Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH TEMA

PENGGUNAAN WEWENANG DISKRESI DAN CARA DALAM


PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN

Dosen pengampu :
1. Prof. Dr. H. Sadjijono, S.H., M.Hum.
2. Moh. Ali Imron F H., S.H.,M.H

Disusun Oleh:
1. Ananda Lesmana (2011111015) A
2. Elisa Rosmadiyah (2011111097) A
3. La Ode Rafli (2011121026) A
4. Redika Audito H. (2011111040) A
5. Agurisia Divana (2011111058) B
6. Fairuz Adira R.P. (2011111020) B
7. Nabila Maulana L (2011111072) B
8. Vionita Oktaviani (2011111024) B

UNIVERSITAS BHAYANGKARA SURABAYA


FAKULTAS HUKUM
2021/2022
KATA PENGANTAR
Segala puji teruntuk tuhan sang pencipta alam semesta Allah SWT karena
atas segala Rahmat, Karunia, Inayah, Hikmah, Kesehatan terutama Nikmat Ilmu
yang menghantarkan Iman yang sekiranya mengingatkan kita sebagai seorang
Hamba yang membawa tanggung jawab Tauhid dan Umat atau hubungan vertikal
dan horizontal Sehingga kami Dapat menyelesaikan Makalah Hukum Administrasi
yang bertema “Penggunaan Wewenang Diskresi Dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan” yang Alhamdulillah kami kelompok 5 dapat menyelesaikannya
dengan segala upaya dan sepengetahuan kami walaupun kami menyadari Bersama
bahwa berapa lembar materi ini masih belum sempurna.

Terimakasih teruntuk Sang pahlawan yang mencerdaskan kami dalam


pembelajaran kuliah Administrasi dengan system belajarnya yakni; Prof. Dr. H.
Sadjijono, S.H, M.Hum. dan terimakasih kepada sang Mentor Moh. Ali Imron F H.,
S.H., M.Hum. yang menemani kami Guna mencerdaskan. Tugas Makalah ini
tentunya begitu bermanfaat sebagai proses pembelajaran kami kedepannya.

Makalah ini Membahas wewenang Diskresi yang di mana kami Buat dari
beberapa referensi buku maupun jurnal dan media juga sebagai pembantu
mengumpulkan data.

Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua yang
membaca.
DAFTAR ISI

Table of Contents
KATA PENGANTAR...........................................................................................................................ii
DAFTAR ISI....................................................................................................................................iii
BAB I....................................................................................................................................................1
LATAR BELAKANG MASALAH DAN RUMUSAN MASALAH......................................................1
A. Latar Belakang masalah...........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................................................................1
BAB II...................................................................................................................................................2
DISKRESI DALAM PELAYANAN PUBLIC......................................................................................2
A. KONSEPSI DISKRESI...........................................................................................................2
B. BATASAN PENGGUNAAN DISKRESI...................................................................................5
C. DISKRESI SEBAGAI INSTRUMEN PEMERINTAH DALAM PENYELENGGARAAN
PEMERINTAHAN...........................................................................................................................9
D. KEBIJAKAN DISKRESI DALAM PRAKTEK.......................................................................13
E. MALADMINISTRASI................................................................................................................15
BAB III................................................................................................................................................18
ASAS RECHTMATIGHEID DAN PLICHTMATIGHEID...............................................................18
A. ASAS RECHTMATIGHEID....................................................................................................18
B. ASAS PLICHTMATIGHEID....................................................................................................19
BAB IV................................................................................................................................................22
KESIMPULAN DAN SARAN...........................................................................................................22
A. KESIMPULAN.........................................................................................................................22
B. SARAN......................................................................................................................................22
BAB I

LATAR BELAKANG MASALAH DAN RUMUSAN MASALAH


A. Latar Belakang masalah
Negara memiliki tujuan dalam mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya
(welfare state). Sehingga negara perlu melakukan berbagai hal dalam memenuhi
kebutuhan masyarakat melalui penyelenggaraan pelayanan publik. Agar pemenuhan
kebutuhan masyarakat dapat berjalan dengan baik, maka urgensitas terkait kualitas
pelayanan publik sangatlah besar. Dalam menjalankan pelayanan publik tentunya
ada norma wewenang yang menjadi dasar dari pada legitimasi tindakan pemerintah.
Wewenang lahir dari undang-undang ataupun pelimpahan wewenang. Namun dalam
prakteknya tidak setiap perbuatan ditemukan payung hukum yang menjadi sandaran
bagi penyelenggara pemerintahan / pejabat pemerintahan sehingga dibutuhkan
diskresi. Pejabat pemerintahan yang dimaksud yaitu unsur yang melaksanakan
fungsi pemerintahan, baik di lingkungan pemerintah maupun penyelenggara negara
lainnya. Diskresi merupakan keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau
dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang
dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-
undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas,
dan/atau adanya stagnasi pemerintahan. Adapun contoh diskresi yang notabene
sangat dibutuhkan pada masa genting, misalnya pada pandemi Covid-19 bahwa
pemerintah perlu untuk mengambil keputusan yang cepat dan tepat dengan
memperhatikan anggaran yang telah direncanakan. Meskipun pada dasarnya situasi
dan kondisi masa pandemi Covid-19 seperti memberikan shock therapy bagi
pemerintah.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana prosedur penggunaan norma diskresi sehingga tidak terjadi
Maladministrasi pada Pelayanan Publik ? Jelaskan berikut 2 contoh konkrit di
lapangan!

2. Asas yang melandasi penggunaan wewenang tindakan pejabat pemerintahan di


samping asas diskresi masih ada asas lain seperti rechtmatigheid dan
plichtmatigheid. Apa maksud 3 asas dimaksud dan kapan tahapan asas tersebut
dipergunakan dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan !

BAB II

DISKRESI DALAM PELAYANAN PUBLIC


A. KONSEPSI DISKRESI
Dalam konsepsi negara hukum modern, diskresi, discretion (Inggris),
discretionair (Perancis), freies ermessen (Jerman) mutlak dibutuhkan oleh
pemerintah dan kepadanya melekat wewenang itu (inherent aan het bestuur),
sejalan dengan meningkatnya tuntutan pelayanan publik yang harus diberikan
pemerintah terhadap kehidupan sosial ekonomi para warga yang kian komplek.1

Diskresi sendiri diartikan sebagai salah satu sarana yang memberikan ruang
bergerak bagi pejabat atau badan-badan administrasi negara untuk melakukan
tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya pada undang-undang, atau tindakan yang
dilakukan dengan mengutamakan pencapaian tujuan (doelmatigheid) daripada
sesuai dengan hukum yang berlaku (rechtmatigheid).2
Pengertian diskresi menurut Kamus Hukum, diskresi berarti kebebasan
mengambil keputusan dalam setiap situasi yang dihadapi menurut pendapatnya
sendiri.3 Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi mengartikan diskresi sebagai keputusan atau tindakan yang
ditetapkan atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan
konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan
perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau
tidak jelas, atau adanya stagnasi pemerintahan.4 Ada beberapa pakar hukum yang
memberikan definisi diskresi diantaranya S. Prajudi Atmosudirjo yang
mendefinisikan diskresi sebagai kebebasan bertindak atau mengambil keputusan
dari para pejabat administrasi negara yang berwenang menurut pendapat sendiri 5.
Selanjutnya dijelaskannya bahwa diskresi diperlukan sebagai pelengkap dari
asas legalitas, yaitu asas hukum yang menyatakan bahwa setiap tindak atau

1
Ridwan, Tiga Dimensi Hukum Administrasi dan Peradilan Administrasi, Yogyakarta: FH UII
Press, 2009, hlm. 51
2
Ridwan, Tiga Dimensi… op. cit., hlm. 80 – 81
3
Ibid.
4
JCT Simorangkir dkk., Kamus Hukum, Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2008, hlm. 38
5
S. Prajudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994, hlm. 82
perbuatan administrasi negara harus berdasarkan ketentuan Undang-Undang.
Akan tetapi tidak mungkin bagi Undang-Undang untuk mengatur segala macam
kasus posisi dalam praktek kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, perlu adanya
kebebasan atau diskresi dari administrasi negara.
Sedangkan Sjachran Basah mengatakan bahwa freies ermessen adalah
kebebasan untuk bertindak atas inisiatif sendiri, akan tetapi dalam pelaksanaannya
haruslah tindakan-tindakan administrasi negara itu sesuai dengan hukum,
sebagaimana telah ditetapkan dalam negara hukum berdasarkan Pancasila. 6
Sedangkan Diana Halim Koentjoro mengartikan freies ermessen sebagai
kemerdekaan bertindak administrasi negara atau pemerintah (eksekutif) untuk
menyelesaikan masalah yang timbul dalam keadaan kegentingan yang memaksa,
dimana peraturan penyelesaian untuk masalah itu belum ada. 18
Freies ermessen ini digunakan terutama karena; pertama, kondisi darurat
yang tidak memungkinkan untuk menerapkan ketentuan tertulis; kedua, tidak ada
atau belum ada peraturan yang mengaturnya; ketiga, sudah ada peraturannya
namun redaksinya samar atau multitafsir. Kebebasan diskresi tersebut adalah
kebebasan administrasi yang mencakup kebebasan administrasi
(interpretatieverijheid), kebebasan mempertimbangkan (beoordelingsvrijheid), dan
kebebasan mengambil kebijakan (beleidsvrijheid). Kebebasan interpretasi
mengimplikasikan kebebasan yang dimiliki organ pemerintah untuk
menginterpretasikan suatu undang-undang. Kebebasan mempertimbangkan
muncul ketika undang-undang menampilkan dua pilihan (alternatif) kewenangan
terhadap persyaratan tertentu yang pelaksanaannya dapat dipilih oleh organ
pemerintahan.
Sedangkan kebebasan mengambil kebijakan lahir ketika pembuat undang-
undang memberikan kewenangan kepada organ pemerintahan dalam
melaksanakan kekuasaannya untuk melakukan inventarisasi dan
mempertimbangkan berbagai kepentingan.19
Kebebasan ada yang bersifat subjektif dan juga ada yang bersifat objektif

186
Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolok Ukur Peradilan Administrasi Negara di Indonesia,
Bandung: Alumni, 1997, hlm. 3
Diana Halim Koentjoro, Hukum Administrasi Negara, Bogor: Ghalia Indonesia, 2004, hlm. 41
19
Ridwan, Tiga Dimensi… op. cit., hlm. 81 – 82
Kebebasan mempertimbangkan yang bersifat subjektif (subjectieve
beordelingsruimte), yaitu kebebasan untuk menentukan sendiri dengan cara
bagaimana dan kapan wewenang yang dimiliki itu dilaksanakan. Sedangkan
kebebasan mempertimbangkan yang bersifat objektif (objectieve beordelingsruimte)
yaitu kebebasan menafsirkan mengenai ruang lingkup wewenang yang dirumuskan
dalam peraturan dasar wewenangnya. Ketika kebebasan pemerintah atau freies
ermessen ini dituangkan dalam bentuk tertulis, ia akan menjadi peraturan
kebijakan.9
Konsekuensi logis dari adanya kewenangan freies ermessen ini, pemerintah
diberi kewenangan droit function, yaitu kekuasaan untuk menafsirkan terhadap
suatu peraturan perundang-undangan, namun bukan berarti pemerintah boleh
berbuat sewenang-wenang. Pemerintah dilarang melakukan tindakan-tindakan
yang bersifat detournement de pouvoir (melakukan sesuatu diluar tujuan
kewenangan yang diberikan) atau onrechtmatige overheidsdaad (perbuatan
melawan hokum oleh penguasa). Sebab setiap perbuatan pemerintah yang
merugikan warganya karena detournement de pouvoir atau onrechtmatige
overheidsdaad dapat dituntut baik melalui peradilan administrasi negara maupun
melalui peradilan umum.
20

Berdasarkan doktrin-doktrin hukum tersebut diatas, maka dapat disimpulkan


bahwa pada hakekatnya diskresi merupakan kebebasan bertindak atau kebebasan
mengambil keputusan dari badan atau pejabat administrasi pemerintahan menurut
pendapatnya sendiri sebagai pelengkap dari asas legalitas manakala hukum yang
berlaku tidak mampu menyelesaikan permasalahan tertentu yang muncul secara
tiba-tiba, bisa karena peraturannya memang tidak ada atau karena peraturan yang
ada yang mengatur tentang sesuatu hal tidak jelas
Adapun wewenang diskresi terbagi menjadi dua ;
1). Wewenang diskresi dalam arti sempit, yakni bila peraturan perundang-
undangan memberikan wewenang tertentu kepada organ pemerintahan,

209
Ibid.
SF. Marbun dan Moh Mahfud MD, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Cetakan ke-6,
Yogyakarta: Liberty, 2006, hlm. 47
sedangkan organ tersebut bebas untuk (tidak) menggunakan meskipun syarat-
syarat bagi penggunaannya secara sah dipenuhi.
2). Wewenang diskresi dalam arti yang sesungguhnya ada, yakni wewenang
menurut hukum diserahkan kepada organ pemerintahan untuk menilai secara
mandiri dan eksklusif apakah syarat-syarat bagi pelaksanaan suatu wewenang
secara sah telah di penuhi. 11 Beranjak dari pehaman tersebut Philipus M Hadjon
menyimpulkan adanya dua jenis kekuasaan bebas atau kekuasan diskresi, yakni :
a). Kewenangan untuk memutus secara mandiri ;
b). Kewenangan interpretasi terhadapnorma yang kabur (vage norm). 12

B. BATASAN PENGGUNAAN DISKRESI


Untuk melihat batas-batas penggunaan diskresi dapat melihat rumusan di
dalam Pasal 24 Undang-Undang Administrasi Pemerintahan. 13 Rumusan pokok
pasal tersebut memberi batasan terhadap diskresi dengan menyebutkan bahwa
Pejabat pemerintahan yang menggunakan diskresi dalam mengambil keputusan
wajib mempertimbangkan tujuan diskresi, peraturan perundang-undangan yang
menjadi dasar diskresi dan asas- asas umum pemerintahan yang baik.
Dari rumusan tersebut terlihat bahwa rambu-rambu dalam penggunaan
diskresi dan pembuatan kebijakan pemerintah berdasarkan Hukum Administrasi
Negara adalah Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), khususnya
asas larangan penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) dan asas
larangan sewenang- wenang (willekeur). Dengan kata lain, kebijakan pemerintah
akan dikategorikan sebagai kebijakan yang menyimpang jika didalamnya ada unsur
sewenang-wenang. Selain itu kebijakan dianggap menyimpang jika bertentangan
dengan kepentingan umum.

11
Prof. Dr. H. Sadjijono, S.H., M.Hum, Bab-Bab Pokok Hukum Administrasi, LaksBang PRESSindo,
Yogyakarta, 2008, hal.66
12
philupus M. Hadjon pemerintahan menurut hukum (wet-enrechtnatigheid van bestuur)
13
Pasal 24 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menyatakan:
Pejabat Pemerintahan yang menggunakan Diskresi harus memenuhi syarat:
a. sesuai dengan tujuan Diskresi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2);
b. tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. sesuai dengan AUPB;
d. berdasarkan alasan-alasan yang objektif;
e. tidak menimbulkan Konflik Kepentingan; dan
f. dilakukan dengan iktikad baik.
Ada tidaknya unsur penyalahgunaan wewenang diuji dengan asas spesialitas
(specialiteitsbeginsel) yakni asas yang menentukan bahwa wewenang itu diberikan
kepada organ pemerintahan dengan tujuan tertentu. Jika menyimpang dari tujuan
diberikannya wewenang ini dianggap sebagai penyalahgunaan wewenang. Unsur
sewenang-wenang diuji dengan asas rasionalitas atau kepantasan (redelijk). Suatu
kebijakan dikategorikan mengandung unsur willekeur jika kebijakan itu nyata-nyata
tidak masuk akal atau tidak beralasan (kennelijk onredelijk).14 Sedangkan
penggunaan diskresi dapat dikategorikan mencampuradukkan wewenang apabila
menggunakan diskresi tidak sesuai dengan tujuan wewenang yang diberikan atau
bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).
Penggunaan Diskresi dikategorikan sebagai tindakan sewenang-wenang apabila
dikeluarkan oleh pejabat yang tidak berwenang. 15 Tujuan penggunaan diskresi oleh
pejabat pemerintahan menurut Undang-Undang Administrasi Pemerintahan adalah
bertujuan untuk melancarkan penyelenggaraan pemerintahan, mengisi kekosongan
hokum, memberikan kepastian hokum, dan mengatasi stagnasi pemerintahan
dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum.21
Selanjutnya Undang-Undang Administrasi Pemerintahan tersebut menyebutkan
bahwa penggunaan diskresi wajib dipertanggungjawabkan kepada pejabat
atasannya dan masyarakat yang dirugikan akibat keputusan diskresi yang telah
diambil serta dapat diuji melalui upaya administratif atau gugatan di Peradilan Tata
Usaha Negara.
Ketentuan tersebut berarti bahwa Undang-Undang Administrasi Pemerintahan
bukan hanya akan memberi batas-batas penggunaan diskresi oleh Badan/Pejabat
administrasi Pemerintahan, akan tetapi juga mengatur mengenai
pertanggungjawaban Badan/Pejabat Administrasi Pemerintahan terhadap
penggunaan diskresi yang tidak hanya bersifat pasif dalam arti menunggu adanya
gugatan dari masyarakat melalui Pengadilan Tata Usaha Negara, akan tetapi juga

2114
Julista Mustamu, “Diskresi dan Tanggungjawab Administrasi Pemerintahan”, Jurnal Sasi Vol.
17 No. 2 Bulan April-Juni 2011, hlm. 4 – 5
15
Lihat Pasal 31 dan 32 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
16
Lihat Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
bersifat aktif dengan adanya kewajiban mempertanggungjawabkan penggunaan
diskresi kepada Pejabat atasannya mengingat hal tersebut merupakan suatu
kewajiban yang sifatnya melekat pada kewenangan yang menjadi dasar adanya
diskresi itu sendiri dan di dalam penjelasannya disebutkan bahwa
pertanggungjawaban kepada atasan dilaksanakan dalam bentuk tertulis dengan
memberikan alasan-alasan pengambilan keputusan diskresi.

Meskipun didalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan ini tidak


mengatur sanksi apabila ketentuan keharusan melapor kepada atasannya tersebut
tidak dilaksanakan, tetapi paling tidak dengan dijadikannya batas-batas
penggunaan diskresi sebagai suatu norma yang mengikat, maka hal tersebut sudah
cukup untuk menghindari dilaksanakannya penyalahgunaan wewenang
(detournement de pouvoir) dan perbuatan sewenang-wenang (willekeur) oleh
Badan/Pejabat Administrasi Pemerintahan, sebab tujuan utama dari normatifisasi
adalah menciptakan dan menjadikan Hukum Administrasi Negara menunjang
kepastian hukum yang memberi jaminan dan perlindungan hukum, baik bagi warga
negara maupun administrasi negara22

Menurut Anna Erliyana, penggunaan freies ermessen oleh Badan/Pejabat


administrasi negara dimaksudkan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan
penting dan mendesak serta tiba-tiba yang sifatnya kumulatif. Bisa saja muncul
persoalan yang penting tapi tidak mendesak untuk segera diselesaikan. Ada pula
kemungkinan muncul persoalan mendesak, tapi tidak terlalu penting untuk
diselesaikan. Suatu persoalan baru dapat dikualifikasi sebagai persoalan penting
apabila persoalan tersebut menyangkut kepentingan umum, sedangkan kriteria
kepentingan umum harus ditetapkan oleh suatu peraturan perundang-undangan.23

Menurut Anna Erliyana, penggunaan freies ermessen oleh Badan/Pejabat


administrasi negara dimaksudkan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan
penting dan mendesak serta tiba-tiba yang sifatnya kumulatif. Bisa saja muncul
persoalan yang penting tapi tidak mendesak untuk segera diselesaikan. Ada pula
22
Rusli K. Iskandar, Normatifisasi Hukum Administrasi Negara, dalam SF Marbun dkk, Dimensi-
Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: UII Press, 2001, hlm. 187
23
Anna Erliyanna, “Keputusan Presiden, Analisis Keppres RI 1987-1998”, Program Pasca
kemungkinan muncul persoalan mendesak, tapi tidak terlalu penting untuk
diselesaikan. Suatu persoalan baru
dapat dikualifikasi sebagai persoalan penting apabila persoalan tersebut
menyangkut kepentingan umum, sedangkan kriteria kepentingan umum harus
ditetapkan oleh suatu peraturan perundang-undangan.24
Berdasarkan hal tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa penggunaan
kewenangan diskresi oleh Badan/Pejabat administrasi pemerintahan hanya dapat
dilakukan dalam hal tertentu dimana peraturan perundang-undangan yang berlaku
tidak mengaturnya atau karena peraturan yang ada yang mengatur tentang sesuatu
hal tidak jelas dan hal tersebut dilakukan dalam keadaan darurat/mendesak demi
kepentingan umum yang telah ditetapkan dalam suatu peraturan perundang-
undangan.
Sedangkan yang dimaksud persoalan-persoalan penting yang mendesak,
sekurang-kurangnya mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
a. Persoalan-persoalan yang muncul harus menyangkut kepentingan umum,
yaitu, kepentingan bangsa dan negara, kepentingan masyarakat luas, kepentingan
rakyat banyak/bersama, serta kepentingan pembangunan.25
b. Munculnya persoalan tersebut secara tiba-tiba, berada diluar rencana yang
telah ditentukan.
c. Untuk menyelesaikan persoalan tersebut, peraturan perundang-undangan
belum mengaturnya atau hanya mengatur secara umum, sehingga administrasi
Negara mempunyai kebebasan untuk menyelesaikan atas inisiatif sendiri.
d. Prosedurnya tidak dapat diselesaikan menurut administrasi yang normal,
atau jika diselesaikan menurut prosedur administrasi yang normal justru kurang
berdaya guna dan berhasil guna.
e. Jika persoalan tersebut tidak diselesaikan dengan cepat, maka akan
menimbulkan kerugian bagi kepentingan umum.
Berdasarkan doktrin dapat disimpulkan bahwa keadaan mendesak adalah
suatu keadaan yang muncul secara tiba-tiba menyangkut kepentingan umum yang
harus diselesaikan dengan cepat, dimana untuk menyelesaikan persoalan tersebut,
peraturan perundang-undangan belum mengaturnya atau hanya mengatur secara
2419
Anna Erliyanna, “Keputusan Presiden, Analisis Keppres RI 1987-1998”, Program Pasca Sarjana
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2005, hlm. 138
2520
SF Marbun dkk, Dimensi-Dimensi… op.cit., hlm. 117
umum. Sedangkan pengertian kepentingan umum menurut penjelasan Pasal 49
Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1986 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan
“kepentingan umum” adalah kepentingan bangsa dan Negara dan/atau kepentingan
masyarakat bersama dan/atau kepentingan pembangunan, sesuai dengan
peraturan perundang- undangan yang berlaku. Artinya masih memungkinkan
peraturan perundang-undangan yang bersifat sektoral menafsirkan arti kepentingan
umum pada bidang tertentu sepanjang bukan mengenai kepentingan orang-orang
atau kelompok/golongan tertentu saja melainkan berlaku secara luas.
Undang-Undang Administrasi Pemerintahan memberi penegasan batas
ruang lingkup penggunaan diskresi oleh Pejabat Pemerintahan meliputi: 26
a. pengambilan keputusan atau tindakan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang memberikan suatu pilihan keputusan atau
Tindakan;
b. pengambilan keputusan atau tindakan karena peraturan perundang-
undangan tidak mengatur;
c. pengambilan keputusan atau tindakan karena peraturan perundang-
undangan tidak lengkap atau tidak jelas; dan
d. pengambilan keputusan atau tindakan karena adanya stagnasi
pemerintahan guna kepentingan yang lebih luas.

C. DISKRESI SEBAGAI INSTRUMEN PEMERINTAH DALAM


PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN
Di dalam melakukan tindakan hukum (rechtshandelingen) Pejabat/Badan
administrasi pemerintahan memiliki instrumen pemerintahan. Instrumen pemerintah
yang dimaksudkan dalam hal ini adalah alat-alat atau sarana-sarana yang
digunakan oleh pemerintah atau administrasi negara dalam melaksanakan tugas-
tugasnya. Dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan tersebut, pemerintah
melakukan berbagai tindakan hukum dengan menggunakan berbagai instrumen
yuridis dalam menjalankan kegiatan, mengatur dan menjalankan urusan
pemerintahan dan kemasyarakatan, seperti peraturan perundang-undangan,
keputusan-keputusan, peraturan kebijaksanaan, perizinan, dan sebagainya27.
2621 Lihat
Pasal 23 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan

2722
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: UII Press, 2002, hlm. 95
Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945,
23

Yogyakarta: FH UII Press, 2004, hlm. 25


Produk hukum dari Badan/Pejabat administrasi pemerintahan yang berupa
dokumen-dokumen yang mengandung materi penetapan yang bersifat konkrit,
individual dan final dalam hukum administrasi disebut dengan keputusan
(Beschikking), sedangkan dokumen-dokumen yang mengandung materi
pengaturan yang bersifat umum disebut peraturan (regeling). Adapun perizinan
(vergunning) merupakan suatu bentuk pengecualian dari larangan yang terdapat
dalam suatu peraturan. Instrumen pemerintahannya dituangkan dalam bentuk
peraturan mengenai izin atas hal tertentu, sedangkan landasan
pelaksanaan/operasional bagi masyarakat atau badan/pejabat administrasi
pemerintahan adalah berupa keputusan administrasi pemerintahan mengenai izin
atas hal tersebut.

Sedangkan peraturan kebijakan (beleid regels), adalah merupakan produk


hukum yang lahir dari kewenangan mengatur kepentingan umum secara mandiri
atas dasar prinsip freies ermessen23 Artinya ketika freies ermessen atau diskresi ini
dituangkan dalam bentuk tertulis, ia menjadi peraturan kebijakan, yakni peraturan
umum yang dikeluarkan oleh instansi pemerintahan berkenaan dengan
pelaksanaan wewenang pemerintahan terhadap warga negara atau terhadap
instansi pemerintahan lainnya dan pembuatan peraturan tersebut tidak memiliki
dasar yang tegas dalam UUD dan undang-undang formal baik langsung maupun
tidak langsung.
Artinya, peraturan kebijaksanaan tidak didasarkan pada kewenangan
pembuatan undang-undang dan oleh karena itu tidak termasuk peraturan
perundang-undangan yang mengikat umum tetapi dilekatkan pada wewenang
pemerintahan suatu organ administrasi negara dan terkait dengan pelaksanaan
kewenangannya. Dalam hal ini, peraturan kebijakan (beleidsregel) adalah sarana
hukum tata usaha negara yang bertujuan mendinamisir keberlakuan peraturan
perundang-undangan.24
Dengan diberikan kewenangan untuk membuat peraturan kebijakan (beleid
regels) yang berdasar pada prinsip freies ermessen tersebut, sesungguhnya
merupakan implikasi dari negara kesejahteraan (welfare state). Karena sebagai
negara yang bertujuan untuk memajukan kesejahteraan umum, pemerintah harus

24
Julista Mustamu, “Diskresi… op. cit., hlm. 4
berperan aktif mencampuri bidang kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Untuk itu
kepada pemerintah dilimpahkan bestuurszorg atau public service. Agar servis
publik dapat dilaksanakan dan mencapai hasil maksimal, kepada administrasi
negara diberikan suatu kemerdekaan tertentu untuk bertindak atas inisiatif sendiri
menyelesaikan berbagai permasalahan pelik yang membutuhkan penanganan
secara cepat, sementara terhadap permasalahan itu tidak ada atau masih belum
dibentuk suatu dasar hukum penyelesaiannya oleh lembaga legislatif25.
Dengan adanya freies ermessen ini berarti bahwa sebagian kekuasaan yang
dipegang oleh badan pembentuk undang-undang dipindahkan ke dalam tangan
pemerintah/administrasi negara, sebagai badan eksekutif. Jadi supremasi badan
legislatif diganti oleh supremasi badan eksekutif 26 karena administrasi negara
melakukan penyelesaian masalah tanpa harus menunggu perubahan undang-
undang dari badan legislatif 27. Hal tersebut karena pada prinsipnya Badan/Pejabat
administrasi pemerintahan tidak boleh menolak untuk memberikan pelayanan
kepada masyarakat dengan alasan hukumnya tidak ada ataupun hukumnya ada
tetapi tidak jelas, sepanjang hal tersebut masih menjadi kewenangannya.
Seringkali ditemui dalam praktik keputusan diskresi itu dituangkan dalam
bentuk Keputusan Presiden dan Keputusan Menteri. Dalam hal ini Keputusan
Presiden dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua) yaitu sebagai keputusan
(beschikking), dan peraturan kebijakan (beleidsregel/policy rules).28 Oleh karena
satu produk hukum
berupa Keputusan Presiden dapat diklasifikasikan menjadi dua hal sebagaimana
disebut diatas, maka konsekuensinya adalah bahwa untuk menguji suatu
Keputusan Presiden tidak dapat dilihat pada nomenklaturnya saja, akan tetapi
harus dilihat materi muatannya apakah sebagai keputusan (beschikking), atau
peraturan kebijakan (beleidsregel/policy), sebab secara substansi pengujiannya
akan berbeda. Peraturan kebijakan bukan peraturan perundang-undangan
sehingga tidak dapat diuji secara hukum (wetmatigheid). Pengujian terhadap
peraturan kebijakan lebih diarahkan kepada doelmatigheid dan karena itu batu uji

2825
Patuan Sinaga, Hubungan antara kekuasaan dengan Pouvoir Discretionnaire Dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan dalam SF Marbun dkk, Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum
Administrasi Negara, Yogyakarta: UII Press, 2001, hlm. 73
26
A. Siti Soetami, Hukum Administrasi Negara, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
2000, hlm. 46
27
Diana Halim Koentjoro, Hukum Administrasi Negara, Bogor: Ghalia Indonesia, 2004, hlm. 42
Anna Erliyanna, “Keputusan Presiden… op. cit., hlm. 131
adalah asas-asas umum penyelenggaraan pemerintah yang baik.29
Adapun secara keseluruhan Pejabat Administrasi Pemerintahan atau Badan
yang memiliki kewenangan untuk menetapkan keputusan diskresi adalah :30
a. Presiden;
b. Para Menteri atau Pejabat setingkat Menteri;
c. Panglima TNI dan Kepala Staf Angkatan Darat, Laut dan Udara;
d. Kepala Kepolisian Negara;
e. Ketua Komisi/Dewan dan Lembaga setara;
f. Gubernur;
g. Bupati dan Walikota;
h. Pejabat Eselon I di Pemerintah Pusat dan Provinsi;
i. Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota;
j. Pimpinan Badan. Serta pejabat operasional yang memiliki kewenangan
untuk menetapkan keputusan diskresi karena tugasnya berhubungan langsung
dengan pelayanan masyarakat seperti:
1) Kepala resort Kepolisian Negara;
2) Camat
Selain jabatan-jabatan tersebut diatas, pada prinsipnya setiap pejabat yang
menjalankan urusan pemerintahan yang memiliki kewenangan secara atributif
maupun delegasi memiliki kewenangan diskresi karena kewenangan diskresi
merupakan pelengkap dari asas legalitas. Bagi Negara yang menganut ajaran
welfare state, asas
legalitas saja tidak cukup untuk dapat berperan secara maksimal dalam melayani
kepentingan masyarakat yang berkembang pesat sejalan dengan perkembangan
ilmu dan teknologi. Oleh karena itu, diskresi ini muncul sebagai alternative untuk
mengisi kekurangan dan kelemahan di dalam penerapan asas legalitas
(wetmatigheid van bestuur).31

D. KEBIJAKAN DISKRESI DALAM PRAKTEK


Menurut Prof Muchsan, didalam membentuk suatu produk hukum aparat
yang berwenang dapat menggunakan 2 (dua) dasar, yaitu :
29
Bagir Manan, “Peraturan Kebijakan”, Varia Peradilan, Desember 2008, hlm. 15
30
Lihat Peraturan Pemerintah tentang Diskresi Pejabat Administrasi Pemerintahan
31
31 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara Edisi Revisi, Cetakan ke-6, Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2011, hlm. 171
1. Wetmatig (dasar hukum positif)
ini merupakan dasar yang ideal, karena produk hukum yang akan dibuat
oleh aparat yang berwenang merupakan produk hukum yang berpatokan atau
berlandaskan pada Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi secara hirarki
Peraturan Perundangan.
2. Doelmatig (kebijakan / kearifan lokal)
ialah produk hukum yang dibuat tanpa adanya landasan hukum Peraturan
Perundangan yang lebih tinggi secara hierarki Peraturan Perundangan. Dasarnya
diambil dari teori hukum yang dikenal adanya asas diskresi “discretionare principle”
atau juga disebut asas kebebasan bertindak , dan sebagai landasan hukumnya
(diskresi) adalah : Algemene Beginselen Van Behoorlijk Bestuur / The Principle of
Good Public Administration atau disebut asas-asas umum pemerintahan yang
baik.32
Melihat perkembangan yang semakin cepat dalam masyarakat pada suatu Negara
modern saat ini, maka dituntut pula kesiapan administrasi Negara untuk
mengantisipasi perkembangan yang terjadi itu. Dalam hal ini, sudah barang tentu
asas legalitas ( dalam arti: wetmatigeheid van bestuur) tidak dapat lagi
dipertahankan secara kaku. Sebab administrasi Negara bukan hanya terompet dari
suatu Peraturan Perundang–undangan, melainkan dalam melaksanakan tugasnya
itu, mereka wajib bersikap aktif demi terselenggaranya tugas–tugas pelayanan
publik, yang semuanya itu tidak dapat ditampung dalam hukum yang tertulis saja.
Oleh karenanya maka diperlukan adanya diskresi/freies ermessen.
Apabila dihubungkan dengan pendapat Sjachran Basah terdahulu, maka
implementasi diskresi/freies Ermessen melalui sikap dan tindakan administrasi
Negara ini dapat berwujud :
1. Membentuk peraturan perundang– undangan dibawah undang–undang yang
secara materiil mengikat umum;
2. Mengeluarkan beschikkingyang bersifat
konkrit, final dan individual;
3. Melakukan tindak administrasi yang nyata dan aktif;
4. Menjalankan fungsi peradilan, terutama dalam hal “keberatan” dan “banding
administratif.”

32
Muchsan, Catatan Materi Perkuliahan Hukum, Program Magister UGM, 2011
Adapun beberapa diskresi dalam penanganan covid 19 diantara lain :

Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) terjadi tidak hanya di


Indonesia, tetapi  juga diberbagai negara di dunia mengalami hal yang sama. Akibat
covid-19 ini, banyak kegiatan masyarakat yang lumpuh, baik perekonomian dan
kehidupan social, bahkan yang lebih fatal lagi yaitu kesehatan yang membawa pada
kematian. Penanganan kondisi luar biasa ini memerlukan keputusan yang cepat dan
tepat dari penyelenggara pemerintah dalam menangani dan mencegah penyebaran
covid-19.

Dicermati pemberitaan di berbagai media, semakin hari perkembangan grafik


covid-19 bukannya melandai tetapi justru grafik menunjukkan peningkatan jumlah
yang terpapar covid-19. Bahkan pertanggal 21 Mei 2020 terjadi lonjakan dalam satu
hari yakni 973 warga positif covid-19.

Pemerintah sejak awal telah menerbitkan beberapa peraturan Perundang-


undangan terkait pencegahan dan penanganan covid-19. Peraturan Pemerintah
Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar ditetapkan
tanggal 31 Maret 2020, Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang
Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat ditetapkan tanggal 31 Maret 2020,
dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2020
(ditetapkan tanggal 31 Maret 2020) yang kemudian menjadi Undang-undang Nomor
2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
Nomor 1 Tahun 2020 tentang kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem
keuangan untuk penanganan pandemi covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi
ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem
keuangan menjadi undang-undang, yang diundangkan tanggal 16 Mei 2020.

Pada tanggal 13 Maret 2020, telah ditetapkan Keputusan Presiden Nomor 7


Tahun 2020 Tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease
2019 (covid-19). Dalam ketentuan Pasal 11 ayat (1) menyatakan, Gubernur dan
Bupati/Walikota membentuk gugus tugas percepatan penanganan covid-19 daerah,
dan ayat (2) dinyatakan bahwa penanganan COVID-19 di daerah dilakukan dengan
memperhatikan arahan ketua pelaksana gugus tugas percepatan penanganan
covid-19. Selanjutnya, tanggal 20 Maret 2020 ditetapkan Keputusan Presiden 
Nomor 9 Tahun 2020 Tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun
2020.

Berbagai reaksi dari Kepala Daerah dalam merespon kebijakan pemerintah


pusat untuk menangani dan mencegah penyebaran covid-19. Belajar dari beberapa
negara yang telah mulai membaik seperti Negara Taiwan, seharusnya Indonesia
dan terutama Kepala Daerah dapat mengatasi penyebaran covid-19. Secara
substansi hukum, peraturan telah cukup melandasi setiap kebijakan yang diambil
Pemerintah, dan secara struktur hukum juga petugas yang bertugas dilakukan oleh
aparat Kementerian/Lembaga hingga pemerintah daerah, namun secara budaya
atau kesadaran hukum diperlukan pemahaman bersama terkait pentingnya
kepatuhan terhadap aturan atas pencegahan covid-19 33.

E. MALADMINISTRASI

Istilah maladministrasi (maladministration) dalam Blac’k Law Dictionary


diartikan “poor management or regulation” dan dalam kamus ilmiah populer
mengandung arti “administrasi yang buruk atau pemerintahan yang buruk”.
beberapa pengertian maladministrasi dari penulis dapat diambil pemahaman,
bahwa administrasi adalah suatu Tindakan atau perilaku administrasi oleh
penyelenggara administrasi negara (pejabat pemerintahan dalam proses pelayanan
umum yang menyimpang dan bertentangan dengan kaidah atau norma hukum
yang berlaku atau melakukan penyalahgunaan wewenang (detournement de
pouvoir) yang atas Tindakan tersebut menimbulkan kerugian dan ketidakadilan bagi
masyarakat, dengan kata lain melakukan kesalahan dalam penyelenggaraan
administrasi.34
Secara teoritis, maladministrasi dapat terjadi akibat adanya Tindakan hukum
pemerintah atau administrasi negara, yang dalam negara hukum setiap Tindakan
hukum permerintahan tersebut harus selalu didasarkan pada asas legalitas
(legalitiet beginsel) atau perundang-undangan yang berlaku kategori

33
https://ombudsman.go.id/artikel/r/artikel--diskresi-untuk-solusi-penanggulangan-covid-19

34
Prof. Dr. H. Sadjijono, S.H., M.Hum, Bab-Bab Pokok Hukum Administrasi, LaksBang PRESSindo,
Yogyakarta, 2008, hal.124
maladministrasi, bahwa Tindakan hukum dimaksud bertentangan dengan kaidah
atau norma dalam menjalankan pemerintahan termasuk norma hukum. 35
Penjelasan lebih luas mengenai maladmistrasi lagi Sunaryo Hartono
merumuskan 20 substansi permasalahan yang menjadi kompetensi Ombudsman,
meliputi :
1. penundaan berlarut;
2. tidak menangani:
3. persengkokolan;
4. pemalsuan;
5. diluar kompetensi;
6. tidak kompeten;
7. penyalahgunaan wewenang (tidak mampu atau tidak cakap)
8. bertindak sewenang-wenang
9. permintaan imbalan uang/korupsi
10. kolusi dan nipotisme;
11. penyimpangan prosedur;
12. melalaikan kebajikan;
13. bertindak tidak layak atau tidak patut;
14. penggelapan barang bukti;
15. penguasaan tanpa hak;
16. bertindak tidak adil;
17. intervensi;
18. nyata-nyata berpihak;
19. pelanggaran undang-undang;
20. perbuatan melawan hukum (bertentangan dengan ketentuan yang berlaku dan
kepatutan)36
Tindakan maladministrasi sangat bertentangan dengan konsep good
governance sebagai kaidah etika atau moral dalam penyelenggaran pemerintahan
untuk mewujudkan pemerintahan yang baik, sedangkan maladministrasi nyata-
nyata sebagai tindakan administrasi yang bertentangan dengan etika atau moral
dan hukum.37 Sebagaimana dikatakan oleh SF. Marbun dkk, bahwa sikap tindak
administrasi negara dalam menjalankan fungsinya melaksanakan pelayanan public,
35
Ibid, h 129
36
Komisi ombudsman nasional dalam rangka sosialisasi keputusan presiden No. 44 tahun 2000
tentang komisi ombudsman nasional
harus tetap berdasarkan hukum yang berlaku hukum yang berlaku dan prinsip-
prinsip hukum umum yang diterima.38
Berkaitan dengan tanggung jawab Tindakan hukum tersebut, lebih lanjut
Sjachran Basah, mengemukakan, bahwa dalam menjalankan tugas-tugas servis
public itu secara aktif, maka bagi administrasi timbul konsekuensi khusus, yaitu
diperlukan freies Ermessen yang memungkinkan oleh hukum agar dapat bertindak
atas inisiatif sendiri. Namun keputusan-keputusan yang diambil untuk
menyelesaikan masalah-masalah itu harus dapat dipertanggung-jawabkan secara
moral kepada Tuhan Yang Maha Esa (Tap MPR No.II/MPR/1978) dan kepada
hukum (Pasal 27 ayat (1) UUD 1945) yang merupakan tolak ukur penting, dalam
menentukan batas toleransi Tindakan-tindakan administrasi negara, sehingga bagi
mereka yang terkena Tindakan itu tidak dirugikan. 39 Dapat ditarik simpulan dalam
penyelenggaraan pemerintahan harus disesuaikan dengan Norma-Norma dan
aturan hukum dan tidak bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku.

BAB III

ASAS RECHTMATIGHEID DAN PLICHTMATIGHEID

37
Prof. Dr. H. Sadjijono, S.H., M.Hum, Bab-Bab Pokok Hukum Administrasi, LaksBang PRESSindo,
Yogyakarta, 2008, hal.130

38
SF. Marbun dkk, dimensi-dimensi hukum administrasi, UU Press, Cet, 1, Yogyakarta, 2021, h.285
39
Sjachhran Basah, Eksistensi Dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi Di Indonesia, Alumni,
cet.3,Bandung,1997,h,285
A. ASAS RECHTMATIGHEID
Hukum administrasi terdapat asas het vermoeden van rechtmatigheid atau
asas preasymptio iustae causa atau asas praduga rechtmatigheid, yaitu asas yang
menyatakan bahwa demi kepastian hukum setiap keputusan tata usaha negara
yang dikeluarkan harus dianggap benar menurut hukum, dapat dilaksanakan lebih
dahulu selama belum dibuktikan dan dinyatakan oleh hakim sebagai keputusan
yang bersifat melawan hukum.40 Asas rechtmatigheid dikuatkan dan dijadikan asas
dalam Peradilan Tata Usaha Negara, sehingga suatu gugatan yang diajukan ke
PTUN pada prinsipnya tidak akan menghalangi dilaksanakannya keputusan
badan / pejabat tata usaha negara yang disengketakan. 41 Asas ini telah dimuat
dalam ketentuan Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
PTUN.
Ketentuan dalam pasal 53 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 jo Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 jo yang mengatur bahwa salah satu
alasan untuk diajukannya gugatan ke PTUN adalah jika “Keputusan Tata Usaha
Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku”. Sebuah KTUN selain tidak boleh bertentangan dengan Asas-Asas
Umum pemerintahan yang baik (AAUPB).42
UU PTUN tidak diatur tegas bahwa mengenai syarat KTUN dapat diujikan di
PTUN adalah termasuk jika bertentangan dengan AAUPB tetapi tidak lama setelah
UU PTUN diberlakukan secara efektif di seluruh wilayah Indonesia sejak tanggal 14
Januari 1991, telah terdapat PTUN yang menjatuhkan putusan dengan menyatakan
batal atau tidak sah sebuah KTUN dengan alasan bertentangan dengan AAUPB,
seperti putusan PTUN Palembang tanggal 6 Juli 1991 No.06/PTUN/G/PLG/1991. 43
Permohonan penundaan pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara dikabulkan
jika ada kepentingan penggugat yang mendesak dan kepentingan penggugat
sangat dirugikan nila Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat tetap
dilaksanakan. Hal ini diatur dalam Pasal 67 ayat (4) huruf a Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1986 jo Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor
51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

40
S.F Marbun, (1997), Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia,
Yogyakarta: Liberty, hlm 197.
41
Ibid. hlm 198
42
Abdullah gofar, (2014), Teori Dan Praktek Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Malang:
Tunggal Mandiri. hlm 107.
43
Ibid. hlm 109
Konsep mengenai diskresi Kepolisian terdapat dalam Pasal 18 Undang-undang
Kepolisian Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia 44
yang berbunyi :
1. Untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut
penilaiannya sendiri.
2. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat
dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan
perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik
Indonesia.45
Rumusan kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam Pasal 18 ayat
(1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 ini merupakan kewenangan yang
bersumber dari asas kewajiban umum Kepolisian (plichtmatigheids beginsel) yaitu
suatu asas yang memberikan kewenangan kepada pejabat kepolisian untuk
bertindak atau tidak bertindak menurut penilaiannya sendiri, dalam rangka
kewajiban umumnya menjaga, memelihara ketertiban dan menjamin keamanan
umum.46

B. ASAS PLICHTMATIGHEID

kewenangan ini dikenal sebagai diskresi kepolisian yang keabsahannya


didasarkan pada pertimbangan keperluannya untuk tugas kewajiban
(Pflichtmassiges Ermessen). Substansi Pasal 18 ayat (1) Undang-undang
Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002 merupakan konsep kewenangan kepolisian yang

44
Sejak ditetapkannya Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 Bab XII tentang Pertahanan dan Keamanan Negara, Ketetapan MPR RI No. VI/MPR/2000 dan
Ketetapan MPR RI No. VII/MPR/2000, maka secara konstitusional telah terjadi perubahan yang
menegaskan rumusan tugas, fungsi, dan peran Kepolisian Negara Republik Indonesia serta
pemisahan kelembagaan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia
sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing. Undang-Undang ini telah didasarkan kepada
paradigma baru sehingga diharapkan dapat lebih memantapkan kedudukan dan peranan serta
pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai bagian integral dari reformasi
menyeluruh segenap tatanan kehidupan bangsa dan negara dalam mewujudkan masyarakat madani
yang adil, makmur, dan beradab berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
45
Yang dimaksud dengan "bertindak menurut penilaiannya sendiri" adalah suatu tindakan yang dapat
dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dalam bertindak harus mempertimbangkan
manfaat serta resiko dari tindakannya dan betul-betul untuk kepentingan umum.
46
Warsito Hadi Utomo. (2005). Hukum Kepolisian Di Indonesia. Jakarta: Prestasi Pustaka, hlm. 24
baru diperkenalkan walaupun dalam kenyataan sehari-hari selalu digunakan. 47
Diskresi sebagai salah satu wewenang yang diberikan kepada kepolisian
merupakan upaya pencapaian penegakan hukum, dan diskresi merupakan menurut
Warsito Hadi Utomo merupakan kelengkapan dari sistem pengaturan oleh hukum
itu sendiri.48 Diskresi kepolisian di dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002
belum dirumuskan dan dijabarkan secara rinci tentang bentuk dan jenis-jenis
tindakan apa saja yang termasuk dalam diskresi, yang ada hanya berupa batasan
atau ukuran yang dijadikan pedoman dalam mengambil keputusan menerapkan
diskresi kepolisian, batasan dalam menerapkan diskresi dijelaskan dalam Pasal 16
ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002.
Pasal 18 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, yang menentukan bahwa
untuk kepentingan umum, pejabat kepolisian dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. Rumusan
kewenangan diskresi kepolisian merupakan kewenangan yang bersumber dari asas
kewajiban umum kepolisian (plichtmatigheids beginsel), yaitu asas yang
memberikan kewenangan kepada aparat kepolisian untuk bertindak ataupun tidak
melakukan tindakan apapun berdasarkan penilaian pribadi sendiri dalam rangka
kewajibannya menjaga, memelihara ketertiban dan menjaga keamanan umum.
Keabsahan kewenangan diskresi kepolisian, didasarkan pada pertimbangan
keperluannya untuk menjalankan tugas kewajibannya dan ini tergantung pada
kemampuan subyektifnya sebagai petugas.
Substansi Pasal 18 ayat (1) Undang-undang Kepolisian Nomor 2 Tahun
2002 merupakan konsep kewenangan kepolisian yang baru diperkenalkan
walaupun dalam kenyataan sehari-hari selalu digunakan. Oleh karena itu,
pemahaman tentang “diskresi kepolisian” dalam pasal 18 ayat (1) harus dikaitkan
juga dengan konsekuensi pembinaan profesi yang diatur dalam Pasal 1, Pasal 32,
dan 33 Undang-undang Nomor 2 tahun 2002, akan mampu mengambil tindakan
secara tepat dan profesional berdasarkan penilaiannya sendiri dalam rangka

47
Pasal 1 angka 7 “Kepentingan umum adalah kepentingan masyarakat dan/atau kepentingan
bangsa dan negara demi terjaminnya keamanan dalam negeri”. Pasal 32 (1) Pembinaan kemampuan
profesi pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia diselenggarakan melalui pembinaan etika
profesi dan pengembangan pengetahuan serta pengalamannya di bidang teknis kepolisian melalui
pendidikan, pelatihan, dan penugasan secara berjenjang dan berlanjut. (2) Pembinaan kemampuan
profesi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Kapolri. Pasal 33
“Guna menunjang pembinaan profesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dilakukan pengkajian,
penelitian, serta pengembangan ilmu dan teknologi kepolisian”.
48
Warsito Hadi Utomo. (2005). Hukum Kepolisian Di Indonesia. Jakarta: Prestasi Pustaka, hlm. 20
pelaksanaan tugasnya. Rumusan dalam pasal 18 ayat (2) merupakan rambu-rambu
bagi pelaksanaan diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu selain asas
keperluan, tindakan diskresi tetap harus sesuai dan memperhatikan peraturan
perundang-undangan serta kode etik profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN


A. KESIMPULAN

Kebebasan wewenang mengambil keputusan bagi pejabat atau badan-badan


administrasi negara pada saat situasi darurat atau terdapat stagnanisasi
pemerintahan, tetapi dengan berlandaskan Asas-asas Umum Pemerintahan yang
Baik (APUPB) sebagai dasar dalam mengambil keputusan dan bertindak
dikarenakan meningkatnya tuntutan pelayanan publik yang harus diberikan
pemerintah terhadap kehidupan sosial ekonomi para warga yang kian komplek
demi terwujudnya Good Governance (pemerintahan yang baik). Sehingga
terjauhkan dari Maladministrasi.

Asas rechtmatigheid dikuatkan dan dijadikan asas dalam Peradilan Tata Usaha
Negara, sehingga suatu gugatan yang diajukan ke PTUN  pada prinsipnya tidak
akan menghalangi dilaksanakannya keputusan badan / pejabat tata usaha negara
yang disengketakan. Permohonan penundaan pelaksanaan Keputusan Tata Usaha
Negara dapat dikabulkan jika ada kepentingan penggugat yang mendesak dan
kepentingan penggugat sangat dirugikan bila Keputusan Tata Usaha Negara yang
digugat tetap dilaksanakan. asas kewajiban umum Kepolisian (plichtmatigheids
beginsel) yaitu suatu asas yang memberikan kewenangan kepada pejabat
kepolisian untuk bertindak atau tidak bertindak menurut penilaiannya sendiri, dalam
rangka kewajiban umumnya menjaga, memelihara ketertiban dan menjamin
keamanan umum. Keabsahan kewenangan diskresi kepolisian, didasarkan pada
pertimbangan keperluannya untuk menjalankan tugas kewajibannya dan ini
tergantung pada kemampuan subyektifnya sebagai petugas.

B. SARAN
Menimbang penulis masih jauh dari kata sempurna untuk itu diperlukan saran yang
membangun dalam penulisan makalah ini, saran berupa kritik tanggapan ditujukan
pada sistematis penulisan maupun pembahasan guna sebagai perbaikan
kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. H. Sadjijono, S.H., M.Hum, Bab-Bab Pokok Hukum Administrasi,
LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, 2008, hal.66, 124,129, 130
Ridwan, Tiga Dimensi Hukum Administrasi dan Peradilan Administrasi,
Yogyakarta: FH UII, Press, 2009, hlm. 51,80-81,82
JCT Simorangkir dkk., Kamus Hukum, Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2008, hlm.
38
S. Prajudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia,
1994, hlm. 82
Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolok Ukur Peradilan Administrasi Negara di
Indonesia, Bandung: Alumni, 1997, hlm. 3
Diana Halim Koentjoro, Hukum Administrasi Negara, Bogor: Ghalia Indonesia,
2004, hlm. 41
SF. Marbun dan Moh Mahfud MD, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara,
Cetakan ke-6, Yogyakarta: Liberty, 2006, hlm. 47, 117
philupus M. Hadjon pemerintahan menurut hukum (wet-enrechtnatigheid van
bestuur)
Julista Mustamu, “Diskresi dan Tanggungjawab Administrasi Pemerintahan”,
Jurnal Sasi Vol.17 No. 2 Bulan April-Juni 2011, hlm. 4 – 5
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan Pasal
22, (2), 23, 24, 31 dan 32
Rusli K. Iskandar, Normatifisasi Hukum Administrasi Negara, dalam SF Marbun
dkk, Dimensi- Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara,
Yogyakarta: UII Press, 2001, hlm. 187
Anna Erliyanna, “Keputusan Presiden, Analisis Keppres RI 1987-1998”, Program
Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2005, hlm.
131,138,
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: UII Press, 2002, hlm. 95
Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan
Dalam UUD 1945, Yogyakarta: FH UII Press, 2004, hlm. 25
Patuan Sinaga, Hubungan antara kekuasaan dengan Pouvoir Discretionnaire
Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan dalam SF Marbun dkk, Dimensi-
Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: UII Press,
2001, hlm. 73
A. Siti Soetami, Hukum Administrasi Negara, Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, 2000, hlm. 46
Diana Halim Koentjoro, Hukum Administrasi Negara, Bogor: Ghalia Indonesia,
2004, hlm. 42
Bagir Manan, “Peraturan Kebijakan”, Varia Peradilan, Desember 2008, hlm. 15
Muchsan, Catatan Materi Perkuliahan Hukum, Program Magister UGM, 2011
https://ombudsman.go.id/artikel/r/artikel--diskresi-untuk-solusi-penanggulangan-
covid-19
keputusan presiden No. 44 tahun 2000 tentang komisi ombudsman nasional
SF. Marbun dkk, dimensi-dimensi hukum administrasi, UU Press, Cet, 1,
Yogyakarta, 2021, h.285
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara Edisi Revisi, Cetakan ke-6, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2011, hlm. 171
Sjachhran Basah, Eksistensi Dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi Di
Indonesia, Alumni, cet.3,Bandung,1997,h,285
S.F Marbun, (1997), Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di
Indonesia, Yogyakarta: Liberty, hlm 197, 198.
Abdullah gofar, (2014), Teori Dan Praktek Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara, Malang: Tunggal Mandiri. hlm 107, 109.
Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Bab XII tentang Pertahanan dan Keamanan Negara, Ketetapan MPR RI
No. VI/MPR/2000 dan Ketetapan MPR RI No. VII/MPR/2000,
Warsito Hadi Utomo. (2005). Hukum Kepolisian Di Indonesia. Jakarta: Prestasi
Pustaka, hlm. 24
Warsito Hadi Utomo. (2005). Hukum Kepolisian Di Indonesia. Jakarta: Prestasi
Pustaka, hlm. 20

Anda mungkin juga menyukai