Anda di halaman 1dari 14

Hukum Administrasi Negara

PERTANGGUNGJAWABAN PEMERINTAH

Disusun oleh

Ardelia Dita Larissa 1712011059


Fadhila Rahmawati 1712011060
Yosafat Berlian Saha Oloan Sitorus 1712011061
Yuni Angraini 1712011062
Aditia Bernando 1752011067
M. Haiqal Fajri 1752011108
Juan Hisyam Sudaryanto 1752011102
Hamza Hasan 1752011051
Sutan Jorgi 1752011111
Ferlyan Nekta 1752011048

Dosen :

Fakultas Hukum Universitas Lampung

Bandar Lampung
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang mana atas limpahan, rahmat
dan karunia-Nya sehingga tugas makalah Hukum Administrasi Negara yang berjudul
Pertanggungjawaban Pemerintah dapat terselesaikan dengan baik. Makalah ini disusun dan
diuraikan secara efektif dengan landasan pengetahuan yang diambil dari buku dan internet
untuk menambah wawasan.

Makalah ini telah kami susun oleh kami sendiri dan mendapatkan bantuan dari
berbagai sumber yang memiliki kredebilitas sehingga dapat memperlancar pembuatan
makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang
telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, saya menerima
segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah Hukum Administrasi Negara yang
berjudul Pertanggungjawaban Pemerintah kami harap bisa menjadi inspirasi untuk pembaca.

Bandar Lampung, 22 Mei 2018

Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar...................................................................................................................i

Daftar Isi ............................................................................................................................ii

Bab 1 Pendahuluan............................................................................................................1

1.1 Latar Belakang.......................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah..................................................................................................1

1.3 Tujuan.....................................................................................................................1

Bab 2 Pembahasan.............................................................................................................2

2.1 Pengertian Pertanggungjawaban Pemerintah.........................................................2

2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi

Pertanggungjawaban Pemerintah..............................................................................

2.3 Pertanggungjawaban Pemerintah dalam

Hukum Adminstrasi Negara.................................................................................16

2.4 Tindakan Pemerintah dalam Menyikapi

Perbuatan Melanggar Hukum di Instansinya...........................................................

Bab 3 Kesimpulan............................................................................................................19

3.1 Kesimpulan...........................................................................................................19

3.2 Saran.....................................................................................................................19

Daftar Pustaka.................................................................................................................20

ii
BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah pertanggungjawaban pemerintah itu?
2. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi pertanggungjawaban pemerintah?
3. Bagaimana pertanggungjawaban pemerintah dalam Hukum Administrasi Negara?
4. Bagaimana tindakan pemerintah dalam menyikapi perbuatan melanggar hukum
diinstansinya?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian pertanggungjawaban pemerintah
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi pertanggungjawaban pemerintah
3. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pemerintah dalam Hukum Administrasi
Negara
4. Untuk mengetahui tindakan pemerintah dalam menyikapi perbuatan melanggar
hukum diinstansinya

1
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Pertanggungjawaban Pemerintah.


Pertanggung jawaban berasal dari kata tanggung jawab, yang berarti keadaan wajib
menanggung segala sesuatunya ( kalau ada sesuatu hal, boleh dituntut, dipersalahkan,
diperkarakan dan sebagainya). Dalam kamus hukum ada dua istilah menunjuk pada
pertanggungjawaban, yakni liability ( the state of being liable ) dan responsibility ( the state
or fact being responsible ). Liability merupakan istilah hukum yang luas ( a broad legal term )
yang di dalamnya mengandung makna bahwa menunjuk pada makna yang paling
komprehensif, meliputi hampir setiap karakter risiko atau tanggung jawab, yang pasti, yang
bergantung, atau yang mungkin. Liability didefinisikan untuk menunjuk semua karakter hak
dan kewajiban.

Sementara itu responsibility berarti hal yang dapat dipertanggungjawabkan atas suatu
kewajiban, dan termasuk putusan, keterampilan, kemampuan, dan kecakapan. Responsibility
juga berarti kewajiban bertanggung jawab atas undang-undang yang dilaksanakan dan
memperbaiki atau sebaliknya memberi ganti rugi atas kerusakan apa pun yang telah
ditimbulkannya.

Dari responsibility ini muncul istilah responsible government yang menunjukan bahwa istilah
ini pada umumnya menunjukan bahwa jenis-jenis pemerintahan dalam hal
pertanggungjawaban terhadap ketentuan atau undang-undang public dibebankan pada
departemen atau dewan eksekutif, yang harus mengundurkan diri apabila penolakan terhadap
kinerja mereka dinyatakan melalui mosi tidak percaya, di dalam majelis legislatif, atau
melalui pembatalan terhadap suatu undang-undang penting yang dipatuhi. 

Dalam pengertian dan penggunaan praktis, istilah liability menunjuk pada


pertanggungjawaban hukum yaitu tanggung gugat akibat kesalahan yang dilakukan oleh
subjek hukum, sedangkan responsibility menunjuk pada pertanggungjawaban politik. Dalam
ensiklopedi administrasi, responsibility adalah keharusan seseorang untuk melaksanakan
secara selayaknya apa yang telah diwajibkan kepadanya. Disebutkan juga bahwa
pertanggungjawaban mengandung makna; meskipun seseorang mempunyai kebebasan dalam
melaksanakan sesuatu tugas yang dibebankan kepadanya, namun ia tidak dapat
membebaskan diri dari hasil atau akibat kebebasan perbuatannya, dan ia dapat dituntut untuk
melaksanakan secara layak apa yang diwajibkan kepadanya. 

Keberadaan prinsip pertanggungjawaban pemerintahan sesungguhnya merupakan salah satu


penyeimbang dalam memposisikan antara kedudukan pemerintah dan masyarakat dalam
menjalankan roda organisasi negara. Pemerintah memiliki wewenang untuk mengatur,
memungut pajak, menegakkan hukum, mengenakan sanksi, dan seterusnya, yang merupakan

2
serangkaian “kekuasaan” dalam mencapai tujuan hidup bernegara. Di lain pihak, masyarakat
memiliki pula hak untuk memperoleh perlindungan hukum dari berbegai tindakan pemerintah
yang mungkin dapat menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Oleh karena itu adanya
pertanggungjawaban ini sesungguhnya memberikan ruang yang cukup leluasa bagi timbulnya
peran serta masyarakat yang memang sangat dibutuhkan oleh pemerintah yang demokratis
Berdasarkan perspektif hukum, dalam kehidupan sehari-hari dikenal istilah pergaulan hukum,
yang di dalamnya mengisyaratkan adanya tindakan hukum dan hubungan hukum antarsubjek
hukum. Pergaulan, tindakan, dan hubungan hukum adalah kondisi atau keadaan yang diatur
oleh hukum dan/atau memiliki relevansi hukum. Dalam hal itu terjadi interaksi hak dan
kewajiban antardua subjek hukum atau lebih, yang masing-masing dilekati hak dan
kewajiban. Hukum diciptakan untuk mengatur pergaulan hukum agar masing-masing subjek
hukum menjalankan kewajibannya secara benar dan memperoleh haknya secara wajar. Di
samping itu, hukum juga difungsikan sebagai instrumen perlindungan bagi subjek hukum.

Hukum diciptakan agar keadilan terimplementasi dalam hal pergaulan hukum. Ketika ada
subjek hukum yang melalaikan kewajiban hukum yang seharusnya dijalankan atau melanggar
ak subjek hukum lain, kepada yang melalaikan kewajiban dan melanggar hak itu dibebani
tanggung jawab dan dituntut untuk memulihkan atau mengembalikan hak yang sudah
dilanggar tersebut. Beban tanggung jawab dan tuntutan ganti rugi atau hak itu ditujukan
kepada setiap subjek hukum yang melanggar hukum, tidak perduli apakah subjek hukumitu
orang, badan hukum, ataupun pemerintah.

Pelaksanaan prinsip pertanggungjawaban secara konsisten dan konsekuen, akan


meningkatkan pula wibawa dan martabat pemerintah di mata rakyatnya. Hal ini disebabkan,
apabila pemerintah rela untuk menegakkan prinsip ini maka setidaknya akan tercapai
beberapa hal penting yakni:
(a) ditegakkannya prinsip-prinsip negara hukum, rule of law, supremasi hukum dan kesamaan
di hadapan hukum dalam penyelenggaraan pemerinrtahan, karena pemerintahpun ternyata
menghormati dan taat hukum;

(b) mengingat pada umumnya masyarakat bangsa ini adalah masih menganut budaya
paternalistik maka adanya pertanggungjawaban pemerintahan ini mendorong timbulnya
kesadaran hukum masyarakat secara sukarela (voluntary compliance);

(c) memperkokoh komitmen reformasi untuk mewujudkan good governance yang selaras
dengan penguatan masyarakat madani (civil society);

(d) untuk memperkuat pertanggungjawaban pemerintahan agar terjadi kepastian hukum,


keadilan dan perlindungan hukum, maka perlu dipikirkan untuk dibentuk Undang-Undang
Tentang Tanggung Jawab Negara (di Jerman disebut State Liability Act 1981, di Jepang
disebut Government Liability Act, 1946). Selain itu itu perlu pula Undang-Undang tentang
Kompensasi (di Korea disebut National Compensation Act, Administrative Compensation for
Injury dan Administrative Compensation for Loss).

3
Penegakan Prinsip Pertanggungjawaban dalam Perundang undangan Empat ciri pokok suatu
negara hukum dalam arti formal, yaitu:

(a) adanya jaminan pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia;

(b) adanya pembagian kekuasaan dalam negara;

(c) pemerintahan diselenggarakan berdasarkan hukum (tertulis dan tidak tertulis);

(d) adanya peradilan administrasi.

2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertanggungjawaban Pemerintah


Faktor-faktor yang mempengaruhi pertanggungjawaban pemerintah yaitu:

1. Pergeseran Konsep dari Kedaulatan Negara menjadi Kedaulatan Hukum

Ajaran kedaulatan negara mengasumsikan bahwa negara itu berada di atas hukum dan semua
aktivitas negara/pemerintah tidak dapat dijangkau hukum. Merujuk pada John Austin yang
menyebutkan bahwa hukum adalah perintah dari mereka yang memegang kekuasaan tertinggi
sehingga tidak logis buatan itu menghakimi pembuatnya. Ajaran demikian cukup kuat
pengaruhnya bagi sebagian orang, apalagi dengan adanya adagium “The King can do no
wrong” sehingga ketika muncul ajaran kedaulatan hukum masih ada saja yang beranggapan
bahwa negara/pemerintah tidak dapat dipersoalkan secara hukum.

Negara atau pemerintah telah diakui sebagai subjek hukum dalam perspektif ilmu hukum.
Bahwa negara atau pemerintah sebagai subjek hukum itu memiliki kedudukan istimewa atau
khusus dibandingkan dengan subjek hukum lain, tidak ada orang yang mengingkarinya. Akan
tetapi, argumen bahwa negara atau pemerintah itu bebas dari tanggung jawab hukum dalam
semua tindakannya, agaknya tidak memiliki pijakan kokoh secara baik secara teoretik
maupun praktik. Konsepsi yang telah diakui secara universal adalah setiap subjek hukum
apapun bentuknya tidak dapat melepaskan diri dari konsekuensi tindakan hukumnya.

2. Ajaran tentang Pemisahan (Lembaga) Kekuasaan Negara

Ajaran ini menghendaki agar masing-masing lembaga negara itu berdiri sendiri dengan
peranan dan kekuasaannya sendiri-sendiri sesuai dengan apa yang sudah ditentukan dalam
konstitusi. Masing-masing lembaga kekuasaan negara tidak dapat atau tidak boleh saling
memengaruhi atau mengintervensi lembaga negara lainnya, tetapi harus saling menghormati.

Konsepsi negara hukum menghendaki agar setiap subjek hukum itu melakukan perbuatannya
sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Setiap subjek hukum, tidak perduli apakah
seseorang, badan hukum, ataupun pemerintah, jika melanggar hukum dan membuat kerugian
maka subjek hukum itu harus mengembalikan pada keadaan semula. Upaya untuk
mengembalikan pada keadaan semula sebelum terjadinya pelanggaran hukum antara lain
ditempuh melalui proses peradilan. Ketika lembaga peradilan itu menjalankan fungsi dan
kekuasaannya menyelesaikan perkara terhadap siapa pun yang melanggar hukum, termasuk

4
pemerintah (eksekutif), ia tidak dapat disebut sedang melakukan intervensi. Dengan
bersandar pada prinsip hukum yang diakui secara universal bahwa di hadapan hakim yang
bebas, tidak ada pengecualian subjek hukum. Dalam hal proses peradilan, semua subjek
hukum baik itu perseorangan, badan hukum, ataupun pemerintah kedudukannya sama rata di
hadapan hukum.

3. Perluasan Makna Hukum dari Sekedar Hukum Tertulis (undang-undang) kemudian


Menjadi dan Termasuk Hukum Tidak Tertulis

Undang-undang yang merupakan karya lembaga negara (legislatif) dianggap barang sakral
yang menuntut kepatuhan dan ketaatan dari siapa pun. Dalam praktik, rumusan dan ketentuan
undang-undang itu tidak lebih dari formulasi kepentingan sekelompok orang, tidak
mencerminkan kesamaan kedudukan apalagi keadilan.

Secara umum diakui bahwa di luar undang-undang (hukum tertulis) ada nilai-nilai etik
(hukum tidak tertulis). Meskipun demikian, memasukkan hukum tidak tertulis sebagai
kriteria untuk menilai perbuatan melanggar hukum dianggap berlebihan, apalagi terhadap
perbuatan pemerintah.

Dalam banyak hal, tindakan pemerintah dalam mengemban fungsi publik dengan
kekuasaanyang dimilikinya menuntut perlakuan hukum yang tidak sepenuhnya sama
dibadingkan perlakuan terhadap seseorang. Dengan kata lain, harus diakui bahwa kriteria
patutt atau tidak patut itu bagi pemerintah tidak dapat dipersamakan terhadap perseorangan.
Menurut Sudargo Gautama, hal yang dianggap tidak pantas oleh pergaulan masyarakat bagi
seseorang belum tentu tidak pantas oleh pemerintah. Dalam perkembangannya, hukum tidak
tertulis itu dapat diterima untuk diterapkan kepada siapa saja yang melanggar hukum,
termasuk pemerintah. Dengan kata lain, pemerintah harus bertindak hati-hati, harus
memerhatikan pula kaidah-kaidah kecermatan. Jadi, bukan saja jika pemerintah melanggar
undang-undang ia dapat dipersalahkan, tetapi juga apabila bertindak bertentangan dengan
kecermatan yang pantas.

4. Perluasan Peranan dan Aktivitas Negara atau Pemerintah dari Konsepsi


Nachtwachtersstaat ke Welvaarsstaat

Sejak ditinggalkannya negara ‘penjaga malam’, yang menempatkan pemerintah hanya selaku
penjaga ketertiban keamanan serta tidak diperkenankan campur tangan dalam kehidupan
masyarakat, negara melalui pemerintah beserta perangkatnya terlibat aktif dalam kehidupan
masyarakat yang menyebabkan kaburnya batas antara bidang privat dan publik. Dalam
rangka menjalankan fungsi pelayanan umum, intervensi negara atau pemerintah menjadi tak
terelakan, bahkan semakin besar dengan freies ermessen yang dilekatkan kepadanya. Tidak
dapat dipungkiri bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugasnya memerlukan kebebasan
bertindak.

Dalam penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan, pertanggungjawaban itu melekat pada


jabatan, yang secara yuridis dilekati kewenangan. Dalam perspektif hukum publik, adanya

5
kewenangan inilah yang memunculkan adanya pertanggungjawaban, sejalan dengan prinsip
umum there is no authority without responsibility.

Kaidah hukum publik terutama yang tertuang dalam undang-undang yang dijadikan rujukan
para yuris ketika memecahkan persoalan hukum pada saat pembentukannya sarat dengan
pertarungan ide, nilai, kepentingan, dan orientasi politik para pembuatnya.

Telah ditegaskan bahwa pemerintah adalah subjek hukum, sebagai pendukung hak dan
kewajiban hukum, dengan dua kedudukan hukum yaitu sebagai wakil dari badan hukum dan
wakil dari jabatan pemerintah. Sebagai subjek hukum pemerintah dapat melakukan perbuatan
hukum, yakni perbuatan yang dapat menimbulkan akibat-akibat hukum, baik akibat hukum
yang positif maupun negatif. Akibat hukum yang negatif memiliki relevansi dengan
pertanggungjawaban karena dapat memunculkan tuntutan dari pihak yang terkena akibat
hukum yang negatif. Seiring dengan keberadaan pemerintah selaku wakil dari badan hukum
dan wakil dari jabatan, yang dari dua kedudukan hukum ini akan muncul dua bentuk
perbuatan hukum yaitu perbuatan hukum perdata dan perbuatan hukum publik. Karena ada
dua jenis perbuatan pemerintah maka pertanggungjawaban hukum yang dipikul oleh
pemerintah juga ada dua jenis; pertanggungjawaban perdata dan publik.

Dalam penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan, pertanggungjawaban itu melekat pada


jabatan, yang secara yuridis dilekati dengan kewenangan. Dalam perspektif hukum publik,
adanya kewenangan inilah yang memunculkan adanya pertanggungjawaban, sejalan dengan
prinsip umum tidak ada kewenangan tanpa pertanggungjawaban.

Menurut Suwoto, dalam pembagian kekuasaan berlaku prinsip bahwa setiap kekuasaan wajib
dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, dalam setiap pemberian kekuasaan harus sudah
dipikirkan beban tanggung jawab bagi setiap penerima kekuasaan. Kesediaan untuk
melaksanakan tanggung jawab harus secara inklusif sudah diterima pada waktu menerima
kekuasaan. Suwoto menyebutkan bahwa, pengertian tanggung jawab mengandung dua aspek,
yaitu aspek internal dan aspek eksternal. Pertanggungjawaban aspek internal, hanya
diwujudkan dalam bentuk laporan pelaksanaan kekuasaan. Pertanggungjawaban aspek
eksternal, adalah pertanggungjawaban terhadap pihak ketiga, apabila dalam melaksanakan
kekuasaan itu menimbulkan suatu derita atau kerugian.

Timbulnya kerugian yang diderita warga negara, menurut Sjachran Basah, dapat disebabkan
karena dua kemungkinan. Pertama, sikap tindak administrasi negara yang melanggar hukum
yaitu pelaksanaan yang salah, padahal hukumnya benar dan berharga. Kedua, sikap tindak
administrasi yang menurut hukum bukan pelaksanaannya yang salah melainkan hukum itu
sendiri yang secara materiil tidak benar dan tidak berharga.

Namun, ukuran untuk menuntut pemerintah itu bukan berdasarkan ada tidaknya kerugian,
tetapi apakah pemerintah itu dalam melaksanakan kegiatannya berdasarkan hukum atau
melanggar hukum dan apakah perbuatan itu dilakukan untuk kepentingan umum atau bukan.

Seiring dengan dianutnya konsepsi welfare state, kepada pemerintah dibebani tugas melayani
kepentingan umum dan kewajiban mewujudkan kesejahteraan umum yang dalam

6
implementasinya pemerintah banyak melakukan intervensi terhadap kehidupan warga
negara. Intervensi ini sering menimbulkan kerugian bagi pihak-pihak tertentu, apalagi
dengan diberikannya kewenangan yang luas melalui freies ermessen.

2.3 Pertanggungjawaban Pemerintah dalam Hukum Administrasi Negara


Telah disebutkan bahwa salah satu prinsip negara hukum adalah asas legalitas, yang
mengandung makna bahwa setiap tindakan hukum pemerintah harus berdasarkan pada
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tindakan hukum mengandung makna
penggunaan kewenangan dan di dalamnya tersirat adanya kewajiban pertanggungjawaban.

Dalam perspektif hukum publik, tindakan hukum pemerintahan itu selanjutnya dituangkan
dalam dan dipergunakan beberapa instrumen hukum dan kebijakan seperti peraturan
perundang-undangan, peraturan kebijakan, dan keputusan. Di samping itu, pemerintah juga
sering menggunakan instrumen hukum keperdataan seperti perjanjian dalam menjalankan
tugas-tugas pemerintahan. Setiap penggunaan wewenang dan penerapan instrumen hukum
oleh pejabat pemerintahn pasti menimbulkan akibat hukum, karena memang dimaksudkan
untuk menciptakan hubungan hukum dan akibat hukum.

Telah jelas bahwa setiap penggunaan kewenangan itu di dalamnya terkandung


pertanggungjawaban, namun demikian harus pula dikemukakan tentang cara-cara
memperoleh dan menjalankan kewenangan. Di samping penentuan kewajiban tanggung
jawab itu didasarkan pada cara-cara memperoleh kewenangan, juga harus ada kejelasan
tentang siapa yang dimaksud dengan pejabat dan kapan atau pada saat bagaimana seseorang
itu disebut dan dikategorikan sebagai pejabat.

Yang dimaksud dengan pejabat adalah seorang yang bertindak sebagai wakil dari jabatan,
yang melakukan perbuatan untuk dan atas nama jabatan. Sementara seseorang itu disebut
atau dikategorikan sebagai pejabat adalah ketika ia menjalankan kewenangan untuk atau atas
nama jabatan. Berdasarkan keterangan di atas, tampak bahwa tindakan hukum yang
dijalankan oleh pejabat dalam rangka menjalankan kewenangan jabatan atau melakukan
tindakan hukum untuk dan atas nama jabatan, maka tindakannya itu dikategorikan sebagai
tindakan hukum jabatan.

Tanggung jawab negara terhadap warga negara atau pihak ketiga dianut oleh hampir semua
negara.Berdasarkan yurisprudensi Conseil d’Etat, pemerintah atau negara dibebani membayar
ganti rugi kepada seseorang rakyat atau warga negara yang menjadi korban pelaksanaan tugas
administratif.

Bothlingk memberikan tiga contoh onbevoegd (pejabat tidak berwenang) yaitu:

1)     Ia menggunakan cara yang tidak sejalan dengan kewenangan yang diberikan kepadanya.

2)     Ia melakukan tindakan dengan cara kewenangan yang diberikan kepadanya, tetapi di
luar pelaksanaan tugas.

7
3)     Ia melakukan tindakan dengan cara kewenangan yang diberikan kepadanya di dalam
pelaksanaan tugasnya, tetapi tidak sesuai dengan keadaan yang diwajibkan untuk pelaksanaan
selanjutnya.

Berdasarkan keterangan tersebut di atas, tampak bahwa tindakan hukum yang dijalankan oleh
pejabat dalam rangka menjalankan kewenangan jabatan atau untuk dan atas nama jabatan,
maka tindakannya itu dikategorikan sebagai tindakan hukum jabatan. Dalam tulisan
Kranenburg & Vegting, terhadap persoalan pertanggungjawaban pejabat tersebut ada dua
teori. Pertama, fautes personalles, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap
pihak ketiga itu dibebankan kepada pejabat yang karena tindakannya itu telah menimbulkan
kerugian. Kedua, fautes de services, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap
pihak ketiga itu dibebankan pada instansi pejabat yang bersangkutan.

Mengenai pertanggungjawaban pejabat ada dua teori yang dikemukakan oleh Kraenburg dan
Vegting, yaitu; pertama, fautes personalles, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian
terhadap pihak ketiga itu dibebankan kepada pejabat yang karena tindakannya itu telah
menimbulkan kerugian, kedua, fautes de services, yaitu teori yang menyatakan bahwa
kerugian terhadap pihak ketiga itu dibebankan pada instansi dari pejabat yang bersangkutan.

Mengutip pendapat Logemann, hak dan kewajiban berjalan terus, tidak peduli dengan
penggantian pejabat. Berdasarkan keterangan tersebut jelaslah bahwa pemikul tanggung
jawab itu adalah jabatan. Oleh karena itu, ganti rugi juga dibebankan kepada instansi/jabatan,
bukan kepada pejabat selaku pribadi. Sebagaimana dikatakan Kranenburg dan Vegting bahwa
pertanggungjawaban dibebankan kepada korporasi (instansi, jabatan) jika suatu perbuatan
melawan hukum yang dilakukan oleh pejabat itu bersifat objektif, dan pejabat yang
bersangkutan tidak dibebani tanggungjawab jika tidak ada kesalahan subjektif. Sebaliknya
pejabat atau pegawai itu dibebani tanggung jawab ketika ia melakukan kesalahan subjektif.

Untuk perbuatan melanggar hukum lainnya, hanya wakil yang bertanggungjawab


sepenuhnya; ia telah menyalahgunakan situasi, dimana ia berada selaku wakil, dengan
melakukan tindakan amoralnya sendiri terhadap kepentingan pihak ketiga. Dalam hal
demikian, pejabat tersebut telah melakukan kesalahan subjektif atau melakukan
maladministrasi.

Maladministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang,


menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut,
termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan
publik yang dilakukan oleh penyelenggara negara yang menimbulkan kerugian materil dan
immateril bagi masyarakat.

Berkenaan dengan persoalan-persoalan yang disebutkan di atas, yakni tentang


pertanggungjawaban dan penerapan sanksi terhadap pejabat, diperlukan bukan hanya
penjelasan pasal 116, tetapi juga dengan menentukan prosedur dan mekanisme acara
penyelesaiannya. Dalam hal ini teori hukum administrasi tidak dapat dijadikan jalan keluar,
yang dapat dijadikan jalan keluar adalah pembuat peraturan pelaksanaan atau penentuan dlam
hukum positif. Teori hukum administrasi hanya dapat menjadi kerangka acuan dalam

8
pembuatan peraturan pelaksanaan dan menjadi pedoman untuk penentuan isi dari hukum
positif.

2.4 Tindakan Pemerintah dalam Menyikapi Perbuatan Melanggar Hukum


Diinstansinya

9
BAB 3
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan

Pencurian adalah mengambil hak orang lain yang bukan miliknya secara diam-diam tanpa
paksaan dan tidak di ketahui oleh pemiliknya. Adapun pengertian lain pencurian adalah mengambil
harta orang lain secara diam-diam yang di ambil berupa harta, harta yang di ambil merupakan milik
orang lain dan ada itikat tidak baik.

Dalam hukum Islam, terdapat hukuman potong tangan Diantara mereka ada yang mengatakan
bahwa di dalam hukum tersebut (potong tangan) terkandung hikmah yang semourna, maslahat, dan
rahasia syariat yang besar. Karena sesungguhnya  di dalam  Bab “Tindak Pidana (Pelukaan)”
sangatlah sesuai bila harga sebuah tangan dibesarkan sehingga lima ratus dinar, dengan maksud agar
terjaga keselamatannya, tidak ada yang berani melukainya. Sedangkan dalam Bab pencurian sangatlah
sesuai bila nisab yang diwajibkan hukum potong tangan adalah sepermpat dinar, dengan maksud agar
orang-orang tidak berani melakukan tindak pidana pencurian. Hal ini merupakan suatu hikmah yang
sesungguhnya menurut pandangan orang-orang yang berakal.

Namun dalam hukum pidana Indonesia tidak diberlakukan karena Indonesia bukan
merupakan negara Islam dan terdapat masyarakat yang beragama non islam yang tinggal di Indonesia.
Jika diberlakukan hukum potong tangan maka kurang pas untuk keadilan bersama karena tidak semua
masyarakat Indonesia beragama Islam dan pasti banyak juga yang tidak setuju dengan hukum
tersebut.

Karena Indonesia adalah bangsa yg majemuk, indonesia memiliki banyak beragam agama yg
disetiap agama harus saling bersatu. Maka dengan demikianlah Indonesia tidak boleh menggunakan
hukum islam.

3.2 Saran

Semoga dengan makalah ini dapat menambah pengetahuan tentang hukum pencurian dalam Hukum
Pidana Indonesia dan hukum yang tercantum di dalam ayat-ayat Al-Quran. Dan kita dapat menjauhi
perbuatan mencuri karena hal tersebut adalah perbuatan yang merugikan orang lain dan jika kita
melakukannya maka kita akan mendapat dosa yang besar dari Allah SWT.

10
DAFTAR PUSTAKA

http://ekojones.blog.uns.ac.id/pertanggungjawaban-pemerintah.html/

https://4iral0tus.blogspot.co.id/2009/12/pertanggungjawaban-pemerintah.html

http://inspirasihukum.blogspot.co.id/2011/04/pertanggung-jawaban-administrasi-
negara_23.html

http://cpchenko.blogspot.co.id/2012/06/penegakkan-dan-pertanggungjawaban-
hukum.html

11

Anda mungkin juga menyukai