Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Kemerdekaan bangsa Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17

agustus 1945, tidak dapat dilepaskan dari cita-cita pembaharuan hukum. 1termasuk

pembaharuan di bidang hukum pidana. Di dalam pernyataan kemerdekaan bangsa

Indonesia tersebut juga terkandung pernyataan untuk merdeka dan bebas dari

ikatan belenggu penjajahan hukum kolonial. 2 Pembukaan undang-undang dasar

(UUD) 1945menegaskan bahwa, pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia

disamping merupakan rrahmat tuhan yang maha Esa juga didorong oleh

keinginan luhur bangsa Indonesia untuk berkehidupan kebangsaan yang bebas.

Keinginan luhur tersebut untuk bekehidupan kebangsaan yang bebas, dicapai

dengan membentuk pememrintahan Negara Indonesia disusun dalam sautu UUD

1945.

Kemerdekaan dan kebebasan yang ingin dicapai adalah berkehidupan

yang bebas dalam keteraturan suatu tertib tatanan hukum. Bertitik tolak dari

penjabaran tersebut tersirat bahwa setiap bangsa Indonesia berhak untuk hidup

bebas dan mengatur sendiri kehidupannya sesuai dengan kaidah-kaidah hukum

dan hak-hak kemerdekaan yang telah dibuatnya. Tidak terlepas dari adanya

pembaharuan-pembaruan yang harus dilakukan dalam sistem perundang-

1
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif, dalam penanggulangan kejahatan dengan pidana penjara,
Yogyakarta, Genta Publising, 2010, hlm 1
2
Ibid

1
2

undangan Indonesia agar dapat menyesuaikan dengan perkembangan-

perkembangan dewasa ini.

Tidaklah ada artinya hak kemerdekaan, apabila dilain pihak tetap ada

penjajahan. Penjajahan pada hakikatnya merupakan bentuk-bentuk pelecehan,

pelanggaran, perampasan, pengekangan, atas penguasaan paksa atau sewenang-

wenang atas hak kemerdekaan orang lain.3

Dengan demikian, perubahan dan perkembangan hukum nasional harus

selalu bertumpu pada cita-cita nsional, pandangan hidup bangasa dan rasa

keadilan masyarakatnya. Dengan kata lain, perubahan dan perkembangan hukum

harus berlandaskan pada pancasila yang menjadi sumber ideologi serta falsafah

bangsa.

Usaha pembaharuan hukum di Indonesia yang sudah dimulai sejak

lahirnya UUD 1945 tidak dapat dilepaskan pula dari landasan dan sekaligus

tujuan yang ingin dicapai seperti telah dirumuskan juga dalam pembukaan UUD

1945. Tujuan yang telah digariskan dalam pembukaan UUD 1945 itu secara

singkat ialah”melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan

kesejahteraan umum berdasarkan pancasila”. Inilah garis kebijakan umum yang

menjadi landasan dan sekaligus tujuan politik hukum di Indonesia. Ini pulalah

yang menjadi alasan dan tujuan dari pembaharuan hukum. Termasuk

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegekan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan kejahatan,
3

Bandung, Citra Aditya Bakti, 2010, hlm 10


3

pembaharuan di bidang hukum pidana dan kebijakan penanggulangan kejahatan

di Indonesia.4

Perlu penjabaran lebih rinci secara hukum, agar kewajibankonstitusional

tersebut benar-benar dijalankan secara baik, denganmenciptakanpraktek-praktek

pemerintahan yang terbuka, transparan dansenantiasa bertanggung jawab atas

kepentingan masyarakat secara luas,5yang titik akhirnya adalah kesejahteraan

secara nyata bagi masyarakat luasdengan berpedoman pada prinsip-prinsip

keadilan sosial berdasarkanKetuhanan Yang Maha Esa.

Dengan demikian melindungi segenap bangsa Indonesia dan

seluruhtumpah darah Indonesia dapat pula berati upaya keras dan nyata

bagipembebasan seluruh rakyat Indonesia dari penderitaan dan upaya yangnyata

bagi terciptanya kesejahteraan rakyat Indonesia tanpa kecuali.

Untuk mewujudkan cita-cita luhur tersebut, yang berkaitan

denganmanifestasi atas kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia maka lahirlah

suatupedoman bagi Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas

Korupsi,Kolusi, dan Nepotisme yang dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor

28Tahun 1999 tentang penyelenggaraaan Negara yang bersih dan bebas dari

Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Di dalam undang-undang tersebut dijelaskan

prinsip-prinsip atauasas-asas Kepastian hukum, Tertib Penyelenggaraan Negara,

4
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif, dalam penanggulangan kejahatan dengan pidana
penjara,Op Cit, hlm 10
5
Ibid hlm 75
4

KepentinganUmum, Keterbukaan,Proporsionalitas, Profesionalitas, dan

Akuntabilitas yang dijabarkan dalam penjelasan Pasal 3 sebagai berikut:6

1. Asas Kepastian Hukum, yaitu asas dalam negara hukum yangmengutamakan


landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dankeadilan dalam setiap
kebijakan Penyelenggara Negara.
2. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara, yaitu asas yang menjadi
landasanketeraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam
pengendalianPenyelenggaraan Negara.
3. Asas Kepentingan Umum, yaitu asas yang mendahulukan kesejahteraanumum
dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif.
4. Asas Keterbukaan, yaitu asas yang membuka diri terhadap hakmasyarakat
untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidakdiskriminatif tentang
penyelenggaraan negara dengan tetapmemperhatikan perlindungan atas hak
asasi pribadi, golongan danrahasia negara.
5. Asas Proporsionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keseimbanganantara
hak dan kewajiban Penyelenggara Negara.
6. Asas Profesionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keahlian
yangberlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-
undanganyang berlaku.
7. Asas Akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan
hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang
kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku.

Pedoman mengenai Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN

ini menjadi penting dan sangat diperlukan untuk menghindari praktek-praktek

Kolusi, Korupsi dan Nepotisme tidak saja melibatkan pejabat yang bersangkutan

tetapi juga oleh keluarga dan kroninya, yang jika dibiarkan maka rakyat Indonesia

akan berada dalam posisi yang sangat dirugikan.

Nyoman Serikat Putra Jaya, Tindak Pidana Korupsi, Kolusi dan Nepotisme diIndonesia,Semarang,
6

Badan Penerbit Undip, 2005, hlm 2


5

Menurut NyomanSerikat Putra Jaya, tindak pidana Korupsi, Kolusi dan

Nepotisme tidak hanya dilakukan oleh Penyelenggara Negara, antar

Penyelenggara Negara, melainkan juga Penyelenggara Negara dengan pihak lain

seperti keluarga, kroni dan para pengusaha, sehingga merusak sendi-sendi

kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta membahayakan

eksistensi negara.7

Mengenai praktek-praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme sendirMarzuki

Darusmanmenjelaskan,8 pada dasarnya praktek Korupsi dan Kolusi adalah

pemberian fasilitas atau perlakuan istimewa oleh pejabat.

pemerintah/BUMN/BUMD kepada suatu unit ekonomi/badan hukum

yangdimiliki pejabat terkait, kerabat atau kroninya.Jadi jika praktek-praktek

initetap dibiarkan maka rakyat sebagai pemilik kedaulatan negara

tidakmendapatkan hak konstitusinya yaitu hak mendapatkan keadilan

dankemakmuran.

Untuk lebih menjamin pelaksanaan pemerintahan yang bersih dan

bebaskorupsi, kolusi, dan nepotisme maka, dibentuknya Undang-Undang Nomor

31Tahun 1999 sebagaimana yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor20

Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaipengganti

Undang-Undang nomor 3 Tahun 1971. Lahirnya undang-undangini diharapkan

7
Nyoman Serikat Putra Jaya, Tindak Pidana Korupsi, Kolusi dan Nepotisme diIndonesia,Op Cit,
2005, hlm 6
8
Ibid
6

dapat mempercepat pertumbuhan kesejahteraan rakyat,dengan sebuah

penanggulangan terhadap sifat jahat yang terkandung dalamkorupsi.

Tindak pidana korupsi merupakan perbuatan yang bukan saja

dapatmerugikan keuangan negara akan tetapi juga dapat menimbulkan

kerugianpada perekonomian rakyat. Barda Nawawi Ariefberpendapat bahwa,

tindak pidana korupsi merupakan perbuatan yang sangat tercela, terkutuk dan

sangat dibenci oleh sebagian besar masyarakat tidak hanya oleh masyarakat dan

bangsa Indonesia tetapi juga oleh masyarakat bangsa-bangsa di dunia.9

Oleh karena itu sudah semestinya, sebagai bangsa yang memilikisemangat

untuk menciptakan kemakmuran secara merata dan adil mampuuntuk mengenali

dan menghindari setiap bentuk korupsi yang hanya akandapat menciptakan

kesengsaraan bagi segenap rakyat Indonesia. Dengan mengenali bentuk-bentuk

korupsi juga diharapkan korupsi menjadi musuh bersama yang harus ditekan dan

dihilangkan dari setiap permukaan bumi Indonesia.

Mengenai bentuk-bentuk korupsi sendiri, Syed Hussein

Alatassebagaimana yang dikutip oleh Nyoman Serikat Putra Jaya

telahmembaginya dalam 7 tipologi korupsi, yaitu :10

1. Korupsi transaktif (transactive corruption). Di sini menunjukkan kepada


adanya kesepakatan timbal balik antara pihak pemberi dan pihak
penerima demi keuntungan kedua belah pihak dan dengan aktif
diusahakan tercapainya keuntungan oleh kedua-duanya.
9
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung, Alumni,1999, hlm
133
10
Nyoman Serikat Putra Jaya, Tindak Pidana Korupsi, Kolusi dan Nepotisme diIndonesia,Op Cit,
2005, hlm 16
7

2. Korupsi yang memeras (extortive corruption)adalah jenis korupsi di mana


pihak pemberi dipaksa untuk menyuap guna mencegah kerugian yang
sedang mengancam dirinya, kepentingannya, atau orang-orang dan hal-hal
yang dihargainya.
3. Korupsi investif (investive corruption) adalah perilaku korban korupsi
dengan pemerasan. Korupsinya adalah dalam rangka mempertahankan
diri, seperti pemberian barang atau jasa tanpa ada pertalian langsung
dengan keuntungan tertentu, selain keuntungan yang dibayangkan akan
diperoleh di masa yang akan datang.
4. Korupsi perkerabatan (nepotistic corruption) adalah penunjukan yang
tidak sah terhadap teman atau sanak saudara untuk memegang
jabatandalam pemerintahan, atau tindakan yang memberikan perlakuan
yang mengutamakan dalam bentuk uang ataubentuk-bentuk lain, kepada
mereka, secara bertentangan dengan normadan peraturan yang berlaku.
5. Korupsi defensif (defensive corruption) di sini pemberi tidak bersalah
tetapi si penerima yang bersalah. Misal : seorang pengusaha yang kejam
menginginkan hak milik seseorang, tidak berdosalah memberikan kepada
penguasa tersebut sebagian dari harta itu untuk menyelamatkan harta
selebihnya.
6. Korupsi otogenik (autogenic corruption) suatu bentuk korupsi yang tidak
melibatkan orang lain dan pelakunya hanya seorang diri.
7. Korupsi dukungan (supportive corruption) di sini tidak langsung
menyangkut uang atau imbalan dalam bentuk lain. Tindakan-tindakan
yang dilakukan adalah untuk melindungi dan memperkuat korupsi yang
sudah ada.

Bentuk-bentuk korupsi, terutama dalam lingkup suap merupakan penyakit

yang sangat akut bagi bangsa Indonesia, karena hampir di setiap lembaga

pelayanan publik suap sudah menjadi hal yang biasa, yang pada akhirnya ada

kesulitan-kesulitan dalammendeteksi korupsi, sehingga pencegahannya pun

makin sulit dilakukan, sehingga korupsi terus berkembang dan menjalar

dalamsetiap aspek kehidupan.


8

Perlu kiranya diperhatikan dan direnungkan apa yang dikatakan oleh

Habibur Rahman Khansebagaimana yang dikutip oleh Barda Nawawi Arief:

Dunia modern sepenuhnya menyadari akan problema yang akut ini. Orang
demikian sibuk melakukan penelitian, seminar-seminar,konferensi-konferensi
internasionaldan menulis buku-buku untukmencoba memahami masalah
kejahatan dan sebab-sebabnya agar dapat mengendalikannya. Tetapi hasil bersih
dari semua usaha ini adalah sebaliknya, kejahatan bergerak terus.11

Korupsi sebagaimana kejahatan yang dikatakan oleh Habib-ur-Rahman

Khan tersebut, merupakan suatu perbuatan jahat yang dilakukan oleh seseorang

dalam meraih keuntungan secara tidak halal, seolah-olah tidak pernah berhenti

dan habis untuk dibicarakan baik dalam forum ilmiah maupun oleh setiap

masyarakat setiap hari, tetapi hasil nyatanya adalah perbuatan jahat ini terus

bergerak tiada henti menggerogoti setiap sendi kehidupan yang dapat berpengaruh

negatif bagi kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.

Perkembangan korupsi di Indonesia masih tergolong tinggi, sementara

pemberantasannya masih sangat lamban, Romli Atmasasmita, menyatakan

bahwa, Korupsi di Indonesia sudah merupakan virus flu yang menyebar ke

seluruh tubuh pemerintahan sejak tahun 1960an langkah-langkah

pemberantasannya pun masih tersendat-sendat sampai sekarang.Lebih lanjut

dikatakannya bahwa korupsi berkaitan pula dengan kekuasaan karena dengan

11
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana
Penjara, Semarang, Badan Penerbit Undip, hlm 17
9

kekuasaan itu penguasa dapat menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan

pribadi, keluarga dan kroninya.12

Sependapat dengan Romli Atmasasmita tersebut, Nyoman Serikat Putra

Jayamenjelaskan bahwa harus diakui, dewasa ini Indonesia sesuai dengan hasil

penelitian yang dilakukan oleh Transparancy International dan Political and

Economic Risk Consultancy yang berkedudukan di Hongkong,selalu menempati

kedudukan yang rawan sepanjang menyangkut korupsi. Bahkan, harus diakui

bahwa korupsi di Indonesia sudah bersifat sistemik dan endemik sehingga tidak

hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga melanggar hak-hak sosial dan

ekonomi masyarakat secara luas.13

Lebih lanjut dikatakan oleh Nyoman Serikat Putra Jaya, korupsi di

Indonesia sudah merembes ke segala aspek kehidupan, ke semua sektor dan

segala tingkatan, baik di pusat maupun daerah,penyebabnya adalah korupsi yang

terjadi sejak puluhan tahun yang lalu dibiarkan saja berlangsung tanpa diambil

tindakan yang memadai dari kaca mata hukum.14

SedangkanEvi Hartanti dengan mendasarkan pada Ensiklopedia Indonesia

menegaskan bahwa, korupsi merupakan gejaladi mana para pejabat, badan-badan

Negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan ,

serta ketidakberesan lainnya.15


12
Romli Atmasasmita, Sekitar Masalah Korupsi,Aspek Nasional dan Aspek Internasional,Bandung,
Mandar Maju, 2004, hlm 1
13
Nyoman Serikat Putra Jaya, Beberapa Pemikiran ke Arah Pengembangan Hukum Pidana, Bandung,
Citra Aditya Bakti, 2008, hlm 57
14
Ibid , hlm 57
15
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi,Jakarta, Sinar Grafika, 2005, hlm 8
10

Menurut lembaga survey internasional Political andEconomic Risk

Consultancy yang bermarkas di Hongkong Indonesia merupakannegara terkorup

di Asia. Indonesia terkorup di antara 12 negara di Asia,diikuti India dan Vietnam,

Thailand, Malaysia, dan Cina berada padaposisi keempat. Sementara negara yang

menduduki peringkat terendahtingkat korupsinya adalah Singapura, Jepang,

Hongkong, Taiwan danKorea Selatan. Pencitraan Indonesia sebagai negara paling

korup beradapada nilai 9,25 derajat, sementara India 8,9, Vietman 8,67,

Singapura 0,5dan Jepang 3,5 derajat dengan dimulai dari 0 derajat sampai 10.16

Hasil riset yang dilakukan oleh berbagai lembaga, jugamenunjukkan

bahwa tingkat korupsi di Indonesia yang mayoritaspenduduknya beragama Islam

ini termasuk yang paling tinggi di dunia.Bahkan koran Singapura, The Straits

Times, sekali waktu pernahmenjuluki Indonesia sebagai “ the envelope country “.

Mantan ketuaBappenas, Kwik Kian Gie, menyebut lebih dari Rp.300 triliun dana

daripenggelapan pajak, kebocoran APBN, maupun penggelapan hasil sumberdaya

alam, menguap masuk ke kantong para koruptor.17

Indonesia sebagai salah satu negara terkorup didunia, pejabat dan birokrat

dinegara ini dicap sebagai tukang rampok,pemalak, pemeras, benalu, self seeking,

dan rent seeker, khususnya dihadapan pengusaha baik kecil maupun besar, baik

asing maupun pribumi.Ini berbeda dengan, konon, birokrat Jepang dan Korea

16
Moh Khasan, Reformulasi Teori Hukuman Tindak Pidana Korupsi Menurut HukumPidana Islam,
Semarang : IAIN Walisongo, 2011, hlm. 1
17
Ibid, hlm 3
11

Selatan yangmembantu dan mendorong para pengusaha untuk melebarkan

sayapnya,demi penciptaan lapangan kerja alias pemakmuran warga negara.18

Korupsi semakin menambah kesenjangan akibat memburuknyadistribusi

kekayaan. Bila sekarang kesenjangan kaya dan miskin sudahsedemikian

menganga, maka korupsi makin melebarkan kesenjangan itukarena uang

terdistribusi secara tidak sehat atau dengan kata lain tidakmengikuti kaidah-

kaidah ekonomi sebagaimana mestinya. Koruptor makinkaya, yang miskin

semakin miskin. Akibat lainnya, karena uang seolahmudah diperoleh, sikap

konsumtif menjadi semakin merangsang, tidak adadorongan kepada

polaproduktif, akhirnya timbul inefisiensi dalampemanfaatan sumber daya

ekonomi yang telah tersedia.19

Korupsi juga dituding sebagai penyebab utama keterpurukanbangsa ini.

Akibat perbuatan korup yang dilakukan segelintir orang makakemudian seluruh

bangsa ini harus menanggung akibatnya. Ironisnyakalau dulu korupsi hanya

dilakukan oleh para pejabat dan hanya di tingkatpusat, sekarang hampir semua

orang baik itu pejabat pusat maupun daerah,birokrat, pengusaha, bahkan rakyat

biasa bisa melakukan korupsi. Hal inibisa terjadi barangkali karena dahulu orang

mengganggap bahwa yang bisakorupsi hanya orang-orang orde baru sehingga

mumpung sekarang ordebaru runtuh semua berlomba-lomba untuk ‘meniru’

18
M Ismail Yusanto, Islam dan Jalan Pemberantasan Korupsi, http: / b.domaindlx.com /samil /
2014 / read news. tajuk.
19
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional danInternasional, Jakarta
: PT RajaGrafindo. 2007, hlm. 10
12

perilaku korup yangdilakukan orang-orang Orde Baru. Alasan lain yang hampir

samabarangkali seperti yang dipaparkan oleh Rieke Diyah Pitaloka dalamtesisnya

bahwa kekerasan yang dilakukan masyarakat sipil bukan sesuatuyang otonom,

tetapi ada disposisi antara aktor dan kekerasan itu sendiri.20

Artinya, antara si penguasa dan pelaku kekerasan itu ada timbal

balik,contohnya adalah kasus korupsi. Jadi ada semacam perpindahan

kekerasandari negara kepada masyarakat. Perilaku korupsi yang dilakukan

olehhanya segelintir pejabat negara akhirnya ‘berpindah’ dilakukan

olehmasyarakat biasa. Hal yang lebih berbahaya lagi, korupsi ini tidak hanya

dilakukan oleh perindividu melainkan juga dilakukan secara bersama-samatanpa

rasa malu. Misalnya korupsi yang dilakukan seluruh atausebagian besar anggota

DPR/DPRD. Jadi korupsi dilakukan secaraberjamaah. Yang lebih berbahaya lagi

sebenarnya adalah korupsi sistemikyang telah merambah ke seluruh lapisan

masyarakat dan sistemkemasyarakatan. Dalam segala proses kemasyarakatan,

Korupsi bisaterjadi apabila karena faktor-faktor sebagai berikut:

a. Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi kunci yang

mampu memberikan ilham dan mempengaruhi tingkah laku yang

menjinakkan korupsi.

b. Kelemahan pengajaran-pengajaran agama dan etika.

c. Kolonialisme.

d. Kurangnya pendidikan.
20
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0412/06/metro/1417612.htm
13

e. Kemiskinan.

f. Tiadanya hukuman yang keras.

g. Struktur pemerintahan.21

MenurutRobert KlitgaardKorupsi dapat menimbulkan akibatyang sangat

merugikan rakyat beberapa hal akibatkorupsi di antaranya :22

1. Suap menyebabkan dana untuk pembangunan rumah murah jatuh ke tangan


yang tidak berhak.
2. Komisi untuk para penanggung jawab pengadaan barang dan jasa bagi
pemerintah daerah berarti bahwa kontrak jatuh ke tangan perusahaan yang
tidak memenuhi syarat.
3. Kepolisian sering kali karena telah disuap pura-pura tidak tahu bila ada
tindak pidana yang seharusnya diusutnya.
4. Pegawai pemerintah daerah menggunakan sarana masyarakat untuk
kepentingan pribadi.
5. Untuk mendapatkan surat izin dan lisensi, warga masyarakat harus memberi
uang pelicin kepada petugasbahkan kadang-kadang harus memberi suap agar
surat izin atau lisensi bisa terbit.
6. Dengan memberi suap, warga masyarakat bisa berbuat sekehendak hati
melanggar peraturan keselamatan kerja, peraturan kesehatan, atau peraturan
lainnya sehingga menimbulkan bahaya bagi anggota masyarakat selebihnya.
7. Layanan pemerintah daerah diberikan hanya bila warga telah membayar
sejumlah uang tambahan di luar biaya yang resmi.
8. Keputusan mengenai peruntukan lahan dalam kota sering dipengaruhi oleh
korupsi.
9. Petugas pajak memeras warga, atau lebih bersekongkol dengan wajib
10. pajak, memberikan keringanan pajak pada wajib pajak dengan imbalan suap.
Faktor yang menyebabkan merajalelanya korupsi dinegeri ini menurut

Moh. Mahfud MD adalah adanya kenyataan bahwabirokrasi dan pejabat-pejabat

21
http://www.lawskripsi.com/index.php?optioncomcontent&viewarticle&id96&Itemid96,diakses pada
7 November 2014, Pukul 11.00
22
Robert Klitgaard (alih bahasa oleh Masri Maris), Penuntun Pemberantasan Korupsi
DalamPemerintahan Daerah, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2005: hlm 1-2
14

politik masih banyak didominasi oleh orang-oranglama. Lebih lanjut menurutnya

orang-orang yang pada masa OrdeBaru ikut melakukan korupsi masih banyak

yang aktif di dalam prosespolitik dan pemerintahan. Upaya hukum untuk

membersihkan orang-orangkorup itu juga gagal karena para penegak hukumnya

juga seharusnyaadalah orang-orang yang harus dibersihkan. Faktor lainnya adalah

hukumyang dibuat tidak benar-benar untuk kesejahteraan masyarakat (Rule

ofLaw), tetapi justru hukum dijadikan alat untuk mengabdi kepadakekuasaan atau

kepada orang-orang yang memiliki akses pada kekuasaandan para pemilik modal

(Rule by Law).23

Masyarakat kecil tidak bisa merasakan keadilan hukum. Hukum

menampakkan ketegasannya hanya terhadap orang-orang kecil,lemah, dan tidak

punya akses, sementara jika berhadapan dengan orangorang‘kuat’, yang memiliki

akses kekuasaan, memiliki modal, hukummenjadi lunak dan bersahabat, sehingga

sering terdengar ucapan, seorangpencuri ayam ditangkap, disiksa dan akhirnya

dihukum penjara sementarapara pejabat korup yang berdasi tidak tersentuh oleh

hukum (untouchable). Namun demikian sebenarnya usaha-usaha pemberantasan

korupsi diIndonesia sudah banyak dilakukan, tetapi hasilnya kurang begitu

nampak.Walaupun begitu tidak boleh ada kata menyerah untuk

memberantaspenyakit ini.24

23
Moh. Mahfud MD, Setahun Bersama Gus Dur Kenangan Menjadi Menteri di Saat Sulit,Jakarta :
Murai Kencana, 2010, hlm. 167
24
.http://www.lawskripsi.com/index.php?option=com_content&view=article&id=96&Itemid=96,
diakses pada 7 November 2014, Pukul 11.00.
15

Di tengah upaya pembangunan nasional di berbagai bidang,aspirasi

masyarakat untuk memberantas korupsi dan bentuk penyimpanganlainnya

semakin meningkat, karena dalam kenyataan adanya perbuatankorupsi telah

menimbulkan kerugian Negara yang sangat besar yang padagilirannya dapat

berdampak pada timbulnya krisis di berbagai bidang.Untuk itu, upaya pencegahan

dan pemberantasan korupsi perlu semakinditingkatkan dan diintensifkan.25

Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akanmembawa

bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasionaltetapi juga pada

kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya.Tindak pidana korupsi yang

meluas dan sistematis juga merupakanpelanggaran terhadap hak-hak sosial dan

hak-hak ekonomi masyarakat,dan karena itu, tindak pidana korupsi tidak lagi

dapat digolongkan sebagaikejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu

kejahatan luar biasa. Begitupun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat

dilakukan secarabiasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa.26

Kondisi ini tampaknya sangat sesuai dengan semangat pembentuk

undang-undang, yaitu melalui kebijakan legislatif dengan menetapkan undang-

undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana yang telah diperbaharui dengan

undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak pidana

Korupsi yang di dalamnya mencantumkan sifat melawan hukum secara materiel.

Hal ini sebagaimana dirumuskan dalam penjelasan umum yang menegaskan

25
Asmawi, Teori Maslahat dan Relevansinya dengan Perundang-Undangan PidanaKhusus di
Indonesia, Badan LITBANG dan Diklat Kemenag RI, 2010, hlm. 97-98
26
Ibid hlm 101
16

bahwa, agar dapat menjangkau berbagai modus operandipenyimpangan keuangan

negara atau perekonomian negara yang semakin canggih dan rumit, maka tindak

pidana yang diatur dalam undang-undang ini dirumuskan sedemikian rupa

sehingga meliputi perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain

atau suatu korporasi secara “melawan hukum” dalam pengertian formil dan

materil. Dengan perumusan tersebut, pengertian melawan hukum dalam tindak

pidana korupsi dapat pula mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang

menurutperasaan keadilan masyarakat harus dituntut.

Selain mendasarkan pada sifat melawan hukum materiel, undang-undang

Nomor 31tahun 1999 sebagaimana yang telah diperbaharui dengan Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi, juga

merumuskan suatu perbuatan korupsi sebagai delik Formil, yaitu delik yang

perumusannya dititikberatkan kepada perbuatan yang dilarang.

Perumusan delik formil tersebut terlihat pada kata “dapat” sebelum frase

merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, hal ini menunjukkan

bahwa adanya tindak pidana korupsi cukup dengan terpenuhinya unsur-unsur

perbuatan yang dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat. Jadi korupsi tidak

selalu menunggu adanya akibat asal ada potensi negara dirugikan atasperbuatan

yang melawan hukum, sudah dapat dikatakan adanya tindak pidana

korupsi.Penegasan delik formil tersebut juga tercermin dalam Pasal 4, yang

menegaskan pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara


17

tidak menghapuskan dipidananya pelaku pidana sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 2 dan Pasal 3.

Kesadaran akan pentingnya penetapan sifat melawan hukum materiel

tersebutharus kandas melalui putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

003/PUU/2006, yang menyatakan bahwa sifat melawan hukum materiel

bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia 1945, sehingga sifat melawan hukum materiel dianggap tidak

mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

Di samping persoalan mengenai putusan Mahkamah Konstitusi tersebut,

rumusan mengenai tindak pidana korupsi juga masih bersifat parsial dan tersebar

di beberapa undang-undang, sementara pemberatan sanksi seperti hukuman mati

hanya ditujukan pada keadaan tertentu.27

Tindak pidana korupsi dalam hukum pidana islam dikategorikan sebagai

jarimah hudud ada enam jenis jarimah hudud yaitu: zina, qodhaf, (meneudh zina),

sahriqoh (pencurian), hirabah (perampokan) sudah dijelaskan detail dalam nas al-

qur’an sehingga perbuatan diatas tidak menimbulkan penanfsiran yang berbeda-

beda dengan hukum pidana islam. Sedangkan tindak pidana korupsi dalam nas

tidak diatur secara jelas dalam hukum pidana islam karena tindak pidana korupsi

termasuk perbuatan maksiat. Larangan memakan harta orang lain secara batil baik
27
Lihat penjelasan Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001
TentangPemberantasanTindak Pidana Korupsi, dalampenjelasan tersebut ditegaskan bahwa
dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut
dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana
alam nasional , penanggulangan akibat kerusuhan socsal yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi
dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.
18

penyelenggara negara, maupun masyarakat, karena akibat negatif yang

ditimbulkan dari korupsi dapat merusak tatanan kehidupan masyarakat, bangsa

dan negara secara umum antara lain adalah:28

1. korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan

keuangan negara tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak

sosial dan ekonomi masyarakat.

2. Korupsi memantapkan dan memperbasar masalah-masalah yaung

menyangkut kurangnya hasrat untuk terjun di bidang usaha dan

mengenai kurang tumbuhnya pasaran nasional.

3. Korupsi mempertajam permasalahan masyarakat plural sedang

bersamaan dengan itu kesatuan negara menjadi lemah juga karena

turunnya martabat pemerintah, tendensi-tendensi itu membahayakan

stabilitas politik.

4. Korupsi mengakibatkan turunnya disiplin sosial. Uang suap itu tidak

hanya memperlancar prosedur administrasi, tetapi biasanya juga

berakibat adanya kesengajaan untuk memperlambatproses

administrasi, agar dapat menerima uang suap. Disamping itu

pelaksanaan rencana pembangunan yang sudah diputuskan, dipersulit

atau diperlambat dalam firmanNya QS. Al-Baqarah ayat 188 yang

artinya:

Hafinuddin, Didin KKN dan Solusinya Menurut Islam, Sabili. No02. TH.X, 8 Agustus 2002 hlm 23
28
19

“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain


diantara kamu dengan jalan yang batil dan janganlah kamu membawa urusan
harta itu kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta
benda orang lain itu dengan jalan berbuat dosa padahal kamu mengetahui.
juga diperkuat oleh hadist Nabi yang artinya: Dari Abdillah bin Umar
berkata bahwa rasulullah SAW, melaknat orang yang menyuap dan menerima
suap (HR. Abu Dawud).29
Kata suap dalam bahasa arab disebut risywah yang artinya segala sesuatu

yang diberikan seseorang kepada orang lain yang mempunyai jabatan tertentu

untuk membatalkan atau memperoleh sesuatu hak dengan jalan yang tidak benar.

Dengan demikian jika seseoarang mengambil harta orang lain dengan cara yang

batil atau yang bukan haknya sehingga merugikan orang lain, islam melindungi

hak milik individu dan tidak menghalalkan perampasan harta milik orang lain

separti mengambil sesuatu diluar gaji.

Menyuap dengan tujuan untuk memperoleh keadilan padahal ia tidak

dipihak yang benar dengan kata lain, bahwa yang disuap adalah hakim barada

dipihak yang salah. Penulis ketahui sudah menjadi kewajiban seorang hakim

ataupun lembaga yudikatif untuk memutuskan perkara dengan seadil-adilnya.

Maka jika memungut suap dari pencari keadilan maka ia telah melanggar sumpah

jabatan. Begitu juga menyuap dengan tujuan meraih jabatan atau pekerjaan berarti

menghianati Allah. Sebab, yang menerima suap tersebut telah menyerahkan

jabatan kepadanya yang semestinya yang ia tidak berhak menduduki jabatan,

sebagaimana ditegaskan oleh Hadist yang artinya:


Abu Dawud, Sunan Abu Dawud Juz III, Maktabah Dahlan, hkm 305
29
20

Dari Adzi bin Imrah Al-Kindya bahwa Rosulallah SAW bersabda: hai
manusia, barang siapa yang telah kupekerjakan lalu ku upah dengan sesuatu gaji
lalu yang diambilnya diluar gaji, maka itu merupakan penipuan yang akan datang
di balas pada hari kiamat.30
Hadist di atas menunjukkan bahwa orang yang mengambil sesuatu diluar

gaji adalah penipuan, atau korupsi. Jadi perbuatan tersebut telah

menyalahgunakan kewenangan, jabatan untuk mencari keuntungan pribadi

maupun golongan, maka telah melanggar amanah yang dibebankan kepada

dirinya sebagaimnana ditetagaskan oleh firman Allah QS. Ali Imron ayat 161

yang artinya:

“Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan


perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikianatkan
itu kemudian dari tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan
dengan (pembalasan) setimpal sedang mereka tidak dianiaya.”
Seorang yang mengambil sesuatu diluar gaji padahal pekerjaanya sudah

menjadi kewajiban, maka harta benda yang diterimanya adalah risywah (suap).

Begitu juga dengan orang yang mempunyai jabatan maupun kekuasaan seperti,

penyelenggara negara (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) hendaknya tidak mudah

menerima hadiah, hal ini untuk menjaga hal-hal yang tidak baik dampaknya.

Apalagi menerima hadiah dari orang yang semula belum perbah memberi hadiah

ketika ia belum memangku jabatannya. Alasannya, hal tersebut dapat diduga

mempunyai maksud. tertentu. Tidak dapt disangkal bahwa ia bermaksud

30
Mualim, Amir dan Yusdaniianatan, konfigurasi pemikiran hukum islam, yogyakarta, UII, Pers, 1999
hlm 46
21

mendapatkan sesuatu yang diinginkan baik pekerjaan, perlindungan, pertolongan

maupun dukungan. Kalau sudah demikian bentuknya, maka itu bukan hadiah lagi

sebagaimana telah disebutkan dalam pengertian korupsi, menurut Undang-undang

No 31 Tahun 1999 jo Undang-undang No. 20 Tahun 2001. Melainkan sudah

merupakan bentuk suap. Perbuatan di atas adalah salah satu bentuk korupsi. Dan

dalam hukum pidana islam merupakan penghianatan, penipuan dan kecurangan.

Belum adanya ketegasan dan politicalwill pemerintah terhadappenuntasan

kasus korupsi secara serius mengindikasikan masih banyaknyarintangan dan duri

yang harus disingkirkan. Tentu saja kemungkinan alasan yang melatarbelakangi

kondisi di atas bermacam-macam. Di antaranyaadalah belum ditemukannya

formulasi hukum yang tepat bagi pelakukorupsi sehingga secara fungsional

memiliki tingkat efektivitas yangtinggi dalam menghukum para koruptor serta

menyadarkan masyarakatuntuk tidak melakukan tindak kejahatan korupsi.

Perangkat dan sistemhukum yang belum berfungsi optimal menjadi akar masalah

di sisi lain.31

Sebenarnya peraturan perundang-undangan untuk memberantas korupsi di

Indonesia, sudah ada sejak zaman Belanda (dalam KUHP/WS). Dalam

pekembangannya setelah Indonesia merdeka, keluar peraturan penguasa militer

No. PRT/PM/06/1957, peraturan penguasa perang pusat angkatan darat No. PRT/

PEPERPU/013/1958, UU No. 24/prp/1960, UU no. 3/1971 yang kemudian

31
Moh Khasan, Reformulasi Teori Hukuman Tindak Pidana Korupsi Menurut HukumPidana Islam,
hlm 5
22

diganti dengan UU No. 31/1999 jo. UU No.20/2001. Dilihat dari sejarah

perkembangan peraturan perundang-undangan untuk memberantas korupsi di

Indonesia itu, awalnya tidak ada pidana mati untuk korptor. Pidana mati untuk

koruptor baru dimunculkan pada tahun 1999 melalui UU No. 31/1999 untuk

menampung aspirasi dan tuntutan masyarakat yang sangat kuat di era reformasi

mengingat semakin maraknya korupsi di Indonesia. 32 Dalam “penjelasan

umum”UU No. 31/1999 dinyatakan, bahwa ancaman pidana mati itu diadakan

“dalam rangka mencapai tujuan yang lebih efektif untuk mencegah dan

memberantas tindak pidana korupsi ”

Pidana mati pun menjadi salah satu harapan yang muncul dimasyarakat

untuk mengatasi masalah korupsi. Munculnya wacanapidana mati bagi para

koruptor tidak terlepas dari tingkat korupsiyang dilakukan oleh para pejabat

negara. Dari kasus Bank Century, WismaAtlet, sampai kasus Pajak yang

dikorupsi, hal ini menyebabkan kerugiannegara yang tidak sedikit jumlahnya.

Maka untuk memberikan efek jera kepada para koruptor maka hukuman pidana

mati dianggap sebagai salahsatu solusi yang cocok utuk memberikan efek jera

bagi koruptor.

Faktanya, pada bulan Februari lalu, Mahkamah Agung

(MA)mengeluarkan data tentang hukuman bagi koruptor selama tahun 2010.Dari

banyaknya koruptor yang divonis, mayoritas hanya divonis 1 hingga2 tahun

32
Barda Nawawi Arif, Pidana mati pespektif global, pembaharuan hukum pidana dan alternative
pidana unutk koruptor, Pustaka magister, semarang 2012 hlm 46
23

penjara. Dari data laporan tahun 2010, MA menyebutkan sebanyak442 kasus

korupsi telah diputus. Dari 90,27 persen koruptor yang divonisbersalah, tercatat

269 perkara atau 60,68 persen yang terdakwanya divonisantara 1 hingga 2 tahun

penjara. Bahkan, MA juga memvonis kasuskorupsi dengan vonis di bawah 1

tahun sebanyak 28 perkara atau 6,33persen. Tercatat ada 43 perkara atau 9,73

persen perkara korupsi yangterdakwanya dibebaskan. Dan kasus vonis hakim

yang terbaru pada tahun2011, hanya 1 atau 2 tahun saja dan denda 100-an juta

terhadap polisi yangterlibat kasus suap cek pelawat.33

Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi diberiruang tentang pidana mati.

Yaitu, Pasal 2 Ayat (2) Undang-UndangNomor 31 Tahun 1999 jo. 20 Tahun 2001

tentang Pemberantasan TindakPidana Korupsi menyebutkan Dalam hal tindak

pidana korupsisebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan

tertentu,pidana mati dapat dijatuhkan. Yang dimaksud dengan keadaan

tertentuadalah apabila tindak pidana korupsi itu dilakukan bila keadaan

negaradalam bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu

terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi,atau

pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.34

Moh Khasan, Reformulasi Teori Hukuman Tindak Pidana Korupsi Menurut HukumPidana Islam
33

34
Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor.20 Tahun
2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
24

Persoalannya, para hakim menilai ‘kondisi tertentu’ itu belummemenuhi

syarat. Karena persepsi demikian, pikiran tentang pidanamati malah dianggap

lelucon.35

Pidana mati merupakan masalah pro-kontra yang sudah lama

diperdebatkan, baik dalam forum nasional maupun internasioanl . dipilihnya

pidana mati sebagai salah satu sarana kebijakan criminal (kebijakan

penanggulangan kejahatan), khususnya dalam menanggulangi korupsi di

Indonesia melalui UU No. 31/1999, merupakan hal yang wajar. Alasan yang

dapat dikemukakan adalah dilihat dari sudut kebijakan hukum pidana (penal

policy) digunakan dan dipilihnya suatu jenis sanksi pidana (termasuk pidana mati)

daloam kebijakan hukum pidana (penal policy), pada dasarnya merupakan bagian

dari kebijakan criminal (criminal policy) dan kebijakan social (social policy) yaitu

kebijakan untuk mencapai kesejahteraan dan perlindungan masyrakat.36

Mayoritas penduduk Indonesia adalahMuslim penting dan logis kiranya

untuk meneliti postulat hukum Islamkaitannya dengan korupsi dan bagaimana

perspektif dan kontribusinyaterutama terhadap kasus korupsi yang ada di

Indonesia. Penulis sendiriberkeyakinan bahwa Islam datang untuk membebaskan

dan memerangisistem ketidakadilan bukan malah untuk melegalkan praktik-

praktik yangmelahirkan eksploitasi dan ketidakadilan. Tindak pidana korupsi

tentu termasuk hal yang harus diperangi Islam karena dapat menimbulkanmasalah
35
http://wwwyasirsfarel.blogspot.com/2010/12/pandangan-islam-terhadap-korupsi.html.diakses pada
7November 2014, Pukul 11.29
36
Barda Nawawi Arif, Pidana mati pespektif global, pembaharuan hukum pidana dan alternative
pidana unutk koruptor, hlm 47
25

besar. Dengan kata lain, Islam harus ikut pula bertanggungjawabmemikirkan dan

memberikan solusi terhadap prilaku korupsi yang sudahmenjadi epidemis ini.

Tentunya Islam tidak bisa berbicara sendiri, harusada usaha-usaha untuk

menyuarakan konsep-konsep Islam, salah satunyadengan membongkar dogma

hukum Islam.

Berpijak dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas,maka

penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut yang tertuang dalamjudul

“KONTRIBUSI KEBIJAKAN SANKSI PIDANA MATI DALAM HUKUM

PIDANA ISLAM SEBAGAI UPAYA PENANGGULANGAN TINDAK

PIDANA KORUPSI DI INDONESIA’’.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka

dapatdikemukakan permasalahannya sebagai berikut :

1. Bagaimana kebijakan sanksi pidana mati menurut undang-undang tindak

pidana korupsi saat ini sebagai upaya penanggulangan tindak pidana korupsi di

Indonesia?

2. Bagaimana kontribusi kebijakan sanksi pidana mati dalam hukum pidana islam

sebagai upaya penanggulangan tindak pidana korupsi di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian pada latar belakang penelitian di atas, makasebagai

tujuan dilakukan penelitian ini adalah :


26

1. Mengetahui dan Menganalisa kebijakan formulasi pidana mati terhadap

pelaku tindak pidana korupsi saat ini.

2. Untuk mengetahui dan menganalisa mengenai kebijakan formulasi pidana

mati dalam rangka penanggulangan tindak pidanakorupsi di masa yang akan

datang.

D. Manfaat Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang menjadi fokus kajian penelitian inidan

tujuan yang ingin dicapai maka, diharapkan penelitian ini dapatmemberikan

manfaat sebagai berikut :

1. Manfaat Praktis.

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi dan

sumbanganpemikiranatau bahan pertimbangan bagi legislatif dalam

merumuskan hukumpidana dalam rangka penanggulangan tindak pidana

korupsi.

2. Manfaat Teoritis

Memberikan sumbangan pemikiran berupa konsep, metode atauteoridalam

studi ilmu hukum, khususnya yang menyangkut penegakanhukum pidana

terutama yang berkaitan dengan kebijakan legislatifdalam merumuskan pidana

mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi.

E. Kerangka Pemikiran.
27

Pentingnya sebuah kebijakan formulasi guna penanggulangan

tindakpidana korupsi di Indonesia juga diakui oleh Komisi

PemberantasanKorupsi, dengan menegaskan bahwa anti korupsi merupakan

kebijakanuntuk mencegah dan menghilangkan peluang bagi berkembangnya

korupsi.Lebih lanjut dikatakanbahwa, salah satu langkah penanggulangan

korupsiadalah memperbaiki peraturan perundangan yang berlaku,

untukmengantisipasi perkembangan korupsi danmenutup celah pasal-pasal

karetyang sering digunakan koruptor melepaskan diridari jerat hukum.37

Mengenai kebijakan formulasi dalam penanggulangan kejahatan(termasuk

tindak pidana korupsi) menurut Barda Nawawi Arief bahwa,dilihat dari sudut

pendekatan kebijakan, maka pembaharuan hukum pidanamemiliki makna :

a. Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum pidana

padahakikatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi

masalahmasalah sosial, dalam rangka mencapai/menunjang tujuan nasional

(kesejahteraan masyarakat dan sebagainya).

b. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan hukum pidana pada

hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat

(khususnya upaya penanggulangan kejahatan).

c. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan hukum

pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya memperbaharui

37
Arya Maheka, Mengenali dan Memberantas Korupsi, Jakarta, KPK Republik Indonesia,2001
hlm.31
28

substansi hukum (legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan

penegakan hukum.38

Namun demikian dalam tulisan ini yang akan dijadikan penekananadalah

aspek substansinya yaitu perundangan-undangan yang berkaitandengan tindak

pidana korupsi. Menurut Barda Nawawi Arief,usahapenanggulangan dengan

hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagiandari usaha penegakan hukum

(khususnya penegakan hukum pidana). Olehkarena itu sering pula dikatakan

bahwa politik hukum atau kebijakan hukumpidana merupakan bagian dari

kebijakan penegakan hukum (lawenforcement policy).39

Secara sistem kebijakan hukum pidana dari aspekformulasi merupakan

tahap yang strategis. Hal ini sebagaimana dikatakanoleh Barda Nawawi Arief,

proses legislasi/formulasi/pembuatan peraturanperundang-undangan pada

hakikatnya merupakan proses penegakan hukum“in abstracto”. Proses legislasi

/formulasi ini merupakan tahap awal yangsangat strategis dari proses penegakan

hukum”in concreto”. Oleh karena itukesalahan/kelemahan pada tahap

kebijakanlegislasi/formulasi merupakankesalahan strategis yang dapat menjadi

penghambat upaya penegakanhukum “in concreto”.40

Dalam rangka penegakan hukum dan untuk

menghindarikelemahan/kesalahan strategis tadi, yang juga dipicu oleh banyaknya


38
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan
PidanaPenjara, Semarang, Badan Penerbit Undip, 2000, hlm 17
39
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum Pidana dalam PenanggulanganKejahatan,
Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008, hlm 23
40
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PerkembanganPenyusunan
Konsep KUHP Baru, Jakarta, Kencana, 2008, hlm 24
29

produklegislatif yang lemah maka diperlukan pemikiran-pemikiran Pendidikan

TinggiHukum untuk ikut membenahi dan memikirkan bagaimana

meningkatkankualitas pembuatan peraturan perundang-undangan itu. Yang semua

ituditujukan untuk peningkatan kualitas penegakan hukum khususnya

mengenaipenanggulangan tindak pidana korupsi.

Penyusunan suatu undang-undang atau formulasi juga merupakanbagian

dari upaya menegakkan konsep yang mengandung nilai-nilai keadilan,kepastian

dan kemanfaatan. Menurut Satjipto Rahardjo, pada hakikatnya hukum

mengandung ide atau konsep-konsep yang dapat digolongkan sebagai suatu yang

abstrak, termasuk ide tentang keadilan, kepastian dan kemanfaatan sosial, apabila

berbicara tentang penegakan hukum, maka pada hakikatnya berbicara tentang

penegakan tentang ide-ide serta konsep-konsep yang nota bene adalah abstrak

tersebut.41

Penegakan hukum itu sendiri menurut Nyoman Serikat Putra Jayadapat

diartikan sebagai “perhatian dan penggarapan”, baik perbuatan- perbuatan

melawan hukum yang sungguh-sungguh terjadi (onrecht in actu)maupun

perbuatan melawan hukum yang mungkin akan terjadi (onrecht inpotentie).

Dengan demikian, di sini penegakan hukum tidak hanya diartikansebagai

penerapan hukum positif, tetapi juga penciptaan hukum positif.42

41
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Yogyakarta, GentaPublishing,
2009, hlm 12
42
Nyoman Serikat Putra Jaya, Beberapa Pemikiran ke Arah Pengembangan Hukum Pidana,Bandung,
Citra Aditya Bakti, 2008, hlm52
30

Penciptaan hukum positif yang merupakan arti dari penegakan

hukumsebagaimana yang dikonsepsikan oleh Nyoman Serikat Putra

Jayatersebut,menunjukkan bahwa suatu pembaharuan hukum berpijak pada

iusconstitutum menuju ius constituendum. Hal ini berarti juga bahwa

kebijakanhukum pidana atau penal policy merupakan bagian dari kebijakan

penegakanhukum pidana. Dalam melakukan pembaharuan tersebut, tentu harus

dilihatmasalah pokok hukum pidana yaitu “tindak pidana”

(strafbaarfeit/criminalact/actus reus), “kesalahan” (schuld/guit/mens rea), dan

“pidana”(straf/punishment/poena).43

HukumPidana Islam merupakan bagian integral Syari’ah Islamdan

memiliki peran signifikan. Namun demikian kompetensi dasar yangdimiliki

Hukum Pidana Islam tidak banyak dipahami secara benar danmendalam oleh

masyatakat, bahkan oleh kalangan ahli hukum itu sendiri,sebagian besar kalangan

beranggapan, tidak kurang diantaranya kalanganMuslim, menancapkan kesan

kejam, Incompatible dan out of date dalamkonsep hukum pidana yang dimiliki

Hukum Pidana Islam. Ketakutan inisemakin jelas apabila mereka membincangkan

hukum potong tangan,rajam, salib dan beragam konsep uqubat.

Ketika berbicara tentang hukuman, hukum Islam mendasarkan rumusan

tindak pidana pada dua aspek dasar, yaitu ganti rugi/balasan(retribution) dan

penjeraan (deterence). Fungsi retributif suatu hukumanmerupakan subyek yang

43
Barda Nawawi Arief, Tujuan dan Pedoman pemidanaan, Semarang, Bandan PenerbitUndip 2009,
hlm 5
31

paling banyak diperbincangkan oleh para ahliHukum Pidana Islam, di samping

fungsi penjeraan. Hal ini nampaknyadipengaruhi oleh ayat-ayat Al-Qur’an yang

banyak membahas tentangaspek retributive ini. Dalam beberapa ayat secara jelas

dinyatakan bahwapemberian hukuman terhadap pelaku kriminal sesungguhnya

adalahsebagai balasan/ganti rugi atas perbuatan mereka.44 Menurut teori

retributive ini alasan rasional ditegakkannya hukuman setidaknyadidasarkan pada

dua hal secara inheren yang mendasari, (1) kekerasansuatu hukuman, (2)

keharusan hukuman itu diberikan kepada pelakutindak kriminal.

Fungsi kedua sebuah hukuman adalah penjeraan(deterence).Sebagaimana

dikemukakan Blanshard, sebagaimana dikutip oleh el-Awa,bahwa “apapun

bentuknya, hukuman secara umum diharapkan menjadipenjera dari sebuah

tindakan kriminal, penjeraan ini menjadi alasanrasional dijatuhkannya suatu

hukuman. Tujuan utamanya adalah mencegahterulangnya perbuatan pidana

tersebut di kemudian hari. Berbeda denganretribusi yang cenderung melihat ke

belakang, teori penjeraan inidiproyeksikan ke depan yakni pentingnya sebuah

tindakan pencegahanagar kejahatan serupa tidak terjadi lagi. Ada dua tujuan yang

mendasaripemberlakuan prinsip penjeraan ini, yaitu tujuan internal dan

general.Secara internal, penjeraan diproyeksikan bagi si pelaku agar menjadi

jera(kapok) untuk mengulangi perbuatannya. Sedangkan secara

44
Drs. H. Ahmad wardi muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fiqih Jinayah,
SinarGrafika, Cet II, 2006, Jakarta.hlm 106
32

generaldiproyeksikan kepada masyarakat secara umum supaya takut

melakukantindak kriminal secara umum.45

Hukum Pidana Islam ternyata juga sangat kuat mengadopsi teoripenjeraan

ini dibanding sistem yang lain. Islam memandang aspekpenjeraan merupakan

unsur yang paling utama dalam pemidanaan. Pandangan seperti ini dapat dilihat

pada pendapat para ulama terkaitdengan tujuan pemidanaan. Misalnya seperti

yang dinyatakan oleh Al-Maududi ketika mendefinisikan hudud sebagai hukuman

penjeraan yangdiciptakan oleh Tuhan untuk mencegah manusia melakukan

pelanggaranterhadap apa yang dilarangnya dan mengesampingkan apa

yangdiperintah-Nya.46Beberapa kalangan berpendapat bahwa teori penjeraanini

masih cukup layak untuk dipertahankan, selain karena kesesuaiandengan

semangat Al-Qur’an, juga didasarkan pada fakta empirik terkaitdengan efektivitas

teori ini di lapangan sebagaimana yang dipraktekkan diArab Saudi. Adanya klaim

penurunan signifikan tindak kriminal pascapemberlakuan hukum pidana Islam

sejak dekade delapan puluhanmemperkuat keyakinan ini.

Implementasi atas respons terhadap dua mazhab di atas dapat

diilustrasikan melalui pemikiran Muhammad Syahrur, seorang intelektualdari

Syria, menyatakan bahwa hukuman potong tangan bagi pencuriadalah hukuman

maksimal (al-hadd al-a’la). Artinya, hukuman tersebutboleh diganti hanya

dengan hukuman yang lebih rendah. Namun jikaternyata kejahatannya lebih

Ali bin Muhammad bin Habib Mawardi, al Ahkam al-Sulthaniyah, hlm. 221
45

Ibid hlm. 226


46
33

tinggi dari kasus pencurian, maka hukumanyang diterapkan adalah delik Hirabah.

Hal ini menegaskan bahwa terhadaptindak pidana korupsi, diantara para ulama

masih belum dapatmerumuskan secara definitif format hukuman bagaimanakah

yang palingtepat diterapkan.47

Upaya penanggulangan tindak pidana korupsi, khususnya pada

aspeksubstansi merupakan langkah yang sangat penting dan strategis, ini

berartipenanggulangan tindak pidana korupsi harus dimulai dari kebijakan

formulasiguna melakukan pembaharuan hukum pidana. Upaya ini juga sangat

diperlukan guna mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia yakni melindungi

segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia sehingga tercapai kesejahteraan

rakyat. Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah menurut M. Solly

Lubisberarti, melindungi dengan alat-alat hukum dan alat kekuasaan yang ada,

sehingga di negara ini terdapat orde atau tata tertib yang menjamin kesejahteraan

moril dan materiil, fisik dan mental, melalui hukum yang berlaku.48

F. Metode Penelitian
Permaslaahan utama dalam penelitian ini difokuskan pada kebijakan

formulatif, khususnya yang menyangkut kebijakan formulasi pidana mti terhadap

pelaku tindak pidana korupsi. Pendekatan terhadap masalah ini tidak dapat

terlepas dari pendekatan yang berorentasi pada kebijakan. Pendekatan kebijakan

47
Muhammad Syahrur, Limitasi Hukum Pidana Islam, Cet, I, 2008, Walisongo Pres, Semarang, hlm
36
48
M. Solly Lubis, Pembahasan UUD 45, Bandung, Alumni, 1985, hlm 24
34

mencakup pengertian yang saling tali-menali antara pendekatan yang berorentasi

pada tujuan, pendekatan yuang rasional, pendekatan ekonomis dan pragmatis

serta pendekatan yang berorentasi pada nilai.49

Penelitian ini difokuskan pada substansi hukum yang berkaitan dengan

pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi di masa yang akan datang (Ius

Constituendum)

Dalam hal ini dibutuhkan data yang akurat, baik melalui data primer,

maupun data sekunder. Data tersebut diperoleh melalui penelitian. Adapun yang

dimaksud dengan penelitian adalah merupakian suatu sarana pokok dalam

pengembangan illmu pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan oleh

karena penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis,

metodologis, dan konsisten.50 Metodologis berarti sesuai dengan metode atau

caratertentu, sistematis adalah berdasarkan suatu system, sedangkan konsisten

berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu.

a. Metode Pendekatan

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, yaitu dengan

mengkaji/menganalisis data sekunder yang berupa bahan-bahan hukum terutama

bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memahami hukum

sebagai seperangkat peraturan atau norma-norma positif di dalam sistem


49
Barda Nawawi Arif, kebijakan legistlatif dalam penanggulangan kejahatan dengan pidana penjara,
Op Cit, hlm 61
50
Soerjono Soekanto, dan Sri Mamuji, penelitian hukum normative sautu tinjauan singkat, Jakarta,
Raja grfindo Persada, 2011, hlm 1
35

perundang-undangan yang mengatur mengenai kehidupan manusia. Selain itu

digunakan kajian yuridis komparatif yaitu dengan melakukan kajian

perbandingan. Pendekatan yuridis normatif digunakan untuk mengetahui sejauh

mana asas-asas hukum, sinkronisasi vertikal atau horizontal dan sistematika

hukum yang diterapkan, guna menemukan konsistensi suatu peraturan atau norma

hukum di masyarakat.51

b. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitis yang

merupakan penelitian untuk menggambarkan dan menganalisa masalah yang ada

dan termasuk dalam jenis penelitian kepustakaan (library research) yang akan

disajikan secara deskriptif. Tipe penelitian ini memberikan data tentang suatu

gejala atau fenomena, supaya dapat membantu dalam memperkuat teori-teori

yang sudah ada, atau merumuskan teori baru.52

c. Jenis Data

Penelitian ini termasuk penelitian hukum normatif maka jenis data yang

akan digunakan adalah data sukunder karena menitikberatkan pada studi

kepustakaan, sehingga data sekunder atau data pustaka lebih diutamakan dari

pada data primer. Data Sekunder dapat dibedakan menjadi bahan hukum primer

51
Soetandyo Wigjosoebroto, Hukum: Paradigma, Metode Dan Dinamika Masalahnya, Jakarta:
ELSAM HUMA, 2002, hal. 146.
52
Surjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia (UI Perss), 2005,
hal.10.
36

bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Dalam metode riset data

sekunder yang berupa bahan pustaka memiliki ciri-ciri umum sebagai berikut :53

a. Data sekunder pada umumnya ada dalam keadaan siap ( ready made).

b. Bentuk maupun data sekunder dapat diperoleh tanpa terikat atau dibatasi

oleh waktu dan tempat.

Dalam penelitian ini yang dimaksud data sekunder meliputi :

a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat yang terdiri dari

peraturan perundangan hukum pidana positif di Indonesia yaitu KUHP,

KUHAP, undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo undang-undang No. 20

tahun 2001 pemberantasan tindak pidana korupsi, undang-undang dasar

1945.

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang erat hubungannya

dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis serta

memahami bahan hukum primer, misalnya hasil-hasil penelitian para ahli

terkait, karya para pakar hukum (berbagai peraturan perundangan yang

diperoleh dari berbagai negara sebagai pembandingan yang erat kaitannya

dengan penelitian ini, buku-buku yang relevan ), hasil pertemuan ilmiah

( seminar, simposium, diskusi ).

53
Surjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta:
Rajawali, 1985, Hal 39.
37

Bahan hukum tersier yang akan memberikan petunjuk informasi /

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum,

indeks dan lain-lain.

d. Metode Pengumpulan Data

Mengingat penelitian ini memusatkan perhatian pada datasekunder, maka

pengumpulan data ditempuh dengan melakukanpenelitian kepustakaan dan studi

dokumen. Di dalam pengumpulandata, sebanyak mungkin data yang diperoleh

dikumpulkan dan diusahakan mengenai masalah-masalah yang berhubungan

denganpenelitian ini.

Data atau sumber sekunder berupa Undang-Undang tentangTindak Pidana

Korupsi dan yang berkaitan dengan korupsi,Rancangan (Konsep) KUHP, sumber-

sumber hukum danperundang-undangannegara lain mengenai perumusan tindak

pidanakorupsi,hasil-hasil penelitian dan kegiatan ilmiah lainnya baik nasional

maupuninternasional, pendapat para ahli dan ensiklopedi.

e. Metode Analisa Data

Data dianalisis secara normatif-kualitatif dengan jalan menafsirkan dan

mengkonstruksikan pernyataan yang terdapat dalam dokumen dan perundang-

undangan. Dimana analisis ini dilakukan terhadap bahan hukum prirmer,

sekunder, dan tersier, yang meliputi asas-asas hukum, kaidah-kaidah hukum,

dan peraturan yang berlaku dan berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana

anak. Normatif karena penelitian ini bertitik tolak dari peraturan-peraturan

yang ada sebagai norma hukum positif, sedangkan kualitatif berarti analisis
38

data yang bertitik tolak pada usaha-usaha penemuan asas-asas dan informasi-

informasi.

G. Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Perumusan Masalah

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

D. Manfaat Penelitian

E. Kerangka Pemikiran

F. Metode Penelitian

1. Metode Pendekatan

2. Spesifikasi Penelitian

3. Jenis Data

4. Metode Pengumpulan Data

G. Sitematika Penulisan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kebijakan Sanksi Pidana Mati

Menurut Hukum Pidana Positif

1. Pengertian kebijakan Hukum Pidana

2. Kebijakan Sanksi Pidana Mati

B. Kebijakan Sanksi Pidana Mati

Menurut Hukum Pidana Islam


39

a. Ta’zir

b. Bentuk - Bentuk Ta’zir

c. Ketentuan Batas Maksimal Ta’zir

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Kebijakan Formulasi Pidana Mati

Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Saat Ini

B. Kontribusi Kebijakan Sanksi Pidana Mati

Dalam Hukum Pidana Islam Sebagai Upaya Penanggulangan

Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia

1. Tindak Pidana Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam

2. Kebijakan Dari Segi Dasar Hukum

a. Sumber Dari Al-qur’an

b. Sumber Dari hadist

c. Sumber Dari Pendapat Para Ulama

3. Kontribusi Kebijakan Sanksi Pidana Mati Dalam Hukum

Pidana Islam Sebagai Upaya Penanggulangan

Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia

BAB IV PENUTUP

A. Simpulan

B. Saran
40

Anda mungkin juga menyukai