Anda di halaman 1dari 22

TINJAUAN YURIDIS ATAS BERLAKUNYA TEORI KEBATALAN DALAM

PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM NASIONAL

Oleh: Henu Astantya

Latar Belakang

Dalam upayanya untuk mencapai tujuan negara, pemerintah diberikan

berbagai kewenangan untuk melakukan berbagai tindakan. Segala tindakan dan

kewenangan alat-alat pemerintahan untuk menjalankan tugas guna mencapai tujuan

negara dengan menggunakan wewenang khusus atau tertentu ini disebut dengan

perbuatan pemerintah.1 Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah tersebut

merupakan perbuatan yang didasarkan pada kewenangan yang dimiliki pemerintah,

sedangkan kewenangan-kewenangan bersumber dari peraturan perundang-undangan.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa layaknya negara hukum, sumber wewenang bagi

pemerintah untuk dapat bertindak adalah peraturan perundang-undangan.

Indonesia adalah negara Hukum sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 amandemen ketiga yang

menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, salah satu pilar utama

negara hukum dalam penyelenggaraan pemerintahannya adalah pembentukan

peraturan perundang-undangan yang baik dan harmonis sehingga dapat mewujudkan

produk hukum nasional yang relevan dan bisa diterapkan dalam masyarakat.

1
SF Marbun dkk, Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta,
2001, hlm. 241.

1
Dalam mewujudkan cita-cita tersebut, pembentukan peraturan perundang-

undangan yang baik dan harmonis dan adanya suatu peraturan yang dapat dijadikan

pedoman dan acuan bagi para pihak yang berhubungan dalam pembentukan peraturan

perundang-undangan, baik ditingkat pusat maupun daerah sangat diperlukan. 2

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi kejelasan

tujuan, kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis,

hierarki, dan materi muatan; dapat dilaksanakan; kedayagunaan dan kehasilgunaan,

kejelasan rumusan; dan keterbukaan.3

Negara dalam rangka pencapaiannya sebagai negara hukum berkewajiban

melaksanakan pembangunan hukum nasional yang dilakukan secara terencana,

terpadu, dan berkelanjutan dalam sistem hukum nasional yang menjamin

perlindungan hak dan kewajiban segenap rakyat Indonesia berdasarkan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.4

Sistem hukum nasional merupakan hukum yang berlaku di Indonesia dengan

semua elemennya yang saling menunjang satu dengan yang lain dalam rangka

mengantisipasi dan mengatasi permasalahan yang timbul dalam kehidupan

2
Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan Proses dan Teknik Pembentukannya, PT Kanisius,
Yogyakarta, 2007, hlm. 1
3
Pasal Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
4
Konsiderans Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dalam rangka menjaga independensi dan mencegah sebuah absloutisme

pemerintahan maka pemegang kewenangan penyusunan peraturan perundang-

undangan dipisahkan dengan pemegang kewenangan lain. Hal ini dilandaskan pada

gejala hubungan yang saling mempengaruhi antara politik suatu negara dengan

hukum yang menopangnya. Agar hukum tidak hanya dijadikan pengabsah atas

tindakan-tindakan penguasa untuk membenarkan tindakannya maka pemisahan

wewenang diperlukan lebih lanjut agar produk hukum yang dihasilkan dapat

dijadikan sarana efektif dalam mencapai tujuan negara hukum.

Didalam sistem ketatanegaraan Indonesia, pemisahan wewenang (separation

of power) pada sistem pemerintahan telah diatur di dalam konstitusi dan pemberian

kewenangannya pun diberikan secara atributif, pemisahan kewenangan tersebut

diberikan setidaknya kepada masing - masing lembaga yaitu legislatif dalam hal ini

Dewan Perwakilan Rakyat, eksekutif dalam hal ini pemegang kekuasaan

Pemerintahan, yudikatif dalam hal ini Mahkamah Agung, pemeriksaan dalam hal ini

Badan Pemeriksa Keuangan, dan pengawasan khusus dalam hal ini Komisi Yudisial.

Masing – masing lembaga tersebut diberikan kewenangan baik dalam pengaturan,

pembuatan dan pelaksanaan suatu produk hukum yang menunjang pelaksanaan

kewenangannya masing-masing.
Dalam memberikan kuliahnya di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada,

Prof. Muchsan berpendapat bahwa dari segi hukum tata pemerintahan kewenangan

dapat dibagi menjadi dua kelompok:

1. Kewenangan yang bersifat atributif (orisinal), kewenangan yang diberikan

langsung oleh peraturan perundang-undangan. Kewenangan atributif ini sifatnya

permanen/tetap karena saat berakhirnya kabur. Sebagai contoh : Presiden dalam

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berwenang

membuat Undang-Undang, Peraturan Presiden dan Peraturan Pemerintah.

2. Kewenangan non atributif (non orisinal), kewenangan yang diberikan karena

adanya pelimpahan/peralihan wewenang. Kewenangan yang non orisinal itu

sifatnya tidak permanen atau insidental. Dalam hukum tata pemerintahan

pelimpahan wewenang terdiri dari Mandat dan delegasi.

Dalam pembentukannya, peraturan perundang-undangan harus berdasarkan

pada asas Pembentukan Peraturan Perundag-undangan yang baik, yang meliputi5:

1. Memiliki kejelasan tujuan;

Setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai tujuan

yang jelas yang hendak dicapai;

2. Dibuat oleh lembaga atau pejabat pembentuk yang tepat

Setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara

atau pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang.

3. Memiliki kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan

5
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus benarbenar memperhatikan

materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-

undangan.

4. Dapat dilaksanakan

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas

Peraturan Perundangundangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara

filosofis, sosiologis, maupun yuridis.

5. Memiliki kedayagunaan dan kehasilgunaan

Peraturan Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan

dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan

bernegara.

6. Memiliki kejelasan rumusan

Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan

Peraturan Perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta

bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan

berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.

7. Memenuhi asas keterbukaan

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan,

penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan

bersifat transparan dan terbuka.

Secara realita dalam penyusunan produk hukum tidak selamanya

mengindahkan asas-asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dengan


berbagai macam alasan kepentingan yang menyebabkan ambiguitas produk hukum,

ketidakharmonisan dengan produk hukum lain baik secara horizontal maupun

vertikal, ketidaksesuaian ruang lingkup dan materi/muatan produk hukum yang

melampaui kompetensi kewenangan pembentuk produk hukum. Semua itu adalah

hasil dari pembentukan produk hukum yang tidak mengindahkan asas-asas

pembentukan produk hukum yang baik.

Menurut Prof. Muchsan, cara membuat produk hukum yang baik ialah yang

bersifat populis artinya berpihak kepada kepentingan rakyat. Kemudian suatu produk

hukum yang baik tentunya akan berlaku dengan baik artinya daya ikat dan kepatuhan

masyarakat terhadap produk hukum itu sangat tinggi dan tahan lama. Menurut

Jeremy Bentham dalam bukunya yang berjudul “Legal Theory” dikatakan bahwa

produk hukum yang baik itu mempunyai sifat berlaku secara filosofis, sosiologis dan

yuridis.

Terkait permasalahan yang timbul dimaksud dan akan dibahas lebih lanjut

dalam tulisan ini adalah bilamana terdapat produk hukum yang tidak sesuai dengan

asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut bisa dibatalkan secara

yuridis. Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan tersebut di atas, maka dapat

dirumuskan suatu permasalahan sebagai berikut.


Rumusan Permasalahan

Berangkat dari latar belakang masalah yang dipaparkan diatas dan agar

pembahasan terhadap permasalahan tidak meluas, maka penulis membuat rumusan

masalah, guna membahas bilamana suatu produk hukum mengalami kebatalan

ditinjau secara yuridis. Oleh karena itu penulis akan mengambil sebuah rumusan

masalah yaitu:

Bagaimana tinjauan yuridis teori kebatalan dalam pembentukan Produk hukum

Nasional?
PEMBAHASAN

Produk Hukum yang Sah

Dalam negara hukum, kewenangan dalam penyelenggaraan negara dan

pemerintahan itu diperoleh berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

didasarkan pada sebuah asas legalitas. Pemerintah dalam hal ini Negara hanya dapat

melakukan tindakan/melaksanakan kewenangannya apabila memiliki alas legalitas

yang sah yaitu berdasarkan peraturan hukum yang ada.

Menurut Bagir manan, wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan

kekuasaan (Macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak

berbuat. Sedangkan wewenang adalah hak dan kewajiban (Rechten en

plichen).6 Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa wewenang adalah kewajiban dan

hak yang diberikan oleh pemegang kekuasaan kepada aparat penyelenggaraan negara

atau aparat pemerintah. Sesuai dengan hal tersebut maka kewenangan dalam

pembuatan produk hukum dalam hal ini juga diperoleh berdasarkan ketentuan

perundang-undangan yang berlaku.

Aparat pemerintah merupakan subjek hukum sehingga berhak untuk

melakukan tindakan atau perbuatan hukum. Menurut H.J Romeinj mengungkapkan

bahwa tindakan hukum administrasi merupakan untuk menimbulkan akibat hukum

dalam bidang hukum administrasi negara. Akibat hukum yang lahir dari tindakan

hukum adalah akibat-akibat yang memiliki relevansi dengan hukum.7

6
BagirManan, Membedah UUD 1945, UB Press, 2012, hlm 12
7
H.J Romeinj dikutip oleh Ridwan HR dalam bukunya. Hukum Administrasi Negara . Jakarta.
Rajawali Press. 2006. hlm 113-114
Menurut komisi Van poelje, perbuatan hukum alat administrasi negara adalah

tindakan-tindakan hukum (dalam hukum publik) yang dilakukan oleh penguasa dalam

menjalankan fungsi pemerintahan dalam arti sempit. Menurut E. Utrecht, perbuatan

pemerintah ialah tiap-tiap perbuatan yang dilakukan pemerintah dengan maksud

untuk menyelenggarakan kepentingan-kepentingan umum, termasuk perbuatan

mengadakan peraturan maupun perbuatan mengadakan ketetapan atau perjanjian.8

Perbuatan pemerintah yang termasuk dalam perbuatan hukum dapat

berupaperbuatan hukum menurut hukum privat dan perbuatan hukum menurut hukum

publik. Perbuatan hukum menurut hukum privat dalam hukum tata pemerintahan

terjadi perdebatan apakah merupakan lapangan ilmu hukum tata pemerintahan atau

bukan. Namun yang dibahas dalam lingkup hukum tata pemerintahan yakni perbuatan

hukum menurut hukum publik.

Perbuatan hukum menurut hukum publik ini dibagi dalam dua macam:

1. Perbuatan hukum publik yang bersegi satu (eenzijdige publiekrechtelijke

handeling).

Artinya hukum publik itu lebih merupakan kehendak satu pihak saja yaitu

pemerintah sehingga hubungan hukum hanya berasal dari satu pihak saja yakni

pemerintahan dengan cara menentukan kehendak sendiri termasuk pembentukan

produk hukum.

2. Perbuatan hukum publik yang bersegi dua (tweetzijdige publiekrechtelijke

handeling).

8
Eny Kusdarini. Dasar-dasar hukum administrasi negara.dan asas-asas umum pemerintahan yang
baik. Yogyakarta. UNY Press. 2011. Hlm 87
Artinya hukum publik yang berdasarkan pada kehendak lebih dari satu pihak

yaitu pemerintah dan subjek hukum lain. Para ahli hukum tata pemerintahan

berpendapat tidak ada perbuatan publik yang bersegi dua, tidak ada perjanjian,

yang diatur oleh hukum publik. Itulah sebabnya tidak ada perjanjian menurut

hukum publik. Contoh tentang adanya kortverband contract (perjanjian kerja

jangka pendek) yang diadakan seorang swasta sebagai pekerja dengan pihak

pemerintah sebagai pihak pemberi pekerjaan.

Prof. Muchsan berpendapat bahwa kewenangan yang dimiliki oleh aparat

yang berwenang dapat dikelompokkan menjadi dua macam yaitu, kewenangan

atributif dan kewenangan non atributif.9

1. Kewenangan Atributif (original)

Kewenangan yang diberikan atau diperoleh langsung oleh peratutan perundang –

undangan. Berkaitan dengan kewenangan ini, maka kewenangan atributif bersifat

permanen artinya saat berakhirnya kewenangan tersebut tidak jelas/absurd.

Sebagai contoh kewenangan atributif adalah presiden berwenang mengajukan

Rancangan Undang-Undang (RUU) berdasarkan pasal 5 Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Kewenangan Non Atributif

Kewenangan non atributif merupakan kewenangan yang diperoleh karena adanya

pelimpahan wewenang dari aparat yang berwenang memberikan wewenang. Sifat

9
Prof Muchsan, Materi Kuliah Politik Hukum, 2016
dari kewenangan non atributif adalah bersifat insidentil artinya kapan saat

berlakunya kewenangan tersebut sudah jelas.

Dalam menilai sebuah produk hukum terkait kualitas dan keabsahannya harus

meninjau lebih dalam salah satunya terkait pemenuhan persyaratan pembentukannya.

Menurut Prof. Muchsan produk hukum harus memenuhi syarat-syarat sah, yakni

syarat mutlak dan syarat relatif.

1. Syarat mutlak terdiri dari:

a. Dibuat oleh aparat yang berwenang. Yakni dibuat oleh Badan Legislatif,

ataupun Pejabat Tata Usaha Negara yang memiliki wewenang untuk

membentuk produk hukum.

b. Tidak ada kekurangan yuridis. Kekurangan yuridis yang dimaksud adalah

paksaan, kekhilafan ataupun penipuan. Persamaan antara kekhilafan dan

paksaan adalah adanya penipuan, sedangkan kehendak&kenyataan adalah

berbeda. Perbedaanya adalah:

1) Akibat hukum yang dilahirkan;

2) Lembaga yang menyatakan batal produk hukum tersebut.

c. Tujuan produk hukum harus sama dengan yang dikehendaki peraturan

dasarnya. Tujuan tersebut adalah keadilan, kepastian dan perdamaian.

2. Syarat relatif pembentukan produk hukum

a. Bentuk produk hukum harus sama dengan peraturan dasarnya. Bentuk produk

hukum itu adalah dapat tertulis dan tidak tertulis. Misalnya, Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1976 mengatur tentang hak cuti PNS, jika PNS

sakit, dan hanya terjadi 2 (dua) hari, izin yang diberikan dapat secara lisan

saja. Sedangkan jika PNS tersebut sakit 7 (tujuh) hari, harus ada surat

keterangan dokter yakni tertulis;

b. Fase/periode penentuan harus sama, misalnya jika seorang Pasien harus

dioperasi maka harus ada izin dari keluarga;

c. semua persyaratan khusus, peraturan dasarnya harus terpenuhi. Misalnya,

pada saat pererkrutan PNS terdapat syarat umum harus Warga Negara

Indonesia, taat pancasila, dan memiliki syarat khusus misalnya jika ingin

menjadi apoteker maka harus dari Sarjana Farmasi.

Dalam praktek sering dijumpai suatu undang-undang dirasakan kurang efektif

yang kerap menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Kecenderungan ini timbul

karena dianggap tidak sesuai dengan prosedur hukum dan bertentangan dengan

kaidah hukum, sehingga dalam menyusun undang-undang diperlukan langkah-

langkah.10

1. Perencanaan yang matang dalam merumuskan suatu undang-undang;

2. Harus melalui prosedur untuk mengantisipasi terjadinya cacat hukum terhadap

undang-undang tersebut;

3. Diperlukan kehati-hatian dalam merumuskan suatu undang-undang;

4. Konsentrasi yang penuh terhadap bidang yang diatur

10
Juniver Girsang, Abuse Of Power, JG Publishing, 2012, hlm 69
Penyusunan peraturan perundang-undangan yang baik, pada hakekatnya perlu

memperhatikan dasar-dasar pembentukannya terutama berkaitan dengan landasan-

landasan, asas-asas yang berkaitan dengan materi muatannya.11

Produk Hukum Yang Tidak Sah dan Pembatalannya

Indonesia sebagai negara hukum yang mengikuti tradisi sistem hukum

kontinental, memberikan penghargaan yang tinggi kepada peraturan perundang-

undangan sebagai sendi utama sistem hukum nasionalnya. Oleh karena itu,

pembangunan nasional selalu mensyaratkan adanya pembangunan dua subsistem

hukum lainnya, yaitu pembangunan terhadap struktur hukum (legal strcture) dan

budaya hukum (legal culture).

Peraturan perundang-undangan merupakan komponen penting dalam kesatuan

sistem hukum nasional, dengan demikian harus dibangun secara terintegrasi untuk

memberikan jaminan bahwa pembangunan nasional dapat berjalan dengan teratur,

ada kepastian hukum dan memberikan kemanfaatan bagi terpenuhinya rasa keadilan

dan kemakmuran masyarakat sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Fakta yang terjadi terutama di dalam praktik hukum tata pemerintahan,

banyak sekali produk hukum yang dihasilkan oleh aparat pemerintah yang berwenang

baik yang sifatnya mengatur berupa peraturan (regeling) maupun yang sifatnya

menetapkan berupa keputusan (beschikking) yang tidak berlandaskan pada asas-asas

dan syarat-syarat pembentukan produk hukum yang baik. Sehingga sering kali

11
Ibid
banyak kita jumpai produk hukum nasional yang tidak berjalan dengan sebagai mana

mestinya atau produk hukum yang dibuat tidak memberikan kemanfaatan bagi

terpenuhinya rasa keadilan dan kemakmuran masyarakat sehingga tidak memiliki

daya ikat dan keberlakuan yang tahan lama. Hal tersebut dikarena masyarakat yang

tidak menundukan diri/mematuhi produk hukum tersebut karena tidak memenuhi rasa

keadilan dan kesadaran yang ada di masyarakat serta tidak sesuai dengan budaya

hukum yang ada.

Menurut Prof Muchsan, negara hukum kita bergerak dinamis, peranan produk-

produk hukum pemerintah sangat dominan karena hukum berperan sebagai panglima.

Cara membuat produk hukum yang baik ialah yang bersifat populis artinya berpihak

kepada kepentingan rakyat.

Apabila suatu produk hukum tidak memenuhi salah satu syarat yang

ditetapkan dalam pembuatan sebuah produk hukum, maka hal tersebut tidak

menjadikan produk hukum menjadi tidak sah. Produk hukum dimaksud kemudian

dianggap batal (nietig), batal demi hukum (nietig van rechtswege), atau dapat

dibatalkan (verniettigbaar)12.

Kewenangan lembaga dalam penyusunan produk hukum baik yang diperoleh

secara atributif atau non atributif merupakan syarat mutlak yang apabila tidak

dipenuhi bisa mengakibatkan batal (bersifat mutlak). Ketidakwenangan aparat dalam

pembentukan produk hukum meliputi.13

1. Kompetensi/ratione materiae

12
Soehino, Asas-Asas Hukum Tata Pemerintahan, Liberty, Yogyakarta, 1984, hlm.121.
13
Muchsan, Kuliah Politik Hukum, 2016.
karena substansi/muatan materi suatu produk hukum yang menjadi obyek produk

hukum bukan dalam ruang lingkup kompetensi aparat berwewenang yang

membuatnya.

2. Batas lingkungan wilayah/ratione locus

Karena bukan dalam wilayah hukum aparat yang berwewenang yang membentuk

produk hukum.

3. Batas wilayah/ratione temporis

Yaitu ketidakwenangan aparat oleh sebab daluarsa atau lewat waktu. Misal suatu

kasus telah terjadi dahulu sebelumnya dan baru diungkit sekarang, padahal

menurut peraturan kasus tersebut telah daluarsa.

Tujuan pembatasan-pembatasan dalam menjalankan kewenangannya tersebut

diantaranya agar aparatur pemerintah tidak menyalahgunakan kekuasaan dan

kewenangan yang dimilikinya (abuse of power). Untuk itu, diperlukan suatu kategori

atau bentuk pengetahuan terhadap kategori terkait kapan sebuah kewenangan

dianggap tidak sah atau tidak berjalan sebagaimana ketentuan yang ada.

Dalam ranah Hukum Tata Pemerintahan (bestuursrecht), terdapat 3 (tiga) teori

kebatalan (nietig Theory), yakni batal mutlak, batal demi hukum dan dapat

dibatalkan. Ketiga teori ini memiliki perbedaan berdasarkan 2 (dua) aspek, yaitu

1. Berdasarkan akibat hukum yang ditimbulkan, yaitu akibat-akibat hukum yang

mengikuti jika terjadi pembatalan. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis

yang muncul dan tidak dapat dihindari akibat pembatalan tersebut.


2. Lembaga atau Pejabat yang berhak menyatakan batal, yaitu mengenai

kewenangan pembatalan, dalam arti siapa pejabat yang berhak untuk melakukan

proses pembatalan tersebut. Untuk lebih memudahkan kita dalam

mengidentifikasi pejabat siapa saja yang memiliki hak untuk membatalkan, maka

kita membagi pejabat dalam bentuk yang sangat sederhana, yakni lembaga atau

pejabat yudikatif, eksekutif dan legislatif.

Untuk lebih jelasnya, berikut perbandingan dari ketiga teori kebatalan

tersebut.14

1. Batal Mutlak (absolute nietig).

Secara prinsip, batal mutlak berakibat semua perbuatan yang pernah dilakukan,

dianggap tidak pernah ada. Dalam konteks ini, perbuatan yang dinyatakan tidak

pernah ada tersebut, berlaku prinsip fiction theory atau semua orang atau subjek

hukum dianggap tahu hukum. Dalam hal batal mutlak ini, yang berhak

menyatakan batal batal mutlak hanyalah peradilan dalam Undang-Undang

Kehakiman. Misalnya seseorang menyewa rumah pada orang yang tidak cakap

dan berada dibawah pengampuan, setelah beberapa tahun berjalan ternyata

diketahui bahwa orang yang menyewakan tidak cakap yang dalam hukum berarti

tidak wenang melakukan perbuatan hukum. Oleh karenanya perbuatan sewa-

menyewa tersebut dianggap tidak sah dan batal kemudian kondisi dikembalikan

seperti keadaan semula.

2. Batal Demi Hukum (nietig van recht wege)

14
E.Utrecht. Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia. Surabaya. Pustaka Tinta Mas. 1986.
Hlm 109-113.
Akibat hukumnya ada dua alternatif. Alternatif pertama ialah perbuatan yang

sudah dilakukan, dianggap tidak ada atau tidak sah secara hukum, dan alternatif

kedua ialah perbuatan yang telah dilakukan, sebagian dianggap sah, dan sebagian

lagi dianggap tidak sah. Dalam hal batal demi hukum ini, pejabat yang berhak

menyatakan batal atau tidak adalah pihak yudikatif dan eksekutif. Sebagai contoh

syarat untuk menjadi calon Bupati adalah lulusan Strata satu, apabila ada

seseorang yang tidak mempunyai ijazah S1 tapi kemudian atas suatu sebab

berhasil menjadi seorang Bupati, lama kemudian baru diketahui bahwa dia tidak

memenuhi syarat mutlak berupa pendidikan harus S1, maka Keputusan menjadi

bupati dan produk hukum yang dihasilkan dari kekuasaan dan kewenangan dari

jabatan Bupati tersebut batal.

3. Dapat Dibatalkan (vernietig baar)

Dalam hal ini, dapat dibatalkan memiliki konsekuensi hukum dimana

keseluruhan dari perbuatan hukum yang pernah dilakukan sebelumnya, tetap

dianggap sah. Artinya, keseluruhan perbuatan di masa lampau tetap menjadi

suatu tindakan hukum yang tidak dapat dibatalkan atau tetap berlaku pada masa

itu. Adapun pejabat yang berhak membatalkan adalah pihak yudikatif, eksekutif

dan legislatif. Contoh kasus Sisminbankum, yaitu saat Yusril mengajukan

gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK), tak lama setelah dirinya ditetapkan

tersangka oleh Kejagung. Gugatan Yusril terkait legalitas Jaksa Agung

Hendarman Supandji yang saat menetapkannya sebagai tersangka, masih

menjabat sebagai Jaksa Agung, sementara masa jabatan Kabinet Indonesia


Bersatu Jilid Pertama Pimpinan Presiden SBY telah berakhir. Dengan

mengabulkan gugatan Yusril dan membatalkan putusan Jaksa Agung Hendarman

Supandji dikarenakan tidak memiliki kewenangan namun perbuatan hukum yang

pernah dilakukan sebelumnya oleh jaksa agung tetap dianggap sah.

Konsekuensi yuridis kewenangan yang tidak sah ialah batal demi hukum,

begitu juga dengan konsekuensi yuridis perbuatan hukum aparat pemerintah yang

dinyatakan batal demi hukum pada mulanya berdasarkan dengan kewenangan yang

tidak sah dan tidak memenuhi syarat-syarat ketentuan yang harus terpenuhi agar suatu

perbuatan aparat pemerintah dinyatakan sah.

Dalam batal demi hukum menurut Muchsan terdapat dua alternatif yakni

akibat hukum atau sanksinya berupa semua perbuatan yang dilakukan dianggap

belum pernah ada sehingga segala sesuatunya harus dikembalikan seperti sedia kala

atau alternative kedua memakai batal nisbi yakni sebagian perbuatan dianggap sah

dan sebagian lagi diputuskan batal.

Dalam prakteknya Emile Durkheim menyatakan bahwa hukum seperti mata

uang logam dimana keping sebelah kiri adalah kebenaran dan keping sebelah kanan

adalah kemanfaatan, jika dua keping berpisah yang diutamakan adalah kemanfaatan

meskipun tidak terlalu benar. Sebagai contoh sepasang pemuda dan pemudi menikah

menggunakan wali hakim padahal wali nikah nasab masih ada. Kemudian selang

enam tahun kemudian pasangan tersebut diberikan keturunan tiga orang anak. Secara

normatif memang seharusnya dibatalkan secara mutlak namun pelaksanaan akibat

dikembalikan seperti keadaan semula tidak akan pernah bisa dilaksanakan.


KESIMPULAN
Produk hukum yang yang tidak memenuhi persyaratan material dan

persyaratan formil dapat dipertanyakan keabsahannya. Tidak terpenuhinya

persyaratan material sebuah produk hukum menyebabkan produk hukum dimaksud

dapat dikatakan batal, batal demi hukum atau dapat dibatalkan. Pembatalan produk

hukum tersebut dapat dilakukan oleh aparat pemerintah yang berwenang yang terkait

dengan produk hukum tersebut, baik oleh pejabat yang mengeluarkannya dengan

melakukan penarikan ataupun oleh pejabat yang lebih tinggi lagi dari pejabat yang

mengeluarkan produk hukum dimaksud.

Produk hukum juga tidak bisa dibentuk dengan hanya melihat satu aspek

yuridis saja, banyak aspek yang juga harus kita perhatikan seperti halnya aspek

politik bahkan aspek sosiologis, karena hukum diperuntukkan untuk masyarakat,

aparat pemerintah hanyalah sebagai fasilitator pembentuk hukum dansebagai pihak

yang menegakkan sebuah hukum dengan memperhatikan nilai-nilai yang berkembang

dimasyarakat. Suatu peraturan perundang-undangan yang dikatakan baik, belum

cukup apabila hanya memenuhi persyaratan-persyaratan filosofis/ideologis dan

yuridis saja, karena secara sosiologis peraturan tadi juga harus berlaku.15

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat ditarik kesimpulan terkait teori

Kebatalan Produk Hukum diantaranya bertujuan untuk menghilangkan kesewenang-

15
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta, PT Rajagrafindo Persada, 1988, hlm.
22.
wenangan/absolutisme aparat pemerintah dan sebagai filter dalam mencapai tujuan

hukum negara indonesia.

Tujuan hukum negara Indonesia berangkat dari cita hukum nasional negara

Indonesia sebagai negara hukum, hukum ada di negara Indonesia bertujuan untuk

memberikan kepastian, memberikan manfaat dan memberikan keadilan.

DAFTAR PUSTAKA

 Girsang, Juniver. 2012. Abuse Of Power, Jakarta. JG Publishing.


 HR, Ridwan. 2006. Hukum Administrasi Negara . Jakarta. Rajawali Press.

 Indrati, Maria Farida. 2007. Ilmu Perundang-undangan Proses dan Teknik

Pembentukannya. Yogyakarta. PT Kanisius.

 Kusdarini, Eny. 2011. Dasar-dasar hukum administrasi negara.dan asas-asas

umum pemerintahan yang baik. Yogyakarta. UNY Press.

 Manan, Bagir. 2012. Membedah UUD 1945. Malang. UB Press.

 Marbun, SF dkk. 2001. Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi

Negara. Yogyakarta. UII Press.

 Prof Muchsan, Materi Kuliah Politik Hukum, 2016

 Soehino. 1984. Asas-Asas Hukum Tata Pemerintahan. Yogyakarta. Liberty.

 Soekanto, Soerjono. 1988. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta. PT

Rajagrafindo Persada.

 1986. Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia. Surabaya. Pustaka

Tinta Mas.

 Undang-Undang Dasar 1945.

 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011

Anda mungkin juga menyukai