Apa implikasinya?
Terdapat 101 Kepala Daerah yang masa jabatannya akan berakhir pada 2022. Kemudian ada 170 Kepala
Daerah yang masa jabatannya habis pada 2023 ditambah dengan Kepala Daerah yang baru menjabat dari
hasil Pilkada 2020 yang akan berakhir masa jabatannya di 2024 sehingga daerah-daerah tersebut akan
mengalami kekosongan Kepala Daerah, terkait dengan hal tersebut telah diatur pada ketentuan pasal 201
Ayat (9) UU 10/2016, untuk mengisi kekosongan Kepala Daerah yang habis masa jabatannya tahun 2022
dan 2023, maka akan ditunjuk penjabat Kepala Daerah.
Berikutnya Pasal 201 Ayat (10) dan Ayat (11) UU No 10/2016 disebutkan bahwa penjabat gubernur
berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya dan untuk penjabat bupati/wali kota berasal dari jabatan
pimpinan tinggi pratama.
Perlu diketahui, Pj gubernur nantinya bakal diajukan Kemendagri, kemudian dipilih oleh presiden.
Sementara Pj bupati dan wali kota diajukan gubernur dan dipilih Kemendagri
Hal ini bertujuan memastikan agar roda pemerintahan tetap berjalan hingga pelaksanaan Pilkada serentak
diantaranya melaksanakan urusan pemerintahan sesuai dengan kewenangannya,dan juga juga diharuskan
untuk berkontribusi pada pencapaian target pembangunan nasional
Secara normatif, ketentuan Penjabat (Pj) yang telah ditegaskan oleh UU 10/2016. Dapat dimaknai tidak
ada alasan untuk menggunakan skema Plt, Plh, atau Pjs. Dengan demikian, untuk mengisi kekosongan
jabatan kepala daerah 2022 dan 2023 maka yang dilaksanakan adalah pengangkatan Penjabat (Pj).
Dengan pengangkatan tersebut dapat tersirat bahwa pengganti kepala daerah definitif akan memiliki
kewenangan yang sama dengan kepala daerah definitif pilihan rakyat untuk menjalankan tugas dan
wewenang pemerintahan daerah.