Dosen pengampu :
1. Prof. Dr. H. Sadjijono, S.H., M.Hum.
2. Moh. Ali Imron F H., S.H.,M.H
Disusun Oleh:
1. Ananda Lesmana (2011111015) A
2. Elisa Rosmadiyah (2011111097) A
3. La Ode Rafli (2011121026) A
4. Redika Audito H. (2011111040) A
5. Agurisia Divana (2011111058) B
6. Fairuz Adira R.P. (2011111020) B
7. Nabila Maulana L (2011111072) B
8. Vionita Oktaviani (2011111024) B
Makalah ini Membahas wewenang Diskresi yang di mana kami Buat dari
beberapa referensi buku maupun jurnal dan media juga sebagai pembantu
mengumpulkan data.
Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua yang
membaca.
DAFTAR ISI
Table of Contents
KATA PENGANTAR...........................................................................................................................ii
DAFTAR ISI....................................................................................................................................iii
BAB I....................................................................................................................................................1
LATAR BELAKANG MASALAH DAN RUMUSAN MASALAH......................................................1
A. Latar Belakang masalah...........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................................................................1
BAB II...................................................................................................................................................2
DISKRESI DALAM PELAYANAN PUBLIC......................................................................................2
A. KONSEPSI DISKRESI...........................................................................................................2
B. BATASAN PENGGUNAAN DISKRESI...................................................................................5
C. DISKRESI SEBAGAI INSTRUMEN PEMERINTAH DALAM PENYELENGGARAAN
PEMERINTAHAN...........................................................................................................................9
D. KEBIJAKAN DISKRESI DALAM PRAKTEK.......................................................................13
E. MALADMINISTRASI................................................................................................................15
BAB III................................................................................................................................................18
ASAS RECHTMATIGHEID DAN PLICHTMATIGHEID...............................................................18
A. ASAS RECHTMATIGHEID....................................................................................................18
B. ASAS PLICHTMATIGHEID....................................................................................................19
BAB IV................................................................................................................................................22
KESIMPULAN DAN SARAN...........................................................................................................22
A. KESIMPULAN.........................................................................................................................22
B. SARAN......................................................................................................................................22
BAB I
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana prosedur penggunaan norma diskresi sehingga tidak terjadi
Maladministrasi pada Pelayanan Publik ? Jelaskan berikut 2 contoh konkrit di
lapangan!
BAB II
Diskresi sendiri diartikan sebagai salah satu sarana yang memberikan ruang
bergerak bagi pejabat atau badan-badan administrasi negara untuk melakukan
tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya pada undang-undang, atau tindakan yang
dilakukan dengan mengutamakan pencapaian tujuan (doelmatigheid) daripada
sesuai dengan hukum yang berlaku (rechtmatigheid).2
Pengertian diskresi menurut Kamus Hukum, diskresi berarti kebebasan
mengambil keputusan dalam setiap situasi yang dihadapi menurut pendapatnya
sendiri.3 Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi mengartikan diskresi sebagai keputusan atau tindakan yang
ditetapkan atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan
konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan
perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau
tidak jelas, atau adanya stagnasi pemerintahan.4 Ada beberapa pakar hukum yang
memberikan definisi diskresi diantaranya S. Prajudi Atmosudirjo yang
mendefinisikan diskresi sebagai kebebasan bertindak atau mengambil keputusan
dari para pejabat administrasi negara yang berwenang menurut pendapat sendiri 5.
Selanjutnya dijelaskannya bahwa diskresi diperlukan sebagai pelengkap dari
asas legalitas, yaitu asas hukum yang menyatakan bahwa setiap tindak atau
1
Ridwan, Tiga Dimensi Hukum Administrasi dan Peradilan Administrasi, Yogyakarta: FH UII
Press, 2009, hlm. 51
2
Ridwan, Tiga Dimensi… op. cit., hlm. 80 – 81
3
Ibid.
4
JCT Simorangkir dkk., Kamus Hukum, Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2008, hlm. 38
5
S. Prajudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994, hlm. 82
perbuatan administrasi negara harus berdasarkan ketentuan Undang-Undang.
Akan tetapi tidak mungkin bagi Undang-Undang untuk mengatur segala macam
kasus posisi dalam praktek kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, perlu adanya
kebebasan atau diskresi dari administrasi negara.
Sedangkan Sjachran Basah mengatakan bahwa freies ermessen adalah
kebebasan untuk bertindak atas inisiatif sendiri, akan tetapi dalam pelaksanaannya
haruslah tindakan-tindakan administrasi negara itu sesuai dengan hukum,
sebagaimana telah ditetapkan dalam negara hukum berdasarkan Pancasila. 6
Sedangkan Diana Halim Koentjoro mengartikan freies ermessen sebagai
kemerdekaan bertindak administrasi negara atau pemerintah (eksekutif) untuk
menyelesaikan masalah yang timbul dalam keadaan kegentingan yang memaksa,
dimana peraturan penyelesaian untuk masalah itu belum ada. 18
Freies ermessen ini digunakan terutama karena; pertama, kondisi darurat
yang tidak memungkinkan untuk menerapkan ketentuan tertulis; kedua, tidak ada
atau belum ada peraturan yang mengaturnya; ketiga, sudah ada peraturannya
namun redaksinya samar atau multitafsir. Kebebasan diskresi tersebut adalah
kebebasan administrasi yang mencakup kebebasan administrasi
(interpretatieverijheid), kebebasan mempertimbangkan (beoordelingsvrijheid), dan
kebebasan mengambil kebijakan (beleidsvrijheid). Kebebasan interpretasi
mengimplikasikan kebebasan yang dimiliki organ pemerintah untuk
menginterpretasikan suatu undang-undang. Kebebasan mempertimbangkan
muncul ketika undang-undang menampilkan dua pilihan (alternatif) kewenangan
terhadap persyaratan tertentu yang pelaksanaannya dapat dipilih oleh organ
pemerintahan.
Sedangkan kebebasan mengambil kebijakan lahir ketika pembuat undang-
undang memberikan kewenangan kepada organ pemerintahan dalam
melaksanakan kekuasaannya untuk melakukan inventarisasi dan
mempertimbangkan berbagai kepentingan.19
Kebebasan ada yang bersifat subjektif dan juga ada yang bersifat objektif
186
Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolok Ukur Peradilan Administrasi Negara di Indonesia,
Bandung: Alumni, 1997, hlm. 3
Diana Halim Koentjoro, Hukum Administrasi Negara, Bogor: Ghalia Indonesia, 2004, hlm. 41
19
Ridwan, Tiga Dimensi… op. cit., hlm. 81 – 82
Kebebasan mempertimbangkan yang bersifat subjektif (subjectieve
beordelingsruimte), yaitu kebebasan untuk menentukan sendiri dengan cara
bagaimana dan kapan wewenang yang dimiliki itu dilaksanakan. Sedangkan
kebebasan mempertimbangkan yang bersifat objektif (objectieve beordelingsruimte)
yaitu kebebasan menafsirkan mengenai ruang lingkup wewenang yang dirumuskan
dalam peraturan dasar wewenangnya. Ketika kebebasan pemerintah atau freies
ermessen ini dituangkan dalam bentuk tertulis, ia akan menjadi peraturan
kebijakan.9
Konsekuensi logis dari adanya kewenangan freies ermessen ini, pemerintah
diberi kewenangan droit function, yaitu kekuasaan untuk menafsirkan terhadap
suatu peraturan perundang-undangan, namun bukan berarti pemerintah boleh
berbuat sewenang-wenang. Pemerintah dilarang melakukan tindakan-tindakan
yang bersifat detournement de pouvoir (melakukan sesuatu diluar tujuan
kewenangan yang diberikan) atau onrechtmatige overheidsdaad (perbuatan
melawan hokum oleh penguasa). Sebab setiap perbuatan pemerintah yang
merugikan warganya karena detournement de pouvoir atau onrechtmatige
overheidsdaad dapat dituntut baik melalui peradilan administrasi negara maupun
melalui peradilan umum.
20
209
Ibid.
SF. Marbun dan Moh Mahfud MD, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Cetakan ke-6,
Yogyakarta: Liberty, 2006, hlm. 47
sedangkan organ tersebut bebas untuk (tidak) menggunakan meskipun syarat-
syarat bagi penggunaannya secara sah dipenuhi.
2). Wewenang diskresi dalam arti yang sesungguhnya ada, yakni wewenang
menurut hukum diserahkan kepada organ pemerintahan untuk menilai secara
mandiri dan eksklusif apakah syarat-syarat bagi pelaksanaan suatu wewenang
secara sah telah di penuhi. 11 Beranjak dari pehaman tersebut Philipus M Hadjon
menyimpulkan adanya dua jenis kekuasaan bebas atau kekuasan diskresi, yakni :
a). Kewenangan untuk memutus secara mandiri ;
b). Kewenangan interpretasi terhadapnorma yang kabur (vage norm). 12
11
Prof. Dr. H. Sadjijono, S.H., M.Hum, Bab-Bab Pokok Hukum Administrasi, LaksBang PRESSindo,
Yogyakarta, 2008, hal.66
12
philupus M. Hadjon pemerintahan menurut hukum (wet-enrechtnatigheid van bestuur)
13
Pasal 24 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menyatakan:
Pejabat Pemerintahan yang menggunakan Diskresi harus memenuhi syarat:
a. sesuai dengan tujuan Diskresi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2);
b. tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. sesuai dengan AUPB;
d. berdasarkan alasan-alasan yang objektif;
e. tidak menimbulkan Konflik Kepentingan; dan
f. dilakukan dengan iktikad baik.
Ada tidaknya unsur penyalahgunaan wewenang diuji dengan asas spesialitas
(specialiteitsbeginsel) yakni asas yang menentukan bahwa wewenang itu diberikan
kepada organ pemerintahan dengan tujuan tertentu. Jika menyimpang dari tujuan
diberikannya wewenang ini dianggap sebagai penyalahgunaan wewenang. Unsur
sewenang-wenang diuji dengan asas rasionalitas atau kepantasan (redelijk). Suatu
kebijakan dikategorikan mengandung unsur willekeur jika kebijakan itu nyata-nyata
tidak masuk akal atau tidak beralasan (kennelijk onredelijk).14 Sedangkan
penggunaan diskresi dapat dikategorikan mencampuradukkan wewenang apabila
menggunakan diskresi tidak sesuai dengan tujuan wewenang yang diberikan atau
bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).
Penggunaan Diskresi dikategorikan sebagai tindakan sewenang-wenang apabila
dikeluarkan oleh pejabat yang tidak berwenang. 15 Tujuan penggunaan diskresi oleh
pejabat pemerintahan menurut Undang-Undang Administrasi Pemerintahan adalah
bertujuan untuk melancarkan penyelenggaraan pemerintahan, mengisi kekosongan
hokum, memberikan kepastian hokum, dan mengatasi stagnasi pemerintahan
dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum.21
Selanjutnya Undang-Undang Administrasi Pemerintahan tersebut menyebutkan
bahwa penggunaan diskresi wajib dipertanggungjawabkan kepada pejabat
atasannya dan masyarakat yang dirugikan akibat keputusan diskresi yang telah
diambil serta dapat diuji melalui upaya administratif atau gugatan di Peradilan Tata
Usaha Negara.
Ketentuan tersebut berarti bahwa Undang-Undang Administrasi Pemerintahan
bukan hanya akan memberi batas-batas penggunaan diskresi oleh Badan/Pejabat
administrasi Pemerintahan, akan tetapi juga mengatur mengenai
pertanggungjawaban Badan/Pejabat Administrasi Pemerintahan terhadap
penggunaan diskresi yang tidak hanya bersifat pasif dalam arti menunggu adanya
gugatan dari masyarakat melalui Pengadilan Tata Usaha Negara, akan tetapi juga
2114
Julista Mustamu, “Diskresi dan Tanggungjawab Administrasi Pemerintahan”, Jurnal Sasi Vol.
17 No. 2 Bulan April-Juni 2011, hlm. 4 – 5
15
Lihat Pasal 31 dan 32 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
16
Lihat Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
bersifat aktif dengan adanya kewajiban mempertanggungjawabkan penggunaan
diskresi kepada Pejabat atasannya mengingat hal tersebut merupakan suatu
kewajiban yang sifatnya melekat pada kewenangan yang menjadi dasar adanya
diskresi itu sendiri dan di dalam penjelasannya disebutkan bahwa
pertanggungjawaban kepada atasan dilaksanakan dalam bentuk tertulis dengan
memberikan alasan-alasan pengambilan keputusan diskresi.
2722
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: UII Press, 2002, hlm. 95
Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945,
23
24
Julista Mustamu, “Diskresi… op. cit., hlm. 4
berperan aktif mencampuri bidang kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Untuk itu
kepada pemerintah dilimpahkan bestuurszorg atau public service. Agar servis
publik dapat dilaksanakan dan mencapai hasil maksimal, kepada administrasi
negara diberikan suatu kemerdekaan tertentu untuk bertindak atas inisiatif sendiri
menyelesaikan berbagai permasalahan pelik yang membutuhkan penanganan
secara cepat, sementara terhadap permasalahan itu tidak ada atau masih belum
dibentuk suatu dasar hukum penyelesaiannya oleh lembaga legislatif25.
Dengan adanya freies ermessen ini berarti bahwa sebagian kekuasaan yang
dipegang oleh badan pembentuk undang-undang dipindahkan ke dalam tangan
pemerintah/administrasi negara, sebagai badan eksekutif. Jadi supremasi badan
legislatif diganti oleh supremasi badan eksekutif 26 karena administrasi negara
melakukan penyelesaian masalah tanpa harus menunggu perubahan undang-
undang dari badan legislatif 27. Hal tersebut karena pada prinsipnya Badan/Pejabat
administrasi pemerintahan tidak boleh menolak untuk memberikan pelayanan
kepada masyarakat dengan alasan hukumnya tidak ada ataupun hukumnya ada
tetapi tidak jelas, sepanjang hal tersebut masih menjadi kewenangannya.
Seringkali ditemui dalam praktik keputusan diskresi itu dituangkan dalam
bentuk Keputusan Presiden dan Keputusan Menteri. Dalam hal ini Keputusan
Presiden dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua) yaitu sebagai keputusan
(beschikking), dan peraturan kebijakan (beleidsregel/policy rules).28 Oleh karena
satu produk hukum
berupa Keputusan Presiden dapat diklasifikasikan menjadi dua hal sebagaimana
disebut diatas, maka konsekuensinya adalah bahwa untuk menguji suatu
Keputusan Presiden tidak dapat dilihat pada nomenklaturnya saja, akan tetapi
harus dilihat materi muatannya apakah sebagai keputusan (beschikking), atau
peraturan kebijakan (beleidsregel/policy), sebab secara substansi pengujiannya
akan berbeda. Peraturan kebijakan bukan peraturan perundang-undangan
sehingga tidak dapat diuji secara hukum (wetmatigheid). Pengujian terhadap
peraturan kebijakan lebih diarahkan kepada doelmatigheid dan karena itu batu uji
2825
Patuan Sinaga, Hubungan antara kekuasaan dengan Pouvoir Discretionnaire Dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan dalam SF Marbun dkk, Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum
Administrasi Negara, Yogyakarta: UII Press, 2001, hlm. 73
26
A. Siti Soetami, Hukum Administrasi Negara, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
2000, hlm. 46
27
Diana Halim Koentjoro, Hukum Administrasi Negara, Bogor: Ghalia Indonesia, 2004, hlm. 42
Anna Erliyanna, “Keputusan Presiden… op. cit., hlm. 131
adalah asas-asas umum penyelenggaraan pemerintah yang baik.29
Adapun secara keseluruhan Pejabat Administrasi Pemerintahan atau Badan
yang memiliki kewenangan untuk menetapkan keputusan diskresi adalah :30
a. Presiden;
b. Para Menteri atau Pejabat setingkat Menteri;
c. Panglima TNI dan Kepala Staf Angkatan Darat, Laut dan Udara;
d. Kepala Kepolisian Negara;
e. Ketua Komisi/Dewan dan Lembaga setara;
f. Gubernur;
g. Bupati dan Walikota;
h. Pejabat Eselon I di Pemerintah Pusat dan Provinsi;
i. Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota;
j. Pimpinan Badan. Serta pejabat operasional yang memiliki kewenangan
untuk menetapkan keputusan diskresi karena tugasnya berhubungan langsung
dengan pelayanan masyarakat seperti:
1) Kepala resort Kepolisian Negara;
2) Camat
Selain jabatan-jabatan tersebut diatas, pada prinsipnya setiap pejabat yang
menjalankan urusan pemerintahan yang memiliki kewenangan secara atributif
maupun delegasi memiliki kewenangan diskresi karena kewenangan diskresi
merupakan pelengkap dari asas legalitas. Bagi Negara yang menganut ajaran
welfare state, asas
legalitas saja tidak cukup untuk dapat berperan secara maksimal dalam melayani
kepentingan masyarakat yang berkembang pesat sejalan dengan perkembangan
ilmu dan teknologi. Oleh karena itu, diskresi ini muncul sebagai alternative untuk
mengisi kekurangan dan kelemahan di dalam penerapan asas legalitas
(wetmatigheid van bestuur).31
32
Muchsan, Catatan Materi Perkuliahan Hukum, Program Magister UGM, 2011
Adapun beberapa diskresi dalam penanganan covid 19 diantara lain :
E. MALADMINISTRASI
33
https://ombudsman.go.id/artikel/r/artikel--diskresi-untuk-solusi-penanggulangan-covid-19
34
Prof. Dr. H. Sadjijono, S.H., M.Hum, Bab-Bab Pokok Hukum Administrasi, LaksBang PRESSindo,
Yogyakarta, 2008, hal.124
maladministrasi, bahwa Tindakan hukum dimaksud bertentangan dengan kaidah
atau norma dalam menjalankan pemerintahan termasuk norma hukum. 35
Penjelasan lebih luas mengenai maladmistrasi lagi Sunaryo Hartono
merumuskan 20 substansi permasalahan yang menjadi kompetensi Ombudsman,
meliputi :
1. penundaan berlarut;
2. tidak menangani:
3. persengkokolan;
4. pemalsuan;
5. diluar kompetensi;
6. tidak kompeten;
7. penyalahgunaan wewenang (tidak mampu atau tidak cakap)
8. bertindak sewenang-wenang
9. permintaan imbalan uang/korupsi
10. kolusi dan nipotisme;
11. penyimpangan prosedur;
12. melalaikan kebajikan;
13. bertindak tidak layak atau tidak patut;
14. penggelapan barang bukti;
15. penguasaan tanpa hak;
16. bertindak tidak adil;
17. intervensi;
18. nyata-nyata berpihak;
19. pelanggaran undang-undang;
20. perbuatan melawan hukum (bertentangan dengan ketentuan yang berlaku dan
kepatutan)36
Tindakan maladministrasi sangat bertentangan dengan konsep good
governance sebagai kaidah etika atau moral dalam penyelenggaran pemerintahan
untuk mewujudkan pemerintahan yang baik, sedangkan maladministrasi nyata-
nyata sebagai tindakan administrasi yang bertentangan dengan etika atau moral
dan hukum.37 Sebagaimana dikatakan oleh SF. Marbun dkk, bahwa sikap tindak
administrasi negara dalam menjalankan fungsinya melaksanakan pelayanan public,
35
Ibid, h 129
36
Komisi ombudsman nasional dalam rangka sosialisasi keputusan presiden No. 44 tahun 2000
tentang komisi ombudsman nasional
harus tetap berdasarkan hukum yang berlaku hukum yang berlaku dan prinsip-
prinsip hukum umum yang diterima.38
Berkaitan dengan tanggung jawab Tindakan hukum tersebut, lebih lanjut
Sjachran Basah, mengemukakan, bahwa dalam menjalankan tugas-tugas servis
public itu secara aktif, maka bagi administrasi timbul konsekuensi khusus, yaitu
diperlukan freies Ermessen yang memungkinkan oleh hukum agar dapat bertindak
atas inisiatif sendiri. Namun keputusan-keputusan yang diambil untuk
menyelesaikan masalah-masalah itu harus dapat dipertanggung-jawabkan secara
moral kepada Tuhan Yang Maha Esa (Tap MPR No.II/MPR/1978) dan kepada
hukum (Pasal 27 ayat (1) UUD 1945) yang merupakan tolak ukur penting, dalam
menentukan batas toleransi Tindakan-tindakan administrasi negara, sehingga bagi
mereka yang terkena Tindakan itu tidak dirugikan. 39 Dapat ditarik simpulan dalam
penyelenggaraan pemerintahan harus disesuaikan dengan Norma-Norma dan
aturan hukum dan tidak bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku.
BAB III
37
Prof. Dr. H. Sadjijono, S.H., M.Hum, Bab-Bab Pokok Hukum Administrasi, LaksBang PRESSindo,
Yogyakarta, 2008, hal.130
38
SF. Marbun dkk, dimensi-dimensi hukum administrasi, UU Press, Cet, 1, Yogyakarta, 2021, h.285
39
Sjachhran Basah, Eksistensi Dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi Di Indonesia, Alumni,
cet.3,Bandung,1997,h,285
A. ASAS RECHTMATIGHEID
Hukum administrasi terdapat asas het vermoeden van rechtmatigheid atau
asas preasymptio iustae causa atau asas praduga rechtmatigheid, yaitu asas yang
menyatakan bahwa demi kepastian hukum setiap keputusan tata usaha negara
yang dikeluarkan harus dianggap benar menurut hukum, dapat dilaksanakan lebih
dahulu selama belum dibuktikan dan dinyatakan oleh hakim sebagai keputusan
yang bersifat melawan hukum.40 Asas rechtmatigheid dikuatkan dan dijadikan asas
dalam Peradilan Tata Usaha Negara, sehingga suatu gugatan yang diajukan ke
PTUN pada prinsipnya tidak akan menghalangi dilaksanakannya keputusan
badan / pejabat tata usaha negara yang disengketakan. 41 Asas ini telah dimuat
dalam ketentuan Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
PTUN.
Ketentuan dalam pasal 53 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 jo Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 jo yang mengatur bahwa salah satu
alasan untuk diajukannya gugatan ke PTUN adalah jika “Keputusan Tata Usaha
Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku”. Sebuah KTUN selain tidak boleh bertentangan dengan Asas-Asas
Umum pemerintahan yang baik (AAUPB).42
UU PTUN tidak diatur tegas bahwa mengenai syarat KTUN dapat diujikan di
PTUN adalah termasuk jika bertentangan dengan AAUPB tetapi tidak lama setelah
UU PTUN diberlakukan secara efektif di seluruh wilayah Indonesia sejak tanggal 14
Januari 1991, telah terdapat PTUN yang menjatuhkan putusan dengan menyatakan
batal atau tidak sah sebuah KTUN dengan alasan bertentangan dengan AAUPB,
seperti putusan PTUN Palembang tanggal 6 Juli 1991 No.06/PTUN/G/PLG/1991. 43
Permohonan penundaan pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara dikabulkan
jika ada kepentingan penggugat yang mendesak dan kepentingan penggugat
sangat dirugikan nila Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat tetap
dilaksanakan. Hal ini diatur dalam Pasal 67 ayat (4) huruf a Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1986 jo Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor
51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
40
S.F Marbun, (1997), Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia,
Yogyakarta: Liberty, hlm 197.
41
Ibid. hlm 198
42
Abdullah gofar, (2014), Teori Dan Praktek Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Malang:
Tunggal Mandiri. hlm 107.
43
Ibid. hlm 109
Konsep mengenai diskresi Kepolisian terdapat dalam Pasal 18 Undang-undang
Kepolisian Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia 44
yang berbunyi :
1. Untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut
penilaiannya sendiri.
2. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat
dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan
perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik
Indonesia.45
Rumusan kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam Pasal 18 ayat
(1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 ini merupakan kewenangan yang
bersumber dari asas kewajiban umum Kepolisian (plichtmatigheids beginsel) yaitu
suatu asas yang memberikan kewenangan kepada pejabat kepolisian untuk
bertindak atau tidak bertindak menurut penilaiannya sendiri, dalam rangka
kewajiban umumnya menjaga, memelihara ketertiban dan menjamin keamanan
umum.46
B. ASAS PLICHTMATIGHEID
44
Sejak ditetapkannya Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 Bab XII tentang Pertahanan dan Keamanan Negara, Ketetapan MPR RI No. VI/MPR/2000 dan
Ketetapan MPR RI No. VII/MPR/2000, maka secara konstitusional telah terjadi perubahan yang
menegaskan rumusan tugas, fungsi, dan peran Kepolisian Negara Republik Indonesia serta
pemisahan kelembagaan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia
sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing. Undang-Undang ini telah didasarkan kepada
paradigma baru sehingga diharapkan dapat lebih memantapkan kedudukan dan peranan serta
pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai bagian integral dari reformasi
menyeluruh segenap tatanan kehidupan bangsa dan negara dalam mewujudkan masyarakat madani
yang adil, makmur, dan beradab berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
45
Yang dimaksud dengan "bertindak menurut penilaiannya sendiri" adalah suatu tindakan yang dapat
dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dalam bertindak harus mempertimbangkan
manfaat serta resiko dari tindakannya dan betul-betul untuk kepentingan umum.
46
Warsito Hadi Utomo. (2005). Hukum Kepolisian Di Indonesia. Jakarta: Prestasi Pustaka, hlm. 24
baru diperkenalkan walaupun dalam kenyataan sehari-hari selalu digunakan. 47
Diskresi sebagai salah satu wewenang yang diberikan kepada kepolisian
merupakan upaya pencapaian penegakan hukum, dan diskresi merupakan menurut
Warsito Hadi Utomo merupakan kelengkapan dari sistem pengaturan oleh hukum
itu sendiri.48 Diskresi kepolisian di dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002
belum dirumuskan dan dijabarkan secara rinci tentang bentuk dan jenis-jenis
tindakan apa saja yang termasuk dalam diskresi, yang ada hanya berupa batasan
atau ukuran yang dijadikan pedoman dalam mengambil keputusan menerapkan
diskresi kepolisian, batasan dalam menerapkan diskresi dijelaskan dalam Pasal 16
ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002.
Pasal 18 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, yang menentukan bahwa
untuk kepentingan umum, pejabat kepolisian dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. Rumusan
kewenangan diskresi kepolisian merupakan kewenangan yang bersumber dari asas
kewajiban umum kepolisian (plichtmatigheids beginsel), yaitu asas yang
memberikan kewenangan kepada aparat kepolisian untuk bertindak ataupun tidak
melakukan tindakan apapun berdasarkan penilaian pribadi sendiri dalam rangka
kewajibannya menjaga, memelihara ketertiban dan menjaga keamanan umum.
Keabsahan kewenangan diskresi kepolisian, didasarkan pada pertimbangan
keperluannya untuk menjalankan tugas kewajibannya dan ini tergantung pada
kemampuan subyektifnya sebagai petugas.
Substansi Pasal 18 ayat (1) Undang-undang Kepolisian Nomor 2 Tahun
2002 merupakan konsep kewenangan kepolisian yang baru diperkenalkan
walaupun dalam kenyataan sehari-hari selalu digunakan. Oleh karena itu,
pemahaman tentang “diskresi kepolisian” dalam pasal 18 ayat (1) harus dikaitkan
juga dengan konsekuensi pembinaan profesi yang diatur dalam Pasal 1, Pasal 32,
dan 33 Undang-undang Nomor 2 tahun 2002, akan mampu mengambil tindakan
secara tepat dan profesional berdasarkan penilaiannya sendiri dalam rangka
47
Pasal 1 angka 7 “Kepentingan umum adalah kepentingan masyarakat dan/atau kepentingan
bangsa dan negara demi terjaminnya keamanan dalam negeri”. Pasal 32 (1) Pembinaan kemampuan
profesi pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia diselenggarakan melalui pembinaan etika
profesi dan pengembangan pengetahuan serta pengalamannya di bidang teknis kepolisian melalui
pendidikan, pelatihan, dan penugasan secara berjenjang dan berlanjut. (2) Pembinaan kemampuan
profesi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Kapolri. Pasal 33
“Guna menunjang pembinaan profesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dilakukan pengkajian,
penelitian, serta pengembangan ilmu dan teknologi kepolisian”.
48
Warsito Hadi Utomo. (2005). Hukum Kepolisian Di Indonesia. Jakarta: Prestasi Pustaka, hlm. 20
pelaksanaan tugasnya. Rumusan dalam pasal 18 ayat (2) merupakan rambu-rambu
bagi pelaksanaan diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu selain asas
keperluan, tindakan diskresi tetap harus sesuai dan memperhatikan peraturan
perundang-undangan serta kode etik profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
BAB IV
Asas rechtmatigheid dikuatkan dan dijadikan asas dalam Peradilan Tata Usaha
Negara, sehingga suatu gugatan yang diajukan ke PTUN pada prinsipnya tidak
akan menghalangi dilaksanakannya keputusan badan / pejabat tata usaha negara
yang disengketakan. Permohonan penundaan pelaksanaan Keputusan Tata Usaha
Negara dapat dikabulkan jika ada kepentingan penggugat yang mendesak dan
kepentingan penggugat sangat dirugikan bila Keputusan Tata Usaha Negara yang
digugat tetap dilaksanakan. asas kewajiban umum Kepolisian (plichtmatigheids
beginsel) yaitu suatu asas yang memberikan kewenangan kepada pejabat
kepolisian untuk bertindak atau tidak bertindak menurut penilaiannya sendiri, dalam
rangka kewajiban umumnya menjaga, memelihara ketertiban dan menjamin
keamanan umum. Keabsahan kewenangan diskresi kepolisian, didasarkan pada
pertimbangan keperluannya untuk menjalankan tugas kewajibannya dan ini
tergantung pada kemampuan subyektifnya sebagai petugas.
B. SARAN
Menimbang penulis masih jauh dari kata sempurna untuk itu diperlukan saran yang
membangun dalam penulisan makalah ini, saran berupa kritik tanggapan ditujukan
pada sistematis penulisan maupun pembahasan guna sebagai perbaikan
kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. H. Sadjijono, S.H., M.Hum, Bab-Bab Pokok Hukum Administrasi,
LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, 2008, hal.66, 124,129, 130
Ridwan, Tiga Dimensi Hukum Administrasi dan Peradilan Administrasi,
Yogyakarta: FH UII, Press, 2009, hlm. 51,80-81,82
JCT Simorangkir dkk., Kamus Hukum, Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2008, hlm.
38
S. Prajudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia,
1994, hlm. 82
Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolok Ukur Peradilan Administrasi Negara di
Indonesia, Bandung: Alumni, 1997, hlm. 3
Diana Halim Koentjoro, Hukum Administrasi Negara, Bogor: Ghalia Indonesia,
2004, hlm. 41
SF. Marbun dan Moh Mahfud MD, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara,
Cetakan ke-6, Yogyakarta: Liberty, 2006, hlm. 47, 117
philupus M. Hadjon pemerintahan menurut hukum (wet-enrechtnatigheid van
bestuur)
Julista Mustamu, “Diskresi dan Tanggungjawab Administrasi Pemerintahan”,
Jurnal Sasi Vol.17 No. 2 Bulan April-Juni 2011, hlm. 4 – 5
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan Pasal
22, (2), 23, 24, 31 dan 32
Rusli K. Iskandar, Normatifisasi Hukum Administrasi Negara, dalam SF Marbun
dkk, Dimensi- Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara,
Yogyakarta: UII Press, 2001, hlm. 187
Anna Erliyanna, “Keputusan Presiden, Analisis Keppres RI 1987-1998”, Program
Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2005, hlm.
131,138,
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: UII Press, 2002, hlm. 95
Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan
Dalam UUD 1945, Yogyakarta: FH UII Press, 2004, hlm. 25
Patuan Sinaga, Hubungan antara kekuasaan dengan Pouvoir Discretionnaire
Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan dalam SF Marbun dkk, Dimensi-
Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: UII Press,
2001, hlm. 73
A. Siti Soetami, Hukum Administrasi Negara, Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, 2000, hlm. 46
Diana Halim Koentjoro, Hukum Administrasi Negara, Bogor: Ghalia Indonesia,
2004, hlm. 42
Bagir Manan, “Peraturan Kebijakan”, Varia Peradilan, Desember 2008, hlm. 15
Muchsan, Catatan Materi Perkuliahan Hukum, Program Magister UGM, 2011
https://ombudsman.go.id/artikel/r/artikel--diskresi-untuk-solusi-penanggulangan-
covid-19
keputusan presiden No. 44 tahun 2000 tentang komisi ombudsman nasional
SF. Marbun dkk, dimensi-dimensi hukum administrasi, UU Press, Cet, 1,
Yogyakarta, 2021, h.285
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara Edisi Revisi, Cetakan ke-6, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2011, hlm. 171
Sjachhran Basah, Eksistensi Dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi Di
Indonesia, Alumni, cet.3,Bandung,1997,h,285
S.F Marbun, (1997), Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di
Indonesia, Yogyakarta: Liberty, hlm 197, 198.
Abdullah gofar, (2014), Teori Dan Praktek Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara, Malang: Tunggal Mandiri. hlm 107, 109.
Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Bab XII tentang Pertahanan dan Keamanan Negara, Ketetapan MPR RI
No. VI/MPR/2000 dan Ketetapan MPR RI No. VII/MPR/2000,
Warsito Hadi Utomo. (2005). Hukum Kepolisian Di Indonesia. Jakarta: Prestasi
Pustaka, hlm. 24
Warsito Hadi Utomo. (2005). Hukum Kepolisian Di Indonesia. Jakarta: Prestasi
Pustaka, hlm. 20