Anda di halaman 1dari 6

TUGAS

NAMA : ZIKRI ALFRIDHO SURYADI


NIM : 1910117162
KELAS : A/REGULER B (2019)
SEMESTER : II (DUA)
MATA KULIAH : HUKUM PIDANA
DOSEN : HENNY DAMARYANTI, S.H., M.Hum.
FAKULTAS : HUKUM

ASAS-ASAS DALAM LAPANGAN HUKUM

1. Hukum Pidana
a. Asas Legalitas, yaitu tidak ada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan
pidana dalam Peraturan Perundang-Undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu
dilakukan (Pasal 1 Ayat (1) KUHP). Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam
Peraturan Perundang-Undangan, maka yang dipakai adalah aturan yang paling ringan
sanksinya bagi terdakwa (Pasal 1 Ayat (2) KUHP).
b. Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan (Geen Straf Zonder Schuld), yaitu untuk menjatuhkan
pidana kepada orang yang telah melakukan tindak pidana, harus dilakukan bilamana ada
unsur kesalahan pada diri orang tersebut.
c. Asas Teritorial, artinya ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku atas semua peristiwa
pidana yang terjadi di daerah yang menjadi wilayah teritorial Negara Kesatuan Republik
Indonesia, termasuk pula kapal berbendera Indonesia, pesawat terbang Indonesia, dan
gedung kedutaan dan konsul Indonesia di negara asing (pasal 2 KUHP).
d. Asas Nasionalitas Aktif, artinya ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku bagi semua
WNI yang melakukan tindak pidana di mana pun ia berada (pasal 5 KUHP).
e. Asas Nasionalitas Pasif, artinya ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku bagi semua
tindak pidana yang merugikan kepentingan negara (pasal 4 KUHP).
2. Hukum Perdata
a. Asas Kebebasan Berkontrak. Asas ini mengandung arti bahwa masing-masing orang dapat
mengadakan perjanjian baik yang sudah diatur dalam undang-undang ataupun yang belum
diatur dalam undang-undang. Asas ini ada dalam pasal 1338 ayat 1 KUHP yang menyatakan
bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang untuk
yang membuatnya”
b. Asas Konsesualisme. Asas ini berkaitan dengan pada saat terjadi perjanjian. Di pasal 1320
ayat 1 KUHP, syarat wajib perjanjian itu karena terdapat kata sepakat antara kedua belah
pihak.
c. Asas Kepercayaan. Asas ini mempunyai arti bahwa setiap orang yang akan mengadakan
perjanjian akan memenuhi masing-masing prestasi diantara kedua pihak.
d. Asas Kekuatan Mengikat. Asas ini menyatakan bahwa pernjanjian hanya mengikat pihak
yang mengikatkan diri atau yang ikut serta dalam perjanjian tersebut.
e. Asas Persamaan Hukum. Asas ini mempunyai maksud bahwa subjek hukum yang membuat
perjanjian mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dalam hukum.
f. Asas Keseimbangan. Asas ini menginginkan kedua belah pihak memenuhi dan menjalankan
perjanjian yang telah dijanjikan.
g. Asas Kepastian Hukum (Asas pacta sunt servada). Asas ini ada karena suatu perjanjian dan
diatur dalam pasal 1338 ayat 1 dan 2 KUHP.
h. Asas Moral. Asas moral merupakan asas yang terikat dalam perikatan wajar, ini artinya
perilaku seseorang yang sukarela tidak dapat menuntut hak baginya untuk menggugat
prestasi dari pihak debitur.
2

i. Asas Perlindungan. Asas ini memberikan perlindungan hukum kepada debitur dan kreditur.
Tetapi yang membutuhkan perlindungan adalah debitur karena berada di posisi yang lemah.
j. Asas Kepatutan. Asas ini berhubungan dengan ketentuan isi perjanjian yang diharuskan oleh
kepatutan
k. Asas Kepribadian. Asas ini mewajibkan seseorang dalam pengadaan perjanjian untuk
kepentingan dirinya sendiri.
l. Asas I’tikad Baik. Sesuai dengan pasal 1338 ayat 3 KUHP, asas ini berhubungan dengan
pelaksanaan perjanjian, asas ini menyatakan bahwa apa yang hendak dilakukan dengan
pemenuhan tuntutan keadilan dan tidak melanggar kepatutan.
3. Hukum Tata Negara
a. Asas Pancasila. Pancasila sebagai landasan negara dan falsafah hidup bangsa. Dapat
dikatakan pula Pancasila menjadi ideologi dan sumber dari hukum-hukum di Indonesia.
Asas-asas Pancasila harus dijiwai dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Sama
halnya dengan hukum tata negara perlu memaknai asas Pancasila. Segenap bangsa Indonesia
juga telah menyepakatinya menjadi dasar negara. Artinya tindakan masyarakat dan
pemerintah harus sejalan dengan ajaran Pancasila. Menyoal ruang lingkup hukum, Pancasila
dijadikan sumber hukum material. Tampak jelas dalam pasal-pasal dan ayat-ayat yang ada
dalam peraturan perundang-undangan. Hubungan antara UUD 1945 dengan Pancasila dilihat
dari sejarah batang tubuh konstitusi tercantum secara jelas asas-asas Pancasila. Ada empat
pokok pikiran menjadi dasar eksistensi setiap hukum tata negara di Indonesia, diantaranya :
1) Pertama adalah pokok pikiran negara, wajib melindungi segenap rakyat Indonesia
berdasarkan persatuan dan kesatuan. Disamping itu, tetap mengimplementasikan
keadilan sosial.
2) Kedua adalah keadilan sosial, semua elemen masyarakat berhak memperoleh keadilan
sosial untuk dirinya.
3) Ketiga yakni negara berdasarkan kedaulatan rakyat dimaknai setiap tata negara
Indonesia dijalankan sesuai kedaulatan rakyat. Tidak ada aturan hukum yang dibuat
untuk merugikan rakyat.
4) Keempat yakni negara didasarkan pada ketuhanan yang maha esa. Pemerintah, aparatur
negara, dan hukum tidak boleh membatasi kebebasan memeluk agama. Indonesia wajib
memelihara kodrat manusia demi terwujudnya kemanusiaan adil dan beradab.
b. Asas Kedaulatan Rakyat. Persatuan dan perjuangan rakyat membuat Indonesia terlepas dari
penjajahan Belanda dan Jepang. Inilah yang menjadi asal muasal dari asas kedaulatan
rakyat. Dalam asas ini, kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat. Asas ini serasi dengan bentuk pemerintahan Indonesia yang dikenal sebagai
demokrasi Pancasila. Sering dimaknai kebebasan rakyat dalam menjalankan kehidupan agar
lebih bertanggung jawab. Tidak heran asas ini dapat berkembang menjadi kedaulatan rakyat.
Keberlakuan hukum tata negara juga wajib berpegang teguh atas asas negara hukum.
Sehingga dapat menciptakan jati diri bangsa sesungguhnya. Agar demokrasi Pancasila tidak
dapat hilang ataupun digantikan dengan hal lainnya. Saat pemerintah menghasilkan produk
hukum yang bertentangan dengan kepentigan rakyat. Maka pemerintah dapat menimbulkan
kudeta oleh elemen masyarakat. Hal tersebut secara terang dan jelas termaktub pasal 1 ayat
(2) UUD 1945.
c. Asas Negara Hukum. Dalam UUD 1945 amandemen pasal 1 ayat (3) dengan tegas
menyebutkan Indonesia adalah negara hukum. Ketentuan demikian menjadikan setiap
kebijakan publik, aktivitas pemerintahan dan rakyat harus dilandasi aturan perundang-
undangan yang sedang berlaku. Untuk terwujudnya negara hukum, Indonesia menganut
konsep rule of law and not of the man. Konsep tersebut adalah warisan dari prinsip
‘Rechtstaat’ dulunya diberlakukan banyak negara di Eropa. Konsep rule of law menentang
kekuasaan pemerintahan yang bersifat absolut. Dalam menyelenggarakan pemerintah
penguasa tidak boleh kebal terhadap hukum. Pasalnya, hal ini dapat meruntuhkan eksistensi
dari tirani pemerintahan. Pemerintah sebaiknya memegang teguh dengan asas kedaulatan
3

rakyat dan penegakan Hak Asasi Manusia atau HAM. Selain itu, asas negara hukum juga
harus berbarengan dengan legalitas dan keabsahan hukum. Perlu adanya aturan terkait
hubungan di antara pemerintah dan rakyat, terdapatnya pembagian kekuasaan di antara
lembaga pemerintahan. Lebih lagi rechstaat diikuti oleh rule of law mengakibatkan adanya
dua sudut pandang yaitu secara formil dan materil. Hukum formil merupakan segala
tindakan dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan paling tinggi. Sementara,
hukum materiil berisi suatu peraturan perundang-undangan didasarkan atas kodrat manusia.
d. Asas Pembagian Kekuasaan. Banyak bentuk negara di dunia ini yang unik dan memiliki ciri
khas tersendiri. Semenjak kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 bentuk negara
yang dianut berupa negara kesatuan. Sebab, bentuk inilah yang paling sesuai dengan jati diri
bangsa Indonesia. Terutama rakyat yang sangat mendambakan persatuan dan kesatuan
setelah dijajah hingga sengaja diadu domba oleh kaum penjajah. Setelah Indonesia merdeka
terdapat pembagian unsur-unsur negara guna menyukseskan pemerintahan yang
berpedoman atas negara kesatuan. Dalam ikhwal negara berbentuk republik, kesatuan
menjadikan PR baru bagi bangsa. Utamanya bagaimana cara menjalankan upaya untuk
menjaga keutuhan NKRI. Cara yang termudah dengan menjaga keutuhan negara dengan
mengadopsi hukum tata negara. Tata negara juga hendak memperhatikan persatuan dan
keutuhan bangsa dengan memaknai bunyi dari pasal 1 ayat (1) UUD 1945. Dalam pasal ini
telah dijelaskan Indonesia adalah negara kesatuan berbentuk republik. Tidak boleh ada
produk hukum yang membuka peluang terhadap perpecahan dan kedaulatan bangsa.
Sehingga aturan hukum dapat dilakukan revisi atau pembatalan oleh DPR RI dan
Mahkamah Konstitusi. Tujuannya sebagai upaya pencegahan kebijakan publik yang
berpotensi menimbulkan konflik sosial.
e. Asas Negara Kesatuan. Indonesia harus menyelenggarakan hukum yang efisien dan efektif,
hal ini berkiblat dari teori Montesquieu. Isi teori berbunyi kekuasaan legislatif dapat
membentuk peraturan perundang-undangan. Kekuasaan eksekutif untuk melaksanakan
undang-undang. Sementara, kekuasaan yudikatif berfungsi untuk mengadili pelanggaran
dari undang-undang yang berlaku. Guna pembagian kekuasaan ini untuk mewujudkan check
and balances dalam lembaga-lembaga negara. Check and balances bermakna antar lembaga
negara bisa saling mengawasi dan mengimbangi. Dalam hal ini, asas negara kesatuan hadir
untuk meninjau pembagian kekuasaan supaya tidak terjadi kesalahan atau pergesekan.
Disamping itu, perlu adanya dukungan dari hukum tata negara agar lembaga negara dapat
menjalankan kewajiban sebagaimana mestinya.

4. Asas Hukum Secara Umum


a. Equality Before The Law. “kesederajatan di mata hukum” Bahwa semua orang dipandang
sama hak, harkat dan martabatnya di mata hukum.
b. Lex Specialis Derogat Legi Generaly. “ketentuan peraturan (UU) yang bersifat khusus
mengenyampingkan ketentuan yang bersifat umum” Jika terjadi pertentangan antara
ketentuan yang sifatnya khusus dan yang sifatnya umum, maka yang diberlakukan adalah
ketentuan yang sifatnya khusus. Pasal 338 KUHP (pembunuhan) Contoh : KUHP M
(khusus)-KUHP (umum)
c. Lex Superiori Derogat Legi Inferiori “ketentuan peraturan (UU) yang mempunyai derajat
lebih tinggi didahulukan pemanfaatannya/penyebutannya daripada ketentuan yang
mempunyai derajat lebih rendah” Jika terjadi pertentangan antara UU yang lebih tinggi
dengan yang lebih rendah, maka yang diberlakukan adalah ketentuan yang lebih tinggi.
d. Lex Post Teriori Derogat Legi Priori. “ketentuan peraturan (UU) yang baru
mengenyampingkan / menghapus berlakunya ketentuan UU yang lama yang mengatur
materi hukum yang sama” Jika terjadi pertentangan antara UU yang lama dengan yang baru,
maka yang diberlakukan adalah UU yang baru. Contoh : berlakunya UU no 32 tahun 2004,
menghapus berlakunya UU no 22 tahun 1999 tentang peraturan daerah.
4

e. Res Judicata Veritate Pro Habetur. “keputusan hakim waib dianggap benar kecuali
dibuktikan sebaliknya” Jika terjadi pertentangan antara keputusan hakim dengan ketentuan
UU, maka yang diberlakukan adalah keputusan hakim/pengadilan.
f. Lex Dura Secta Mente Scripta. “ketentuan UU itu memang keras, karena sudah oleh
pembuatnya seperti itu (hukumnya sudah ditentukan seperti itu)
g. Lex Niminem Codig Ad Imposibilia. “ketentuan UU tidak memaksa seseorang untuk
mentaatinya, apabila orang tersebut benar-benar tidak mampu melakukannya”
h. Nullum Delictum Noela Poena Sine Praevia Legi Poenale. “Asas Legalitas” (pasal 1 ayat (1)
KUHP). Asas yang menentukan bahwa tiap-tiap perbuatan pidana harus ditentukan
sedemikian rupa oleh suatu aturan undang-undang. Tidak ada suatu perbuatan dapat
dihukum tanpa ada peraturan yang mengatur perbuatan tersebut sebelumnya.
i. Die Normatieven Kraft Des Faktischen. “perbuatan yang dilakukan berulang kali memiliki
kekuatan normative”
j. Strafrecht Heeftgeen Terugwerkende Kracht. “asas tidak berlaku surut” Seandainya
seseorang melakukan suatu tindak pidana yang baru kemudian hari terhadap tindakan yang
serupa diancam dengan pidana, pelaku tdk dapat dipidana atas ketentuan yang baru itu. Hal
ini untuk menjamin warga negara dari tindakan sewenang-wenang dari penguasa.
k. Geenstraf Zonder Shculd “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan”. Bahwa seseorang yang
tidak melakukan kesalahan / tindak pidana tidak dapat dibebankan sanksi pidana
terhadapnya.
l. Presumtion Of Innocence “praduga tak bersalah”. Seseorang tidak dapat dinyatakan bersalah
apabila belum diputus pengadilan atau memiliki kekuatan hukum yang sah.
m. Unus Testis Nullus Testis “satu orang saksi bukan saksi”. Dalam suatu pemeriksaan harus
ada lebih dari seorang saksi, jika hanya ada satu saksi saja maka kesaksiannya tidak dapat
diterima.
n. Lex specialis derogat lex generali “Undang-Undang yang bersifat khusus dapat
mengesampingkan Undang-Undang yang bersifat umum”. Contoh: UU No. 24 Tahun 2003
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 8 Tahun 2011 Tentang Mahkamah Konstitusi
dapat mengesampingkan UU No. 40 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
o. Lex superior derogat lex inferiori “Undang-Undang yang lebih tinggi dapat
mengesampingkan UU yang berada dibawahnya”. Lihat Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang No.
12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Jenis dan hierarki
Peraturan Perundang-undangan terdiri atas Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Undang-
Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah;
Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
p. Lex posteori derogat lex priori “Undang-Undang yang baru dapat mengesampingkan
Undang-Undang yang lama”. Contoh: Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 Tentang
Kekuasaan Pokok-Pokok Kehakiman dapat dikesampingkan oleh Undang-Undang No. 40
Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
q. Ex aequo et bono “Kelayakan dan kepatutan”
r. Unus testis nullus testis “Kesaksian satu orang, bukanlah kesaksian”
s. Pacta sunt servanda “Perjanjian berlaku mengikat untuk ditaati para pembuatnya”
t. Pacta tertes ned norcent ned prosunt “Perjanjian yang dibuat para pihak, tidak berlaku
mengikat bagi pihak ketiga”
u. Nebis in idem “seseorang tidak dapat diadili untuk kedua kalinya dalam perkara yang sama”
v. Res judicata pro veritate hebertur “Putusan hakim senantiasa dianggap benar untuk
sementara”
w. Ex injuria non oritus ius “Dari hal melawan hukum tidak menimbulkan hak bagi pelaku”
x. Nullum crimen sine lege “Perjanjian internasional dapat mengikat pihak ke tiga, apabila isi
perjanjian itu diturunkan/diwahyukan dari hukum kebiasaan internasional dan hukum
maniter internasional”
5

y. In dubio proreo (Pasal 182 ayat (6) KUHAP) “Apabila hakim mengalami keraguan dalam
menjatuhkan sanksi terhadap terdakwa, maka hakim menjatuhkan sanksi yang paling
meringankan terdakwa”
z. Audiatur et altera pars / Audi alteram partern “Pihak lain juga harus di dengar”
aa. Asas legalitas (Pasal 1 ayat (1) KUHP) – nullum delictum nula poena sine praevia lege
poenali, mengandung 3 prinsip dasar yaitu Nulla poena sine lege (tiada pidana tanpa
undang-undang), Nulla Poena sine crimine (tiada pidana tanpa perbuatan pidana) dan
Nullum crimen sine poena legali (tiada perbuatan pidana tanpa undang-undang pidana yang
terlebih dulu ada).
bb. Similia similibus “Perkara yang sama diputus serupa pula”
cc. Cogitationis nemo patitur “Apa yang dipikir/dibatin tidak dapat dipidana”
dd. Vox populi vox Dei “Suara rakyat suara Tuhan”
ee. Lex dura secta mente scripta “UU itu keras, tetapi sudah ditentukan demikian”
ff. Lex niminem cogit ad impossibilia “UU itu tidak memaksakan seorangpun untuk
melakukan sesuatu yang tidak mungkin / tidak masuk akal untuk dilakukan”
gg. Si vis pacem para bellum “Jika kamu ingin menang bersiaplah untuk perang”
hh. Lax agendi lex essendi “Hukum berbuat adalah hukum keberadaan”
ii. Ignorantia Legis Excusat Neminem “Tidak tahu undang-undang tidak merupakan alasan
pemaaf”.

Pontianak, 30 Maret 2020


TTD

ZIKRI ALFRIDHO SURYADI


NIM 1910117162
AYO ! CEGAH MATA RANTAI PENYEBARAN
COVID-19

ZIKRI ALFRIDHO SURYADI NIM 1910117162

Anda mungkin juga menyukai