Anda di halaman 1dari 16

POLA HUBUNGAN LEMBAGA EKSEKUTIF DAN YUDIKATIF

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sistem Politik Indonesia


Dosen Pengampu : Dr. Liky Faizal.,S.Sos.,M.H

Oleh :

Bunga Selviana 2121020025

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA


FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
2022/2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah atas kehadirat Allah Yang Maha Esa atas berkat
anugerah terindahnya sehingga saya dapat terselesainya makalah ini dengan
baik, walaupun masih banyak kekurangan di dalamnya. Makalah ini membahas
mengenai “Pola Hubungan Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif ”. Semoga
pembuatan makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca untuk menambah
wawasan dan pengetahuannya. Dalam pembuatan makalah ini, tentunya tidak
terlepas dari bantuan beberapa pihak. Untuk itu, kami ucapkan terimakasih kepada
:
1. Bapak Dr. Liky Faizal.,S.Sos.,M.H selaku dosen pengampu mata kuliah
2. Orang tua dan teman-teman yang telah membantu dan mendukung
kami dalam menyelesaikan makalah ini.
Walaupun dalam penulisan makalah ini terdapat banyak salah dalam
penulisan, sehingga saya meminta maaf yang sebesarnya-besarnya atas
kekurangan makalah ini yang disengaja maupun tidak sengaja sehingga sangat
diperlukannya saran dan kritikan yang membangun untuk menjadi lebih baik
dalam perbaikan makalah.
Bandar Lampung, April 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .....................................................................................i
KATA PENGANTAR...................................................................................ii
DAFTAR ISI..................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah......................................................................1
B. Rumusan Masalah................................................................................2
C. Tujuan Penulisan..................................................................................2
D. Manfaat Penulisan...............................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Lembaga Eksekutif .............................................................................4
B. Lembaga Yudikatif..............................................................................5
C. Pola Hubungan Lembaga Eksekutif dan Yudikatif.............................5
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan...........................................................................................12
B. Saran......................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam sistem negara Indonesia, terdapat tiga cabang kekuasaan dalam
penyelenggaraan pemerintahan negara, meliputi: Legislatif yang membuat
undang-undang; Eksekutif sebagai pelaksana dan menjalankan undang-undang;
serta Yudikatif yang mengartikan (interprete) undang-undang, melakukan
ajudikasi arti undang-undang. Pemisahan kekuasaan semacam ini telah menjadi
basis tradisional dalam analisis pemerintahan negara sejak zaman Montesqieu.
Dalam sistem pemerintahan hubungan antara legislatif bersinergis dalam
pembangunan. DPR sebagai legislatif yang berwenang membuat Undang-
Undang dan sebagai kontrol terhadap pemerintahan atau eksekutif, sedangkan
Eksekutif atau Presiden, gubernur, bupati/wali kota berwenang untuk
menjalankan roda pemerintahan. Maka pihak legislatif dan eksekutif dituntut
untuk menjalankan fungsi/melakukan kerjasama, berasarkan prinsip
Pembagian Kekuasaan.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan ketentuan
tersebut maka salah satu prinsip negara hukum adalah adanya jaminan
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh
kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan. Dalam usaha memperkuat prinsip kekuasaan kehakiman
yangmerdeka, sesuai dengan tuntutan reformasi di bidang hukum dalam Sidang
Istimewa MPR-RI yang berlangsung tanggal 10 sampai dengan tanggal 13
Nopember 1999 telah menghasilkan berbagai ketetapan, antara lain Tap. MPR-
RI Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan Dalam
Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan
Negara. Pemerintah menyadari sepenuhnya kehendak rakyat yang tercermin
dalam Tap. MPR-RI Nomor X/MPR/1998 tersebut, yang menginginkan
terwujudnya kekuasaan kehakiman yang merdeka dan supremasi hukum dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Di dalam Tap. MPR-RI

1
Nomor X/MPR/1998 khususnya BAB C Hukum menegaskan perlunya
reformasi di bidang hukum untuk mendukung penanggulangan krisis di bidang
hukum.
Pemaknaan lembaga dewan harus dilihat tidak saja dewan sebagai
lembaga yang secara struktural merupakan law-making bodies, tetapi juga
dalam fungsi pembinaan konstituen (melalui anggota). Selain itu juga sebagai
pendorong pembangunan sistem politik demokratisasi di Indonesia melalui
peran pendidikan politik rakyat oleh lembaga dewan, anggota dan Fraksi.
Sesuai dengan konstitusi, fungsi politik lembaga dewan meliputi legislasi,
budget dan pengawasan ; Fungsi politik lembaga dewan menonjol sebagai law-
making atau legislasi, oleh karenanya sering disebut sebagai legislator.
Undang-undang yang dihasilkan haruslah undang-undang yang otoritatif dan
mengikat, atas dua alasan, yaitu : pertama, sebagai forum dimana RUU
diusulkan dan dibahas serta diperdebatkan secara sangat teliti dan terbuka,
kedua, posisi mewakili rakyat atau konstituen, yang mengandung arti bahwa
rakyat membuat sendiri undang-undang tersebut melalui wakilnya di lembaga.
B. Rumusan Masalah
Dari permasalahan diatas, maka rumusan masalah dalam makalah ini
yaitu :
1. Bagaimana lembaga eksekutif?
2. Bagaimana lembaga yudikatif?
3. Bagaimana pola hubungan lembaga eksekutif dan yudikatif?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui lembaga eksekutif
2. Untuk mengetahui lembaga yudikatif
3. Untuk mengetahui pola hubungan lembaga eksekutif dan yudikatif
D. Manfaat Penulisan
Manfaat bagi pembaca maupun penulis dalam makalah ini yaitu :
1. Agar dapat menambah wawasan tentang lembaga eksekutif
2. Agar dapat menambah wawasan tentang lembaga yudikatif

2
3. Agar dapat menambah wawasan tentang pola hubungan lembaga
eksekutif dan yudikatif

3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Lembaga Eksekutif
Dalam sistem presidensial menteri-memteri sebagai pemabantu presiden
dan langsung dipimpin olehnya. Sedangkan dalam sistem parlementer para
menteri dipimpin oleh seorang perdana menteri karena penyelenggaraan
kesejahteraan rakyat merupakan tugas pokok dari setiap Negara. Bahkan dalam
Negara yang tergolong, Negara kesejahteraan (Welfare State), maka kegiatan
badan eksekutif mempengarui semua aspek kehidupan masyarakat (pendidikan,
pelayanan kesehatan, perumahan, pekerjaan dll).1
Kekuasaan Eksekutif (Executive Power) adalah kekuasaan untuk
melaksanakan Undang-Undang. Kekuasaan melaksanakan undangundang
dipegang oleh Kepala Negara. Kepala Negara tentu tidak dapat dengan
sendirinya menjalankan segala undang-undang ini. Oleh karena itu, kekuasaan
dari kepala Negara dilimpahkan (didelegasikan)kepada pejabat-pejabat
pemerintah/Negara yang bersama-sama merupakan suatu badan pelaksana
undang-undang (Badan Eksekutif). Badan inilah yang berkewajiban
menjalankan kekuasaan Eksekutif. Kekuasaan Badan Eksekutif mempunyai
wewenang yang mencakup beberapa bidang yaitu :
1. Administratif, yakni kekuasaan untuk melaksanakan Undang- Undang dan
peraturan perundangan lainnya dan menyelenggarakan administrasi
negara.
2. Legislatif, yaitu membuat rancangan Undang-Undang dan
membimbingnya dalam badan perwakilan rakyat sampai menjadi Undang-
Undang.
3. Keamanan, artinya kekuasaan untuk mengatur polisi dan angkatan
bersenjata, menyelenggarakan perang, pertahanan negara, serta keamanan
dalam negeri.
4. Yudikatif, memberi grasi, amnesti, dan sebagainya.

1
Badri Hasan Sulaiman, “Pola Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Penyelenggaraan
Otsus Di Daerah,” Jurnal Geuthee Penelitian Multidisiplin 3, no. 2 (2020): 487–499.

4
5. Diplomatik, yaitu kekuasaan untuk menyelenggarakan hubungan
diplomatik dengan negara-negara lain.2
B. Lembaga Yudikatif
Kekuasaan Yudikatif atau Kekuasaan Kehakiman (Yudicative Powers)
adalah kekuasaan yang berkewajiban mempertahankan Undang-Undang dan
berhak memberikan peradilan kepada rakyatnya. Badan Yudikatif adalah yang
berkuasa memutus perkara, menjatuhkan hukuman terhadap setiap pelanggaran
undang-undang yang telah diadakan dan dijalankan. Walaupun pada hakim itu
biasanya diangkat oleh Kepala Negara (Eksekutif) tetapi mereka mempunyai
kedudukan yang istimewa dan mempunyai hak tersendiri, karena hakim tidak
diperintah oleh Kepala Negara yang mengangkatnya, bahkan hakim adalah
badan yang berhak menghukum Kepala Negara, jika Kepala Negara
melanggarnya.
Kekuasaan kehakiman di indonesia banyak mengalamiperubahan sejak
masa reformasi. Amandemen ketiga UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 10
November tahun 2001, mengenai Bab kekuasaan kehakiman (Bab IX) memuat
beberapa perubahan (Pasal 24A, 24B, 24C). Amandemen menyebutkan
penyelenggara kekuasaan kehakiman terdiri atas Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Agung bertugas menguji peraturan
perundangan dibawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang. Sedangkan
Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan menguji Undang-Undang
terhadap UUD NRI 1945.3
C. Pola Hubungan Lembaga Eksekutif dan Yudikatif
Berdasarkan hasil pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang
Kekuasaan Kehakiman mengenai pemisahan antara fungsi kekuasaan eksekutif
dan fungsi kekuasaan yudikatif dengan menyatukan segala urusan yang
menyangkut badan peradilan yang berada dalam lingkungan peradilan umum,
peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha Negara dalam satu
2
Adelia Fernanda Lawani, Audi H. Pondang, and Delasnova S. S. Lumintang, “Hubungan
Eksekutif Dan Legislatif Dalam Pembuatan Peraturan Perundang Undangan Di Indonesia,” Lex
Administratum 9, no. 2 (2021): 69–79.
3
Rahmat Robuwan, “Reditribusi Kekuasaan Negara Dan Hubungan Antar Negara Di
Indonesia,” Jurnal Hukum Progresif 12, no. 1 (2018): 2056–2082.

5
atap di bawah kekuasaan Mahkamah Agung diatur dalam Pasal 13 ayat (1),
Pasal 24, dan Pasal 42 sampai dengan Pasal 46.
1. Pasal 13 ayat (1), mengatur mengenai penegasan kembali bahwa
organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya berada di bawah kekuasaan
Mahkamah Agung.
2. Pasal 24, mengatur mengenai tindak pidana yang dilakukan bersamasama
oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan
peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan
peradilan umum kecuali dalam keadaan tertentu menurut keputusan Ketua
Mahkamah Agung perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan
dalam lingkungan peradilan militer.
3. Pasal 42 sampai dengan Pasal 46 merupakan ketentuan peralihan. Halini
dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan
pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dalam lingkungan
peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata
usaha negara dari departemen-departemen yang bersangkutan berada di
bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Pasal 42 sampai dengan Pasal 46
mengatur mengenai :
a. batasan jangka waktu secara ketat pengalihan organisasi, administrasi,
dan finansial dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama,
peradilan militer, dan peradilan tata usaha Negara yang ditetapkan
dengan Keputusan Presiden dan ketentuan mengenai penetapan
Keputusan Presiden tersebut;
b. penegasan status pegawai, pegawai yang menduduki jabatan struktural,
dan aset milik/barang inventaris badan-badan peradilan yang berada
dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer,
dan peradilan tata usaha negara;
c. batasan jangka waktu Makhamah Agung menyusun organisasi dan tata
kerja yang baru di lingkungan Mahkamah Agung paling lambat dua

6
belas bulan sejak Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman
diundangkan.
Adapun substansi baru yang diatur dalam Rancangan Undang-Undang
tentang Kekuasaan Kehakiman, antara lain :
1) Penegasan penyelenggara kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi (Pasal 2).
2) Setiap orang yang sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dipidana yakni segala campur tangan dalam urusan peradilan
oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-
hal sebagaimana diatur dalam Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 [Pasal 4 ayat (4)]
3) Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala
hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana,
cepat, dan biaya ringan tidak hanya perkara pidana tetapi juga perkara
perdata dan perkara tata usaha negara [Pasal 5 ayat (2)].
4) Kewenangan, organisasi, administrasi, dan finansial serta
susunankekuasaan dan hukum acara Mahkamah Konstitusi [Pasal 12,
Pasal 13 ayat (2), Pasal 14 ayat (2)].
5) Penegasan peradilan syariah Islam di Provinsi Nanggroe Aceh
Darrussalam merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan
agama sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan
agama, dan merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan
umum sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan
umum [Pasal 15 ayat (2)].
6) Putusan dapat diucapkan tanpa dihadiri terdakwa [Pasal 18 ayat (2)].
7) Adanya kewajiban bagi setiap hakim majelis untuk menyampaikan
pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang
diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan, jika

7
dalam sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai kata mufakat bulat,
pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan, dan
pelaksanaan lebih lanjut diatur oleh Mahkamah Agung [Pasal 19 ayat (4),
ayat (5), dan ayat (6)].
8) Putusan pengadilan tingkat pertama, yang tidak merupakan pembebasan
dari dakwaan atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum, dapat
dimintakan banding kepada pengadilan tinggi oleh pihak-pihak yang
bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain [Pasal 21 ayat (2)].
9) Kewajiban pengunduran diri dari persidangan bagi hakim atau
paniteraapabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung
dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri
maupun atas permintaan pihak yang berperkara, dan apabila ketentuan ini
dilanggar maka putusannya dinyatakan tidak sah, terhadap hakim atau
panitera bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau dipidana
berdasarkan peraturan perundang-undangan [Pasal 29 ayat (5) dan ayat
(6)].
10) Penegasan pengaturan mengenai kedudukan, syarat-syarat, tugas
danfungsi hakim (Pasal 31, Pasal 32, dan Pasal 33).
11) Penegasan pengaturan mengenai Komisi Yudisial dan wewenangnyayang
pengaturannya lebih lanjut diatur dengan undang-undang [Pasal34 ayat (1)
dan ayat (4)].
12) Penegasan mengenai kedudukan panitera, panitera pengganti, dan juru sita
sebagai pejabat peradilan (Pasal 35).
13) Pengaturan mengenai badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan
kekuasaan kehakiman meliputi Kepolisian Negara Republik Indonesia,
Kejaksaan Republik Indonesia, dan badan-badan lainnya yang diatur
dengan undang-undang (Pasal 41).
14) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok-pokok
Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang

8
Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok-pokok Kekuasaan
Kehakiman dinyatakan tidak berlaku (Pasal 48).
Hasil pembahasan terhadap Rancangan Undang-Undang tentang
Kekuasaan Kehakiman tersebut disetujui oleh Panitia Khusus Badan Legislasi
dan Pemerintah untuk diambil keputusan dalam Rapat Paripurna Terbuka
DPR. Dengan disetujui Rancangan Undang-Undang tentang Kekuasaan
Kehakiman tersebut untuk diambil keputusan membawa konsekuensi pula
perubahan peraturan perundang-undangan di bidang peradilan lainnya untuk
disesuaikan dengan Rancangan Undang-Undang tentang Kekuasaan
Kehakiman tersebut. Sehubungan dengan Undang-undang tersebut maka pada
saat pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas
Undang- Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung,
Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, dan Rancangan Undang-Undang
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara disepakati tidak dibatasi dengan perubahan-
perubahan sebagaimana tercantum dalam Rancangan Undang-Undang
inisiatif DPR tetapi perlu juga disesuaikan dengan hasil pembahasan
Rancangan Undang- Undang tentang Kekuasaan Kehakiman.
Hasil pembahasan terhadap Rancangan Undang-Undang tentang
Kekuasaan Kehakiman dan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung telah
disetujui oleh DPR dan Pemerintah untuk disahkan dan diundangkan menjadi
undang-undang dalam Rapat Paripurna Terbuka DPR-RI pada tanggal 18
Desember 2003. Rancangan Undang-Undang tersebut telah disahkan oleh
Presiden dan diundangkan oleh Sekretaris Negara pada tanggal 15 Januari
2004 masing-masing menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 8; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358) dan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara

9
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 9; Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4359).
Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum dan Rancangan Undang-
Undang tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara telah disetujui oleh Dewan Perwakilan
Rakyat dan Pemerintah untuk disahkan dan diundangkan menjadi undang-
undang dalam Rapat Paripurna Terbuka DPR-RI pada tanggal 1 Maret 2004.
Rancangan Undang-Undang tersebut telah disahkan oleh Presiden dan
diundangkan oleh Sekretaris Negara pada tanggal 29 Maret 2004 masing-
masing menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 34; Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4379) dan Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 35; Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4380). Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 42,
Pasal 43, dan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman pada tanggal 23 Maret 2004 telah ditetapkan
Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 2004 tentang Pengalihan Organisasi,
Administrasi, dan Finansial di Lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan
Tata Usaha Negara, dan Peradilan Agama ke Mahkamah Agung.
Dengan penetapan Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 2004 pada
tanggal 23 Maret 2004 maka organisasi, administrasi, dan finansial di
lingkungan peradilan umum dan peradilan tata usaha negara di bawah
kekuasaan Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, dan peradilan
agama di bawah kekuasaan Departemen Agama beralih menjadi berada di
bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Dengan demikian berdasarkan
Keputusan Presiden tersebut telah dilakukan pemisahan yang tegas antara
fungsi kekuasaan eksekutif dan fungsi kekuasaan yudikatif di lingkungan

10
badan peradilan umum, peradilan tata usaha negara, dan peradilan agama,
kecuali di lingkungan badan peradilan militer yang belum ditetapkan dengan
Keputusan Presiden. Keputusan Presiden tentang Pengalihan Organisasi,
Administrasi, dan Finansial di Lingkungan Peradilan Militer berdasarkan
Pasal 42 ayat (3) dan ayat (5) huruf b ditetapkan paling lambat enam puluh
hari sebelum tanggal 30 Juni 2004.
Dengan telah dilakukan pemisahan yang tegas antara fungsi kekuasaan
eksekutif dan fungsi kekuasaan yudikatif di lingkungan peradilan umum,
peradilan tata usaha negara, peradilan agama, dan peradilan militer dari
departemen-departemen yang bersangkutan berada satu atap di bawah
kekuasaan Mahkamah Agung maka kekuasaan kehakiman yang merdeka
sebagai pengawal utama supremasi hukum dan sebagai benteng terakhir
penegakan hukum, keadilan, dan demokrasi (the Independence of Judiciary is
core element of supremacy of law and democracy) yang sangat didambakan,
dapat terwujud.4

4
Hadi Supriyanto, “Pemisahan Fungsi Kekuasaan Eksekutif Dan Yudikatif,” Jurnal
Legislasi Indonesia 1, no. 1 (2004): 1–21.

11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa :
1. Kekuasaan Eksekutif (Executive Power) adalah kekuasaan untuk
melaksanakan Undang-Undang. Kekuasaan melaksanakan undangundang
dipegang oleh Kepala Negara. Kepala Negara tentu tidak dapat dengan
sendirinya menjalankan segala undang-undang ini.
2. Kekuasaan Yudikatif atau Kekuasaan Kehakiman (Yudicative Powers)
adalah kekuasaan yang berkewajiban mempertahankan Undang-Undang
dan berhak memberikan peradilan kepada rakyatnya. Badan Yudikatif
adalah yang berkuasa memutus perkara, menjatuhkan hukuman terhadap
setiap pelanggaran undang-undang yang telah diadakan dan dijalankan.
3. Fungsi kekuasaan eksekutif dan fungsi kekuasaan yudikatif di lingkungan
peradilan umum, peradilan tata usaha negara, peradilan agama, dan
peradilan militer dari departemen-departemen yang bersangkutan berada
satu atap di bawah kekuasaan Mahkamah Agung maka kekuasaan
kehakiman yang merdeka sebagai pengawal utama supremasi hukum dan
sebagai benteng terakhir penegakan hukum, keadilan, dan demokrasi.
B.  Saran
Sekian materi tentang pola hubungan lembaga eksekutif dan yudikatif
yang dapat disampaikan. Semoga dapat memberikan manfaat bagi pembaca.
Saya menyadari dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh
karenanya, diharapkan memberikan kritikan dan saran yang membangun dalam
makalah ini.

12
DAFTAR PUSTAKA
Lawani, Adelia Fernanda, Audi H. Pondang, and Delasnova S. S. Lumintang.
“Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Pembuatan Peraturan Perundang
Undangan Di Indonesia.” Lex Administratum 9, no. 2 (2021).
Robuwan, Rahmat. “Reditribusi Kekuasaan Negara Dan Hubungan Antar Negara
Di Indonesia.” Jurnal Hukum Progresif 12, no. 1 (2018).
Sulaiman, Badri Hasan. “Pola Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam
Penyelenggaraan Otsus Di Daerah.” Jurnal Geuthee Penelitian Multidisiplin
3, no. 2 (2020).
Supriyanto, Hadi. “Pemisahan Fungsi Kekuasaan Eksekutif Dan Yudikatif.”
Jurnal Legislasi Indonesia 1, no. 1 (2004).

13

Anda mungkin juga menyukai