Anda di halaman 1dari 23

BAB II

KERANGKA KONSEPTUAL

A. Pengertian Perundang-undangan

Peraturan Perundang-undangan sebagai produk hukum, semestinya


bukan merupakan produk politik dan ditempatkan sebagai norma yang digali
bersumber pada kemajemukan bangsa Indonesia, kaya akan budaya, nilai dan
pluralisme hukum. Lembaga legislatif yang merupakan representasi dari rakyat
bukan lagi mempertimbangkan untung rugi atau kepentingan elit penguasa dalam
menjalankan fungsinya, apakah dalam setiap fungsi pengawasan, budgeting atau
legislasi. Karakteristik tersebut merupakan wujud dari negara hukum Pancasila di
mana pembentuk peraturan perundang-undangan memahami spirit atau filosofi
yang terkandung di dalamnya.
Bingkai Indonesia sebagai negara hukum mensyaratkan adanya partisipasi
masyarakat dalam mengawal proses pembuatan peraturan perundang-undangan
setiap sidangnya di ranah legislatif menghendaki para wakil rakyat di parlemen
untuk berdialog, berkomunikasi dengan rakyatnya sebagai bahan pertimbangan
dalam keputusan pembuatan hukum, sehingga mencapai suatu konsensus
bersama, bukan keputusan politik dan kepentingan penguasa, tanpa membuka
ruang-ruang publik yang merupakan tipologi hukum responsif. Kegagalan
legislasi dalam menciptakan produk hukum yang responsif dan partisipatif akan
mengakibatkan pula hilangnya makna filosofi dari cita hukum Pancasila yang
sebenarnya sumbernya dari akar budaya Indonesia asli. Norma hukum yang
dikristalkan menjadi peraturan perundang-undangan pada akhirnya memiliki
tujuan hukum yang membahagiakan rakyatnya, sehingga mampu menghadirkan
produk hukum yang mengandung nilai keadilan sosial (social justice/substantial
justice).24
24
Nugroho Wahyu, “Menyusun Undang-Undang yang Responsif dan Partisipatif
Berdasarkan Cita Hukum Pancasila,” dalam Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 10 No. 3, (Jakarta:
DitjenPP.Kemenkumham RI, 2013). h 34.

17
18

Indonesia sebagai negara hukum yang mengikuti hukum Eropa Kontinental


menjadikan peraturan perundang-undangan sebagai salah satu sendi utama dalam
pembangunan hukum nasional. Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan
sebagai komponen penting dalam kesatuan sistem hukum nasional harus dibangun
dan dibentuk secara terintegrasi untuk memberikan jaminan bahwa pembangunan
sistem nasional dapat berjalan dengan teratur, memiliki tujuan, ada kepastian
hukum dan memberikan manfaat bagi terpenuhinya kebutuhan rasa keadilan dan
kemakmuran masyarakat sebagai amanat pembukaan UUD NRI Tahun 1945.
Peraturan perundang-undangan dimaknai sebagai peraturan tertulis yang

memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan
oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.25
Menurut Bagir Manan, peraturan perundang-undangan adalah setiap putusan
tertulis yang dibuat, ditetapkan dan dikeluarkan oleh Lembaga dan atau Pejabat
Negara yang mempunyai (menjalankan) fungsi legislatif sesuai dengan
tata cara yang berlaku. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Pengertian peraturan
perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga
negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum,26 adapun unsur-
unsurnya yaitu :
a. Peraturan tertulis sampai saat ini belum ada definisi yang pasti. Peraturan
yang tertulis tidak sama dengan peraturan yang ditulis. Yurisprudensi
misalnya, adalah bukan peraturan tertulis, walaupun bentuk fisiknya ditulis.
Peraturan tertulis mengandung ciri-ciri sebagai berikut:

25
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, Pasal 1 ayat 2.
26
Bagir Manan, Peranan Peraturan Perundang-undangan dalam Pembinaan Hukum
Nasional, h. 13
19

1) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang


Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah segala peraturan yang
tercantum di dalam Pasal 7 ayat (1) mengenai jenis dan hierarki
perundang-undangan.
2) Peraturan tersebut dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat negara
yang berwenang;
3) Pembuatan peraturannya melalui prosedur tertentu;
4) Apabila dicermati maka baik UUD NRI Tahun 1945, Undang-
Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan
Pemerintah, maupun Peraturan Presiden tersebut ditempatkan di dalam
lembaran negara, dan Peraturan Daerah ditempatkan dalam lembaran
daerah. Dengan demikian peraturan tersebut ditempatkan di lembaran
resmi.
b. Dibentuk oleh Lembaga Negara atau Pejabat Negara di samping dibentuk
oleh lembaga negara atau pejabat negara, peraturan perundang-undangan juga
dapat memuat sanksi bagi pelanggarnya, dan sanksi tersebut dapat dipaksakan
pelaksanaannya oleh alat negara.27

B. Hierarki Tata Susunan Perundang-undangan RI

Pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai komponen penting


dalam kesatuan sistem hukum nasional harus dibangun dan dibentuk secara
terintegrasi untuk memberikan jaminan bahwa pembangunan sistem nasional
dapat berjalan dengan teratur, memiliki tujuan, ada kepastian hukum dan
memberikan manfaat bagi terpenuhinya kebutuhan rasa keadilan dan seutuhnya
demi kemakmuran rakyat, maka dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan haruslah memperhatikan azas-azas hukum yang dianut dalam sebuah
sistem hukum.

27
Ibid, h. 17-18
20

Sistem norma hukum Indonesia pernah mengalami evolusi hierarki


peraturan perundang-undangan, yaitu sebelum diatur dalam bentuk Undang-
undang sampai dengan Undang-undang.
Evolusi Hierarki Peraturan Perundang-undangan (1966-2011)
1. TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai
Sumber Tertib Hukum RI dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan
RI.
1) UUD Negara RI Tahun 1945
2) TAP MPR
3) UU/ PERPU
4) Peraturan Pemerintah
5) Keputusan Presiden
6) Peraturan-peraturan Pelaksanaan lainnya seperti Peraturan Menteri,
Instruksi Menteri, dan lain-lainnya.
2. TAP MPR RI No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan
Peraturan Perundang-Undangan.

1) UUD Negara RI 1945


2) TAP MPR-RI
3) Undang-undang
4) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
5) Peraturan Pemerintah
6) Keputusan Presiden, dan
7) Peraturan Daerah.
3. UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan:

1) UUD Tahun 1945


21

2) UU/PERPU
3) Peraturan Pemerintah
4) Peraturan Presiden
5) Peraturan Daerah : Peraturan Daerah Provinsi; Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota; Peraturan Desa
4. UU No. 12 Tahun 2011 Tetang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan.
1) UUD Negara RI Tahun 1945
2) TAP MPR
3) UU/PERPU
4) Peraturan Pemerintah
5) Peraturan Presiden
6) Peraturan Daerah Provinsi
7) Peraturan Daerah Kab/Kota.28

Merujuk pada teori jenjang norma dari Hans Kelsen dan teori jenjang norma

hukum dari Hans Nowiasky maka dapat dilihat adanya pencerminan dari dua

sistem norma tersebut dalam sistem norma hukum (jenis/hierarki peraturan

perundang-undangan) Indonesia. Dalam sistem norma hukum Negara Republik

Indonesia norma-norma hukum yang pernah diberlakukan berada dalam suatu

sistem hierarki/susunan yang berjenjang-jenjang, berlapis-lapis, sekaligus

berkelompok-kelompok. Norma hukum yang satu selalu berlaku, bersumber, dan

berdasarkan pada norma hukum yang lebih tinggi diatasnya, dan norma hukum

yang lebih tinggi juga selalu merujuk pada norma yang lebih tinggi lagi.

Demikian seterusnya sampai pada suatu norma fundamental negara

(staatsfundamentalnorm) Republik Indonesia, yaitu Pancasila. Asasnya adalah

28
Aziz Syamsudin, Proses dan Teknik Penyusunan Undang-Undang, h. 28.
22

peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan

dengan peraturan perundang-undangan yang kedudukannya lebih tinggi.29

C. Teori Hierarki Peraturan Perundang-Undangan

Tidak ada sistem di dunia ini yang secara positif mengatur tata susunan

Peraturan Perundang-undangan. Kalaupun ada pengaturannya hanya hanya

sebatas pada asas yang menyebutkan misalnya: “Peraturan daerah tidak boleh

bertentang dengan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi

tingkatannya, atau dalam hal UUD ada ungkapan “the supreme law of the land”.30

Hans Kelsen mengemukakan teori mengenai jenjang norma hukum

(Stufentheorie). Hans Kelsen berpendapat bahwa bahwa norma-norma itu

berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, di mana

norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih

tinggi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma tertinggi yang tidak dapat

ditelusuri lebih lanjut, dan bersifat hipotesis, serta fiktif, yaitu Norma Dasar

(grundnorm/basic norm/fundamenatal norm).31

Selanjutnya menurut Hans Kelsen, hukum termasuk dalam sistem norma

yang dinamis. Oleh sebab itu, hukum selalu dibentuk dan dihapus oleh lembaga-

lembaga atau otoritas-otoritas yang berwenang untuk membentuknya, berdasarkan

norma yang lebih tinggi, sehingga norma yang lebih rendah (inferior) dapat di

bentuk berdasarkan norma yang lebih tinggi (superior), dan pada akhirnya hukum

menjadi berjenjang dan berlapis-lapis membentuk sesuatu hierarki.

29
Aziz Syamsudin, Proses dan Teknik Penyusunan Undang-Undang, h. 28-29.
30
Ni’matul Huda, Negara Hukum Demokrasi dan Judicial Review, (Yogyakarta: UII Press,
2005) h.48.
31
Hans Kalsen, Teori Hukum Murni (Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu
Hukum Empirik-Deskriptif, diterjemahan oleh Somardi Ahli Bahasa , Rimdipress dalam Maria
Farida Indrati S, Ilmu Perundang-undangan (Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan), (Yogyakarta:
Kanisius, 2007) h. 41.
23

Berlakunya norma dasar tidak berdasar, tidak bersumber pada, atau tidak
dibentuk oleh norma yang lebih tinggi lagi, tetapi berlakunya ditetapkan terlebih
dahulu oleh masyarakat sebagai norma dasar yang merupakan tempat bergantung
norma-norma yang berada di bawahnya, sehingga norma dasar dikatakan
presupposed. Apabila norma dasar diubah maka akan menjadi rusak sistem norma
yang berada di jenjang-jenjang bawahnya.
Teori Jenjang Norma dari Hans Kelsen terilhami pandangan teoritis yang
dikembangkan oleh Adolf Merkl, teori dua wajah Norma Hukum (das Doppeltae
Rechtsantlitz). Teori dua wajah norma hukum dari Adolf Merkl menyatakan
bahwa suatu norma hukum memiliki dua wajah. Menurut Adolf Merkl, pada satu
wajah ke atas, suatu norma hukum bersumber dan berdasar pada norma hukum di
atasnya. Akan tetapi, pada wajah lainnya, norma hukum tersebut sekaligus pula
menjadi sumber norma hukum yang berada di bawahnya.32
Teori Jenjang Norma (Stafentheorie) Hans Kelsen :
1. Norma Hukum berjenjang-jenjang, berlapis-lapis dalam suatu hierarki. Suatu
norma hukum selalu berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma hukum
diatasnya, tetapi ke bawah norma hukum itu juga menjadi sumber/dasar bagi
norma hukum di bawahnya.
2. Norma hukum yang lebih tinggi berlaku dan berdasar pada norma hukum
yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada norma hukum yang
tidak dapat ditelusuri lagi, bersifat hipotesis, dan fiktif yaitu norma
tertinggi/norma dasar (Grundnorm).
Teori stufenbau des recht atau the hierarchy of norms yang diintrodusir
Hans Kalsen di atas dapat dimaknai sebagai berikut : 1) peraturan perundang-
undangan yang lebih rendah harus bersumber atau memiliki dasar hukum atau
validasi dari suatu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; 2) isi atau

32
Aziz Syamsudin, Proses dan Teknik Penyusunan Undang-Undang, h. 20-22
24

materi muatan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh


menyimpang atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi.33
Terkait dengan subtansi norma dasar, Hans Kalsen membedakan dua jenis
norma atau sistem norma. Keduanya adalah sistem norma statis (the static system
of norm) dan sistem norma dinamis (the dinamic system of norm). Sistem norma
statis adalah sistem yang melihat suatu norma dari segi isi atau materi muatan
norma itu sendiri. Isinya menunjukan kualitas yang terbukti secara langsung
menjamin validitasnya. Sedangkan, sistem norma dinamis adalah sistem yang
melihat suatu norma yang pembentukannya sesuai dengan prosedur yang
ditentukan konstitusi. Dengan perkataan lain norma dalam perspektif sistem
norma dinamis adalah norma yang dilahirkan oleh pihak yang berwenang untuk
membentuk norma tersebut yang tentu saja norma tersebut bersumber dari norma
yang lebih tinggi, kewenangan tersebut merupakan suatu delegasi. Norma yang
membentuk kekuasaan didelegasikan dari suatu otoritas kepada otoritas yang lain.
Otoritas yang pertama adalah otoritas yang lebih tinggi, otoritas yang kedua
adalah otoritas yang lebih rendah.
Nampaknya dari konsep sistem norma dinamis yang dikostruksi Hans
Kalsen di atas menunjukan bahwa organ-organ negara yang mempunyai
kewenangan membentuk hukum dapat ditelusuri validitasnya melalui suatu
hubungan kelembagaan yang hierarkis. Konsep ini dapat dipahami sebagai suatu
konsekuensi dari karakter pembentukan norma hukum yang hierarki. Hierarki
tersebut menurut perspektif sistem norma dinamis tentu saja disesuaikan dengan
struktur kelembagaan atau ketetanegaraan yang dianut oleh suatu Negara yang
diatur dalam konstitusinya.34
33
Jimly Asshiddiqie, M. Ali Safa’at, Teori Hans Kalsen Tentang Hukum, (Jakarta:
Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006) h. 170.
34
Maria Farida Indrati S , Ilmu Perundang-undangan (Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan),
h. 42.
25

Teori Hans Kelsen yang mendapat banyak perhatian adalah hierarki norma
hukum dan rantai validitas yang membentuk piramida hukum (stufentheorie).
Salah seorang tokoh yang mengembangkan teori tersebut adalah murid Hans
Kelsen, yaitu Hans Nawiasky. Teori Nawiaky disebut dengan theorie von
stufenbau der rechtsordnung. Susunan norma menurut teori tersebut adalah:
Norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm); Aturan dasar negara
(Staatsgrundgesetz); Undang-Undang formal (Formell Gesetz); dan Peraturan
pelaksanaan dan peraturan otonom (Verordnung En Autonome Satzung).
Staatsfundamentalnorm adalah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan
konstitusi atau Undang-Undang Dasar (staatsverfassung) dari suatu negara. Posisi
hukum dari suatu Staatsfundamentalnorm adalah sebagai syarat bagi berlakunya
suatu konstitusi. Staatsfundamentalnorm ada terlebih dahulu dari konstitusi suatu
negara.
Menurut Nawiasky, norma tertinggi yang oleh Kelsen disebut sebagai
norma dasar (basic norm) dalam suatu negara sebaiknya tidak disebut sebagai
Staatsgrundnorm melainkan Staatsfundamentalnorm atau norma fundamental
negara. Staatsfundamentalnorm pada dasarnya tidak berubah-ubah, sedangkan
norma tertinggi berubah misalnya dengan cara kudeta atau revolusi.
Berdasarkan teori Nawiaky tersebut, A. Hamid S. Attamimi
membandingkannya dengan teori Kelsen dan menerapkannya pada struktur tata
hukum di Indonesia. Attamimi menunjukkan struktur hierarki tata hukum
Indonesia dengan menggunakan teori Nawiasky. Berdasarkan teori tersebut,
struktur tata hukum Indonesia adalah:
1. Staatsfundamentalnorm: Pancasila (Pembukaan UUD RI tahun 1945)
2. Staatsgrundgesetz : Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR, dan Konvensi
Ketatanegaraan.
3. Formell gesetz : Undang-Undang.
26

4. Verordnung en Autonome Satzung : Secara hierarkis mulai dari Peraturan


Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota.35

D. Asas-asas Hukum Peraturan Perundang-undangan

Asas di dalam Kamus Umum Besar Bahasa Indonesia asas dapat berarti

hukum dasar atau fundamen, yakni sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau

berpendapat. Selain itu, asas juga diartikan sebagai dasar cita-cita. Asas hukum

merupakan sesuatu yang sangat mendasar dalam hukum yang harus dipedomani.

Asas adalah dasar atau sesuatu yang dijadikan tumpuan berpikir, berpendapat dan

bertindak.36 Asas-asas pembentuk peraturan perundang-undangan berarti dasar

atau sesuatu yang dijadikan tumpuan dalam menyusun peraturan perundang-

undangan. Padanan kata asas adalah prinsip yang berarti kebenaran. Asas hukum

merupakan sebuah aturan dasar atau merupakan prinsip hukum yang masih

bersifat abstrak. Dapat pula dikatakan bahwa asas dalam hukum merupakan dasar

yang melatarbelakangi suatu peraturan yang bersifat konkrit dan bagaimana

hukum itu dapat dilaksanakan.

Asas hukum merupakan unsur penting dan pokok dari peraturan hukum.

Pembentukan hukum praktis sedapat mungkin berorientasi pada asas-asas hukum.

Asas hukum menjadi dasar-dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum

positif. Dalam pandangan beberapa ahli, asas mempunyai arti yang berbeda-beda.

Asas adalah sesuatu yang menjadi tumpuan berfikir atau berpendapat, dan asas

dapat juga berarti merupakan hukum dasar.37

35
Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan,( Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan),
h. 44-45.
36
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 70
37
Fence M. Wantu Dkk, Cara Cepat Belajar Hukum Acara Perdata (Jakarta: Reviva
Cendekia, 2002), h 13
27

Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa asas adalah dasar atau fondasi

berfikir dalam melahirkan atau membentuk sebuah peraturan perudang-undangan

yang akan dijadikan sebagai hukum positif bagi sebuah negara. Asas inilah yang

menjadi pedoman dalam pembentukan peraturan perundang-undangan sehingga

tujuan pembangunan sistem hukum nasional akan tercapai. Purnadi Purbacaraka

dan Soerjono Soekanto, memperkenalkan asas hukum dalam perundang-undangan

yakni sebagai berikut:

1. Peraturan perundang-undangan tidak berlaku surut (non retroaktif).

Keberadaan asas tidak berlaku surut (non retroaktif) adalah untuk menjamin

adanya kepastian hukum di masyarakat mengenai berlakunya suatu hukum.

Walaupun keberadaan asas ini dikecualikan bagi kasus-kasus pelanggaran

HAM (hak asasi manusia) yang berskala internasional dengan beberapa

alasan tertentu. Akan tetapi, alasannya tetap dalam rangka untuk adanya

jaminan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat secara keseluruhan.38

2. Peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi,

mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula (sistem hierarki). Asas hierarki

(Lex superior derogate legi inferior) mengandung konsekuensi bahwa suatu

peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya tidak boleh

bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Dengan adanya asas ini

menegaskan bahwa adanya hierarki dalam sistem perundang-undangan dan

bersifat subordinasi, tidak hanya koordinasi saja. Asas ini menegaskan bahwa

adanya taat hukum dan taat asas antara peraturan pusat dan peraturan

daerah.39

38
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Peraturan Perundang-undangan dan
Yurisprudensi, (Cet. ke-3:Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1989) h. 7
39
Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang-undangan, (Bandung: Mandar Madju,
1998) h. 19
28

3. Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus menyampingkan

peraturan perundang-undangan yang bersifat umum. Asas lex specialis

derogate legi generalis menegaskan bahwa hukum dibuat untuk menciptakan

keadilan. Tujuan hukum tiada lain tiada bukan adalah menuju keadilan.

Keberadaan asas ini menegaskan bahwa peraturan yang lebih khusus

mengecualikan peraturan yang lebih umum. Bahwa ketika telah dibuat suatu

peraturan yang lebih khusus dalam suatu bidang tertentu, maka serta merta

keberadaan peraturan ini akan mengecualikan peraturan yang sebelumnya

yang masih bersifat umum. Keberadaan asas ini kembali menegaskan tidak

adanya penafsiran yang berbeda dengan tujuan diciptakannya peraturan itu

sendiri, sehingga akan memberikan rasa kepastian hukum ditengah

masyarakat.40

4. Peraturan perundang-undangan yang berlaku belakangan membatalkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku terdahulu (lex posteriori

derogate legi priori), yang dimasudkan dengan asas ini adalah bahwa

undang-undang lain (yang lebih dahulu berlaku) di mana diatur hal tertentu,

tidak berlaku lagi jika ada undang-undang baru (yang berlakunya belakangan)

yang mengatur pula hal tertentu tersebut, akan tetapi makna atau tujuannya

berlainan atau berlawanan dengan undang-undang lama tersebut. Keberadaan

peraturan yang di atas otomotis harus lebih ditaati keberadaannya dan

dijadikan rujukan oleh peraturan yang dibawahnya sekaligus menjadi dasar

atas pembentukan peraturan perundang-undangan yang berada di bawahnya.41

Dengan asas ini menegaskan bahwa peraturan perundang-undangan adalah

40
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Peraturan Perundang-undangan dan
Yurisprudensi, h 9
41
Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Cet. 10; Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2015) h. 46
29

suatu sistem yang bersifat sistematis menuju terciptanya sistem hukum yang

berkeadilan.

5. Peraturan perundang-undangan tidak dapat diganggu gugat; asas undang-

undang tidak bisa diganggu gugat tetap berlaku selama undang-undang

tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi dalam

suatu negara. Jika terdapat pertentangan antara substansi undang-undang

dengan substansi UUD 1945, maka diperlukan adanya uji materi oleh

lembaga yang diberikan kuasa terhadap persoalan tersebut, baik legislatif

sebagai pembuat undang-undang atau lembaga yudikatif sebagai

penyelenggara kekuasaan kehakiman. Atau dengan kata lain, suatu undang-

undang dapat di judicial review jika bertentangan dengan hukum yang lebih

tinggi dan keadilan sosial.

6. Peraturan perundang-undangan sebagai sarana untuk semaksimal mungkin

dapat mencapai kesejahteraan spiritual dan materil bagi masyarakat maupun

individu, melalui pembaharuan atau pelestarian (asas welvaarstaat).42

Berdasarkan asas-asas tersebut di atas, dapat dijelaskan bahwa dalam

penyusunan peraturan perundang-undangan harus mengedepankan minimal empat

asas dari asas-asas tersebut di atas.

Hampir sama dengan pendapat ahli sebelumnya Amiroedin Sjarief, dengan

mengajukan lima asas, sebagai berikut :

1. Asas tingkatan hierarki;

2. Peraturan perundang-undangan tidak dapat diganggu gugat

3. Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus menyampingkan undang

undang yang bersifat umum (lex specialis derogate legi generalis);

42
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2007), h. 56-57
30

4. Peraturan perundang-undangan tidak berlaku surut;

5. Undang-undang yang baru menyampingkan undang-undang yang lama (lex

posteriori derogat legi priori).43

Pendapat terakhir dikemukakan oleh A. Hamid S. Attamimi sebagaimana

dikutip oleh Maria Farida, yang mengatakan bahwa pembentukan peraturan

perundang-undangan Indonesia yang patut akan mengikuti pedoman dan

bimbingan yang diberikan oleh cita negara hukum yang tidak lain adalah

Pancasila, yang oleh Attamimi diistilahkan sebagai “bintang pemandu”, prinsip

negara hukum dan konstitusionalisme, dimana sebuah negara menganut paham

konstitusi. Lebih lanjut A. Hamid. S. Attamimi, mengatakan jika dihubungkan

pembagian atas asas formal dan materil, maka pembagiannya sebagai berikut :

1. Asas–asas formal: (a) Asas tujuan yang jelas; (b) Asas perlunya pengaturan;

(c) Asas organ / lembaga yang tepat; (d) Asas materi muatan yang tepat; (e)

Asas dapat dilaksanakan; (e) Asas dapat dikenali

2. Asas–asas materiil:

a. Asas sesuai dengan cita hukum Indonesia dan norma fundamental negara.

b. Asas sesuai dengan hukum dasar negara.

c. Asas sesuai dengan prinsip negara berdasarkan hukum.

d. Asas sesuai dengan prinsip pemerintahan berdasarkan konstitusi.44


Berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para ahli di atas, pada dasarnya
menunjukan bagaimana sebuah peraturan perundang-undangan dibuat, hal ini
mengacu pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, baik dari segi materi-materi yang harus dimuat

43
Pendapat Amiroeddin Syarief tentang asas peraturan perundang-undangan dalam Rosjidi
Ranggawijaya, Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia, h. 78
44
Maria Farida Indrati. S, Ilmu Perundang-undangan (Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan) h.
256
31

dalam peraturan perundang-undangan, cara atau teknik pembuatannya, akurasi


organ pembentuk, dan lain-lain dengan tambahan dan penjelasan yang dideduksi.
Sumber peraturan perundang-undangan dengan kata lain bisa disebut
dengan landasan peraturan perundang-undangan. Amiroeddin Syarief menyebut 3
(tiga) kategori landasan:
1) Landasan filosofis, di mana norma-norma yang diadopsi menjadi materi
muatan peraturan perundang-undangan mendapat justifikasi atau pembenaran
secara filosofis.
2) Landasan sosiologis, di mana rumusan norma-norma hukum mencerminkan
kenyataan, keyakinan umum atau kesadaran hukum masyarakat.
3) Landasan yuridis, di mana norma-norma yang tertuang merujuk pada
ketentuan peraturan perundang-undangan yang derajat hirarkhinya lebih
tinggi. Landasan yuridis dibagi menjadi dua (1) landasan yuridis formal, yaitu
ketentuan-ketentuan hukum yang memberi kewenangan kepada organ
pembentuknya; dan (2) landasan yuridis materil, yaitu ketentuan-ketentuan
hukum tentang masalah atau materi-materi yang harus diatur dalam peraturan
perundang-undangan.45
Undang-undang juga mengamanahkan bahwa dalam perumusan peraturan
perundang-undangan tidak menutup kemungkinan untuk memperhatikan asas-asas
lain yang sesuai dan relevan sesuai dengan bidang hukum peraturan perundang-
undangan yang bersangkutan. Bahwa hendaknya dalam pembuatan perundang-
undangan harus berfungsi untuk memberikan perlindungan dalam rangka
menciptakan ketenteraman masyarakat. Selain itu juga mencerminkan
perlindungan dan pengayoman hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat
setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.

45
Maria Farida Indrati. S, Ilmu Perundang-undangan (Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan) h.
197
32

E. Kekuatan Hukum Peraturan Perundang-undangan

Indonesia yang menjadikan peraturan perundang-undangan sebagai tulang


punggung Negara Hukum Indonesia, sudah selayaknya keberadaanya pun
memiliki dasar hukum dan juga memiliki kekuatan hukum. Hal ini bertujuan agar
sebuah peraturan perundang-undangan dapat diberlakukan saat di undang-
undangkan dan keberlakuannya tidak menimbulkan keraguan kepada pihak
pelaksana dari peraturan perundang-undangan tersebut.
Berbagai macam bentuk peraturan perundang-undangan di Indonesia yang
berlaku dan diakui sebagai sumber hukum sudah barang tentu memiliki kekuatan
hukum berlakunya masing-masing selama didasarkan suatu pedoman ataupun
Undang-Undang yang mengaturnya.
Suatu norma dianggap sah sebagai norma hukum (legal norm) yang
mengikat untuk umum apabila norma hukum itu berlaku karena diberlakukan atau
karena dianggap berlaku oleh para subjek hukum yang diikatnya. keberlakuan ini
dalam baha Inggris disebut “validity”, dalam bahasa Jerman “geltung” atau dalam
bahasa belanda disebut “gelding”. keabsahan berlakunya atau keberlakuan suatu

peraturan perundang-undangan itu sendiri pada pokoknya ditentukan oleh banyak


faktor dan beraneka cara pandang. secara umum dapat dikemukakan adanya
empat kemungkinan faktor yang menyebabkan norma hukum dalam undang-
undang atau peraturan perundang-undangan dikatakan berlaku.
Norma-norma hukum yang dimaksud dapat dianggap berlaku karena
pertimbangan yang bersifat filosofis, karena pertimbangan yuridis, pertimbangan
sosiologis, pertimbangan politis. Untuk Undang-Undang atau peraturan
perundang-undangan yang dikatakan baik, sudah seharusnya keempat syarat di

atas harus dipenuhi sekaligus, yaitu berlaku, baik secara filosofis, yuridis,
sosiologis dan politis.
33

1) Kekuatan berlaku filosofis.


Hukum mempunyai kekuatan berlaku filosofis apabila kaidah hukum
tersebut sesuai dengan cita-cita hukum (rechtsidee), sebagai nilai positif yang
tertinggi (uberpositiven werte: Pancasila, masyarakat adil dan makmur).
Suatu norma hukum dikatakan berlaku secara filosofis apabila norma hukum
itu sesuai dengan nilai-nilai filosofis yang dianut oleh suatu negara, seperti
dalam pandangan Hans Kelsen mengenai “ grundnorm” atau dalam
pandangan Hans Nawiasky tentang “staatsfundamentalnorm”, pada setiap
negara selalu ditentukan adanya nilai-nilai dasar atau nilai-nilai filosofi
tertinggi yang diyakini sebagai sumber dari segala sumber nilai luhur dalam
kehidupan kenegaraan yang bersangkutan.46
Untuk hal ini, nilai-nilai filosofis negara Republik Indonesia terkandung
dalam Pancasila sebagai “staasfundamentalnorm”. Di rumusan kelima sila
Pancasila terkandung nilai-nilai religiusitas Ketuhanan Yang Maha Esa,
humanitas yang adil dan beradab, nasionalitas kebangsaan dalam ikatan
kebhineka-tunggal-ikaan, soverenitas kerakyatan, dan sosialitas keadilan bagi

segenap rakyat Indonesia. Tidak satu pun kelima nilai-nilai filosofis terebut
yang boleh diabaikan atau malah ditentang oleh norma hukum yang terdapat
dalam berbagai kemungkinan bentuk peraturan perundang-undangan dalam
wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Setiap masyarakat mengharapkan agar hukum itu dapat menciptakan
keadilan, ketertiban, kesejahteraan. Hal ini yang disebut dengan cita hukum,
yaitu yang berkaitan dengan baik dan buruk, adil atau tidak. Hukum
diharapkan dapat mencerminkan nilai-nilai yang tumbuh dan dirasa adil
dalam masyarakat. Dalam kaitan ini, penyusunan peraturan perundang-

46
M. Efran Helmi Juni, Filsafat Hukum, (Bandung: Pustaka Setia, 2012) h.323.
34

undangan harus memperhatikan secara sungguh-sungguh nilai-nilai (cita


hukum) yang terkandung dalam Pancasila.47

2) Kekuatan berlaku yuridis (juristiche geltung)


Menurut teori yang dikemukakan oleh Bagir Manan, suatu peraturan
perundang-undangan yang baik setidaknya didasari juridishe gelding (dasar
yuridis), yakni:
1) Keharusan adanya kewenangan dari pembuat peraturan perundang-undangan.
Setiap peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh badan atau pejabat
yang berwenang. Kalau tidak, peraturan perundang-undangan itu batal demi
hukum artinya peraturan perundang-undangan tersebut dianggap tidak pernah
ada, begitu juga dengan segala akibat hukumnya. Secara mudah dapat
dikatakan bahwa batal demi hukum disini adalah mati dengan sendirinya,
tidak perlu ada suatu tindakan apapun. Misalnya, Undang-Undang dalam arti
formal (wet in formelezin) dibuat oleh Presiden dengan persetujuan DPR.
Setiap Undang-Undang yang bukan merupakan produk bersama antara
Presiden dan DPR adalah batal demi hukum. Sedangkan kekuatan hukum
berdasarkan kewenangan terbagi atas dua yaitu kewenangan atribusi dan
kewenangan delegasi. Kewenangan yang dimaksud adalah kewenangan untuk
membentuk peraturan perundang-undangan.
(1) Kewenangan atribusi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan
(attributie van wetgevingsbevoegdheid) adalah pemberian atau
penciptaan kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan yang
diberikan oleh Gronwet (Undang-undang Dasar) atau oleh wet (Undang-
Undang) kepada suatu lembaga negara atau lembaga pemerintahan.
sedangkan,

47
Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, (Cet. 2; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2011) h.167
35

(2) Kewenangan delegasi dalam pembentukan peraturan perundang-

undangan (delegatie van wetgevingsbevoegdheid) adalah kewenangan

membentukan peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kepada peraturan

perundang-undangan yang lebih rendah.48

2) Keharusan adanya kesesuaian bentuk atau jenis peraturan perundang-

undangan dengan materi yang diatur, terutama kalau diperintahkan oleh

peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi atau sederajat.

Ketidaksesuaian bentuk ini dapat menjadi alasan untuk membatalkan

peraturan perundang-undangan tersebut, misalnya kalau UUD NRI Tahun

1945 atau Undang-Undang terdahulu menyatakan bahwa sesuatu diatur

dengan Undang-Undang, maka hanya dalam bentuk Undang-Undang hal itu

diatur. Kalau diatur dalam bentuk lain misalnya Keputusan Presiden, maka

Keputusan Presiden tersebut dapat dibatalkan (vernietigbaar),

3) Keharusan mengikuti tata cara tertentu. Apabila tata cara tersebut tidak

diikuti, peraturan perundang-undangan mungkin batal demi hukum atau

belum mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dalam undang-undang tentang

pengundangan (pengumuman) bahwa setiap undang-undang harus

diundangkan dalam lembaran negara sebagai satu-satunya cara untuk

mempunyai kekuatan mengikat. Selama pengundangan belum dilakukan,

maka undang-undang tersebut belum mengikat.

4) Keharusan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang

lebih tinggi tingkatannya.49 Dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011

48
Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-undangan, (Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan),
h. 41.
49
Bagir Manan, Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia, (Jakarta: Ind-Hill. Co, 1992)
h. 13-18
36

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan terdapat berbagai

bentuk peraturan perundang-undangan yang berbeda dan berada dalam satu

tata susunan. Peraturan perundang-undangan tersebut pada Pasal 7 ayat (1)

bahwa hierarki peraturan perundang-undangan berdasarkan susunannya a).

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b),

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c) Undang-Undang/Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d) Peraturan Pemerintah; e)

Peraturan Presiden; f) Peraturan Daerah Provinsi; dan g) Peraturan Daerah

Kabupaten/Kota.50 Ketujuh peraturan perundang-undangan memiliki

kekuatan hukum masing-masing.

Kekuatan hukum masing-masing peraturan perundang-undangan sesuai

dengan hierarkinya, hal ini ditegaskan dalam Pasal 7 ayat 2 yang berbunyi “

kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki

sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”.51 Kekuatan hukum sesuai dengan hierarki

dalam ketentuan ini adalah penjenjangan setiap jenis peraturan perundang-

undangan yang didasarkan asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih

rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang

lebih tinggi.52 Atau dengan kata lain kekuatan hukum peraturan perundag-

undangan yang kedudukannya berada di bawah ditentukan oleh peraturan

perundangan yang berada di atasnya.

Selain dari bentuk aturan hukum yang berdasarkan Pasal 7 ayat 1 di atas,

terdapat pula peraturan perundang-undangan lain yang diakui keberadaanya dan

50
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Perundang-Undangan Pasal 7 ayat 1.
51
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Perundang-Undangan Pasal 7 ayat 2.
52
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Perundang-Undangan Penjelasan Pasal 7 ayat 2.
37

mempunyai kekuatan hukum mengikat. Peraturan perundang-undangan lain yang

diakui keberadaanya terdapat dalam Pasal 8 ayat 1 yang berbunyi :


Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa
Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau
komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau
Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.53
Dan peraturan di atas memiliki kekuatan hukum sebagaimana ditegaskan dalam

Pasal 8 ayat 2 berbunyi :


Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui
keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau
dibentuk berdasarkan kewenangan.54
Kedua pasal di atas menjelaskan bahwa kekuatan hukum sebuah peraturan
perundang-undangan dapat dilihat dari hierarki dan kewenangannya. Kekuatan
hukum berdasarkan hierarki dirinci lagi penjelasannya oleh Hans Kelsen bahwa :
(1) Peraturan perundang-undangan yang rendah tingkatannya tidak dapat
mengubah/mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi
(2) Perundang-undangan hanya dapat dicabut, diubah atau ditambahkan oleh
(dengan) peraturan perundang-undangan yang sederajat atau lebih tinggi
tingkatannnya.
(3) Ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatnya
tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak mengikat apabila telah diatur
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

53
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Perundang-Undangan Penjelasan Pasal 8 ayat 1.
54
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Perundang-Undangan Penjelasan Pasal 8 ayat 2.
38

(4) Materi yang seharusnya diatur oleh peraturan perundang-undangan yang


lebih tinggi tingkatannya tidak dapat diatur oleh peraturan perundang-
undangan yang lebih rendah.55
3) Kekuatan berlaku sosiologis
Kekuatan berlakunya hukum di dalam masyarakat, ada dua macam,
yaitu sebagai berikut:
a) Menurut teori kekuatan (machttheori), hukum mempunyai kekuatan
berlaku sosiologis apabila dipaksakan oleh penguasa, terlepas dari
diterima ataupun tidak oleh warga masyarakat.
b) Menurut teori pengakuan (anerkennugstheorie), hukum mempunyai
kekuatan berlaku sosiologis apabila diterima dan diakui oleh
masyarakat.56
4) Kekuatan berlaku politis
Suatu norma hukum dikatakan berlaku secara politis apabila
pemberlakuan itu memang didukung oleh faktor-faktor kekuatan politik yang
nyata (riele machfaotoren). Meskipun norma yang bersangkutan didukung
oleh masyarakat lapisan akar rumput, sejalan pula dengan cita-cita filosofis
negara, dan memiliki dasar yuridis yang sangat kuat, tetapi tanpa dukungan
kekuatan politik yang mencukupi di parlemen, norma hukum yang
bersangkutan tidak mungkin mendapatkan dukungan politik untuk
diberlakukan sebagai hukum. Dengan perkataan lain, keberlakuan politik ini
berkaitan dengan teori kekuasaan (power theory) yang pada gilirannya
memberikan legitimasi pada keberlakuan suatu norma hukum semata-mata
dari sudut pandang kekuasaan. Apabila suatu norma hukum telah
mendapatkan dukungan kekuasaan, apa pun wujudnya dan bagaimanapun

55
Nomenson Sinamo, Ilmu Perundang-undangan, (Cet 1; Jakarta: Jala Permata Aksara,
2016) h. 49
56
M. Efran Helmi Juni, Filsafat Hukum, h.323
39

proses pengambilan keputusan politik tersebut dicapainya sudah cukup untuk


menjadi dasar legitimasi bagi keberlakuan norma hukum yang bersangkutan
dari segi politik.57

57
Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, h.168

Anda mungkin juga menyukai