Anda di halaman 1dari 8

TUGAS MID

MATA KULIAH METODE PENELITIAN DAN PENULISAN HUKUM


Dosen Pengamph : DR. OHEO K.HARIS, S.H.LL.M, M.SC

OLEH:

SUGIHYARMAN SILONDAE
(NIM. G2R120026)

PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HALUOLEO KENDARI
2021
A. Latar Belakang Permasalahan

Perlindungan hukum merupakan suatu bentuk pelayanan yang wajib diberikan oleh
pemerintah untuk memberikan rasa aman kepada setiap masyarakat. Berdasarkan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Negara bertanggung jawab atas perlindungan
Hak Asasi Manusia. Seperti yang diuraikan dalam Pasal 28I ayat (4) Undang-Undang Dasar
(UUD) Tahun 1945.

Hal penting dalam negara hukum adalah adanya penghargaan dan komitmen
menjunjung tinggi hak azasi manusia serta jaminan semua warga negara bersamaan
kedududukannya di dalam hukum ( Equality before the law)1“Perlindungan, pemajuan,
penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama
pemerintah.” Artinya, Pasal 1 UU No 13 Tahun 2006 menjelaskan bahwa negara terutama
pemerintah haruslah melaksanakan dan menjamin perlindungan kepada setiap
masyarakatnya. Hal ini merupakan tanggung jawab negara demi terciptanya masyarakat
yang aman dan tentram.

Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 Tentang


perlindungan saksi dan korban dalam Pasal 3 menyebutkan ;

a. penghargaan atas harkat dan martabat manusia;


b. rasa aman;
c. keadilan;
d. tidak diskriminatif; dan
e. kepastian hukum

Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang- Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dimaksudkan untuk
menanggulangi dan memberantas korupsi. Politik kriminal merupakan strategi
penanggulangan korupsi yang melekat pada Undang-Undang Korupsi
Pemberantasan korupsi harus dilakukan dengan berbagai upaya, baik pencegahan
maupun penindakan. Pengorganisasian masyarakat, advokasi isu, maupun sosialisasi
kebijakan anti korupsi merupakan hal yang tidak dapat dilepaskan dari upaya tersebut,
termasuk dalam penegakan hukum. Lembaga peradilan merupakan salah satu ujung
tombak pemberantasan korupsi, terutama dalam upaya penjeraan koruptor.
Korupsi merugikan keungan Negara dan Sosial Masyarakat, tindak pidana korupsi
mempunyai kecendurungan dilakukan lebih dari satu orang. Tindak pidana korupsi yang
telah diproses oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mempunyai kendala untuk
mengungkap dan menahan pihak-pihak yang telah melakukan tindak pidana korupsi karena
kekurangan informasi atau data. Maka munculah ide Justice Collaborator (JC) yang
pertama kali dikenal di Amerika pada tahu 1970-an yaitu kerja sama untuk mengungkapkan
dalang utama tindak pidana korupsi tersebut dengan terpidana tindak pidana korupsi.
Justice collaborator dalam perkembangan terkini mendapat perhatian serius, karena
peran kunci mereka dalam “membuka” tabir gelap tindak pidana tertentu yang sulit
diungkap oleh penegak hukum. Justice collaborator diartikan sebagai saksi pelaku
suatu tindak pidana yang bersedia membantu atau bekerjasama dengan
penegak hukum. Peran kunci yang dimiliki oleh justice collaborator antara lain:
1. Untuk mengungkap suatu tindak pidana atau akan terjadinya suatu tindak pidana,
sehingga pengembalian asset dari hasil suatu tindak pidana bisa dicapai kepada negara;
2. Memberikan informasi kepada aparat penegak hukum; dan
3. Memberikan kesaksian di dalam proses peradilan.

Kasus korupsi yang mendapatkan perhatian masyarakat luas adalah korupsi dengan
tersangka Muhammad Nazaruddin. Pengajuan Justice collaborator Muhammad Nazzarudin
terpidana kasus korupsi Wisma Atlet Hambalang pada tahun 2012 menjadi pro kontra,
karena dalam Surat ederan Mahkama Agung Nomor 4 Tahun 2011 yang berhak
mengajukan Justice Collaorator adalah terpidana yang bukan tersangka utama sedangkan
banyak yang berpendapat Nazarudin adalah pelaku utama. Alasan mengapa pihak bersedia
dijadikan JC karena remisi (pengurangan masa tahanan) dalam Putusan Mahkamah Agung
No. 2223K/PID.SUS/2012.
Penggunaan Justice Collaborator dalam putusan ini digunakan untuk agar si pelaku
mengungkap pelaku mayoritas alias aktor utama dari kasus ķorupsi tersebut. Mahkamah
Agung mengharapkan agar setiap informasi dari justice collaborator dicermati lebih dalam
dan tidak diterima mentah-mentah. Apalagi jika status si justice collaborator sudah masuk
penjara.
Justice collaborator merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu,
mengakui yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta
memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan. 6 Status Justice
collaborator yang diberikan kepada seorang tersangka atau terdakwa bahkan terpidana
memiliki implikasi besar pada dirinya. Bukan hanya dia dianggap memiliki kemauan untuk
bekerja sama dengan aparat penegak hukum sehingga pelaku kelas kakap dapat dimintai
pertanggungjawaban pidana, juga dianggap memiliki iktikad baik untuk memulihkan
kerugian negara. Status tersebut diberikan dalam rangka untuk menjunjung tinggi hak asasi
manusia dalam proses peradilan pidana. Satus Justice Collaborator berbeda dengan saksi
mahkota yang manfaatnya dinilai melanggar hak asasi. Penjelasan menjelaskan perbedaan
dengan saksi mahkota dan mengenai statusnya dalam perspektif hak asasi manusia.
Justice collaborator dianjurkan sejumlah konvensi internasional yang dibuat oleh PBB.
Justice collaborator, seorang tersangka atau terdakwa harus memiliki
keinginan untuk bekerja sama dengan aparat penegak hukum, bukan karena dipaksa oleh
pihak lain. Bila memilih untuk menjadi justice collaborator dan memenuhi syarat, maka
hak-haknya sebagai tersangka atau terdakwa tidak akan dirugikan, justru memperoleh
protection, treatment, dan reward. Dengan demikian aparat penegak hukum mendapat
keuntungan dengan kerja sama tersebut, yaitu dapat dibongkarnya kejahatan serius.
Sedangkan justice collaborator memperoleh sejumlah hak yang tidak diterima oleh pelaku
lainnya yang tidak berstatus sebagai justice collaborator.
Dalam hukum nasional, Justice collaborator diatur dalam Undang-undang Nomor
13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Undang-undang Nomor 31
tahun 2014 (perubahan atas UU Nomor 13 tahun 2006) tentang Perlindungan Saksi dan
Korban, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 04 tahun 2011, Peraturan Bersama
Menteri Hukum dan HAM No. 045/A/JA/12/2011, Jaksa Agung, Kapolri, KPK, dan LPSK
tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama.
Sumber hukum yang disebutkan diatas masih belum memberikan pengaturan yang
proporsional, sehingga keberadaan Justice Collaborator bisa direspon secara berbeda oleh
penegak hukum. Misalnya pada Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2011 tentang
Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Wistleblowers) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama
(Justice Collaborators) dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu. Lahirnya SEMA di atas
didasarkan pada pertimbangan: bahwa dalam tindak pidana tertentu yang serius seperti
teroris, korupsi, narkotika, pencucian uang, tindak pidana perdagangan orang, telah
menimbulkan gangguan yang serius pada masyarakat, sehingga perlu ada perlakuan khusus
kepada setiap orang yang melaporkan, mengetahui atau menemukan suatu tindak pidana
yang membantu penegak hukum dalam mengungkapnya. Oleh sebab itu, untuk mengatasi
tindak pidana tersebut di atas, para pihak yang terlibat dalam tindak pidana tersebut perlu
mendapatkan perlindungan hukum dan perlakuan khusus.
Lazimnya, praktik perlindungan tersebut diberikan kepada kejahatan
terorganisasi (organized crime). Berdasarkan golongan kejahatan, organized crime adalah
kejahatan yang paling rumit dan sulit pengungkapannya.
Tindak pidana korupsi merupakan masalah yang sangat serius, karena tindak pidana
ini dapat membahayakan stabilitas dan keamanan negara dan masyarakatnya,
membahayakan pembangunan sosial dan ekonomi masyarakat, politik, bahkan dapat pula
merusak nilai-nilai demokrasi serta moralitas bangsa karena dapat berdampak
membudayanya tindak pidana korupsi tersebut.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas maka pokok permasalahan
yang akan diteliti adalah:

1. Bagaimanakah urgensi Justice Collaborator tindak pidana Korupsi di Indonesia?

2. Bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap Justice Collaborator?

3. Bagaimankah penerapan Justice collaborator untuk mengungkapkan tindak pidana


korupsi?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk menganalisis urgensi Justice Collaborator tindak pidana Korupsi di

2. Indonesia

3. Untuk menganalisis bentuk perlindungan hukum Justice Collaborator.

4. Untuk menganalisis penerapan Justice collaborator dalam tindak pidana korupsi.

D. Metode Penelitian

Metode adalah cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi
sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan, sedangkan cara penelitian merupakan
suatu kerja ilmiah yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis,
metodologis dan konsisten. Metode penelitian hukum merupakan suatu cara yang teratur
(sistematis) dalam melakukan sebuah penelitian.
Pada penelitian hukum, bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam penelitian
digolongkan sebagai data sekunder. Pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara
studi kepustakaan. Penelitian kepustakaan dilakukan dengan cara menginventaris,
memahami dan mempelajari bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang terkait
dalam penelitian ini. Bahan hukum yang diperoleh melalui studi kepustakaan selanjutnya
akan diinterpretasikan untuk memperoleh kesesuaian penerapan peraturan dihubungkan
dengan permasalahan yang sedang diteliti dan disistematis sehingga menghasilkan
klasifikasi yang selaras dengan permasalahan dalam penelitian ini.

1. Spesifikasi Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, artinya bahwa penelitian ini
menggambarkan, menelaah, dan menjelaskan secara analitis penegakan hukum terhadap
pelalu tindak pidana pencucian uang yang hasilnya dialihkan ke asuransi.
Analisis data yang dipergunakan pada bahan-bahan hukum dalam penelitian ini akan
dilakukan secara analitis kualitatif dan komprehensif terhadap data primer dan sekunder.
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif 32 , yaitu dimaksudkan sebagai
pendekatan terhadap masalah dengan melihat dari segi peraturan-peraturan yang berlaku
oleh karena itu dilakukan penelitian kepustakaan. Pada penelitian hukum, bahan pustaka
merupakan data dasar yang dalam penelitian digolongkan sebagai data sekunder. Data
sekunder tersebut mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, sehingga meliputi surat- surat
pribadi, buku-buku, sampai pada dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh
pemerintah.
Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah meliputi penelitian
kepustkaan (Library Research) untuk mendapat konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau
pemikiran konseptual dan penelitian pendahuluan yang berhubungan dengan objek yang
diteliti dapat berupa peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah.

2. Sumber Data
Penelitian hukum normatif merupakan penelitian kepustakaan, yaitu penelitian terhadap data
sekunder. Data sekunder dibidang hukum antara lain:
a. Bahan hukum primer, meliputi:
1. Norma dasar pancasila

2. Peraturan dasar UUD 1945

3. Peraturan perundang-undangan

4. Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan, misalnya hukum adat

5. Yurisprudensi

6. Traktat

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum
primer, dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer meliputi:
1. Rancangan peraturan perundang-undangan

2. Hasil karya ilmiah para sarjana

3. Hasil penelitian

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder, misalnya:

1. Bibliografi

2. Indeks kumulatif
3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan pada penelitian ini menggunakan teknik


dokumentasi. Metode ini penulis lakukan tidak lain hanya mengumpulkan bahan-bahan
melalui kepustakaan yakni berupa buku-buku, putusan-putusan pengadilan, jurnal,
dokumen-dokumen serta sumber-sumber teoritis lainnya sebagai dasar penyelesaian pokok
masalah dalam tesis ini. Keseluruhan data ini kemudian digunakan untuk mendapatkan
landasan teoritis berupa bahan hukum positif, pendapat-pendapat atau tulisan para ahli atau
pihak lain atau pihak lain berupa informasi baik dalam bentuk formal maupun melalui
naskah resmi.

4. Analisis Data
Analisis data merupakan proses pengorganisasian dan mengurutkan bahan- bahan hukum ke
dalam kategori-kategori dan satuan uraian dasar, sehingga terciptalah suatu tema dan dapat
dirumuskan hipotesis kerja, seperti yang disarankan oleh data tersebut. Bahan hukum yang
telah diperoleh dari penelitian kepustakaan tersebut dianalisis dengan menggunakan metode
kualitatif berdasarkan logiga berfikir deduktif. Bahan hukum yang telah diperoleh kan di
susun dan dianalisis dengan cara pemilihan teori-teori, asas-asas, norma-norma, doktrin dan
pasal-pasal di dalam undang-undang dan peraturan-peraturan yang relevan dengan
permasalahan untuk kemudian akan diuraikan sedemikian rupa sesuai dengan permasalahan
yang dibahas sehingga dapat disajikan dalam bentuk penulisan yang lebih sistematis guna
menjawab permasalahan yang telah dirumuskan.
RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas maka pokok permasalahan
yang akan diteliti adalah:

1. Bagaimanakah penerapan Justice Collaborator dalam Tindak Pidana Korupsi ?

2.Bagaimanakah urgensi Justice Collaborator Tindak Pidana Korupsi di Indonesia ?

TUJ

Anda mungkin juga menyukai