Anda di halaman 1dari 21

KONSEP MUJTAHID DAN IJTIHAD BESERTA SYARAT DAN

RUKUNYA
Makalah diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Sejarah Hukum Islam Klasik

Dosen Pembimbing
Prof. Dr. Dra. Hj Istibsyaroh, BA, SH, MA

Oleh : Moh. Ali Anwar


NIM : F12916330

PASCA SARJANA JURUSAN DIRASAH ISLAMIYAH


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan berbagai inovasi dan
produktivitasnya adalah tantangan serius hokum Islam yang selama ini berjalan
secara stagnan, rigid dan konvensional. Iptek tidak mungkin akan bergerak ke
belakang dan pasti bergerak ke depan untuk merekayasa peradaban manusia
dengan kekayaan kreasi dan progresivitasnya. Kalau sekedar mengandalkan al-
turats al-islamiy dengan paradigma konvensional, tentu banyak fenomena
kontemporer yang jatuh pada masalah mauquf (dipending) karena belum ada nash
yang meresponnya.
Kalau itu yang terjadi, suara hokum Islam tidak akan didengar lagi
gelombang modernisasi yang sudah sangat maju. Dalam konteks ini, sudah
saatnya umat Islam mengoptimalkan seluruh daya pikirannya untuk dinamisasi,
reaktualisasi dan refungsionalisasi hokum Islam agar formulasi hokum Islam
relevan dengan kondisi kekinian yang selalu berubah setiap saat. Untuk merespon
semua itu diperlukan ijtihad dari orang-orang yang memiliki kapsitas keilmuan
yang mumpuni dalam menanggapi berbagai problematika kekinian.
Usaha untuk tetap menjaga eksistensi syariat Islam dan terlepas dari
belenggu kekakuan dan ketertinggalan zaman, maka ijtihad satu-satunya jalan
yang harus dilakukan secara maksimal. Dengan ijtihad, reaktualisasi nilai-nilai
syariat Islam tetap actual dan dapat dipertahankan dalam kehidupan praktis, Oleh
karena itu, di dalam makalah ini akn dibahas mengenai pengertian ijtihad, dasar
hukum ijtihad, kedudukan ijtihad, fungsi ijtihad, obyek ijtihad, macam-macam
ijtihad, serta syarat-syarat Mujtahid dan tingkatan-tingkatannya.
B. Rumusan Masalah
Adapaun rumusan masalah pada makalah ini, yaitu :
1. Bagaimana pengertian ijtihad?
2. Bagaimana dasar hukum ijtihad?
3. Bagaimana kedudukan dan fungsi ijtihad?
4. Bagaimana objek ijtihad?

1
5. Bagaimana macam-macam ijtihad?
6. Bagaimana syarat-syarat mujtahid serta tingkatannya?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini, yaitu:
1. Untuk mengetahui pengertian ijtihad.
2. Untuk mengetahui dasar hukum ijtihad.
3. Untuk mengetahui kedudukan dan fungsi ijtihad.
4. Untuk mengetahui obyek kajian ijtihad.
5. Untuk mengetahui macam-macam ijtihad.
6. Untuk mengetahui syarat-syarat mujtahid dan tingkatannya.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijtihad
Secara etimologi ijtihad berasal dari akar kata jahada yang berarti
kesulitan dan kesusahan. Dari sudut ilm sharf kata ijtihad bentuknya mengikuti
pola timbangan ifti’al yang menunjukkan arti berlebih (mubalagah) dalam
melaksanakn suatu perbuatan. Dengan demikian, dapat dirumuskan bahwa
berijtihad bukanlah kegiatan yang mudah atau ringan, tetapi mengandung
kesulitan serta membutuhkan pengerahan tenaga dan daya pikir yang maksimal.1
Dilihat dari segi kebahasaan, kata ijtihad berarti mengerahkan segala
kemampuan untuk mewujudkan sesuatu. Maka, jika disederhanakan
perumusannya, ijtihad bermakna kerja keras dan bersungguh-sungguh, Dengan
demikian, setiap pekerjaan yang dilakukan dengan maksimal serta mengerahkan
segenap kemampuan yang ada, dinamakan ijtihad dan pelakunya dinamai
mujtahid.2
Kemudian, kata tersebut digunakan sebagai salah satu istilah dalam kajian
ushul fiqh yang bermakna “usaha maksimal ulama fiqh dalam melakukan kajian
untuk memperoleh ketentuan-ketentuan hukum yang bersfat zanni”. Dengan
demikian, setiap terungkap istilah ijtihad dalam pembahasan ilmu ushul fiqh,
bermakna usaha-usaha maksimal yang dilakukan para ulama fiqh untuk
merumuskan pemikiran-pemikiran fiqh,3 baik berupa hasil pemahaman terhadap
teks lafal Alqur’an dan Sunnah, maupun hasil analisa terhadap persoalan-
persoalan actual yang mereka hadapi. Namun, kekuatan hukum hasil ijtihad
bersifat sanni, yakni memiliki peluang benar dan salah, dengan dugaan terkuat
pada benarnya bukan pada salahnya.4
Secara terminologis, Abdul Wahhab Khallaf mendefinisikan ijtihad
sebagai pengerahan daya upaya untuk sampai kepada hukum syara dari dalil yang
terinci dengan sumber dari dalil-dalil syara. Sedangkan Muhammad Abu Zahrah
1
Fatoni Hasyim, pemikiran hukum Islam Imam Al-Bukhori, (Yogyakarta : pustaka pelajar
2013), hlm. 78
2
Yahya Khusnan, Qowaid Fiqhiyah, (Jombang : Pustaka Al Muhibbin), hlm 74
3
Ibid 74
4
Ibid 75

3
mengartikannya sebagai daya upaya ahli hukum Islam semaksimal mungkin
dalam menginstinbatkan hukum praktis dari dalil-dalinya yang terperinci.
Muhammad Musa Tuwana juga memberikan definisi ijtihad yang senada yakni
dalam pengerahan segala upaya ahli hukum Islam dalam menggali hukum-hukum
syara yang berstatus cabang dari dalil-dalilnya.5
Istilah ijtihad itu tidak dapat dipisahkan dari istilah ra’yu (rasionalitas).
Istilah ra’yu dapat diartikan sebagai upaya pencarian dan perenungan terhadap
masalah-masalah tertentu berdasarkan Al-Qur’an dan hadis atau prinsip-prinsip
umum syariat Islam. Merenung dan mentadabburi sesuatu adalah pekerjaan rasio.
Karena itu, istilah ra’yu tidak bisa dipisahkan dari kata ‘aql. Al-Qur’an sangat
menganjurkan kepada umat Islam untuk memaksimalkan potensi akal. Dalam
kaitannya denga ijtihad dibidang fiqh, Imam al-Gazali menyatakan bahwa akal
manusia hanya dapat menetapkan hukum mengenail kasus-kasus tertentu yang
secara eksplisit tidak terdapat dalam wahyu. Pendapat ini mewakili pendapat
Sunni pada umumnya. Bagi kelompok ini, wahyu mempunyai kedudukan yang
sangat menentukan dalam menetapkan hukum6, dengan melakukan analisis dari
beberapa definisi yang dikemukakan tersebut dan membandingkannya dari
berbagai sudut pandang, maka dapat ditarik konklusi dari hakikat dan substansi
dari ijtihad itu yaitu:
a. Ijtihad adalah pengerahan segala daya nalar secara optimal.7
b. Usaha ijtihad dilakukan oleh orang yang telah memiliki kapasitas
keilmuan yang mumpuni.8
c. Hasil dari kreativitas ijtihad adalah dugaan yang kuat tentang hukum syara
yang bersifat praksis.9
d. Kreatifitas ijtihad dilakukan dengan cara istinbath.10
B. Dasar Hukum Ijtihad
Dasar yang menunjukkan kebolehan melakukan ijtihad, antara lain :

5
Ahmad Basyir dkk, Ijtihad dalam sorotan, (Bandung : Mizan, 1996), hlm 108
6
Basiq Djalil, H. A., Ilmu Ushul Fiqih 1 dan 2, (Jakarta : Kencana, 2010), hlm, 88
7
Jaih Mubarok, Ijtihad kemanusiaan, (Bandung : Pustaka Bani Quraisy, 2005) , hlm 5
8
Ibid 5
9
Ibid 5
10
Ibid 6

4
1. Q.S An-Nisa ayat 59 :
      
          
        
   
59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),
dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat
tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.11

Perintah mengembalikan sesuatu yang diperbedakan kepada Al-


Qur’an dan Sunnah, menurut Ali Hasaballah adalah peringatan agar orang
tidak mengikuti hawa nafsunya, dan mewajibkan untuk kembali kepada
Allah dan Rasul_nya dengan jalan ijtihad dalam membahas kandungan
ayat atau hadist yang barangkali tidak mudah untuk dijangkau begitu saja,
atau berijtihad dengan menerapkan kaidah-kaidah umum yang
disimpulkan dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, seperti menyamakan
hukum sesuatu yang tidak ditegaskan hukumnya dengan sesuatu yang
disebutkan dalam al-Qur’an karena persamaan ‘illat-nya’ seperti dalam
praktik qiyas (analogi), atau dengan meneliti kebijaksanaan-kebijaksanaan
syariat. Melakukan ijtihad seperti inilah yang dimaksud mengembalikan
sesuatu kepada Allah dan Rasul-Nya seperti yang dimaksud oleh ayat itu.12
2. Hadis yang diriwayatkan dari Mu’az bin Jabal. Ketika ia akan diutus
ke Yaman, menjawab pertanyaan rasulullah dengan apa ia memutuskan hukum, ia
menjelaskan secara berurutan, yaitu dengan Al-Qur’an, kemudian dengan sunnah
Rasulullah, dan kemudian dengan melakukan ijtihad. Rasulullah mengakui hal itu
dengan mengatakan : “Segala pujian bagi Allah yang telah memberi taufik atas

11
QS An-Nisa : 59
12
Pada masa Rosul ijtihad yang dialkukan Nabi Muhammad SAW terbatas pada proses
qiyas. Apabila beliau menetapkan ijtihadnya, maka hal itu merupakan dalil yang sudah pasti
keabsahaanya karena beliau tidak akan menetapkan kesalahan, danm oleh lkarena itu tidak boleh
berbeda dengannya sebagaimana diperbolehkan berbeda dengan para mujtahid lainnya.

5
diri utusa dari Rasulullah dengan apa yang diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya.
Arti hadis tersebut secara lengkap sebagai berikut13:

َ ‫ لَ َّما َب َع‬-‫ص لى اهلل علي ه وس لم‬- ‫ول اللَّ ِه‬


‫ث ُم َع ا ًذا إِلَى الْيَ َم ِن‬ َ ‫َن َر ُس‬ َّ ‫ أ‬: ‫اذ‬ٍ ‫ َعن مع‬   
َُ ْ
‫ فَِإ ْن‬: ‫ال‬ َ َ‫ ق‬.‫اب اللَّ ِه‬
ِ َ‫ْضى بِ ِكت‬ ِ ‫ أَق‬: ‫ال‬َ َ‫ ق‬.‫ضاءٌ؟‬ َ َ‫ك ق‬َ َ‫ض ل‬َ ‫ضى إِ َذا َع َر‬ ِ ‫ف َت ْق‬ َ ‫ َك ْي‬: ُ‫ال لَه‬
َ َ‫ق‬
.-‫صلى اهلل عليه وسلم‬- ‫ول اللَّ ِه‬ ِ ‫ْض ى بِس ن َِّة ر ُس‬
َ ُ
ِ ‫ أَق‬: ‫ال‬ َ َ‫اب اللَّ ِه؟ ق‬
ِ َ‫لَ ْم تَ ِج ْدهُ فِى كِت‬
: ‫ال‬ َ َ‫ ق‬.‫َجتَ ِه ُد بِ َرأْيِى الَ آلُ و‬ َ َ‫ق‬.. ‫ول اللَّ ِه‬
ْ ‫ أ‬: ‫ال‬ ِ ‫ فَ ِإ ْن لَم تَ ِج ْدهُ فِى ُس ن َِّة ر ُس‬: ‫ال‬
َ ْ َ َ‫ق‬
‫ول اللَّ ِه لِ َم ا‬
ِ ‫ول ر ُس‬ ِ َّ ِ
َ َ ‫ْح ْم ُد للَّه الذى َوفَّ َق َر ُس‬ َ َ‫ص ْد ِرى َوق‬
َ ‫ ال‬: ‫ال‬
ِ ِِ
َ ‫ب بِيَ ده فى‬ َ ‫ض َر‬ َ َ‫ف‬
.‫ول اللَّ ِه‬
َ ‫ضى َر ُس‬ ِ ‫ير‬
ُْ
 

Artinya : Dari Muadz: Bahwasanya Rasulullah SAW ketika mengutus


Muadz ke Yaman, beliau bersabda: “Bagaimana kau memutuskan juga
dihadapkan perkara kepadamu‘ Muadz menjawab: “Saya putuskan dengan kitab
Allah. Rasulullah bertanya kembali: “Jika tidak kau temukan dalam kitab Allah.”
Muadz menjawab: “Saya putuskan dengan sunnah Rasulullah SAW. Rasulullah
bertanya: Jika tidak kau temukan dalam sunnah Rasulullah‘ Muadz menjawab:
“Saya berijtihad dengan ra’yu saya dan tidak melampaui batas.” Muadz lalu
berkata: “Rasulullah memukulkan tangannya ke dada saya dan bersabda: “Segala
puji bagi Allah yang telah (HR.Tirmizi).14

Menurut Syafe’i, bagi seseorang yang sudah memenuhi persayratan


ijtihad, ada lima hukum yang bisa dikenakan pada orang tersebut berkenaan
dengan ijutihad, yaitu :15

13
Ahmad Al Rasyuni, ijtihad antara teks, realitas dan kemaslahatan sosial, (Jakarta :
erlangga, 2002), 5
14
Hadits di atas mengindikasikan legalitas ijtihad, walaupun bukan berarti kita bebas
mutlak untuk melakukannya sekehendak hati, melainkan ijtihad butuih pembuktian dan penalaran
karena ijtihad merupakan amanat.
15
Ibrohim Abbas Al Dzarwi, teori Ijtihad dalam hukum Islam, (Semarang: dina utama,
1993), hlm 17

6
1. Orang tersebut dihukum fardhu’ain untuk berijtihad apabila ada
permasalahan yang menimpa dirinya, dan harus mengamalkan hasil dari
ijtihadnya dan tidak boleh taqlid kepada orang lain, karena hukum ijtihad
itu sama dengan hukum Allah terhadap permasalahan yang ia yakini
bahwa hal itu termasuk hukum Allah.
2. Juga dihukumi fardhu’ain jika ditanyakan tentang suatu permasalahan
yang belum ada hukumnya. Karena jika tidak segera dijawab,
dikhawatirkan akan terjadi kesalahan dalam melaksanakan hukum tersebut
atau habis waktunya dalam mengetahui kejadian tersebut.
3. Dihukumi fardu kifayah, jika permasalahan yang diajukan kepadanya
tidak dikhawatirkan akan habis waktunya, atau ada orang lain selain
dirinya yang sama-sama memenuhi syarat sebagai seorang mujtahid.
4. Dihukumi sunah apabila ber-ijtihad terhadap permasalahan yang baru,
baik ditanya ataupun tidak.
5. Dihukumi haram apabila berijtihad terhadap permasalahan yang sudah
ditetapkan secara qathi’, sehingga hasil ijtihadnya itu bertentangan dengan
dalil syara’.
C. Kedudukan dan Fungsi Ijtihad
Masalah-masalah yang menjadi lapangan ijtihad adalah masalah-masalah
yang bersifat Zhanny, yakni hal-hal yang belum jelas dalilnya baik di dalam Al-
qur’an maupun Hadis. Adapun hal-hal yang bersifat Qat’iy, yakni hal-hal yang
telah tegas dalilnya seperti wajibnya Shala, Zakat, Puasa dan lain-lain tidak ada
ijtihad padanya.
Bila dilihat dari segi akal, tidaklah dapat dikatakan bahwa tiap-tiap hasil
ijtihad itu benar. Menurut akal, yang benar hanya satu yakni bila hasil ijtihadnya
tepat. Apabila tidak tepat, berarti dosa, hal ini ditentag oleh Al-Anbary dan Al-
Jahiz. Menurut beliau, tiap-tiap mujtahid adalah benar dan tidak ada dosa
diatasnya.16

16
Suparman Usman, Hukum Islam : asas-asas dan pengantar studi hukum Islam dalam
tata hukum Indonesia, (Jakarta : gaya media pratama, 2002), hlm 98

7
Menurut Djalil tentang kedudukan hasl ijtihad dalam masalah fiqh,
terdapat dua golongan, yaitu17 :
a. Golongan I : Berpendapat bahwa, tiap-tiap mujtahid adalah benar dengan
alas an karena dalam masalah tersebut Allah tidak menentukan hukum
tertentu sebelum diijtihadkan. Oleh karena itu, wajib mengikuti hasil
ijtihadnya mujtahid. Adapun perselisihan hukum dalam satu masalah
adalah karena berbedanya jangkauan mujtahid-mujtahid.
b. Golongan II : Berpendapat bahwa yang benar itu hanya satu, yaitu hasil
ijtihad yang cocok jangkauannya dengan hukum Allah, sedang bagi yang
tidak cocok jangkauannya maka dikategorikan salah. Golngan ini
beralasan bahwa Allah SWT telah meletakkan hukum tertentu pada satu
masalah sebelum diijtihadkan, hanya saja terkadang mujtahid dapat
menjangkaunya, sedang terkadang tidak. Demikian pendapat jumhur dan
termasuk Asysyafi’I, berdalil dengan hadis, yang artinya : “Siapa yang
berijtihad dan ternyata benar, maka mendapat dua pahala, dan (orang yang
berijtihad) ternyata salah maka dapat satu pahala”(H.R.Buchari dan
Muslim).
Imam Syafi’ira (150H-240H), penyusun pertama Ushul Fiqh dalam
bukunya Ar-Risalah, ketika menggambarkan kesempurnaan Al-Qur’an
menegaskan: “Maka tidak terjadi suatu peristiwa pun pada seorang pemeluk
agama Allah, kecuali dalam kitab Allah terdapat petunjuk tentang hukumnya”.
Menurutnya, hukum-hukum yang dikandung oleh Al-Qur’an yang bisa menjawab
berbagai permasalahan itu harus digali dengan kegiatan ijtihad. Oleh karena itu,
menurutnya, Allah mewajibkan kepada hamba-Nya untuk berijtihad dalam upaya
menimba hukum-hukm dari sumbernya itu. Selanjutnya ia mengatakan bahwa
Allah menguji ketatan seseorang untuk melakukan ijtihad, sama halnya seperti
Allah menguji ketaatan hamba-Nya dalm hal-hal yang diwajibkan lainnya.18

17
A Djazuli ilmu Fiqih : penggalan, perkembangan, dan penerapan hukum Islam, (Jakarta
kencana, 2005), hlm. 129-130
18
TM Hasbi ash-shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, (Semarang, PT Pustaka Rizki Putra,
2001), hlm. 89

8
Pernyataan Imam Syafi’I diatas, menggambarkan betapa pentingnya
kedudukan ijtihad disamping AL-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Ijtihad berfungsi
baik untuk menguji kebenaran riwayat hadis yang tidak sampai ke tingkat hadis
mutawatir seperti hadis ahad, atau sebagai upaya memahami redaksi ayat atau
hadis yang tidak tegas pengertiannya sehingga tidak langsung dapat dipahami
kecuali dengan ijtihad dan berfungsi untuk mengembangkan prinsip-prinsip
hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah seperti dengan qiyas, istihsan,
dan mashalah mursalah. Hal yang disebut terakhir ini, yaitu pengembangan
prinsip-prinsiphukum dalam Al-Qur’an dan Sunnah adalah penting, karena
dengan itu ayat-ayat dan hadis-hadis hukum yang sangat terbatas jumlahnya itu
dapat menjawab berbagai permasalahn yang tidak terbatas jumlahnya.
D. Objek Kajian Ijtihad
Para ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa ayat-ayat atau Hadis Rasulullah
yang sudah tidak diragukan lagi kepastiannya (qath’i) dating dari Allah atau
Rasul-Nya, seperti al-Qur’an dan Hadis Mutawatir (hadis yang diriwayatkan oleh
sekelompok orang yang tidak mungkin berbohong), bukan lagi merupakan
lapanga ijtihad dari segi periwatannya. Al-Qur’an yang beredar dikalangan umat
Islam sekarang ini adalah pasti (gqth’i) keasliannya dating dari Allah dan begitu
juga Hadis Mutawatir adalah pasti (qth’i) datang dari Rasulullah. Kepastian itu
dapat diketahui karena baik al-Qur’an atau Hadis Mutawatir sampai kepada kita
dengan riwayat yang mutawatir yang tidak ada kemungkinan adanya pemalsuan.19
Selain dapat digunakan dalam semua ajaran atau aspek Islam, menurut
penulis, ijtihad juga mempunyai obyek yang sangat luas. Objek ijtihad adalah
setiap peristiwa, baik yang sudah ada ketentuan nashnya yang bersifat zanni,
maupun belum ada nashnya sama sekali.20Bagi peristiwa-peristiwa yang sudah ada
ketentuan nashnya, cara ijtihad adalah dengan jalan memahami nash dan meneliti
apakah nash bersifat khusus atau bersifat umum, dan kalau bersifat umum, apakah
dibatas keumumannya atau tidak. Bagi peristiwa-peristiwa yang tidak ada

19
Mun’im A Sirry, Sejarah Fiqih Islam : sebuah pengantar, (Surabaya : risalah gusti,
1995), hlm 107-109
20
ibid 109

9
nashnya, maka obyek ijtihad ialah meneliti hukumnya dengan memakai qiyas atau
istihsan atau pemakain ‘urf atau dalil-dalil hukum lainnya.21
Demikian pula halnya para ulama Ushul Fiqh telah sepakat bahwa ijtihad
tidak lagi diperlukan pada ayat-ayat atau hadis yang menjelaskan hukum secara
tegas dan pasti (qath’i). Wahbah az-Zuhaili menegaskan tidak dibenarkan
berijtihad pada hukum-hukum yang sudah ada keterangannya secara tegas dan
pasti dalam al-Qur’an da Synnah. Misalnya kewajiban melakukan shalat lima
waktu, kewajiban berpuasa, zakat, haji, larangan berzina, membunuh dan kadar
pembagian harta warisan yang telah ditegaskan dalam al-Qur’an dan Sunnah.
Kemudian hal-hal yang menjadi objek kajian ijtihad, seperti dikemukakan
oleh Abdul Wahhab Khallaf, adalah masalah-masalah yang tidak pasti (zhanni)
baik dari segi datangnya dari Rasulullah, atau dari segi pengertiannya, yang dapat
dapat dikategorikan menjadi tiga macam22 :
1. Hadis Ahad, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh orang seorang atau
beberapa orang yang tidak sampai ke tingkat hadis mutawatir. Hadis ahad
dari segi kepastian datangnya dari Rasulullah hanya sampai ke tingkat
dugaan kuat (zhanni) dalam arti tidak tertutup kemungkinan adanya
pemalsuan meskipun sedikit . Dalam hal ini seorang mujtahid perlu
melakukan ijtihad dengan cara meneliti kebenaran periwayatannya.23
2. Lafal-lafal atau redaksi al-Qur’an atau hadis yang menunjukkan
pengertiannya secara tidak tegas (zhanni), sehingga ada kemungkinan
pengertian lain selain yang cepat ditangkap ketika mendengar bunyi lafal
atau redaksi iyu. Ayat-ayat atau hadis yang tidak tegas pengertiannya ini
menjadi objek ijtihad dalam upaya memahami maksudnya. Fungsi ijtihad
disini adalah untuk mengetahui makna sebenarnya yang dimaksud oleh
suatu teks. Dalam hal ini sering membawa kepada perbedaan pendapat
ulama dalam menetapkan hukum.
3. Masalah-masalah yang tidak ada teks atau hadis dan tidak pula ada ijma’
yang menjelaskan hukumnya. Dalam hal ini ijtihad memainkan
21
ibid 109
22
Sobhi mahmassani, filsafat hukum dalam Islam, (Bandung al-Ma’arif 1976), hlm 69
23
Dedi supriadi, sejarah hukum Islam, (Bandung : pustaka setia, 2010), hlm 107

10
peranannya yang amat penting dalam rangka mengembangkan prinsip-
prinsip hukum yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah. Fungsi ijtihad
disini adalah untuk meneliti dan menemukan hukumnya lewat tujuan
hukum, seperti qiyas, istihsan, maslahah mursalah, ‘urf, istishab, dan sad
al-zari’ah. Disini terbuka kemungkinan luas untuk berbeda pendapat.
E. Macam-Macam Ijtihad
1. Memberi segala daya kesanggupan untuk sampai kepada hukum yang
dikehendaki dari nash yang dhanni tusubutnya, atau dhanni dalalahnya.
Dalam hal ini, kita berijtihad dalam batas memahami nash dan
mentarjihkan sebagian atas yang lain, seperti mengetahui sanad nash dan
jalannya sampai kepada kita.
2. Memberi segala daya kesungguhan untuk memperoleh sesuatu hukum
yang tidak ada padanya nash qath’I, nash dhanni dan tidak ada pula ijma’.
Dalam hal ini kita memperoleh hukum itu dengan berpegang kepada
tanda-tanda dan wasilah-wasilah yang telah diletakkan syara’, seperti qiyas
dan istihsan. Inilah yang disebut ijtihad bir ra’yi.
3. Memberikan segala daya kesungguhan untuk memperoleh hukum-hukum
syara’ dengan jalan menerapkan kaidah-kaidah kulliyah.. Ijtihad ini
berlaku dalam bidang yang mungkin diambil dari kaidah dan nash-nash
yang kulliyah, taka da padanya suatu nash tertentu, taka da pula ijma’ dan
tidak pula ditetapkan dengan qiyas atau istihsan. Hal ini sebenarnya
kembali kepada mendatangkan kemashlahatan dan menolak kemafsadatan,
sesuai dengan kaidah-kaidah syara’.24
Dikalangan ulama, terjadi perbedaan pendapat mengenai masalah ijtihad.
Imam Syafi’I menyamakan ijtihad dengan qiyas, yakni dua nama, tetapi
maksudnya satu. Dia tidak mengakui ra’yu yang didasarkan pada istihsan atau
mashlahah mursalah. Sementara itu, para ulama lainnya memiliki pandangan lebih
luas tentang ijtihad. Menurut mereka, ijtihad itu mencakup ra’yu, qiyas dan akal.

24
Miftahul Arifin dan Ahmad Faisal Haq, ushul Fiqh Kaidah-kaidahkaidah penetapan
Hukum Islam, (Surabaya : Citra Media, 1997), hlm.164

11
Pemahaman mereka tentang ra’yu sebagaimana yang diungkapkan oleh
para sahabat, yaitu mengamalkan apa-apa yang dipandang maslahat oleh seorang
mujtahid, atau setidak-tidaknya mendekati syari’at, tanpa melihat apakah hal itu
ada dsarnya atau tidak.
Berdasarkan pendapat diatas, Dr. Dawalibi membagi ijtihad menjadi tiga
bagian, yang sebagiannya sesuai dengan pendapat Asy-Syatibi dalam kitab Al-
Muwafaqat, yaitu :25
1. Ijtihad Al-Batani, yaitu ijtihad untuk menjelaskan hukum-hukum syara’
dari nash.
2. Ijtihad Al-Qiyasi, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat
dalam Al-Qur’an dan As-Sunah dengan menggunakan metode qiyas.
3. Ijtihad Al-Istishlah, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak
terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunah denga menggunakan ra’yu
berdasarkan kaidah istishlah.26
Menurut Syafe’i, pembagian diatas masih belum sepurna, seperti yang
diungkapka oleh Muhammad Taqiyu al-Hakim dengan mengemukakan beberapa
alas an, diantaranya jami’ wal mani. Menurutnya, ijtihad dapat dibagi menjadi dua
bagian saja,27 yaitu:
1. Ijtihad al-aqli, yaitu ijtihad yang hujjahnya didasarkan pada akal, tidak
menggunakan dalil syara’. Mujtahid dibebaskan untuk berpikir, dengan
mengikuti kaidah-kaidah yang pasti. Misalnya, menjaga kemadaratan,
hukuman itu jelek bila tidak disertai penjelasan,dan lain-lain.
2. Ijtihad syar’i, yaitu ijtihad yang didasarkan pada syara’, termasuk dalam
pembagian ini adalah ijma’, giyas, istihsan, istishlah, ‘urf, istishab, dan
lain-lain.
F. Syarat – Syarat Mujtahid dan Tingkatannya
1. Syarat-syarat Mujtahid

25
Abdul Wahab Khalaf, Sejarah Hukum Islam, ikhtisar dan dokumentasinya, terjemah :
Abu Halim, (Bandung : Marja 2005), hlm. 92-95
26
Ibid 95
27
Ibid 95

12
Wahbah az-Zuhaili menyimpulkan ada delapan persyaratan yang harus dipenuhi
oleh seorang mujtahid, yaitu28 :
a. Mengerti dengan makna-makna yang dikandung oleh ayat-ayat hukum
dalam Al-Qur’an baik secara bahasa maupun menurut istilah syariat. Tidak
perlu menghafal di luar kepala dan tidak perlu menghafal seluruh al-
Qur’an. Seorag mujtahid cukup mengetahui tempat-tempat dimana ayat-
ayat hukum itu berada sehingga mudah baginya menemukan waktu yang
dibutuhkan.29
Menurut Imam al-Ghazali, jumlah ayat-ayat hukum yang perlu dikuasai itu
sekitar 500 ayat. Pembatasan jumlah ayat-ayat hukum seperti dikemukakan al-
Ghazali itu oleh sebagian ulama tidak disepakati . Al-Syaukani (w.1255H)
umpamanya menyebutkan bahwa ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an bisa jadi
berlipat ganda dari jumlah yang disebutka al-Ghazali itu. Orang yang
mendalam pemahamannya bahkan mungkin meng-istinbatkan hukum dari
ayat-ayat dalam bentuk kisah umat-umat terdahulu. Pembatasan jumlah ayat
yang dikemukakan al-Ghazali itu, demikian komentar al-Syaukani, bisa
dianggap benar bilamana yang dimaksud adalah ayat-ayat yang dengan
langsung menunjukkan hukum, dalam arti belum termasuk ke dalamnya ayat-
ayat yang tidak langsung.30
Mengetahui makna ayat secara bahasa, yaitu dengan mengetahui makna-
makna mufrad (tunggal) dari suatu lafal dan maknanya dalam susunan suatu
redaksi. Pengetahuan seperti itu mungkin didapatkannya karena bakat atau
karena tumbuh dikalangan masyarakat yang menguasai seluk-beluk bahasa
Arab. Adapun pengetahuan tentang makna-makna ayat secara syara’ ialah
dengan mengetahui berbagai segi penunjukan lafal terhadap hukum, seperti
melalui mantuq (makna tersurat), lewat mafhum muwafaqah (makna tersirat),
atau mafhum mukhalafah (makna kebalikan dari makna tersurat), serta
mengetahui pembagian lafal dari segi cakupannya, seperti lafal umum dan
lafal khusus, dan mengerti pula dengan tingkatan kejelasan dan ketidakjelasan
28
Satria Efendi, Ushul Fiqh, (Jakarta : kencana prenamadia Group), hlm 251-255
29
Ibid 255
30
Ibid 255

13
dari penunjukan suatu lafal terhadap maknanya. Disamping itu, juga
mengetahui tentang ‘illat atau alasan logis mengapa sesuatu diperintah dan
mengapa sesuatu diperintah dan mengapa dilarang.
b. Mengetahui tentag hadis-hadis hukum baik secara bahasa maupun dalam
pemakaian syara’, seperti telah diuraikan pada syarat pertam. Seperti
halnya al-Qur’an, maka dalam masalah hadis juga tidak mesti dihafal
seluruh hadis yag berhubungan dengan hukum, tetapi cukup adanya
pengetahuan dimana hadis-hadis hukum yang dapat di jangkau bilamana
diperlukan. Menurut sebagian ulama misalnya Ibnu al-Arabi (w.543H),
ahli tafsir dari kalangan Malikiyah, seperti dinukil Wahbah az-Zuhaili,
jumlah hadis-hadis hukumsekitar 3000 hadis, sedangkan menurut riwayat
dari Ahmad bin Hanbal bahwa hadis-hadis hukum sekitar 1200 hadis.
Namun, Wahbah az-Zuhaili tidak sependapat dengan dengan pembatasan
jumlah hadis hukum itu. Menurutnya yang penting bagi seorang mujtahid
mengerti dengan seluruh hadis-hadis hukum yang terdapat di dalam kitab-
kitab hadis besar yang sudah diakui, seperti Sahih al-Bukhari, Sahih
Muslim, dan lain-lain. Hadis-hadis hukum harus diketahui, disamping
pengertiannya secara bahasa dan secara syara’, juga mengetahui
kesahihannya.
c. Mengethui tentang mana ayat atau hadis yang telah dimansukh (telah
dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Allah atau Rasul-Nya), dan mana ayat
atau hadis yang me-nasakh atau sebagai penggantinya. Pengetahuan
seperti ini diperlukan, agar seorang mujtahid tidak mengambil kesimpulan
dari ayat atau hadis yang sudah dinyatakan tidak lagi berlaku.
d. Mempunyai pengetahuan tentang masalah-masalah yang sudah terjadi
ijma’ tentang hukumnya dan mengetahui tempat-tempatnya. Pengetahuan
ini diperlukan agar seorang mujtahid dalam ijtihadnya tidak menyalahi
hukum yang telah disepakati para ulama.
e. Mengetahui tentang seluk-beluk qiyas, seperti syarat-syaratnya, rukun-
rukunnya, tentang ‘illat hukum dan cara menemukan ‘illat itu dari ayat

14
atau hadis, dan mengetahui kemaslahatan yang dikandung oleh suatu ayat
hukum dan prinsip-prinsip umum syariat Islam.
f. Menguasai bahasa Arab serta ilmu-ilmu bantu yang berhubungan
dengannya. Pengetahuan ini dibutuhkan, mengingat al-Qur’an dan
Suunnah adalah berbahasa Arab. Seseorang tidak akan bisa meng-
istinbatkan hukum dari dua sumber tersebut tanpa mengetahui seluk beluk
bahasa Arab. Antara lain, misalnya, mengetahui mana lafal umum dan
mana lafal khusus, mana lafal hakikat dan mana lafal majaz, lafal mutlaq
dan muqayyad, dan berbagai cara penunjukan lafal terhadap maknanya.
Penguasaan bahasa Arab tidak perlu menjadi ahli, tetapi cukup
sekadarmampu memahami secara benar ungkapan-ungkapan dalam bahasa
Arab dan kebiasaan orag Arab dalam pemakaiannya.
g. Menguasai ilmu Ushul Fiqh, seperti tentang hukum dan macam-
macamnya, tentang sumber-sumber hukum atau dalil-dalilnya, tentang
kaidah-kaidah dan cara mengistinbatkan hukum dari sumber-sumber
tersebut, dan tentang ijtihad. Pengetahuan tentang hal ini diperlukan
karena Ushul Fiqh merupakan pedoman yang harus dipegang dalam
melakukan ijtihad.
h. Mampu menangkap tujuan syariat dalam merumuskan suatu hukum.
Pengetahuan ini dibutuhkan karena untuk memahami suatu redaksi dan
dalam penerapannya kepada berbagai peristiwa, ketepatannya sangat
bergantung kepada pengetahuan tentang bidang ini. Hal ini disebabkan,
penunjukan suatu lafal kepada maknanya mengandung berbagai
kemungkinan, dan pengetahuan tentang maqasid al-Syari’ah memberi
petunjuk untuk memilih pengertiannya yang mana yang layak diangkat
dan difatwakan. Di samping itu, dan yang terpenting, denga penguasaan
bidang ini prinsip-prinsip hukum dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah
dapat dikembangkan, seperti dengan qiyas, istihsan, dan mashlahah
mursalah.
2. Tingkatan – Tingkatan Mujtahid

15
Menurut As-Suyuthi “Umat sekarang (pada zamannya) telah terjebak pada
pemikiran bahwa mujtahid mutlaq itu sudah tidak ada lad\gi dan yang ada
sekarang hanyalah mujtahid muqayyad”. Pernyataan seperti itu adalah salah besar
dan tidak sesuai dengan pendapat para ulama. Mereka tidak mengetahui apa
sebenarnya perbedaan antara mujtahid mutlaq, mujtahid muqayyad, dan mujtahid
muntasib yang semuanya berbeda.31
Tingkatan mujtahid menurut para ulama, diantaranya menurut Imam
Nawawi Ibnu Shalah dan lain-lain, terbagi dalam lima tingkatan, yaitu :
a. Mujtahid Mustaqi, adalah seorang mujtahid yang bebas
menggunakan kaidah-kaidah yang ia buat sendiri, dia menyusun
fiqihnya sendiri yang berbeda dengan madzhab yang ada. Menurut
As-Suyuthi, tingkatan ini sudah tidak ada lagi.
b. Mujtahid mutlaq ghairu mustaqil, adalah orang yang memiliki
kriteria seperti mujtahid mustaqi namun dia tidak menciptakan
sendiri kaidah-kaidahnya , tetapi mengikuti metode salah satu
imam madzhab. Dia bisa disebut juga sebagai muthlaq muntasib,
tidak mustaqil, tetapi juga tidak terikat, karena dia tidak
dikategorikan taqlid kepada imamnya melainkan mengikuti jalan
yang ditempuh imamnya. Diantaraya Abu Yusuf dan Muhammad
Jafar dari Hanafiyah.
c. Mujtahid muqayyad atau mujtahid takhrij adalah mujtahid yang
terikat oleh madzhab imamnya. Memang dia diberi kebebasan
dalam menentukan berbagai landasannya berdasarkan dalil, tetapi
tidak boleh keluar dari kaidah-kaidah yang telah dipakai imamnya.
Diantaranya Hasan bin Ziyad dari golongan Hanafi, Ibnu Qayyim
dan Asyhab dari golongan Maliki, serta Al-Buwaiti dan Majani
dari golongan Syafi’i.
d. Mujtahid tarjih, adalah mujtahid yang belum sampai derajatnya
pada mujtahid takhrij, tetapi menurut Imam Nawawi dalam kitab
Majmu’, mujtahid ini sangat faqih, hafal kaidah-kaidah imamnya,
31
Shonhaji sholeh, pengantar study Islam, (Surabaya : IAIN Sunan Ampel Press, 2010),
hlm, 65

16
mengetahui dalil-dalilnya, cara memutuskan hukumnya, dia juga
mengetahui bagaimana cara mencari dalil yang lebih kuat, dan
lain-lain. Tetapi kalau dibandingkan dengan tingkatan mujtahid di
atas, dalam mengetahui kaidah-kaidah imamnya, ia tergolong
masih kurang. Diantaranya, Al-Qaduri dan pengarang kitab Al-
Hidayah dalam madzhab Hanafi.
e. Mujtahid fatwa, adalah orang yang hapal dan paham terhadap
kaidah-kaidah imam madzhab, mampu menguasai permasalahan
yang sudah jelas atau yang sulit, namun dia masih lemah dalam
menetapka suatu putusan berdasarkan dalil serta lemah dalam
menetapkan qiyas. Menurut Imam Nawawi, “Tingkatan ini dalam
fatwanya sangat bergantung kepada fatwa-fatwa yang telah disusun
oleh imam madzhab, serta berbagai cabang yang ada dalam
madzhab tersebut”.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Ijtihad adalah pengerahan segala daya nalar secara optimal.Usaha ijtihad
dilakukan oleh orang yang telah memiliki kapasitas keilmuan yang

17
mumpuni.Hasil dari kreativitas ijtihad adalah dugaan yang kuat tentang
hukum syara yang bersifat praksis.Kreatifitas ijtihad dilakukan dengan
cara istinbath.
2. Dasar hukum ijtihad diantaranya, yaitu Q.S An-Nisa ayat 59 yag
menjelaskan tentang mengembalikan sesuatu kepada Allah dan Rasul-Nya
seperti yang dimaksud oleh ayat tersebut yang dapat dikatakan sebagai
ijtihad dan hadis yang diriwayatkan dari Mu’az bin Jabal mengenai ketika
ia akan diutus ke Yaman, menjawab pertanyaan rasulullah dengan apa ia
memutuskan hukum, ia menjelaskan secara berurutan, yaitu dengan Al-
Qur’an, kemudian dengan sunnah Rasulullah, dan kemudian dengan
melakukan ijtihad.
3. Pernyataan Imam Syafi’I mengenai untuk menjawab hukum-hukum Al-
Qur’an dapat digali dengan ijtihad menggambarkan betapa pentingnya
kedudukan ijtihad disamping AL-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Ijtihad
berfungsi baik untuk menguji kebenaran riwayat hadis yang tidak sampai
ke tingkat hadis mutawatir seperti hadis ahad, atau sebagai upaya
memahami redaksi ayat atau hadis yang tidak tegas pengertiannya dan
berfungsi untuk mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat
dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
4. Macam-macam Ijtihad, antara lain Ijtihad Al-Batani, Ijtihad Al-Qiyasi,
Ijtihad Al-Istishlah, Ijtihad al-aqli dan Ijtihad syar’i.
5. Syarat-syarat Mujtahid, yaitu : (1)Mengerti dengan makna-makna yang
dikandung oleh ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an. (2)Mengetahui tentag
hadis-hadis hukum baik secara bahasa maupun dalam pemakaian syara’.
(3)Mengetahui tentang mana ayat atau hadis yang telah dimansukh (telah
dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Allah atau Rasul-Nya), dan mana ayat
atau hadis yang me-nasakh atau sebagai penggantinya. (4)Mempunyai
pengetahuan tentang masalah-masalah yang sudah terjadi ijma’ tentang
hukumnya dan mengetahui tempat-tempatnya.(5) Mengetahui tentang
seluk-beluk qiyas. (6) Menguasai bahasa Arab serta ilmu-ilmu bantu yang

18
berhubungan dengannya. (7) Menguasai ilmu Ushul Fiqh. (8) Mampu
menangkap tujuan syariat dalam merumuskan suatu hukum.
6. Tingkatan-tingkatan Mujtahid, yaitu Mujtahid Mustaqi, Mujtahid mutlaq
ghairu mustaqil, Mujtahid muqayyad atau mujtahid takhrij, Mujtahid
tarjih, Mujtahid fatwa.

19
DAFTAR PUSTAKA
Fatoni Hasyim, pemikiran hukum Islam Imam Al-Bukhori,
Yogyakarta : pustaka pelajar 2013
Yahya Khusnan, Qowaid Fiqhiyah, Jombang : Pustaka Al
Muhibbin
Ahmad Basyir dkk, Ijtihad dalam sorotan, Bandung : Mizan, 1996
Basiq Djalil, H. A., Ilmu Ushul Fiqih 1 dan 2, Jakarta : Kencana,
2010
Jaih Mubarok, Ijtihad kemanusiaan, Bandung : Pustaka Bani
Quraisy, 2005
Ahmad Al Rasyuni, ijtihad antara teks, realitas dan kemaslahatan
sosial, Jakarta : erlangga, 2002
Ibrohim Abbas Al Dzarwi, teori Ijtihad dalam hukum Islam,
Semarang: dina utama, 1993
Suparman Usman, Hukum Islam : asas-asas dan pengantar studi
hukum Islam dalam tata hukum Indonesia, Jakarta : gaya media pratama,
2002
A Djazuli ilmu Fiqih : penggalan, perkembangan, dan penerapan
hukum Islam, Jakarta kencana, 2005
TM Hasbi ash-shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, Semarang, PT
Pustaka Rizki Putra, 2001
Mun’im A Sirry, Sejarah Fiqih Islam : sebuah pengantar,
Surabaya : risalah gusti, 1995
Sobhi mahmassani, filsafat hukum dalam Islam, Bandung al-
Ma’arif 1976
Dedi supriadi, sejarah hukum Islam, Bandung : pustaka setia, 2010
Satria Efendi, Ushul Fiqh, Jakarta : kencana prenamadia Group
Shonhaji sholeh, pengantar study Islam, Surabaya : IAIN Sunan
Ampel Press, 2010

20

Anda mungkin juga menyukai