Anda di halaman 1dari 12

RUU OMNIBUS LAW

Oleh : Anjas Pangestu

PENDAHULUAN

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun


1945 eksplisit menyatakan bahwa, “Negara Indonesia adalah negara hukum.”1
Konsekuensi atas amanat konstitusi tersebut, menghendaki Indonesia menganut
konsep negara hukum di dalam menjalankan segala sendi kehidupan bernegara.

Ide negara hukum sesungguhnya telah lama dikembangkan oleh para filsuf
dari zaman Yunani Kuno. Plato, pada awalnya dalam the Republic berpendapat
bahwa adalah mungkin mewujudkan negara ideal untuk mencapai kebaikan yang
berintikan kebaikan. Namun dalam bukunya the Statesman dan the Law,
menyatakan bahwa yang dapat diwujudkan adalah bentuk paling baik kedua yang
menempatkan supremasi hukum. Adapun tujuan negara menurut Aristoteles adalah
untuk mencapai kehidupan paling baik (the best life possible) yang dapat dicapai
melalui supremasi hukum.2 Pengakuan atas prinsip supremasi hukum, yaitu
menempatkan hukum sebagai pemegang komando tertinggi dalam
penyelenggaraan negara. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa negara hukum
sebagai suatu konsep, merupakan alat negara untuk mencapai tujuan.

Hukum merupakan instrumen pengatur yang sah dalam negara hukum.


Tujuan utama adanya hukum menurut Mochtar Kusumaatmadja yaitu jaminan
ketertiban, keadilan, dan kepastian.3 Dengan demikian, hukum adalah sebuah
sistem yang mempunyai ciri dan karakteristik yang menjadi penggerak dan
pengatur kehidupan masyarakat. Adapun hukum tersebut bermanifestasi dalam
wujud peraturan perundang-undangan, sekumpulan hukum tertulis dalam berbagai
bentuk yang mengatur segala aspek kehidupan bernegara maupun bermasyarakat.
Menurut Mahfud MD, peraturan perundang-undangan adalah semua hukum dalam

1
Lihat Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Cetakan Kedua,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm. 129-130.
3
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Pembangunan Hukum dalam Pembangunan,
(Bandung: Alumni, 2002), hlm. 5-6.
arti luas yang dibentuk dengan cara tertentu oleh pejabat yang berwenang dan
dituangkan dalam bentuk tertulis.4

Seiring perkembangan, prinsip-prinsip negara hukum dipengaruhi pula oleh


penerimaan paham kedaulatan rakyat dan demokrasi. Negara hukum dan
kedaulatan rakyat dijalankan secara berkelindan sebagai dua sisi dari satu mata
uang. Paham negara hukum yang demikian disebut dengan negara hukum yang
demokratis (democratische rechstaat). Hukum dibangun dan ditegakkan
berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi. Sebaliknya, demokrasi haruslah diatur
berdasar atas hukum.5 Oleh karena itu, hukum sebagai suatu instrumen pengatur,
meskipun muara dari pengaturannya tersebut juga ditujukan kepada setiap warga
negara, tetapi dalam pembentukannya tidak terlepas dari partisipasi warga negara
baik secara langsung maupun tidak langsung dalam balutan prinsip-prinsip
demokrasi.

Berkenaan dengan peraturan perundang-undangan sebagai perwujudan


hukum tertulis, Bagir Manan telah menjelaskan bahwa salah satu unsur dari
peraturan perundang-undangan yaitu mengikat umum dan berbentuk tertulis
sehingga dapat juga disebut hukum tertulis.6 Sedangkan pada ciri lain, peraturan
perundang-undangan lazimnya memiliki jenis yang beragam, serta masing-masing
dari bentuk peraturan perundang-undangan tersebut tersusun secara hierarkis.7

Adapun fenomena berkenaan dengan peraturan perundang-undangan yang


kini muncul ke permukaan dan menuai perdebatan, ketika pemerintah menyerahkan
Draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Lapangan Kerja kepada Dewan
Perwakilan Rakyat.8 Perdebatan atas hal tersebut timbul bukan tanpa alasan,
lantaran Draft RUU Cipta Lapangan Kerja tersebut dibentuk oleh pemerintah

4
Mahfud MD., Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, (Jakarta: Rajawali Pers,
2009), hlm. 255.
5
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara… op. cit., hlm. 132-133.
6
Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-Undangan Indonesia, (Jakarta: Ind-Hill-Co, 1992),
hlm.3.
7
Lihat Pasal 7 dan 8 Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan.
8
CNBC Indonesia, https://www.cnbcindonesia.com/news/20200212114420-4-
137233/hari-ini-draft-omnibus-law-cilaka-diserahkan-ke-dpr, diakses pada 23 Februari 2020
pukul 13:20 WIB.
melalui Omnibus Law. Bukan hanya itu, bahkan dari 50 Rancangan Undang-
Undang yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020, empat di
antaranya adalah omnibus law yang terdiri dari RUU tentang Ibu Kota Negara,
RUU tentang Kefarmasian, RUU tentang Cipta Lapangan Kerja, dan RUU tentang
Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian. 9 Namun
sebelum itu, perlu kiranya dipahami terlebih dahulu mengenai “Omnibus Law”
sebagai sebuah metode di dalam pembentukan Undang-Undang.

Undang-undang adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh


Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden. 10 Undang-
undang sebagai salah satu jenis dari peraturan perundang-undangan, adalah tempat
untuk merincikan lebih lanjut norma hukum yang terkandung dalam Undang-
Undang Dasar. Undang-undang juga merupakan bentuk peraturan perundang-
undangan yang paling luas jangkauan materi muatannya. Bahkan hampir tidak ada
lapangan kehidupan masyarakat dan pemerintahan yang tidak dapat diatur dengan
undang-undang.11

Adapun Omnibus Law, secara etimologi kata omnibus lazimnya


disandingkan dengan kata law atau bill yang berarti suatu peraturan yang dibuat
berdasarkan hasil kompilasi beberapa aturan dengan substansi dan tingkatannya
berbeda. Dapat dikatakan omnibus law merupakan metode atau konsep pembuatan
peraturan perundang-undangan yang menggabungkan beberapa aturan yang
substansi pengaturannya berbeda, menjadi suatu peraturan besar yang berfungsi
sebagai payung hukum (umbrella act), dan ketika peraturan itu diundangkan
berkonsekuensi mengganti atau mengubah beberapa aturan hasil penggabungan
baik untuk sebagian maupun secara keseluruhan.12 Omnibus law bukanlah suatu hal
yang baru. Implementasi metode omnibus law telah ada dan erat kaitannya dengan

9
CNN Indonesia, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200122164312-32-
467714/4-ruu-omnibus-law-dikebut-dpr, diakses pada 23 Februari 2020 pukul 13:24 WIB.
10
Lihat Pasal 1 angka 3 Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan.
11
Lutfil Ansori, Legal Drafting: Teori dan Praktik Penyusunan Peraturan Perundang-
Undangan, (Depok: Rajawali Pers, 2019), hlm. 60.
12
Paulus Aluk Fajar Dwi Santo, Memahami Gagasan Omnibus Law, https://business-
law.binus.ac.id/2019/10/03/memahami-gagasan-omnibus-law, diakses pada 23 Februari 2020
pukul 13:34 WIB.
pembentukan undang-undang di negara-negara tradisi hukum Anglo Saxon. Namun
ketika metode tersebut diadopsi oleh pemerintah Indonesia dalam pembentukan
draft rancangan undang-undang, maka omnibus law kini bertransformasi menjadi
sebuah diskursus hukum di Indonesia. Terlepas dari dalih atas nama tujuan tertentu
yang hendak dicapai menurut pemerintah melalui penerapan metode omnibus law,
perlu kiranya dianalisis secara kritis metode omnibus law tersebut baik secara
konsep maupun implikasinya terhadap praktik. Mengingat bahwa terdapat beberapa
kekurangan yang hadir pada omnibus law ketika diterapkan sebagai suatu metode
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas di


sini adalah mengenai kekurangan atau kelemahan dari Rancangan Undang-Undang
(RUU) Omnibus Law.

PEMBAHASAN

Bertolak dari konsep demokrasi, yang merupakan gagasan yang


menghendaki bahwa kekuasaan itu adalah dari, oleh, dan untuk rakyat. Bahkan
dalam pengertian yang lebih partisipatif demokrasi disebut sebagai konsep
kekuasaan dari, oleh, untuk, dan bersama rakyat. Kekuasaan pada pokoknya
haruslah diakui berasal dari rakyat, dan karena itu rakyatlah yang sesungguhnya
berhak untuk menentukan, memberikan arah, serta menyelenggarakan kehidupan
kenegaraan. Keseluruhan sistem penyelenggaraan negara itu juga pada dasarnya
adalah diperuntukkan bagi rakyat itu sendiri.13 Oleh karena itu, negara yang
diidealkan adalah negara yang di dalam penyelenggaraannya bersama rakyat dalam
arti dengan melibatkan partisipasi masyarakat dalam arti yang seluas-luasnya.
Adapun dalam konstelasi penyelenggaraan negara di Indonesia, hal tersebut telah
diatur oleh Pasal 1 ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945 yang dengan tegas
menyatakan, “Kedaulatan berada di tangan rakyat, dan diselenggarakan menurut
undang-undang dasar.”14

13
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara…, op. cit. hlm. 293.
14
Lihat Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Dalam kaitan dengan konsep negara hukum, perkembangan menghendaki
suatu negara menjadikan gagasan demokrasi sejalan dengan negara hukum. Hukum
ditegakkan melalui norma-norma dan prosedur-prosedur tertentu yang dapat
menjamin terwujudnya proses demokratisasi. Dalam gagasan demokrasi modern,
hukum menempati posisi yang sangat sentral.15 Demokrasi yang diharapkan harus
tetap berada pada koridor hukum. Sebab demokrasi yang tidak dilandasi oleh
hukum, rentan untuk disalahgunakan dan justru akan berjalan ke arah yang keliru
dengan mengatasnamakan demokrasi. Sebaliknya, hukum tanpa demokrasi, hanya
akan menciptakan sekumpulan aturan-aturan memaksa yang mengabaikan aspek
kepentingan warga negara yang dapat dijadikan sebagai instrumen dalam
melanggengkan kekuasaan seorang penguasa. Dalam hal ini, hak-hak dan
kepentingan warga negara justru tidak dapat terjamin melalui penegakan hukum.
Oleh karena itu, berkembang konsepsi mengenai demokrasi yang berdasarkan atas
hukum atau yang disebut constitutional democracy sebagai suatu konsep modern
yang pada masa sekarang dianggap paling ideal untuk diimplementasikan.

Begitu pula dalam hal pengambilan kebijakan yang berlaku di suatu negara,
tentu tidak terlepas pula dari konsep demokrasi. Dalam hal ini, perlu kiranya
mempertimbangkan konsep demokrasi deliberatif. Konsep yang digagas oleh Jugen
Habermas ini, memandang bahwa setiap kebijakan publik harus diuji terlebih
dahulu melalui konsultasi publik atau lewat diskursus publik, yang memungkinkan
konstituen untuk selalu berperan dalam menyuarakan kepentingan publik dalam
pengambilan suatu kebijakan.16

Kebijakan suatu negara mencakup banyak hal dari berbagai aspek. Salah
satunya berkenaan dengan bidang hukum, maka kebijakan dalam hal pembuatan
produk hukum tentu harus menjunjung tinggi juga prinsip-prinsip demokrasi.
Dianut dan dipraktikannya prinsip demokrasi yang menjamin peran serta
masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan kenegaraan, sehingga setiap
peraturan perundang-undangan yang ditetapkan dan ditegakkan mencerminkan

15
Ibid., hlm. 296.
16
Liza Farihah dan Della Sri Wahyuni, Demokrasi Deliberatif dalam Proses Pembentukan
Undang-Undang di Indonesia: Penerapan dan Tantangan ke Depan, https://leip.or.id, diakses
pada 24 Februari 2020 pukul 22.01 WIB.
perasaan keadilan yang hidup di tengah masyarakat.17 Oleh karena itu, dalam hal
pembentukan peraturan perundang-undangan, idealnya harus berelasi pula dengan
konsep demokrasi deliberatif tersebut. Negara harus mengakomodasi segala
kepentingan warga negara, dengan menjaring berbagai aspirasi masyarakat dan
menghadirkan diskursus-diskursus publik dalam tahapan pembentukan peraturan
perundang-undangan.

Begitu juga dengan undang-undang sebagai salah satu jenis dari peraturan
perundang-undangan yang pembentukannya melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat
bersama Pemerintah, diperlukan pula kehadiran ruang publik di dalam
pembentukannya. Dengan begitu, maka dipahami bahwa sejatinya partisipasi
publik dalam pembentukan undang-undang harus telah dihadirkan sejak proses
pembahasan baik pada Pemerintah maupun Dewan Perwakilan Rakyat. Mengingat
antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat tersebut, keduanya sama-sama
memiliki hak untuk menginisiasi dalam pengajuan draf rancangan undang-undang.

Adapun dalam konteks rancangan undang-undang bermetode omnibus law


yang dibentuk oleh pemerintah, dengan proses pembahasan yang terbilang singkat
dengan dalih untuk dengan segera mencapai tujuan tertentu, maka yang perlu
dipertimbangkan adalah sejauh mana pembahasan dengan waktu singkat tersebut
dapat dikatakan memenuhi unsur demokratisasi dalam pembentukan undang-
undang. Perdebatan dan diskursus publik dalam pembahasan mengenai suatu
rancangan undang-undang seharusnya telah dihadirkan sedari awal yaitu sejak
masih pada tahap pembahasan dan pembentukan rancangan undang-undang yang
dibentuk oleh pemerintah. Hal itu menjadi penting, guna menjamin terbentuknya
undang-undang yang berkualitas sehingga dapat berjalan sebagaimana mestinya.
Selain itu, mengingat selama ini pada praktiknya, kehadiran diskursus publik dan
penjaringan aspirasi masyarakat pada ranah pembahasan di DPR kerap kali tidak
berdampak pada hasil dari undang-undang yang dibahas itu sendiri. Oleh karena
itu, tidak berlebihan rasanya jika dikatakan bahwa upaya ruang publik yang ada
pada ranah DPR hanya bersifat formalitas prosedural, tetapi tidak menyentuh pada

17
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, cetakan kedua, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2011), hlm. 132.
demokrasi substantif dalam proses pembahasan tersebut. Dengan demikian, artinya
rancangan undang-undang omnibus law tidaklah mampu menjamin
terselenggaranya demokratisasi dalam proses legislasi.

Konstitusi telah mengamanatkan melalui Pasal 22A UUD Negara RI Tahun


1945 yang menyatakan, “Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan
undang-undang diatur dengan undang-undang.”18 Oleh karena itu, perlu untuk
menilik undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan yang
sekarang berlaku dan diatur oleh Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 2011.
Dalam hal ini kaitannya dengan RUU Omnibus Law, di dalam Undang-Undang RI
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
tersebut, tidak mengenal adanya jenis undang-undang berbentuk “payung”.
Konsekuensi logis dari apabila adanya undang-undang “payung” yang memiliki
materi muatan berasal dari berbagai norma yang tersebar di banyak undang-undang
melalui metode omnibus law, tentu akan menempatkan undang-undang tersebut
berada pada kedudukan yang lebih tinggi dari undang-undang yang lain. Sedangkan
di dalam hierarki peraturan perundang-undangan menurut Undang-Undang RI
Nomor 12 Tahun 2011, dapat diketahui bahwa setiap undang-undang memiliki
kedudukan yang sejajar satu sama lain. Dengan demikian, omnibus law telah
mencederai Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 2011 mengenai
jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia.19

Selain itu, pada Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 2011 dikenal pula


beberapa asas dalam membentuk peraturan perundang-undangan.20 Hal ini menjadi
penting diperhatikan guna menciptakan undang-undang yang berkualitas serta
dapat mencapai tujuan dan berjalan sebagaimana mestinya. Namun ketika suatu
RUU dibentuk melalui metode omnibus law, maka apakah metode tersebut dapat
menjamin terakomodirnya segala asas dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan tersebut. Metode omnibus law yang pembentukannya dilakukan dengan
menggabungkan berbagai norma hukum yang tersebar di sejumlah undang-undang

18
Lihat Pasal 22A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
19
Lihat Pasal 7 Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan
20
Lihat Pasal 5 Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan
lain dengan menempatkan undang-undang omnibus law tersebut dalam suatu jenis
dan kedudukan tersendiri, tentulah kontradiktif dengan asas kesesuaian antara jenis,
hierarki dan materi muatan, sebagaimana yang dikehendaki oleh Undang-Undang
RI Nomor 12 Tahun 2011. Begitu pula dengan asas keterbukaan yang rentan akan
deviasi, akibat RUU dengan metode omnibus law yang pembentukannya secara
cepat dan terkesan tergesah-gesah, tanpa memberikan ruang yang cukup bagi publik
untuk berpartisipasi. Alih-alih sebagai upaya mempercepat penyelesaian atas suatu
masalah untuk mempermudah tercapainya tujuan, tetapi asas keterbukaan yang
seharusnya dijunjung dalam pembentukan peraturan perundang-undangan justru
malah terabaikan.

Adapun RUU Omnibus Law apabila disahkan menjadi undang-undang


nantinya, perlu dipahami juga bahwa hal itu akan berimplikasi pada turunan dari
undang-undang tersebut. Dalam hal ini apabila kita ambil sebuah contoh dari salah
satu draft RUU bermetode omnibus law yang dibentuk oleh pemerintah yaitu RUU
Cipta Lapangan Kerja yang hingga saat ini telah teridentifikasi sebanyak 82
undang-undang dan 1.194 pasal yang disederhanakan melalui RUU tersebut.21
Artinya, di dalam pelaksanaannya harus terdapat sebanyak 82 peraturan pelaksana
pula yang harus diselaraskan. Terlebih lagi berkenaan dengan praktik atau
operasional di lapangan, omnibus law bukan sebuah jaminan bahwa akan terjadi
harmonisasi antara rumusan norma pada undang-undang dengan praktiknya. Dalam
satu undang-undang sebagaimana biasanya saja kerap kali terjadi kontradiksi dan
permasalahan antara rumusan norma dengan praktik di lapangan, apalagi terhadap
suatu undang-undang yang memiliki cakupan luas dan berelasi dengan banyak
undang-undang. Singkatnya, menyederhanakan peraturan dari berbagai undang-
undang menjadi satu undang-undang, bukan berarti menyederhanakan pula
permasalahan yang ada. Bahkan apabila penerapan metode omnibus law dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan ini gagal, justru akan menjadikan
beban regulasi yang lebih banyak dan menambah kompleksitas permasalahan.

21
Liputan6, https://www.liputan6.com/bisnis/read/4132932/82-uu-dan-1194-pasal-
bakal-diselaraskan-dalam-omnibus-law, diakses pada 24 Februari 2020 pukul 10.21 WIB.
Permasalahan mengenai RUU omnibus law juga tampak dari perspektif
respon masyarakat. Sebagaimana salah satu rancangan undang-undang bermetode
omnibus law dari pemerintah yang diangkat sebagai contoh di sini yaitu RUU Cipta
Lapangan Kerja yang mendapat penolakan pada sejumlah kalangan terutama dari
kaum buruh. Hal itu bukan tanpa alasan, sebab di dalam materi muatan Draf RUU
Cipta Lapangan Kerja yang terdiri atas 11 klasterisasi tersebut tidak ada klaster
yang menitikberatkan pada kepentingan buruh. Adapun klasterisasi tersebut di
antaranya penyederhanaan perizinan tanah, persyaratan investasi, ketenagakerjaan,
kemudahan dan perlindungan UMKM, kemudahan berusaha, dukungan riset dan
inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, pengendalian lahan,
kemudahan proyek pemerintah, dan kawasan ekonomi khusus.22 Oleh karena itu,
Draf RUU Cipta Lapangan Kerja tersebut dipandang telah mengabaikan
kepentingan buruh yang terindikasi dari minimnya ketentuan yang mengatur
mengenai perburuhan. Alih-alih sebagai upaya mewujudkan proses percepatan
ekonomi, namun omnibus law justru mereduksi kepentingan dan hak-hak buruh
sebagai salah satu aspek penting dalam kegiatan perekonomian.

Selain itu, bahwa apabila penerapan metode omnibus law layak didukung
keberlakuannya dengan berdasar atas komparasi terhadap penerapannya
sebagaimana yang diterapkan oleh negara lain seperti Amerika Serikat, Filipina,
dan beberapa negara tradisi hukum anglo saxon lainnya, maka yang perlu
diperhatikan adalah membedakan antara metode dengan materi muatan. Dapat saja
terjadi persamaan dalam metode omnibus law antara beberapa RUU Omnibus Laaw
dari pemerintah dengan pembentukan undang-undang yang ada di negara lain.
Namun tidaklah sama materi muatan antara undang-undang bermetode omnibus
law di negara lain dengan RUU Omnibus Law di Indonesia, mengingat pada
beberapa RUU bermetode omnibus law yang diwacanakan oleh pemerintah akan
menyederhanakan begitu banyak undang-undang melalui norma-normanya, yang
jumlahnya belum tentulah sama dengan praktik omnibus law di beberapa negara
lain. Pertimbangan lain juga, penerapan metode omnibus law bukanlah sebuah

22
DetikNews, https://news.detik.com/berita/d-4837745/ini-11-cluster-omnibus-law-uu-
cipta-lapangan-kerja, diakses pada 24 Februari 2020 pukul 22.54 WIB.
metode yang dapat dipastikan keberhasilannya, bahkan kurang demokrasinya
metode inilah yang dapat menjadi faktor kegagalan di dalam penerapannya.

KESIMPULAN

Omnibus law merupakan sebuah metode di dalam pembentukan peraturan


perundang-undangan. Melalui wacana pembentukan RUU Omnibus Law yang
dilakukan oleh pemerintah, metode ini kini menjadi sebuah diskursus hukum di
Indonesia. Mengingat omnibus law juga merupakan sebuah istilah dan metode baru
dalam pembentukan undang-undang di Indonesia.

Namun yang perlu dipertimbangkan adalah sejauh mana kesesuaian metode


tersebut untuk diterapkan dalam pembentukan undang-undang di Indonesia.
Apabila dikaji secara mendalam, nyatanya omnibus law memiliki berbagai
kekurangan. Berangkat dari konsep demokrasi, omnibus law sesungguhnya telah
mencederai demokrasi deliberatif dengan mempersempit ruang publik untuk
menghadirkan diskursus dan pejaringan aspirasi masyarakat dalam pembahasan
atas rancangan undang-undang dikarenakan waktu pembahasan yang singkat dan
tergesah-gesah.

Selain itu, RUU Omnibus Law baik dalam proses pembentukan maupun
kedudukannya juga telah kontradiktif dengan pengaturan mengenai pembentukan
undang-undang menurut Undang-undang RI Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Bahkan melihat dari perspektif
masyarakat, pada nyatanya omnibus law telah mendapat respon penolakan dari
sejumlah kalangan.

Dengan demikian, mengingat Indonesia sebagai negara hukum yang


berdasarkan atas demokrasi, dengan melihat atas hal-hal sebagaimana yang telah
diuraikan di atas, sudah sepatutnya menjadi pertimbangan untuk memperhitungkan
kembali metode omnibus law tersebut apabila akan diimplementasikan dalam
pembentukan undang-undang di Indonesia. Berkenaan dengan hal itu, sejatinya
Indonesia juga telah memiliki suatu prosedur dan mekanisme tersendiri di dalam
pembentukan undang-undang sebagaimana yang telah berlaku selama ini.
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Ansori, Lutfil. Legal Drafting: Teori dan Praktik Penyusunan Peraturan


Perundang-Undangan. Depok: Rajawali Pers. 2019.

Asshiddiqie, Jimly. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Cetakan


Kedua. Jakarta: Sinar Grafika. 2012.

Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Cetakan Kedua.


Jakarta: Sinar Grafika. 2011.

Kusumaatmadja, Mochtar. Konsep-Konsep Pembangunan Hukum dalam


Pembangunan. Bandung: Alumni. 2002.

Manan, Bagir. Dasar-Dasar Perundang-Undangan Indonesia. Jakarta:

Ind-Hill-Co. 1992.

MD, Moh. Mahfud. Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu. Jakarta:
Rajawali Pers. 2009.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan


Peraturan Perundang-Undangan

Daring

Liza Farihah dan Della Sri Wahyuni. Demokrasi Deliberatif dalam Proses
Pembentukan Undang-Undang di Indonesia: Penerapan dan Tantangan ke
Depan. https://leip.or.id. Diakses pada 24 Februari 2020 pukul 22.01 WIB.

Paulus Aluk Fajar Dwi Santo. Memahami Gagasan Omnibus Law.


https://businesslaw.binus.ac.id/. Diakses pada 23 Februari 2020 pukul
13:34 WIB.
Berita Online

CNBC Indonesia. Hari Ini Draft Omnibus Law Cilaka Diserahkan ke DPR.
https://www.cnbcindonesia.com/news/. Diakses pada 23 Februari 2020
pukul 13:20 WIB.

CNN Indonesia. Empat RUU Omnibus Law Dikebut DPR.


https://www.cnnindonesia.com/nasional/. Diakses pada 23 Februari 2020
pukul 13:24 WIB.

DetikNews. Ini 11 Cluster Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja.


https://news.detik.com/berita/. Diakses pada 24 Februari 2020 pukul
22.54 WIB.

Liputan6. 82 UU dan 1.194 Pasal Bakal Diselaraskan dalam Omnibus Law.


https://www.liputan6.com/bisnis/. Diakses pada 24 Februari 2020 pukul
10.21 WIB.

Anda mungkin juga menyukai