MAKALAH
Dosen Pengampu:
Disusun Oleh:
FAKULTAS SYARI’AH
2023
I
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana penanggulangan kejahatan secara penal dan nonpenal?
2. Apa pengertian dari kriminalisasi dan dekriminalisasi?
3. Apa pengertian dari penalisasi dan depenalisasi?
C. Tujuan Pembahasan
1
BAB II
Pembahasan
Manusia yang melakukan perbuatan pidana dikarenakan dirinya sendiri dan konsep ini
yang dianut oleh aliran teori pemidanaan absolut atau teori pembalasan, atau seseorang
melakukan perbuatan pidana dikarenakan dari dirinya yang dipengaruhi oleh di luar dirinya
juga dan konsep ini dianut oleh aliran teori pemidanaan relatif atau teori tujuan.
Dapat dilihat dalam perbuatan pidana massal, bahwa perbuatan pidana yang dilakukan
disebabkan berbagai macam fakta yang mempengaruhi diantara ekonomi, politik, hukum,
sosial budaya, dan lain-lain. Maka tidak dapat kita pungkiri bahwa massa melakukan
perbuatan pidana dikarenakan adanya pengaruh yang ada di luar dirinya yaitu karena
lingkungan. Sehingga dalam penanganannya tidak dilihat hanya sebatas apa yang dilanggar
dan kenapa ia melanggar tetapi juga bagaimana upaya pencegahannya baik secara umum
atau secara khusus.
1
Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum (Suatu Tinjauan Sosiologis), Sinar Baru, Bandung, 2001, 11.
2
Upaya penanggulangan kejahatan dapat dibagi menjadi 2 yaitu : lewat jalur “penal”
(hukum pidana) dan lewat jalur “non penal” (bukan/di luar hukum pidana). Upaya
penanggulangan dengan “penal” lebih menitik beratkan pidana sifat “refressive”
(penindasan/pemberantasan/penumpasan) sesudah kejahatan terjadi. Dengan menggunakan
sarana penal (hukum pidana) ialah masalah penentuan, “Perbuatan apa yang seharusnya
dijadikan tindak pidana dan Sanksi apa saja sebaiknya digunakan/dikenakan kepada si
pelanggar”. Masalah sentral ini tidak dapat dilepaskan dari konsepsi integral antara
kebijakan kriminal dengan kebijakan sosial/kebijakan pembangunan nasional. Dengan
pemikiran kebijakan hukum pidana harus pula dilakukan dengan pendekatan yang
berorientasi pada kebijakan yang integral tidak hanya dalam hukum pidana tetapi juga pada
pembangunan hukum pada umumnya.
Penggunaan sarana penal seharusnya lebih hati-hati, cermat, hemat, selektif dan
limitatif, dengan kata lain sarana penal tidak harus dipanggil/digunakan dalam setiap produk
legislatif. Dalam menggunakan penal, Nigel Walker pernah mengingatkan adanya “prinsip-
prinsip pembatas” (the limiting principles) yang sepatutnya mendapat perhatian antara lain:
Penanggulangan kejahatan dengan jalur “non penal” lebih menitikberatkan pada sifat-
sifat “preventive” (pencegahan/penangkalan/ pengendalian) sebelum kejahatan terjadi
namun walaupun demikian sebenarnya penanggulangan dengan “penal” juga merupakan
tindakan represif pada hakikatnya juga dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti
luas. Sasaran utama dari penanggulangan “non penal” adalah menangani faktor-faktor
kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif tersebut antara lain berpusat
3
pada masalah- masalah/kondisi-kondisi sosial secara langsung/tidak langsung dapat
menimbulkan/menumbuh suburkan kejahatan. Dengan demikian dilihat dari sudut politik
kriminal secara makro dan global, maka upaya non-penal menduduki posisi kunci dan
strategis dari keseluruhan upaya politik kriminal.2
Istilah kriminalisasi merupakan terminologi ilmu Kriminologi dan ilmu Hukum Pidana
yang artinya penentuan suatu perilaku yang sebelumnya tidak dipandang sebagai suatu
kejahatan menjadi suatu perbuatan yang dapat dipidana. Dalam pengertian ini, proses
kriminalisasi dilakukan melalui langkah legislasi dengan mengatur suatu perilaku atau
perbuatan tertentu sebagai tindak pidana dalam undang-undang atau peraturan perundang-
undangan lainnya yang diperbolehkan mengatur ketentuan pidana. Contoh konkrit
kriminalisasi dalam pengertian ini adalah penetapan kejahatan pencucian uang pada tahun
2002. Sebelumnya, perbuatan menerima hasil kejahatan bukanlah sebuah kejahatan.
Sekalipun istilah ini belum ada pengertian yang jelas, namun setidaknya istilah ini
sudah digunakan sekitar awal tahun 2000-an. Istilah ini muncul saat seorang aktivis buruh
yang dilaporkan melakukan tindak pidana dan diproses perkaranya. Tindak pidana yang
dilaporkan cukup janggal, mencuri sendal jepit. Pelaporan dan pengusutan pencurian sendal
jepit tersebut diduga dilakukan sebagai upaya untuk meredam aktivitasnya di serikat buruh
yang dipandang menganggu kepentingan pengusaha. Pengusutan perkara pencurian sendal
2
Lilik Mulyadi, Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi dan Victimologi, Djambatan, Jakarta, 2004, hlm. 30
4
jepit yang nilainya tak seberapa itu kemudian diistilahkan sebagai “kriminalisasi kasus
perburuhan”. Sejak saat itu istilah “kriminalisasi” sering digunakan.
Suatu proses dekriminalisasi dapat terjadi karena beberapa sebab, seperti misalnya
(contoh-contoh dibawah ini tidak bersifat limitatif):
1. Suatu sanksi secara sosiologi merupakan persetujuan (sanksi positif) atau penolakan
terhadap pola prilaku tertentu (sanksi negatif). Ada kemungkinan bahwa nilai-nilai
masyarakat mengenai sanksi negatif tertentu terhadap prilaku tertentu pula mengalami
perubahan, sehingga prilaku yang terkena sanksi-sanksi tersebut tidak lagi ditolak.
2. Timbulnya keragu-raguan yang sangat kuat akan tujuan yang ingin dicapai dengan
penetapan sanksi-sanksi negatif tertentu.
3. Adanya keyakinan yang kuat, bahwa biaya sosial untuk menerapkan sanksi-sanksi
negatif tertentu sangat besar.
4. Sangat terbatasnya efektivitas dari sanksi-sanksi negatif tertentu, sehingga
penerapannya akan menimbulkan kepudaran kewibawaan hukum.
Penalisasi adalah suatu proses pengancaman suatu perbuatan yang dilarang dengan
sanksi pidana. Umumnya penalisasi ini berkaitan erat dengan kriminalisasi, karena ketika
kebijakan untuk menentukan bahwa suatu perbuatan tertentu dikategorikan sebagai
perbuatan terlarang atau tindak pidana, langkah selanjutnya adalah menentukan ancaman
sanksi pidana bagi perbuatan tersebut. Norma pelarangan terkait dengan kebijakan
kriminalisasi yang kemudian diikuti dengan penalisasi dengan ancaman pidana yang
teringan sampai dengan yang terberat atau pidana mati. Sedangkan kebijakan penalisasi
terkait dengan pengenaan sanksi pidana atau penal terhadap perbuatan tertentu yang
dipandang sebagai perbuatan melawan hukum yang telah dimuat dalam cabang ilmu lain,
5
Secara singkat dapat dikatakan bahwa pembahasan kriminalisasi meniscayakan pembahasan
mengenai penalisasi, walaupun antara keduanya yaitu tindak pidana dan sanksi pidana
merupakan dua topik yang berbeda dalam hukum pidana.
Dalam kajian mengenai kriminalisasi terdapat beberapa asas yang digunakan, dimana
asas adalah prinsip-prinsip atau dasar-dasar atau landasan pembuatan suatu peraturan,
kebijakan dan keputusan mengenai aktivitas hidup manusia. Dalam konteks kriminalisai,
asas diartikan sebagai konsepsi-konsepsi dasar, norma-norma etis, dan prinsip-prinsip
hukum yang menuntun pembentukan hukum pidana melalui pembuatan peraturan
perundang-undangan pidana. Ada tiga asas kriminalisai yang berlaku diperhatikan
pembentuk undang-undang dalam menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak pidana
beserta ancaman sanksi pidananya, yakni:
1. Asas legalitas
2. Asas subsidiaritas
3. Asas persamaan/kesamaan
Kriminalisasi muncul ketika kita dihadapkan pada suatu perbuatan yang merugikan
orang lain atau masyarakat yang hukumnya belum ada atau belum ditemukan, persoalan
kriminalisasi timbul karena dihadapan kita terdapat perbuatan yang berdimensi baru,
sehingga muncul pertanyaan adakah hukumnya untuk perbuatan tersebut. Kesan yang
muncul kemudian adalah terjadinya kekosongan hukum yang akhirnya mendorong
kriminalisasi terhadap perbuatan tersebut, dan dari kriminalisasi tersebutlah muncul
penalisasi yang menentukan sanksi apa yang sesuai terhadap perbuatan pidana tersebut.3
3
Mahrus Ali. Dasar-dasar Hukum Pidana. (Jakarta: Sinar Grafika, 2011) hlm 86-88
6
BAB III
Penutup
A. Kesimpulan
7
Daftar Pustaka
Mulyadi Lilik. 2004. Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi dan Victimologi, Djambatan. Jakarta
Satjipto Rahardjo. Masalah Penegakan Hukum (Suatu Tinjauan Sosiologis). Bandung: Sinar Baru