Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan

bahwa Indonesia adalah Negara yang berdasar atas hukum, tidak berdasar atas

kekuasaan belaka (rechstaat). Sebagai konsekuensi dari ketentuan tersebut maka

salah satu prinsip dalam Negara hukum adalah adanya jaminan kesederajatan bagi

setiap orang dihadapan hukum (equality before the law) sebagai perlindungan hak-

hak asasi manusia serta peradilan yang merdeka dan bebas 1. Oleh karena itu setiap

orang berhak atas pengakuan, jaminan, dan kepastian hukum yang adil, serta

pengakuan yang sama didepan hukum. Hukum menetapkan apa yang harus dilakukan

serta apa yang dilarang. Sasaran hukum yang hendak dituju bukan saja orang-orang

yang nyata-nyata berbuat melawan hukum, melainkan juga perbuatan hukum yang

mungkin terjadi & kepada alat perlengkapan negara untuk bertindak menurut hukum.2

Sistem bekerjanya hukum yang demikian itu merupakan salah satu bentuk

penegakan hukum. Peranan seorang saksi dalam setiap persidangan perkara pidana

sangat penting karena keterangan saksi dapat mempengaruhi dan menentukan

kecenderungan keputusan hakim. Seorang saksi dianggap memiliki kemampuan yang

1
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Edisi Revisi, Konstitusi Press,
Jakarta, 2005, hlm. 152 – 162.
2
Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis,Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstiusi, Jakarta, 2008, hlm. 532.
dapat menentukan kemana arah putusan hakim. Hal ini memberikan efek kepada

setiap keterangan saksi sebagai salah satu alat bukti berdasarkan Pasal 184 KUHAP,

sehingga selalu mendapat perhatian yang sangat besar baik pelaku hukum yang

terlibat didalam persidangan maupun oleh masyarakat pemerhati hukum.

Oleh karena itu saksi sudah sepatutnya diberikan perlindungan hukum karena

dalam mengungkap suatu tindak pidana saksi secara sadar mengambil resiko dalam

mengungkap kebenaran materil. Dalam lapangan hukum acara pidana, saksi

merupakan salah satu dari beberapa alat bukti yang sah berdasarkan Pasal 184 (1)

Undang-Undang No 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana yang meliputi:

1. Keterangan saksi;

2. Keterangan ahli;

3. Surat;

4. Petunjuk;

5. Keterangan terdakwa.

Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa keterangan saksi adalah salah satu alat

bukti yang diatur secara limitative dalam KUHAP yakni keterangan saksi mengenai

suatu peristiwa pidana yang didengar sendiri, dilihat sendiri dan dialami sendiri

dengan menyebut alasan dan pengetahuannya itu. Namun demikian hak seorang

saksi didalam hukum sampai saat ini masih dirasakan kurang, karena salah satu hak

yang sampai saat ini masih menjadi suatu harapan adalah adanya perlindungan
terhadap saksi dan korban.3 Pemberdayaan seorang saksi dimulai dari tingkat

penyidikan,yang kemudian berlanjut sampai persidangan di gelar. Berbagai ancaman

baik secara mental maupun fisik akan selalu hadir seiring dengan tersankutnya

berbagai pihak dengan kasus-kasus yang diperiksa. hal ini haruslah mendapat

perhatian sesuai dengan perkembangan hukum yang sangat memerlukan seorang

saksi dalam hal pengungkapan suatu perkara.4

Banyak fakta hukum belakangan ini yang dapat menjadi contoh bagaimana

seorang saksi sangat dibutuhkan untuk mengungkap suatu tindak pidana. Hal mana

sering terjadi pola-pola untuk menakut nakuti para saksi yang melaporkan adanya

kasus tindak pidana dengan melaporkan balik para saksi kepada pihak kepolisian

dengan dugaan pencemaran nama baik, memfitnah, perbuatan tidak menyenangkan.

Selain itu terlapor kadangkala melakukan upaya kekerasan fisik, seperti percobaan

pembunuhan, penganiayaan, terror dan intimidasi secara psikologis agar saksi tidak

mengungkap fakta yang diketahuinya5.

Masalah perlindungan Korban dan Saksi di dalam proses peradilan pidana

merupakan salah satu permasalahan yang menjadi perhatian dunia internasional. Hal

ini dapat dilihat dengan dibahasnya masalah perlindungan korban kejahatan dalam

Kongres PBB VII tahun 1985 tentang “The Prevention of Crime and The Treatment

3
Teguh Sulistia dan Aria Zurnetti, 2011, Hukum Pidana Horizon Pasca Reformasi, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta,hlm.9
4
Teguh Sulistia dan Aria Zurnetti, 2011, Hukum Pidana Horizon Pasca Reformasi, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta,hlm.9
5
Azhary, Negara Hukum Indonesia (Analisis Yuridis Normatif Tentang Unsur-unsurnya),Universitas
Indonesia:UI Press, 1995.
of Offenders” 6di Milan, Italia : Disebutkan “Victims right should be perceived as an

integral aspect of the total criminal justice system.” (Hak-hak Korban seharusnya

menjadi bagian yang integral dari keseluruhan sistem peradilan pidana. Undang-

Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dibentuk untuk

memberikan rasa aman terhadap setiap saksi dan/atau korban dalam memberikan

keterangan pada setiap proses peradilan pidana.

Perlindungan dalam Undang-Undang RI No. 31 Tahun 2014 perubahan atas

Undang-Undang No 13 Tahun 2006 diartikan sebagai segala upaya pemenuhan hak

dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban

yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan

Undang-Undang ini. Melihat pentingnya peranan saksi dan/atau korban dalam

membuat terang suatu perkara pidana maka pentinglah juga pemberian perlindungan

terhadap saksi dan korban tersebut. Perlindungan hukum merupakan suatu bentuk

pelayanan yang wajib diberikan oleh pemerintah untuk memberikan rasa aman

kepada setiap warga masyarakat. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia, Negara bertanggung jawab atas perlindungan Hak Asasi

Manusia merupakan suatu hal yang sangat penting. Seperti yang jelas diurauikan

dalam Pasal 28 I ayat (4) Undang-undang Dasar (UUD) Tahun 1945 yang berbunyi:

6
Kongres PBB VII tahun 1985 tentang “The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders”
“Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah

tanggung jawab negara, terutama pemerintah.”7

Pentingnya perlindungan hukum terhadap setiap masyarakat inilah yang menjadi

salah satu alasan diterbitkannya Perlindungan dalam Undang-Undang RI No. 31

Tahun 2014 perubahan atas Undang-Undang No 13 Tahun 2006.8

Korupsi merupakan gejala masyarakat yang dapat dijumpai dimana- mana.

Sejarah membuktikan bahwa hampir tiap negara dihadapkan pada masalah korupsi

yang selalu berkembang dan berubah sesuai dengan perubahan zaman, korupsi

merupakan masalah yang sangat membahayakan bagi masa kini dan masa depan

Indonesia.9

Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dan dilakukan secara

sistematis. Perkembangannya terus berkembang dan terus meningkat dari tahun ke

tahun, baik dari jumlah tindak pidana korupsi yang terjadi maupun jumlah

kerugian keuangan negara Komisi pemberantasan korupsi atau selanjutnya di

sebut ( KPK) sebagai institusi independen yang sangat diharapakan sebagai trigger

mechanism atau sebagai lembaga pemicu dan pemberdaya atas skeptisme public

atau lembaga pemicu terhadap lemahnya institusi penegak hukum dalam sistem

ketatanegaraan yang baru. KPK memiliki sarana dan prasarana hukum dengan

tingkat kewenangan sangat luar biasa atau extra ordinary power yang tidak
7
Lies Sulistiani, et.. Al., Sudut Pandang Peran LPSK Dalam Perlindungan Saksi Dan Korban,
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Hal 1-2.
8
Muhadar, Perlindungan Saksi dan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana, PMN, Surabaya, 2010,
hlm.69
9
Martiman Prodjohamidjojo, 2001, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi,
dimiliki oleh institusi lain. karena itu, menjadi wajar apabila masyarakat memiliki

harapan yang lebih searah dengan kewenangan yang luar biasa yang dimiliki KPK

tersebut, dengan extra ordinary power yang dimiliki KPK, diharapkan pula, segala

bentuk, cara dan aplikasi korupsi dapat dijadikan suatu bagian tatanan

pemberantasan korupsi.10

Polemik tentang kekuasaan dan korupsi sudah menjadi pasangan langgeng

dalam suatu birokrasi kekuasaan11. Korupsi sebagai suatu bentuk extra ordinary

crime memberikan suatu akibat yang tidak baik dalam perjalanan suatu negara

khususnya dalam pencapaian tujuan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Korupsi di Indonesia telah melibatkan banyak kalangan, baik di pusat maupun di

daerah, di lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif maupun tokoh masyarakat.

Menurut Robert Klitgaard korupsi adalah suatu penyakit ganas yang

menggerogoti kesehatan masyarakat seperti penyakit kanker yang setapak demi

setapak menghabisi nyawa manusia.12 Dapat juga dikatakan bahwa Korupsi adalah

penyakit pemerintah dan masyarakat, maka wajiblah kita mencari obat serta cara

untuk memberantasnya. Apabila obat dan cara itu sekarang belum ditemukan,

maka usaha kita untuk menemukannya harus didukung oleh pemerintah dan

masyarakat dengan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mengungkap suatu

tindak pidana korupsi sampai akhirnya kita berhasil menghilangkap praktek

korupsi itu.
10
Indrayanto Seno Adji, Korupsi dan Penegakan Hukum, Jakarta, Diadit Media, hlm. 322.
11
3 Ibid, hlm. 333.
12
Robert Klitgaard, Membasmi Korupsi, ( terjemahan Hermoyo ),Yayasan Obor Indonesia, Jakarta :
2001, hlm. 14.
Istilah justice collaborator merupakan salah satu bentuk upaya luar biasa yang

dapat digunakan untuk memberantas tindak pidana korupsi yang melibatkan seluruh

lapisan masyarakat termasuk juga pelaku dimana pelaku itu bersedia bekerjasama

dengan aparat penegak hukum. Peranan saksi sebagai justice collaborator sangat

penting dan diperlukan dalam rangka proses pemberantasan tindak pidana korupsi,

karena justice collaborator itu sendiri tidak lain adalah orang di dalam instansi

tersebut, dimana diduga telah terjadi praktik korupsi dan bahkan terlibat di dalamnya.

Upaya pemberantasan korupsi terjebak dalam suatu perdebatan dan berjalan

tertatih-tatih di belakang laju pertumbuhan taktik dan strategi para pelaku korupsi

yang selama ini terkesan selalu selangkah didepan penegakan hukum. Penegakan

hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara

konvensional selama ini terbukti tidak efektif dan mengalami berbagai hambatan. Hal

ini dikarenakan tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan

biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitupun dalam upaya

pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara yang

luar biasa.13

Justice collaborator dapat berperan besar untuk mengungkapkan praktik-praktik

koruptif lembaga publik, pemerintahan maupun perusahaan swasta. Oleh karena

itu, tanpa adanya kejelasan dalam perlindungan hukum terhadap justice

collaborator maka antusiasme publik untuk berpartisipasi dalam membongkar

tindak pidana menjadi lebih rendah sehingga praktik penyimpangan, pelanggaran,


13
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Sinar grafika, Jakarta : 2007, hlm. 1.
atau kejahatan pun akan semakin meningkat. 14 Perlindungan hukum terhadap

justice collaborator dari perspektif formulasi serta praktik belum memberi

kejelasan dalam posisi bagaimana seseorang ditempatkan sebagai justice

collaborator. Hal ini berarti, dari perspektif sistem peradilan pidana Indonesia pada

posisi dimanakah seseorang dapat disebut sebagai justice collaborator, apakah parsial

ditingkat penyidikan, penuntutan, peradilan, ataukah kolaboratif pada semua tingkat

tersebut dimungkinkan.15 Selain itu, dalam tataran kebijakan formulatif dan

aplikatif pada masa kini (ius constitutum) terdapat kekurang jelasan, kekurang

tegasan dan kekurang sempurnaan terkait dengan kepastian pemberian penghargaan

atas kesaksian yang diberikan, baik pada tahap pemeriksaan siding melalui

tuntutan penuntut umum maupun pada putusan hakim.

Tidak adanya kepastian terkait pemberian penghargaan atas kesaksian yang

diberikan dapat berdampak buruk pada partisipasi publik dalam

pemberantasan tindak pidana korupsi kedepannya. Seperti halnya pada kasus

Abdul Khoir yang divonis 4 tahun penjara ditambah denda Rp. 200 juta subsider 5

bulan kurungan, padahal tuntutan jaksa penuntut umum KPK meminta agar Abdul

Khoir divonis 2 tahun dan 6 bulan dan denda sejumlah Rp. 200 juta subisder

5 bulan kurungan. Jaksa Penuntut Umum dalam tuntutannya menyatakan yang

bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang signifikan

14
Firman Wijaya, Whistle Blower dan Justice Calloborator Dalam Perspektif Hukum, Penaku, Jakarta,
2012, hlm. 7 2
15
Mardjono Reksodiputro, Pembocor Rahasia/Wistle Blowers dan Penyadapan (Wiretapping,
Electronic Interception) Dalam Menanggulangi Kejahatan Di Indonesia, Wacana Goverminyboard,
hlm. 13
sehingga penyidik dan/atau Penuntut Umum dapat mengungkap tindak pidana

dimaksud secara efektif, namun dalam pertimbangannya hakim berpendapat

berbeda. Hal tersebut diatas tentu memberi dampak yang kurang baik dalam

iklim pemberantasan tindak pidana korupsi, sehingga dimasa mendatang (ius

constituendum) diperlukan adanya sebuah konsep terkait pengaturan perlindungan

hukum terhadap justice collaborator dalam rangka menanggulangi tindak pidana

korupsi.

Berdasarkan latar belakang inilah maka penulis tertarik untuk membuat suatu

penelitian yang membahas masalah kebijakan Juctice Collaborator ditinjau

melalui Undang-Undang Nomor 31 tahun 2014 atas perubahan Undang-Undang

Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan akan

dituangkan kedalam skripsi dengan judul “PERAN LEMBAGA PERADILAN

SAKSI DAN KORBAN DALAM MEMEBERIKAN PERLINDUNGAN

HUKUM TERHADAP JUSTICE COLLABORATOR PADA SISTEM

PERADILAN PIDANA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 31

TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

(STUDI KASUS ABDUL KHOIR, TERDAKWA KASUS SUAP PROYEK

INFRASTRUKTUR KEMENTERIAN PUPR DI MALUKU) .” ini bertujuan

untuk memberikan penjelasan secara lebih jelas tentang mekanisme dan kinerja

LPSK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.

B. Identifikasi Masalah
1. Bagaimana peran justice collaborator dalam mengungkap peristiwa tindak

pidana korupsi?

2. Bagaimana peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)

melindungi justice collaborator dalam proses peradilan studi kasus Abdul

Khoir terdakwa suap proyek Infrastruktur Kementerian PUPR di Maluku?

C. Tujuan Penelitian

Penyusunan penelitian ini mempunyai tujuan untuk mengetahui :

a. Mengetahui peran Justice Collaborator dalam mengungkap peristiwa

tindak pidana korupsi.

b. Mengetahui peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)

melindungi Justice Collaborator dalam memberikan kesaksian.

D. Kegunaan Penelitian

Berdasarkan Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah dan Tujuan Penelitian

yang telah penulis sebutkan sebelumnya, penelitian ini diharapkan memiliki

manfaat sebagai berikut:

1. Kegunaan Teoritis

a. Diharapkan peneletian ini dapat memberikan pengertian dan

pemahaman secara teori dan juga memberikan solusi tentang

kedudukan dan perlindungan hukum bagi Justice Collaborator

dalam memberikan sebuah keterangan perkara pidana dan juga


menentukan sampai sejauh mana negara melalui Lembaga

Perlindungan Saksi dan Korban melindungi subjek yang memberikan

keterangan untuk menyelesaikan perkara pidana.

b. Penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi secara teori

mengenai perkembangan kemampuan berkarya ilmiah dan daya nalar

dengan acuan yang disesuaikan dengan displin ilmu yang telah

dipelajari yaitu hukum pada umumnya dan hukum Pidana dalam

bidang Hukum Perlindungan Saksi dan Korban. Diharapkan juga

dapat memberikan sumbangan pengetahuan perkembangan hukum di

Indonesia mengenai perlindungan hukum Justice Collaborator dan

peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dalam melindungi

Justice Collaborator.

2. Kegunaan Praktis

a. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi rujukan dalam melakukan

sebuah perlindungan hukum terhadap saksi dan korban dalam

menyelesaikan perkara pidana.

b. Dengan adanya penelitian ini penulis dapat melihat masih kurangnya

peran Lemabaga Perlindungan Saksi dan Korban dalam melindungi

Justice Collaborator menurut Undang-Undang Nomor 31 tahun 2014.

c. Diharapkan berguna bagi para mahasiswa dan masyarakat umum

untuk menambah pengetahuan mengenai pentingnya Perlindungan

Saksi dan Korban.


E. KERANGKA BERFIKIR

Hukum adalah sebuah tatanan (Hukum ada dalam sebuah tatanan yang paling

tidak dapat dibagi kedalam tiga yaitu : tatanan transedental, tatanan sosial dan

tatanan politik.) yang utuh (holistik) selalu bergerak, baik secara evolutif maupun

revolusioner. Sifat pergerakan itu merupakan sesuatu yang tidak dapat

dihilangkan atau ditiadakan, tetapi sebagai sesuatu yang eksis dan prinsipil.

Pada umumnya hukum ditujukan untuk mendapatkan keadilan, menjamin adanya

kepastian hukum di masyarakat dan mendapatkan kemanfaatan atas dibentuknya

hukum tersebut. Tiga unsur tujuan hukum tersebut yaitu keadilan, kepastian

hukum, dan kemanfaatan perlu diimplementasikan dalam proses penegakan

hukum agar tidak terjadi ketimpangan. Menurut teori sistem hukum dari

Lawrence M. Friedman bahwa sebagai suatu sistem hukum dari sistem

kemasyarakatan, maka hukum mencakup tiga komponen yaitu :16

1. Substansi hukum (legal substance) merupakan aturan-aturan,

norma-norma dan pola perilaku nyata manusia yang berada

dalam sistem tersebut termasuk produk yang dihasilkan oleh

orang yang berada di dalam sistem hukum itu, mencakup

keputusan yang mereka keluarkan atau aturan baru yang

mereka susun.

2. Struktur hukum (legal structure) merupakan kerangka,

bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberikan


16
Lawrence M. Friedman, Law An Introduction, PT. Tata Nusa, Jakarta, 2001, hlm. 7.
semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan instansi-

instansi penegak hukum. Di Indonesia yang merupakan

struktur dari sistem hukum antara lain ialah institusi atau

penegak hukum seperti advokat, polisi, jaksa dan hakim.

3. Budaya hukum (legal culture) merupakan suasana pikiran

sistem dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana

hukum itu digunakan, dihindari, atau di salahgunakan oleh

masyarakat.

Dari ketiga komponen di atas, menjadi suatu pegangan yang sangat penting

bagi pelaksanaan penerapan bagi Justice Collaborator dalam perkara tindak pidana

extra ordinary di Indonesia. Karena dengan melihat ketiga komponen dari sistem

hukum tersebut, dapat dilihat bagaimana nantinya sistem hukum tersebut menjadi

acuan bagi pelaksanan Justice Collaborator dalam sistem peradilan pidana.

Teori yang digunakan penulis di dalam penelitian ini ialah teori perlindungan hukum,

teori integratif hukum, dan teori restorative justice. Ketiga teori tersebut dapat

dijabarkan sebagai berikut :

1. Teori Perlindungan Hukum

Perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman kepada hak asasi

manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut diberikan

kepada masyarakat agar mereka dapat menikmati semua hak-hak yang

diberikan oleh hukum atau dengan kata lain perlindungan hukum adalah
berbagai upaya hukum yang harus diberikan oleh aparat penegak hukum

untuk memberikan rasa aman, baik secara pikiran maupun fisik dari gangguan

dan berbagai ancaman dari pihak manapun.17

Perlindungan hukum adalah perlindungan akan harkat dan martabat, serta

pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum

berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan atau sebagai kumpulan

peraturan atau kaidah yang akan dapat melindungi suatu hal dari hal lainnya.

Berkaitan dengan konsumen, berarti hukum memberikan perlindungan

terhadap hak-hak pelanggan dari sesuatu yang mengakibatkan tidak

terpenuhinya hak-hak tersebut.18

Menurut Muchsin, perlindungan hukum merupakan suatu hal yang

melindungi subyek-subyek hukum melalui peraturan perundang-undangan

yang berlaku dan dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi.

Perlindungan hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

Pertama, Perlindungan Hukum Preventif, Perlindungan yang diberikan

oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah sebelum terjadinya

pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundangundangan dengan

maksud untuk mencegah suatu pelanggaran serta memberikan rambu-

rambu atau batasan-batasan dalam melakukan sutu kewajiban.

17
Satjipto Rahardjo. Hukum Progresif. Hal 74.
18
Philipus M. Hadjon. Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia. Hal 25
Kedua, Perlindungan Hukum Represif, Perlindungan hukum represif

merupakan perlindungan akhir berupa sanksi seperti denda, penjara, dan

hukuman tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau

telah dilakukan suatu pelanggaran19

Menurut Philipus M. Hadjon, bahwa sarana perlindungan Hukum ada dua

macam, yaitu :

a. Sarana Perlindungan Hukum Preventif Pada perlindungan hukum

preventif ini, subyek hukum diberikan kesempatan untuk mengajukan

keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah

mendapat bentuk yang definitif. Tujuannya adalah mencegah terjadinya

sengketa. Perlindungan hukum preventif sangat besar artinya bagi tindak

pemerintahan yang didasarkan pada kebebasan bertindak karena dengan

adanya perlindungan hukum yang preventif pemerintah terdorong untuk

bersifat hati-hati dalam mengambil keputusan yang didasarkan pada

diskresi. Di indonesia belum ada pengaturan khusus mengenai

perlindungan hukum preventif.

b. Sarana Perlindungan Hukum Represif Perlindungan hukum yang represif

bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Penanganan perlindungan

hukum oleh Pengadilan Umum dan Pengadilan Administrasi di Indonesia

termasuk kategori perlindungan hukum ini. Prinsip perlindungan hukum

19
Setiono. Rule of Law (Supremasi Hukum). Surakarta. Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana
terhadap tindakan pemerintah bertumpu dan bersumber dari konsep

tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia

karena menurut sejarah dari barat, lahirnya konsep-konsep tentang

pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia diarahkan

kepada pembatasanpembatasan dan peletakan kewajiban masyarakat dan

pemerintah. Prinsip kedua yang mendasari perlindungan hukum terhadap

tindak pemerintahan adalah prinsip negara hukum. Dikaitkan dengan

pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, pengakuan

dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia mendapat tempat utama

dan dapat dikaitkan dengan tujuan dari negara hukum.20

2. Teori Hukum Integratif

Teori hukum integratif merupakan konsep hukum baru yang ditawarkan Prof.

Dr. Romli Atmasasmita, SH, LL.M. Ada beberapa inti pokok dari konsep

hukum ini, yaitu:21

a. Kehidupan masyarakat selalu dalam keadaan konflik kepentingan,

baik konflik berdasarkan etnis, budaya, sosial, ekonomi dan politik.

b. Fungsi hukum mengatur dan menyelesaikan konflik, selain

memelihara dan mempertahankan ketertiban.

20
Philipus M. Hadjon. Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia. Hal 25

21
Romli Atmasasmita, Bahan Kuliah Politik Hukum, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas
Pasundan, Bandung, 2012.
c. Westernisasi hukum secara historis memperuncing konflik dan

mendegradasikan easternisasi hukum.

d. Modernisasi hukum bukan menerima utuh sistem hukum asing,

melainkan harus beradaptasi sesuai dengan the living law.

e. Fungsi hukum sebagai sarana pembaharuan disalahgunakan menjadi

alat pemaksaan kehendak penguasa kepada rakyatnya (dark

engineering).

f. Sistem hukum Indonesia telah lama abaikan the living law termasuk

adat law (hukum adat);

g. Kurang memperhatikan dan mempertimbangkan 3 (tiga) faktor

penghambat fungsi hukum sebagai alat pembaharuan.

h. In-court settlement terbukti tidak optimal menyelesaikan konflik,

bahkan dalam kasus adat menimbulkan konflik sosial, ekonomi,

politik berkepanjangan (unending conflict).

i. Heterogenitas dan varietas sosial-budaya indonesia memerlukan

kearifan lokal bersumber pada adat dalam penyelesaian sengekta.

j. Sarana pembaharuan masyarakat yang sesuai dengan the livinglaw,

selain in court settlement-harus dilengkapi dengan out of court

settlement.

k. Fungsi hukum integratif adalah mengubah nilai-nilai yang hidup

dalam masyarakat menuju nilai baru yang mencerminkan kepastian


hukum, kemanfaatan dan keadilan, dan memelihara serta

mempertahankannya secara dinamis.

l. Fungsi hukum integratif bertujuan menciptakan ketertiban,

keteraturan, kedamaian dan keharmonisan kehidupan dalam

masyarakat

Teori hukum integratif mencoba untuk mengakomodasi sebagian konsep-

konsep hukum pembangunan dan hukum progresif. Meskipun demikian,

hokum integratif memiliki kekhasan tersendiri. Ada 2 (dua) kekhasan tersebut,

yaitu:

Pertama, menekankan penggunaan nilai-nilai yang berkembang dalam

masyarakat untuk membuat dan menegakkan hukum. Bukan berarti alergi

terhadap dunia luar (Barat umpamanya), tetapi sebenarnya setiap masyarakat

memiliki nilai-nilai yang terus hidup dan berkembang (the living law). Nilai-

nilai tersebut dapat diubah menuju nilai baru yang dapat mencerminkan

kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan, dan memelihara serta

mempertahankannya secara dinamis.

Kedua, penyelesaikan masalah hukum, khususnya konflik, diarahkan pada

out of court settlement sesuai dengan the living law tersebut. Pandangan teori

hukum integratif berbeda dengan pandangan teori hukum pembangunan dan

teori hukum progresif. Teori hukum integratif tidak saja menjadi landasan

pengkajian masalah pembangunan nasional dalam konteks inward looking,


tetapi juga dalam konteks pengaruh hubungan internasional ke dalam sistem

kehidupan suatu bangsa, khususnya bangsa Indonesia. Oleh karena dalam

praktik hubungan internasional di tengan era globalisasi, seringkali negara-

negara berkembang menjadi korban dari negara maju yang bersifat hipokrit

yang lebih mementingkan dirinya sendiri daripada kemajuan bersama negara-

negara berkembang.22

Adanya teori hukum Integratif ini dapat mengupas permasalahan terhadap

seorang Justice Collaborator. Putusan yang dijatuhkan oleh hakim terhadap

seorang Justice Collaborator tentunya dilihat dari nilai-nilai yang berada di

dalam masyarakat, karena hukum yang baik adalah hukum yang hidup (the

living law) yang merupakan suatu cerminan nilai-nilai yang berlaku di dalam

masyarakat.

3. Konsep Pendekatan Retorative Juctice

Konsep Pendekatan Keadilan Restoratif (Restorative Justice Approach)

kiranya relatif cocok untuk perlindungan hukum terhadap whistleblower dan

justice collaborator dalam upaya penanggulangan organized crime di

Indonesia masa mendatang. Ada beberapa argumentasi yang dapat

dikemukakan dalam hal ini mengapa konsep pendekatan keadilan restoratif

yang dikedepankan, yaitu: 23ƒ

22
Romli Atmasasmita, Teori Hukum Integratif, (Yogyakarta: Genta Publisshing, 2012), hlm. 99.
23
Yutirsa Yunus, Rekomendasi Kebijakan Perlindungan Hukum Justice Callaborator: Solusi
Akselerasi Pelaporan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Konferensi Kebijakan Perencanaan
Pembangunan Nasional 2013, Paper, hlm. 16
a. Bahwa dalam hal penanganan perlindungan hukum terhadap

whistleblower dan justice collaborator dalam upaya

penanggulangan organized crime relatif tidak dapat diterapkan asas

equality before the law dan asas non-impunity karena tindak

pidana yang bersifat organized crime terlalu kompleks, multi

dimensional dan melintasi batas negara dimana untuk

pengungkapannya mutlak memerlukan adanya whistleblower dan

justice collaborator sehingga konsekuensi logisnya tidak semua

orang harus diperlakuan sama karena ada aspek tertentu yang

membedakan orang tersebut dengan orang lain sehingga perbedaan

itu membuka ruang dan dimensi seseorang dapat saja tidak dijatuhi

pidana asal bertanggung jawab atas perbuatannya dengan

melakukan pemulihan keseimbangan seperti keadaan semula

(restitutio in integrum) akibat perbuatan yang telah dilakukannya.

Tegasnya, dalam hal ini diterapkan asas kesamaan hukum yang

adil (equality before the justice) ; ƒ

b. Konsep pendekatan restorative justice berlandaskan pada asas

ketidaksamaan sebagai keadilan. Kontribusi yang diberikan oleh

justice collaborator dalam mengungkap kasus korupsi ini dijadikan

dasar yang membedakannya dengan koruptor biasa. Sehingga,

kontribusinya ini menjadi dasar untuk menghindarkannya dari

pemidanaan;
c. Pengungkapan kasus-kasus yang pelik dengan perlindungan

hukum terhadap whistleblower dan justice collaborator dalam

upaya penanggulangan organized crime melalui pendekatan

keadilan restoratif (restorative justice approach) akan memberikan

rangsangan, berani mengungkapkan kebenaran, serta perasaan

tidak takut sehingga diharapkan nantinya berdampak orang akan

berlomba-lomba untuk menjadi seorang whistleblower dan justice

collaborator ; ƒ

d. Penjatuhan pidana terhadap whistleblower dan justice

collaborator dalam perkara yang termasuk organized crime pada

hakikatnya adalah untuk memanusiakan manusia agar menjadi

orang yang baik. Aspek dan dimensi ini pararel dengan eksistensi

UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan dimana

lembaga pemasyarakatan merupakan tempat untuk membuat

narapidana menjadi orang yang baik. Filsafat pemidanaan dan

penjatuhan pidana di Indonesia bukan berdasarkan filsafat

retributif, melainkan filsafat integratif. Oleh karena ini, untuk masa

kini hendaknya pendekatan keadilan restoratif yang paling harus

dikedepankan Indonesia;

Konsep pendekatan restorative justice di satu sisi dengan perlindungan hukum

terhadap whistleblower dan justice collaborator dalam upaya penanggulangan


organized crime di sisi lainnya, kemudian adanya reward dan sekaligus melekat

tanggung jawab bagi whistleblower dan justice collaborator diharapkan dapat

mengungkapkan secara signifikan justice collaborator. Berdasarkan ketentuan

tersebut di atas, maka kedudukan seorang terhadap perkara yang berdimensi

organized crime. Dalam dimensi ini, memang diperlukan perlindungan khusus bagi

whistleblower dan Justice Collaborator menjadi tombak pentingnya dalam

membongkar suatu kejahatan yang terorganisir. Beberapa ketentuan peraturan

perundang-undangan yang mendefinisikan mengenai Justice Collaborator juga masih

banyak yang tidak sesuai dengan implementasi yang terjadi di lapangan. Hal inilah

yang membuat para aparat penegak hukum agar lebih berkontribusi dalam

menerapkan seorang Justice Collaborator dalam kejahatn yang terorganisir.sehingga

meruntuhkan lembaga serta nilai-nilai demokrasi, dan keadilan serta membahayakan

pembangunan berkelanjutan dan supremasi hukum. Pada dasarnya, konsep

pendekatan keadilan restoratif (restorative justice approach) membangun dimensi

agar seseorang berani untuk menjadi seorang whistleblower dan justice collaborator

dalam perkara yang termasuk organized crime. Keputusan dan pendirian seseorang

akan menjadi seorang whisterblower dan justice collaborator perlu diapresiasi

dengan baik sehingga membangun kesadaran dan polarisasi berfikir bahwa keputusan

tersebut akan sangat berguna dan mempunyai jasa dalam rangka mengungkapkan

perkara organized crime. Konsekuensi logisnya, penjatuhan pidana yang akan

dijatuhkan hakim kepada seorang whistleblower dan justice collaborator mempunyai

dimensi keadilan. Pemidanaan yang berdimensi keadilan di satu sisi, pararel dengan
pengungkapan kasus yang bersifat organized crime di sisi lainnya, membawa

pemidanaan seseorang sesuai asas pemasyarakatan, memanusiakan narapidana atau

pelaku tindak pidana (offender) menjadi manusia yang baik.24

F. METODE PENELITIAN

Metode Penelitian adalah suatu pedoman untuk mengumpulkan data,

mengolahnya untuk kemudian di analisa dan di kontruksikan.25 Inti daripada

metodologi dalam setiap penelitian hukum adalah menguraikan tentang tata cara

bagaimana suatu penelitian hukum itu harus dilakukan. Disini peneliti

menentukan metode apa yang akan diterapkan, tipe penelitian yang dilakukan,

metode populasi dan sampling, bagaimana pengumpulan data akan dilakukan

serta analisis yang dipergunakan.26 Adapun Metode Penulisan Hukum ini adalah

sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

Penelitian penulisan skripsi ini menggunakan tipe penelitian Yuridis-

Normatif. penelitian yuridis normatif atau penelitian yang di fokuskan untuk

mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma hukum positif, dengan

pertimbangan bahwa titik tolak Penelitian adalah menganalisa penerapan dari

konvensi internasional dalam suatu kasus, sementara penelitian hukum normatif

24
Mardjono Reksodiputro, Pembocor Rahasia/Wistle Blowers dan Penyadapan (Wiretapping,
Electronic Interception) Dalam Menanggulangi Kejahatan Di Indonesia, Wacana Goverminyboard,
hlm. 13
25
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Rajawali
Pers, Jakarta,2001, hal.164
26
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktik, Sinar Grafika, Jakarta, 1991, hlm. 17
adalah penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah sistem norma.

Sistem norma yang dimaksud adalah asas, kaidah dari peraturan perundang-

undangan, putusan pengadilan, perjanjian internasional serta pendapat para

sarjana yang telah diakui oleh dunia sebagai suatu teori yang benar (doktrin)27.

Bambang Sunggono menyatakan : “Penelitian menggunakan spesifikasi

penelitian yang bersifat deskriptif analitis, yaitu memberikan data atau gambaran

seteliti mungkin mengenai objek permasalahan”.28

Menurut Soerjono Soekanto penelitian ini bertujuan untuk menemukan

falsafah, asas-asas hukum dan kerangka berfikir hukum yang mengatur suatu

permasalahan tertentu, atau dengan kata lain, penelitian ini juga penelitian

hukum kepustakaan.29

Spesifikasi penelitian yang bersifat deskriptif analitis menurut Soerjono

Soekanto:

“Spesifikasi penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu menggambarkan

fakta-fakta hukum dan atau peraturan perundang-undangan yang berlaku secara

komprehensif mengenai obyek penelitian untuk kemudian dikaitkan dengan

teori-teori hukum dalam praktek pelaksanaannya yang menyangkut permasalahan

yang diteliti.” 30
27
Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka
Belajar, Yogyakarta, 2009, hlm. 34.
28
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hlm.
38.
29
ibid.,hal.18
30
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hlm. 10.
Yaitu suatu penelitian yang mengkaji tentang bagaimana penelitian hukum

terhadap perlindungan huku saksi dan korban dalam hal ini Justice Collaborator

yang harus mendapatkan perhatian khusus dari Lembaga Perlindungan Saksi dan

Korban . Dilihat dari sifatnya, maka penelitian ini dapat di katakan sebagai

penelitian yang deskritif dimana menggambarkan hal-hal yang didapat dari suatu

penelitian.

2. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis

normatif. Menurut Ronny Hanitijo Soemitro :31

“Metode pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis

normatif, yaitu penelitian dalam bidang hukum yang dikonsepsikan

terhadap asas-asas, norma-norma, dogma-dogma atau kaidah-kaidah

hukum yang merupakan patokan tingkah laku dalam penelitian ini

dilakukan dengan cara mengkaji ketentuan perundang-undangan

dengan tetap mengarah kepada permasalahan yang ada sekaligus

meneliti implementasinya dalam praktek.”

Metode penelitian dengan pendekatan yuridis normatif ini diperlukan,

karena data yang digunakan adalah data sekunder dengan

menitikberatkan penelitian pada data kepustakaan yang diperoleh

melalui penelusuran bahan bahan dari buku, literatur, artikel, dan situs

31
Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990,
hlm. 5.
internet yang berhubungan dengan hukum atau aturan yang berlaku

khususnya yang berkaitan dengan peraturan-peraturan yang mengatur

penerapan terhadap Justice Collaborator dalam perkara tindak pidana

extra ordinary crime.

3. Tahap Penelitian

Tahap penelitian ini dilakukan dalam dua tahap yang bertujuan untuk

mempermudah dalam pengolahan data, yaitu :

a. Penelitian Kepustakaan (Library Research) Menurut Soerjono

Soekanto, penelitian kepustakaan yaitu :32

“Penelitian terhadap data sekunder, yang dengan teratur dan

sistematis menyelenggarakan pengumpulan dan pengolahan bahan

pustaka untuk disajikan dalam bentuk layanan yang bersifat

edukatif, informatif, dan rekreatif, kepada masyarakat. Penelitian

ini dilakukan untuk memperoleh data sekunder yang maksudnya

untuk mencari data yang dibutuhkan bagi penelitian, melalui

literature kepustakaan dan peraturan perundangundangan yang

berlaku atau buku-buku mengenai ilmu yang terkait dalam

penelitian ini atau pendapat para ahli yang ada korelasinya denagn

objek penelitian.”

Penelitian ini dimaksudkan untuk mendapat data sekunder, yaitu :

32
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Pers, Jakarta,
1985, hlm. 11.
a. Bahan-bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum

yang mengikat, terdiri dari beberapa peraturan perundang-

undangan sebagai berikut :

1. Pancasila

2. Undang-Undang Dasar 1945;

3. Kitab Undang-Udang Hukum Acara Pidana;

4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun

2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor

13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan

Korban;

5. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman;

6. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4

Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Whistleblower dan

Justice Collaborator Dalam Tindak Pidana Tertentu.

7. Peraturan Bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi

Manusia Republik Indonesia, Jaksa Republik

Indonesia, Kepala Kepolisian Republik Indonesia,

Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Ketua Lembaga

Perlindungan Saksi Dan Korban , Nomor : M.HH-

11.HM.03.02. Tahun 2011; PER-045/A/JA/12/2011;


Nomor 1 Tahun 2011; KEPB-02/01-55/12/2011;

Nomor 4 Tahun 2011.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer, berupa buku-

buku yang erat kaitannya dengan penulisan ini, seperti

buku-buku, makalah, hasil penelitian yang berkaitan

dengan penelitian ini, artikel dari surat kabar, dan internet.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan hukum yang

memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum

primer dan sekunder, seperti kamus hukum, kamus besar

bahasa Indonesia, kamus besar bahasa Inggris, dan

ensiklopedia.

b. Penelitian Lapangan (Field Research) Menurut Johny Ibrahim,

penelitian lapangan adalah :33

“Penelitian lapangan dilakukan dengan mengadakan wawancara

untuk mendapatkan keterangan-keterangan yang akan diolah dan

dikaji berdasarkan peraturan yang berlaku.”

Menurut Soerjono Soekanto, penelitian lapangan adalah:

“Penelitian lapangan yaitu suatu cara untuk memperoleh data yang

dilakukan dengan mengadakan observasi untuk mendapatkan

33
Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia, Surabaya, 2007,
hlm. 52.
keterangan-keterangan yang akan diolah dan dikaji berdasarkan

peraturan yang berlaku.” 34

Penelitan ini dilakukan secara langsung terhadap objek penelitian

dan dimaksudkan untuk memperoleh data yang bersifat data

perimer sebagai penunjang data sekunder.

4. Analisis Data

Teknik yang digunakan untuk menganalisa data yang dikumpulkan

adalah dengan menggunakan metode yuridis kualitatif. Penggunaan analisis

yuridis kualitatif di dalam penulisan ini karena penelitian ini bertitik tolak

dari penetapan seseorang menjadi Justice Collaborator dalam perkara

tindak pidana extra ordinary crime yang dihubungkan dengan Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

serta perundang-undangan nasional lainnya yang sebagai hukum positif

yang terkait dengan penelitian ini. Data kemudian di analisis secara

kualitatif, yaitu analisis yang tidak menggunakan rumus matematika

maupun sistematika dan di sajikan secara deskriptif yang menggambarkan

permasalahan secara menyeluruh.

5. Lokasi Penelitian

Dalam rangka pengumpulan data, penelitian ini dilakukan di beberapa

tempat, antara lain :

34
Soerjono Soekanto, op.cit, hlm. 11.
1. Perpustakaan

a. Perpustakaan Universitas Sultan Ageng Tirtayasa,

Pakupatan, Serang - Banten, Panancangan, Cipocok

Jaya.

b. Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sultan

Ageng Tirtayasa, Pakupatan, Serang - Banten,

Panancangan, Cipocok Jaya,

c. Perpustakaan Nasional Indonesia Jalan Salemba No.28

A, RT.5/RW.6,Kenari, Senen, RT.5/RW.6, RT.5/RW.6,

Kenari, Senen, Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus

Ibukota Jakarta.

2. Lapangan

i. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Jl. Raya

Bogor KM. 24 No. 47-49, Susukan, Ciracas, Jakarta Timur

13750; 3) Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR)

Jakarta Pusat, Jl. Bungur Besar Raya No. 24,26,28.

Kemayoran, Jakarta Pusat.


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Syukur, 1987. Kumpulan Makalah “Study Imlementasi Latar Belakang

Konsep Pendekatan dan Relevansinya Dalam Pembangunan”, Persadi, Ujung

Pandang. Andrisman, Tri, S.H, M.H.


Hukum Pidana,Asas-Asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana

Indonesia,Penerbit Universitas Lampung, 2011

__________Mengutip Sudarto, 2011. Asas-asas dan Dasar Aturan Umum Hukum

Pidana Indonesia, Lampung. Penerbit Universitas Lampung. Arikunto, Suharsimi,

1993,

Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta: Rineka Cipta. Artantojati,

Sigit, 2010, Perlindungan Terhadap Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (justice

collaborators) oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Jakarta:

Universitas Indonesia.

Dempster, Quentin.Whistleblowers Para Pengungkap Fakta, ELSAM cetakan

pertama Juli 2006.

Hamzah, Andi. Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta, Jakarta, 2008. Jaya, Surya,

Perlindungan Justice Collaborator dalam Sistem Pengadilan, Jakarta: Media

Pustaka, 2008.

M. Hadjon, Phillipus, “Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia”, Surabaya: PT.

Bina Ilmu, 1987. Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Bandung, 1983

Muhadar, Edi Abdulah, Husni Thamrin, Perlindungan Saksi & Korban Dalam

Sistem Peradilan Pidana, Surabaya, CV. Putra MediaNusantara, 2009.


Nawawi Arief, Barda,“Kapita Selekta Hukum Pidana tentang Sistem Peradilan

PidanaTerpadu”, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2006.

Reksodiputro, Mardjono, Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kepada

Kejahatan dan Penegakan Hukum Dalam Batas-Batas Toleransi),

Pidato Pengukuhan Penerimaan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Ilmu Hukum,

Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1993. Semendawai,

Abdul Haris dkk, 2011,Memahami Whistle Blower, Lembaga Perlindungan Saksi dan

Korban, Jakarta

__________Revisi Undang-Undang No.13 tahun 2006, Momentum Penguatan

Perlindungan Saksi dan Korban, Perlindungan Jurnal saksi dan Korban,

Volume .2011.LPSK S.M. Amin, Mr.,Hukum Acara Pengadilan Negeri, Jakarta:

Pradya Paramita,1981.

Soekanto, Soerjono. 2004. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

Cetakan Kelima. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Sutarto, Suryono, Hukum Acara Pidana, Jilid 1, Fakultas Hukum Universitas

Diponegoro, Semarang, 1982. Usman, Nurdin. (2002). Konteks Implementasi

Berbasis Kurikulum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Widodo Eddyono, Supriyadi, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban di

Indonesia : Sebuah Pemetaan Awal, Indonesian Corruption Watch, Jakarta, 2007.


Wijaya, Firman, Whistle Blower dan Justice Collaborator Dalam Perspektif Hukum,

Penaku, Jakarta, 2012.

SISTEMATIKA PENULISAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

B. Identifikasi Masalah

C. Tujuan Penelitian

D. Manfaat Penelitian

E. Kerangka Penelitian

F. Metode Penelitian

i. Jenis Penelitian

ii. Metode Penelitian

iii. Tahap Penelitian

iv. Analisis Data

v. Lokasi Penelitian
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Perlindungan Hukum Bagi Juctice Collaborator

B. Teori Hukum Integratif

C. Restorative Juctice

D. System Peradilan Pidana

E. Sejarah Lembaga Peradilan Saksi dan Korban (LPSK)

BAB III OBJEK PENELITIAN

A. Peran Juctice Collaborator dalam pengungkapan tindak pidana extra ordinary

crime

B. Peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam melindungi

Juctice Collaborator

C. Hasil wawancara

BAB IV HASIL PEMBAHASAN ANALISIS IMPLEMENTASI JUSTICE

COLLABORATOR DALAM PERKARA TINDAK PIDANA EXTRA ORDINARY

CRIME

A. Implementasi Justice Collaborator Dalam Perkara Tindak Pidana Extra

Ordinary Crime Ditinjau Dari Perspektif Sistem Peradilan Pidana Yang Ada

Di Indonesia

B. Perlindungan Hukum Yang Dapat Diberikan Terhadap Justice Collaborator

Dalam Perkara Tindak Pidana Extra Ordinary Crime


BAB V

Kesimpulan dan Saran

Anda mungkin juga menyukai