Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

DISKRESI DAN FREIES ERMESSEN

( Untuk Memenuhi Tugas Kuliah Hukum Administrasi Negara )


Dosen Pengampu : Wahib, S.H., M.H.

Disusun Oleh :

Dinda Mardi Ramadhani ( 211010201081 )

Rafi Bramantio Ramadhan ( 211010201606 )

FAKULTAS ILMU HUKUM

UNIVERSITAS PAMULANG

TANGERANG SELATAN

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan
rahmat, taufik, hidayah dan inayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan
penyusunan makalah yang berjudul “Diskresi Dan Freies Ermessen ” dengan
hadirnya makalah ini dapat memberikan informasi bagi para pembaca mengenai
Diskresi Dan Freies Ermessen.

Maksud penulis membuat makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata
kuliah Hukum Administrasi Negara yang diamanatkan oleh Bapak Wahib S. H.
M.H. Makalah ini kami buat berdasarkan buku penunjang yang di miliki dan untuk
mempermudahnya kami juga menyertai berhubungan dengan kemajuan kedepan.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini banyak sekali


kekurangannya baik dalam cara penulisan maupun dalam isi. Oleh karna itu kami
mengundang pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang bersifat
membangun untuk kemajuan ilmu pengetahuan ini. Mudah-mudahan makalah ini
dapat bermanfaat, khususnya bagi penulis yang membuat dan umumnya bagi yang
membaca makalah ini. Aamiin.

Tangerang Selatan, 08 Oktober 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

COVER ........................................................................................................... i

KATA PENGANTAR .................................................................................... ii

DAFTAR ISI ................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1

A. Latar Belakang .................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ............................................................................... 2
C. Tujuan Penyusunan Makalah .............................................................. 3

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................... 4

A. Pengertian Asas Diskresi atau Freies Ermessen................................... 4


B. Diskresi Dalam Pelaksanaan Pemerintahan ......................................... 5
C. Pembatasan Diskresi ............................................................................ 8
D. Penggunaan Diskresi Dalam Kebijakan Pemerintahan ........................ 9

BAB III PENUTUP ....................................................................................... 11

A. Kesimpulan ......................................................................................... 11

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 13

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Negara Indonesia adalah sebuah negara yang menjunjung tinggi
supremasi hukum. Sebagai sebuah negara hukum, Indonesia mempunyai
konstitusi yaitu Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
yang telah mengalami perubahan hingga empat kali karena suatu pergolakan
besar yaitu reformasi. Konstitusi kita selalu melihat pada pembukaannya, yang
di dalamnya mengandung tujuan negara. Prof. Sudikno berkata bahwa hukum
itu bukanlah merupakan tujuan, tetapi sarana atau alat untuk mencapai tujuan
yang sifatnya non-yuridis dan berkembang karena rangsangan dari luar hukum.
Faktor-faktor di luar hukum itulah yang membuat hukum itu dinamis.
Berbicara hukum, kita juga tidak dapat mengabaikan kekuasaan,
karena hukum itu adalah suatu produk dari kekuasaan. Penguasa yang baik dan
berkualitas tentu akan melahirkan produk hukum yang baik dan berkulitas pula,
begitu pula sebaliknya, penguasa yang korup dan buruk, maka akan
menghasilkan hukum yang korup pula. Seperti kata Prof. Sudikno tadi bahwa
‘hukum adalah suatu alat untuk mencapai tujuan, maka hukum pun dapat
diciptakan untuk membuat sesuatu yang buruk menjadi legal karena ada hukum
yang memperbolehkan padahal dari kacamata keadilan, hal tersebut jauh dari
kata adil.
Dalam usaha untuk mencapai kesejahteraan, ketertiban atau upaya
menyelamatkan bangsa seringkali penguasa atau pengambil keputusan
mengambil langkah-langkah yang bertentangan dengan hukum. Misalnya saja
yang terjadi pada masa lalu yang kita kenal dengan sebutan Petrus atau
Penembak Misterius dimana pada masa itu para preman ditembak satu persatu
oleh orang misterius yang ternyata diketahui adalah bagian dari upaya
kepolisian untuk meningkatkan rasa keamanan Dari sisi hukum hukum, jelas

1
apa yang dilakukan pihak kepolisian tersebut merupakan tindakan yang
sewenang-wenang, tapi ternyata dampaknya dirasakan masyarakat. Masyarakat
mulai merasa aman, tingkat kriminalitas menurun. Itu adalah salah satu contoh
dari tindakan aparat yang berwenang menggunakan asas diskresi. Saat ini
dikenal istilah diskresi atau kewenangan aparat birokrasi untuk menentukan
keputusan diluar dari aturan baku yang ada, seringkali menjadi solusi alternatif
dalam merespon kondisi dalam pelayanan publik, namun juga memiliki
implikasi adanya penyimpangan kewenangan (abuse of power) jika diskresi
yang dimilikinya tidak diiringi dengan adanya etika dan akuntabilitas.
Namun karena kompleksnya persoalan seputar pemerintahan, saat ini
kewenangan berupa diskresi tersebut seringkali menjadi tututan oleh
pemerintah daerah. namun disisi lain, terkadang diskresi yang dilakukan tingkat
pemerintah daerah kemudian bermasalah pada sisi hukum. Maka tidak hal ini
berimplikasi dengan adanya keragu-raguan kepala daerah untuk segera
menggunakan kewenangan diskresi yang dimilikinya, sebagai upaya
pemenuhan layanan yang merupakan tuntutan masyarakatnya. Diskresi yang
dimiliki oleh seorang kepala daerah untuk menentukan keputusan didaerahnya,
yang mana keputusan itu mendesak untuk dilakukan seringkali tidak dilakukan
oleh kepala daerah bersangkutan. Disinyalir bahwa belum adanya payung
hukum mengenai diskresi kepala daerah tersebut, ditakutkan oleh kepala daerah
jika itu dilakukan maka akan berhadapan dengan aturan hukum yang berlaku.
Disamping itu juga, karena kekhawatiran tersebut menjadikan kepala daerah
cenderung mengikuti pada aturan yang baku, sehingga daerah seringkali
dikatakan kurang responsif, tidak inovatif dan tidak efektif efisien terutama hal
ini dalam pelayanan publik di daerah.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belaang diatas maka rumusan masalah yang
dapat diambil yaitu sebagai berikut :
1. Bagaimana diskresi dalam pelaksanaan pemerintahan ?
2. Bagaimana penggunaan diskresi dalam kebijakan pemerintahan ?

2
C. Tujuan Penyusunan Makalah
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan penyusunan
makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui bagaimana diskresi dalam pelaksanaan pemerintahan.
2. Untuk mengetahui bagaimana penggunaan diskresi dalam kebijakan
pemerintahan.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Asas Diskresi atau Freies Ermessen


Pemerintah dalam mengguhnakan wewenang publik wajib mengikuti
aturanaturan hukum administrasi negara agar tidak terjadi penyalahgunaan
wewenang. Keputusan-keputusan tersebut terikat pada tiga asas hukum yakni
rechtmatigheid, wetmatigheid, dan discretie atau freis ermessen. Freies
Ermessen berasal dari kata fres yang artinya bebas, lepas, tidak terikat dan
merdeka, sementara itu ermessen diartikan sebagai mempertimbangkan,
menilai, menduga, dan memperkirakan. Freies Ermessen berarti orang yang
memiliki kebebasan untuk menilai, menduga, dan mempertimbangkan sesuatu.
Sedangkan Nata Saputra mengartikan Freies Ermessen sebagai suatu kebebasan
yang diberikan kepada alat administrasi, yaitu kebebasan yang pada asasnya
memperkenankan alat administrasi Negara mengutamakan keefektifan
tercapainya suatu tujuan dari pada berpegang teguh kepada ketentuan
hukum.4Dengan kata lain Freies Ermessen adalah kebebasan bertindak dari
pejabat Negara tanpa harus terikat kepada undang-undang.
Namun kebebasan ini harus berdasarkan hukum. Ada juga yang
mengatakan bahwa Freies Ermessen sama dengan diskresi, yaitu kebebasan
untuk dapat bertindak atas inisiatif sendiri, terutama dalam menyelesaikan
persoalan yang memerlukan penanganan segera tetapi peraturan untuk
penyelesaian persoalan itu belum ada karena belum dibuat oleh badan yang
diserahi tugas legislatif. Freies Ermessen (Jerman), pouvoir discretionnaire
(Perancis) , discretionary power (Inggris) atau diskresi menurut Kuntjoro
Purbopranoto (1981) adalah kebebasan bertindak yang diberikan kepada
pemerintah dalam menghadapi situasi yang konkrit (kasustis).
Dalam pandangan Kuntjoro, freies ermessen harus didasarkan pada
asas yang lebih luas yaitu asas kebijaksanaan, yang menghendaki bahwa

4
pemerintah dalam segala tindak tanduknya itu harus berpandangan luas dan
selalu dapat menghubungkan dalam menghadapi tugasnya itu gejala-gejala
masyarakat yang harus dihadapinya, serta pandai memperhitungkan lingkungan
akibat-akibat tindak pemerintahannya itu dengan penglihatan yang jauh ke
depan.Sedangkan menurut SF.
Marbun dan Ridwan dalam makalahnya berjudul “Tinjauan Umum
Atas RUU Administrasi Pemerintahan” (2005) menyatakan diskresi merupakan
kewenangan bebas (vrije bevoegheid) yang melekat pada pemerintah atau
administrasi negara. Diskresi muncul secara insidental, terutama ketika
peraturan perundang-undangan belum ada/ mengatur atau rumusan peraturan
tertentu bersifat multitafsir atau bersifat samar, dan diskresi tidak dapat
diprediksi sebelumnya.
B. Diskresi Dalam Pelaksanaan Pemerintahan
Pada tataran pemerintah daerah, saat ini pengertian mengenai diskresi
sebenarnya sudah tertuang dalam UU Administrasi Pemerintahan Tahun 2014,
yakni keputusan dan/atau tindakan yang dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan
untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan
pemerintahan, dalam hal peraturan perundang-undangan memberikan pilihan,
tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi
pemerintahan. Namun disisi lain, kondisi yang ada bahwa kepala daerah dinilai
kurang responsif dalam berinovasi. Hal ini diakibatkan rendahnya kepastian
dalam penegakan hukum, sehingga banyak kepala daerah ketakutan dalam
penggunaan kebijakan diskresi yang sangat rentan menyeret kepala daerah atau
pejabat daerah kedalam tindak pidana penyalahgunaan kewenangan atau
kekuasaan yang dimilikinya.
Menurut Isran Noor (2012) Rendahnya perlindungan hukum atas
inovasi atau kebijakan diskresi kepala daerah ini berimplikasi pada banyaknya
penyelenggara pemerintahan yang mengambil sifat pasif dan kurang responsif
terhadap pemenuhan kepentingan publik (http://www.pikiran-
rakyat.com/node/232214, diakses 29 April 2019). Hal ini menjelaskan bahwa,
adanya kecenderungan bahwa terdapat keraguan dari para kepala daerah dalam

5
menjalankan haknya dalam diskresi, sekalipun itu kemudian berakibat baik
untuk daerah. Akan tetapi, sejumlah kekhawatiran mengenai adanya diskresi di
daerah ini terhadap proses pelayanan publik masih saja terus dicemaskan.
Disatu sisi diskresi dapat menjadi jawaban terhadap adanya pelayanan publik
yang stagnan, kaku, terlalu birokratis dan sejumlah patologi birokrasi lainnya.
Namun disisi lain, juga penggunaan diskresi ini akan menyebabkan adanya
penyalahgunaan kewenangan, perilaku korupsi, dan penyimpangan lainnya jika
diskresi tersebut tidak dikawal dengan mekanisme akuntabilitas pemerintah
daerah. Sehingga jika kemudian kewenangan diskresi ini tidak dilakukan
mekanisme pengawasan atau kontrol terhadap akuntabilitasnya, maka hal ini
akan diperhadapkan berbagai masalah struktural maupun hukum. Dimana
diskresi yang dilakukan bisa saja menjadi bumerang bagi kepala daerah dalam
sejumlah kasus korupsi.
Menurut Mendagri Gawaman Fauzi, mengatakan diskresi itu ada
batasannya dan diatur agar apa yang dikhawatirkan tidak terjadi. Ada beberapa
syarat, termasuk (melakukan inovasi) tidak melanggar hukum, Sejumlah
kekhawatiran yang muncul dengan diaturnya hak diskresi tersebut, antara lain
kepala daerah dapat menyalahgunakan wewenang dan jabatan untuk
kepentingan pribadi. Penyalahgunaan kewenangan dan korupsi adalah hal yang
paling krusial terhadap implikasi negatif diskresi, apalagi dengan adanya
payung hukum mengenai diskresi pemerintah daerah dalam pelayanan publik
tersebut.
Gawaman Fauzi mengungkapkan modus baru korupsi yang sering
menjadi batu sandungan bagi kepala daerah seperti menahan setoran pajak ke
pusat dengan menyimpannya di rekening pribadi. Juga, modus meminjam dari
kas daerah, mark-up maupun cash back dari rekanan proyek
(http://www.kemendagri.go.id, diakses 29 April 2019). Tantangannya
kemudian adalah bagaimana melihat diskresi tersebut dalam kerangka
akuntabilitas pemerintah daerah. hubungan antara diskresi pemerintah daerah
dan kaitanya dengan akuntabilitas pemerintah memang cukup kompleks.

6
Namun menarik melihat kondisi yang menggambarkan keterkaitan
antara diskresi pemerintah daerah dan akuntabilitas, yang dikemukakan Yilmaz,
Serdar., Yakup Beris and Rodrigo Serrano Berthet (2010; 259-293), dalam
Development Policy Review dengan artikelnya berjudul Linking Local
Government Discretion and Accountability in Decentralisation.
Mengemukakan 3 dimensi yang akan mempengaruhi bentuk akuntabilitas
terkait diskresi yang dimiliki pemerintah daerah, yaitu :
1. Diskresi Politik Lokal, yang mengemukakan pandangan bahwa untuk
menciptakan kondisi diskresi yang akuntabel dari pemerintah daerah harus
memperhatikan beberapa hal yakni bagaimana pembagian kekuasaan
eksekutif dan legislatif, model pemilihan umum di tingkat daerah untuk
memilih pemimpin, dan fungsi partai politik di daerah. disisi lain juga
penguatan dilakukan dengan membatasi masa jabatan pemimpin untuk
menghindari budaya patronase politik dan membentuk kontrol publik
terhadap kinerja pemerintah daerah.
2. Diskresi Administratif, disisi desentralisasi administrasi perlu diperhatikan
hal menyangkut aparatur pemerintah dalam hal kemampuan mengatur,
diskresi untuk mengelola pelayanan, diskresi dalam pelayanan publik dan
pengaturan kebijakan. Dan untuk melakukan penguatan terhadap kondisi ini
adalah memuat struktur kontrol publik sehingga lebih melembaga dan
adanya informasi pelayanan yang bisa diakses oleh masyarakat.
3. Diskresi Fiskal (Keuangan), dalam diskresi pada posisi ini menyangkut
bagaimana pemerintah daerah mengatur pengeluaran, mengatur pendapatan
daerah, mengelola fiscal gap antar daerah, dan Infrastruktur keuangan
daerah. disamping itu untuk memperkuat hal ini maka perlu diperhatikan
adanya manajemen yang efektif dan efisien dan juga keterbukaan informasi
terhadap akuntabilitas penggunaan anggaran.

7
C. Pembatasan Diskresi
Diskresi ibarat dua buah mata pedang yang mempunyai dua akibat
yang baik maupun yang buruk jika di gunakan. Diskresi di satu sisi
menimbulkan kesewenangwenangan tapi di sisi lain jika diskresi tidak
dilakukan maka dikhawatirkan tujuan pembangunan nasional akan sulit
dilaksankan. Sehingga asas ini ketika berlaku dapat dikatakan dilematis
mengingat dua akibat yang dapat timbul tersebut. Dalam politik hukum asas
diskresi ini harus dibatasi. Prof. Muchsan menjelaskan ada 4 pembatasan asas
diskresi ini yaitu sebagai berikut :
1. Asas Diskresi dapat diberlakukan jika pada saat itu terjadi kekosongan
hukum (rechtvakum). Apabila terjadi kekosongan hukum dan tidak segera
diambil sebuah tindakan dari aparat yang berwenang, maka dapat berpotensi
menimbulkan keadaan yang anarkis.
2. Ada kebebasan penafsiran/interpretasi. Apabila hal ini terjadi maka aparat
dapat melakukan diskresi karena merujuk pada peraturan yang mana dapat
ditafsirkan berbeda-beda(multi-tafsir).
3. Ada delegasi perundang-undangan (delegatie van wetgeving) demi
pemenuhan kepentingan umum.
Pembatasan yang terakhir yaitu demi kepentingan umum pun
berpotensi untuk disalahgunakan. Aparat bisa saja melakukan kesewenangan
dengan dalih kepentingan umum. Maka dari itu Prof. Muchsan mengemukakan
pendapat bahwa apa yang disebut kepentingan umum yaitu kepentingan umum
berupa proyek pembangunan dan juga kepentingan umum yang berupa proyek
tersebut mempunyai 3 syarat yaitu, kepentingan umum dilaksanakan oleh
pemerintah, kepentingan umum digunakan oleh rakyat, dan kepentingan umum
tidak berorientasi pada keuntungan(non-profit oriented). Selain itu terdapat
beberapa alasan terjadinya diskresi yaitu:
1. Mendesak dan alasannya mendasar serta dibenarkan motif perbuatannya.
2. Peraturan perundang-undangan yang dilanggar dalam menetapkan
kebijaksanaan diskresi, khusus untuk kepentingan umum, bencana alam dan

8
keadaan darurat, yang penetapannya dapat dipertanggung jawabkan secara
hukum.
3. Untuk lebih cepat, efisien, dan efektif dalam mencapai tujuan yang
diamanatkan UUD 1945 dan Undang-undang, penyelenggaraan
pemerintahan Negara, dan untuk keadilan serta kesejahteraan masyarakat.
D. Penggunaan Diskresi Dalam Kebijakan Pemerintahan
Dalam prakteknya, tak jarang penggunaan diskresi ini melahirkan
ekses yang tidak sedikit baik bagi organisasi pemerintahan maupun pejabat
yang melakukan kebijakan dikresi. Konsekwensi-konsekwensi yang
ditimbulkan juga tak sedikit,termasuk konsekwensi hukum.
Dalam Undang-Undang tentang Administrasi Pemerintahan (AP) yang
disahkan DPR RI tanggal 26 September 2014 persoalan diskresi ini pada
dasarnya telah diatur dalam peraturan perundangan tersebut, untuk menghindari
peluang terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh pejabat pemerintah. Wakil
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB)
Eko Prasojo mengatakan, dalam praktek di lingkungan pejabat pemerintah,
pemahaman diskresi sebagai kewenangan bebas (fries ermessen). Kewenangan
bebas itu juga dipahami menurut pendapat sendiri (subyektif).
Dikatakan, diksresi pada dasarnya dipahami sebagai pertimbangan dan
dibuat atas dasar amanat undang-undang dalam bentuk kata ‘dapat’, atau ‘boleh.
Pejabat Pemerintah,lanjutnya, dalam membuat keputusan diskresi berpedoman
pada petunjuk teknis atas peraturan pelaksanaan terkait dengan pasal dalam
peraturan perundangan. Lahirnya Undang-Undang tentang Administrasi
Pemerintahan yang mengatur penggunaan diskresi oleh pejabat pemerintahan
akan menjadi pedoman dalam pengambilan keputusan. Diskresi tidak
didasarkan pada kebebasan bertindak.
Diskresi wajib didasarkan pada hukum iktikad baik dan ditetapkan
oleh pejabat yang memiliki kewenangan untuk menetapkan keputusan dan atau
tindakan pemerintah. Sebagai contoh digambarkan, seorang polisi lalu lintas
dapat melakukan melakukan diskresi dalam pengaturan lalu lintas di
perempatan yang sudah ada traffic light. Dia bisa menahan kendaraan untuk

9
tidak berjalan, meski lampu hijau sudah menyala. Polisi lalu lintas juga bisa
memerintahkan kendaraan untuk berjalan, meski saat itu lampu merah menyala.
Tapi semua itu dilakukan dengan berbagai pertimbangan untuk kepentingan
umum, bukan semaunya sendiri. Urgensi terkait UU Administrasi Pemerintahan
tak lepas dari ketimpangan hukum materiil, kekosongan hukum, termasuk
hukum yang mengatur sumber kewenangan atribusi, delegasi, dan mandat.
Sejak tahun 1986 Indonesia telahmemiliki UU tentang Peradilan Tata Usaha
Negara (PTUN) sebagai hukum formal. UU ini kemudian disempurnakan tahun
2004 dan 2009. Di sini ada ketimpangan hukum, karena putusan hakim tidak
didasarkan pada hukum materiil yang diaturter sendiri dalamUndang-Undang.
Dengan UU Administrasi Pemerintahan, kelak penyelesaian gugatan lebih
mendahulukan hukum administrasi, sebelum dibawa keranah pidana.
Bukan itu saja, kehadiran UU Administrasi Pemerintahan juga mengisi
kekosongan hukum. UU ini menjadi instrument standardisasi administrasi
negara, dan kodifikasi (pengaturan) undang-undang tunggal sebagai payung
yang member pedoman di semuasektorpemerintahan. Lebih dari itu, UU ini
mengatur syarat sahnya keputusan pemerintahan. Selain dibuat oleh pejabat
yang berwenang, keputusan pemerintahan juga harus sesuai standar prosedur,
dan substansi juga harus sesuai dengan obyek keputusan.

10
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pembahasan diatas, maka dapat diambil
kesimpulan terhadap penggunaan asas diskresi dalam pembentukan produk
hukum di Indonesia, yaitu pada dasarnya diskresi muncul karena adanya tujuan
kehidupan bernegara yang harus dicapai, tujuan bernegara dari faham negara
kesejahteraan adalah untukmenciptakan kesejahteraan rakyat. Tidak dapat
dipungkiri bahwa negara Indonesia-pun merupakan bentuknegara kesejahteraan
modern yang tercermin dalam pembukaan UUD 1945.
Dalam paragraf keempat dari pembukaan UUD 1945 tersebut
tergambarkan secara tegas tujuan bernegara yang hendak dicapai. Untuk
mencapai tujuan bernegara tersebut maka pemerintah berkewajiaban
memperhatikan dan memaksimalkan upaya keamanan sosial dalam arti seluas-
luasnya. Hal tersebut mengakibatkan pemerintah harus aktif berperan
mencampuri bidang kehidupan sosial-ekonomi masyarakat (public service)
yang mengakibatkan administrasi negara tidak boleh menolak untuk mengambil
keputusan ataupun bertindak dengan dalih ketiadaan peraturan perundang-
undangan (rechtsvacuum).
Oleh karena itu untuk adanya keleluasaan bergerak, diberikan kepada
administrasi negara (pemerintah) suatu kebebasan bertindak yang seringkali
disebut fries ermessen ataupun pouvoir discretionnaire. Kebebasan bertindak
sudah tentu berpeluang lebih besar untuk menimbulkan kerugian kepada warga
masyarakat karena berpotensi untuk disalah gunakan. Oleh karena itu terhadap
diskresi perlu ditetapkan adanya batas toleransi. Batasan toleransi dari diskresi
ini dapat disimpulkan dari pemahaman yang diberikan oleh Prof. Muchsan,
S.H.,yaitu, Diskresi bisa digunakan apabila terjadi kekosongan hukum, adanya
kebebasan penafsiran / intrepretasi, diskresi bisa digunakan apabila ada delegasi

11
perundang – undangan (delegatie van wetgeving), dan diskresi bisa digunakan
demi pemenuhan kepentingan umum. Penggunaan asas diskresi harus
memperhatikan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

12
DAFTAR PUSTAKA

Mertokusumo, Sudikno 2005, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty,

Yogyakarta

Muchsan, 2012, Perkuliahan “Politik Hukum”, 2012, Magister Hukum, UGM

Sudirdjo , Prof. Dr. Mr. Prajudi Atmo, 1983, Hukum Administrasi Negara,

Ghalia Indonesia, Jakarta.

Saputra, Nata, 1988, Hukum Administrasi Negara, Rajawali, Jakarta.

http://www.pikiran-rakyat.com/node/232214

13

Anda mungkin juga menyukai