiliki Sertifikat Keahlian

Pengadaan Barang/Jasa yang melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa.

f. Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan adalah panitia/pejabat yang

ditetapkan oleh PA/KPA yang bertugas memeriksa dan menerima hasil

pekerjaan.

g. Penyedia Barang/Jasa adalah badan usaha atau orang perseorangan

yang menyediakan barang/ pekerjaan konstruksi/ jasa konsultansi/ jasa

lainnya.

Para pihak yang terkait dalam pengadaan barang/jasa harus

memenuhi etika sebagai berikut:

a. Melaksanakan tugas secara tertib, disertai tanggung jawab untuk

mencapai sasaran kelancaran dan ketepatan tercapainya tujuan

pengadaan barang/jasa;

b. Bekerja secara profesional dan mandiri, serta menjaga kerahasiaan

dokumen pengadaan barang/jasa yang menurut sifatnya harus

dirahasiakan untuk mencegah terjadinya penyimpangan dalam

pengadaan barang/jasa;

c. Tidak saling mempengaruhi baik secara langsung maupun tidak

langsung yang berakibat terjadinya persaingan tidak sehat;

d. Menerima dan bertanggung jawab atas segala keputusan yang

ditetapkan sesuai dengan kesepakatan tertulis;


39

e. Menghindari dan mencegah terjadinya pertentangan kepentingan para

pihak yang terkait baik secara langsung maupun tidak langsung dalam

proses pengadaan barang/jasa;

f. Menghindari dan mencegah terjadinya pemborosan dan kebocoran

keuangan negara dalam pengadaan barang/jasa;

g. Menghindari dan mencegah penyalahgunaan wewenang dan/atau kolusi

dengan tujuan untuk keuntungan pribadi golongan atau pihak lain yang

secara langsung atau tidak langsung merugikan negara; dan

h. Tidak menerima, tidak menawarkan dan atau menjanjikan untuk

memberi atau menerima hadiah, imbalan, komisi, rabat dan berupa apa

saja dari atau kepada siapapun yang diketahui atau patut diduga

berkaitan dengan pengadaan barang/jasa.

Perpres 54 Tahun 2010 sebagaimana telah diubah terakhir dengan

Perpres 35 Tahun 2011 Pasal 4 menyatakan bahwa pengadaan barang/jasa

pemerintah meliputi :

a. Barang;

b. Pekerjaan Konstruksi;

c. Jasa Konsultansi; dan

d. Jasa Lainnya.

Sesuai dengan ketentuan umum Perpres Nomor 35 Tahun 2011

Pasal 4 yang dimaksud dengan barang adalah setiap benda baik berwujud

maupun tidak berwujud, bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat


40

diperdagangkan, dipakai, dipergunakan atau dimanfaatkan oleh Pengguna

Barang.

Pekerjaan Konstruksi adalah seluruh pekerjaan yang berhubungan

dengan pelaksanaan konstruksi bangunan atau pembuatan wujud fisik

lainnya.

Jasa Konsultansi adalah jasa layanan profesional yang

membutuhkan keahlian tertentu diberbagai bidang keilmuan yang

mengutamakan adanya olah pikir (brainware).

Sedangkan Jasa Lainnya adalah jasa yang membutuhkan

kemampuan tertentu yang mengutamakan keterampilan (skillware) dalam

suatu sistem tata kelola yang telah dikenal luas didunia usaha untuk

menyelesaikan suatu pekerjaan atau segala pekerjaan dan/atau penyedian

jasa selain Jasa Konsultansi, pelaksanaan Pekerjaan Konstruksi dan

pengadaan Barang.

Pengadaan barang/jasa setidaknya terdiri dari tiga tahapan seperti

yang tertuang dalam Perpres RI Nomor 54 Tahun 2010 yang telah diubah

dengan Perpres RI Nomor 35 Tahun 2011, yaitu :

1. Persiapan

Proses persiapan dimulai dengan PA/KPA menyerahkan Rencana

Umum Pengadaan kepada PPK dan ULP atau pejabat pengadaan yang

terdiri dari pemaketan pekerjaan, cara pelaksanaan, pengorganisasian

dan penetapan penggunaan produk dalam negeri. Rencana Umum

Pengadaan tersebut dikaji ulang oleh PPK dan ULP atau pejabat
41

pengadaan. Pengkajian ulang tersebut kemudian dituangkan dalam

rancangan kontrak yang terdiri dari : Syarat-Syarat Umum Kontrak

(SSUK), pelaksanaan kontrak, penyelesaian kontrak, adendum kontrak,

pemutusan kontrak, hak dan kewajiban para pihak, personil dan/atau

persyaratan penyedia, pembayaran kepada penyedia, pengawasan mutu,

serta Syarat-Syarat Khusus Kontrak.

2. Pemilihan Penyedia

Proses pemilihan penyedia ini merupakan proses dimana PPK dan

ULP/Pejabat Pengadaan menetapkan metode yang tepat untuk

pelaksanaan pengadaan barang/jasa dan pada akhirnya menetapkan

penyedia barang/jasa yang akan melaksanakan pekerjaan. Proses

pemilihan penyedia selesai atau final setelah ditandatanganinya Surat

Penunjukkan Penyedia Barang/Jasa (SPPBJ).

3. Pelaksanaan Kontrak

Setelah SPPBJ diterbitkan, PPK melakukan finalisasi terhadap

rancangan kontrak dan menandatangani kontrak pelaksanaan pekerjaan.

Penandatanganan kontrak dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari

kerja setelah diterbitkannya SPPBJ dan setelah penyediamenyerahkan

jaminan pelaksanaan.

Dalam pelaksanaan kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah

perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :

1. Surat Perintah Mulai Kerja (SPMK)

2. Penyusunan Program Mutu


42

3. Rapat Persiapan Pelaksanaan Kontrak

4. Mobilisasi

5. Pemeriksaan Bersama

6. Pembayaran Uang Muka

7. Perubahan Kegiatan Pekerjaan

8. Laporan Hasil Pekerjaan

9. Pembayaran Prestasi Pekerjaan

10. Denda Dan Ganti Rugi

11. Penyesuaian Harga

12. Keadaan Kahar

13. Perpanjangan Waktu Pelaksanaan Pekerjaan

14. Kerjasama antara Penyedia dan Sub Penyedia

15. Serah Terima Pekerjaan

16. Penghentian dan Pemutusan Kontrak

Setiap proses pengadaan barang/jasa pemerintah selalu disertai

dengan jaminan yang berfungsi untuk menjamin terpenuhinya kewajiban

penyedia barang/jasa. Bentuk jaminan ini tertulis yang bersifat mudah

dicairkan dan tidak bersyarat (unconditional), yang dikeluarkan oleh Bank

umum, perusahaan penjaminan atau perusahaan asuransi. Berdasarkan

pasal 67ayat 2 Perpres 54 Tahun 2010 sebagaimana telah diubah terakhir

dengan Perpres 35 Tahun 2011 jaminan atas pengadaan barang/jasa

pemerintah terdiri atas :

1) Jaminan penawaran;
43

Jaminan penawaran diberikan oleh penyedia

barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya pada saat

memasukkan penawaran, yang besarnya antara 1% (satu

perseratus) hingga 3% (tiga perseratus) dari total Harga

Perkiraan Sementara. Jaminan penawaran akan dikembalikan

apabila PPK menerima jaminan pelaksanaan untuk

penandatanganan kontrak. Jaminan ini tidak diperlukan dalam

pengadaan barang/ pekerjaan konstruksi/ jasa lainnya

dilaksanakan dengan penunjukkan langsung, pengadaan

langsung atau kontes/sayembara.

2) Jaminan pelaksanaan;

Jaminan pelaksanaan diberikan oleh penyedia

barang/pekerjaan konstruksi untuk kontrak bernilai diatas

Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).Besaran nilai jaminan

pelaksanaan untuk nilai penawaran terkoreksi antara 80%

sampai dengan 100% dari nilai total HPS, jaminan pelaksanaan

adalah sebesar 5% dari nilai kontrak. Sedangkan untuk nilai

penawaran terkoreksi dibawah 80% dari total HPS besaran

jaminan pelaksanaan 5% dari nilai total HPS. Jaminan

pelaksanaan berlaku sejak tanggal kontrak sampai serah terima

barang/jasa lainnya atau serah terima pertama pekerjaan

konstruksi. Jaminan ini akan dikembalikan setelah penyerahan

barang/jasa lainnya dan sertifikat garansi atau penyerahan


44

jaminan pemeliharaan sebesar 5% dari nilai kontrak khusus

bagi penyedia pekerjaan konstruksi/jasa lainnya.

3) Jaminan uang muka;

Jaminan uang muka diberikan oleh penyedia

barang/jasa terhadap pembayaran uang muka yang diterimanya

dan besarannya sesuai uang muka yang diterimanya. Penyedia

jasa konsultansi dapat diberikan uang muka dan pengembalian

diperhitungkan secara proposional pada setiap tahapannya.

4) Jaminan pemeliharaan;

Jaminan pemeliharaan wajib diberikan oleh penyedia

pekerjaan konstruksi/jasa lainnya setelah pelaksanaan

pekerjaan dinyatakan selesai 100%. Besarannya adalah sebesar

5% dari nilai kontrak untuk menjamin pemeliharaan pekerjaan

konstruksi/jasa lainnya. Penyedia dapat memilih untuk

memberikan jaminan pemeliharaan atau memberikan retensi

yang nilainya 5% dari nilai kontrak.

5) Jaminan sanggah banding.

Jaminan ini diberikan pada saat mengajukan banding

dalam proses pemilihan penyedia barang/jasa pemerintah

Pada pengadaan barang/jasa pemerintah terutama pekerjaan

konstruksi harus kita bedakan antara masa pelaksanaan kontrak dan masa

pelaksanaan pekerjaan. Masa pelaksanaan pekerjaan mengikat dalam

pelaksanaan pekerjaan sebagai bagian dari masa pelaksanaan kontrak.


45

Masa pelaksanaan kontrak dimulai sejak ditandatanganinya kontrak atau

14 hari setelah terbitnya surat penunjukan penyedia barang/jasa (SPPBJ)

dan diserahkan jaminan pelaksanaan oleh penyedia.

Masa pelaksanaan kontrak setidaknya terdiri dari tiga area :

1) Masa persiapan

Masa persiapan dimulai setelah dokumen kontrak

ditandatangani, yang berarti argometer kontrak mulai berjalan.

2) Masa pelaksanaan pekerjaan

Masa pelaksanaan pekerjaan dimulai sejak ditandatanganinya

SPMK oleh kedua belah pihak, yaitu maksimum 7 (tujuh) hari setelah

diterbitkannya SPMK oleh PPK. Pada masa inilah jaminan

pelaksanaan berlaku sesuai dengan pasal 70 ayat 5Perpres 54 Tahun

2010 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Perpres 35 Tahun

2011.

3) Masa pertanggungan

Setiap bangunan gedung negara harus dilengkapi dengan

dokumen pembangunan, salah satunya adalah surat penjaminan atas

kegagalan bangunan. Sementara itu dalam barang/jasa dikenal dengan

purnajual dan garansi pabrikan yang umumnya melebihi satu tahun.

Hal ini harus dituangkan dalam klausul kontrak. Bagian inilah yang

disebut sebagai masa pertanggungan.21

21
Samsul Ramli, 2014, Mengatasi Aneka Masalah Teknis Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah,
Visimedia, Jakarta, hlm. 27
46

Masa kontrak berakhir ketika tiga masa tersebut telah terlewati.

Masa pelaksanaan kontrak sampai dengan habisnya masa pemeliharaan

dilindungi oleh jaminan pelaksanaan dan jaminan pemeliharaan.

Diagram Masa Pelaksanaan Kontrak Konstruksi Bangunan

Pembayaran
uang muka
28 Mobilisasi
STO 30 PHO FHO
Penunjukan COW
TTD
Kontrak SPMK PCM

Field Pertanggungan
Jaminan Engineering CCO Kegagalan
7 HR Pemeliha
Pelaks bangunan max
raan
Waktu Pelaksanaan Pekerjaan 10 th
14 HR 14 HR

Waktu Kontrak

2. Pengertian Perjanjian dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

Dalam proses pengadaan barang/jasa ini ada dua pihak yang terkait

Pengguna Barang/Jasa dan Penyedia Barang/Jasa. Para pihak tersebut

saling mengikatkan diri dalam sebuah perjanjian atau kontrak.

Menurut Samsul Ramli ada perbedaan dalam penafsiran kontrak

dan perjanjian dalam pengadaan barang/jasa. Dalam Pasal I ayat 22

Perpres 54 tahun 2010 sebagaimana telah diubah dengan Perpres 34 tahun

2011 disebutkan bahwa kontrak Pengadaan Barang/Jasa (kontrak) adalah

perjanjian tertulis antara PPK dengan Penyedia Barang/Jasa atau pelaksana

swakelola.
47

Pemahaman umum dilapangan, kontrak sama dengan surat

perjanjian. Padahal sebenarnya kontrak lebih luas dari surat perjanjian.

Surat perjanjian hanyalah bukti perjanjian seperti yang tertuang dalam

paragraf ke tujuh terutama Pasal 55 ayat (1) yang tegas menyebutkan

bahwa tanda bukti perjanjian terdiri atas :

a. Bukti pembelian

b. Kuitansi

c. Surat perintah kerja (SPK)

d. Surat Perjanjian

Dengan demikian, dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

kontrak adalah seluruh kesepakatan yang tertuang dalam dokumen

kontrak, bukan hanya yang tertuang dalam pokok perjanjian (surat

perjanjian). Berdasarkan hal ini, pengertian pelaksanaan kontrak adalah

pelaksanaan seluruh kesepakatan yang tertuang dalam dokumen kontrak.22

Sedangkan Sogar Simamora melihat istilah kontrak lebih

menunjukkan pada nuansa bisnis atau komersil sedangkan istilah

perjanjian cakupannya lebih luas. Kontrak merupakan bagian yang

melekat dari transaksi bisnis baik dalam skala besar maupun kecil, baik

domestik maupun internasional. Fungsinya sangat penting dalam

menjamin bahwa harapan yang dibentuk dari janji-janji para pihak dapat

22
Ibid. hlm. 23-25.
48

terlaksana dan terpenuhi. Dalam hal terjadi pelanggaran maka terdapat

kompensasi yang harus dibayar.23

Dalam Pasal 1 angka 22 Perpres Nomor 35 Tahun 2011 tentang

perubahan atas Perpres Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan

Barang/Jasa Pemerintah menyatakan bahwa “kontrak adalah perjanjian

tertulis antara PPK dengan Penyedia Barang/Jasa atau Pelaksana

Swakelola.”

Menurut Beatson (2002) terdapat dua fungsi penting kontrak

yaitu: pertama, untuk menjamin terciptanya harapan atas janji yang telah

dipertukarkan dan kedua, mempunyai fungsi konstitutif untuk

memfasilitasi transaksi yang direncanakan dan memberikan aturan bagi

kelanjutan kedepan.24

3. Macam Perjanjian dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

Ada berbagai macam jenis kontrak yang digunakan dalam proses

Pengadaan Barang/JasaPemerintah seperti yang tertuang dalam Peraturan

Presiden RI Nomor 35 tahun 2011 tentang Perubahan Atas Peraturan

Presiden Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/ Jasa

Pemerintah. Pada Pasal 50 disebutkan bahwa kontrak Pengadaan Barang/

Jasa Pemerintah digolongkan berdasarkan :

1. Cara pembayaran

23
Y. Sogar Simamora, 2013, Hukum Kontrak Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di
Indonesia, Wins & Partners, Surabaya, hlm. 23-24
24
Ibid. hlm. 26
49

Berdasarkan cara pembayaran kontrak dikelompokkan

menjadi lima jenis yaitu :

a. Kontrak lump sum: kontrak pengadaan barang/jasa atas

penyelesaian seluruh pekerjaan dalam batas waktu

tertentusebagaimana ditetapkan dalam kontrak. Sedangkan

untuk konstruksi bangunan, Permen PU 45/2007 tentang

pedoman Teknis Bangunan Negara dijelaskan bahwa

kontrak lump sum adalah suatu kontrak pengadaan

barang/jasa atas penyelesaian seluruh pekerjaan dalam

batas waktu tertentu dengan jumlah harga total penawaran

yang pasti dan tetap. Dalam pelaksanaan kontrak lump

sum, khusus untuk pelaksanaan konstruksi, daftar volume

dan harga bersifat tidak mengikat dalam kontrak, sehingga

tidak dapat dijadikan dasar perhitungan untuk melakukan

pembayaran.

b. Kontrak harga satuan adalah kontrak pengadaan

barang/jasaatas penyelesaian seluruh pekerjaan dalam

batas waktu tertentu, berdasarkan harga satuan yang pasti

dan tetap untuk setiap satuan/unsur pekerjaan dengan

spesifikasi teknis tertentu yang volume pekerjaannya

masih bersifat perkiraan sementara.


50

c. Kontrak gabungan lump sum dan harga satuan adalah

gabungan dua sifat kontrak yaitu lump sum dan harga

satuandalam satu pekerjaan yang diperjanjikan.

d. Kontrak persentase adalah kontrak pelaksanaan jasa

konsultansi di bidang konstruksi atau pekerjaan

pemborongan tertentu, yakni konsultan yang bersangkutan

menerima imbalan jasa berdasarkan persentase tertentu

dari nilai fisik konstruksi/pemborongan tersebut.

e. Kontrak terima jadi adalah kontrak pengadaan

barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya atas penyelesaian

seluruh pekerjaan dalam batas waktu tertentu dengan

jumlah harga pasti dan tetap sampai seluruh pekerjaan

selesai dilaksanakan dan pembayaran dilakukan

berdasarkan hasil penilaian bersama yang menunjukkan

pekerjaan telah dilaksanakan sesuai dengan kriteria kinerja

yang telah ditetapkan.

2. Pembebanan tahun anggaran;

Berdasarkan pembebanan tahun anggaran, kontrak

digolongkan dalam dua jenis kontrak yaitu kontrak tahun tunggal

merupakan kontrak yang pelaksana pekerjaannya mengikat dana

anggaran selama 1 (satu) tahun anggaran dan kontrak tahun jamak


51

yang merupakan kontrak yang pelaksana pekerjaannya untuk masa

lebih dari 1 (satu) tahun anggaran.

3. Sumber pendanaan;

Berdasarkan sumber pendanaan, kontrak digolongkan dalam

tiga jenis kontrak yaitu :

a. Pengadaan tunggal merupakan kontrak yang dibuat oleh 1

(satu) PPK dengan 1 (satu) penyedia barang/jasa tertentu

untuk menyelesaikan pekerjaan tertentu dalam waktu

tertentu.

b. Pengadaan bersama merupakan kontrak antara beberapa

PPK dengan 1 (satu) penyedia barang/jasa untuk

menyelesaikan pekerjaan dalam waktu tertentu sesuai

dengan masing-masing PPK yang menandatangani

kontrak.

c. Kontrak payung (framework contract) merupakan kontrak

harga satuan antara pemerintah dengan penyedia

barang/jasa yang dapat dimanfaatkan oleh

Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat

Daerah/Institusi lainnya dengan ketentuan diadakan untuk

menjamin harga barang/jasa yang lebih efisien,

ketersediaan barang/jasa terjamin dan sifatnya dibutuhkan

secara berulang dengan volume atau kuantitas pekerjaan

yang belum dapat ditentukan pada saat kontrak


52

ditandatangani. Pembayarannya dilakukan oleh setiap

PPK/Satuan Kerja yang didasarkan pada hasil

penilaian/pengukuran bersama terhadap volume/kuantitas

pekerjaan yang telah dilaksanakan oleh penyedia

barang/jasa secara nyata.

4. Jenis pekerjaan.

Berdasarkan jenis pekerjaan, kontrak digolongkan dalam dua jenis yaitu

kontrak pengadaan pekerjaan tunggal yang merupakan kontrak

pengadaan yang hanya terdiri dari 1 (satu) pekerjaan perencanaan,

pelaksanaan atau pengawas dan kontrak pengadaan pekerjaan

terintegrasi yang merupakan kontrak pengadaan pekerjaan konstruksi

yang bersifat kompleks dengan menggabungkan kegiatan perencanaan,

pelaksanaan dan/atau pengawasan.25

Rancangan surat perjanjian dalam pengadaan barang/jasa antara

penyedia barang/jasa dan pengguna barang/jasa biasanya terdiri dari :

I. Pokok Perjanjian, meliputi :

1) Pembukaan :

a. Judul Kontrak

Menjelaskan tentang judul dari kontrak yang akan

ditandatangani dan jenis pengadaan kontrak.

b. Nomor Kontrak

25
Ramli, Syamsul, 2013, Bacaan Wajib Para Praktisi Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah,
Visimedia, Jakarta, hlm. 211
53

Menjelaskan nomor kontrak dan apabila kontrak berupa

perubahan kontrak maka nomor kontrak harus berurut

sesuai dengan berapa kali mengalami perubahan.

c. Tanggal Kontrak

Menjelaskan hari, tanggal, bulan, dan tahun kontrak

ditandatangani oleh para pihak.

d. Kalimat Pembuka

Merupakan kalimat dalam kontrak yang menjelaskan

bahwa para pihak pada hari, tanggal, bulan dan tahun

membuat dan menandatangani kontrak.

e. Para Pihak dalam Kontrak

Menjelaskan identitas dari para pihak yang

menandatangani kontrak. Idntitas para pihak meliputi

nama, jabatan dan alamat serta kedudukan para pihak

dalam kontrak tersebut, apakah sebagai pihak pertama

atau pihak kedua.

f. Latar Belakang

Bagian ini menjelaskan latar belakang ditandatanganinya

kontrak yang meliputi informasi tentang telah

diadakannya proses pemilihan penyedia yang telah

sesuai dengan dokumen pemilihan dan pengguna telah

menunjuk penyedia melalui SPPBJ.

2) Isi :
54

a. Pernyataan bahwa para pihak telah sepakat atau setuju

untuk mengadakan kontrak mengenai obyek yang

dikontrakkan sesuai jenis pekerjaannya.

b. Pernyataan bahwa para pihak telah setuju dengan besaran

harga kontrak.

c. Pernyataan bahwa ungkapan-ungkapan dalam perjanjian

harus mempunyai arti dan makna yang sama seperti yang

tercantum dalam kontrak.

d. Pernyataan bahwa kontrak ini meliputi beberapa

dokumen dan merupakan satu kesatuan yang disebut

kontrak.

e. Pernyataan bahwa apabila terjadi pertentangan antara

ketentuan yang ada dalam dokumen-dokumen kontrak,

yang dipakai adalah dokumen yang urutannya lebih dulu

sesuai dengan hirarkinya.

f. Pernyataan mengenai persetujuan para pihak untuk

melaksanakan kewajibannya masing-masing, yaitu :

pihak pertama membayar harga yang tercantum dalam

kontrak dan pihak kedua melaksanakan pekerjaan yang

diperjanjikan dalam kontrak.

g. Pernyataan mengenai jangka waktu pelaksanaan

pekerjaan, yaitu kapan dimulai dan diakhirinya pekerjaan

tersebut.
55

h. Pernyataan mengenai kapan mulai efektif berlakunya

kontrak.

3) Penutup :

a. Pernyataan bahwa para pihak dalam perjanjian ini telah

menyetujui untuk melaksanakan perjanjian sesuai

ketentuan peraturan perundang-undangan di Indonesia.

b. Tanda tangan para pihak dalam surat perjanjian dengan

dibubuhi materai.

c. Kontrak ditandatangani setelah ada penunjukkan

penyedia oleh karena itu tanggal penandatanganan

kontrak tidak boleh mendahului SPPBJ.

II. Syarat-syarat Umum Kontrak

Syarat-syarat umum kontrak adalah syarat yang

mengatur tentang ketentuan-ketentuan yang umum pada

pengadaan barang/jasa.

III. Syarat Khusus Kontrak

Ketentuan yang merupakan perubahan, tambahan,

dan/atau penjelasan dari ketentuan yang ada pada syarat-syarat

umum kontrak.

IV. Dokumen Lainnya yang Merupakan Bagian dari Kontrak

Dokumen lainnya yang merupakan bagian dari kontrak

dan menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari kontrak,

yaitu :
56

a. SPPBJ;

b. Speksifikasi umum;

c. Speksifikasi khusus;

d. Gambar-gambar;

e. Adendum dokumen pemilihan;

f. Daftar kuantitas dan harga;

g. Jaminan pelaksanaan;

h. Dokumen lainnya yang diperlukan.

4. Wanprestasi dalam Perjanjian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

Pelaksanaan perjanjian adalah realisasi atau pemenuhan hak dan

kewajiban yang telah diperjanjikan oleh para pihak yang membuat

perjanjian. Kewajiban utama penyedia barang/jasa adalah menyerahkan

barang/jasa dalam keadaan baik dan cukup sedangkan kewajiban utama

PPK adalah melakukan pembayaran. Karena tata cara pembayaran dan

pencairan anggaran belanja negara telah diatur dalam sistem

pengelolaan keuangan negara, sementara tata cara penyelesaian dan

penyerahan hasil pekerjaan tidak diatur khusus, dalam perjanjian

pengadaan barang/jasa kesepakatan-kesepakatan antara PPK dan

Penyedia barang/jasa pada umumnya lebih banyak berkaitan dengan

kewajiban penyedia dalam menyelesaikan pekerjaan. Karena itu pihak

yang sering dinyatakan melakukan wanprestasi pada umumnya adalah

pihak penyedia barang/jasa lebih sering dijadikan pihak yang dianggap


57

bersalah dan akibat dari kesalahan itu PPK berhak untuk memutuskan

kontrak secara sepihak.

Dalam pelaksanaan sebuah perjanjian dapat saja tidak

terlaksana/tidak dilaksanakan dengan semestinya sering terjadi.Pada

pekerjaan konstruksi ketidakterlaksanakan perjanjian tersebut

mempunyai graduasi yang berbeda-beda yaitu sebagai berikut :

a. Tidak terlaksana pada tingkat yang sangat ringan, sehingga

tidak perlu diperbaiki sama sekali oleh pihak penyedia.

b. Tidakterlaksana ringan, sehingga perlu diperbaiki pada saat

serah terima atau pada masa perawatan oleh pihak penyedia.

c. Tidakterlaksana yang agak berat, sehingga perlu diperbaiki pada

saat sedang berlangsungnya pembangunan tanpa harus

mengubah kontrak.

d. Tidakterlaksana yang agak berat, sehingga perlu diperbaiki pada

saat sedang berlangsungnya pembangunan dengan dilakukannya

penyesuaian/perubahan kontrak.

e. Tidakterlaksana yang berat, sehingga pelaksanaan kontrak harus

ditunda.

f. Tidakterlaksana yang sangat berat, sehingga kontrak boleh

diputus (terminasi) oleh salah satu pihak.26

Dalam Perjanjian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah kedua

belah pihak dalam hal ini pengguna dan penyedia barang/jasa dapat

melakukan tindakan wanprestasi. Wanprestasi dalam pengadaan

26
Munir Fuady, 1998, Kontrak Pemborongan Mega Proyek, PT. Citra Bakti, Bandung, hlm 196.
58

barang/jasa pemerintah diatur dalam Perpres No. 35 tahun 2011 pasal

93 ayat (1) huruf b. disebut dengan lalai/cidera janji dalam

melaksanakan kewajibannya. Pada umumnya wanprestasi baru terjadi

apabila salah satu pihak dinyatakan telah lalai untuk memenuhi

prestasinya, atau dengan kata lain wanprestasi ada bila salah satu pihak

tidak dapat membuktikan bahwa ia tidak berprestasi karena keadaan

memaksa/kahar.

Bentuk wanprestasi yang dilakukan oleh pihak penyedia

barang/jasa adalah :

a) Wanprestasi berupa tidak memenuhi prestasi;

Kegagalan penyedia barang/jasa untuk melaksanakan

tugasnya sesuai apa yang diperjanjikan sebelumnya.

b) Wanprestasi berupa terlambat memenuhi prestasi;

Penyedia terlambat menyelesaikan pekerjaannya sesuai

dengan tenggat waktu yang diperjanjikan (Perpres No 35

tahun 2011 Pasal 93 ayat (1) huruf a.).

c) Melaksanakan apa yang diperjanjikan tetapi tidak sesuai

sebagaimana yang dijanjikan

Penyedia telah melaksanakan pekerjaannya dan tepat waktu

sesuai perjanjian tetapi tidak sesuai dengan apa yang

diharapkan pengguna barang. Namun penyedia tidak

bersedia atau mampu memperbaiki kelalainnya (Perpres No

35 tahun 2011 Pasal 93 ayat (1) huruf b).


59

d) Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh

dilakukan. Seperti mensubkontrakkan pekerjaan yang tidak

diperjanjikan sebelumnya.

Sedangkan bentuk wanprestasi dari pengguna barang/jasa atau

PPK adalah keterlambatan pembayaran kepada penyedia yang telah

melaksanakan pekerjaan sesuai dengan perjanjian.

5. Penyelesaian Perselisihan dalam Perjanjian Pemborongan

Konstruksi

Sengketa timbul karena salah satu pihak telah melakukan

tindakan wanprestasi. Sengketa dapat terjadi karena adanya

keterlambatan pembayaran, kelambatan penyelesaian pekerjaan,

perbedaan penafsiran dokumen kontrak, ketidakmampuan baik secara

teknis maupun manajerial dari para pihak atau dapat pula disebabkan

pengguna barang/jasa tidak melaksanakan tugas-tugas dengan baik dan

tidak memiliki pendanaan yang cukup. Penyelesaian sengketa

konstruksi merupakan kerangka untuk mengakhiri atau menyelesaikan

sengketa yang terjadi antara pengguna barang/jasa dengan penyedia

barang/jasa karena salah satu pihak tidak melaksanakan prestasinya.

Didalam perjanjian pemborongan biasanya perselisihan terdiri atas :

1. Perselisihan dalam bidang teknis.

2. Perselisihan dalam bidang yuridis atau hukum.27

27
F.X Djumialdji, 1996, Hukum Bangunan, PT Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 19
60

Dalam hal terjadi perselisihan antara para pihak dalam

penyediaan barang/jasa pemerintah, para pihak terlebih dahulu

menyelesaikan perselisihan tersebut melalui musyawarah untuk

mufakat. Apabila penyelesaian perselisihan tersebut tidak tercapai maka

dapat dilakukan melalui arbitrase, alternatif penyelesaian sengketa atau

pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

(Perpres No 35 Tahun 2011 pasal 94).

Dari pasal tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa

penyelesaian sengketa dalam pengadaan barang/jasa konstruksi dapat

dibagi menjadi dua cara yaitu :

1. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan

2. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan

Penyelesaian sengketa melalui pengadilan adalah cara

penyelesaian sengketa antara pengguna barang/jasa dengan penyedia

barang/jasa dengan memilih penyelesaian melalui pengadilan. Putusan

yang dijatuhkan oleh pengadilan bersifat mengikat artinya putusan

tersebut dapat dipaksakan pelaksanaannya. Apabila salah satu pihak

tidak mau melaksanakan putusan secara sukarela maka pengadilan

dapat melaksanakan eksekusi terhadap putusan dengan cara paksa.

Dalam hal penyelesian sengketa melalui pengadilan, prosedur dan

prosesnya mengikuti ketentuan-ketentuan KUH Perdata.

Penyelesain perselisihan di luar pengadilan terdiri dari arbitrase

dan alternatif penyelesaian sengketa. Menurut penjelasan Pasal 94 ayat


61

(2) Perpres No 35 Tahun 2011 arbitrase atau perwasitan adalah cara

penyelesaian suatu perselisihan diluar peradilan umum yang didasarkan

pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak

yang berselisih. Sedangkan penyelesaian sengketa dengan alternatif

penyelesaian sengketa (ADR) adalah lembaga penyelesaian perselisihan

atau beda pendapat diluar pengadilan melalui prosedur yang disepakati

para pihak. Alternatif penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan

cara :

1. Negosiasi;

Terminologi negosiasi berasal dari kosakata Inggris

“negotiation” yang berarti perundingan atau musyawarah dan

orang yang melakukan perundingan disebut negosiator.

Negosiasi merupakan proses komunikasi dua arah yang

dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah

pihak memiliki berbagai kepentingan yang sama maupun

berbeda, tanpa melibatkan pihak ketiga sebagai penengah.

Hasil dari negosiasi adalah penyelesaian kompromi yang

tidak mengikat secara hukum.

2. Mediasi;

Mediasi adalah metode penyelesaian sengketa yang

diselesaiakan oleh suatu panitia pendamai yang berfungsi

sebagai wasit dibentuk dan diangkat oleh kedua belah

pihak.Yang terdiri dari anggota mewakili pihak pertama dan


62

pihak kedua dan ketua yang disetujui kedua belah

pihak.Keputusan panitia pendamai mengikat kedua belah

pihak dan biaya penyelesaian perselisihan yang dikeluarkan

ditanggung bersama.

3. Konsiliasi;

Suatu upaya untuk mendamaikan antara pengguna

barang/jasa dengan penyedia barang/jasa terhadap sengketa

yang timbul dibidang jasa konstruksi. Menurut Pasal 51

Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 penyelesaian

sengketa dengan konsiliasi dilakukan dengan bantuan

seorang konsiliator yang ditunjuk berdasarkan kesepakatan

para pihak dan harus mempunyai sertifikat keahlian yang

ditetapkan oleh lembaga.

4. Penilaian ahli.

Alternatif penyelesaian sengketa yang lain adalah

konsultasi dengan tenaga ahli atau pihak yang berkompeten.

Disini para pihak berkonsultasi dengan ahli dan meminta

saran atau nasehat berkaitan dengan penyelesaian sengketa

yang terjadi.Dalam hal ini para pihak tidak terikat atau

berkewajiban untuk memenuhi pendapat atau penilaian ahli

dan keputusan mengenai penyelesaian sengketa sepenuhnya

diambil sendiri oleh para pihak.


63

6. Berakhirnya Perjanjian dalam Perjanjian Pemborongan

Konstruksi

Penghentian atau pemutusan perjanjian dalam pekerjaan

konstruksi dapat dilakukan karena pekerjaan sudah selesai atau terjadi

keadaan kahar. Dalam hal kontrak dihentikan karena pekerjaan sudah

selesai maka Pejabat Pembuat Komitmen wajib membayar kepada

penyedia sesuai dengan pekerjaan yang sudah dicapai.

Sesuai dengan Lampiran Perpres RI Nomor 54 Tahun 2010

yang telah diubah dengan Perpres RI Nomor 35 Tahun 2011 BAB III C

2.p. pemutusan kontrak/perjanjian dilakukan apabila :

1. Kebutuhan barang/jasa tidak dapat ditunda melebihi batas

berakhirnya kontrak/perjanjian;

2. Berdasarkan penelitian PPK, penyedia tidak akan mampu

menyelesaikan keseluruhan pekerjaan walaupun diberikan

kesempatan sampai dengan 50 (lima puluh) hari kalender

sejak masa berakhirnya pelaksanaan pekerjaan untuk

menyelesaikan pekerjaan;

3. Setelah diberikan kesempatan menyelesaikan pekerjaan

sampai dengan 50 (lima puluh) hari kalender sejak masa

berakhirnya pelaksanaan pekerjaan, penyedia barang/jasa

tidak dapat menyelesaikan pekerjaan;


64

4. Penyedia lalai/cidera janji dalam melaksanakan kewajibannya

dan tidak memperbaiki kelalainnya dalam waktu yang telah

ditetapkan;

5. Penyedia terbukti melakukan KKN, kecurangan dan/atau

pemalsuan dalam proses pengadaan yang diputuskan oleh

instansi yang berwenang; dan/atau

6. Pengaduan tentang penyimpangan prosedur, dugaan KKN

dan/atau pelanggaran persaingan sehat dalam pelaksanaan

pengadaan dinyatakan benar oleh instansi yang berwenang.

Dalam hal pemutusan perjanjian dilakukan karena kesalahan

penyedia maka :

a. Jaminan Pelaksanaan dicairkan;

b. Sisa uang muka harus dilunasi oleh penyedia atau Jaminan

Uang Muka dicairkan (apabila diberikan);

c. Penyedia barang/jasa membayar denda keterlambatan

terhadap bagian kontrak yang terlambat yang terlambat

diselesaikan sebagaimana ketentuan dalam kontrak, apabila

pemutusan kontrak tidak dilakukan terhadap seluruh bagian

kontrak; dan

d. Penyedia dimasukkan dalam Daftar Hitam.

Dalam hal pemutusan perjanjian dilakukan karena PPK terlibat

penyimpangan prosedur, melakukan KKN dan/atau pelanggaran


65

persaingan sehat dalam pelaksanaan pengadaan, maka PPK dikenakan

sanksi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sebuah perjanjian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dapat

dinyatakan berakhir sesuai dengan Perpres RI Nomor 35 tahun 2011

pasal 93 dan pasal 95 dikarenakan :

1. PPK dapat memutuskan perjanjian/kontrak secara sepihak apabila :

a. Denda keterlambatan pelaksanaan pekerjaan akibat kesalahan

Penyedia Barang/Jasa sudah melampaui 5 % (lima perseratus)

dari nilai kontrak.

b. Penyedia barang/jasa lalai/cidera janji dalam melaksanakan

kewajibannya dan tidak memperbaiki kelalaiannya dalam jangka

waktu yang telah ditetapkan.

c. Penyedia barang/jasa terbukti melakukan KKN, kecurangan dan/

atau pemalsuan dalam proses pengadaan yang diputuskan oleh

instansi yang berwenang.

d. Pengaduan tentang penyimpangan prosedur, dugaan KKN dan/

atau pelanggaran persaingan sehat dalam pelaksanaan pengadaan

barang/jasa dinyatakan benar oleh instansi yang berwenang.

2. Pekerjaan selesai 100% ( seratus perseratus)

Setelah pekerjaan selesai 100% (seratus perseratus) sesuai

dengan ketentuan yang ada di dalam kontrak, penyedia barang/jasa

mengajukan permintaan secara tertulis kepada Kuasa Pengguna

Anggaran (KPA) melalui PPK untuk penyerahan pekerjaan.KPA


66

menunjuk Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan untuk

melakukan penilaian terhadap hasil pekerjaan.Hasil penilain tersebut

dilaporkan kepada PPK untuk kemudian memerintahkan pejabat

pengadaan untuk memperbaiki dan/atau melengkapi kekurangan

pekerjaan sebagaimana yang disyaratkan dalam kontrak.

Apabila pekerjaan sudah sesuai dengan kontrak maka

penyedia barang/jasa menandatangani Berita Acara Serah Terima

Akhir Pekerjaan pada saat proses serah terima akhir (final hand

over). Khusus pekerjaan konstruksi/jasa lainnya, penyedia pekerjaan

konstruksi/jasa lainnya melakukan pemeliharaan atas hasil pekerjaan

selama masa yang ditetapkan dalam kontrak, sehingga kondisinya

tetap seperti pada saat penyerahan pekerjaan.Masa pemeliharaan

paling singkat untu pekerjaan permanen selama 6 (enam) bulan,

sedangkan untuk pekerjaan semi permanen selama 3 (tiga) bulan.

3. Overmacht atau Keadaan Kahar.

Overmacht atau Keadaan Kahar sesuai dengan Perpres No.

35 tahun 2011 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Pasal 91

ayat (1) adalah suatu keadaan yang terjadi di luar kehendak para

pihak dan tidak dapat diperkirakan sebelumnya, sehingga kewajiban

yang ditentukan dalam Kontrak menjadi tidak dapat dipenuhi.

Sedangkan yang digolongkan sebagai keadaan kahar adalah:

a) Bencana alam;

b) Bencana non alami;


67

c) Bencana sosial;

d) Pemogokan;

e) Kebakaran;dan/atau

f) Gangguan industri lainnya sebagaimana dinyatakan

melalui keputusan bersama Menteri Keuangan dan

menteri teknis terkait.


68

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode, berasal dari Bahasa Yunani, “Methodes” yang artinya adalah

cara. Dikaitkan dengan penelitian ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara

kerja, yaitu cara kerja untuk dapat memahami suatu objek yang menjadi sasaran

ilmu yang bersangkutan. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa metode

penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan

dan teknologi serta seni. Oleh karena itu, penelitian bertujuan untuk

mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten.28

Menurut Soerjono Soekanto, penelitian hukum merupakan suatu kegiatan

ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang

bertujuan untuk mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan

jalan menganalisanya. Disamping itu juga diadakan pemeriksaan yang mendalam

terhadap faktor hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan

atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang

bersangkutan.29

Dalam penelitian tentang Penyelesaian Wanprestasi Dalam Perjanjian

Pemborongan Pekerjaan Konstruksi (Studi Kasus Pekerjaan Konstruksi

Rehabilitasi Bangunan Gedung Kantor Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta)

metode penelitian yang dipakai penulis yaitu :

28
HB Sutopo, 2002, Metode Penelitian Kualitatif, UNS Press. hlm. 10
29
Soeryono Soekanto, 1981, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, hlm. 43
69

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian normatif empiris karena penelitian ini

dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka dan data sekunder. 30 Penelitian

hukum normatif disebut juga penelitian doktrinal. Jenis penelitian hukum

normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk mengkaji kualitas dari norma

hukum itu sendiri, sehingga sering kali penelitian normatif diklasifikasikan

sebagai penelitian kualitatif. Pada penelitian ini hukum dikonsepsikan sebagai apa

yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum

yang dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan

berperilaku manusia yang dianggap pantas.31

B. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif eksplanatif, dimana penelitian ini

bermaksud untuk menggambarkan dan menjelaskan tentang aspek -aspek hukum

yang terkait dengan objek penelitian.32 Penelitian yang bersifat deskriptif biasanya

penulis sudah mendapatkan atau mempunyai gambaran yang merupakan data awal

tentang permasalahan yang diteliti. Eksplanatif adalah suatu penelitian

pendalaman berupa pengujian terhadap data awal dengan permasalahan yang

diteliti. Deskripsi dan eksplanasi diterapkan pada fokus penelitian yaitu tentang

bentuk dan Penyelesaian Wanprestasi Dalam Perjanjian Pemborongan Pekerjaan

30
Amiruddin dan Zainal Asikin, 2003, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo
Persada. Jakarta, hlm. 163
31
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif. Raja Grafindo Persada.
Jakarta. 2006, hlm 13
32
Ibid., hlm 24
70

Konstruksi (Studi Kasus Pekerjaan Konstruksi Rehabilitasi Bangunan Gedung

Kantor Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta).

C. Sumber Data

Dengan jenis penelitian normatif empiris maka sumber data yang

digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data yang diperoleh

dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku yang berhubungan dengan obyek

penelitian dan peraturan perundang-undangan. Data tersebut selanjutnya

dikelompokkan dalam bahan-bahan hukum, meliputi:

a. Bahan hukum primer

Bahan Hukum primer adalah bahan hukum yang mengikat yang

terdiri atas peraturan perundang-undangan yang terkait dengan obyek

penelitian meliputi:

1) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2011

tentang perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010

tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;

2) Peraturan Kepala LKPP nomor 7 Tahun 2011 tentang Petunjuk

Teknis Operasional Daftar Hitam;

3) Perjanjian Pemborongan antara Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)

Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta dengan CV Trijaya tentang

Rehabilitasi Bangunan Gedung Kantor Sesuai Prototype Gedung

Kantor PTA Yogyakarta Nomor: W12-A/0779/PL.01/V/2012

tanggal 29 Mei 2012.


71

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan Hukum sekunder yaitu bahan hukum yang melengkapi

bahan hukum primer.Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini

meliputi buku-buku, tulisan-tulisan ilmiah hukum yang terkait dengan

obyek penelitian.33

c. Bahan Hukum Tertier

Bahan Hukum tertier adalah petunjuk atau penjelasan mengenai

bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang berasal dari

kamus.

D. Macam Data

Disamping sumber data sekunder tersebut, dilakukan pula penelitian

lapangan yang diperlukan sebagai data penunjang diperoleh melalui informasi dan

pendapat-pendapat dari responden yang terdiri dari :

a. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kantor Pengadilan Tinggi Agama

Yogyakarta

b. Subyek penelitian :

1. Pejabat Pembuat Komitmen Pengadilan Tinggi Agama

Yogyakarta;

2. Penyedia barang/ jasa dalam hal ini CV. Trijaya;

Selanjutnya dihubungi juga narasumber dari Lembaga

Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP).

33
Zaiunuddin Ali, 2013, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 176
72

c. Cara dan Alat Pengumpul Data

Pengumpulan data dari penelitian lapangan dilakukan

dengan cara wawancara. Wawancara adalah cara untuk

memperoleh informasi dengan bertanya langsung pada yang

diwawancarai, yang dalam penulisan hukum ini adalah nara

sumber. Alat pengumpul data yang dipergunakan adalah pedoman

wawancara yaitu alat pengumpul data yang berisi pokok

pertanyaan yang diperlukan untuk memandu jalannya wawancara.

E. Analisis Data

Analisis data adalah mekanisme mengorganisasikan data dan mengurutkan

data ke dalam pola, kategori, dan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan

hipotesis kerja yang diterangkan oleh data.34 Berdasarkan sifat penelitian ini yang

menggunakan metode penelitian bersifat deskriptif eksplanatif, maka analisis data

yang digunakan adalah analisis secara pendekatan kualitatif, terhadap data primer

dan sekunder. Deskripsi tersebut meliputi isi dan struktur hukum positif, yaitu

suatu kegiatan yang dilakukan oleh penulis untuk menentukan isi atau makna

aturan hukum yang dijadikan rujukan dalam menyelesaikan permasalahan hukum

yang menjadi obyek kajian.35

Analisis pendekatan kualitatif adalah metode penelitian yang tidak

memerlukan populasi atau sampel. Penelitian yuridis normatif yang bersifat

kualitatif adalah penelitian yang mengacu kepada norma hukum yang terdapat

34
Lexy J. Moleong. 2006, Metode Penelitian Kualitatif, Rosdakarya, Bandung, hlm. 280
35
Zainuddin Ali, op. cit., hlm. 177
73

pada peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan serta norma-norma

yang hidup dan berkembang di masyarakat.

F. Hambatan Penelitian dan Cara Mengatasinya

Hambatan dalam penelitian berasal dari 2 sumber yaitu :

a. Hambatan dari dalam yaitu hambatan yang berasal dari dalam diri

penulis dikarenakan kurang dapatnya penulis beradaptasi dengan

narasumbernya.

b. Hambatan yang berasal dari luar yaitu hambatan yang muncul dari luar

penulis dalam hal ini hambatan yang muncul adalah ketidakmauan

pihak penyedia barang dalam hal ini CV Tri Jaya untuk diwawancarai

guna memperoleh data pendukung penelitian dari pihak penyedia.

Untuk mengatasi masalah ini maka digunakan data pendukung yang

berupa hasil-hasil dari setiap rapat antara PPK dan pihak penyedia yang diperoleh

dari Panitia Pengadaan.


74

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Bentuk Wanprestasi Yang Terjadi Pada Perjanjian Pekerjaan

Konstruksi Pada Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta

Peningkatan kualitas pelayanan publik melalui penyelenggaran

pemerintahan yang baik dan bersih, perlu didukung dengan pengelolaan keuangan

yang efektif, efisien, transparan dan akuntabel. Untuk meningkatkan efisiensi dan

efektifitas penggunaan keuangan negara yang dibelanjakan melalui proses

pengadaan barang/jasa pemerintah, diperlukan upaya untuk menciptakan

keterbukaan, tranparansi, akuntabilitas serta prinsip persaingan/kompetisi yang

sehat dalam proses pengadaan barang/jasa yang dibiayai oleh APBN/APBD

sehingga diperoleh barang/jasa yang terjangkau dan berkualitas serta dapat

dipertanggungjawabkan baik secara fisik, keuangan maupun manfaatnya bagi

kelancaran tugas pemerintah dan pelayanan publik.

Perjanjian pada umumnya diatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata yaitu :

”suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih

mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Melalui perjanjian ini akan

terjadi perikatan diantara kedua belah pihak, kedua belah pihak sepakat dan

berjanji untuk melakukan kewajibannya untuk melakukan pekerjaan konstruksi

rehabilitasi gedung kantor Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta sebagaimana

dimaksudkan dalam Perjanjian Pekerjaan Pemborongan Rehabilitasi Nomor :

W.12-A/ 0776/PL.01/V/2012 tanggal 24 Mei 2012.


75

Pasal 1338 KUH Perdata menyebutkan bahwa :

“Semua persetujuan yang dibuat secara sah sebagai undang-undang bagi


mereka yang membuatnya. Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik
kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-
alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Persetujuan
harus dilakukan dengan itikad baik”.

Dari Pasal 1338 KUH Perdata tersebut dapat disimpulkan bahwa,

perjanjian yang telah dilakukan oleh para pihak adalah mengikat untuk pihak-

pihak yang melakukan perjanjian dan akan membawa akibat hukum bagi

keduanya.

Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang

bagi mereka yang membuatnya. Asas kebebasan berkontrak ini telah

memungkinkan perkembangan dalam hukum perjanjian, para pihak dapat

menciptakan sendiri bentuk dari perjanjian asalkan perjanjian yang dibuat tidak

bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.

Dalam konteks perjanjian yang dibuat oleh pemerintah, termasuk

didalamnya kontrak pengadaan, asas ini mempunyai fungsi yang sangat

penting.Kebebasan berkontraklah yang merupakan landasan bagi pemerintah

dalam melakukan tindakan kontraktualisasi. Perjanjian yang mengandung sifat

adhesi dalam bentuk kontrak yang dilakukan oleh pemerintah merupakan sebuah

kelaziman. Hal ini tercermin dalam hal pembatalan, perubahan kontrak atau

penentuan sanksi secara sepihak oleh pemerintah. Jadi dapat disimpulkan bahwa

kebebasan kontrak dalam kategori kontrak ini berbeda dengan kebebasan privat

dalam model klasik.


76

Dalam kontrak pemerintah hubungan kontraktual yang terbentuk lebih

bertumpu pada konsep kedaulatan. Dengan konsep ini pemerintah mempunyai hak

untuk meniadakan kewajiban kontraktualnya.Sekalipun demikian tidak berarti

pemerintah bebas dari kewajiban memberikan ganti rugi yang layak.Untuk

melindungi kemungkinan timbulnya kerugian pada individu pada akhirnya

diperlukan undang-undang sebagai landasan bagi pengadilan dalam memutuskan

apabila ada sengketa diantara para pihak.36

Pelaksanaan perjanjian adalah realisasi atau pemenuhan hak dan

kewajiban yang telah diperjanjikan oleh para pihak yang membuat perjanjian

supaya perjanjian itu dapat mencapai tujuannya. Tujuan tidak akan terwujud tanpa

adanya pelaksanaan dalam suatu perjanjian yaitu :

1. Perjanjian untuk memberikan sesuatu barang/benda (Pasal 1234 KUH

Perdata).

2. Perjanjian untuk berbuat sesuatu (Pasal 1241KUH Perdata).

3. Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu (Pasal 1242 KUH Perdata).

Menurut Pasal 1339 KUH Perdata perjanjian tidak hanya mengikat untuk

hal-hal yang tegas dinyatakan dalam perjanjian saja, tetapi juga untuk segala

sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan

undang-undang, perjanjian tersebut harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Asas itikad baik mempunyai fungsi sangat penting dalam hukum kontrak

walaupun batasannya memang sulit ditentukan. Tetapi pada umumnya dipahami

bahwa itikad baik merupakan bagian kewajiban kontraktual. Dengan demikian

36
Sogar Simamora, op. cit., hlm. 33
77

apa yang mengikat bukan sekedar apa yang secara ekplisit dinyatakan oleh para

pihak melainkan juga apa yang menurut itikad baik juga diharuskan. Itikad baik

merupakan salah satu bentuk kewajiban hukum yang harus dipatuhi dalam

keseluruhan proses kontrak. Hal ini tertuang dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang

menekankan adanya keharusan bagi para pihak untuk melaksanakan perjanjian.

Pelaksanaan perjanjian merupakan pelaksanaan hak dan kewajiban para

pihak sesuai dengan klausula yang telah disepakati. Suatu perjanjian tidak dapat

kembali selain dengan kata sepakat diantara para pihak atau karena alasan-alasan

yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.

Prestasi atau tidak berprestasinya para pihak tergantung dari terpenuhinya

hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian. Hak dan kewajiban para pihak

adalah ketentuan mengenai hak-hak yang dimiliki serta kewajiban-kewajiban

yang harus dilaksanakan oleh pengguna barang/jasa dan penyedia barang/jasa

dalam melaksanakan kontrak. Hak dan kewajiban PPK dan Penyedia Barang/Jasa

terdapat dalam lampiran III Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 yang

terakhir diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2011 tentang syarat-

syarat umum kontrak adalah:

a. Hak dan kewajiban pihak pengguna barang/jasa :

1) Mengawasi dan memeriksa pekerjaan yang dilaksanakan oleh

penyedia barang/jasa;

2) Meminta laporan-laporan secara periodik mengenai pelaksanaan

pekerjaan yang dilakukan oleh pihak penyedia barang/jasa;


78

3) Membayar pekerjaan sesuai dengan harga kontrak yang telah

ditetapkan kepada pihak penyedia barang/jasa;

4) Memberikan fasilitas berupa sarana dan prasarana yang dibutuhkan

oleh pihak penyedia barang/jasa untuk kelancaran pelaksanaan

pekerjaan sesuai ketentuan kontrak.

b. Hak dan kewajiban pihak penyedia barang/jasa :

1) Menerima pembayaran untuk pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan

harga yang telah ditentukan dalam kontra;

2) Berhak meminta fasilitas-fasilitas dalam bentuk sarana dan

prasarana dari pihak pengguna barang/jasa untuk kelancaran

pelaksanaan pekerjaan sesuai ketentuan kontrak;

3) Melaporkan pelaksanaan pekerjaan secara periodik kepada pihak

pengguna barang/jasa;

4) Melaksanakan dan menyelesaikan pekerjaan sesuai jadwal

pelaksanaan pekerjaan yang telah ditetapkan dalam kontrak;

5) Memberikan keterangan-keterangan yang diperlukan untuk

pemeriksaan pelaksanaan yang dilakukan pihak pengguna

barang/jasa;

6) Menyerahkan hasil pekerjaan sesuai dengan jadwal penyerahan

pekerjaan yang telah ditetapkan dalam kontrak;

7) Penyedia harus mengambil langkah-langkah yang cukup memadai

untuk melindungi lingkungan baik di dalam maupun di luar tempat

kerja dan membatasi perusakan dan pengaruh/gangguan kepada


79

masyarakat maupun miliknya sebagai akibat polusi, kebisingan dan

kerusakkan lain akibat kegiatan penyedia.

Hak dan kewajiban para pihak sesuai dengan perjanjian antara PPK dan

Penyedia sesuai dengan surat perjanjian untuk melaksankan Paket Pekerjaan

Rehabilitasi Gedung Kantor sesuai Prototype Gedung Kantor PTA Yogyakarta

Nomor: W12-A/0779/PL.01/V/2012 tanggal 29 Mei 2012 Pasal 5 dan Syarat-

Syarat Umum Kontrak (SSUK) Huruf C. Angka 40 adalah :

a. PPK mempunyai hak dan kewajiban untuk :

1) Mengawasi dan memeriksa pekerjaan yang dilaksanakan oleh

penyedia;

2) Meminta laporan-laporan secara periodik mengenai pelaksanaan

pekerjaan yang dilakukan oleh penyedia;

3) Memberikan fasilitas berupa sarana dan prasarana yang dibutuhkan

oleh penyedia untuk kelancaran pelaksanaan pekerjaan sesuai

ketentuan kontrak;

4) Membayar pekerjaan sesuai dengan harga yang tercantum dalam

kontrak yang telah ditetapkan kepada penyedia.

b. Penyedia mempunyai hak dan kewajiban untuk:

1) Menerima pembayaran untuk pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan

harga yang telah ditentukan dalam kontrak;

2) Menerima fasilitas-fasilitas dalam bentuk sarana dan prasarana dari

PPK untuk kelancaran pelaksanaan pekerjaan sesuai ketentuan

kontrak;
80

3) Melaporkan pelaksanaan pekerjaan secara periodik kepada PPK;

4) Melaksanakan dan menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan jadwal

pelaksanaan pekerjaan yang telah ditetapkan dalam kontrak;

5) Melaksanakan dan menyelesaikan pekerjaan secara cermat, akurat

dan penuh tanggung jawab dengan menyediakan tenaga kerja,

bahan-bahan, peralatan, angkutan ke atau dari lapangan, dan segala

pekerjaan permanen maupun sementara yang diperlukan untuk

pelaksanaan, penyelesaian dan perbaikan pekerjaan yang dirinci

dalam kontrak;

6) Memberikan keterangan-keterangan yang diperlukan untuk

pemeriksaan pelaksanaan yang dilakukan PPK;

7) Menyerahkan hasil pekerjaan sesuai dengan jadwal penyerahan

pekerjaan yang telah ditetapkan dalam kontrak;

8) Mengambil langkah-langkah yang cukup memadai untuk

melindungi lingkungan tempat kerja dan membatasi perusakan dan

gangguan kepada masyarakat maupun miliknya akibat kegiatan

penyedia.

Pada perjanjian Pekerjaan Pemborongan Rehabilitasi Gedung Kantor PTA

Yogyakarta antara pengguna barang/jasa pemerintah dalam hal ini Pejabat

Pembuat Komitmen selanjutnya disebut PPK dan penyedia barang/jasa CV Tri

Jaya yang ditandatangani tanggal 29 Mei 2012 disebutkan bahwa kedua belah

pihak melakukan perjanjian pekerjaan konstruksi dengan nilai total Rp

848.487.000,- dan dimenangkan oleh CV. Tri Jaya melalui pelelangan umum
81

berdasarkan surat Panitia Pengadaan Barang/Jasa PTA Yogyakarta nomor :

05/ULP/V/2012 tanggal 23 Mei 2012. Masa pelaksanaan pekerjaan konstruksi ini

selama 140 hari kerja setelah Surat Penunjukkan Penyedia Barang/Jasa (SPPBJ)

ditandatangani.

Paket pekerjaan yang dilaksanakan oleh penyedia adalah rehabilitasi

gedung kantor pengadilan sesuai dengan prototype gedung kantor pengadilan

yang berdasarkan Buku I Pedoman Bangunan Gedung Kantor dan Rumah Jabatan

Badan Peradilan Dibawah Mahkamah Agung RI. Paket pekerjaan rehabilitasi

tersebut adalah :

1. Pekerjaan persiapan;

2. Pekerjaan bongkaran;

3. Pekerjaan tanah dan pasir;

4. Pekerjaan pasangan;

5. Pekerjaan plesteran;

6. Pekerjaan konstruksi beton;

7. Pekerjaan kayu;

8. Pekerjaan atap;

9. Pekerjaan kuda-kuda baja;

10. Pekerjaan kusen pintu dan jendela;

11. Pekerjaan tegel/lantai;

12. Pekerjaan instalasi listrik dan penangkal petir;

13. Pekerjaan cat/finishing; dan

14. Pekerjaan halaman dan lain-lain.


82

Selama masa pekerjaan tersebut dilakukan beberapa adendum surat

perjanjian yang berfungsi untuk untuk memperbaharui atau menyesuaikan isi

perjanjian dengan kondisi terkini di lapangan.Adendum perjanjian adalah

perubahan perjanjian yang dapat dilakukan apabila disetujui oleh kedua belah

pihak. Perubahan perjanjian dapat dilakukan apabila :

1. Perubahan pekerjaan disebabkan oleh suatu hal yang dilakukan oleh

para pihak dalam perjanjian sehingga mengubah lingkup pekerjaan

dalam perjanjian.

2. Perubahan jadwal pelaksanaan pekerjaan akibat adanya perubahan

pekerjaan.

3. Perubahan harga kontrak akibat adanya perubahan pekerjaan,

perubahan pelaksanaan pekerjaan dan/atau penyesuaian harga.37

Dalam perjanjian antara PPK dan CV Tri Jaya terjadi dua kali adendum.

Adendum yang pertama adalah adendum surat perjanjian Nomor: W12-

A/1168/PL.01/IX/2012 tanggal 20 September 2012 tentang perubahan sumber

pembiayaan pekerjaan. Sedangkan adendum kedua adalah adendum surat

perjanjian kerja Nomor : W12-A/1213/PL.01/X/2012 tanggal 04 Oktober 2012

tentang perubahan total harga kontrak atau nilai kontrak termasuk Pajak

Pertambahan Nilai (PPN) yang semula Rp 848.487.000,- menjadi Rp

927.198.000,-. perubahan ini terjadi karena adanya perubahan untuk penyesuaian

harga.38

37
Syarat-Syarat Umum Kontrak (SSUK) B.4.34, Perjanjian antara PPK dan CV Tri Jaya
38
Wawancara dengan PPK PTA Yogyakarta, tanggal 8 September 2014
83

Berdasarkan adendum surat perjanjian yang kedua juga dilakukan

perubahan mengenai Surat Perintah Mulai Kerja (SPMK) nomor: W12-

A/1216.a/PL.01/X/2012 tanggal 8 Oktober 2012 tentang masa pekerjaan yaitu

dari 140 hari kalender menjadi 164 hari kalender sesuai kesepakatan antara PPK

dan pihak penyedia dengan pertimbangan faktor cuaca yang tidak menentu.

Sebelum pelaksanaan pekerjaan selesai yaitu 164 hari kalender maka pihak

penyedia meminta kepada PPK untuk melakukan provisional hand over (PHO)

atau serah terima pekerjaan yang pertama atas pekerjaan Rehabilitasi Bangunan

Gedung sesuai Prototype, Gedung Kantor Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta.

Serah terima pertama pekerjaan umumnya dikenal pada pekerjaan konstruksi/jasa

lainnya yang memerlukan masa pemeliharaan. Masa PHO ini harus berada pada

rentang waktu masa pelaksanaan pekerjaan dengan asumsi bahwa lama proses

pemeriksaan hasil pekerjaan diperhitungkan secara keahlian sehingga cacat

pekerjaan yang ditemukan pada masa pemeriksaan hasil pekerjaan dapat

diperbaiki dalam masa pelaksanaan pekerjaan. Sebelum PPK menyatakan PHO

pekerjaan, PPK meminta Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP) untuk

melakukan pemeriksaan hasil pekerjaan sesuai dengan ketentuan yang tercantum

dalam kontrak sesuai dengan Pasal 18 Ayat 5 Perpres 54 tahun 2010 sebagaimana

telah diubah terakhir dengan Perpres Nomor 35 tahun 2011. Selain itu tugas PPHP

selanjutnya adalah menerima hasil pengadaan barang/jasa setelah melalui

pemeriksaan/pengujian dan menandatangani berita acara serah terima hasil

pekerjaan.
84

Ditambah sedikit dalam Pasal 95 Perpres 54 Tahun 2010 sebagaimana

telah diubah terakhir dengan Perpres 35 Tahun 2011 terkait serah terima

pekerjaan:

2) PA/KPA menunjuk Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan untuk

melakukan penilaian terhadap hasil pekerjaan yang telah diselesaikan.

3) Jika terdapat kekurangan dalam hasil pekerjaan sebagaimana

dimaksud pada ayat (2), Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan

melalui PPK memerintahkan Penyedia barang/jasa untuk memperbaiki

dan/atau melengkapi kekurangan pekerjaan sebagaimana yang

diisyaratkan dalam kontrak.

4) Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan menerima penyerahan

pekerjaan setelah seluruh hasil pekerjaan dilaksanakan sesuai dengan

ketentuan kontrak.

Dari Pasal 95 Perpres 54 Tahun 2010 sebagaimana telah diubah terakhir

dengan Perpres 35 Tahun 2011 tersebut dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa

ada yang disebut dengan hasil pekerjaan dan pekerjaan itu sendiri. Hasil pekerjaan

merujuk pada laporan pekerjaan. Sementara itu, pekerjaan merujuk pada

barang/jasa yang dihasilkan sesuai dengan yang diperjanjikan dalam kontrak. Hal

ini logis karena yang bertanda tangan dalam dokumen kontrak adalah PPK dan

penyedia. Dengan demikian yang berhak menerima barang/jasa adalah PPK.

Sementara itu, PPHP yang merupakan unsur staf dari PA/KPA hanya berhak
85

untuk menyatakan hasil pekerjaan dapat diterima atau tidak setelah melalui proses

pemeriksaan atau uji coba.39

Berdasarkan surat dari CV Tri Jaya tentang permohonan PHO tersebut

maka PPHP melakukan pemeriksaan hasil pekerjaan dan menandatangani Berita

Acara Serah Terima Hasil Pekerjaan dengan surat Nomor :

W12.A/1520/PL.01/XII/2012 tanggal 10 Desember 2012. Dengan

ditandatanganinya BAST Hasil Pekerjaan maka masa pelaksanaan pekerjaan

berakhir dan diganti dengan masa pemeliharaan yang dalam surat perjanjian

disebutkan selama 180 hari kalender. Berakhirnya masa pelaksanaan maka

jaminan pelaksanaan yang dijadikan jaminan diganti dengan jaminan

pemeliharaan.

Walaupun pekerjaan rehabilitasi konstruksi bangunan sudah selesai

melalui BAST Hasil Pekerjaan Nomor : 01/BASTP-TY/XII/2012 tetapi PPHP

memiliki beberapa catatan yang disampaikan kepada PA/KPA yang harus segera

ditindaklanjuti oleh penyedia. Ada 26 item kekurang sempurnaan hasil pekerjaan

akibat pekerjaan rehabilitasi konstruksi bangunan tersebut yang ditemukan oleh

PPHP. Kekurang sempurnaan tersebut dikarenakan kerusakan-kerusakan yang

timbul akibat pekerjaan rehabilitasi bangunan.

Dalam pekerjaan konstruksi yang disebut berakhirnya perjanjian bukanlah

pada saat pekerjaan selesai atau PHO tetapi perjanjian akan berakhir apabila telah

terjadi serah terima pekerjaan akhir atau Final Hand Over (FHO) yang akan

ditandatangani oleh pihak penyedia dan PPK. Jadi selama masa pemeliharaan,

39
Samsul Ramli, op.cit, hlm. 238
86

kontrak antara PPK dan CV Tri Jaya masih berjalan. Masa pemeliharaan inilah

yang akan digunakan oleh CV Tri Jaya selaku pihak penyedia untuk

menyelesaikan untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan pekerjaannya.

Untuk menjamin terlaksananya pekerjaan pada masa pemeliharaan CV Tri

Jaya menyampaikan jaminan pemeliharaan sebesar 5% dari nilai kontrak atau

sebesar Rp 58.950.000,00 yang berupa garansi bank. Jaminan inilah yang

nantinya menjadi jaminan apabila penyedia tidak melaksanakan apa yang

diperjanjikan.

Namun selama masa pemeliharaan tersebut PPK menilai pihak penyedia

tidak menyelesaikan untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan pekerjaan sesuai

perjanjian. Penilaian PPK ini didasarkan karena tidak adanya kemajuan pekerjaan

perbaikan yang signifikan dilakukan oleh penyedia dan setelah melakukan rapat

antara PPK, Pengawas dan pihak penyedia untuk membahas penyelesaian

pekerjaan, penyedia merasa dengan waktu dan dana yang ada tidak dapat

memenuhi pekerjaannya.40

Berdasarkan hal tersebut, PPK menempuh prosedur untuk memberi surat

peringatan kepada CV Tri Jaya sebanyak 3 (tiga) kali surat peringatan berturut-

turut dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja. Apabila dalam 7 (tujuh) hari

sesudah surat peringatan resmi ketiga ada kemajuan di dalam pelaksanaan maka

kontrak dapat diteruskan. Sebaliknya, apabila pada waktu yang telah ditentukan

tersebut tidak ada kemajuan atau menurut penilaian PPK tidak hanya sedikit

kemajuan maka perjanjian dapat diputus oleh PPK berdasarkan Syarat-Syarat

40
Wawancara dengan PPK tanggal 8 September 2014
87

Umum Kontrak Perjanjian Pemborongan Rehabilitasi Bangunan Gedung Sesuai

Prototype Gedung Kantor PTA Yogyakarta B.6 38.3 yaitu “Pemutusan kontrak

dapat dilakukan oleh pihak penyedia atau pihak PPK”.

Berdasarkan surat teguran penyelesaian pekerjaan kepada CV Tri Jaya dari

PPK Nomor : W12-A/0625/OT.01.1/IV/2013 tanggal 24 April 2013 dan surat

Nomor : 01/BASTP-TY/XII/2012 perihal Berita Acara Serah Terima Pekerjaan

Pertama, melalui surat Nomor : W12-A/0682.a/OT.01.1/V/2013 tanggal 13 Mei

2013, serta surat perjanjian untuk melaksankan Paket Pekerjaan Rehabilitasi

Gedung Kantor sesuai Prototype Gedung Kantor PTA Yogyakarta Nomor: W12-

A/0779/PL.01/V/2012 tanggal 29 Mei 2012 Pasal 5 dan Syarat-Syarat Umum

Kontrak (SSUK) Huruf C. Angka 40 tentang Hak dan kewajiban para pihak

terutama huruf b. Angka 5, Pejabat Pembuat Komitmen menyatakan bahwa

penyedia dalam hal ini CV Tri Jaya melakukan tindakan wanprestasi yang berupa:

1. Tidak ada itikad baik dari pihak penyedia dalam hal ini CV Tri Jaya

untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan yang timbul akibat

pekerjaan rehabilitasi Gedung Kantor PTA Yogyakarta.

2. Pihak penyedia melaksanakan apa yang diperjanjikan tetapi tidak

sesuai sebagaimana yang dijanjikan sebelumnya.

B. Penyelesaian Wanprestasi dalam Perjanjian Pekerjaan Konstruksi

Pada Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta

Salah satu klausula standar yang penting dalam sebuah perjanjian

pengadaan adalah klausula mengenai kegagalan prestasi oleh penyedia


88

barang/jasa. Klausula ini menjadi dasar PPK dalam memutuskan perjanjian karena

kegagalan. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan perjanjian pengadaan di

Indonesia ketentuan pemutusan kontrak dapat dijumpai pada Pasal 93 ayat (1)

Perpres 54 Tahun 2010 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Perpres 35

Tahun 2011 yaitu:

PPK dapat memutuskan kontrak secara sepihak apabila :

a. Denda keterlambatan pelaksanaan pekerjaan akibat kesalahan

Penyedia Barang/Jasa sudah melampaui 5% (lima perseratus)

dari nilai kontrak.

b. Penyedia barang/jasa lalai/cidera janji dalam melaksanakan

kewajibannya dan tidak memperbaiki kelalaiannya dalam jangka

waktu yang telah ditetapkan.

c. Penyedia barang/jasa terbukti melakukan KKN, kecurangan

dan/atau pemalsuan dalam proses pengadaan yang diputuskan

oleh instansi yang berwenang.

d. Pengaduan tentang penyimpangan prosedur, dugaan KKN dan/

atau pelanggaran persaingan sehat dalam pelaksanaan pengadaan

barang/jasa dinyatakan benar oleh instansi yang berwenang.

Pemutusan perjanjian biasanya dikaitkan dengan kegagalan penyedia

barang/jasa dalam memenuhi kewajiban kontraktualnya. Akibat dari pemutusan

perjanjian yang disebabkan karena kesalahan penyedia barang/jasa adalah :

a. Jaminan Pelaksanaan dicairkan;


89

b. Sisa uang muka harus dilunasi oleh penyedia barang/jasa atau Jaminan

Uang Muka dicairkan;

c. Penyedia barang/jasa membayar denda;dan/atau

d. Penyediabarang/jasa dimasukkan dalam Daftar Hitam.

Dengan melihat rumusan pasal mengenai sanksi tersebut yang

menggunakan kata “dan” maka dapat disimpulkan bahwa sanksi tersebut bersifat

komulatif berarti pada proses pengadaan barang/jasa pihak yang melakukan

kesalahan dapat dikenakan beberapa sanksi sekaligus.

Mengenai keadaan memaksa ditentukan dalam Pasal 1244 dan Pasal 1245

KUH Perdata. Kedua pasal dimaksud untuk membebaskan debitur dari

kewajibannya untuk mengganti kerugian akibat dari suatu peristiwa yang tidak

disengaja dan tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya sehingga

menyebabkan perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan.

Penyelesaian sengketa konstruksi merupakan kerangka untuk mengakhiri

atau menyelesaikan sengketa yang terjadi antara pengguna barang/jasa dengan

penyedia barang/jasa karena salah satu pihak tidak melaksanakan prestasinya.

Didalam perjanjian pemborongan biasanya perselisihan terdiri atas :

1. Perselisihan dalam bidang teknis.

2. Perselisihan dalam bidang yuridis atau hukum.41

Dalam hal terjadi perselisihan antara para pihak dalam Pengadaan

Barang/Jasa Pemerintah, para pihak terlebih dahulu menyelesaikan perselisihan

tersebut melalui musyawarah untuk mufakat. Apabila penyelesaian perselisihan

41
F.X Djumialdji, op. cit., hlm. 19
90

tersebut tidak tercapai maka dapat dilakukan melalui arbitrase, alternatif

penyelesaian sengketa atau pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan (Perpres No 35 Tahun 2011 Pasal 94).

Dari pasal tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa penyelesaian

sengketa dalam pengadaan barang/jasa konstruksi dapat dibagi menjadi dua cara

yaitu :

1. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan

2. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan

Penyelesaian sengketa melalui pengadilan adalah cara penyelesaian

sengketa antara pengguna barang/jasa dengan penyedia barang/jasa dengan

memilih penyelesaian melalui pengadilan. Putusan yang dijatuhkan oleh

pengadilan bersifat mengikat artinya putusan tersebut dapat dipaksakan

pelaksanaannya. Apabila salah satu pihak tidak mau melaksanakan putusan secara

sukarela maka pengadilan dapat melaksanakan eksekusi terhadap putusan dengan

cara paksa. Dalam hal penyelesian sengketa melalui pengadilan, prosedur dan

prosesnya mengikuti ketentuan-ketentuan KUH Perdata.

Penyelesian perselisihan di luar pengadilan terdiri dari arbitrase dan

alternatif penyelesaian sengketa. Menurut penjelasan Pasal 94 ayat (2) Perpres No

35 Tahun 2011 arbitrase atau perwasitan adalah cara penyelesaian suatu

perselisihan diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase

yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang berselisih. Sedangkan

penyelesaian sengketa dengan alternatif penyelesaian sengketa (ADR) adalah


91

lembaga penyelesaian perselisihan atau beda pendapat diluar pengadilan melalui

prosedur yang disepakati para pihak.

Perjanjian pekerjaan konstruksi rehabilitasi gedung kantor PTA

Yogyakarta menyebutkan klausul penghentian dan pemutusan kontrak pada

Syarat-Syarat Umum Kontrak (SSUK) Huruf B.6.38. yang menyatakan bahwa

penghentian kontrak dapat dilakukan karena pekerjaan sudah selesai atau terjadi

keadaan kahar. Dalam hal kontrak dihentikan, maka PPK wajib membayar kepada

penyedia sesuai dengan prestasi pekerjaan yang telah dicapai, termasuk:

a. Biaya langsung pengadaan bahan dan perlengkapan untuk pekerjaan.

Bahan dan perlengkapan harus diserahkan kepada PPK dan menjadi hak

milik PPK;

b. Biaya langsung pembongkaran dan demobilisasi hasil pekerjaan

sementara dan peralatan;

c. Biaya langsung demobilisasi personal.

Sedangkan pemutusan kontrak dapat dilakukan oleh pihak penyedia atau

pihak PPK. Menyimpang dari Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata pemutusan

kontrak melalui pemberitahuan tertulis dapat dilakukan apabila :

a. Penyedia lalai/cidera janji dalam melaksanakan kewajibannya dan

tidak memperbaiki kelalainnya dalam jangka waktu yang ditetapkan;

b. Penyedia tanpa persetujuan pengawas pekerjaan tidak memulai

pelaksanaan pekerjaan;
92

c. Penyedia menghentikan pekerjaan selama 28 (dua puluh delapan) hari

dan penghentian ini tidak tercantum dalam program mutu serta tanpa

persetujuan pengawas pekerjaan;

d. Penyedia dalam keadaan pailit;

e. Penyedia selama masa kontrak gagal memperbaiki cacat mutu dalam

jangka waktu yang ditetapkan oleh PPK;

f. Penyedia tidak mempertahankan keberlakuan jaminan pelaksanaan;

g. Denda keterlambatan pelaksanaan pekerjaan akibat kesalahan

penyedia sudah melampaui 5% (lima perseratus) dari nilai kontrak dan

PPK menilai bahwa penyedia tidak akan sanggup menyelesaikan sisa

pekerjaan;

h. Pengawas pekerjaan memerintahkan penyedia untuk menunda

pelaksanaan atau kelanjutan pekerjaan, dan perintah tersebut tidak

ditarik selama 28 (dua puluh delapan) hari;

i. PPK tidak menerbitkan SPP untuk pembayaran tagihan angsuran

sesuai dengan yang disepakati sebagaimana tercantum dalam SSKK;

j. Penyedia terbukti melakukan KKN, kecurangan dan/atau pemalsuan

dalam proses pengadaan yang diputuskan oleh instansi yang

berwenang; dan/atau

k. Pengaduan tentang penyimpangan prosedur, dugaan KKN dan/atau

pelanggaran persaingan sehat dalam pelaksanaan pengadaan

dinyatakan benar oleh instansi yang berwenang.42

42
Syarat-Syarat Umum Kontrak, Nomor : B.6.38.4
93

Dalam hal pemutusan kontrak dilakukan karena kesalahan penyedia SSUK

Huruf B.6.38.5 :

a. Jaminan pelaksanaan dicairkan;

b. Sisa uang muka harus dilunasi oleh penyedia atau jaminan

uang muka dicairkan;

c. Penyedia membayar denda;dan/atau

d. Penyedia dimasukkan dalam daftar hitam.

Dalam hal pemutusan kontrak dilakukan karena PPK terlibat

penyimpangan prosedur, melakukan KKN dan/atau pelanggaran persaingan sehat

dalam pelaksanaan pengadaan, maka PPK dikenakan sanksi berdasarkan peraturan

perundang-undangan.

Perjanjian pekerjaan konstruksi rehabilitasi gedung kantor PTA

Yogyakarta, apabila ada perselisihan antara para pihak maka sesuai dengan

Syarat-Syarat Umum Kontrak (SSUK) huruf H Nomor 70.2 tentang penyelesaian

perselisihan maka langkah-langkah yang diambil oleh para kedua pihak adalah

melalui musyawarah, arbitrase, mediasi, konsiliasi atau pengadilan sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan. Tetapi diatas semua itu karena

perjanjian ini didasarkan dengan itikad baik dari kedua belah pihak maka para

pihak wajib untuk berupaya sungguh-sungguh menyelesaikan secara damai semua

perselisihan yang timbul dari atau berhubungan dengan perjanjian.

Sedangkan dalam Syarat-Syarat Khusus Kontrak (SSKK) Huruf P apabila

perselisihan para pihak mengenai pelaksanaan kontrak tidak dapat diselesaikan

secara damai maka para pihak menetapkan lembaga penyelesaian perselisihan


94

tersebut dibawah sebagai Pemutus Sengketa: Badan Arbitrase Nasional Indonesia

(BANI).

“Semua sengketa yang timbul dari kontrak ini, akan diselesaikan dan

diputus oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menurut peraturan-

peraturan administrasi dan peraturan-peraturan prosedur arbitrase BANI, yang

keputusannya mengikat kedua belah pihak yang bersengketa sebagai keputusan

tingkat pertama dan terakhir. Para pihak setuju bahwa jumlah arbitrator adalah 3

(tiga) orang. Masing-masing pihak harus menunjuk seorang arbitrator dan kedua

kedua arbitrator yang ditunjuk oleh para pihak akan memilih arbitrator ketiga

yang akan bertindak sebagai pimpinan arbitrator”.

Dalam perjanjian pekerjaan konstruksi rehabilitasi gedung kantor PTA

Yogyakarta antara pihak pengguna (PPK) dan penyedia barang/jasa (CV Tri Jaya)

diakhiri dengan pernyataan wanprestasi oleh PPK terhadap CV Tri Jaya selaku

penyedia. Wanprestasi tersebut didasarkan karena :

1. Tidak ada itikad baik dari pihak penyedia dalam hal ini CV Tri Jaya

untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan yang timbul akibat

pekerjaan rehabilitasi Gedung Kantor PTA Yogyakarta.

2. Pihak penyedia melaksanakan apa yang diperjanjikan tetapi tidak

sesuai sebagaimana yang dijanjikan sebelumnya.

Akibat yang timbul dari wanprestasi tersebut adalah putusnya perjanjian

antara pihak pengguna (PPK) dengan pihak penyedia (CV Tri Jaya). Pemutusan

perjanjian karena salah satu pihak dalam hal ini penyedia melakukan wanprestasi

mengakibatkan :
95

a. Jaminan pelaksanaan dicairkan;

b. Sisa uang muka harus dilunasi oleh penyedia atau jaminan uang

muka dicairkan;

c. Penyedia membayar denda;dan/atau

d. Penyedia dimasukkan dalam daftar hitam.

Karena wanprestasi yang dilakukan oleh CV Tri Jaya dilakukan pada masa

pemeliharaan maka PPK sesuai dengan SSUK Huruf B.31.8 yang berbunyi :

“PPK menerima penyerahan akhir pekerjaan setelah penyedia melaksanakan

semua kewajibannya selama masa pemeliharaan dengan baik. PPK wajib

melakukan pembayaran sisa nilai kontrak yang belum dibayar atau

mengembalikan jaminan pemeliharaan.”

Huruf B.31.9:”Apabila penyedia tidak melaksanakan kewajiban

pemeliharaan sebagaimana mestinya, maka PPK berhak menggunakan uang

retensi untuk membiayai perbaikan/pemeliharaan atau mencairkan jaminan

pemeliharaan.”

Berdasarkan hal tersebut maka PPK dengan surat pernyataan wanprestasi

Nomor : W12-A/0682.a/OT.01.1/V/2013 tanggal 13 Mei 2013 meminta Bank

penjamin untuk mencairkan dana pemeliharaan pekerjaan sebesar 5% (lima

perseratus) dari nilai kontrak rehabilitasi bangunan gedung sesuai prototype

Gedung Kantor PTA Yogyakarta. Pencairan jaminan pemeliharaan tersebut

nantinya digunakan untuk perbaikan gedung dengan metode pengadaan langsung

dan PPK mengusulkan ke Kuasa Pengguna Anggaran untuk melaporkan pihak

penyedia kepada LKPP agar dimasukkan ke dalam daftar hitam (blacklist)


96

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dan diuraikan dalam beberapa

bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan, yaitu :

1. Bentuk wanprestasi yang dilakukan oleh CV Tri Jaya selaku penyedia

barang/jasa dalam Perjanjian Pekerjaan Konstruksi Rehabilitasi

Gedung Kantor PTA Yogyakarta adalah pihak penyedia melaksanakan

apa yang diperjanjikan tetapi tidak sesuai dengan apa yang

diperjanjikan antara pengguna (PPK PTA Yogyakarta) dengan pihak

penyedia (CV Tri Jaya).

2. Penyelesaian wanprestasi yang dilakukan oleh CV Tri Jaya dalam

Perjanjian Pekerjaan Konstruksi Rehabilitasi Gedung Kantor PTA

Yogyakarta adalah dengan pemutusan perjanjian dikarenakan penyedia

melakukan wanprestasi dan selanjutnya PPK dapat mencairkan

jaminan pemeliharaan dan mengusulkan ke Kuasa Pengguna Anggaran

untuk melaporkan pihak penyedia kepada LKPP agar dimasukkan ke

dalam daftar hitam (blacklist).


97

B. Saran

Berdasarkan Perjanjian Pekerjaan Konstruksi Rehabilitasi Gedung Kantor

PTA Yogyakarta, penulis akan memberikan beberapa saran, antara lain:

1. Perencanaan yang matang dalam persiapan pengadaan merupakan

sebuah modal yang berharga pada setiap pengadaan yang dilakukan

oleh Kementerian/ Lembaga/ Satuan Kerja Perangkat Daerah

(K/L/D/I). Dengan perencanaan yang baik maka (K/L/D/I) tidak hanya

berpikiran tentang optimalisasi anggaran yang ada tetapi juga dapat

menghasilkan sebuah pengadaan yang baik dan sesuai dengan aturan.

2. Dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah terutama pekerjaan

konstruksi, walaupun sudah ada pejabat pengawas, Panitia Pengadaan

sedapat mungkin memasukkan personil yang mengerti tentang

speksifikasi bangunan gedung yang baik. Hal ini berkaitan erat dengan

penerimaan hasil pekerjaan yang dilakukan oleh penyedia. Orang-

orang yang kompeten di dalam bidang tersebutlah yang mampu dan

tahu kualitas dari sebuah bangunan.

3. Agar setiap penyedia barang/jasa pemerintah terutama pekerjaan

konstruksi mampu mengukur kemampuan dirinya untuk menjadi

pelaksana dalam sebuah pekerjaan konstruksi. Profesionalisme dan

sikap hati-hati dalam sebuah pekerjaan sangat dibutuhkan untuk

mendorong tingkat kepercayaan rekanan bisnis dan merupakan

pencerminan dari sebuah perusahaan.


DAFTAR PUSTAKA

Amiruddin dan Zainal Asikin, 2003, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja
Grafindo Persada, Jakarta.

Ali, Zainuddin, 2013, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.

Djumialdji, F.X, 1996, Hukum Bangunan, PT Rineka Cipta, Jakarta.

Fuady, Munir, 1998, Kontrak Pemborongan Mega Proyek, Citra Bakti, Bandung.

Mertokusumo, Sudikno, 2007, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty,


Yogyakarta.

Moleong, Lexy J. 2006, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung, Rosdakarya.

Muhammad, Abdul Kadir, 1990, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Ramli, Syamsul, 2013, Bacaan Wajib Para Praktisi Pengadaan Barang/Jasa


Pemerintah, Visimedia, Jakarta.

Ramli, Syamsul, 2014, Mengatasi Aneka Masalah Teknis Pengadaan Barang/Jasa


Pemerintah, Visimedia, Jakarta.

Setiawan, R, 1999, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Putra Aabardin, Bandung.

Simamora, Y. Sogar, 2013, Hukum kontrak Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah,
Visimedia, Surabaya, Wins & Partners

Simanjuntak, PNH, 1999, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, Djambata, Jakarta


Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri. 2006, Penelitian Hukum Normatif, Raja
Grafindo Persada, Jakarta.

Soekanto, Soerjono, 1981. Pengantar Penelitian Hukum. UI Press. Jakarta.

Sutopo,HB. 2002, Metode Penelitian Kualitatif, UNS Press.

Subekti, R.1998.Hukum Perjanjian, PT Intermasa, Jakarta

Widjaya, I.G. Rai, 2008. Merancang Suatu Kontrak, Megapoin, Jakarta.


DAFTAR THESIS DAN KAMUS

Dewi, Farida Ratna, 2013, Pelaksanaan Perjanjian Pengadaan Barang Di


Lingkungan Pemerintah Kabupaten Klaten, Tesis, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.

Dewi, Ruri Damayanti Putri, 2008, ”Pelaksanaan Perjanjian Pekerjaan


Pemborongan Antara CV. Subur Jaya Dengan STSI Surakarta Dalam Rangka
Pelaksanaan Pembangunan Sarana dan Prasarana Gedung STSI Surakarta,
Tesis, Universitas Diponegoro, Semarang.

Rahmiwati, 2013, Pelaksanaan Sub Kontrak Perjanjian antara PT Waskita Karya


dengan CV. Surontani Pembayun Sakti Pada Proyek Pembangunan Basko Green
City Pekanbaru. Tesis, Unversitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Subekti, R dan Tjitrosudibio, 2008, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta

DAFTAR PERATURAN

Republik Indonesia. 2010. Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 tentang


Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Sekretariat Kabinet RI. Jakarta.

Republik Indonesia. 2011. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 35 Tahun


2011 tentang perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Sekretariat Kabinet RI. Jakarta.

Peraturan Kepala LKPP nomor 7 Tahun 2011 tentang Petunjuk Teknis Operasional
Daftar Hitam.

Perjanjian Pemborongan antara Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) PTA Yogyakarta


dengan CV Tri Jaya Nomor : W12-A/0779/PL.01/V/2012 tanggal 29 Mei 2012
tentang Rehabilitasi Bangunan Gedung Kantor Sesuai Prototype Gedung Kantor
PTA Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai