Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

PERNIKAHAN, RUKUN DAN SYARAT, PERNIKAHAN BEDA AGAMA


DAN NIKAH MUT’AH

Diajukam untuk memenuhi tugas mata kuliah


“Hukum Perdata Islam”

Dosen Pengampau
Dr. Darmawan, M.Ag
Oleh : Moh. Ali Anwar
NIM : F12916330

PROGRAM PASCA SARJANA


JURUSAN DIRASAH ISLAMIYAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2016

0
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Allah telah menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan, ada lelaki ada
perempuan salah satu ciri makhluk hidup adalah berkembang biak yang bertujuan untuk
generasi atau melanjutkan keturunan. Oleh Allah manusia diberikan karunia berupa
pernikahan untuk memasuki jenjang hidup baru yang bertujuan untuk melanjutkan dan
melestarikan generasinya.
Untuk merealisasikan terjadinya kesatuan dari dua sifat tersebut menjadi sebuah
hubungan yang benar-benar manusiawi, maka Islam telah datang dengan membawa
ajaran pernikahan yang sesuai dengan syariat-Nya. Islam menjadikan lembaga
pernikahan itu pula akan lahir keturunan secara terhormat, maka adalah satu hal yang
wajar jika pernikahan dikatakan sebagai suatu peristiwa dan sangat diharapkan oleh
mereka yang ingin menjaga kesucian fitrah.
Kemudian dalam fenomena belakangan ini kita sering mendengar dan menjumpai
tentang pernikahan beda agama, tentunya ada aturan dan agama yang menagtur terhadap
fenomena tersebut, semoga karya tulis yang sederhana ini bisa sedikit memberikan
pandangan tentang fenomena tersebut.
Pada zaman rosululloh ada pernikahan mut’ah yakni semacam pernikahan kontrak
kalau dilihat dalam konteks sekarang, ada pendapat dari kelompok syiah bahwasanya
sampai sekarang pernikahan mut’ah masih di halalkan, karena menurut kelompok ini
adalah sesuatu yang belum di haramkan nabi kenapa di haramkan dan ini masih terjadi di
daerah pegunungan-pegunungan iran, dan disini akan dibahas tentang nikah mut’ah.

B. Rumusan masalah
1. Untuk mengetahui definisi pernikahan
2. Untuk mengetahui rukun dan syarat pernikahan
3. Untuk mengetahui pernikahan beda agama
4. Untuk mengetahui definisi nikah mut’ah

BAB II

PEMBAHASAN
1
A. Definisi Pernikahan
Pernikahan berasal dari kata dasar nikah. Kata nikah memiliki persamaan dengan
kata kawin. Menurut bahasa Indonesia, kata nikah berarti berkumpul atau bersatu.1
Menurut istilah syarak, nikah itu berarti melakukan suatu akad atau perjanjian untuk
mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bertujuan untuk
menghalalkan hubungan kelamin antara keduanya dengan dasar suka rela demi
terwujudnya keluarga bahagia yang diridhoi oleh Allh SWT.
Pernikahan ialah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan
untuk waktu yang lama. Nikah adalah fitrah yang berarti sifat asal dan pembawaan
manusia sebagai makhluk Allah SWT. Setiap manusia yang sudah dewasa dan sehat
jasmani dan rohaninya pasti membutuhkan teman hidup yang berlawanan jenis
kelaminnya. Teman hidup yang dapat memenuhi kebutuhan biologis, yang dapat
mencintai dan dicintai, yang dapat mengasihi dan dikasihi, serta yang dapat bekerja sama
untuk mewujudkan ketentraman, kedamaian, dan kesejahteraan dalam hidup berumah
tangga.2
Abu Zahrah mengemukakan definisi nikah, yaitu akad yang menjadikan halalnya

hubungan seksual antara kedua orang yang berakad sehingga menimbulkan hak dan

kewajiban yang datangnya dari syara‘.3 Selain itu, makna pernikahan ialah akad yang

memberikan faedah hukum kebolehan melakukan hubungan keluarga (suami istri)

antara pria dan wanita dan mengadakan tolong menolong dan memberikan batasan bagi

pemiliknya serta peraturan bagi masing-masing.4

Undang-undang memandang perkawinan hanya dari hubungan keperdataan,


demikian pasal 26 Burgerlijk Wetboek. Apakah artinya itu ? pasal tersebut hendak
menyatakan, bahwa suatu perkawinan yang sah, hanyalah perkawinan yang memenuhi
syarat-syarat yang ditetapkan dalam kitab Undang-undang hukum perdata, dan syarat-

1
. Kamus ilmiah populer
2
. Subekti, Pokok-pokok Hukum perdata, (Jakarta : PT Intermasa, 2003), hlm. 23
3
Abu Zahrah, Al-Ahwal Al-Syakhsyah, hlm. 18

4
Hasbi Ash-Shidieqi, Falsafah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 96.
2
syarat serta peraturan agama dikesampingkan. Suatau asas lagi dari B.W ialah polygamy
dilarang.5
Menikah adalah wajib jika yang bersangkutan sangat khawatir akan terjerumus ke
dalam perbuatan zina. Nikah di sunnahkan baginya jika dia belum begitu ingin menikah,
sementara ia tidak merasa khawatir kan terjerumus ke dalam perbuatan zina. Nikah juga
menjadi makhruh baginya jika dia merasa yakin bahwa dirinya belum mampu
menunaikan tugas-tugas sebagai istri dengan segala pernak-perniknya. Nikah menjadi
haram bagi seseorang yang mempunyai niat untuk menyakiti perempuan yang
dinikahinya.6
B. Rukun dan Syarat Pernikahan

1. Rukun Nikah

Yang dimaksud dengan rukun ialah sesuatu yang harus diwujudkan demi
terlaksananya sebuah pernikahan yang bila dilewatkan pernikahan menjadi tidak sah.7
Mengenai rukun nikah, ulama’ maz|hab Hanafiyah berpendapat bahwa rukun nikah
ialah ijab dan qabul. 8
ijab sendiri merupakan perkataan pertama yang berasal dari salah satu pihak yang
melakukan akad sebagai tanda ia berkeinginan untuk melakukan pernikahan. Sedangkan
qabul sendiri merupakan perkataan kedua dari salah satu pihak yang melakukan akad
sebagai tanda rela untuk melakukan pernikahan.9

2. Syarat Nikah
Syarat nikah sendiri dikelompokkan menjadi empat, yaitu; syarat in’iqad, syarat
sihhah, syarat nafaz, dan syarat nuzum.10
a) syurut in’iqad
Syarat ini merupakan syarat yang berkaitan dengan pihak-pihak yang
melakukan akad nikah dan ijab beserta qabul. Syarat ini meliputi syarat yang

5
. Ibid, 23. Sedangkan menurut istilah Indonesia Arti kata Arti kata Burgerlijk Wetboek (BW) kitab undang-
undang hukum perdata/sipil
6
. Muhammad Utsman, Kitab Fikih wanita 4 mazhab, (Jakarta : Niaga Swadaya, 2014), hlm. 311-312
7
Hasan Hasanain, Ahkam al-Usrati al-Islamiyah, (Madinah: dar al-afaq, 2000), 97.
8
Abdu al-Rahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah juz V, 37.
9
Hasan Hasanain, Ahkam al-Usrati al-Islamiyati, 97.
10
Ibid., 111.
3
berkenaan dengan orang-orang yang melakukan akad dan yang berkenaan dengan
pelaksanaan akad. 11.
Untuk syarat yang bekenaan dengan pihak-pihak yang melakukan akad,
disyaratkan merupakan orang yang berakal. Sedangkan yang berkenaan dengan
pelaksanaan akad, ialah: pelaksanaan ijab dan qabul harus dilaksanakan di satu
tempat yang sama, satu sama lain antara pihak-pihak yang melakukan akad harus
mendengar suara pihak lainnya dan redaksi ijab dan qabul harus sama dan tidak
kontradiktif.12
b) syurut sihhah
syurut sihhah ialah sesuatu yang keberadaannya menentukan dalam
perkawinan. Syarat tersebut harus dipenuhi untuk dapat menimbulkan akibat
hukum.13 Artinya, sebuah pernikahan sama sekali tidak akan terjadi tanpa adanya
syarat sihhah tersebut.
Mengenai syarat sihhah sendiri, semisal:
1) Perempuan yang akan dinikahi bukan merupakan mahram, baik muabbad atau
muaqqat bagi laki-laki yang akan menikahinya. Bila si perempuan itu ternyata
memiliki hubungan mahram dengan si laki-laki maka akad pernikahnnya tidak sah.14
2) Akad pernikahan yang dilaksanakan harus dihadiri oleh dua orang saksi untuk
melengkapi syarat persaksian. Hal ini dikarenakan akad pernikahan berkaitan
dengan hal-hal lain yang akan terjadi di masa akan datang, seperti tetapnya nasab
dan waris. Maka pemberitahuan kepada masyarakat amat dibutuhkan untuk
mewujudkan hal tersebut.15
c) syurut nafaz|
Yang dimaksud dengan syurut nafaz| ialah syarat yang menentukan
kelangsungan suatu perkawinan. Akibat hukum setelah berlangsung dan sahnya
perkawinan tergantung kepada adanya syarat-syarat tersebut.16 Seperti adanya sifat

11
Muhammad Muhyiddin abdu al-Hamid, al-Ahwal al-Syakhsiyah fi syari’ah al-Islamiyah, 18.
12
Ibid., 20.
13
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, 60.
14
Muhammad Muhyiddin abdu al-Hamid, al-Ahwal al-Syakhsiyah fi syari’ati al-Islamiyah, 21.
15
Ibid., 22.
16
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, 60.
4
merdeka, balig dan berakal yang melekat kepada pihak-pihak yang melakukan akad
pernikahan bila mereka menikahkan dirinya sendiri.17
d) syurut luzum
Ialah syarat yang menentukan kepastian suatu perkawinan dalam arti
tergantung kepadanya kelanjutan berlangsungnya suatu perkawinan sehingga dengan
terpenuhinya syarat tersebut, pernikahan tidak bisa dibatalkan.18
Maka untuk terpenuhinya syarat tersebut harus:
1) Adanya kesekufuan antara laki-laki dengan perempuan bila seorang perempuan
yang berakal dan balig menikahkan dirinya sendiri tanpa adanya kerelaan dari
wali ‘asib.
2) Mahar dari pihak laki-laki merupakan mahar yang berlaku di lingkungan dimana
si perempuan bertempat tinggal bila si perempuan yang berakal dan balig
menikahkan dirinya sendiri tanpa adanya kerelaan dari wali ‘asib. .19

C. Nikah beda Agama


Perkawinan Menurut Undang-Undang perkawinan : Dalam Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak ada aturan yang tegas mengenai
perkawinan beda agama. UU tersebut hanya menganggap bahwa “perkawinan adalah sah
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”
(pasal 2 ayat1).
Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam : Secara tegas KHI melarang
perkawinan beda agama. Aturan ini tercantum dalam pasal 75 (1) yaitu perkawinan batal
karena salah satu dari suami atau istri murtad. Pengadilan Agama yang notabene sebagai
pemutus suatu perkara dalam perceraian mengambil KHI sebagai dasar dalam
menetapkannya. Menurut KHI pasal 116 huruf h menyatakan bahwa perceraian dapat
putus karena “peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya
ketidakrukunan dalam rumah tangga”. Dengan adanya alasan pasal tersebut secara tegas
KHI melarang adanya perkawinan beda agama. Namun di sisi lain KHI ternyata
membuka peluang untuk perkawinan beda agama karena pada saat peralihan agama
dalam rumah tangga namun tidak menimbulkan “ketidakrukunan”, maka secara tidak
17
Muhammad Muhyiddin abdu al-Hamid, al-Ahwal al-Syakhsiyah fi syari’ati al-Islamiyah, 26.
18
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, 60.
19
Muhammad Muhyiddin abdu al-Hamid, al-Ahwal al-Syakhsiyah fi syari’ati al-Islamiyah, 27.
5
langsung KHI juga tidak melarang adanya perkawinan beda agama. Jadi ketika ada
peralihan agama dalam rumah tangga namun tidak menimbulkan “ketidakrukunan” maka
secara tidak langsung KHI juga tidak melarang adanya perkawinan beda agama.
Perkawinan beda agama dari sudut pandang ajaran Islam. Perkawinan beda agama
antara orang Islam (laki-laki dan perempuan) dengan non muslim dalam pandangan Islam
dapat dibedakan sebagai berikut20 : Pertama; Islam dengan tegas melarang wanita
muslim kawin dengan laki-laki non muslim, baik yang musyrik maupun ahli kitab.
Seperti yang dengan jelas ditegaskan dalam surat al Baqarah ayat 221.21
Yang artinya berbunyi : "Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak-budak wanita yang beriman lebih balk
bagimu daripada wanita musyrik meskipun wanita musyrik itu amat menerik hatimu.
Dan janganlah pula kalian menikahkan orang-orang musyrik dengan wanita beriman,
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak laki-laki beriman lebih baik daripada
pria musyrik, walaupun mereka menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang
Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izinnya. Dan Allah menerangkan ayat-
ayatNya (perintah-perintahNya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran".
Kedua; Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita non muslim dibedakan
dalam dua hal : 1. Perkawinan laki-laki muslim dengan perempuan musyrik tidak
dibenarkan atau dilarang dengan tegas sesuai surat al Baqarah ayat 221. Namun yang
menjadi pertanyaan adalah siapakah yang termasuk ke dalam kategori wanita musyrik
yang haram dinikahi oleh laki-laki muslim. 2. Tentang pernikahan laki laki Muslim
dengan yang non muslim yang ahli kitab adalah hal yang kontroversial dikalangan para
fuqaha sejak zaman Sahabat. Menurut Abdul Basiq Jalil dalam tesisnya “Kajian para Ahli
Agama, Fuqaha dan Kompilasi Hukum Islam tentang Pernikahan Lintas Agama” tahun
2004 dan juga Ichtiyanto dalam disertasinya tentang “Perkawinan Campuran Dalam
Negara Republik Indonesia tahun 2003” kemudian mengutip pandangan Ibrahim Husen
yang merangkum pendapat para fuqaha tentang masalah ini ke dalam tiga golongan yaitu
1. Golongan Pertama. Golongan ini termasuk Jumhur Ulama berpendapat bahwa
pernikahan laki laki muslim dengan non muslim Ahl Al-kitab (pengikut Yahudi dan

20
Nurhayati Djamas, Kompendium Bidang Hukum Perkawinan Perkawinan Beda Agama dan Implikasinya,
2011
21
Al-Qur’an dan Terjemahan DEPAG RI, Jakarta PT Insan Media Pustaka, 35
6
Nasrani) diperbolehkan, sedang selain Yahudi dan Nasrani, hukumnya haram. Mereka
beralasan dengan ayat al Qur’an surat Al Maidah ayat 5 :

“ Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang
yang diberi al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (dan
dihalalkan mengawini) wanita-wanita 83 muhshanat (yang menjaga kehormatannya)
diantara wanitawanita yang beriman, serta wanita-wanita yang menjaga
kehormatannya diantara orangorang yang diberi al Kitab sebelum kamu, bila kamu
telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud
berzina dan tidak pula menjadikannya gundik-gundik.”

Menurut mereka, dari ayat tersebut dapat ditarik dua argumen. Pertama, ayat ini
dengan tegas membolehkan orang muslim memakan makanan orang ahli kitab (kecuali
jenis yang diharamkan) dan membolehkan menikahi wanita wanita Ahli Kitab yang
muhsanat. Kedua, dari sisi kronologisnya ayat ini termasuk rangkaian ayat-ayat
madaniah, yang turunnya sesudah hijrah, yang berarti ayat yang dapat dijadikan rujukan
hukum.
2. Golongan Kedua. Golongan ini berpendapat bahwa menikahi wanita non muslim
haram hukumnya. Pendapat ini dianut antara lain oleh ibnu Umar dan Syi'ah Imamiah.
Mereka beralasan dengan beberapa dalil. Surat al Mumtahanah ayat 10 yang artinya;
"Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan
beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang
keimanan mereka ; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar)
beriman maka janganlah kamu kembalikan kepada (suamisuami mereka) orang-orang
kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal
bagi mereka. Dan berikanlah kepada suami-suami mereka mahar yang telah mereka
bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka
maharnya. Dan janganlah kamu berpegang kepada tali (perkawinan) dengan
perempuan-perempuan kafir, hendaklah kamu minta kembali mahar yang telah kamu
bayar dan hendaklah mereka minta kembali mahar yang mereka bayar. Demikianlah
Hukum Allah yang ditetapkan bagi kamu, Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana".
Golongan ini menjadikan kedua ayat di atas sebagai landasan dari pendapatnya
yang melarang kaum mu'minin menikah dengan perempuan musyrik. Ahli kitab bagi
7
golongan ini termasuk orang musyrik, dengan alasan bahwa orang Yahudi mempertuhan
Uzair dan orang-orang Nasrani mempertuhan Al-Masih Isa bin Maryam. Al-Qur'an
mensifati mereka sebagai orang yang berbuat syirik, dimana dosa syirik tidak dapat
diampuni jika mereka tidak bertobat kepada Allah sebelum meninggal dunia.22
Adapun Keputudan Majelis Ulama Indonesia tersebut diatas lebih mempertegas
keharaman pernikahan antara muslim dan non muslim, baik terhadap laki-laki maupun
perempuan, seperti yang telah ditetapkan dalam Munas MUI ke II tahun 1980 di Jakarta,
yang menegaskan “ Seorang laki-laki muslim diharamkan mengawini wanita yang bukan
muslim.23
D. Definisi nikah Mut’ah
a) Pengertian Nikah Mut’ah
Mutah berasal dari kata mata’a yamta’u mat’an, artinya kenikmatan atau
kesenangan.24yaitu sesuatu yang dinikmati atau diberikan untuk dinikmati. 25 Nikah mutah
disebut juga kawin sementara (mu’aqqat) atau kawin terputus (munqati’) yaitu akad
pernikahan yang dibatasi dengan adanya waktu tertentu, sebab laki-laki yang mengawini
perempuan itu hanya satu sehari, atau satu minggu atau satu bulan dan
seterusnya.26Menurut Ulama dari kalangan Suni Seperti Sayyid Sabiq beliau menyatakan
nikah mutah disebut juga nikah sementara atau nikah terputus, karena laki-laki menikahi
seorang perempuan hanya untuk sehari atau seminggu atau sebulan. Dinamakan nikah
mutah karena laki-lakinya bermaksud untuk bersenang-senang sementara waktu saja.
Adapun menurut Yusuf Qardawi mendefinisikan nikah mutah dengan ikatan nikah
antara seorang laki-laki dan perempuan, untuk suatu masa yang mereka sepakati bersama,
dengan upah tertentu.27 Menurut ‘Ali al-Sabuni beliau mengatakan bahwa nikah mutah
adalah seorang laki-laki yang menyewa seorang wanita dengan memberikan mahar
sampai waktu yang telah ditentukan atas kesepakatan bersama, yang telah dibatasi
waktunya baik sebulan atau dua bulan, sehari atau dua hari kemudian dia ditinggalkan

22
Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah : Pusat Studi Al Qur’an , 1996
23
www.islampos.com
24
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994),1344.
25
A.Syarafuddin al-Musawiy, Isu-isu Penting Ikhtilaf Sunnah Syi’ah, (terj.) Mukhlis (Bandung: Mizan,
1993),87
26
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), 35

27
Yusuf al - Qardawi, Halal Haram dalam Islam, alih bahasa Wahid Ahmadi, Jasiman, Khozin Abu Faqih,
Kamal Fauzi (Solo: Era Inter Media, 2003), 268.
8
setelah batas waktunya habis.28 Sedangkan Imam al-Ghazali mengatakan nikah mutah
adalah nikah sementara.
Cara pernikahan ini, seorang laki-laki mengawini seorang perempuan dengan
perjanjian hanya sementara waktu saja, dan apabila telah cukup waktunya, maka
perempuan tersebut dicerai. Pernikahan ini sesungguhnya hanya untuk pelampiasan nafsu
dan bersenang-senang untuk sementara waktu saja.29 Oleh karena itu, dalam pernikahan
mutah, pihak laki-laki tidak diwajibkan membayar mas kawin kepada calon istrinya,
bahkan juga tidak wajib memberikan belanja untuk keperluan hidupnya. Pihak
perempuan tidak berhak mendapatkan harta pusaka dari suaminya, serta tidak ada iddah
sesudah diceraikan dan lain sebagainya. Hanya cukup sang suami memberikan upah, baik
berupa kain atau barang apapun. Tetapi perempuan berkewajiban memelihara hak milik
suaminya dan mengurus semua kepentingannya.
b) Sejarah Nikah Mut’ah
Nikah mutah merupakan suatu bentuk perkawinan terlarang yang dijalin dalam
tempo yang singkat untuk mendapatkan perolehan yang ditetapkan. Ia diperkenankan
pada masa awal pembentukan ajaran Islam, sebelum syariat Islam ditetapkan secara
lengkap. Ia diperbolehkan pada hari-hari permulaan sewaktu seseorang melakukan suatu
perjalanan atau ketika orang-orang sedang bertempur melawan musuh.30 Nikah mutah
sudah menjadi kebiasaan pada masyarakat Arab di zaman Jahiliyah untuk memperistrikan
seorang wanita buat waktu yang singkat, untuk sementara waktu saja. Sangat hinalah
tindakan terhadap wanita, diperbuat oleh kaum pria untuk menjadi alatnya diwaktu yang
singkat saja. Seorang pedagang umpamanya, atau seorang petugas berpindah dari satu
kota ke kota yang lain. Pada setiap kota yang disinggahinya, dinikahinya seorang wanita,
nanti setelah selesai urusannya dikota itu, wanita itu diceraikannya dan ia pergi ke kota
berikutnya, mengawini perempuan dikota itu pula, yang nanti sesudah pekerjaannya
selesai akan ditalaqnya pula.
Begitulah seterusnya. Pada mulanya Islam membiarkan ini, tapi belakangan
keluarlah larangan melakukannya. Nikah muth'ah pernah diperbolehkan oleh Rasulullah
sebelum stabilitasnya syari'at Islam, yaitu diperbolehkannya pada waktu berpergian dan
28
Muhammad ‘Ali al-Sabuni, Rawa‟i’ al-Bayan fi Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur‟an (Beirut: Dar al-Fikr),
1996), 361.
29
Abu Hamid Muhammad b. Muhammad al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), 87

30
Abdur Rahman, Perkawinan Dalam Syariat Islam (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), 62.
9
peperangan. Akan tetapi kemudian diharamkan. Rahasia diperbolehkan nikah muth'ah
waktu itu adalah karena masyarakat Islam pada waktu itu masih dalam transisi (masa
peralihan dari jahiliyah kepada Islam). Sedang perzinaan pada masa jahiliyah suatu hal
yang biasa. Maka setelah Islam datang dan menyeru pada pengikutnya untuk pergi
berperang. Karena jauhnya mereka dari istri mereka adalah suatu penderitaan yang berat.
Sebagian mereka ada yang kuat imannya dan adapula yang sebagian tidak kuat imannya.
Bagi yang lemah imannya akan mudah untuk berbuat zina yang merupakan sebagai
berbuatan yang keji dan terlarang. Dan bagi yang kuat imannya berkeinginan untuk
mengkebiri dan mengipoternkan kemaluannya.
Alasan mengapa mutah diperkenankan adalah bahwa orang-orang yang baru
memeluk agama Islam tengah mulai masa peralihan dari Jahiliyah kepada Islam. Pada
masa Jahiliyah, perzinahan merupakan hal yang sangat wajar sehingga ia tidak dianggap
sebagai dosa. Lalu turunlah larangan Islam tentang bunga bank (al-Riba) dan minuman
keras (al-Khamr) secara bertahap, karena masyarakat telah telah sangat akrab dengan hal-
hal tersebut, sedangkan mutah hanya diperkenankan pada masa-masa awal karena orang-
orang berjuang di medan tempur. Mereka yang imannya masih lemah mencoba
melakukan zina semasa perang itu. Sedangkan orang yang kuat imannya menahan
keinginannya dengan keras untuk mengendalikan hawa nafsunya.31
Disamping itu juga pada permulaan Islam jumlah umat Islam sangat sedikit dan
mereka harus terus-menerus melawan musuhmusuh Islam. Keadaan ini menjadikan
mereka tidak mampu untuk melaksanakan beban atau kewajiban perkawinan dan memb.a
keluarga. Berkaitan dengan keadaan material mereka, yang sangat miskin, maka tidak
rasional kalau mereka dituntut memb.a keluarga sebagai prioritas utama. Disamping itu
adat mereka (masa Jahiliyyah) pra Islam, mereka biasa menyalurkan hasrat seksualnya
kepada beberapa perempuan. Nikah mutah waktu itu diperbolehkan sebagai pintu darurat
atas desakan kebutuhan hasrat seksual, khususnya untuk konteks para pejuang muslim
yang tabiat seksualnya tidak terbendung dan keadaan ekonomi mereka sangat kurang.
Maka dalam keadaan seperti ini wajib disyariatkan sebuah hukum yang berlaku
sementara, untuk menghilangkan zina dan dapat memberikan jalan keluar atas problem
seksual yang dialami mereka. Syariat itu adalah nikah mutah atau nikah muaqqat.
c) Pelarangan dan Hukum Nikah Mut’ah

31
Abdul Rahman, Perkawinan dalam Syariat Islam, 62.
10
Pada awalnya, Nabi SAW membolehkan nikah mutah pada tahun penaklukan
Makkah. Tapi masih pada tahun yang sama pula beliau melarangnya. Ada yang
mengatakan, larangan nikah mutah ini sewaktu perang Khaibar. Tapi yang benar ialah
pada tahun penaklukan Makkah. Yang dilarang sewaktu perang Khaibar ialah makan
daging keledai piaraan. Memang ‘Ali b. Abi Talib pernah berkata pada Ibn ‘Abbas,
Rasulullah SAW melarang nikah mutah dan keledai piaraan sewaktu perang Khaibar.
Lalu sebagian rawi mengira bahwa penyebutan Khaibar ini berlaku untuk dua masalah
tersebut.Tapi ada seorang rawi yang menyebutkan pembatasan salah satu di antaranya
dengan perang Khaibar. Riwayat tentang kapan nikah mutah itu mulai dilarang memang
terdapat perbedaan riwayat dalam beberapa hadits. Ada empat klasifikasi tentang kapan
dimulainya pelarangan itu : Mutah itu dilarang ketika perang Khaibar. Hal ini didasarkan
beberapa Hadis, di antaranya dalam Sahih al-Bukhari yang artinya : Dari Ibn Shihab dari
‘Abdillah dan Hasan, keduanya putra Muhammad b. ‘Ali dari Ayahnya dari ‘Ali b. Abi
Talib melarang untuk bersenang-senag (nikah mutah) dengan perempuan pada hari
(perang) khaibar dan dari makan daging himar insiyyah.
Nikah mutah terjadi dan di syariatkan di kalangan umat Islam dan mempunyai
landasan hukum dalam al-Qur’an dan Hadis Nabi. Landasan hukum dalam al-Qur’an
adalah sebagaimana yang terdapat dalam surat al-Nisa ayat 24: 32

‫ة‬
٢٤ ‫ضةة‬‫فضضمأَ ٱنستضنمتضنعهتمُ بررهۦِ رمننههنن ف‍ضأَهتوُههنن أههجوُضرههنن فضرريِ ض‬
Artinya : Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah
kepada mereka maharnya (dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban.

Dhahir ayat tersebut menjelaskan mutah yang dilakukan dan imbalannya dalam bentuk
mahar yang menjadi dasar adanya syariat mutah. Sebagaian ulama yaitu ulama Ahlu Sunnah
memahami kata istamta'tum dengan arti perkawinan.

Dasar hukum dalam sunnah Nabi di antaranya adalah : Artinya : Dari Salamah b. al-
Akwa ra. ia berkata: Pernah Rasulullah saw. membolehkan perkawinan mutah pada hari
(peperangan) Awtas selama tiga hari, kemudian sesudah itu Ia larang.

32
QS Surat An-Nisa 24
11
Berdasarkan ayat al-Qur’an dan Hadis-Hadis tersebut di atas, para ulama sepakat bahwa
memang telah diperbolehkan oleh Nabi dan telah terjadi secara kenyataan perkawinan mutah
tersebut pada waktu tertentu.33 Dalam kajian hukum perkawinan, selama ini muncul perbedaan
pendapat antara golongan Ahlus Sunnah dan Syiah berkaitan tentang penetapan hukum nikah
mutah, yaitu suatu bentuk pernikahan yang dilakukan antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan dalam jangka waktu tertentu. Mayoritas ulama Ahlus Sunnah dan Syiah sepakat
bahwa nikah mutah berdasarkan keputusan NabiMuhammad saw adalah halal dan bahwasanya
kaum Muslimin telah melakukannya pada masa hidup beliau. Akan tetapi mereka berbeda
pendapat tentang ada atau tidaknya nasakh tersebut.34

Menurut Ahlus Sunnah, mereka menyatakan bahwa hukum kebolehan nikah mutah telah
dinasakh oleh ayat al-Qur’an dan Hadis. Adapun ayat al-Qur’an yang telah menasakh ayat mutah
di atas, antara lain adalah surat al-Mu’minun ayat 5-7: 35

‫ إرنل ضعضلظ ح ىى أضنزحضوُرجرهظنمُ أضنوُ ضمظأَ ضملضضكظنت أضنيِحضمنههه نمُ ضفظإ رننههنمُ ضغنيظهر‬٥ ‫ظظوُضن‬ ‫ضوُٱلنرذيِضن ههظنمُ لرفههروُرجرهظنمُ حضحفر ه‬
‫ى‬
٧ ‫ك هههمُ ٱنلضعأَهدوُضن‬ ‫ك فضأ هووُحلضئر ض‬
‫ فضضمرن ٱنبتضضغحى ضوُضراَضء حضذلر ض‬٦ ‫ضمهلوُرميضن‬
Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya. Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak
yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa
mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.

Ayat di atas berisi tentang larangan melakukan hubungan sebadan dengan wanita kecuali
istri-istri yang sah dan budak yang dimiliki oleh tuannya. Adapun wanita hasil perkawinan
mut‟ah bukanlah termasuk istri-istri yang ditunjuk dalam ayat tersebut, bukan pula budak yang
dimiliki. Pada umumnya, kalangan Ahlus Sunnah membenarkan jika nikah mutah pernah
diizinkan oleh Rasulullah saw dan berlaku praktiknya pada permulaan Islam, untuk kemudian
dilarang oleh Khalifah Umar b. Khattab. Namun demikian, banyak juga riwayat Ahlus Sunnah
yang menyebutkan bahwa pelarangan ini terjadi ketika Rasulullah SAW masih hidup. Pelarangan

33
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media Group,2006), 103.
34
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mahzab, alih bahasa: Afif Muhammad (Jakarta: Basrie Press,
1994), 109.
35
QS Surat al-Mu’minun 5-7
12
tersebut terjadi dalam beberapa kali peristiwa dan masa yang berbeda. Antara lain dalam
peristiwa Perang Khaibar, Fath Makkah, Haji Wada’ dan Perang Awtas.

Oleh karena itu menurut jumhur ulama Ahlus Sunnah bahwa kebolehan nikah mutah itu
sudah dicabut dengan arti sekarang hukumnya telah haram. Kaum muslimin bersepakat bahwa
Nabi SAW telah mensyariatkan perkawinan ini dalam situasi khusus. Dan ulama ahli sunnah
berpendapat bahwa Nabi SAW telah mencabut syariat tersebut dan menghapus hukumnya.
Dengan demikian kehalalan nikah mutah itu telah berubah menjadi keharaman.

13
BAB III

KESIMPULAN

Pernikahan atau perkawinan adalah ialah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan
seorang perempuan untuk waktu yang lama. Nikah adalah fitrah yang berarti sifat asal dan
pembawaan manusia sebagai makhluk Allah SWT. Setiap manusia yang sudah dewasa dan sehat
jasmani dan rohaninya pasti membutuhkan teman hidup yang berlawanan jenis kelaminnya.
Teman hidup yang dapat memenuhi kebutuhan biologis, yang dapat mencintai dan dicintai, yang
dapat mengasihi dan dikasihi, serta yang dapat bekerja sama untuk mewujudkan ketentraman,
kedamaian, dan kesejahteraan dalam hidup berumah tangga.

Kemudian pernikahan beda agama menurut Undang-undang perkawinan dan Kompilasi


hukum Islam tidak sah Perkawinan beda agama dari sudut pandang ajaran Islam dengan tegas
melarang wanita muslim kawin dengan laki-laki non muslim, begitu sebaliknya baik yang
musyrik maupun ahli kitab. Seperti yang dengan jelas ditegaskan dalam surat al Baqarah ayat
221

Nikah mut’ah yang dahulunya diperbolehkan oleh Rosululloh tepai sekarang dilarang,
pendapat menurut jumhur ulama Ahlus Sunnah bahwa kebolehan nikah mutah itu sudah dicabut
dengan arti sekarang hukumnya telah haram. Kaum muslimin bersepakat bahwa Nabi SAW telah
mensyariatkan perkawinan ini dalam situasi khusus. Dan ulama ahli sunnah berpendapat bahwa
Nabi SAW telah mencabut syariat tersebut dan menghapus hukumnya. Dengan demikian
kehalalan nikah mutah itu telah berubah menjadi keharaman.

14
DAFTAR PUSTAKA

Nurhayati Djamas, Kompendium Bidang Hukum Perkawinan Perkawinan Beda Agama


dan Implikasinya, 2011
Al-Qur’an dan Terjemahan DEPAG RI, Jakarta PT Insan Media Pustaka, 2015
Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah : Pusat Studi Al Qur’an , 1996
www.islampos.com
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994
A.Syarafuddin al-Musawiy, Isu-isu Penting Ikhtilaf Sunnah Syi’ah, (terj.) Mukhlis
Bandung: Mizan, 1993
Yusuf al - Qardawi, Halal Haram dalam Islam, alih bahasa Wahid Ahmadi, Jasiman,
Khozin Abu Faqih, Kamal Fauzi Solo: Era Inter Media, 2003
Muhammad ‘Ali al-Sabuni, Rawa‟i’ al-Bayan fi Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur‟an
Beirut: Dar al-Fikr 1996
Abu Hamid Muhammad b. Muhammad al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din Beirut: Dar al-
Fikr, t.th. 1987
Abdur Rahman, Perkawinan Dalam Syariat Islam Jakarta: Rineka Cipta, 1992

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Jakarta: Prenada Media


Group,2006

Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mahzab, alih bahasa: Afif Muhammad
Jakarta: Basrie Press, 1994

Subekti, Pokok-pokok Hukum perdata, Jakarta : PT Intermasa, 2003

Hasbi Ash-Shidieqi, Falsafah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1975

Muhammad Utsman, Kitab Fikih wanita 4 mazhab, Jakarta : Niaga Swadaya, 2014

Hasan Hasanain, Ahkam al-Usrati al-Islamiyah, Madinah: dar al-afaq, 2000

15

Anda mungkin juga menyukai