PERTANGGUNGJAWABAN PEMERINTAH
Disusun oleh
Dosen :
Bandar Lampung
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang mana atas limpahan, rahmat
dan karunia-Nya sehingga tugas makalah Hukum Administrasi Negara yang berjudul
Pertanggungjawaban Pemerintah dapat terselesaikan dengan baik. Makalah ini disusun dan
diuraikan secara efektif dengan landasan pengetahuan yang diambil dari buku dan internet
untuk menambah wawasan.
Makalah ini telah kami susun oleh kami sendiri dan mendapatkan bantuan dari
berbagai sumber yang memiliki kredebilitas sehingga dapat memperlancar pembuatan
makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang
telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, saya menerima
segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah Hukum Administrasi Negara yang
berjudul Pertanggungjawaban Pemerintah kami harap bisa menjadi inspirasi untuk pembaca.
Penulis
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar...................................................................................................................i
Bab 1 Pendahuluan............................................................................................................1
1.3 Tujuan.....................................................................................................................1
Bab 2 Pembahasan.............................................................................................................2
Pertanggungjawaban Pemerintah..............................................................................
Bab 3 Kesimpulan............................................................................................................19
3.1 Kesimpulan...........................................................................................................19
3.2 Saran.....................................................................................................................19
Daftar Pustaka.................................................................................................................20
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian pertanggungjawaban pemerintah
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi pertanggungjawaban pemerintah
3. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pemerintah dalam Hukum Administrasi
Negara
4. Untuk mengetahui tindakan pemerintah dalam menyikapi perbuatan melanggar
hukum diinstansinya
1
BAB 2
PEMBAHASAN
Sementara itu responsibility berarti hal yang dapat dipertanggungjawabkan atas suatu
kewajiban, dan termasuk putusan, keterampilan, kemampuan, dan kecakapan. Responsibility
juga berarti kewajiban bertanggung jawab atas undang-undang yang dilaksanakan dan
memperbaiki atau sebaliknya memberi ganti rugi atas kerusakan apa pun yang telah
ditimbulkannya.
Dari responsibility ini muncul istilah responsible government yang menunjukan bahwa istilah
ini pada umumnya menunjukan bahwa jenis-jenis pemerintahan dalam hal
pertanggungjawaban terhadap ketentuan atau undang-undang public dibebankan pada
departemen atau dewan eksekutif, yang harus mengundurkan diri apabila penolakan terhadap
kinerja mereka dinyatakan melalui mosi tidak percaya, di dalam majelis legislatif, atau
melalui pembatalan terhadap suatu undang-undang penting yang dipatuhi.
2
serangkaian “kekuasaan” dalam mencapai tujuan hidup bernegara. Di lain pihak, masyarakat
memiliki pula hak untuk memperoleh perlindungan hukum dari berbegai tindakan pemerintah
yang mungkin dapat menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Oleh karena itu adanya
pertanggungjawaban ini sesungguhnya memberikan ruang yang cukup leluasa bagi timbulnya
peran serta masyarakat yang memang sangat dibutuhkan oleh pemerintah yang demokratis
Berdasarkan perspektif hukum, dalam kehidupan sehari-hari dikenal istilah pergaulan hukum,
yang di dalamnya mengisyaratkan adanya tindakan hukum dan hubungan hukum antarsubjek
hukum. Pergaulan, tindakan, dan hubungan hukum adalah kondisi atau keadaan yang diatur
oleh hukum dan/atau memiliki relevansi hukum. Dalam hal itu terjadi interaksi hak dan
kewajiban antardua subjek hukum atau lebih, yang masing-masing dilekati hak dan
kewajiban. Hukum diciptakan untuk mengatur pergaulan hukum agar masing-masing subjek
hukum menjalankan kewajibannya secara benar dan memperoleh haknya secara wajar. Di
samping itu, hukum juga difungsikan sebagai instrumen perlindungan bagi subjek hukum.
Hukum diciptakan agar keadilan terimplementasi dalam hal pergaulan hukum. Ketika ada
subjek hukum yang melalaikan kewajiban hukum yang seharusnya dijalankan atau melanggar
ak subjek hukum lain, kepada yang melalaikan kewajiban dan melanggar hak itu dibebani
tanggung jawab dan dituntut untuk memulihkan atau mengembalikan hak yang sudah
dilanggar tersebut. Beban tanggung jawab dan tuntutan ganti rugi atau hak itu ditujukan
kepada setiap subjek hukum yang melanggar hukum, tidak perduli apakah subjek hukumitu
orang, badan hukum, ataupun pemerintah.
(b) mengingat pada umumnya masyarakat bangsa ini adalah masih menganut budaya
paternalistik maka adanya pertanggungjawaban pemerintahan ini mendorong timbulnya
kesadaran hukum masyarakat secara sukarela (voluntary compliance);
(c) memperkokoh komitmen reformasi untuk mewujudkan good governance yang selaras
dengan penguatan masyarakat madani (civil society);
3
Penegakan Prinsip Pertanggungjawaban dalam Perundang undangan Empat ciri pokok suatu
negara hukum dalam arti formal, yaitu:
Ajaran kedaulatan negara mengasumsikan bahwa negara itu berada di atas hukum dan semua
aktivitas negara/pemerintah tidak dapat dijangkau hukum. Merujuk pada John Austin yang
menyebutkan bahwa hukum adalah perintah dari mereka yang memegang kekuasaan tertinggi
sehingga tidak logis buatan itu menghakimi pembuatnya. Ajaran demikian cukup kuat
pengaruhnya bagi sebagian orang, apalagi dengan adanya adagium “The King can do no
wrong” sehingga ketika muncul ajaran kedaulatan hukum masih ada saja yang beranggapan
bahwa negara/pemerintah tidak dapat dipersoalkan secara hukum.
Negara atau pemerintah telah diakui sebagai subjek hukum dalam perspektif ilmu hukum.
Bahwa negara atau pemerintah sebagai subjek hukum itu memiliki kedudukan istimewa atau
khusus dibandingkan dengan subjek hukum lain, tidak ada orang yang mengingkarinya. Akan
tetapi, argumen bahwa negara atau pemerintah itu bebas dari tanggung jawab hukum dalam
semua tindakannya, agaknya tidak memiliki pijakan kokoh secara baik secara teoretik
maupun praktik. Konsepsi yang telah diakui secara universal adalah setiap subjek hukum
apapun bentuknya tidak dapat melepaskan diri dari konsekuensi tindakan hukumnya.
Ajaran ini menghendaki agar masing-masing lembaga negara itu berdiri sendiri dengan
peranan dan kekuasaannya sendiri-sendiri sesuai dengan apa yang sudah ditentukan dalam
konstitusi. Masing-masing lembaga kekuasaan negara tidak dapat atau tidak boleh saling
memengaruhi atau mengintervensi lembaga negara lainnya, tetapi harus saling menghormati.
Konsepsi negara hukum menghendaki agar setiap subjek hukum itu melakukan perbuatannya
sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Setiap subjek hukum, tidak perduli apakah
seseorang, badan hukum, ataupun pemerintah, jika melanggar hukum dan membuat kerugian
maka subjek hukum itu harus mengembalikan pada keadaan semula. Upaya untuk
mengembalikan pada keadaan semula sebelum terjadinya pelanggaran hukum antara lain
ditempuh melalui proses peradilan. Ketika lembaga peradilan itu menjalankan fungsi dan
kekuasaannya menyelesaikan perkara terhadap siapa pun yang melanggar hukum, termasuk
4
pemerintah (eksekutif), ia tidak dapat disebut sedang melakukan intervensi. Dengan
bersandar pada prinsip hukum yang diakui secara universal bahwa di hadapan hakim yang
bebas, tidak ada pengecualian subjek hukum. Dalam hal proses peradilan, semua subjek
hukum baik itu perseorangan, badan hukum, ataupun pemerintah kedudukannya sama rata di
hadapan hukum.
Undang-undang yang merupakan karya lembaga negara (legislatif) dianggap barang sakral
yang menuntut kepatuhan dan ketaatan dari siapa pun. Dalam praktik, rumusan dan ketentuan
undang-undang itu tidak lebih dari formulasi kepentingan sekelompok orang, tidak
mencerminkan kesamaan kedudukan apalagi keadilan.
Secara umum diakui bahwa di luar undang-undang (hukum tertulis) ada nilai-nilai etik
(hukum tidak tertulis). Meskipun demikian, memasukkan hukum tidak tertulis sebagai
kriteria untuk menilai perbuatan melanggar hukum dianggap berlebihan, apalagi terhadap
perbuatan pemerintah.
Dalam banyak hal, tindakan pemerintah dalam mengemban fungsi publik dengan
kekuasaanyang dimilikinya menuntut perlakuan hukum yang tidak sepenuhnya sama
dibadingkan perlakuan terhadap seseorang. Dengan kata lain, harus diakui bahwa kriteria
patutt atau tidak patut itu bagi pemerintah tidak dapat dipersamakan terhadap perseorangan.
Menurut Sudargo Gautama, hal yang dianggap tidak pantas oleh pergaulan masyarakat bagi
seseorang belum tentu tidak pantas oleh pemerintah. Dalam perkembangannya, hukum tidak
tertulis itu dapat diterima untuk diterapkan kepada siapa saja yang melanggar hukum,
termasuk pemerintah. Dengan kata lain, pemerintah harus bertindak hati-hati, harus
memerhatikan pula kaidah-kaidah kecermatan. Jadi, bukan saja jika pemerintah melanggar
undang-undang ia dapat dipersalahkan, tetapi juga apabila bertindak bertentangan dengan
kecermatan yang pantas.
Sejak ditinggalkannya negara ‘penjaga malam’, yang menempatkan pemerintah hanya selaku
penjaga ketertiban keamanan serta tidak diperkenankan campur tangan dalam kehidupan
masyarakat, negara melalui pemerintah beserta perangkatnya terlibat aktif dalam kehidupan
masyarakat yang menyebabkan kaburnya batas antara bidang privat dan publik. Dalam
rangka menjalankan fungsi pelayanan umum, intervensi negara atau pemerintah menjadi tak
terelakan, bahkan semakin besar dengan freies ermessen yang dilekatkan kepadanya. Tidak
dapat dipungkiri bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugasnya memerlukan kebebasan
bertindak.
5
kewenangan inilah yang memunculkan adanya pertanggungjawaban, sejalan dengan prinsip
umum there is no authority without responsibility.
Kaidah hukum publik terutama yang tertuang dalam undang-undang yang dijadikan rujukan
para yuris ketika memecahkan persoalan hukum pada saat pembentukannya sarat dengan
pertarungan ide, nilai, kepentingan, dan orientasi politik para pembuatnya.
Telah ditegaskan bahwa pemerintah adalah subjek hukum, sebagai pendukung hak dan
kewajiban hukum, dengan dua kedudukan hukum yaitu sebagai wakil dari badan hukum dan
wakil dari jabatan pemerintah. Sebagai subjek hukum pemerintah dapat melakukan perbuatan
hukum, yakni perbuatan yang dapat menimbulkan akibat-akibat hukum, baik akibat hukum
yang positif maupun negatif. Akibat hukum yang negatif memiliki relevansi dengan
pertanggungjawaban karena dapat memunculkan tuntutan dari pihak yang terkena akibat
hukum yang negatif. Seiring dengan keberadaan pemerintah selaku wakil dari badan hukum
dan wakil dari jabatan, yang dari dua kedudukan hukum ini akan muncul dua bentuk
perbuatan hukum yaitu perbuatan hukum perdata dan perbuatan hukum publik. Karena ada
dua jenis perbuatan pemerintah maka pertanggungjawaban hukum yang dipikul oleh
pemerintah juga ada dua jenis; pertanggungjawaban perdata dan publik.
Menurut Suwoto, dalam pembagian kekuasaan berlaku prinsip bahwa setiap kekuasaan wajib
dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, dalam setiap pemberian kekuasaan harus sudah
dipikirkan beban tanggung jawab bagi setiap penerima kekuasaan. Kesediaan untuk
melaksanakan tanggung jawab harus secara inklusif sudah diterima pada waktu menerima
kekuasaan. Suwoto menyebutkan bahwa, pengertian tanggung jawab mengandung dua aspek,
yaitu aspek internal dan aspek eksternal. Pertanggungjawaban aspek internal, hanya
diwujudkan dalam bentuk laporan pelaksanaan kekuasaan. Pertanggungjawaban aspek
eksternal, adalah pertanggungjawaban terhadap pihak ketiga, apabila dalam melaksanakan
kekuasaan itu menimbulkan suatu derita atau kerugian.
Timbulnya kerugian yang diderita warga negara, menurut Sjachran Basah, dapat disebabkan
karena dua kemungkinan. Pertama, sikap tindak administrasi negara yang melanggar hukum
yaitu pelaksanaan yang salah, padahal hukumnya benar dan berharga. Kedua, sikap tindak
administrasi yang menurut hukum bukan pelaksanaannya yang salah melainkan hukum itu
sendiri yang secara materiil tidak benar dan tidak berharga.
Namun, ukuran untuk menuntut pemerintah itu bukan berdasarkan ada tidaknya kerugian,
tetapi apakah pemerintah itu dalam melaksanakan kegiatannya berdasarkan hukum atau
melanggar hukum dan apakah perbuatan itu dilakukan untuk kepentingan umum atau bukan.
Seiring dengan dianutnya konsepsi welfare state, kepada pemerintah dibebani tugas melayani
kepentingan umum dan kewajiban mewujudkan kesejahteraan umum yang dalam
6
implementasinya pemerintah banyak melakukan intervensi terhadap kehidupan warga
negara. Intervensi ini sering menimbulkan kerugian bagi pihak-pihak tertentu, apalagi
dengan diberikannya kewenangan yang luas melalui freies ermessen.
Dalam perspektif hukum publik, tindakan hukum pemerintahan itu selanjutnya dituangkan
dalam dan dipergunakan beberapa instrumen hukum dan kebijakan seperti peraturan
perundang-undangan, peraturan kebijakan, dan keputusan. Di samping itu, pemerintah juga
sering menggunakan instrumen hukum keperdataan seperti perjanjian dalam menjalankan
tugas-tugas pemerintahan. Setiap penggunaan wewenang dan penerapan instrumen hukum
oleh pejabat pemerintahn pasti menimbulkan akibat hukum, karena memang dimaksudkan
untuk menciptakan hubungan hukum dan akibat hukum.
Yang dimaksud dengan pejabat adalah seorang yang bertindak sebagai wakil dari jabatan,
yang melakukan perbuatan untuk dan atas nama jabatan. Sementara seseorang itu disebut
atau dikategorikan sebagai pejabat adalah ketika ia menjalankan kewenangan untuk atau atas
nama jabatan. Berdasarkan keterangan di atas, tampak bahwa tindakan hukum yang
dijalankan oleh pejabat dalam rangka menjalankan kewenangan jabatan atau melakukan
tindakan hukum untuk dan atas nama jabatan, maka tindakannya itu dikategorikan sebagai
tindakan hukum jabatan.
Tanggung jawab negara terhadap warga negara atau pihak ketiga dianut oleh hampir semua
negara.Berdasarkan yurisprudensi Conseil d’Etat, pemerintah atau negara dibebani membayar
ganti rugi kepada seseorang rakyat atau warga negara yang menjadi korban pelaksanaan tugas
administratif.
1) Ia menggunakan cara yang tidak sejalan dengan kewenangan yang diberikan kepadanya.
2) Ia melakukan tindakan dengan cara kewenangan yang diberikan kepadanya, tetapi di
luar pelaksanaan tugas.
7
3) Ia melakukan tindakan dengan cara kewenangan yang diberikan kepadanya di dalam
pelaksanaan tugasnya, tetapi tidak sesuai dengan keadaan yang diwajibkan untuk pelaksanaan
selanjutnya.
Berdasarkan keterangan tersebut di atas, tampak bahwa tindakan hukum yang dijalankan oleh
pejabat dalam rangka menjalankan kewenangan jabatan atau untuk dan atas nama jabatan,
maka tindakannya itu dikategorikan sebagai tindakan hukum jabatan. Dalam tulisan
Kranenburg & Vegting, terhadap persoalan pertanggungjawaban pejabat tersebut ada dua
teori. Pertama, fautes personalles, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap
pihak ketiga itu dibebankan kepada pejabat yang karena tindakannya itu telah menimbulkan
kerugian. Kedua, fautes de services, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap
pihak ketiga itu dibebankan pada instansi pejabat yang bersangkutan.
Mengenai pertanggungjawaban pejabat ada dua teori yang dikemukakan oleh Kraenburg dan
Vegting, yaitu; pertama, fautes personalles, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian
terhadap pihak ketiga itu dibebankan kepada pejabat yang karena tindakannya itu telah
menimbulkan kerugian, kedua, fautes de services, yaitu teori yang menyatakan bahwa
kerugian terhadap pihak ketiga itu dibebankan pada instansi dari pejabat yang bersangkutan.
Mengutip pendapat Logemann, hak dan kewajiban berjalan terus, tidak peduli dengan
penggantian pejabat. Berdasarkan keterangan tersebut jelaslah bahwa pemikul tanggung
jawab itu adalah jabatan. Oleh karena itu, ganti rugi juga dibebankan kepada instansi/jabatan,
bukan kepada pejabat selaku pribadi. Sebagaimana dikatakan Kranenburg dan Vegting bahwa
pertanggungjawaban dibebankan kepada korporasi (instansi, jabatan) jika suatu perbuatan
melawan hukum yang dilakukan oleh pejabat itu bersifat objektif, dan pejabat yang
bersangkutan tidak dibebani tanggungjawab jika tidak ada kesalahan subjektif. Sebaliknya
pejabat atau pegawai itu dibebani tanggung jawab ketika ia melakukan kesalahan subjektif.
8
pembuatan peraturan pelaksanaan dan menjadi pedoman untuk penentuan isi dari hukum
positif.
9
BAB 3
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Pencurian adalah mengambil hak orang lain yang bukan miliknya secara diam-diam tanpa
paksaan dan tidak di ketahui oleh pemiliknya. Adapun pengertian lain pencurian adalah mengambil
harta orang lain secara diam-diam yang di ambil berupa harta, harta yang di ambil merupakan milik
orang lain dan ada itikat tidak baik.
Dalam hukum Islam, terdapat hukuman potong tangan Diantara mereka ada yang mengatakan
bahwa di dalam hukum tersebut (potong tangan) terkandung hikmah yang semourna, maslahat, dan
rahasia syariat yang besar. Karena sesungguhnya di dalam Bab “Tindak Pidana (Pelukaan)”
sangatlah sesuai bila harga sebuah tangan dibesarkan sehingga lima ratus dinar, dengan maksud agar
terjaga keselamatannya, tidak ada yang berani melukainya. Sedangkan dalam Bab pencurian sangatlah
sesuai bila nisab yang diwajibkan hukum potong tangan adalah sepermpat dinar, dengan maksud agar
orang-orang tidak berani melakukan tindak pidana pencurian. Hal ini merupakan suatu hikmah yang
sesungguhnya menurut pandangan orang-orang yang berakal.
Namun dalam hukum pidana Indonesia tidak diberlakukan karena Indonesia bukan
merupakan negara Islam dan terdapat masyarakat yang beragama non islam yang tinggal di Indonesia.
Jika diberlakukan hukum potong tangan maka kurang pas untuk keadilan bersama karena tidak semua
masyarakat Indonesia beragama Islam dan pasti banyak juga yang tidak setuju dengan hukum
tersebut.
Karena Indonesia adalah bangsa yg majemuk, indonesia memiliki banyak beragam agama yg
disetiap agama harus saling bersatu. Maka dengan demikianlah Indonesia tidak boleh menggunakan
hukum islam.
3.2 Saran
Semoga dengan makalah ini dapat menambah pengetahuan tentang hukum pencurian dalam Hukum
Pidana Indonesia dan hukum yang tercantum di dalam ayat-ayat Al-Quran. Dan kita dapat menjauhi
perbuatan mencuri karena hal tersebut adalah perbuatan yang merugikan orang lain dan jika kita
melakukannya maka kita akan mendapat dosa yang besar dari Allah SWT.
10
DAFTAR PUSTAKA
http://ekojones.blog.uns.ac.id/pertanggungjawaban-pemerintah.html/
https://4iral0tus.blogspot.co.id/2009/12/pertanggungjawaban-pemerintah.html
http://inspirasihukum.blogspot.co.id/2011/04/pertanggung-jawaban-administrasi-
negara_23.html
http://cpchenko.blogspot.co.id/2012/06/penegakkan-dan-pertanggungjawaban-
hukum.html
11