Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH KEWARGANEGARAAN

“ Negara Dan Sistem Pemerintahan”

Dosen Pengampu:

1. Drs. M. Salam, M.Si


2. Dona Sariani, S.Pd.,M.Pd

Kelompok 1/R004

 Aulia Rahmi (A1D119134)


 Yolla Riski Utami (A1D119139)
 Hamida Rosifah (A1D119141)
 Dea Sintia (A1D119136)

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS JAMBI

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya kepada kami sehingga dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Negara Dan
Sistem Pemerintahan” tepat pada waktunya. Tak lupa pula kami ucapkan terima kasih kepada
dosen pembimbing mata kuliah kewarganegaraan yang telah memberikan arahannya dalam
proses pembuatan makalah ini.

Kami sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, kami
mohon maaf jika ada kesalahan baik dalam penulisan maupun isi dari makalah. Kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan dalam makalah
selanjutnya. Sehingga dapat tercipta pendidikan yang sempurna.

Harapan kami semoga makalah ini memberikan manfaat bagi pembaca sehingga
dapat membantu serta menunjang proses pembelajaran dan menjadi referensi bagi pembaca.

Muara Bulian, Februari 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang.................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................. 1
1.3 Tujuan............................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN................................................................................................ 2

2.1 Negara............................................................................................................... 2

2.2 Sistem Pemerintahan......................................................................................... 5

2.3 Jenis Sistem Pemerintahan................................................................................ 8

2.4 Studi Kasus....................................................................................................... 14

2.5 Solusi................................................................................................................. 15

BAB III PENUTUP........................................................................................................ 9


3.1 Kesimpulan....................................................................................................... 19

3.2 Saran................................................................................................................. 19

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................... 20

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam penyelenggaraan pemerintahan, sistem pemerintahan menjadi salah
satu faktor penentu keberlangsungan kehidupan bernegara. Pemerintahan akan
berjalan efektif dan normal mana kala sistem yang dipilih dan digunakan sesuai
dengan karakter kondisi sosial politik negara. Jika sistem pemerintahan yang
digunakan tidak sesuai maka dipastikan akan menimbulkan kegagalan dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Akibatnya para pelaksana tugas pemerintahan
semakin kerepotan dan kesusahan dalam menjalankan fungsinya.

Secara teoritis sistem pemerintahan mengalami perkembangan dari klasik


hingga modern. Beberapa para ahli telah menguraikan sejarah perkembangan
sistem pemerintahan yang sudah dipraktekkan oleh berbagai negara. Mulai dari
presidensial, parlementer, quasi maupun referendum. Dari keempat pembagian
sistem pemerintahan tersebut, masing – masing memiliki kelebihan dan
kelemahan. Tentunya dalam berkehidupan bernegara, maka konsekuensinya akan
memilih salah satu dari keempat sistem pemerintahan tersebut.

Oleh karena itu pengetahuan akan konsep dan teori sistem pemerintahan
menjadi alasan mendasar untuk memahami sistem pemerintahan yang telah
berlangsung diberbagai negara. Salah satunya adalah dengan mempelajari
perkembangan penggunaan sistem pemerintahan diberbagai negara pada masa –
masa tertentu. Berdasarkan pemikiran tersebut maka dalam makalah ini penulis
mengkaji teori sistem pemerintahan yang dikemukakan oleh para ahli dari
berbagai sumber yang penulis telah dapatkan

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana negara dan sistem pemerintahan?

1.3 Tujuan

Mahasiswa mampu memahami dan mengetahui mengenai negara dan sistem


pemerintahan.

1
BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Negara
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian negara adalah
organisasi di suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan
ditaati oleh rakyat; kelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah tertentu
yang diorganisasi di bawah lembaga politik dan pemerintah yang efektif,
mempunyai kesatuan politik, berdaulat sehingga berhak menentukan tujuan
nasionalnya. Konsepsi Kelsen mengenai Negara menekankan bahwa Negara
merupakan suatu gagasan tekhnis semata-mata yang menyatakan fakta bahwa
serangkaian kaidah hukum tertentu mengikat sekelompok individu yang hidup
dalam suatu wilayah teritorial terbatas.

Negara merupakan suatu lembaga, yaitu satu sistem yang mengatur


hubungan yang ditetapkan oleh manusia antara mereka sendiri sebagai satu alat
untuk mencapai tujuan yang paling pokok di antaranya ialah satu sistem ketertiban
yang menaungi manusia dalam melakukan kegiatan. Negara adalah lanjutan dari
keinginan manusia hendak bergaul antara seorang dengan orang lainnya dalam
rangka menyempurnakan segala kebutuhan hidupnya. Negara merupakan subjek
utama hukum internasional.

Beberapa sarjana telah mengemukakan pendapatnya mengenai definisi


negara. Henry C. Black mendefinisikan negara sebagai sekumpulan orang yang
secara permanen menempati suatu wilayah yang tetap, diikat oleh ketentuan-
ketentuan hukum yang melalui pemerintahannya, mampu menjalankan
kedaulatannya yang merdeka dan mengawasi masyarakat dan harta bendanya
dalam wilayah perbatasannya, mampu menyatakan perang dan damai serta
mampu mengadakan hubungan internasional dengan masyarakat internasional
lainnya.

Berdasarkan Pasal 1 Konvensi Montevindo 1933 mengenai Hak-hak dan


Kewajiban-Kewajiban Negara mengemukakan karakteristik-karakteristik negara
yang merupakan subjek hukum internasional sebagai berikut :

2
1. Penduduk yang tetap.
Penduduk merupakan kumpulan individu-individu yang terdiri dari
dua kelamin tanpa memandang suku, bahasa, agama, dan kebudayaan
yang hidup dalam suatu masyarakat dan yang terikat dalam suatu negara
melalui hubungan yuridik dan politik yang diwujudkan dalam bentuk
kewarganegaraan. Penduduk merupakan unsur pokok bagi pembentukan
suatu negara. Suatu pulau atau suatu wilayah tanpa penduduk tidak
mungkin menjadi suatu negara. Syarat penting untuk unsur ini yaitu bahwa
rakyat atau masyarakat ini harus terorganisir dengan baik (organized
population). Sebab sulit dibayangkan, suatu negara dengan pemerintahan
terorganisir dengan baik hidup berdampingan dengan masyarakat
disorganized.
2. Wilayah yang Tetap.
Wilayah yang tetap adalah suatu wilayah yang dimukimi oleh
penduduk atau rakyat dari negara itu. Agar wilayah itu dapat dikatakan
tetap atau pasti sudah tentu harus jelas batas-batasnya. Wilayah suatu
negara terdiri dari daratan, lautan, dan udara diatasnya.
3. Pemerintah.
Sebagai suatu person yang yuridik, negara memerlukan sejumlah
organ untuk mewakili dan menyalurkan kehendaknya. Lauterpacht
menyatakan bahwa adanya unsur pemerintah merupakan syarat terpenting
untuk adanya suatu negara. Jika pemerintah tersebut ternyata secara
hukum atau secara faktanya menjadi negara boneka atau negara satelit dari
suatu negara lainnya, maka negara tersebut tidak dapat digolongkan
menjadi negara.
4. Kemampuan untuk melakukan hubungan dengan negara-negara lain.
Untuk unsur keempat Oppenheim-Lautherpacht menggunakan
kalimat pemerintah yang berdaulat (sovereign). Adapun yang dimaksud
dengan pemerintah yang berdaulat yaitu kekuasaan yang tertinggi yang
merdeka dari pengaruh suatu kekuasaan lain di muka bumi. Kedaulatan
dalam arti sempit berarti kemerdekaan yang sepenuhnya, baik ke dalam
maupun ke luar batas-batas negeri.

3
Dari keempat unsur diatas, unsur keempat yang paling penting
berdasarkan hukum internasional. Unsur ini pula yang membedakan negara
dengan unit-unit yang lebih kecil seperti anggota-anggota federasi atau
protektorat-protektorat yang tidak menangani sendiri urusan luar negerinya dan
tidak diakui oleh negaranegara lain sebagai anggota masyarakat internasional
yang mandiri.

Sebagai subjek hukum yang paling penting, negara memiliki kelebihan


dibandingkan dengan subjek hukum internasional lain. Kelebihan negara sebagai
subjek hukum internasional dibandingkan dengan subjek hukum internasional
lainnya adalah negara memiliki kedaulatan atau sovereignity. Suatu negara yang
berdaulat tetap tunduk pada hukum internasional maupun tidak boleh melanggar
atau merugikan kedaulatan negara lainnya. Manifestasi dari kedaulatan sebagai
kekuasaan tertinggi mengandung dua sisi yaitu sisi intern dan sisi ekstern. Sisi
intern berupa kekuasaan tertinggi yang dimiliki suatu negara untuk mengatur
masalah intern atau masalah dalam negerinya. Sedangkan sisi ekstern, berupa
kekuasaan tertinggi untuk mengadakan hubungan-hubungan dengan negara lain
atau dengan subjek-subjek hukum internasional lainnya.

4
2.2 Sistem Pemerintahan
Kata sistem berasal dari bahasa Yunani yang berarti :hubungan yang
saling tergantung antara bagian yang satu dengan yang lainnya membentuk satu
kesatuan, baik dari alam maupun ataupun yang diproduksi manusia” (Brockhaus,
1973). Jika dilihat dari pendekatan segi bahasa “Pemerintah” berasal dari kat
“perintah” yang artinya sesuatu yang harus dilaksanakan. Pemerintahan dalam arti
luas adalah segala sesuatu yang dilakukan oleh negara dalam menyelenggarakan
kesejahteraan rakyatnya dan kepentingan negara itu sendiri dalam menjalankan
tugas eksekutif, yudikatif dan legislatif.

Sri Seomantri menyatakan bahwa Sistem Pemerintahan adalah hubungan


antara lembaga legislatif dan eksekutif terdapat perbedaan yang jelas antara sistem
pemerintahan presidensial dan sistem pemerintahan parlementer.

Menurut Mac.Iver, pemerintahan merupakan suatu organisasi orang-orang


yang mempunyai kekuasaan, serta bagaimana manusia itu bisa diperintah.
Sehingga pemerintah merupakan lembaga yang disepakati oleh orang-orang yang
memiliki kekuasaan untuk kemudian dirumuskan dalam kebijakan dan regulasi
tertentu untuk mengatur orang-orang yang hendak dan bisa diperintah.

Pemerintah sebagai suatu sistem harus memiliki keseimbangan dinamis,


agar sistemnya dapat bekerja secara optimal dan mampu menjaga eksistensinya.
Keseimbangannya perlu dipelihara oleh seluruh komponen sistem tanpa
terkecuali. Untuk kepentingan tersebut, maka semua anggota sistem harus “sadar
sistem” , artinya mereka harus memahami teori dan bekerja secara sistematik.
Semua komponen sistem mempunyaiperan fungsional, sehingga tidak perlu ada
egisme komponen, karena mereka unitnyalah yang paling penting.

Sistem pemerintahan dalam perspektif ilmu ketatanegaraan umum ialah


sistem hukum ketatanegaraan baik, baik yang berbentuk monarki maupun
republik, yaitu mengenai hubungan pemerintah dan badan yang mewakili rakyat.
Artinya sistem pemerintahan merupakan kesatuan ornamen pemerntahan yang
didalamnya mencakup kegiatan-kegiatan dari masing-masing lembaga (baik
legislatif, yudikatif maupun eksekutif) terkait hubungan kegiatan satu ke yang

5
lainnya. Dapat ditarik kesimpulan bahwa pemerintahan adalah kegiatan dimana
didalamnya terdapat proses terus menerus tentang perlindungan dan penjaminan
kesejahteraan masyarakat, serta pemenuhan kebutuhan baik primer, sekunder dan
tersier yang semuanya dijamin melalui mekanisme yang telah di atur oleh
konsensus bersama bernama dasar negara dan undang-undang.

Sebelum membahas konsep sistem pemerintahan di Indonesia tersebut,


terdapat beberapa pemikiran dan teori tersendiri yang dikemukaan oleh para tokoh
mengenai pembagian kekuasaan, yaitu :

a) Teori John Locke


John Locke menyatakan bahwa kekuasaan dalam Negara dibagi menjadi 3
(tiga), yaitu kekuasaan legislative, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan
federative. Kekuasaan legislative adalah kekuasaan untuk membuat
undang-undang, kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan untuk
melaksanakan undang-undang, dan kekuasaan federative adalah kekuasaan
yang berkenaan dengan perang dan damai, membuat perserikatan dan
aliansi, serta segala tindakan dengan semua orang dan badanbadan di luar
negeri. Adanya kekuasaan federative yang menyangkut hubungan dengan
negara-negara lain dilatarbelakangi dengan keberadaan Negara Inggris
pada waktu itu, sebagai Negara yang memiliki banyak wilayah jajahan.
b) Teori Montesquieu
Diilhami oleh John Locke dengan teorinya sebagaimana dikemukakan di
atas, Montesquieu mengemukakan bahwa dalam pemerintahan Negara
terdapat 3 (tiga) jenis kekuasaan, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Kekuasaan legislatif adalah kekuasaan untuk membuat undang-undang.
Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan untuk melaksanakan undang-
undang. Kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan untuk mengadili
pelanggaran terhadap undang-undang. Kekuasaan federatif menurut
Montesquieu bukanlah kekuasaan yang berdiri sendiri melainkan bagian
dari kekuasaan eksekutif.

6
c) Menurut Montesquieu, ketika kekuasaan legislative dan eksekutif
disatukan pada orang atau badan yang sama, maka tidak aka nada lagi
kebebasan sebab terdapat bahaya bahwa raja atau badan legislatif yang
sama akan memberlakukan undang-undang tirani dan melaksanakannya
dengan cara yang tiran pula. Montesquieu juga menyatakan bahwa ketiga
kekuasan itu terpisah satu sama lain, baik mengenai fungsi maupun
lembaga yang menyelenggarakannya. Praktek pemisahan kekuasaan
sebagaimana yang dimaksud oleh Montesquieu sulit untuk dilaksanakan.
d) Teori Van Vollenhoven
Menurut Van Vollenhoven, dalam pelaksanaan tugas Negara terdapat 4
(empat) fungsi, yaitu regeling (membuat peraturan), bestuur (pemerintahan
dalam arti sempit), rechtspraak (mengadili), politie (kepolisian). Di Negara
modern, tugas pemerintah meliputi tugas Negara dalam menyelenggarakan
kepentingan umum, kecuali mempertahankan hukum secara preventif
(preventive rechtszorg), mengadili, dan membuat peraturan (regeling).
Tugas pemerintah bukan sekedar melaksanakan undang-undang dalam
rangka penyelenggaraan kepentingan umum. Pada kondisi yang mendesak
justru pemerintah harus dapat mengambil tindakan yang cepat untuk
menyelesaikan persoalan yang timbul tanpa harus menunggu perintah
undang-undang.
e) Teori Logemann
Menurut Logemann, fungsi kekuasaan Negara dapat dibagi menjadi 5
(lima) bidang, yaitu fungsi perundang-undangan (fungsi untuk membuat
undang-undang); fungsi pelaksanaan (fungsi melaksanakan undang-
undang); fungsi pemerintahan (dalam arti khusus); fungsi kepolisian
(fungsi menjaga ketertiban, melakukan penyelidikan dan penyidikan); dan
fungsi peradilan (fungsi mengadili pelanggaran terhadap undang-undang).

7
2.3 Jenis Sistem Pemerintahan
1. Sistem Parlementer
Menurut (Syafiie, 2011), sistem parlementer digunakan untuk
mengawasi eksekutif oleh legislatif, jadi kekuasaan parlemen lebih besar
dari pada eksekutif. Dalam sistem ini Dewan Menteri (kabinet)
bertanggungjawab kepada parlemen.
Lebih lanjut diuraikan (Syafiie, 2011) , sistem menggambarkan
keadaan dimana lembaga eksekutif bertanggungjawab kepada lembaga
legislatif membutat lembaga eksekutif dapat dijatuhkan oleh legislatif
melalui mosi tidak percaya. Akan tetapi karena eksekutif (perdana
menteri) memiliki kedudukan yang kuat karena berasal dari suara
mayoritas parlemen, maka perdana menteri sulit untuk dijatuhkan.
Sistem parlementer merupakan sistem pemerintahan dimana
hubungan antar eksekutif dan legislatif sangat erat. Hal ini bertolak dari
adanya pertanggungjawaban para menteri terhadap parlemen. Sehingga
kabinet harus mendapat dukungan dan kebijakan tidak boleh menyimpang
dari apa yang dikehendaki parlemen.
Menurut Alan R. Ball maupun oleh C.F. Strong tersebut menurut
(Mariana, Paskalina, & Yuningsih, 2007) belum terlihat adanya satu ciri
yang sangat penting yaitu adanya kewenangan bagi kepala negara untuk
membubarkan parlemen. Dikatakan ciri ini penting justru karena ia dapat
dijadikan sarana untuk menekan sekecil mungkin kelemahan sistem
pemerintahan parlementer yaitu ketidakstabilan pemerintahan.
Bahkan tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa kewenangan
kepala negara (unsur eksekutif) untuk membubarkan parlemen, adalah
dalam rangka menjaga titik keseimbangan (balance of power) antara
eksekutif dengan legislatif. Sebab, secara psikologis parlemen akan lebih
berhati-hati menjatuhkan kabinet sehingga parlemen tidak mengumbar
kewenangannya untuk menjatuhkan mosi tidak percaya kepada kabinet,
karena pada gilirannya parlemen akan dapat dijatuhkan juga oleh eksekutif
(kepala negara).

8
Berhubung dengan hal itu, mengutip pendapat dari Mr. Achmad
Sanusi dalam (Mariana, Paskalina, & Yuningsih, 2007) tentang ciri-ciri
sistem pemerintahan parlementer yaitu :
(1) Kedudukan kepala negara tidak dapat diganggu gugat.
(2) Kabinet yang dipimpin oleh perdana menteri bertanggung jawab
kepada parlemen.
(3) Susunan personalia dan program kabinet didasarkan atas suara
terbanyak di parlemen.
(4) Masa jabatan kabinet tidak ditentukan dengan tetap atau pasti berapa
lamanya.
(5) Kabinet dapat dijatuhkan pada setiap waktu oleh parlemen, sebaliknya
parlemen dapat dijatuhkan oleh pemerintah.
Kelebihan sistem parlementer
(1) Apabila terdapat ancaman selalu bisa menemukan jalan karena dapat
membuat mosi terhadap eksekutif
(2) Sistem parlemen dipandang lebih fleksibel karena tidak ada
pembatasan masa jabatan yang pasti
(3) Sistem parlementer lebih demokratis karena kabinet yang dibentuk
adalah koalisi dari berbagai partai yang ada diparlemen
Kelemahan sistem parlementer
(1) Identik dengan instabilitas eksekutif. Karena adanya ketergantungn
kabinet pada mosi tidak percaya legislatif
(2) Pemilihan kepala eksekutif tidak dilakukan secara langsung oleh
rakyat tetapi oleh partai politik
(3) Membahayakan kebebasan individu karena tidak ada pemisahan
kekuasaan yang tegas antara legislatif dan eksekutif

9
2. Sistem Pemerintahan Presidensial
Menurut (Syafiie, 2011), sistem ini presiden (eksekutif) memiliki
kekuasaan yang kuat, karena selain kepala negara presiden juga sebagai
kepala pemerintahan yang sekaligus mengetuai kabinet (dewan menteri).
Oleh karena itu agar tidak menjurus kepada diktatorisme, maka diperlukan
check and balnces, antara lembaga tinggi negara, inilah yang kemudian
disebut dengan cheking power with power.
Konsep senada juga dikemukakan oleh (Sarundajang, 2012),
sistem presidensial menempatkan presiden sebagai kepala negara sekaligus
menjadi kepala eksekutif. Presiden bukan dipilih oleh Parlemen, tetapi
bersama Parlemen dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan
umum. Karena itu Presiden tidak bertanggungjawab kepada Parlemen,
sehingga Presiden dan kabinetnya tidak dapat dijatuhkan oleh parlemen.
Sebaliknya presiden pun tidak membubarkan parlemen. Kedua lembaga
ini melaksanakan tugasnya sesuai dengan ketentuan konstitusi dan
berakhir masa jabatannya.
Lebih lanjut, (Sarundajang, 2012) mengemukakan bahwa dalam
sistem pemerintahan presidensial menempatkan eksekutif dan legislatif
adalah sama. Dalam melaksanakan tugasnya presiden sebagai kepala
eksekutif (pemerintahan) dan sekaligus sebagai kepala negara memilih dan
mengangkat menteri-menteri sebagai pembantu presiden. Menteri-menteri
tersebut tidak bertanggungjawab kepada badan legislatif seperti yang
terdapat dalam sistem pemerintahan parlementer, melainkan kepada
presiden yang telah memilih dan mengangkatnya.

10
Dari urain diatas, maka dapat dikemukakan beberapa ciri – ciri
sistem pemerintahan presidensial, yaitu :
(1) Presiden sebagai kepala negara dan sebagai kepala pemerintahan
(2) Presiden tidak dipilih oleh badan perwakilan tetapi oleh dewan pemilih
dan belakangan peranan dewan pemilih tidak tampak lagi sehingga
dipilih oleh rakyat
(3) Presiden berkedudukan sama dengan legislatif
(4) Kabinet dibentuk oleh Presiden, sehingga kabinet bertanggungjawab
kepada presiden
(5) Presiden tidak dapat dijatuhkan oleh badan legislatif, begitupun
sebaliknya Presiden tidak dapat membubarkan badan legislatif.
3. Sistem Pemerintahan Campuran (Quasi)
Sistem campuran atau quasi adalah sistem pemerintahan yang
memadukan kelebihan dari sistem pemerintahan parlementer dan
presidensial. Dalam sistem ini diusahakan hal-hal yang terbaik dari kedua
sistem pemerintahan tersebut. Dalam sistem pemerintahan ini, selain
memiliki Presiden sebagai Kepala Negara, juga memiliki Perdana Menteri
sebagai kepala Pemerintahan untuk memimpin kabinet yang
bertanggungjawab kepada parlemen. Bila presiden tidak diberi posisi
dominan dalam sistem pemerintahan ini, presiden tidak lebih dari sekedar
lambang dalam pemerintahan. Akan tetapi presiden tidak bisa dijatuhkan
oleh parlemen, bahkan presiden dapat membubarkan parlemen.
Menurut (Syafiie, 2011) , sistem ini diusahakan hal – hal yang
terbaik dari sistem pemerintahan parlementer dan sistem pemerintahan
presidesial. Sistem ini terbentuk dari sejarah perjalanan pemerintahan
suatu negara.

11
Seperti halnya presidensial dan parlementer, menurut (Mariana,
Paskalina, & Yuningsih, 2007) keuntungan dengan penggunaan istilah
sistem pemerintahan campuran yaitu dapat menimbulkan kesan bahwa
jenis sistem pemerintahan terakhir ini masih mempunyai hubungan yang
erat dengan sistem pertama (parlementer) dan sistem kedua (presidensiil)
yang kesemuanya itu berada dalam kerangka sistem politik demokrasi
liberal atau demokrasi modern.
Oleh (Mariana, Paskalina, & Yuningsih, 2007) menyebutkan
bahwa berhubung sistem pemerintahan campuran ini sangat khas maka
perlu ditentukan ciri-ciri utamanya, yaitu :
(1) Menteri-menteri dipilih oleh parlemen.
(2) Lamanya masa jabatan eksekutif ditentukan dengan pasti dalam
konstitusi.
(3) Menteri-menteri tidak bertanggung jawab baik kepada parlemen
maupun kepada presiden

Lain halnya dengan pendapat sebelumnya, menurut (Sarundajang,


2012), untuk mengulas sistem pemerintahan campuran dalam literatur tata
pemerintahan banyak berkaitan dengan terminologi semi presidensial dan
semi parlementer.

4. Sistem Pemerintahan Referendum


Menurut (Sarundajang, 2012) munculnya sistem referendum selalu
dikaitkan dengan negara Swiss. Hal ini disebabkan hanya negara Swiss
sebagai satu-satunya negara yang menerapkan sistem ini. Sistem ini
sebenarnya perwujudan nyata dari sistem pemerintahan dengan
pengawasan langsung oleh rakyat terhadap lembaga legislatif.

12
Menurut Budiman Sagala dalam (Sarundajang, 2012) menyebutkan
bahwa terminologi referendum adalah permintaan/persetujuan dan atau
pendapat rakyat apakah setuju atau tidak terhadap kebijaksanaan yang
telah, sedang dan akan dilaksanakan oleh badan eksekutif atau badan
legislatif. Dalam sistem ini Parlemen tunduk kepada kontrol langsung dari
rakyat. Kontrol dilakukan dengan dua cara, yaitu referendum dan usul
inisiatif rakyat.
Menurut (Sarundajang, 2012), Referendum merupakan kegiatan
politik yang dilakukan oleh rakyat untuk memberikan keputusan setuju
atau menolak terhadap kebijaksanaan yang ditempuh oleh Parlemen atau
setuju atau tidak terhadap kebijaksanaan yang dimintakan persetujuan
rakyat.
Sistem referendum tunduk kepada kontrol langsung dari rakyat
dimana sebagai pelaksanaannya adalah dengan adanya kehendak rakyat
melalui inisiatif publik merespon isu publik, yaitu hak publik untuk
mengajukan/mengusulkan suatu rancangan peraturan perundang –
undangan kepada legislatif dan eksekutif. Tidak banyak negara yang
menggunakan sistem referendum.
Kelemahan sistem ini adalah proses yang dijalankan untuk
menyelenggarakan agenda pemerintahan membutuhkan waktu yang relatif
lama, hal tersebut disebabkan bahwa dalam setiap formulasi produk
legislasi yang signifikan selalu melibatkan rakyat di dalamnya. Sedangkan
kelebihan sistem ini adalah bahwa setiap masalah-masalah pemerintahan
yang sangat penting dan mendasar rakyat langsung dilibatkan dalam
menentukan arah kebijakan pemerintahan.

13
2.3 Studi Kasus
Pusaran sistem anomali, yaitu penerapan berbagai sistem, baik menurut
UUD 1945 maupun UU yang tidak konsisten, saling bertabrakan, yang pada
akhirnya berakibat pada instabilitas pemerintahan.
Pertama, sejumlah materi muatan UUD 1945 tidak berjalan seiring dengan
konsepsi dasar UUD 1945, misalnya mengenai sistem pemerintahan. Sistem
presidensial yang menjadi ruh perubahan UUD 1945,pada praktiknya
dicampuradukkan dengan berbagai model pemerintahan yang dianut oleh sistem
parlementer. Di satu pihak dipasang tali pengekang yang lebih kuat terhadap
presiden. Di pihak lain, terjadi penguatan terhadap DPR yang melebihi
keperluan check and balances antara presiden dan DPR.
Kedua, kelemahan bersumber pada undang-undang, terlebih beberapa
undang-undang organik atau undang-undang yang merupakan amanat langsung
dari UUD 1945. Sejatinya, UU organik juga harus tunduk pada ruh dan semangat
yang dianut oleh UUD 1945, namun pada praktiknya tidak selalu demikian.
Kebutuhan memperoleh, memelihara, dan mempertahankan kekuasaan atau
memfasilitasi berbagai kepentingan hampir selalu dikedepankan. Akibatnya, harus
menginjak ide dan pesan yang terkandung dalam UUD 1945.
Ketiga, tingkah laku politik atau praktik politik. Sebagai akibat sistem
kepartaian dan pemilihan umum yang menyebabkan susunan kekuatan politik di
parlemen terpecah-pecah, sudah sejak pencalonan presiden wajib membangun
koalisi dengan partai-partai, kabinet terdiri dari wakil-wakil resmi partai.
Akhirnya yang muncul adalah kabinet koalisi yang tidak lain dari kabinet partai.

14
2.4 Solusi
Usaha-usaha untuk memulihkan keadaan dan mengusung kembali agenda
reformasi untuk menguatkan sistem Presidensial harus tetap digulirkan. Dalam
karya ilmiah ini, setidaknya ada tujuh gagasan yang penulis usulkan guna
mendesain kembali sistem Presidensial dalam rangka memperbaiki keadaan
ketatanegaraan Indonesia dan penguatan sistem Presidensial. Adapun gagasan
tersebut adalah:

1. Penyederhaan Partai Politik


Mekanisme yang digunakan untuk menyederhanakan partai politik dari
multi partai ekstream menuju ke multi partai sederhana atau bahkan untuk
mendapatkan dua partai besar yang bersaing dalam pemilu, digunakan
mekanisme ambang batas atau sering disebut dengan threshold. Threshold
merupakan persyaratan minimal dukungan yang harus diperoleh partai politik
untuk mendapatkan perwakilan yang biasanya dilihat dari presentase
perolehan suara di pemilu. Berdasarkan praktik penyelenggaraan pemilu yang
dilakukan di Indonesia dikenal tiga istilah treshold. Yaitu electoral treshold,
presidential threshold, parliamentary treshold.
Ketiga istilah ini mempunyai arti yang berbeda dalam pelaksanaan pemilu
di Indonesia yang diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan. Menurut
Kacung Marijan, ada kesalahan dalam memaknai electoral treshold di
Indonesia. Sejatinya, yang dimaksud electoral threshold adalah batas minimal
suatu partai atau orang untuk memperoleh kursi (wakil) di parlemen.
Maksudnya, agar orang atau partai itu mampu menjalankan fungsinya sebagai
wakil karena mendapat kekuatan memadai di lembaga perwakilan (di
Indonesia dikenal dengan istilah parliementary threshold).
Penerapan parliementary threshold merupakan cara yang tepat untuk
penyederhanaan partai politik ekstrem. Parliementary threshold harus
dilaksanakan secara konsisten dalam pemilu dan sangat dimungkinkan untuk
menaikkan presentase ambang batas. Selain itu, mekanisme implementasi
aturan threshold harus lebih ketat. Aturan threshold yang ketat itu, misalnya,
partai yang tidak lolos dilarang mengikuti pemilu dua kali berturut-turut.

15
Tidak hanya partai yang dilarang, tetapi elitenya juga dilarang membentuk
partai baru. Yang terakhir ini perlu guna menghindari modus metamorfosis
seperti terjadi sebelumnya. Melalui pemahaman dan pilihan seperti itu, maka
tidak akan dipusingkan munculnya partaipartai baru. Mereka boleh tampil
setiap pemilu, tetapi pemilih dan aturan main yang akan menentukan apakah
mereka dapat kursi atau tidak.
2. Membentuk Koalisi Partai Politik yang Permanen
Tidak dapat dipungkiri bahwa koalisi parpol sulit dihindari dalam koalisi
multipartai yang keluaran politiknya cenderung terfragmentasi. Kemunculan
koalisi partai politik dalam kondisi multi partai bukanlah sebuah
penyimpangan sistem presidensial, tetapi justru sebuah bentuk kompromi
untuk stabilitas dan keseimbangan berjalannya sistem politik. Corak koalisi
parpol di Indonesia dalam praktik perpaduan sistem presidensial dan
multipartai saat ini bersifat rapuh. Kerapuhan koalisi ini disebabkan beberapa
persoalan.
Menurut Scott Mainwaring, kombinasi antara sistem partai berfraksi dan
presidensialisme tidak mendorong stabilitas demokrasi karena kombinasi ini
mudah menimbulkan berbagai kesulitan dalam hubungan antara presiden dan
kongres. Agar efektif, maka pemerintah harus mampu meneruskan langkah-
langkah kebijaksanaan yang sulit dilakukan ketika eksekutif menghadapi
oposisi mayoritas di badan legislatif. Setidaknya ada tiga pilihan yang
ditawarkan oleh Mainwaring untuk dilakukan Presiden guna menghindari
konflik antara eksekutif dengan legislatif, salah satunya yaitu membentuk
pemerintah koalisi. Meskipun demikan, pilihan ini juga tidak memberikan
harapan baik bagi stabilitas demokrasi.
Oleh karena itu, ada beberapa langkah yang harus dilakukan dalam rangka
membentuk koalisi yang kokoh dan mencegah munculnya koalisi politik
pragmatis.
 Pertama, pemilu presiden tidak lagi mengikuti hasil pemilu legislatif. Hal
ini penting supaya hasil pemilu legislatif tidak mendikte proses
pembentukan koalisi dalam pemilu Presiden. Itu bisa dilakukan secara
bersamaan. Sehingga nantinya akan ada pemilu nasional dan pemilu lokal.

16
 Kedua, proses koalisi harus dilakukan sebelum pemilu legislatif dan
presiden. Koalisi antar partai dibangun berbasis pada kesamaan platform
kebijakan yang diusung oleh koalisi tersebut. Instrumentasi dari koalisi
bisa berbentuk mekanisme Stanbus occord untuk pemilu legislatif maupun
koalisi untuk mencalonkan kandidat Presiden dan Wakil Presiden. Untuk
memperkuat soliditas, koalisi antar partai menyepakati platform kebijakan
yang diusung, kelembagaan koalisi, etika dalam koalisi (code of conduct),
yang boleh dan tidak boleh berbeda dan reward-punishment.
 Ketiga, Wakil Presiden ditunjuk oleh Presiden yang diusung oleh koalisi
partai. Hal ini untuk menghindari fenomena “matahari kembar”
(mempunyai posisi politik yang sama-sama kuat).
 Keempat, koalisi parpol yang kandidatnya menang harus menjadi
pendukung pemerintah, sebaliknya koalisi parpol yang kalah mestinya
menjadi oposisi. Dengan demikian, hanya ada dua blok koalisi besar di
parlemen, yaitu koalisi pendukung pemerintah dan koalisi aposisi.
Parlemen akan lebih sederhana dan produktif dengan hanya dua blok
koalisi permanen sehingga proses politik pun akan lebih efisien dan
efektif. Koalisi ini perlu diatur dan diikat undang-undang agar tidak bisa
dicabut atau bubar di tengah jalan dengan mudah. Karena itu, regulasi
mengenai koalisi ini perlu dilembagakan dalam sebuah undang-undang.
3. Gaya Kepemimpinan Presiden
Karakter kepemimpinan seorang presiden menjadi hal yang tidak dapat
diabaikan dalam mewujudkan sistem presidensial yang efektif. Sebab di
tangan presiden kekuasaan institusionalitas tertinggi berada. Presiden yang
kurang percaya diri, penakut, tidak tegas dan cenderung kompromis akan
sering dimainkan oleh kekuatan besar dalam parlemen. Selain aspek-aspek
institusional melalui penataan ulang desain institusi politik, dalam rangka
merancang sistem presidensial yang efektif, juga perlu didukung dengan
perbaikan aspek noninstitusional, yaitu personalitas dan gaya kepemimpinan
presiden yang kuat (strong president).
Personalitas dan gaya kepemimpinan (personality and leadership style)
seorang presiden juga menjadi faktor penting dalam kontruksi pemerintahan

17
presidensialisme yang efektif. Karena itu, diperlukan dukungan
nonisntitusional karekteristik personalitas dan gaya kepemimpinan presiden
yang tegas, cepat dan tepat dalam mengambil keputusan, memiliki
kemampuan lobi dan keterampilan mengolah koalisi, serta memiliki
keberanian menggunakan hak prerogratif sesuai konstitusi. Sikap akomodatif
dan kompromis SBY patut menjadi pelajaran berharga bagi Jokowi dan
presiden selanjutnya untuk meminimalisir perilaku tersebut dan dapat lebih
percaya diri dalam menggunakan hak prerogratifnya tanpa kekhawatiran untuk
dihadang oleh manuver politik di parlemen.
Selain itu, model transaksional yang digunakan SBY dimana loyalitas
dukungan dari partai koalisi ditukar dengan akomodasi posisi dalam kabinet
pemerintahan tidak memberikan keuntungan yang besar untuk mendukung
kebijakan yang dibuat presiden. Sebab partai koalisi justru seingkali terbelah
dalam menyikapi kebijakan presiden. Itu artinya, dukungan dari kubu partai-
partai yang berkoalisi terhadap inisiatif kebijakan presiden berubah-ubah dan
tidak permanen. Bahkan, partai-partai koalisi seringkali terlibat dalam pusaran
konflik dalam proses pengambilan keputusan di parlemen.
Oleh karenanya presiden seharusnya menggunakan modal popular vote
dan jumlah kursi yang dikuasai oleh partai presiden di parlemen, untuk
mengkonsolidasikan kebijakannya. Di samping itu, presiden juga harus turun
tangan langsung dalam memimpin koalisi antar partai, dan memastikan
soliditas partai-partai pendukungnya. Selain itu, jika Presiden bukan pendiri
suatu partai politik dan ketika menjadi Presiden hanya “dipinjami” partai
tertentu yang mau mendukungnya menjadi Presiden, maka dalam kasus ini,
Presiden tidak boleh didekte oleh partai yang mengusungnya menjadi
presiden.
Presiden harus mengutamakan suara rakyat yang memilihnya dan
mengabaikan suara partai politik tertentu yang semata-mata hanya
menjadikannya “boneka” untuk mencapai kepentingan partai politik. Sebab
ketika menjadi presiden tidak lagi tergantung pada partai politik.

18
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
(1) Sistem pemerintahan menjadi salah satu faktor penentu keberlangsungan
kehidupan bernegara. Pemerintahan akan berjalan efektif dan normal
mana kala sistem yang dipilih dan digunakan sesuai dengan karakter
kondisi sosial politik negara
(2) Pada hakikatnya kajian tentang sistem pemerintahan adalah kajian tentang
bagaimana lembaga – lembaga negara bekerja dengan memperhatikan
tingkat kewenangan dan pertanggungjawaban antar lembaga negara
terdapat sistem pemerintahan dimana ada hubungan yang erat antara
kekuasaan eksekutif dengan parlemen.
(3) Terdapat jenis – jenis sistem pemerintahan, yaitu sisem pemerintahan
Parlementer, Presidensial, Campuran dan Referendum

3.2 Saran
Dalam penggunaan sistem pemerintahan, sebaiknya disarankan untuk
menyesuaikan latar belakang sejarah dan situasi politik kenegaraan yang
mendukung dalam penggunaan sistem pemerintahan.

Hal ini maksudkan agar sistem pemerintahan yang digunakan sesuai


dengan kehendak dan kebutuhan politik negara demi mencapai tujuan yang
dinginkan oleh negara.

19
DAFTAR PUSTAKA

Muda, K., & Pacasila, N. I.9(2011) POSISI KAUM MUDA DALAM PANCASILA DAN NEGARA
BAGI INDONESIA.

Yani, A. (2018). Sistem Pemerintahan Indonesia : Pendekatan Teori dan Praktek


Konstitusi Undang-Undang Dasar 1945. Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum, 12(2),
119-135.

Anangkota, M. (2017). KLASIFIKASI SISTEM PEMERINTAHAN (Perspektif


Pemerintahan Modern Kekinian). CosmoGov: Jurnal Ilmu Pemerintahan, 3(2),
148-152.

https://books.google.co.id/books?
id=lsKIDwAAQBAJ&printsec=frontcover&hl=id#v=onepage&q&f=false

20

Anda mungkin juga menyukai