Abstrak
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada wacana pemikiran kaum intelektualnmuslim Mesir ini, sekitar awal abad
ke-14 Hijriyah atau abad ke-19 Masehi, terjadi polemik besar antara kaum pembeharu
dan kaum tradisional. Di satu sisi, kaum pembeharu berusaha keras agar dapat
menghadapkan dan membawa Islam kepada persoalan-persoalan kontenporer yang
tidak pernah muncul pada zaman klasik, sedangkan di sisi lain kaum tradisionalis
sama sekali menolak ide pembeharuan tersebut dan mereka menangkapnya dengan
penuh kecurigaan bahkan mereka menganggap bahwa ide pembaharuan hanyalah
merupakan sebuah ide besar berbau Baratcyang akan menghancurkancprinsip-prinsip
ajaran Islam, padahal bagi para pembeharu, upaya tajdid ini adalah sebuah
keniscayaan (necessity), karena tanpanya, Islam tidak akan dapat menyentuh
persoalan-persoaln baru. Akan tetapi, pembeharuan yang dilakukan yang dilakukan
harus tetap memperhatikan prinsip-prinsip pokok Islam yang tidak dapat berubah
(tsawabit). Tentu saja arah berlawanan ini menimbulkan polemik besar dan
berkepanjangan.
Akan tetapi akhirnya polemik tersebut mulai menjinak dengan munculnya
beberapa pemikir baru Mesir pada awal abad ke-20 yang di antaranya adalah Dr.
Yusuf Al Qardlawi.
Dalam kesempatan ini penulis akan mencoba menjelaskan tokoh Yusuf Al
Qardlawi dengan metode-metode beliau dalam memahami hadis.
2
BAB II
PEMBAHASAN
1
Yusuf Al-Qardlawi, Pasang Surut Gerakan Islam, terj, Ahmad Syaifuddin, (Media Dakwah: Jakarta, tth), hlm.
154
3
Pada tahun 1957 Yusuf Al-Qardlawi melanjutkan studi ke Lembaga Tinggi
Riset dan penelitian masalah-masalah Arab sampai 3 tahun. Akhirnya ia menggondol
diploma di baidang bahasa dan sastra. Pada sat itu, a tidak puas dengan apa yang di
perolehnya, tanpa menyia-nyiakan waktu ia melanjutkan studi pada Pasca Sarjana
jurusan tafsir dan hadist dari fakultas Ushuluddin.
Setelah tahun pertama dilalui, tak seorangpun berhasil dalam ujian, kecuali
Yusuf Al-Qardlawi seorang. Qselanjutnya ia mengajukan disertasi berjudul “Fiqhuz
Zakat” ( zakat dan pengarhnya dalam memecahkan problema sosial), yang seharusnya
seharusnya di selesaikan 2 tahun, namun karena masa-masa krisis menimpa Mesir
saat itu, terhalanglah ia untuk mencapai gelar doktor.2
Al-Qardlawi memiliki tujuh anak, empat putri dan tiga putra. Sebagai seorang
ulama yang terbuka. Dia membebaskan anak-anaknya untuk menuntut ilmu apa saja
sesuai dengan minat dan bakat serta kecenderungan masing-masing. Dan hebatnya
2
Yusuf AlQardlawi, Al ghozali antara Pro dan Kontra, terj. Hasan Abrori, Pustaka Progresif, 1997, hlm. v
4
lagi, dia tidak membedakan pendidikan yang harus di tempuh anak-anak
perempuannya dan anak-anak laki-lakinya.
Salah seorang putrinya memperoleh gelar doktor fisika dalam bidang nuklir
dari Inggris. Putri keduanya memperoleh gelar doktor dalam bidang kimia juga dari
Inggris, sedangkan yang ketiga masih menempuh S3. Adapun ke empat telah
menyelesaikan pendidikannya S1-nya di Universitas Texas Amerika.
Di lihat dari beragmnya pendidikan anak-anaknya, kita bisa melihat sikap dan
pandangan Al-Qardlawi terhadap pendidikan modern. Dari tujuh anaknya, hanya satu
yang be;ajar di Universitas darul Ulum Mesir dan menempuh pendidikan agama.
Sedangkan yang lainnya, mengambil pendidikan umum dan semuanya di tempuh di
luar negeri. Sebabnya ialah, akrena Al-Qardlawi merupak seorang ulama yang
menolak pembagian ilmu secara dikotomis. Semua ilmu bisa islami dan tidak islami,
tergantung pada orang yang memandang dan menggunakannya. Pemisahan ilmu
secara dikotomis itu, menurut Al-Qardlawi, telah menghambat kemajuan umat islam.3
Fiqh al-Zakat, yang memuat tentang asala muasal zakat, serta ragamnya,
demikian juga berkaitan dengan zakat, semisal sodaqoh, infaq dan lainnya.4
3
Media Tim Hidayatullah, Biografi singkat Dr Al-Qardlawi, Media homepage.html
4
Yusuf Al-Qardlawi, Fiqh al-Zakat, Dar al-Qalam li al-Nasy al-Tauzi’.Mesir, 1987
5
Yusuf Al-Qardlawi, Fiqh Daulat, Dar al-Qalam li al-Nasy al-Tauzy’, Mesir, 1989
5
2. Fiqh al-Syiham, karya ini menjelaskan bagaimana puasa di tinjau dari socio-
historis sampai macam-macam puasa serta hakekat dari puasa.6
3. Huda al-Islam (Fatawa Muashirah), buku buku ini menjelasakan tentang tanya
jawab tentang Yusuf Al-Qardlawi dan masyarakat Mesir seputar aqidah dan fiqh.7
4. Al-Shalawat al-Islamiyah Baina Ikhtilaf al-Masyru wa Al-Tafriq Al-Madzmum.
Berisi tentang pentingnya meninggalkan sifat individualistik dan fanatisme buta
terhadap madhab, dan himbauan untuk bersatu serta mengiliminir perbedaan yang
prinsipil.8
5. Khitab Syaih al-Qardlawi, yang memuat khutbah-khutbah singkat Al-Qardlawi.
6. Al-Tsaqafat al-Arabiyah al-Islamiyah Al-Ma’ashirah, karya ini berbicara tentang
bagaimana sejarah dan perkembangan perbedaan arab kontemporer.
7. Fiqh Tajdidi wa Shalawat al-Islamiyah, buku ini menghapus bagaimana fiqh
sebagai bagian dari metode pemahaman akan ajaran Tuhan yang bersifat aplikatif
serta pembaharuan yang mengikat di dalamnya.9
8. Kaifa Nata’amalu Ma’a al-Sunnah al-Nabawiyah, kitab ini mengulas bagaimana
berinteraksi dengan Sunnah dan liku-liku untuk memahaminya supaya umat Islam
tidak terjebak pada berita bohong, sehingga dalam mengamalkan ajaran Islam
umat Islam tidak buta.10
9. Fi Fiqh al-Aulawiyat (Dirasat Jadidah fi dla’ al-Qur’an wa al-Sunnah, buku ini
membahas bagaiman fiqh memandang sesuatu pkerjaan yang sesuai dengan syara’
untuk di kerjakan lebih dahulu karena melihat betapa pentingnya perbuatan
tersebut, sehingga dalam buku tersebut sangat kental pola pikir skala prioritas.11
10. Ri’ayat al-Bi’at fi Syari’at al Islam, buku yang dikenal dengan Islam Agama
Ramah Lingkungan ini merupakan karya yang membahas dengan intensif
6
Yusuf Al-Qardlawi, Fiqh al-Syiham, Dari Qalam li al-Nasy al-Tauzy’, Mesir,t.th
7
Yusuf Al-Qardlawi, Huda al-Islam (Fatawa Mua’shirah), Dar al Qalam li al-Nasy al-Tauzy’, Mesir, 1990
8
Yusuf Al-Qardlawi, Al-Shalawat al-Islamiyah Baina Ikhtilaf al-Masyru wu Al-Tafriqa Madzmum, Dar al Qalam li
al-Nasy al-Tauzy’, Mesir, 1990
9
Yusuf Al-Qardlawi, Fiqh Tajdid wa Shalawat al-Islamiyah, terj. Didin Hafifuddin., Mizan, Jakarta, 1999
10
Yusuf Al-Qardlawi, Kaifa Nata’amalu Ma’a al-Sunnah al-Nabawiyah, al Ma’had al-‘Alami li al-Fikr al-Islamiy,
USA,t.th.
11
Yusuf Al-Qardlawi, Fi Fiqh al-Aulawiyat (Dirasat jadidan fi Dla’ al-Qur’an wa al Sunnah),, terj. Baharuddin.,
Robbani Press, Jakarta, 2002. Buku tersebut naik cetak pertama kali pada tahun 1995 pada Maktabah Wahbah,
Kairo, Mesir.
6
persoalan lingkungan yang sekarang menjadi kajian mendalam karena kian hari
bumi ini semakin menangis karena sudah tercemari.12
11. Al-Din fi Ashr al-Ilm, buku ini sebenarnya adalah tanggapan terhadap
kesalahpahaman kaum sekuler dan orang-orang Barat menurut Islam terutama isu-
isu kontemporer.13
12. Al-Sunnah Mashdaran li al-Ma’rifah wa al-Hadlarah, buku ini tersebut berusaha
menguak al-Sunnah dalam menjawab tantangan zaman, yang mana IPTEK dan
peradaban semakin maju.14
E. Metode Ijtihad Yusuf Al-Qardlawi
Yusuf Al-Qardlawi menegaskan bahwa tidak sepantasnya bagi seorang yang
berilmu, yang dikaruniai berbagai fasilitas akal pikiran yang bisa digunakan untuk
mentajrih, yaitu memilih-milih pendapat yang lebih relevan dan real untuk dijalankan,
terikat dengan suatu madhab tertentu, tetapi seharusnya ia wajib berpegang kepada
dalil dan hujjah yang kuat dan shahih untuk menjadi pegangannya.
Seorang muslim yang baik adalah oang selalu berpegang kepada dalil yang
benar dan hujjah yang kuat sebagai parameter untuk dipedomani guna mengetahui
yang haq. Dan tidaklah layak baginya mengikuti suatu pendapat hanya karena
kemasyhurannya dan banyak pengikutnya. Menurut Qardlawi ada dua pola pikir yang
harus dijauhkan dari masyarakat, baik masyarakat awam maupun cendekiawan dan
ulama. Pertama, berbagai pemahaman yang merasuk kaum muslim di era penjajahan
berupa kesalahpahaman terhadap Islam, seperti memahami zuhud dengan
meninggalkan kehidupan dunia secara total, sehingga dikuasai oleh orang-orang kafir,
memahami keimanan terhadap takdir sebagaimana yang dipahami oleh kaum jabariah,
memehami bahwa pintu ijtihat telah ditutup, akal bersebrangan dengan wahyu,
menganggap perempuan sebagai perangkap setan, memahami bahwa ayat-ayat Al-
Qur’an dapat digantung utnuk menjaga diri dari jin, berkah sunnah terletak pada
pembacaan Kitab Shahih Bukhairi saat terjadi musibah, memahami masalah wali dan
karomah dengan pemahaman yang bertentangan dengan sunnatullah, dan sebagainya.
12
Yusuf Al-Qardlawi, Ri’ayat al-Bi’at fi Syari’at al Islam, terj. Abdullah Hakam. Et. Al., Pustaka Kautsar,
Jakarta, 2002
13
Yusuf Al-Qardlawi, al-Din fi ‘Ashr al-Ilm, terj. Ghazali Mukri., ‘Izzan Pustaka, Yogyakarta, 2003.
14
Yusuf Al-Qardlawi, al-Sunnah Masdharan li al-Ma’rifah wa al-Hadlarah, terj. Setiawan Budi Utomo (As-
Sunnah sebagai Sumber IPTEK dan peradaban), Pustaka al-Kautsar, Jakarta, 1998
7
Masih banyak lagi pemahamn lain yang menyebabkan kebekuan ilmu dan
pemikiran.15
Kedua, berbagai pemahaman yang menyerang masyarakat bersamaan dengan
serangan penjajah. Mereka masuk dari pintu dan berjalan bersama rombongannya,
berlindung di belakangnya dan menjadikan mereka sebagai kiblat dan imam.
Qardlawi menegaskan bahwa ijtihat tidak menghilangkan tradisi fikih klasik tetapi
ijtihat mengandung beberapa hal yang mendasar, yaitu:
1. Menafsir ulang tradisi fikih klasik yang melimpah ruah melalui aliran, madhab,
dan pendapat-pendapat yang shahih terutama dari kalangan shahabat dan tabi’in,
kemudian memilih mana yang lebih kuat serta sesuai dengan tujuan-tujuan
syari’at serta kemaslahatan umat Islam dalam kondisi yang aktual.
2. Kembali kepada sumber, nash-nash yang shahih yang sesuai dengan tujuan umum
syari’at.
3. Ijtihat untuk kasus-kasus dan masalah-masalah aktual yang tidak ada hukumnya
serta belum terungkapnoleh para ahli fikih terdahulu. Hal itu dilakukan untuk
mengambil hukum aktual yang sesuai dengan dalil-dalil syara.
Mengenai peluang ulama untuk berijtihad saat ini menurut Qardlawi adalah
suatu keharusan dan hukumnya fardu kifayah. Ada tiga macam ijtihad yang
dikemukakan oleh Qardlawi, yaitu ijtihad intiqa’i, ijtihad insya’i, dan ijtihad integrasi
antara intiqa’i dan insya’i.
1. Ijtihat Intiqa’i/Tajrih
Yang dimaksud dengan ijtihad intiqa’i adalah memilih satu pendapat dari
beberapa pendapat terkuat yang terdapat pada warisan fikih Islam yang penuhdengan
fatwa dan putusan hukum. Qardlawi tidak sependapat dengan orang-orang yang
mengatakan bahwa kita tidak boleh berpegang pada pendapat dalam bidang fikih
(pemahamn) karena sikap itu merupakan taqlid tanpa dibarengi dengan argumentasi.
Seharusnya diadakan studi komparatif terhadap pendapat-pendapat itu dan meneliti
kembali dalil-dalil nash dan dalil-dalil ijtihat yang dijadikan dasar pendapat tersebut,
sehingga pada akhirnya dapat diketahui dan dipilih pendapat yang terkuat dalilnya
dan alasanya pun sesuai dengan kaidah tajrih, seperti mempunyai relevansi dengan
15
Abdurahman Qadir, Studi Pembahasan Hukum Islam, Studi Pemikiran Yusuf Qardlawi tentang Zakat Profesi,
IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta 1990, hlm 16.
8
kehidupan pada zaman sekarang, pendapat itu mencerminkan kelemah-lembutan dan
kasih sayang kepada manusia, pendapat itu mendekati kemudahan yang ditetapkan
oleh hukum Islam, pendapat itu lebih memprioritaskan realisasi maksud-maksud
syara’ kemaslahatan manusi, dan menolak marabahaya.16
Kegiatan tajrih yang dilakukan oleh ahli tajrih pada masa kebangkitan kembali
hukum Islam berbeda dengan kegiatan tajrih pada masa kemunduran hukum Islam.
Pada masa yang disebutkan terakhir ini, tajrih diartikan sebagai kegiatan yang tugas
pokoknya adalah meneleksi pendapat para ahli fikih di lingkungan intern madzhab
tertentu, seperti syafi,iyah, malikiyah, dll. Sedangkan pada periode kebangkitan Islam,
tajrih, berarti menyeleksi berbagai pendapat dari bermacam madzhab, baik beraliran
sunni atau tidak. Jadi, sifatnya lintas madzhab.17
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi hasil dari ijtihad tajrih ini.
Sedikitnya menurut Qardlawi ada tiga hal, yakni perubahan sosial politik, kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi modern, dan adanya desakan dari perkembangan
zaman.
Contoh ijtihat tajrih adalah tentang harusnya meminta izain untuk menikahkan
anak gadis. Golongan Syafi’i, Maliki, dan mayoritas golongan Hambali berpendapat
sesungguhnya orang tua berhak memaksakan kehendak anak gadisnya yang sudah
akil balig untuk menikah dengan calon suami yang dipilih oleh orang tua walaupun
tanpa persetujuan gadis tersebut. Alasan yang digunakan adalah orang tua lebih tahu
tentang kemaslahatan anak gadisnya.
Cara yang demikian itu mngkin masih dapat diterapkan pada seorang gadis
yang belum mengenal sedikitpun tentang kondisi latar belakang suaminya, sedangkan
zaman modern sekarang para gadis mempunyai kesempatan luas untuk belajar,
bekerja dan berinteraksi dengan lawan jenis dalam kehidupan ini. Akhirnya, hasil dari
ijtihad tejrih ini adalah megambil pendapat Abu Hanifah yang melibatkan urusan
pernikahan kepada calon mempelai wanita untuk mendapatkan persetujun dan
izinnya.
2. Ijtihat Insya’i
16
Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadist Nabi, Teras, Yogyakarta, 2008, hlm.41.
17
Muhammad Ichsan, Masalah-masalah Islam Kontemporer, Najah Press, Jakarta, 1994, hlm. 219.
9
Yang dimaksud dengan ijtihad insya’i adalah pengambilan konkluse hukum
dari suatu persoalan yang belum pernah dikemukakan oleh ulama terdahulu. Atau cara
seseorang mujtahid kontemporer untuk memilih pendapat baru dalam masalah itu,
yang belum ditemukan di dalam pendapat ulama salaf. Boeh juga ketika pakar fikih
terdahulu berselisih pendapat sehingga terkatub pada dua pendapat, maka mujtahid
masa kini memunculkan pendapat ketiga. Sebagian besar ijtihad insya’imitu terjadi
pada masalah-masalah baru yang belum dikenal dan diketahui oleh ulama terdahulu
serta belum pernah terjadi pada masa mereka.
Kalaupun mengenalnya, tentu masih dalam skala kecil yang belum mendorong
mereka untuk mengadakan penelitian demi mencari penyelesaiannya. Mengenai
Ijtihad insya’i ini, Qardlawi berpendapat bahwa setelah mengutip berbagai pendapat
para ulama, maka langkah selanjutnya adalah mengkaji kembali berbagai pendapat
tersebut, kemudian menarik simpulan yang sesuai dengan nash Al-Qur’an dan Hdist,
kaidah-kaidah dan maqashid al-syar’iyah sambil beroa semoga Allah mengilhamkan
kebenaran, tidak menghalangi tabir pahala, dan menjaga dari belenggu fanatisme dan
taqlid serta hawa nafsu dan prasangka buruk terhadap orang lain.18
Sebagai contoh ijtihad jenis ini adalah masalah aborsi. Lajnah Fatawa di
Kuwait mengeluarkan pendapat tengtang aborsi yang dibolehkan dan yang
diharamkan. Lajnah Fatawa telah menyeleksi pendapat-pendapat para pakar fikih
Islam sekaligus menambahkan unsur-unsur kreasi baru yang dituntut oleh kemajuan
ilmu pengetahuan dan ilmu kedokteran.19 Yang ditunjang dengan segala peralatan
teknologi canggih dan kemampuan untuk mendeteksi apa yang menimpa pada janin
18
Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadist Nabi Perspektif Muhammad al-Ghozali dan Yusuf al-
Qardlawi, Teras, Yogyakarta, 2003, hlm.41.
19
Asni, Jurnal Al-Adl, Pemikiran Ijtihad Kontemporer Yusuf Qardlawi dan relevansinya Dengan Pembehaharuan
Hukum Islam d Indonesia. Vol. 6 No. 1 Januari 2013.
10
dalam bulan-bulan pertama, berupa cacat yang mempunyai pengaruh fisik-biologis
dan psikis pada kehiduan si janin dikemudian hari menurut sunnatullah yang berlaku
di alam ini. Isi Fatwa yang dikeluarkan tanggal 29 September 1984 itu adalah seorang
dokter dilarang menggugurkan kandungan seorang wanita yang telah genap 120 hari,
kecuali untuk menyelamatkan wanita/ibu itu dari marabahaya yang ditimbulkan oleh
kandungannya. Dan seorang dokter boleh menggugurkan kandungan wanita dengan
persetujuan kedua belah pihak yaitu suami istri, sebelum kandungan itu genap berusia
40 hari, yskni masih berbentuk sgumpal darah.20
Dari sekian banyak gagasan Yusuf Al-Qardlawi yang menyimpang ada yang
sangat nampak kepermukaan masyarakat mengenai makna Fisabilillah (golongan
yang berhak menerima zakat) sehingga menjadi sorotan ulama’ yang pro dan kontra,
yang akan dibahas berikut ini:
20
Yusuf Qardlawi, Berinteraksi Dengan Al-Qur’an, Gema Insani Press, Jakarta, 1999, hlm. 201.
11
11. K.H Muhammad Mahfudz Asirun (Pengasuh P.P. Al Itqan, Cengkareng,
Jakarta Barat)
12. K.H. Syauqi Madlawan
13. Ustadz Luthfi Bashori (Pengasuh P.P. PIQ, Singosari, Malang)
14. K.H. Abdul Mujib Khudlari (Ketua Umum ISADA)
15. Al Muhaddits Al-Allamah, As-Syekh Abdullah Al-Harory Al-Abdary
Tidak satupun diantara ulama salaf, imam mujtahid atau yang setingkat dengan
mereka yang mengatakan bahwa Fi Sabilillah dalam hal zakat adalah mencakup
semua amal kebaikan.
Pendapat tersebut muncul dari orang –orang yang belum memenuhi syarat-syarat
ijtihad.
Pendapat tersebut menyalahi perkataan Imam Malik: “Jalan menuju Allah sangatlah
banyak, tetapi aku tidak menjumpai ikhtilaf (perbedaan pendapat di kalangan para
12
ulama) bahwa yang dimaksud Fi Sabilillah di sini (dalam hal zakat) adalah
berkaitan dengan peperangan” (Ibnu al Ara’bi al Maliki, Ahkam al-Qur,an).
Adanya Ijma’ (konsesus) para pakar tafsir bahwa yang dimaksud Fi Sabilillah dalam
ayat tersebut adalah para pejuang suka relawan. Hal ini dapat ditela’ah dalam kitab-
kitab tafsir mu’tabar seperti al Bahr al Muhith atau an Nahr al Madd karya Abu
Hayyan, at-Tafsir al-Kabir karya ar-Razi, Zad al Masir karangan al Hafizh Ibn al
Jawzi, Tafsir al Baidlawi, tafsir al Qurthubi, Tafsir Ibn ‘Athiyyah dan masih banyak
lagi.
Pendefinisian Fi Sabilillah dengan para pejuang suka relawan merupakan ijma’ para
ulama yang telah dinyatakan oleh para fuqaha’ (ahli fiqih), mereka antara lain: Imam
Syafi’i dalam al Umm, Juz VI, h. 62, Imam Malik dalam al Muwaththa’, h. 179,
Muhammad ibn al Hasan dalam al Mudawwanah, Juz II, h. 59, Ibnu Hubairah al
Hambali dalam al Ifshah, h. 108, Ibn Qudamah dalam al Mugni, Ibn al Mundzir
dalam al Irsyaf dan lain-lain. Hanya saja Imam Ahmad menambahkan bahwa
termasuk juga Fi Sabilillah dalam hal ini adalah Haji.
Cukup sebagian dalil, bahwa zakat tidak boleh diberikan kepada selain ashnaf
(golongan) yang delapan sesuai dengan penjelasan para ulama bahwa ayat 60 dari
surat at-Taubah tersebut menggunakan lafazh “innama” (termasuk lafazh yang
berfungsi Hashr yaitu terbatas pada sesuatu yang disebutkan setelahnya) yang delapan
golongan tersebut. Dan seandainya zakat itu diperuntukan bagi semua amal kebaikan,
maka tidak ada artinya al Hashr (pembatasan) dengan lafazh tersebut.
)س ِوي" (رواه أبوداودوالبيهقى ْ "إنَّ َها الَ تَ ِحل ِلغَنِي َوالَ ِلذ
َ ِي ِم َّرة
Maknanya: “Sesungguhnya zakat tidak halal bagi orang kaya dan bagi orang
yang mempunyai pekerjaan yang mencukupinya” (H.R. Abu dawud dan al Baihaqi)
Jika zakat dibayakan untuk membangun rumah sakit, masjid atau madrasah,
kemudian tempat-tempat itu dimanfaatkan oleh semua orang, baik kaya ataupun
miskin maka hal itu jelas bertentangan dengan hadits tersebut.
13
orang yang Majhul (tidak dikenal) dan merupakan pendapat yang rusak (menyimpang
dari kebenaran) dari al Majahil (orang-orang yang tidak dikenal) dan ini menyalahi
ijma’ yang telah dinyatakan oleh para ulama seperti Imam Malik. Karenanya pendapat
ini tidak bisa diterima sebab menyalahi ijma’ (Muhammad Zahid al Kautsari, Maqalat
al Kautsari, h. 222).
Jika ada sebagian orang yang menukil dari Imam Ahmad bahwa ia
mengatakan: “Zakat boleh diberikan untuk semua amal kebaikan”, perku diketahui
bahwa ia menyalahi nash-nash Fuqaha Hanabillah (para ahli fiqih dari Madzhab
Hanbali) sendiri seperti yang telah dikemukakan oleh Ibn Hurairah al Hanbali dalam
al Ifshah, Ibn Qudamah al Hanbal adalah al Mughni, dan juga ulama-ulama mujtahid
atau yang dibawah derajat mereka dari luar kalangan Fuqaha’ Hanabillah.
Karena semua inilah, maka para ulama seperti Sulthan al Ulama al ‘Izz ibn
Abdissalam berfatwa bahwa tidak boleh mengambil bagian zakat untuk diberikan
kepada tentara muslim yang sudah mendapat gaji dari uang kas Negara, meskipun
para penguasa waktu itu sangat memerlukan biaya untuk berperang melawan pasukan
tartar. Beliau tidak mengatakan kepada penguasa waktu itu: “ Gunakanlah harta
zakat untuk setiap yang dinamakan jihad”. Peristiwa ini diceritakan oleh Imam
Tjuddin as-Subki dalam Thabaqat asy-Syafi’iyyah dan Ibn Katsir dalam al Bidayah
wa an-Nihayah.
Bahwa yang dimaksud Fi Sabilillah hanyalah para pejuang suka relawan, hal
ini juga ditegaskan oleh mantan mufti mesir yang terkenal, Syekh Muhammad Bakhit
al Muthi’i dan Syekh Muhammad Zahid al Kautsari yang merupakan wakil Syeikh al
Islam terakhir dalam Khalifah Utsmaniyyah.21
G. Faedah Penting
21
Devisi Terjemahan dan Penrbitan Syebbab Ahlussunnah Wal Jama’ah, Tarhib Ramadhan, Jakarta: Syahamah
press Cetakan 1, Sya’ban 1425 H September 2004, hlm, 62-66
14
ع ْن َما ِل ِه َ عبْديَ ْو َم ْال ِقيَا َم ِة َحتَّى يسْأَل
َ َوذَ َك َرفِ ْي ِه _ " َو-"ع ْن أ َ ْربَ ِع َ "الَ تَز ْول قَدَ َما
)ِم ْن أَيْنَ أ َ َخذَه َو ِف ْي َما ا َ ْنفَقَهٌ " (رواه الترمذي
Bagi meeka yang tidak menempatkan zakat sesuai denga tempatnya atau
mengambil bagian zakat yang bukan haknya, hendaklah ia ingat sabda Rasulullah
Saw:
ق فَلَهم النَّار َي ْوم ْال ِق َيا َم ِة " (رواه َّ " ِإ َّن ِر َجاالً َيتَ َخ َّوض ْونَ ِفى َما ِل
ِ َّللاِ ِب َغي ِْر َح
)البخاري
22
Ibid hal 66-68
15
Daftar Pustaka
Al-Qardlawi, Yusuf, Pasang Surut Gerakan Islam, terj, Ahmad Syaifuddin, (Media Dakwah:
Jakarta, tth)
Al-Qardlawi,Yusuf, Al ghozali antara Pro dan Kontra, terj. Hasan Abrori, Pustaka Progresif,
1997.
Al-Qardlawi, Yusuf, Fiqh Daulat, Dar al-Qalam li al-Nasy al-Tauzy’, Mesir, 1989.
Al-Qardlawi, Yusuf, Huda al-Islam (Fatawa Mua’shirah), Dar al Qalam li al-Nasy al-Tauzy’,
Mesir, 1990.
Al-Qardlawi, Yusuf, Fiqh Tajdid wa Shalawat al-Islamiyah, terj. Didin Hafifuddin., Jakarta:
Mizan, 1999.
Al-Qardlawi, Yusuf, Ri’ayat al-Bi’at fi Syari’at al Islam, terj. Abdullah Hakam. Et. Al.,
Jakarta: Pustaka Kautsar, 2002
Al-Qardlawi, Yusuf, al-Din fi ‘Ashr al-Ilm, terj. Ghazali Mukri., Yogyakarta: ‘Izza Pustaka,
2003.
Qadir, Abdurahman, Studi Pembahasan Hukum Islam, Studi Pemikiran Yusuf Qardlawi
tentang Zakat Profesi, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1990.
16
Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadist Nabi Perspektif Muhammad al-Ghozali
dan Yusuf al-Qardlawi, Yogyakarta: Teras, 2003.
Asni, Jurnal Al-Adl, Pemikiran Ijtihad Kontemporer Yusuf Qardlawi dan relevansinya
Dengan Pembehaharuan Hukum Islam d Indonesia. Vol. 6 No. 1 Januari 2013.
Qardlawi, Yusuf, Berinteraksi Dengan Al-Qur’an, Jakarta: Gema Insani Press, 1999.
Devisi Terjemahan dan Penrbitan Syebbab Ahlussunnah Wal Jama’ah, Tarhib Ramadhan,
Jakarta: Syahamah press Cetakan 1, Sya’ban 1425 H September 2004.
17