Anda di halaman 1dari 3

Nama : Putri Sukmiani

NIM : 1910622045
Analisis Arah pembangunan bidang hukum berkaitan dengan fenomena RPJPN

Pembangunan hukum merupakan tindakan atau kegiatan yang dimaksudkan untuk


membentuk kehidupan hukum ke arah yang lebih baik dan kondusif. Sebagai bagian
dari pembangunan nasional, pembangunan hukum harus terintegrasi dan bersinergi
dengan pembangunan bidang lain, serta memerlukan proses yang berkelanjutan.
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 mengatur bahwa “Negara Indonesia adalah negara
hukum”. Pasal ini berimplikasi bahwa segala aspek penyelenggaraan negara harus
berdasarkan hukum (rechtsstaat) dan bukan berdasarkan kekuasaan (machtstaat)
dengan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara dan UUD NRI
Tahun 1945 sebagai hukum dasar dan hierarki tertinggi dalam peraturan perundang-
undangan. Untuk mewujudkan konsep negara hukum (rechtsstaat/the rule of law),
diperlukan adanya pemahaman hukum sebagai satu kesatuan sistem. Setiap sistem
umumnya terdiri dari elemen-elemen pendukung. Dengan mengacu pada teori
Friedmann maka substansi (substance), struktur (structure), dan budaya/kultur
(culture) merupakan 3 (tiga) elemen pendukung yang sangat penting sebagai
penyangga (pilar) dari sistem hukum. Menurut Friedman, Struktur hukum (legal
structure) merupakan kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum itu dengan
berbagai macam fungsi dalam rangka mendukung bekerjanya sistem tersebut.
Komponen ini dimungkinkan untuk melihat bagaimana sistem hukum itu memberikan
pelayanan terhadap penggarapan bahan-bahan hukum secara
teratur. Substansi (legal substancy) adalah output dari sistem hukum, yang berupa
peraturan-peraturan, keputusan-keputusan yang digunakan baik oleh pihak yang
mengatur maupun yang diatur. Budaya (legal culture) yang terdiri dari nilai-nilai dan
sikap-sikap yang mempengaruhi bekerjanya hukum, atau oleh Friedman disebut
sebagai kultur hukum. Kultur hukum inilah yang berfungsi sebagai jembatan yang
menghubungkan antara peraturan hukum dengan tingkah laku hukum seluruh warga
masyarakat.

Filosofi yang dianut dalam pembangunan hukum nasional selama kurang lebih 30
tahun menempatkan peranan hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat, belum
mengalami perubahan, dan bahkan belum pernah diuji kembali keberhasilannya. Hal
ini merupalan salah satu tugas utama yang mendesak yang harus dilaksanakan oleh
pemerintah terlebih dengan cepatnya perubahan sistem politik dan sistem
ketatanegaraan yang telah terjadi sejak masa reformasi.

Hukum sebagai alat (tool) menjadi hukum sebagai sarana (instrument) berfungsi
untuk membangunkan masyarakat. Pokok-pokok pikiran yang mekandasi konsep
tersebut adalah bahwa ketertiban dan keteraturan dalam usaha pembangunan dan
pembaharuan memang diinginkan, bahwa mutlak perlu, dan bahwa hukum dalam
arti norma diharapkan dapat menjadi sarana untuk mengarahkan kegiatan manusia
ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan dan pembaharuan itu. Oleh karena itu
diperlukan sarana berupa peraturan hukum yang berbentuk tidak tertulis yang sesuai
dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.
Menurut Mochtar Kusumaatmadja, pengertian hukum sebagai sarana lebih luas dari
hukum sebagai alat karena:

1. Di Indonesia peranan perundang-undangan dalam proses pembaharuan hukum


lebih menonjol, misalnya jika dibandingkan dengan Amerika Serikat yang
menempatkan yurisprudensi (khususnya putusan the Supreme Court) pada
tempat lebih penting.
2. Konsep hukkum sebagai “alat” akan mengakibatkan hasil yang tidak jauh berbeda
dengan penerapan “legisme” sebagaimana pernah diadakan pada zaman Hindia
Belanda, dan di Indonesia ada sikap yang menunjukkan kepekaan masyarakat
untuk menolak penerapan konsep seperti itu.
3. Apabila “hukum” di sini termasuk juga hukum internasional, maka konsep hukum
sebagai sarana pembaharuan masyarakat sudah diterapkan jauh sebelum konsep
ini diterima secara resmi sebagai landasan kebijakan hukum nasional.
Pembangunan hukum nasional diusahakan mengakomodasi segala kepentingan
dari masyarakat multi etnik. Dengan demikian dimensi filsafat hukum yang hendak
dicapai dalam teori pembangunan hukum ada 2 dimensi, sebagaimana teori dari
Kusumaatmadja, yaitu: 1) Ketertiban atau keteraturan dalam rangka pembaruan
atau pembangunan merupakan sesuatu yang diinginkan, bahkan dipandang mutlak
adanya, dan 2) Hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum memang dapat
berfungsi sebagai alat pengatur atau sarana pembangunan dalam arti penyalur arah
kegiatan manusia uang dikehendaki ke arah pembaharuan.
Arah pembangunan hukum masa depan harus mencakup lima aspek, sebagai
berikut;
1. Pembangunan hukum berlandaskan pada Negara Kesatuan Republik
Indonesia
Dalam hal pembangunan hukum di segala sektor senantiasa harus melandaskan
diri pada semangat tekad jiwa nasionalisme  para founding fathers bangsa yang
lebih mengedepankan kesatuan dan persatuan bangsa yang terbingkai dalam
negara kesatuan republik Indonesia. Seluruh aspek sistem ketatanegaraan harus
tetap dalam bingkai NKRI sehinga dapat memproteksi adanya disintegrasi dan
separatisme yang berpotensi memecah belah keutuhan bangsa. Apabila dikaji
secara lebih mendalam, pembagunan hukum tidak dapat dilepaskan dari
Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 yang telah menjadi modus
vivendi (kesepakatan luhur) bangsa Indonesia untuk hidup bersama dalam ikatan
satu bangsa yang majemuk.
2. Pembangunan hukum berlandaskan pada Welfare State
Sebagaimana telah diamanatkan oleh Founding Fathers Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang tertuang dalam dasar konstitusi Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945. Indonesia adalah negara kesejahteraan
(Welfare State).  Rumusan konsep Negara Welfare State tersebut termaktub
dalam Pembukaan (Preambule ) UUD NRI Tahun 1945 alinea ke-empat yang
berbunyi: “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan. Tercapainya kemakmuran dan kesejahteraan
bagi seluruh rakyat Indonesia adalah salah satu cita-cita yang diinginkan oleh
para pendiri negara Indonesia
3. Pembangunan hukum berlandaskan pada asas kemanusiaan
Restorative Justice (keadilan restoratif) atau dikenal dengan istlah “reparative
justice” adalah suatu pendekatan keadilan yang memfokuskan kepada kebutuhan
dari pada para korban, pelaku kejahatan, dan juga melibatkan peran serta
masyarakat, dan tidak semata-mata memenuhi ketentuan hukum atau semata-
mata penjatuhan pidana. Dalam hal ini korban juga dilibatkan di dalam proses,
sementara pelaku kejahatan juga didorong untuk mempertanggungjawabkan atas
tindakannya, yaitu dengan memperbaiki kesalahan-kesalahan yang telah mereka
perbuat dengan meminta maaf, mengembalikan uang telah dicuri, atau dengan
melakukan pelayanan masyarakat.
Dalam arah pembangunan hukum nasional yang berlandaskan konstitusi dan
kemanusiaan, keadilan haruslah dapat diakses semua kalangan masyarakat
termasuk juga kepastian dalam mendapatkan keadilan. Lamanya proses hukum
di pengadilan terkadang membuat masyarakat semakin sulit meraih keadilan
hakiki.  Oleh karena itu perlu terobosan hukum agar peradilan tetap konsisten
menerapkan asas peradilan cepat, sederhana, dan berbiaya ringan. Dengan cara
demikian akan terhindarkan pula adanya proses peradilan yang berlarut-larut
yang mengakibatkan berlarut-larutnya pula upaya penegakan keadilan yang pada
akhirnya justru dapat menimbulkan pengingkaran terhadap keadilan itu sendiri.
Keadilan yang tertunda adalah keadilan yang tertolak  (“justice delayed
justice denied”).Dengan kata lain, rasa keadilan yang ditunda  adalah sama
halnya dengan menciptakan ketidakadilan.
Dengan adanya pembangunan bidang hukum terkait RPJN ini, diharapkan bahwa
dapat terwujudnya Indonesia yang demokratis, berlandaskan hukum dan
berkeadilan ditunjukkan oleh hal- hal berikut:
1. Terciptanya supremasi hukum dan penegakkan hak-hak asasi manusia yang
bersumber pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 serta tertatanya sistem hukum nasional yang
mencerminkan kebenaran, keadilan, akomodatif, dan aspiratif. Terciptanya
penegakan hukum tanpa memandang kedudukan, pangkat, dan jabatan
seseorang demi supremasi hukum dan terciptanya penghormatan pada hakhak
asasi manusia.
2. Menciptakan landasan konstitusional untuk memperkuat kelembagaan demokrasi.
3. Memperkuat peran masyarakat sipil dan partai politik dalam kehidupan politik.
4. Memantapkan pelembagaan nilai-nilai demokrasi yang menitikberatkan pada
prinsip-prinsip toleransi, non-diskriminasi, dan kemitraan.
5. Terwujudnya konsolidasi demokrasi pada berbagai aspek kehidupan politik yang
dapat diukur dengan adanya pemerintah yang berdasarkan hukum, birokrasi yang
professional dan netral, masyarakat sipil, masyarakat politik dan masyarakat
ekonomi yang mandiri, serta adanya kemandirian nasional.

Anda mungkin juga menyukai