Anda di halaman 1dari 84

IMPLEMENTASI MEDIASI DALAM PERKARA PERCERAIAN

DI PENGADILAN AGAMA KABUPATEN KEDIRI

PROPOSAL PENELITIAN

Disusun oleh :

AKHMAD MU’TASHIM

NIM 20186110424

PRROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM (AHWAL

SYAKHSHIYAH)

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS WAHIDIYAH KEDIRI

2022
IMPLEMENTASI MEDIASI DALAM PERKARA PERCERAIAN

DI PENGADILAN AGAMA KABUPATEN KEDIRI

PROPOSAL PENELITIAN

Diajukan Kepada Program Sarjana

Universitas Wahidiyah Kediri Untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan

Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Pada Program Studi Ahwal Asyahsiyah

AKHMAD MU’TASHIM

NIM 20186110424

PRROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM (AHWAL

SYAKHSHIYAH)

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS WAHIDIYAH KEDIRI

2022
HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi oleh Akhmad Mu’tashim, NIM 20186110424 dengan judul

Implementasi Mediasi Dalam Perkara Perceraian di Pengadilan Agama

Kabupaten Kediri Tahun 2021 telah memenuhi syarat dan disetujui untuk

diajukan.

Kediri, 22 Januari 2022

Pembimbing,

Bpk. Moh. Ali Anwar, M.Hum

Mengetahui,

Ketua Program Studi Hukum Keluarga Islam (Ahwal Syakhshiyah)

Roisatul Wahidah, S, Sy.

NIY. 1991102212013022020
HALAMAN PENGESAHAN

Proposal Penelitian oleh Akmad Mu’tashim NIM. 20186110424, dengan Judul

Impelemntasi Mediasi Dalam Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Kabupaten

Kediri telah memenuhi syarat dan disetujui serta telah diujikan pada tanggal 4

Februari 2022.

Dewan Penguji,

1. Indana Zulfa, S. H. I., M.H. Penguji I ...................................

2. Nur Wachid,S.H.I.,M.Pd Penguji II

3. Millatul Wahidah, S.Sy., M.H. Penguji III ……………………….

Mengetahui,
Ketua Prodi Ahwal Syakhshiyyah

Roisatul Wahidah, S. Sy.


NIY. 199110212013022020
KATA PENGANTAR

Dengan taufik Allah SWT, Syafaat Rosululloh SAW, Barokah nadroh

Beliau Ghoutsu hadaz Zaman RA, serta do’a restu Hadrotul Mukarom Kanjeng

Romo Kyai Abdul Madjid Ali Fikri RA. Penngasuh Perjuangan Wahidiyah dan

Pondok Pesantren Kedunglo Al-Munadhoroh. Penulis dapat menyelesaikan

skripsi dengan judul : “Implementasi Mediasi Dalam Perkara Perceraian di

Pengadilan Agama Kabupaten Kediri Tahun 2021”.

Adapun maksud dari penulisan skripsi ini adalah dalam rangka

melengkapi tugas akhir kuliah dan memenuhi syarat untuk mencapai gelar Sarjana

Pendidikan jurusan Hukum Keluarga Islam (Ahwal Saykhshiyah) Universitas

Wahidiyah Kediri.

Dalam terselesainya skripsi ini, tak lupa penulis mengucapkan terima

kasih yang sebanyak - banyaknya kepada semua pihak yang telah membantu

dengan do’a serta mujahadahnya, dalam hal ini penulis menyampaikan terima

kasih yang sebesar - besarnya dengan iringan do’a : “jazaa kumullohu khoiroti wa

sa’adatid dunya wal aakhiroh”, kepada :

1. Hadrotul Mukarrom Kanjeng Romo Kyai Abdul Madjid Ali Fikri RA.

Pengasuh Perjuangan Wahidiyah dan Pondok Pesantren Kedunglo Al

Munadhdhoroh atas bimbingan lahir, batin dan do’a restunya.

2. Ibu Dr. Fauziah Isnaini, M.Pd.I., selaku Rektor Universitas wahidiyah

3. Bapak Edi Purwanto, M. H.I., selaku dekan Fakultas Syariah Universitas

Wahidiyah Kediri.
4. Ibu Roisatul Wahidah, S. Sy., selaku ketua program studi ahwal

syakhshiyah.

5. Bapak Moch. Ali Anwar, M. H., yang telah membimbing penulis dalam

penyususnan skripsi.

6. Bapak Ibu Dosen Universitas Wahidiyah Kediri yang telah memberiakan

bekal ilmu dan pengalaman selama saya belajar, semoga ilmu yang

diberikan bermanfaat bagi penulis.

7. Kedua orang tua ku, saudara-saudara ku, atas dukungannya baik moral

maupun spiritual.

8. Ketua pengadilan agama kabupaten Kediri dan struktural pengadilan

agama kabupaten Kediri, yang membantu dalam proses penelitian.

Penulis sadar bahwa dalam penulisan skripsi ini, masih banyak kesalahan

dan kekurangan, sehingga perlu penyempurnaan dan perbaikan. Untuk itu segala

bentuk kritik dan saran dari pembaca yang sifatnya membangun demi

kesempurnaan skripsi ini, penulis harapkan. Akhirnya, besar harapan penulis

semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna bagi pihak lain.

Kediri, 22 Januari 2022

Penulis

Akhmad Mu’tashim
DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN.........................................................................................ii
HALAMAN PENGESAHAN.........................................................................................iii
KATA PENGANTAR.....................................................................................................iv
DAFTAR ISI....................................................................................................................vi
BAB I................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.............................................................................................................1
A Latar Belakang Masalah..................................................................................1
B Rumusan Masalah............................................................................................4
C Tujuan Penelitian.............................................................................................4
D Manfaat Penelitian...........................................................................................4
E Ruang Lingkup Penelitian...............................................................................5
F Definisi Istilah...................................................................................................5
BAB II...............................................................................................................................7
KAJIAN PUSTAKA........................................................................................................7
A Pengertian Mediasi...........................................................................................7
B Perceraian.......................................................................................................11
C Dasar Hukum Mediasi...................................................................................12
D Dasar Hukum Acara Pengadilan Agama.....................................................47
E Kerangka Berpikir.........................................................................................63
BAB III...........................................................................................................................65
METODOLOGI PENENLITIAN.................................................................................65
A Pendekatan Dan Jenis Penelitian..................................................................65
B Tempat Penelitian.........................................................................................66
C Subjek Dan Objek Penelitian........................................................................66
D Teknik Pengumpulan Data............................................................................66
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................72
BAB I

PENDAHULUAN

A Latar Belakang Masalah

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan

wanita yang diharapkan di dalamnya tercipta rasa sakinah, mawaddah dan

rahmah. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan adanya saling pengertian

dan saling memahami kepentingan kedua belah pihak, terutama lagi yang

terkait dengan hak dan kewajiban.

Dari kegiatan praktek di pengadilan agama yang diadakan oleh prodi

hukum keluarga universitas wahidiyah dan bekerja sama dengan pengadilan

agama kabupaten kediri disana kami menjumpai bahwa banyak sekali perkara

perceraian yang diproses setiap harinya, hal itu mengartikan bahwa angka

kasus perceraian di pengadilan agama kabupaten kediri cukup tinggi dan latar

belakang para pihak dengan perkara perceraian di pengadilan agama kabuten

kediri sangatlah beragam. Antara lain yaitu tidak terpenuhinya hak yang harus

diperoleh atau tidak dilaksanakannya kewajiban dari salah satu pihak, atau

karena alasan lain, yang dapat berakibat timbulnya suatu perselisihan diantara

keduanya (suami isteri) tersebut. Dan tidak mustahil dari perselisihan itu akan

berbuntut pada putusnya ikatan perkawinan (perceraian).

Salah satu alasan atau sebab dimungkinkannya perceraian adalah

syiqaq (terjadinya perselisihan/persengketaan yang berlarut-larut antara suami

isteri). Namun jauh sebelumnya dalam Al-Qur’an surah an-Nisaa ayat 35,

1
Allah swt., telah memerintahkan bahwa jika dikhawatirkan ada persengketaan

antara keduanya (suami isteri), maka kirimlah seorang hakam (mediator) dari

keluarga laki-laki dan seorang hakam (mediator) dari keluarga perempuan.

Dari ayat di atas, dapat dipahami bahwa Alloh SWT sangat tidak

menyukai adanya perceraian sesuai sabda Nabi SAW “perkara halal yang

paling dibenci alloh SWT adalah thalak” HR. Abu dawud dan Ibnu Majah.

Meskipun perceraian tidak dihamkan namun ada salah satu cara

menyelesaikan perselisihan/persengketaan antara suami isteri, yaitu dengan

jalan mediasi yang dimana dari kedua belah pihak mengirim seorang hakam

selaku “mediator” dari kedua belah pihak untuk membantu menyelesaikan

perselisihan tersebut.

Mediasi adalah salah satu cara penyelesaian sengketa “non litigasi”,

yaitu penyelesaian yang dilakukan di luar jalur pengadilan. Namun tidak

selamanya proses penyelesaian sengketa secara mediasi, murni ditempuh di

luar jalur pengadilan.

Proses perceraian yang dilaksanakan di Pengadilan Agama maupun di

Pengadilan Agama, kedua belah pihak yang berperkara baik suami maupun

istri harus tunduk dengan aturan hukum yang berlaku. Proses perseraian yang

mewajibkan dilakukan melalui proses pengadilan dimaksudkan untuk

memberikan kepastian tentang status suami-istri secaraadministrasi

kenegaraan. Proses ini juga bertujuan agar pelaksanaannya dimasyarakat

melalui tahapan mulai dari pertemuan oleh atasan bagi Pegawai Negari Sipil

2
atau Pegawai Negara, pertemuan dengan Pejabat Kantor Urusan Agama

(KUA), hingga pertemuan dengan Hakim di Pengadilan Agama, maksud dari

Pertemuan-pertemuan ini adalah untuk memperoleh izin dilakukannya

perceraian. Izin yang diberikan oleh atasan/pimpinan bagi para pihak yang

merupakan Pegawai Negeri Sipil atau Pegawai Negara, pejabat KUA dan

Hakim Pengadilan Agama didahului dengan tawaran rujuk dan pikir-pikir

kembali tentang maksud para pihak yang ingin berpisah. Proses inilah yang

disebut dengan proses mediasi. Proses mediasi yang dilakukan oleh

pimpinan, pejabat KUA dan/atau Hakim Pengadilan Agama dilakukan dalam

upaya memberikan peluang kepada para pihakuntuk berkesempatan mencari

pokokpermasalahan utama agar diperoleh jalan keluar terbaik bagi kedua

belah pihak. (Wahyu Ernaningsih dan Putu Samawati, 2014)

Keharusan melaui proses mediasi dalam penyelasaian perkara

perceraian di Pengadilan Agama Kabupaten Kediri mengikuti dengan

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016

Bagian Kedua mengenai Jenis Perkara Wajib Menempuh Mediasi,

Berhubngan dengan UU No. 7 Tahun 1987 Pasal 82.

Perdamain merupakan usaha yang paling efektif untuk menerapkan

asas sederhana, cepat, biaya ringan di pengadilan, oleh karena itu penerapan

mediasi dalam pengadilan harus benar-benar dapat menekan angka perceraian

yang tinggi pada setiap tahunnya.

3
Mediasi juga sangat dianjurkan dalam agama islam untuk

menyelesaikan pemrasalahan, sesuai dengan firman Alloh SWT. Dalam surat

Al-Hujarat ayat 10 yang berbunyi:

Artinya:Orang-orang yang beriman itu sesungguhnya bersaudara.

Sebab itu damaikanlah (perbaikilahh hubungan) antar kedua saudaramu itu

dan takutlah terhadap alloh, supaya kamu mendapat rahmat. (RI, 2001)

Dari ayat diatas dapat disimpulkan bahwa Alloh SWT memberi kan

arahan dan ancaman kepada orang-orang muslim yang dimana ketika mereka

mendapati permasalah dengan muslim yang lain supaya untuk segera

berdamai semata-mata menjalannkan perintah Alloh.

Dalam Al-Qur’an Surat Al-Huajarat ayat 9 yang berbunyi:

‫اتِلُوا‬CCَ‫ ٰرى فَق‬C‫ ٰدى ُه َما َعلَى ااْل ُ ْخ‬C‫ا ِ ۢنْ بَ َغتْ اِ ْح‬Cَ‫ا ف‬Cۚ C‫صلِ ُح ْوا َب ْينَ ُه َم‬
ْ َ ‫َواِنْ طَ ۤا ِٕىفَ ٰت ِن ِمنَ ا ْل ُمْؤ ِمنِيْنَ ا ْقتَتَلُ ْوا فَا‬
‫هّٰللا‬ ‫هّٰللا‬
ِ ‫سطُ ْوا ۗاِنَّ َ يُ ِح ُّب ا ْل ُم ْق‬
( َ‫س ِطيْن‬ ْ َ ‫الَّتِ ْي تَ ْب ِغ ْي َح ٰتّى تَفِ ۤ ْي َء اِ ٰلٓى اَ ْم ِر ِ ۖفَاِنْ فَ ۤا َءتْ فَا‬
ِ ‫صلِ ُح ْوا بَ ْينَ ُه َما بِا ْل َع ْد ِل َواَ ْق‬

)9

Artinya: Dan apabila ada dua golongan orang-orang mukmin

berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari

keduanya berbuat zalim terhadap (golongan) yang lain, maka perangilah

(golongan) yang berbuat zalim itu, sehingga golongan itu kembali kepada

perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah),

maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlakulah adil.

Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.

4
Dari ayat diatas diterangkan bahwa jika ada perselisihan hendaklah

diselasaikan secara damai dengan melakukan perdamaian dan jika dari salah

sat pihak ada yang berbuat buruk maka perangilah golangan tersebut sehingga

sadar kembali kepada Alloh swt, dan jika sudah sadar kembali kepada Alloh

SWT maka damaikanlah kembali. Dari hal itu jelas bahwa tidak ada unsur

pemaksaan dalam proses perdamaian dan jika proses itu gagal dalam mediasi

yang pertama maka pengadilan wajib untuk mendamaikan kembali kedua

pihak sampai sebelum lahirnya putusan pengadilan diantara keduanya. Hal itu

sesua dengan PERMA No.1 Tahun 2006 yang mengatur tentang mediasi dan

sesua denga UU No. 7 Tahun 1987 bab empat tentang hukum acara perdata.

Dalam mediasi terdapat seorang yang bertugas sebagai mediator

dalam PERMA No. 3 Tahun 2006 pasal 1 ayat 3 menjelaskan bahwa

Mediator adalah Hakim atau pihak lain yang memiliki Sertifikat Mediator

sebagai pihak netral yang membantu Para Pihak dalam proses perundingan

guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa

menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.

Mediasi yang berhasil mendamaikan para pihak berperkara maka akan

lahir kesepakatan perdamaian sebagaimana dijelaskan dalam PERMA No. 1

Tahun 2016 pasal 1 ayat 8 “Kesepakatan Perdamaian adalah kesepakatan

hasil Mediasi dalam bentuk dokumen yang memuat ketentuan penyelesaian

sengketa yang ditandatangani oleh Para Pihak dan Mediator.” Dan pasal 1

ayat 9 “Kesepakatan Perdamaian Sebagian adalah kesepakatan antara pihak

penggugat dengan sebagian atau seluruh pihak tergugat dan kesepakatan

5
Para Pihak terhadap sebagian dari seluruh objek perkara dan/atau

permasalahan hukum yang disengketakan dalam proses Mediasi.”

Setelah terjadi kesepakatan maka akan lahir sebuah akta yaitu akta

perdamaian sebagaimana dijelaskan dalam PERMA No.1 Tahun 2016 pasal 1

ayat 10 “Akta Perdamaian adalah akta yang memuat isi naskah perdamaian

dan putusan Hakim yang menguatkan Kesepakatan Perdamaian.”

Dikuat kan dalam PERMA No. 1 Tahun 2016 pasal 37 ayat 1

“Dalam hal Kesepakatan Perdamaian diajukan untuk dikuatkan dalam

bentuk Akta Perdamaian tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 27 ayat (2), Hakim Pemeriksa Perkara wajib memberikan

petunjuk kepada Para Pihak tentang hal yang harus diperbaiki”

Ketika mediasi tidak berhasil atau tidak dapat dilaksanakan maka

mediator wajib menyatakan mediasi tidak berhasil mencapai kesepakatan dan

memberitahukannya secara tertulis kepada hakim pemeriksa perkara. Hal itu

berdasar pada PERMA No. 1 Tahun 2016 pasal 32.

Oleh karenanya dalam kajian ini penulis akan mencoba melihat serta

membahas sejauhmana peran mediator, proses mediasi, hasil dari pada proses

mediasi menyelesaikan sengketa perceraian di Pengadilan berdasakan

Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016.

B Rumusan Masalah

Berdasarkan judul penelitian diatas, penulis menentuka rumusan

masalah yang dijadika objek penelitian ini adalah :

6
1. Bagaimana implementasi mediasi dalam perkara perceraian di pengadilan

agama kabupaten kediri?

2. Bagaimana keberhasilan mediasi dalam menyelesaikan perkara

perceraian di Penadilan Agama Kabupaten Kediri?

C Tujuan Penelitian

1. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui implementasi

mediasi dalam perkara perceraian di pengadilan kabupaten kediri tahun

2021.

2. Untuk mengetahui tingkat keberhasialan mediasi di Pengadilan Agama

Kabupaten Kediri.

D Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini dapat memperkaya pengetahuan dan

pengalaman dalam bidang hukum acara perdata. Hasil penelitian ini

dapat dijadikan acuan pada penelitian selanjutanya sehingga objek

penelitian dapat berkembang menjadi lebih baik dari sebelumnya.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan referensi

difakultas Syariah Universitas Wahidiyah.

E Batasan Masalah

Penulis melakukan penelitian dengan objek teliti pada Pengadilan

Agama Kabupaten Kediri tahun 2021 M.

7
F Definisi Istilah

1. Implementasi

Implementasi yaitu pelaksanaan atau penerapan atau penyediaan

sarana untuk melakukan sesuatu yang menimbulkan dampak atau akibat

terhadap suatu hal. Merupakan sebuah aktivitas tertentu yang dibuat untuk

mempraktikkan program dengan dimensi yang sudah diketahui. Kegiatan

ini dilaksanakan secara rinci sehingga pengamatan bisa mendeteksi

keberadaan dan kekuatan dari aktivitas tersebut.

2. Mediasi

Mediasi merupakan penyelasaian sengketa antara para pihak

melalui bantuan mediator

3. Perceraian

Perceraian merupakan terputusnya hubungan antara suami istri,

disebabkan oleh kegagalan suami atau istri dalam menjalankan peran

obligasi masing-masing.

8
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A Pengertian Mediasi

Istilah mediasi berasal dari bahasa Latin "mediare" yang berarti "

ditengah-tengah, " sedangkan definisi mediasi dapat dibaca dalam berbagai

literatur, di antaranya definisi dari Moore yang berbunyi: "the intervention in a

negotiation or a conflict of an acceptable third party who has limited or no

authotitative decision making power, who assists the involved parties in

voluntary reaching a mutually accectable settlement of issues in dispute.

(Moore, 2003)

Definisi lain mediasi menu rut Nolan-Haley adalah: " a short term,

structured, task oriented, participatory intervention process. Diputing parties

work with a neutral third party, the mediator, to reach a mutually acceptable

agreement. " (Nolan-halley, op. cit. , p. 56.)

Definisi mediasi menurut Kovach: " facilitated negotiation. It is process

by which a neutral third party, the mediator, assists disputing parties in reching

a mutually satisfactory resolution." (Kovach, 1994)

Dari berbagai definisi mediasi yang telah diuraikan sebelumnya, dapat

disimpulkan bahwa di dalam pengertian tersebut terdapat unsurunsur yang

merupakan ciri mediasi, yaitu:

1. mediasi adalah negosiasi lanjutan;

9
2. dibantu oleh pihak ketiga yang netral dan tidak berpihak;

3. pihak ketiga tidak mempunyai wewenang untuk memutus;

4. keberadaan pihak ketiga diterima oleh para pihak;

5. bertujuan untuk menyelesaikan sengketa berdasarkan kesepakatan yang

memuaskan.

Mediasi juga merupakan suatu proses negosiasi untuk memcahkan

masalah melui pihak ketiga yang tidak memihak dan netral yang akan bekerja

dengan pihak yang bersengketa untuk membantu menemukan solusi dalam

menyelesaikan sengketa tersebut secara memuaskan bagi kedua pihak yang

bersengketa.

Pihak ketiga yang membantu menyelasaikan sengketa tersebut disebut

sebagai mediator. Pihak mediator tidak mempunyai kewenangan untuk

memberi putusan terhadap sengketa tersebut, melainkan hanya berfungsi

membantu dan menemukan solusi terhadap para pihak yang bersengketa

tersebut. Pengalaman, kemampuan, dan integritas dari para pihak mediator

diharapkan dapat mengefektifkan proses mediasi di antara para pihak yang

bersengketa. (Fuady, 2000)

Mediasi dapat juga diartikan sebagai suatu upaya penyelesaian sengketa

dengan melibatkan pihak ketiga yang netral, yang tidak memiliki kewenangan

mengambil keputusan, yang membantu pihak-pihak yang bersengketa

mencapai penyelesaian (solusi) yang diterima oleh kedua belah pihak.

Diharapkan dengan mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa

10
dapat dicapai tujuan utama dari mediasi tersebut yakni :

1. Membantu mencarikan jalan keluar/alternatif penyelesaian atas

sengketa yang timbul diantara para pihak yang disepakati dan dapat

diterima oleh para pihak yang bersengketan.

2. Dengan demikian proses negosiasi sebagai proses yang forward looking

dan bukan backward looking, yang hendak dicapai bukanlah mencari

kebenaran dan/atau dasar hukum yang diterapkan namun lebih kepada

penyelesaian masalah. “The goal is not truth finding or law imposing,

but problem solving”

Sebagai tambahan dari tujuan utama mediasi yang perlu juga dijadikan

acuan mempertimbangkan penyelesaian sengketa melalui mediasi adalah:

1. Melalui proses mediasi diharapkan dapat dicapai terjalinnya

komunikasi yang lebih baik diantara para pihak yang bersengketa.

2. Menjadikan para pihak yang bersengketa dapat mendengar, memahami

alasan/penjelasan/argumentasi yang menjadi dasar/pertimbangan pihak

yang lain.

3. Dengan adanya pertemuan tatap muka, diharapkan dapat mengurangi

rasa marah/bermusuhan antara pihak yang satu dengan yang lain.

4. Memahami kekurangan/kelebihan/kekuatan masing-masing, dan hal ini

diharapkan dapat mendekatkan cara pandang dari pihak-pihak yang

bersengketa, menuju suatu

11
Ada beberapa sengketa yang dapat diselesaikan melalui mediasi, antara

lain:

1. Mediasi dapat diterapkan dan dipergunakan sebagai cara penyelesaian

sengketa diluar jalur pengadilan (Out of court Settlement) untuk

sengketa perdata yang timbul diantara para pihak, dan bukan perkara

pidana. Dengan demikian, setiap sengketa perdata dibidang perbankan

(termasuk yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/

Tahun 2006 dapat diajukan dan untuk diselesaikan melalui Lembaga

Mediasi Perbankan.

2. Jika sengketa diantara pihak ternyata tidak hanya menyangkut sengketa

perdata tapi sekaligus juga sengketa pidana dan mungkin juga sengketa

tata usaha negara, tetap merupakan cakupan dari lembaga mediasi yakni

sengketa-sengketa dibidang perdata. Namun demikian, dalam praktek

sering kali para pihak sepakat bahwa penyelesaian sengketa perdata

yang disepakati dengan musyawarah mufakat (melalui mediasi), akan

dituangkan dalam suatu perjanjian perdamaian, dan dipahami juga

bahwa walau para pihak tidak dapat dibenarkan membuat perjanjian

perdamaian bagi perkara pidana mereka dapat menggunakan perjanjian

perdamaian atas sengketa perdata mereka sebagai dasar untuk dengan

iktikad baik sepakat tidak melanjutkan perkara pidana yang timbul

diantara mereka dan/atau mencabut laporan perkara pidana tertentu,

sebagaimana dimungkinkan.

12
B Perceraian

Dalam Kamus Bahasa Indonesia kata “cerai” dimaknai dengan pisah

atau putusnya hubungan sebagai suami-istri. Sehingga “perceraian” merupakan

kata yang merujuk kepada keadaan dari makna kata “cerai” tersebut. Sehingga

dapat dipahami bahwa dalam sebuah perceraian, yang putus itu hanyalah

hubungan sebagai suami dan istri, oleh karena itu keduanya tidak dibolehkan

lagi bergaul layaknya suami dan istri pada umumnya (Alghifari, 2020).

Perceraian pada dasarnya merupakan peristiwa hukum yang merupakan

suatu kejadian yang akan menimbulkan dan menghilangkan hak maupun

kewajiban. Perceraian menurut adat adalah merupakan peristiwa luar biasa,

sebuah problema sosial dan yuridis yang penting dalam kebanyakan daerah.

(Afandi, 1984).

Menurut Subekti, perceraian merupakan salah satu peristiwa yang dapat

terjadi dalam suatu perkawinan, perceraian adalah penghapusan perkawinan

dengan putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan.

(Subekti, 2001).

Adapun Perceraian dalam istilah ahli fiqih disebut “talak” atau

“furqah” ialah membuka ikatan membatalkan perjanjian, sedangkan furqah

artinya bercerai. Kedua kata itu dipakai oleh para ahli fiqih sebagai satu

istilah yang berarti bercerai antara suami isteri. Menurut istilah Hukum Islam,

talak dapat berarti:

1. Melepaskan ikatan perkawinan dan mengakhiri hubungan suami isteri.

13
2. Menghilangkan ikatan perkawinan atau rnengurangi keterikatannya

dengan menggunakan ucapan tertentu.

3. Melepaskan ikatan perkawinan dengan ucapan talak atau yang

sepadan dengan itu. (Hamid, 1988).

C Dasar Hukum Mediasi

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016

Tentang Prosedur Mediasi.

Menimbang :

a. bahwa Mediasi merupakan cara penyelesaian sengketa secara damai

yang tepat, efektif, dan dapat membuka akses yang lebih luas kepada

Para Pihak untuk memperoleh penyelesaian yang memuaskan serta

berkeadilan;

b. bahwa dalam rangka reformasi birokrasi Mahkamah Agung Republik

Indonesia yang berorientasi pada visi terwujudnya badan peradilan

indonesia yang agung, salah satu elemen pendukung adalah Mediasi

sebagai instrumen untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap

keadilan sekaligus implementasi asas penyelenggaraan peradilan yang

sederhana, cepat, dan berbiaya ringan;

c. bahwa ketentuan hukum acara perdata yang berlaku, Pasal 154 Reglemen

Hukum Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Reglement Tot

Regeling Van Het Rechtswezen In De Gewesten Buiten Java En Madura,

Staatsblad 1927:227) dan Pasal 130 Reglemen Indonesia yang

14
diperbaharui (Het Herziene Inlandsch Reglement, Staatsblad 1941:44)

mendorong Para Pihak untuk menempuh proses perdamaian yang dapat

didayagunakan melalui Mediasi dengan mengintegrasikannya ke dalam

prosedur berperkara di Pengadilan;

d. bahwa Prosedur Mediasi di Pengadilan menjadi bagian hukum acara

perdata dapat memperkuat dan mengoptimalkan fungsi lembaga peradilan

dalam penyelesaian sengketa;

e. bahwa Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun

2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan belum optimal memenuhi

kebutuhan pelaksanaan Mediasi yang lebih berdayaguna dan mampu

meningkatkan keberhasilan Mediasi di Pengadilan;

f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,

huruf b, huruf c, huruf d dan huruf e, perlu menyempurnakan Peraturan

Mahkamah Agung tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

Mengingat :

1. Reglemen Hukum Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura

(Reglement Tot Regeling Van Het Rechtswezen In De Gewesten Buiten

Java En Madura, Staatsblad 1927:227);

2. Reglemen Indonesia yang diperbaharui (Het Herziene Inlandsch

Reglement, Staatsblad 1941:44);

3. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung

15
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 3, Tambahan

Lembaran Negara Nomor 4958);

4. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157 Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN MAHKAMAH AGUNG TENTANG

PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Mahkamah Agung ini yang dimaksud dengan:

1. Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan

untuk memperoleh kesepakatan Para Pihak dengan dibantu oleh

Mediator.

2. Mediator adalah Hakim atau pihak lain yang memiliki Sertifikat

Mediator sebagai pihak netral yang membantu Para Pihak dalam

proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian

sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah

penyelesaian.

16
3. Sertifikat Mediator adalah dokumen yang diterbitkan oleh Mahkamah

Agung atau lembaga yang telah memperoleh akreditasi dari

Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa seseorang telah

mengikuti dan lulus pelatihan sertifikasi Mediasi.

4. Daftar Mediator adalah catatan yang memuat nama Mediator yang

ditunjuk berdasarkan surat keputusan Ketua Pengadilan yang

diletakkan pada tempat yang mudah dilihat oleh khalayak umum.

5. Para Pihak adalah dua atau lebih subjek hukum yang bersengketa dan

membawa sengketa mereka ke Pengadilan untuk memperoleh

penyelesaian.

6. Biaya Mediasi adalah biaya yang timbul dalam proses Mediasi sebagai

bagian dari biaya perkara, yang di antaranya meliputi biaya

pemanggilan Para Pihak, biaya perjalanan salah satu pihak berdasarkan

pengeluaran nyata, biaya pertemuan, biaya ahli, dan/atau biaya lain

yang diperlukan dalam proses Mediasi.

7. Resume Perkara adalah dokumen yang dibuat oleh Para Pihak yang

memuat duduk perkara dan usulan perdamaian.

8. Kesepakatan Perdamaian adalah kesepakatan hasil Mediasi dalam

bentuk dokumen yang memuat ketentuan penyelesaian sengketa yang

ditandatangani oleh Para Pihak dan Mediator.

9. Kesepakatan Perdamaian Sebagian adalah kesepakatan antara pihak

penggugat dengan sebagian atau seluruh pihak tergugat dan

kesepakatan Para Pihak terhadap sebagian dari seluruh objek perkara

17
dan/atau permasalahan hukum yang disengketakan dalam proses

Mediasi.

10. Akta Perdamaian adalah akta yang memuat isi naskah perdamaian dan

putusan Hakim yang menguatkan Kesepakatan Perdamaian.

11. Hakim adalah hakim pada Pengadilan tingkat pertama dalam

lingkungan peradilan umum dan peradilan agama.

12. Hakim Pemeriksa Perkara adalah majelis hakim yang ditunjuk oleh

ketua Pengadilan untuk memeriksa dan mengadili perkara.

13. Pegawai Pengadilan adalah panitera, sekretaris, panitera pengganti,

juru sita, juru sita pengganti, calon hakim dan pegawai lainnya.

14. Pengadilan adalah Pengadilan tingkat pertama dalam lingkungan

peradilan umum dan peradilan agama.

15. Pengadilan Tinggi adalah pengadilan tingkat banding dalam

lingkungan peradilan umum dan peradilan agama.

16. Hari adalah hari kerja

BAB II

PEDOMAN MEDIASI DI PENGADILAN

Bagian Kesatu Ruang Lingkup

Pasal 2

1. Ketentuan mengenai Prosedur Mediasi dalam Peraturan Mahkamah Agung

ini berlaku dalam proses berperkara di Pengadilan baik dalam

lingkungan peradilan umum maupun peradilan agama.

18
2. Pengadilan di luar lingkungan peradilan umum dan peradilan agama

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menerapkan Mediasi

berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung ini sepanjang dimungkinkan

oleh ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 3

1. Setiap Hakim, Mediator, Para Pihak dan/atau kuasa hukum wajib

mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui Mediasi.

2. Hakim Pemeriksa Perkara dalam pertimbangan putusan wajib

menyebutkan bahwa perkara telah diupayakan perdamaian melalui

Mediasi dengan menyebutkan nama Mediator.

3. Hakim Pemeriksa Perkara yang tidak memerintahkan Para Pihak untuk

menempuh Mediasi sehingga Para Pihak tidak melakukan Mediasi telah

melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur

mengenai Mediasi di Pengadilan.

4. Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud

pada ayat (3), apabila diajukan upaya hukum maka Pengadilan Tingkat

Banding atau Mahkamah Agung dengan putusan sela memerintahkan

Pengadilan Tingkat Pertama untuk melakukan proses Mediasi.

5. Ketua Pengadilan menunjuk Mediator Hakim yang bukan Hakim

Pemeriksa Perkara yang memutus.

6. Proses Mediasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan paling

lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya pemberitahuan

putusan sela Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung.

19
7. Ketua Pengadilan menyampaikan laporan hasil Mediasi berikut berkas

perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ke Pengadilan Tinggi atau

Mahkamah Agung.

8. Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Hakim

Pemeriksa Perkara pada Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung

menjatuhkan putusan.

Bagian Kedua

Jenis Perkara Wajib Menempuh Mediasi

Pasal 4

1. Semua sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan termasuk perkara

perlawanan (verzet) atas putusan verstek dan perlawanan pihak berperkara

(partij verzet) maupun pihak ketiga (derden verzet) terhadap pelaksanaan

putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, wajib terlebih dahulu

diupayakan penyelesaian melalui Mediasi, kecuali ditentukan lain

berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung ini.

2. Sengketa yang dikecualikan dari kewajiban penyelesaian melalui Mediasi

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. sengketa yang pemeriksaannya di persidangan ditentukan tenggang

waktu penyelesaiannya meliputi antara lain:

1. sengketa yang diselesaikan melalui prosedur Pengadilan Niaga;

2. sengketa yang diselesaikan melalui prosedur Pengadilan

20
Hubungan Industrial;

3. keberatan atas putusan KomisiPengawas Persaingan

Usaha;

4. keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen;

5. permohonan pembatalan putusan arbitrase;

6. keberatan atas putusan Komisi Informasi;

7. penyelesaian perselisihan partai politik;

8. sengketa yang diselesaikan melalui tata cara gugatan sederhana;

dan

9. sengketa lain yang pemeriksaannya di persidangan ditentukan

tenggang waktu penyelesaiannya dalam ketentuan peraturan

perundang-undangan;

b. sengketa yang pemeriksaannya dilakukan tanpa hadirnya penggugat

atau tergugat yang telah dipanggil secara patut;

c. gugatan balik (rekonvensi) dan masuknya pihak ketiga dalam suatu

perkara (intervensi);

d. sengketa mengenai pencegahan, penolakan, pembatalan dan

pengesahan perkawinan;

e. sengketa yang diajukan ke Pengadilan setelah diupayakan

penyelesaian di luar Pengadilan melalui Mediasi dengan bantuan

Mediator bersertifikat yang terdaftar di Pengadilan setempat tetapi

21
dinyatakan tidak berhasil berdasarkan pernyataan yang ditandatangani

oleh Para Pihak dan Mediator bersertifikat.

3. Pernyataan ketidakberhasilan Mediasi sebagaimana dimaksud pada ayat

(2) huruf e dan salinan sah Sertifikat Mediator dilampirkan dalam surat

gugatan.

4. Berdasarkan kesepakatan Para Pihak, sengketa yang dikecualikan

kewajiban Mediasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf c,

dan huruf e tetap dapat diselesaikan melalui Mediasi sukarela pada tahap

pemeriksaan perkara dan tingkat upaya hukum.

Bagian Ketiga Sifat Proses Mediasi

Pasal 5

1. Proses Mediasi pada dasarnya bersifat tertutup kecuali Para Pihak

menghendaki lain.

2. Penyampaian laporan Mediator mengenai pihak yang tidak beriktikad baik

dan ketidakberhasilan proses Mediasi kepada Hakim Pemeriksa Perkara

bukan merupakan pelanggaran terhadap sifat tertutup Mediasi.

3. Pertemuan Mediasi dapat dilakukan melalui media komunikasi audio

visual jarak jauh yang memungkinkan semua pihak saling melihat dan

mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam pertemuan.

Bagian Keempat Kewajiban Menghadiri Mediasi

Pasal 6

22
1. Para Pihak wajib menghadiri secara langsung pertemuan Mediasi dengan

atau tanpa didampingi oleh kuasa hukum.

2. Kehadiran Para Pihak melalui komunikasi audio visual jarak jauh

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) dianggap sebagai kehadiran

langsung.

3. Ketidakhadiran Para Pihak secara langsung dalam proses Mediasi hanya

dapat dilakukan berdasarkan alasan sah.

4. Alasan sah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi antara lain:

a. kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan hadir dalam pertemuan

Mediasi berdasarkan surat keterangan dokter;

b. di bawah pengampuan;

c. mempunyai tempat tinggal, kediaman atau kedudukan di luar negeri;

atau

d. menjalankan tugas negara, tuntutan profesi atau pekerjaan yang tidak

dapat ditinggalkan.

Bagian Kelima

Iktikad Baik Menempuh Mediasi

Pasal 7

1. Para Pihak dan/atau kuasa hukumnya wajib menempuh Mediasi

dengan iktikad baik.

23
2. Salah satu pihak atau Para Pihak dan/atau kuasa hukumnya dapat

dinyatakan tidak beriktikad baik oleh Mediator dalam hal yang

bersangkutan:

a. tidak hadir setelah dipanggil secara patut 2 (dua) kali berturut-turut

dalam pertemuan Mediasi tanpa alasan sah;

b. menghadiri pertemuan Mediasi pertama, tetapi tidak pernah hadir

pada pertemuan berikutnya meskipun telah dipanggil secara patut 2

(dua) kali berturut- turut tanpa alasan sah;

c. ketidakhadiran berulang-ulang yang mengganggu jadwal

pertemuan Mediasi tanpa alasan sah;

d. menghadiri pertemuan Mediasi, tetapi tidak mengajukan dan/atau

tidak menanggapi Resume Perkara pihak lain; dan/atau

e. tidak menandatangani konsep Kesepakatan Perdamaian yang telah

disepakati tanpa alasan sah.

Bagian Keenam Biaya Mediasi

Paragraf 1

Biaya Jasa Mediator

Pasal 8

1. Jasa Mediator Hakim dan Pegawai Pengadilan tidak dikenakan biaya

2. Biaya jasa Mediator nonhakim dan bukan Pegawai Pengadilan ditanggung

bersama atau berdasarkan kesepakatan Para Pihak.

24
Paragraf 2

Biaya Pemanggilan Para Pihak

Pasal 9

1. Biaya pemanggilan Para Pihak untuk menghadiri proses Mediasi

dibebankan terlebih dahulu kepada pihak penggugat melalui panjar biaya

perkara.

2. Biaya pemanggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

ditambahkan pada perhitungan biaya pemanggilan Para Pihak

untuk menghadiri sidang.

3. Dalam hal Para Pihak berhasil mencapai Kesepakatan

Perdamaian, biaya pemanggilan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) ditanggung bersama atau sesuai kesepakatan Para

Pihak.

4. Dalam hal Mediasi tidak dapat dilaksanakan atau tidak

berhasil mencapai kesepakatan, biaya pemanggilan Para Pihak

dibebankan kepada pihak yang kalah, kecuali perkara

perceraian di lingkungan peradilan agama.

Pasal 10

Biaya lain-lain di luar biaya jasa Mediator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8

dan biaya pemanggilan Para Pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9

dibebankan kepada Para Pihak berdasarkan kesepakatan.

25
Bagian Ketujuh

Tempat Penyelenggaraan Mediasi

Pasal 11

1. Mediasi diselenggarakan di ruang Mediasi Pengadilan atau di tempat

lain di luar Pengadilan yang disepakati oleh Para Pihak.

2. Mediator Hakim dan Pegawai Pengadilan dilarang menyelenggarakan

Mediasi di luar Pengadilan.

3. Mediator non hakim dan bukan Pegawai Pengadilan yang dipilih atau

ditunjuk bersama-sama dengan Mediator Hakim atau Pegawai Pengadilan

dalam satu perkara wajib menyelenggarakan Mediasi bertempat di

Pengadilan.

4. Penggunaan ruang Mediasi Pengadilan untuk Mediasi tidak dikenakan

biaya.

Bagian Kedelapan

Tata Kelola Mediasi di Pengadilan

Pasal 12

1. Untuk mendukung pelaksanaan Mediasi di Pengadilan, Mahkamah Agung

menetapkan tata kelola yang di antaranya meliputi:

a. perencanaan kebijakan, pengkajian dan penelitian Mediasi di

Pengadilan;

b. pembinaan, pemantauan dan pengawasan pelaksanaan

26
Mediasi di Pengadilan;

c. pemberian akreditasi dan evaluasi lembaga sertifikasi Mediasi

terakreditasi;

d. penyebarluasan informasi Mediasi; dan

e. pengembangan kerjasama dengan organisasi, lembaga atau pihak

lainnya, baik tingkat nasional, regional, maupun internasional dalam

bidang Mediasi.

2. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kelola sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Ketua Mahkamah Agung.

BAB III MEDIATOR

Bagian Kesatu

Sertifikasi Mediator dan Akreditasi Lembaga

Pasal 13

1. Setiap Mediator wajib memiliki Sertifikat Mediator yang diperoleh setelah

mengikuti dan dinyatakan lulus dalam pelatihan sertifikasi Mediator yang

diselenggarakan oleh Mahkamah Agung atau lembaga yang telah

memperoleh akreditasi dari Mahkamah Agung.

2. Berdasarkan surat keputusan ketua Pengadilan, Hakim tidak bersertifikat

dapat menjalankan fungsi Mediator dalam hal tidak ada atau terdapat

keterbatasan jumlah Mediator bersertifikat.

3. Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara sertifikasi Mediator

dan pemberian akreditasi lembaga sertifikasi Mediator ditetapkan dengan

Keputusan Ketua Mahkamah Agung.

27
Bagian Kedua

Tahapan Tugas Mediator

Pasal 14

Dalam menjalankan fungsinya, Mediator bertugas:

a. memperkenalkan diri dan memberi kesempatan kepada Para Pihak untuk

saling memperkenalkan diri;

b. menjelaskan maksud, tujuan, dan sifat Mediasi kepada Para Pihak;

c. menjelaskan kedudukan dan peran Mediator yang netral dan tidak

mengambil keputusan;

d. membuat aturan pelaksanaan Mediasi bersama Para Pihak;

e. menjelaskan bahwa Mediator dapat mengadakan pertemuan dengan satu

pihak tanpa kehadiran pihak lainnya (kaukus);

f. menyusun jadwal Mediasi bersama Para Pihak;

g. mengisi formulir jadwal mediasi.

h. Memberikan kesempatan kepada Para Pihak untuk menyampaikan

permasalahan dan usulan perdamaian;

i. menginventarisasi permasalahan dan mengagendakan

pembahasan berdasarkan skala proritas;

j. memfasilitasi dan mendorong Para Pihak untuk:

1. menelusuri dan menggali kepentingan Para Pihak;

2. mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi Para Pihak;

dan

3. bekerja sama mencapai penyelesaian;

28
k. membantu Para Pihak dalam membuat dan merumuskan Kesepakatan

Perdamaian;

l. menyampaikan laporan keberhasilan, ketidakberhasilan dan/atau tidak

dapat dilaksanakannya Mediasi kepada Hakim Pemeriksa Perkara:

m. menyatakan salah satu atau Para Pihak tidak beriktikad baik dan

menyampaikan kepada Hakim Pemeriksa Perkara;

n. tugas lain dalam menjalankan fungsinya

Bagian Ketiga

Pedoman Perilaku Mediator

Pasal 15

1. Mahkamah Agung menetapkan Pedoman Perilaku Mediator.

2. Setiap Mediator dalam menjalankan fungsinya wajib mentaati Pedoman

Perilaku Mediator sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 16

Ketua Pengadilan wajib menyampaikan laporan kinerja Hakim atau Pegawai

Pengadilan yang berhasil menyelesaikan perkara melalui Mediasi kepada Ketua

Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung.

BAB IV TAHAPAN PRAMEDIASI

Bagian Kesatu

Kewajiban Hakim Pemeriksa Perkara

Pasal 17

1. Pada hari sidang yang telah ditentukan dan dihadiri oleh Para Pihak,

29
Hakim Pemeriksa Perkara mewajibkan Para Pihak untuk menempuh

Mediasi.

2. Kehadiran Para Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat

1. berdasarkan panggilan yang sah dan patut.

3. Pemanggilan pihak yang tidak hadir pada sidang pertama dapat

dilakukan pemanggilan satu kali lagi sesuai dengan praktik hukum

acara.

4. Dalam hal para pihak lebih dari satu, Mediasi tetap diselenggarakan

setelah pemanggilan dilakukan secara sah dan patut walaupun tidak

seluruh pihak hadir.

5. Ketidakhadiran pihak turut tergugat yang kepentingannya

tidak signifikan tidak menghalangi pelaksanaan Mediasi.

6. Hakim Pemeriksa Perkara wajib menjelaskan Prosedur Mediasi kepada

Para Pihak.

7. Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) meliputi:

a. pengertian dan manfaat Mediasi;

b. kewajiban Para Pihak untuk menghadiri langsung pertemuan

Mediasi berikut akibat hukum atas perilaku tidak beriktikad baik

dalam proses Mediasi;

c. biaya yang mungkin timbul akibat penggunaan Mediator nonhakim

dan bukan Pegawai Pengadilan;

d. pilihan menindaklanjuti Kesepakatan Perdamaian melalui Akta

Perdamaian atau pencabutan gugatan; dan

30
e. kewajiban Para Pihak untuk menandatangani formulir penjelasan

Mediasi.

8. Hakim Pemeriksa Perkara menyerahkan formulir penjelasan Mediasi

kepada Para Pihak yang memuat pernyataan bahwa Para Pihak:

a. memperoleh penjelasan prosedur Mediasi secara lengkap dari

Hakim Pemeriksa Perkara;

b. memahami dengan baik prosedur Mediasi; dan

c. bersedia menempuh Mediasi dengan iktikad baik.

9. Formulir penjelasan Mediasi sebagaimana dimaksud pada ayat (8)

ditandatangani oleh Para Pihak dan/atau kuasa hukum segera setelah

memperoleh penjelasan dari Hakim Pemeriksa Perkara dan

merupakan satu kesatuan yang menjadi bagian tidak terpisahkan

dengan berkas perkara.

10. Keterangan mengenai penjelasan oleh Hakim Pemeriksa Perkara dan

penandatanganan formulir penjelasan Mediasi sebagaimana dimaksud

pada ayat (9) wajib dimuat dalam berita acara sidang.

Bagian Kedua

Kewajiban Kuasa Hukum

Pasal 18

1. Kuasa hukum wajib membantu Para Pihak melaksanakan hak dan

kewajibannya dalam proses Mediasi.

2. Kewajiban kuasa hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di antaranya

meliputi:

31
a. menyampaikan penjelasan Hakim Pemeriksa Perkara sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 17 ayat (7) kepada Para Pihak;

b. mendorong Para Pihak berperan langsung secara aktif dalam proses

Mediasi;

c. membantu Para Pihak mengidentifikasi kebutuhan, kepentingan dan

usulan penyelesaian sengketa selama proses Mediasi;

d. membantu Para Pihak merumuskan rencana dan usulan Kesepakatan

Perdamaian dalam hal Para Pihak mencapai kesepakatan;

e. menjelaskan kepada Para Pihak terkait kewajiban kuasa hukum.

3. Dalam hal Para Pihak berhalangan hadir berdasarkan alasan sah

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4), kuasa hukum dapat

mewakili Para Pihak untuk melakukan Mediasi dengan menunjukkan surat

kuasa khusus yang memuat kewenangan kuasa hukum untuk mengambil

keputusan.

4. Kuasa hukum yang bertindak mewakili Para Pihak sebagaimana dimaksud

pada ayat (3) wajib berpartisipasi dalam proses Mediasi dengan iktikad

baik dan dengan cara yang tidak berlawanan dengan pihak lain atau kuasa

hukumnya.

Bagian Ketiga

Hak Para Pihak Memilih Mediator

Pasal 19

1. Para Pihak berhak memilih seorang atau lebih Mediator yang tercatat

dalam Daftar Mediator di Pengadilan.

32
2. Jika dalam proses Mediasi terdapat lebih dari satu orang Mediator,

pembagian tugas Mediator ditentukan dan disepakati oleh para Mediator.

3. Ketentuan lebih lanjut tentang Daftar Mediator sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) diatur dalam Keputusan Ketua Mahkamah Agung.

Bagian Keempat

Batas Waktu Pemilihan Mediator

Pasal 20

1. Setelah memberikan penjelasan mengenai kewajiban melakukan Mediasi

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (7), Hakim Pemeriksa Perkara

mewajibkan Para Pihak pada hari itu juga, atau paling lama 2 (dua) hari

berikutnya untuk berunding guna memilih Mediator termasuk biaya yang

mungkin timbul akibat pilihan penggunaan Mediator nonhakim dan bukan

Pegawai Pengadilan.

2. Para Pihak segera menyampaikan Mediator pilihan mereka kepada

Hakim Pemeriksa Perkara.

3. Apabila Para Pihak tidak dapat bersepakat memilih Mediator dalam jangka

waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ketua majelis Hakim

Pemeriksa Perkara segera menunjuk Mediator Hakim atau Pegawai

Pengadilan.

4. Jika pada Pengadilan yang sama tidak terdapat Hakim bukan pemeriksa

perkara dan Pegawai Pengadilan yang bersertifikat, ketua majelis Hakim

Pemeriksa Perkara menunjuk salah satu Hakim Pemeriksa Perkara untuk

33
menjalankan fungsi Mediator dengan mengutamakan Hakim yang

bersertifikat.

5. Jika Para Pihak telah memilih Mediator sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) atau ketua majelis Hakim Pemeriksa Perkara menunjuk Mediator

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau ayat (4), ketua majelis Hakim

Pemeriksa Perkara menerbitkan penetapan yang memuat perintah untuk

melakukan Mediasi dan menunjuk Mediator.

6. Hakim Pemeriksa Perkara memberitahukan penetapan sebagaimana

dimaksud pada ayat (5) kepada Mediator melalui panitera pengganti.

7. Hakim Pemeriksa Perkara wajib menunda proses persidangan untuk

memberikan kesempatan kepada Para Pihak menempuh Mediasi.

Bagian Kelima

Pemanggilan Para Pihak

Pasal 21

1. Mediator menentukan hari dan tanggal pertemuan Mediasi, setelah

menerima penetapan penunjukan sebagai Mediator.

2. Dalam hal Mediasi dilakukan di gedung Pengadilan, Mediator atas kuasa

Hakim Pemeriksa Perkara melalui Panitera melakukan pemanggilan Para

Pihak dengan bantuan juru sita atau juru sita pengganti untuk menghadiri

pertemuan Mediasi.

3. Kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah demi hukum tanpa

perlu dibuat surat kuasa, sehingga tanpa ada instrumen tersendiri dari

Hakim Pemeriksa Perkara, juru sita atau juru sita pengganti wajib

34
melaksanakan perintah Mediator Hakim maupun nonhakim untuk

melakukan panggilan.

Bagian Keenam

Akibat Hukum Pihak Tidak Beriktikad Baik

Pasal 22

1. Apabila penggugat dinyatakan tidak beriktikad baik dalam proses Mediasi

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), gugatan dinyatakan tidak

dapat diterima oleh Hakim Pemeriksa Perkara.

2. Penggugat yang dinyatakan tidak beriktikad baik sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dikenai pula kewajiban pembayaran Biaya Mediasi.

3. Mediator menyampaikan laporan penggugat tidak beriktikad baik kepada

Hakim Pemeriksa Perkara disertai rekomendasi pengenaan Biaya Mediasi

dan perhitungan besarannya dalam laporan ketidakberhasilan atau tidak

dapat dilaksanakannya Mediasi.

4. Berdasarkan laporan Mediator sebagaimana dimaksud pada ayat (3),

Hakim Pemeriksa Perkara mengeluarkan putusan yang merupakan

putusan akhir yang menyatakan gugatan tidak dapat diterima disertai

penghukuman pembayaran Biaya Mediasi dan biaya perkara.

5. Biaya Mediasi sebagai penghukuman kepada penggugat dapat diambil

dari panjar biaya perkara atau pembayaran tersendiri oleh penggugat

dan diserahkan kepada tergugat melalui kepaniteraan Pengadilan.

Pasal 23

1. Tergugat yang dinyatakan tidak beriktikad baik sebagaimana dimaksud

35
dalam Pasal 7 ayat (2), dikenai kewajiban pembayaran Biaya Mediasi.

2. Mediator menyampaikan laporan tergugat tidak beriktikad baik kepada

Hakim Pemeriksa Perkara disertai rekomendasi pengenaan Biaya Mediasi

dan perhitungan besarannya dalam laporan ketidakberhasilan atau tidak

dapat dilaksanakannya Mediasi.

3. Berdasarkan laporan Mediator sebagaimana dimaksud pada ayat (2),

sebelum melanjutkan pemeriksaan, Hakim Pemeriksa Perkara dalam

persidangan yang ditetapkan berikutnya wajib mengeluarkan penetapan

yang menyatakan tergugat tidak beriktikad baik dan menghukum tergugat

untuk membayar Biaya Mediasi.

4. Biaya Mediasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan bagian

dari biaya perkara yang wajib disebutkan dalam amar putusan akhir.

5. Dalam hal tergugat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimenangkan

dalam putusan, amar putusan menyatakan Biaya Mediasi dibebankan

kepada tergugat, sedangkan biaya perkara tetap dibebankan kepada

penggugat sebagai pihak yang kalah.

6. Dalam perkara perceraian di lingkungan peradilan agama, tergugat

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihukum membayar Biaya Mediasi,

sedangkan biaya perkara dibebankan kepada penggugat.

7. Pembayaran Biaya Mediasi oleh tergugat yang akan diserahkan kepada

penggugat melalui kepaniteraan Pengadilan mengikuti pelaksanaan

putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.

8. Dalam hal Para Pihak secara bersama-sama dinyatakan tidak beriktikad

36
baik oleh Mediator, gugatan dinyatakan tidak dapat diterima oleh Hakim

Pemeriksa Perkara tanpa penghukuman Biaya Mediasi.

BAB V

TAHAPAN PROSES MEDIASI

Bagian Kesatu

Penyerahan Resume Perkara dan Jangka Waktu Proses Mediasi

Pasal 24

1. Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari terhitung sejak penetapan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat

(5), Para Pihak dapat menyerahkan Resume Perkara kepada pihak lain dan

Mediator.

2. Proses Mediasi berlangsung paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung

sejak penetapan perintah melakukan Mediasi.

3. Atas dasar kesepakatan Para Pihak, jangka waktu Mediasi dapat

diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak berakhir

jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

4. Mediator atas permintaan Para Pihak mengajukan permohonan

perpanjangan jangka waktu Mediasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)

kepada Hakim Pemeriksa Perkara disertai dengan alasannya.

Bagian Kedua

Ruang Lingkup Materi Pertemuan Mediasi

Pasal 25

1. Materi perundingan dalam Mediasi tidak terbatas pada posita dan petitum

37
gugatan.

2. Dalam hal Mediasi mencapai kesepakatan atas permasalahan di luar

sebagaimana diuraikan pada ayat (1), penggugat mengubah gugatan

dengan memasukkan kesepakatan tersebut di dalam gugatan.

Bagian Ketiga

Keterlibatan Ahli dan Tokoh Masyarakat

Pasal 26

1. Atas persetujuan Para Pihak dan/atau kuasa hukum, Mediator dapat

menghadirkan seorang atau lebih ahli, tokoh masyarakat, tokoh agama,

atau tokoh adat.

2. Para Pihak harus terlebih dahulu mencapai kesepakatan tentang kekuatan

mengikat atau tidak mengikat dari penjelasan dan/atau penilaian ahli

dan/atau tokoh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Bagian Keempat

Mediasi Mencapai Kesepakatan

Pasal 27

1. Jika Mediasi berhasil mencapai kesepakatan, Para Pihak dengan bantuan

Mediator wajib merumuskan kesepakatan secara tertulis dalam

Kesepakatan Perdamaian yang ditandatangani oleh Para Pihak dan

Mediator.

2. Dalam membantu merumuskan Kesepakatan Perdamaian, Mediator wajib

memastikan Kesepakatan Perdamaian tidak memuat ketentuan yang:

a. bertentangan dengan hukum, ketertiban umum, dan/atau kesusilaan;

38
b. merugikan pihak ketiga; atau

c. tidak dapat dilaksanakan.

3. Dalam proses Mediasi yang diwakili oleh kuasa hukum, penandatanganan

Kesepakatan Perdamaian hanya dapat dilakukan apabila terdapat

pernyataan Para Pihak secara tertulis yang memuat persetujuan atas

kesepakatan yang dicapai.

4. Para Pihak melalui Mediator dapat mengajukan Kesepakatan Perdamaian

kepada Hakim Pemeriksa Perkara agar dikuatkan dalam Akta Perdamaian.

5. Jika Para Pihak tidak menghendaki Kesepakatan Perdamaian dikuatkan

dalam Akta Perdamaian, Kesepakatan Perdamaian wajib memuat

pencabutan gugatan.

6. Mediator wajib melaporkan secara tertulis keberhasilan Mediasi kepada

Hakim Pemeriksa Perkara dengan melampirkan Kesepakatan Perdamaian.

Pasal 28

1. Setelah menerima Kesepakatan Perdamaian sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 27 ayat (6), Hakim Pemeriksa Perkara segera mempelajari dan

menelitinya dalam waktu paling lama 2 (dua) hari.

2. Dalam hal Kesepakatan Perdamaian diminta dikuatkan dalam Akta

Perdamaian belum memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 27 ayat (2), Hakim Pemeriksa Perkara wajib mengembalikan

Kesepakatan Perdamaian kepada Mediator dan Para Pihak disertai

petunjuk tentang hal yang harus diperbaiki.

3. Setelah mengadakan pertemuan dengan Para Pihak, Mediator wajib

39
mengajukan kembali Kesepakatan Perdamaian yang telah diperbaiki

kepada Hakim Pemeriksa Perkara paling lama 7 (tujuh) hari terhitung

sejak tanggal penerimaan petunjuk perbaikan sebagaimana dimaksud

pada ayat (2).

4. Paling lama 3 (tiga) hari setelah menerima Kesepakatan Perdamaian yang

telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat

(2), Hakim Pemeriksa Perkara menerbitkan penetapan hari sidang untuk

membacakan Akta Perdamaian.

5. Kesepakatan Perdamaian yang dikuatkan dengan Akta Perdamaian tunduk

pada ketentuan keterbukaan informasi di Pengadilan.

Bagian Kelima

Kesepakatan Perdamaian Sebagian

Pasal 29

1. Dalam hal proses Mediasi mencapai kesepakatan antara penggugat dan

sebagian pihak tergugat, penggugat mengubah gugatan dengan tidak lagi

mengajukan pihak tergugat yang tidak mencapai kesepakatan sebagai

pihak lawan.

2. Kesepakatan Perdamaian Sebagian antara pihak sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dibuat dan ditandatangani oleh penggugat dengan sebagian

pihak tergugat yang mencapai kesepakatan dan Mediator.

3. Kesepakatan Perdamaian Sebagian sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

dapat dikuatkan dengan Akta Perdamaian sepanjang tidak menyangkut

aset, harta kekayaan dan/atau kepentingan pihak yang tidak mencapai

40
kesepakatan dan memenuhi ketentuan Pasal 27 ayat (2).

4. Penggugat dapat mengajukan kembali gugatan terhadap pihak yang tidak

mencapai Kesepakatan Perdamaian Sebagian sebagaimana dimaksud pada

ayat (1).

5. Dalam hal penggugat lebih dari satu pihak dan sebagian penggugat

mencapai kesepakatan dengan sebagian atau seluruh pihak tergugat, tetapi

sebagian penggugat yang tidak mencapai kesepakatan tidak bersedia

mengubah gugatan, Mediasi dinyatakan tidak berhasil.

6. Kesepakatan Perdamaian Sebagian antara pihak sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) tidak dapat dilakukan pada perdamaian sukarela tahap

pemeriksaan perkara dan tingkat upaya hukum banding, kasasi, atau

peninjauan kembali.

Pasal 30

1. Dalam hal Para Pihak mencapai kesepakatan atas sebagian dari seluruh

objek perkara atau tuntutan hukum, Mediator menyampaikan

Kesepakatan Perdamaian Sebagian tersebut dengan memperhatikan

ketentuan Pasal 27 ayat (2) kepada Hakim Pemeriksa Perkara sebagai

lampiran laporan Mediator.

2. Hakim Pemeriksa Perkara melanjutkan pemeriksaan terhadap objek

perkara atau tuntutan hukum yang belum berhasil disepakati oleh Para

Pihak.

3. Dalam hal Mediasi mencapai kesepakatan sebagian atas objek perkara atau

tuntutan hukum, Hakim Pemeriksa Perkara wajib memuat Kesepakatan

41
Perdamaian Sebagian tersebut dalam pertimbangan dan amar putusan.

4. Kesepakatan Perdamaian Sebagian sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

ayat (2) dan ayat (3) berlaku pada perdamaian sukarela tahap

pemeriksaan perkara dan tingkat upaya hukum banding, kasasi, atau

peninjauan kembali.

Pasal 31

1. Untuk Mediasi perkara perceraian dalam lingkungan peradilan agama

yang tuntutan perceraian dikumulasikan dengan tuntutan lainnya, jika Para

Pihak tidak mencapai kesepakatan untuk hidup rukun kembali, Mediasi

dilanjutkan dengan tuntutan lainnya.

2. Dalam hal Para Pihak mencapai kesepakatan atas tuntutan lainnya

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kesepakatan dituangkan dalam

Kesepakatan Perdamaian Sebagian dengan memuat klausula

keterkaitannya dengan perkara perceraian.

3. Kesepakatan Perdamaian Sebagian atas tuntutan lainnya sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilaksanakan jika putusan Hakim

Pemeriksa Perkara yang mengabulkan gugatan perceraian telah

berkekuatan hukum tetap.

4. Kesepakatan Perdamaian Sebagian atas tuntutan lainnya sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku jika Hakim Pemeriksa Perkara

menolak gugatan atau Para Pihak bersedia rukun kembali selama proses

pemeriksaan perkara.

Bagian Keenam

42
Mediasi Tidak Berhasil atau Tidak dapat Dilaksanakan

Pasal 32

1. Mediator wajib menyatakan Mediasi tidak berhasil mencapai kesepakatan

dan memberitahukannya secara tertulis kepada Hakim Pemeriksa Perkara,

dalam hal:

a. Para Pihak tidak menghasilkan kesepakatan sampai batas waktu paling

lama 30 (tiga puluh) hari berikut perpanjangannya sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) dan ayat (3); atau

b. Para Pihak dinyatakan tidak beriktikad baik sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 7 ayat (2) huruf d dan huruf e.

2. Mediator wajib menyatakan Mediasi tidak dapat dilaksanakan dan

memberitahukannya secara tertulis kepada Hakim Pemeriksa Perkara,

dalam hal:

a. melibatkan aset, harta kekayaan atau kepentingan yang nyata-nyata

berkaitan dengan pihak lain yang:

1) tidak diikutsertakan dalam surat gugatan sehingga pihak lain yang

berkepentingan tidak menjadi salah satu pihak dalam proses

Mediasi;

2) diikutsertakan sebagai pihak dalam surat gugatan dalam hal pihak

berperkara lebih dari satu subjek hukum, tetapi tidak hadir di

persidangan sehingga tidak menjadi pihak dalam proses Mediasi;

atau

3) diikutsertakan sebagai pihak dalam surat gugatan dalam hal pihak

43
berperkara lebih dari satu subjek hukum dan hadir di persidangan,

tetapi tidak pernah hadir dalam proses Mediasi.

b. melibatkan wewenang kementerian/lembaga/instansi di tingkat

pusat/daerah dan/atau Badan Usaha Milik Negara/Daerah yang tidak

menjadi pihak berperkara, kecuali pihak berperkara yang terkait

dengan pihak- pihak tersebut telah memperoleh persetujuan tertulis

dari kementerian/lembaga/instansi dan/atau Badan Usaha Milik

Negara/Daerah untuk mengambil keputusan dalam proses Mediasi.

c. Para Pihak dinyatakan tidak beriktikad baik sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf c.

3. Setelah menerima pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dan ayat (2), Hakim Pemeriksa Perkara segera menerbitkan penetapan

untuk melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai dengan ketentuan hukum

acara yang berlaku.

BAB VI

PERDAMAIAN SUKARELA

Bagian Kesatu

Perdamaian Sukarela pada Tahap Pemeriksaan Perkara

Pasal 33

1. Pada tiap tahapan pemeriksaan perkara, Hakim Pemeriksa Perkara tetap

berupaya mendorong atau mengusahakan perdamaian hingga sebelum

pengucapan putusan.

2. Para Pihak atas dasar kesepakatan dapat mengajukan permohonan kepada

44
Hakim Pemeriksa Perkara untuk melakukan perdamaian pada tahap

pemeriksaan perkara.

3. Setelah menerima permohonan Para Pihak untuk melakukan perdamaian

sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ketua majelis Hakim Pemeriksa

Perkara dengan penetapan segera menunjuk salah seorang Hakim

Pemeriksa Perkara untuk menjalankan fungsi Mediator dengan

mengutamakan Hakim yang bersertifikat.

4. Hakim Pemeriksa Perkara wajib menunda persidangan paling lama 14

(empat belas) hari terhitung sejak penetapan sebagaimana dimaksud pada

ayat (3).

Bagian Kedua

Perdamaian Sukarela pada Tingkat Upaya Hukum Banding, Kasasi, atau

Peninjauan Kembali

Pasal 34

1. Sepanjang perkara belum diputus pada tingkat upaya hukum banding,

kasasi atau peninjauan kembali, Para Pihak atas dasar kesepakatan dapat

menempuh upaya perdamaian:

2. Jika dikehendaki, Para Pihak melalui ketua Pengadilan mengajukan

Kesepakatan Perdamaian secara tertulis kepada Hakim Pemeriksa Perkara

tingkat banding, kasasi, atau peninjauan kembali untuk diputus dengan

Akta Perdamaian sepanjang memenuhi ketentuan Pasal 27 ayat (2).

3. Kesepakatan Perdamaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib

memuat ketentuan yang mengesampingkan putusan yang telah ada.

45
4. Akta Perdamaian ditandatangani oleh Hakim Pemeriksa Perkara tingkat

banding, kasasi, atau peninjauan kembali dalam waktu paling lama 30

(tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya Kesepakatan Perdamaian.

5. Apabila berkas perkara banding, kasasi, atau peninjauan kembali belum

dikirimkan, berkas perkara dan Kesepakatan Perdamaian dikirimkan

bersama-sama ke Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung.

BAB VII

KETERPISAHAN MEDIASI DARI LITIGASI

Pasal 35

1. Terhitung sejak penetapan perintah melakukan Mediasi dan penunjukan

Mediator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (5), jangka waktu

proses Mediasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) dan ayat

(3), serta Pasal 33 ayat (4) tidak termasuk jangka waktu penyelesaian

perkara sebagaimana ditentukan dalam kebijakan Mahkamah Agung

mengenai penyelesaian perkara di Pengadilan tingkat pertama dan tingkat

banding pada 4 (empat) lingkungan peradilan.

2. Terhadap Putusan yang menyatakan gugatan tidak dapat diterima

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4) dan Pasal 23 ayat (8) serta

penetapan penghukuman Biaya Mediasi sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 23 ayat (3) tidak dapat dilakukan upaya hukum.

3. Jika Para Pihak tidak berhasil mencapai kesepakatan, pernyataan dan

pengakuan Para Pihak dalam proses Mediasi tidak dapat digunakan

sebagai alat bukti dalam proses persidangan perkara.

46
4. Catatan Mediator wajib dimusnahkan dengan berakhirnya proses

Mediasi.

5. Mediator tidak dapat menjadi saksi dalam proses persidangan perkara yang

bersangkutan.

6. Mediator tidak dapat dikenai pertanggungjawaban pidana maupun perdata

atas isi Kesepakatan Perdamaian hasil Mediasi.

BAB VIII

PERDAMAIAN DI LUAR PENGADILAN

Pasal 36

1. Para Pihak dengan atau tanpa bantuan Mediator bersertifikat yang berhasil

menyelesaikan sengketa di luar Pengadilan dengan Kesepakatan

Perdamaian dapat mengajukan Kesepakatan Perdamaian kepada

Pengadilan yang berwenang untuk memperoleh Akta Perdamaian dengan

cara mengajukan gugatan.

2. Pengajuan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri

dengan Kesepakatan Perdamaian dan dokumen sebagai alat bukti yang

menunjukkan hubungan hukum Para Pihak dengan objek sengketa.

3. Hakim Pemeriksa Perkara di hadapan Para Pihak hanya akan menguatkan

Kesepakatan Perdamaian menjadi Akta Perdamaian, jika Kesepakatan

Perdamaian sesuai dengan ketentuan Pasal 27 ayat (2).

4. Akta Perdamaian atas gugatan untuk menguatkan Kesepakatan

Perdamaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diucapkan oleh

Hakim Pemeriksa Perkara dalam sidang yang terbuka untuk umum paling

47
lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak gugatan didaftarkan.

5. Salinan Akta Perdamaian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib

disampaikan kepada Para Pihak pada hari yang sama dengan pengucapan

Akta Perdamaian.

Pasal 37

1. Dalam hal Kesepakatan Perdamaian diajukan untuk dikuatkan dalam

bentuk Akta Perdamaian tidak memenuhi ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2), Hakim Pemeriksa Perkara wajib

memberikan petunjuk kepada Para Pihak tentang hal yang harus

diperbaiki.

2. Dengan tetap memperhatikan tenggang waktu penyelesaian pengajuan

Akta Perdamaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (4), Para

Pihak wajib segera memperbaiki dan menyampaikan kembali

Kesepakatan Perdamaian yang telah diperbaiki kepada Hakim Pemeriksa

Perkara.

BAB IX

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 38

Pada saat Peraturan Mahkamah Agung ini mulai berlaku, Peraturan Mahkamah

Agung Nomor 01 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan dicabut

dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 39

Peraturan Mahkamah Agung ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

48
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan

Mahkamah Agung ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik

Indonesia.

D Dasar Hukum Acara Pengadilan Agama

1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989.

Dalam bab IV Undang-Undang No..7 Tahun 1989 tentang

peradilan agama diatur tentang hukum acara di lingkungan peradilan

agama yang terdiri dari Pasal 54 sampai dengan pasal 91.

BAB IV

HUKUM ACARA

Bagian Pertama

Umum

Pasal 54

Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan

Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan

dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara

khusus dalam Undang-undang ini.

Pasal 55

Tiap pemeriksaan perkara di Pengadilan dimuali sesudah diajukannya

suatu permohonan atau gugatan dan pihak-pihak yang berperkara telah

49
dipanggil menurut ketentuan yang berlaku.

Pasal 56

(1) Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan memutus suatu

perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang

jelas, melainkan wajib memeriksa dan memutusnya.

(2) Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) tidak menutup

kemungkinan usaha penyelesaian perkara secara damai.

Pasal 57

(1) Peradilan dilakukan DEMI KEADILAN BERDASARKAN

KETUHANAN YANG MAHA ESA.

(2) Tiap penetapan dan putusan dimulai dengan kalimat

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM diikuti dengan DEMI KEADILAN

BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA.

(3) Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.

Pasal 58

(1) Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-

bedakan orang.

(2) Pengadilan membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-

kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya

peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.

Pasal 59

50
(1) Sidang pemeriksaan Pengadilan terbuka untuk umum, kecuali apabila

undangundang menentukan lain atau jika Hakim dengan alasan-alasan

penting yang dicatat dalam berita acara sidang, memerintahkan bahwa

pemeriksaan secara keseluruhan atau sebagian akan dilakukan dengan

sidang tertutup.

(2) Tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam

ayat (1) mengakibatkan seluruh pemeriksaan beserta penetapan atau

putusannya batal menurut hukum.

(3) Rapat permusyawaratan Hakim bersifat rahasia.

Pasal 60

Penetapan dan putusan Pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan

hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

Pasal 61

Atas penetapan dan putusan Pengadilan Agama dapat dimintakan

banding oleh pihak yang berperkara, kecuali apabila undang-undang

menentukan lain.

Pasal 62

(1) Segala penetapan dan putusan Pengadilan, selain harus memuat

alasan-alasan dan dasar-dasarnya juga harus memuat pasal-pasal tertentu

dari peraturanperaturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak

tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

(2) Tiap penetapan dan putusan Pengadilan ditandatangai oleh Ketua dan

51
Hakimhakim yang memutus serta Panitera yang ikut bersidang pada

waktu penetapan dan putusan itu diucapkan.

(3) Berita Acara tentang pemeriksaan ditandatangani oleh Ketua dan

Panitera yang bersidang.

Pasal 63

Atas penetapan dan putusan Pengadilan Tinggi Agama dapat dimintakan

kasasi kepada Mahkamah Agung oleh pihak yang berperkara.

Pasal 64

Penetapan dan putusan Pengadilan yang dimintakan banding atau kasasi,

pelaksanaannya ditunda demi hukum, kecuali apabila dalam amarnya

menyatakan penetapan atau putusan tersebut dapat dijalankan lebih

dahulu meskipun ada perlawanan, banding, atau kasasi.

Bagian Kedua

Pemeriksaan Sengketa perkawinan

Paragraph 1

Umum

Pasal 65

Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah

Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan

kedua belah pihak.

Paragraf 2

52
Cerai Talak

Pasal 66

(1) Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya

mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan sidang

guna menyaksikan ikrar talak.

(2) Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diajukan

kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman

termohon, kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan

tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon.

(3) Dalam hal termohon bertempat kediaman di luar negeri, permohonan

diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat

kediaman pemohon.

(4) Dalam hal pemohon dan termohon bertempat kediaman di luar negeri,

maka permohonan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya

meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada

Pengadilan Agama Jakarta Pusat.

(5) Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan

harta bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan

permohonan cerai talak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan.

Pasal 67

Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 66 di atas

memuat:

53
a. nama, umur, dan tempat kediaman pemohon, yaitu suami, dan

termohon, yaitu istri;

b. alasan-alasan yang menjadi dasar cerai talak.

Pasal 68

(1) Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan oleh Majelis Hakim

selambatlambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau surat

permohonan cerai talak didaftarkan di Kepaniteraan.

(2) Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan dalam sidang tertutup.

Pasal 69

Dalam pemeriksaan perkara cerai talak ini berlaku ketentuan-ketentuan

Pasal 79, Pasal 80 ayat (2), Pasal 82, dan Pasal 83.

Pasal 70

(1) Pengadilan setelah berkesimpulan bahwa kedua belah pihak tidak

mungkin lagi didamaikan dan telah cukup alasan perceraian, maka

Pengadilan menetapkan bahwa permohonan tersebut dikabulkan.

(2) Terhadap penetapan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), istri

dapat mengajukan banding.

(3) Setelah penetapan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap,

Pengadilan menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak, dengan

memanggil suami dan istri atau wakilnya untuk menghadiri sidang

tersebut.

(4) Dalam sidang itu suami atau wakilnya yang diberi kuasa khusus

54
dalam suatu akta otentik untuk mengucapkan ikrar talak, mengucapkan

ikrar talak yang dihadiri oleh istri atau kuasanya.

(5) Jika istri telah mendapat panggilan secara sah atau patut, tetapi tidak

datang menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya, maka suami

atau wakilnya dapat mengucapkan ikrar talak tanpa hadirnya istri atau

wakilnya.

(6) Jika suami dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan

hari sidang penyaksian ikrar talak, tidak datang menghadap sendiri atau

tidak mengirim wakilnya meskipun telah mendapat panggilan secara sah

atau patut maka gugurlah kekuatan penetapan tersebut, dan perceraian

tidak dapat diajukan lagi berdasarkan alasan yang sama.

Pasal 71

(1) Panitera mencatat segala hal ihwal yang terjadi dalam sidang ikrar

talak.

(2) Hakim membuat penetapan yang isinya menyatakan bahwa

perkawinan putus sejak ikrar talak diucapkan dan penetapan tersebut

tidak dapat dimintakan banding atau kasasi.

Pasal 72

Terhadap penetapan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 71 berlaku

ketentuanketentuan dalam Pasal 84 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat

(4), serta Pasal 85.

Paragraf 3

55
Cerai Gugat

Pasal 73

(1) Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada

Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat,

kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat

kediaman bersama tanpa izin tergugat.

(2) Dalam hal penggugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan

perceraian diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi

tempat kediaman tergugat.

(3) Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman di luar negeri,

maka gugatan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya

meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada

Pengadilan Agama Jakarta Pusat.

Pasal 74

Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan salah satu pihak

mendapat pidana penjara, maka untuk memperoleh putusan perceraian,

sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan putusan

Pengadilan yang berwenang yang memutuskan perkara disertai

keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah memperoleh

kekuatan hukum tetap

Pasal 75

56
Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan bahwa tergugat

mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat

menjalankan kewajiban sebagai suami, maka Hakim dapat

memerintahkan tergugat untuk memeriksakan diri kepada dokter.

Pasal 76

(1) Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan syiqaq, maka

untuk mendapatkan putusan perceraian harus didengar keterangan saksi-

saksi yang berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat dengan

suami istri.

(2) Pengadilan setelah mendengar keterangan saksi tentang sifat

persengketaan antara suami istri dapat mengangkat seorang atau lebih

dari keluarga masingmasing pihak ataupun orang lain untuk menjadi

hakam.

Pasal 77

Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat

atau tergugat atau berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin

ditimbulkan, Pengadilan dapat mengizinkan suami istri tersebut untuk

tidak tinggal dalam satu rumah.

Pasal 78

Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat,

Pengadilan dapat:

57
a. menentukan nafkah yang ditanggung oleh suami;

b. menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan

pendidikan anak;

c. menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-

barang yang menjadi hak bersama suami istri atau barang-barang yang

menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri.

Pasal 79

Gugatan perceraian gugur apabila suami atau istri meninggal sebelum

adanya putusan Pengadilan.

Pasal 80

(1) Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh Majelis Hakim

selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau surat gugatan

perceraian didaftarkan di Kepaniteraan.

(2) Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup.

Pasal 81

(1) Putusan Pengadilan mengenai gugatan perceraian diucapkan dalam

sidang terbuka untuk umum.

(2) Suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat hukumnya

terhitung sejak putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pasal 82

(1) Pada sidang pertama pemeriksaan gugatan perceraian, Hakim

58
berusaha mendamaikan kedua pihak.

(2) Dalam sidang perdamaian tersebut, suami istri harus datang secara

pribadi, kecuali apabila salah satu pihak bertempat kediaman di luar

negeri, dan tidak dapat datang menghadap secara pribadi dapat diwakili

oleh kuasanya yang secara khusus dikuasakan untuk itu.

(3) Apabila kedua pihak bertempat kediaman di luar negeri, maka

penggugat pada sidang perdamaian tersebut harus menghadap secara

pribadi.

(4) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat

dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan.

Pasal 83

Apabila tercapai perdamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan

perceraian baru berdasarkan alasan yang ada dan telah diketahui oleh

penggugat sebelum perdamaian tercapai.

Pasal 84

(1) Panitera Pengadilan atau pejabat Pengadilan yang ditunjuk

berkewajiban selambatlambatnya 30 (tiga puluh) hari mengirimkan satu

helai salinan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan

hukum tetap, tanpa bermeterai kepada Pegawai Pencatat Nikah yang

wilayahnya meliputi tempat kediaman penggugat dan tergugat, untuk

mendaftarkan putusan perceraian dalam sebuah daftar yang.disediakan

59
untuk itu.

(2) Apabila perceraian dilakukan di wilayah yang berbeda dengan

wilayah Pegawai Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsungkan,

maka satu helai salinan putusan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat

(1) yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tanpa bermeterai

dikirimkan pula kepada Pegawai Pencatat Nikah di tempat perkawinan

dilangsungkan dan oleh Pegawai Pencatat Nikah tersebut dicatat pada

bagian pinggir daftar catatan perkawinan.

(3) Apabila perkawinan dilangsungkan di luar negeri, maka satu helai

salinan putusan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) disampaikan

pula kepada Pegawai Pencatat Nikah di tempat didaftarkannya

perkawinan mereka di Indonesia.

(4) Panitera berkewajiban memberikan akta cerai sebagai surat bukti

cerai kepada para pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari terhitung

setelah putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut

diberitahukan kepada para pihak.

Pasal 85

Kelalaian pengiriman salinan putusan sebagaimana yang dimaksud dalam

Pasal 84, menjadi tanggung jawab Panitera yang bersangkutan atau

pejabat Pengadilan yang ditunjuk, apabila yang demikian itu

mengakibatkan kerugian bagi bekas suami atau istri atau keduanya.

Pasal 86

60
(1) Gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta

bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan

perceraian ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan

hukum tetap.

(2) Jika ada tuntutan pihak ketiga, maka Pengadilan menunda terlebih

dahulu perkara harta bersama tersebut sampai ada putusan Pengadilan

dalam lingkungan Peradilan Umum yang telah memperoleh kekuatan

hukum tetap tentang hal itu.

Paragraf 4

Cerai Dengan Alasan Zina

Pasal 87

(1) Apabila permohonan atau gugatan cerai diajukan atas alasan salah

satu pihak melakukan zina, sedangkan pemohon atau penggugat tidak

dapat melengkapi bukti-bukti dan termohon atau tergugat menyanggah

alasan tersebut, dan Hakim berpendapat bahwa permohonan atau gugatan

itu bukan tiada pembuktian sama sekali serta upaya peneguhan alat bukti

tidak mungkin lagi diperoleh baik dari pemohon atau penggugat maupun

dari termohon atau tergugat, maka Hakim karena jabatannya dapat

menyuruh pemohon atau penggugat untuk bersumpah.

(2) Pihak termohon atau tergugat diberi kesempatan pula untuk

meneguhkan sanggahannya dengan cara yang sama.

Pasal 88

61
(1) Apabila sumpah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1)

dilakukan oleh suami, maka penyelesaiannya dapat dilaksanakan dengan

cara lain.

(2) Apabila sumpah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1)

dilakukan oleh istri maka penyelesaiannya dilaksanakan dengan hukum

acara yang berlaku.

Bagian Ketiga

Biaya Perkara

Pasal 89

(1) Biaya perkara dalam bidang perkawinan dibebankan kepada

penggugat atau.pemohon.

(2) Biaya perkara penetapan atau putusan Pengadilan yang bukan

merupakan penetapan atau putusan akhir akan diperhitungkan dalam

penetapan.atau..putusan..akhir.

Pasal 90

Pasal 90 diperbarui dengan ditetapkannya Undang-Undang No. 3 tahun

2006.

Pasal 91

(1) Jumlah biaya perkara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 90

harus dimuat dalam amar penetapan atau putusan Pengadilan.

62
(2) Jumlah biaya yang dibebankan oleh Pengadilan kepada salah satu

pihak berperkara untuk dibayarkan kepada pihak lawannya dalam

perkara itu, harus dicantumkan juga dalam amar penetapan atau putusan

Pengadilan.

Asas-asas umum hukum acara peradialan agama yang terdapat

dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1989, yaitu: (Hj. Sulaikan Lubis,

S.H., M.H. Hj. Wismar 'Ain Marzuki, S.H., M.H., 2005)

a. Setiap orang yang cakap bertindak dapat berperkara

dinpengadilan agama secara langsung atau dengan perantara

wakilnya.

b. Penggugat dan tergugat harus hadir kedua-duanya serta didengar

keterangannya masing-masing.

c. Pemnaggilan pihak-pihak yang berperkara harus dilakukan

dengan patut.

d. Perlakuan yang sama terhadap pihak-pihak yang berperkara.

e. Diuasahan pihak-pihak yang bersengketa menyelesaikan perkara

mereka secara damai.

f. Pengadilan dilaksanakan secara terbuka, kecuali mengenai yang

menyangkut kehormatan dan masalah keluarga.

2. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang perubahan pasal 90

Undang-undang No 7 tahun 1989.

63
Pasal 90

1. Biaya perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89, meliputi:

a. biaya kepaniteraan dan biaya meterai yang diperlukan untuk

perkara tersebut;

b. biaya untuk para saksi, saksi ahli, penerjemah, dan biaya

pengambilan sumpah yang diperlukan dalam perkara tersebut;

c. biaya yang diperlukan untuk melakukan pemeriksaan setempat dan

tindakan-tindakan lain yang diperlukan pengadilan dalam perkara

tersebut; dan

d. biaya pemanggilan, pemberitahuan, dan lain-lain atas perintah

pengadilan yang berkenaan dengan perkara tersebut.

2. Besarnya biaya perkara diatur oleh Mahkamah Agung.

E Kerangka Berpikir

Menurut Polancik (Polancik, 2009) kerangka berfikir diartikan

sebagai diagram yang berperan sebagai alur logika sistematika tema yang

akan ditulis. Polancik menempatkan hal ini untuk kepentingan penelitian.

Dimana kerangka berpikir tersebut dibuat berdasarkan pertanyaan penelitian.

pertanyaan itulah yang menggambarkan himpunan, konsep atau

mempresentasikan hubungan antara beberapa konsep.

64
Berbeda dengan pendapat Sugiyono, yang mendefinisikan kerangka

berpikir sebagai model konseptual yang dimanfaatkan sebagai teori yang ada

kaitannya dengan beberapa faktor yang diidentifikasi sebagai masalah

penting. Konteks yang dimaksud untuk kerangka penelitian. Dalam

menjalankan sebuah penelitian yang membutuhkan kerangka berpikir,

alangkah lebih baiknya jika hal tersebut mampu menjelaskan secara teoritis.

Sekaligus juga bisa menjelaskan hubungan antara variable yang diangkat.

Jadi peneliti bisa menjelaskan hubungan antara variable independen &

variable dependent.

Kerangka berpikir menurut Sapto Haryoko adalah sebuah penelitian

yang akan meneliti dua variable atau lebih. Jika peneliti akan membahas satu

variable atau lebih secara mandiri, maka peneliti hanya bisa mengemukakan

deskripsi teoritik dari masing-masing variable, atau bisa juga mengemukakan

argumentasi terhadap variasi besaran variable yang diteliti.

65
BAB III

METODE PENENLITIAN

A Pendekatan Dan Jenis Penelitian

Metode penelitian merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data

dengan tujuan dan kegunaan tertentu. (Sugiyono, metode penelitian, 2004).

Sedangkan menurut Muhiddin Sirat (Sirat, 2006), Metode penelitian adalah

suatu cara memilih masalah dan penentuan judul penelitian.

Pada penelitian ini penulis menggunakan pendekatan penelitian

lapangan dengan metode penelitian deskriptif kulaitatif yang bertuajuan

untuk mengetahui implementasi mediasi dalam perkara perceraian di

pengadilan agama kabupaten Kediri. Penelitian kualitatif adalah jenis

penelitian yang mengutamakan deskripsi atau penjelasan dalam

membangun paradigma fakta fakta sosial dan mengutamakan makna.

Menurut Bogdan dan Taylor (1975) yang dikutip oleh (Moleong L. J., 2007)

mengemukakan bahwa metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian

yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari

orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.

Format desain penelitian kualitatif terdiri dari tiga model, yaitu

format deskriptif, format verifikasi, dan format grounded research. Dalam

penelitian ini digunakan metode kualitatif dengan desain deskriptif, yaitu

penelitian yang memberi gambaran secara cermat mengenai individu atau

66
kelompok tertentu tentang keadaan dan gejala yang terjadi

(Koentjaraningrat, 1993:89).

B Tempat Penelitian

Tempat penelitian yang diamati oleh penulis di Pengadilan Agama

Kabuten Kediri yang bertempat di Jl. Sekartaji No. 12 Kabupaten Kediri

C Subjek Dan Objek Penelitian

1. Subjek Penelitian

Subjek Penelitian adalah hakim atau mediator dipengadilan agama

kabupaten kediri.

2. Objek Penelitian

Penelitian dilakukan di Pengadilan agama kabupaten kediri.

D Teknik Pengumpulan Data

1. Wawancara/interview

Penelitian ini menggunakan wawancara semi berstruktur dimana

menurut (Sugiyono, 2010), Wawancara semi tersrtuktur adalah

panduan pewawancaraan yang dilakukan dalam upaya menemukan

permasalahan dengan secara lebih terbuka, dimana antara pihak yang

terkait saling diajak untuk minta pendapat, ide-idenya secara

mendalam.

Narasumber wawancara pada penelitian ini yaitu seorang hakim

yang juga bertugas sebagai mediator yang telah ditunjuk oleh

67
Pengadilan Agama Kabupaten Kediri sesuai surat permohonan

observasi dari peneliti kepada Pengadilan Agama Kabupaten kediri.

Guna mendapatkan data yang valid dan benar-benar dari sumber

yang jelas dan terpercaya.

2. Dokumentasi

Penelitian ini juga menggunakan dokumen-dokumen atau arsip

guna memperkuat hasil penelitian secara wawancra.

Dokumen tertulis dan arsip merupakan sumber data yang sering

memiliki posisi penting dalam penelitian kualitatif, terutama bila

sasaran kajian mengarah pada latar belakang atau berbagai peristiwa

yang terjadi di masa lampau yang sangat berkaitan dengan kondisi

atau peristiwa masa kini yang sedang diteliti (Sutopo, 2006).

Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu.

Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya

monumental dari seseorang. Dokumen yang berbentuk tulisan

misalnya catatan harian, sejarah kehidupan (life histories), cerita,

biografi, peraturan, kebijakan. Dokumen yang berbentuk gambar

misalnya foto, gambar hidup, sketsa dan lain-lain. Dokumen yang

berbentuk karya misalnya karya seni, yang dapat berupa gambar,

patung film, dan lain-lain. Studi dokumen merupakan pelengkap dari

penggunaan metode observasi dan wawancara dalam penelitian

kualitatif (Sugiyono, 2007).

68
Dokumen merupakan bahan kajian yang berupa tulisan, foto,

film atau hal-hal yang dapat dijadikan sumber kajian selain melalui

wawancara dan observasi dalam penelitian kualitatif. Menurut (Guba

& Lincoln, 1981) dokumen digunakan untuk bahan penelitian

sebagai sumber data karena dokumen merupakan sumber data yang

stabil, kaya, dan mendorong. Sebagai bukti untuk suatu pengujian.

Dokumen bersifat alamiah, sesuai dengan konteks, lahir dan berada

dalam konteks. Dokumen tidak sukar diperoleh, tetapi dokumen

harus dicari dan ditemukan. Hasil kajian dokumen dapat digunakan

untuk memperluas terhadap kajian yang sedang diteliti (Moleong L.

J., 2007).

Dokumen-dokumen yang dikumpulkan oleh peneliti dipilih dan

dipilah untuk diambil mana yang sesuai dengan fokus yang diteliti.

Dokumen yang diambil dijadikan data pendukung penelitian. Agar

hasil kajian dan penelitian yang dilakukan dapat disajikan lebih valid

dan lebih lengkap, sehingga paparan yang dihasilkan akan lebih

akurat dan dapat dipertanggung jawabkan sebagai kajian yang

kredibel dan ilmiah. Dokumen penelitian yang diambil sebagai data

oleh peneliti adalah data wawancara, data perceraian di pengadilan

agama kabupaten kediri tahun 2021.

Sumber-sumber pengetahuan seperti buku, jurnal, artikel yang

kami ambil adalah sebagai berikut.:

69
a. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun

2016 Tentang Prosedur Mediasi.

b. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989.

c. (Afandi, 1984) hukum waris, hukum keluarga, hukum

pembuktian menurut kitab undang-undang hukum perdata.

jakarta: bina aksara.

d. (Alghifari, 2020) perceraian.

e. (Fuady, 2000) Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis.

f. (Hamid, 1988) pokok-pokok hukum perkawinan islam dan

undang-undang perkawinan di indonesia.

g. (Hj. Sulaikan Lubis, S.H., M.H. Hj. Wismar 'Ain Marzuki, S.H.,

M.H., 2005) Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di

Indonesia.

h. (Moore, 2003) the mediation process: practical strategis for

resolfing conflict.

3. Teknik Analisis Data

Untuk mendapatkan hasil yang sesuai dengan harapan disini penulis

menggunakan empat langkah analisi data kualitaif yang penulis gunakan

dalam penelitian ini, yaitu:

a. Pengumpulan Data

Pengumpulan data kualitatif dilakukan untuk mengetahui

70
permasalahan secara mendalam, maka dalam data kualitatif

terdapat beberapa teknik pengumpulan data yang paling umum

digunakan.

Yang pertama, wawancara mendalam yang merupakan

salah satu teknik pengumpulan data, disini penulis mewawancarai

hakim dari Pengadilan agama Kabuten Kediri yang juga ditunjuk

sebagai mediator dalam penyelesaian perkara di Pengadilan Agama

Kabupaten Kediri.

Yang kedua, observasi yaitu teknik pengumpulan data

dengan melakukan pengamatan untuk mendapatkan gambaran

lebih detail mengenai suatu kegiatan, disini penulis melakukan

pengamatan atau melakukan observasi mengenai proses

berjalannya mediasi dari sebelum mediasi dilakukan sampai

dengan proses mediasi selesai di Pengadilan Agama Kabupaten

Kediri.

Yang terakhir adalah teknik dokumentasi yang dilakukan

dengan cara mengkaji dokumen-dokumen terkait penelitian atau

riset (Tinegas, 2021). Disini penulis mengumpulkan data

perceraian yang terjadi di Pengadilan Agama Kabupaten Kediri,

dan juga mengambil data perkara perceraian yang masuk dalam

proses mediasi di Pengadilan Agama Kabupaten Kediri.

b. Reduksi data

71
Langkah pertama adalah reduksi data. Pada tahap ini, kami

fokus pada proses pemilihan, penyederhanaan, abstraksi, dan

transformasi data mentah yang dihasilkan dari proses akuisisi data.

Proses ini guna menyesuaikan dengan kebutuhan dan fokus

penelitian kami. Pada fase ini, kami akan memisahkan mana yang

penting dan mana yang tidak agar data yang terkumpul lebih sesuai

dengan tujuan penelitia kami. Penghapusan data terjadi selama

proses pengumpulan data. Kegiatan pengkodean, agregasi, dan

partisi juga dilakukan selama fase ini. Selain itu, juga merupakan

bentuk analisis yang menajamkan, mengklasifikasi, memandu,

membuang data yang tidak diinginkan, dan menatanya sehingga

dapat ditarik kesimpulan akhir dan divalidasi pada langkah

selanjutnya Penyajian data (Tinegas, 2021). Disin penulis

mereduksi data dari hasil penelitian mulai dari data yang berupa

wawancara, pengamatan, dan pengambilan data perceraian di

Pengadilan Agama Kabupaten Kediri.

c. Penyajian data

Penyajian data dapat diartikan sebagai sekumpulan

informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan

kesimpulan dan pengambilan tindakan. Dalam penelitian ini

penulis menyajikan data dengan bentuk narasi atau deskriptif.

Dengan tujuan agar peneliti dapat memahami apa yang terjadi.

(Tinegas, 2021). Dari hasil pengumpulan data kemudian reduksi

72
data maka sampailai penulis dalam proses penyajian data dimana

data-data yang telah dterima dan di reduksi kemudian disajikan

dalam bentuk narasi atau deskripsi.

d. Verifikasi dan kesimpulan

Data dasar dan kesimpulan awal yang dikemukakan dimuka

masih bersifat sementara, dan akan berubah selama proses

pengumpulan data masih terus berlangsung. Akan tetapi, apabila

kesimpulan tersebut didukung oleh bukti-bukti (data) yang valid

dan konsisten yang peneliti temukan di lapangan, maka kesimpulan

yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel.

Kemudian membuat rangkuman inti, proses dan penyataan-

pernyataan yang perlu dijaga sehingga tetap berada di dalamnya

(Tinegas, 2021). Pada proses ini penulis mendapatkan jawaban dari

apa yang menjadi permasalahan penelitian ini, dari data yang

terpapar diawal dan kemudian di verifikasi oleh data yang telah

penulis ambil maka akan terjad kesimpulan yang bersifat kredibel

dan dapat dipertanggung jawabkan kebenrannya.

73
DAFTAR PUSTAKA

aeni, s. n. (2022, maret rabu). memahami pengertian implementasi, tujuan,

faktordan contohnya. Retrieved from katadata.co.id:

https://katadata.co.id/sitinuraeni/berita/6243accfd3afb/memahami-

pengertian-implementasi-tujuan-faktor-dan-contohnya

Afandi, A. (1984). hukum waris, hukum keluarga, hukum pembuktian menurut

kitab undang-undang hukum perdata. jakarta: bina aksara.

Alghifari. (2020). perceraian. jakarta: et al.

Arikunto. (2010). prosedur penelitian suatu pendekatan praktik. jakarta: rineka

cipta.

Fuady, M. (2000). Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis. bandung: citra aditya

bakti.

Guba & Lincoln. (1981). effective evaluation. san francisco: josseybas.

Hamid, Z. (1988). pokok-pokok hukum perkawinan islam dan undang-undang

perkawinan di indonesia. yogyakarta: bina cipta.

Hj. Sulaikan Lubis, S.H., M.H. Hj. Wismar 'Ain Marzuki, S.H., M.H. (2005).

Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia. JAKARTA:

PRENADAMEDIA GROUP.

74
Kovach, K. K. (1994). mediation principles and practice. minnesota: west

publishing.

Moleong, L. J. (2007). metodologi penelitian. bandung: PT remaja rosdakarya.

Moleong, L. J. (2007). metodologi penelitian kualitatif. bandung: pt. citra remaja

rosdakarya offset.

Moore, C. w. (2003). the mediation process: practical strategis for resolfing

conflict. san fransisco: jossey-bass.

nunnally. (1978). psychometric theory. new york: mc graw-hill.

Polancik, G. (2009). emperial research method poster. jakarta: kencana.

sirat, m. (2006). penelitian tindak kelas. jakarta: gaung persada.

sirat, m. (2006). penelitian tindak kelas. jakarta: gaung persada.

Sirat, M. (2006). penelitian tindak kelas. jakarta: gaung persada.

Subekti. (2001). pokok-pokok hukum perdata. jakarta: pt. intermasa.

Sugiyono. (2004). metode penelitian. bandung: alfabet.

Sugiyono. (2007). metode penelitian kuantitatif dan kualitatif. bandung: alfabeta.

Sugiyono. (2010). metode penelitian pendidikan pendekatan kualitatif, kuantitatif,

dan R&D. bandung: alfabeta.

Sugiyono. (2017). metode penelitian kuantitatif, kalitatif, dan R&D. bandung:

lfabeta.

75
Sutopo. (2006). metodologi penelitian kualitatif. surakarta: UNS.

Sutopo. (2006). metodologi penelitian kualitatif. surakarta: UNS.

Tinegas, R. (2021, desember selasa). teknik pengolahan data kualitatif. Retrieved

from dqlab: https://www.dqlab.id/langkah-langkah-teknik-pengolahan-

data-kualitatif

Wahyu Ernaningsih dan Putu Samawati. (2014). pengaruh budaya patriarki

terhadap perceraian. malang: tunggal mandiri.

Wheeler, H. &. (1996). qualitative research for nurses. london: blacwell.

Wikipedia. (2020). perceraian. jakarta: wikipedia.com.

76

Anda mungkin juga menyukai