KERANGKA KONSEPTUAL
A. Pengertian Perundang-undangan
17
18
memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan
oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.25
Menurut Bagir Manan, peraturan perundang-undangan adalah setiap putusan
tertulis yang dibuat, ditetapkan dan dikeluarkan oleh Lembaga dan atau Pejabat
Negara yang mempunyai (menjalankan) fungsi legislatif sesuai dengan
tata cara yang berlaku. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Pengertian peraturan
perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga
negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum,26 adapun unsur-
unsurnya yaitu :
a. Peraturan tertulis sampai saat ini belum ada definisi yang pasti. Peraturan
yang tertulis tidak sama dengan peraturan yang ditulis. Yurisprudensi
misalnya, adalah bukan peraturan tertulis, walaupun bentuk fisiknya ditulis.
Peraturan tertulis mengandung ciri-ciri sebagai berikut:
25
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, Pasal 1 ayat 2.
26
Bagir Manan, Peranan Peraturan Perundang-undangan dalam Pembinaan Hukum
Nasional, h. 13
19
27
Ibid, h. 17-18
20
2) UU/PERPU
3) Peraturan Pemerintah
4) Peraturan Presiden
5) Peraturan Daerah : Peraturan Daerah Provinsi; Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota; Peraturan Desa
4. UU No. 12 Tahun 2011 Tetang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan.
1) UUD Negara RI Tahun 1945
2) TAP MPR
3) UU/PERPU
4) Peraturan Pemerintah
5) Peraturan Presiden
6) Peraturan Daerah Provinsi
7) Peraturan Daerah Kab/Kota.28
Merujuk pada teori jenjang norma dari Hans Kelsen dan teori jenjang norma
hukum dari Hans Nowiasky maka dapat dilihat adanya pencerminan dari dua
berdasarkan pada norma hukum yang lebih tinggi diatasnya, dan norma hukum
yang lebih tinggi juga selalu merujuk pada norma yang lebih tinggi lagi.
28
Aziz Syamsudin, Proses dan Teknik Penyusunan Undang-Undang, h. 28.
22
Tidak ada sistem di dunia ini yang secara positif mengatur tata susunan
sebatas pada asas yang menyebutkan misalnya: “Peraturan daerah tidak boleh
tingkatannya, atau dalam hal UUD ada ungkapan “the supreme law of the land”.30
norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih
tinggi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma tertinggi yang tidak dapat
ditelusuri lebih lanjut, dan bersifat hipotesis, serta fiktif, yaitu Norma Dasar
yang dinamis. Oleh sebab itu, hukum selalu dibentuk dan dihapus oleh lembaga-
norma yang lebih tinggi, sehingga norma yang lebih rendah (inferior) dapat di
bentuk berdasarkan norma yang lebih tinggi (superior), dan pada akhirnya hukum
29
Aziz Syamsudin, Proses dan Teknik Penyusunan Undang-Undang, h. 28-29.
30
Ni’matul Huda, Negara Hukum Demokrasi dan Judicial Review, (Yogyakarta: UII Press,
2005) h.48.
31
Hans Kalsen, Teori Hukum Murni (Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu
Hukum Empirik-Deskriptif, diterjemahan oleh Somardi Ahli Bahasa , Rimdipress dalam Maria
Farida Indrati S, Ilmu Perundang-undangan (Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan), (Yogyakarta:
Kanisius, 2007) h. 41.
23
Berlakunya norma dasar tidak berdasar, tidak bersumber pada, atau tidak
dibentuk oleh norma yang lebih tinggi lagi, tetapi berlakunya ditetapkan terlebih
dahulu oleh masyarakat sebagai norma dasar yang merupakan tempat bergantung
norma-norma yang berada di bawahnya, sehingga norma dasar dikatakan
presupposed. Apabila norma dasar diubah maka akan menjadi rusak sistem norma
yang berada di jenjang-jenjang bawahnya.
Teori Jenjang Norma dari Hans Kelsen terilhami pandangan teoritis yang
dikembangkan oleh Adolf Merkl, teori dua wajah Norma Hukum (das Doppeltae
Rechtsantlitz). Teori dua wajah norma hukum dari Adolf Merkl menyatakan
bahwa suatu norma hukum memiliki dua wajah. Menurut Adolf Merkl, pada satu
wajah ke atas, suatu norma hukum bersumber dan berdasar pada norma hukum di
atasnya. Akan tetapi, pada wajah lainnya, norma hukum tersebut sekaligus pula
menjadi sumber norma hukum yang berada di bawahnya.32
Teori Jenjang Norma (Stafentheorie) Hans Kelsen :
1. Norma Hukum berjenjang-jenjang, berlapis-lapis dalam suatu hierarki. Suatu
norma hukum selalu berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma hukum
diatasnya, tetapi ke bawah norma hukum itu juga menjadi sumber/dasar bagi
norma hukum di bawahnya.
2. Norma hukum yang lebih tinggi berlaku dan berdasar pada norma hukum
yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada norma hukum yang
tidak dapat ditelusuri lagi, bersifat hipotesis, dan fiktif yaitu norma
tertinggi/norma dasar (Grundnorm).
Teori stufenbau des recht atau the hierarchy of norms yang diintrodusir
Hans Kalsen di atas dapat dimaknai sebagai berikut : 1) peraturan perundang-
undangan yang lebih rendah harus bersumber atau memiliki dasar hukum atau
validasi dari suatu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; 2) isi atau
32
Aziz Syamsudin, Proses dan Teknik Penyusunan Undang-Undang, h. 20-22
24
Teori Hans Kelsen yang mendapat banyak perhatian adalah hierarki norma
hukum dan rantai validitas yang membentuk piramida hukum (stufentheorie).
Salah seorang tokoh yang mengembangkan teori tersebut adalah murid Hans
Kelsen, yaitu Hans Nawiasky. Teori Nawiaky disebut dengan theorie von
stufenbau der rechtsordnung. Susunan norma menurut teori tersebut adalah:
Norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm); Aturan dasar negara
(Staatsgrundgesetz); Undang-Undang formal (Formell Gesetz); dan Peraturan
pelaksanaan dan peraturan otonom (Verordnung En Autonome Satzung).
Staatsfundamentalnorm adalah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan
konstitusi atau Undang-Undang Dasar (staatsverfassung) dari suatu negara. Posisi
hukum dari suatu Staatsfundamentalnorm adalah sebagai syarat bagi berlakunya
suatu konstitusi. Staatsfundamentalnorm ada terlebih dahulu dari konstitusi suatu
negara.
Menurut Nawiasky, norma tertinggi yang oleh Kelsen disebut sebagai
norma dasar (basic norm) dalam suatu negara sebaiknya tidak disebut sebagai
Staatsgrundnorm melainkan Staatsfundamentalnorm atau norma fundamental
negara. Staatsfundamentalnorm pada dasarnya tidak berubah-ubah, sedangkan
norma tertinggi berubah misalnya dengan cara kudeta atau revolusi.
Berdasarkan teori Nawiaky tersebut, A. Hamid S. Attamimi
membandingkannya dengan teori Kelsen dan menerapkannya pada struktur tata
hukum di Indonesia. Attamimi menunjukkan struktur hierarki tata hukum
Indonesia dengan menggunakan teori Nawiasky. Berdasarkan teori tersebut,
struktur tata hukum Indonesia adalah:
1. Staatsfundamentalnorm: Pancasila (Pembukaan UUD RI tahun 1945)
2. Staatsgrundgesetz : Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR, dan Konvensi
Ketatanegaraan.
3. Formell gesetz : Undang-Undang.
26
Asas di dalam Kamus Umum Besar Bahasa Indonesia asas dapat berarti
hukum dasar atau fundamen, yakni sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau
berpendapat. Selain itu, asas juga diartikan sebagai dasar cita-cita. Asas hukum
merupakan sesuatu yang sangat mendasar dalam hukum yang harus dipedomani.
Asas adalah dasar atau sesuatu yang dijadikan tumpuan berpikir, berpendapat dan
undangan. Padanan kata asas adalah prinsip yang berarti kebenaran. Asas hukum
merupakan sebuah aturan dasar atau merupakan prinsip hukum yang masih
bersifat abstrak. Dapat pula dikatakan bahwa asas dalam hukum merupakan dasar
Asas hukum merupakan unsur penting dan pokok dari peraturan hukum.
Asas hukum menjadi dasar-dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum
positif. Dalam pandangan beberapa ahli, asas mempunyai arti yang berbeda-beda.
Asas adalah sesuatu yang menjadi tumpuan berfikir atau berpendapat, dan asas
35
Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan,( Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan),
h. 44-45.
36
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 70
37
Fence M. Wantu Dkk, Cara Cepat Belajar Hukum Acara Perdata (Jakarta: Reviva
Cendekia, 2002), h 13
27
Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa asas adalah dasar atau fondasi
yang akan dijadikan sebagai hukum positif bagi sebuah negara. Asas inilah yang
Keberadaan asas tidak berlaku surut (non retroaktif) adalah untuk menjamin
alasan tertentu. Akan tetapi, alasannya tetap dalam rangka untuk adanya
mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula (sistem hierarki). Asas hierarki
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Dengan adanya asas ini
bersifat subordinasi, tidak hanya koordinasi saja. Asas ini menegaskan bahwa
adanya taat hukum dan taat asas antara peraturan pusat dan peraturan
daerah.39
38
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Peraturan Perundang-undangan dan
Yurisprudensi, (Cet. ke-3:Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1989) h. 7
39
Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang-undangan, (Bandung: Mandar Madju,
1998) h. 19
28
keadilan. Tujuan hukum tiada lain tiada bukan adalah menuju keadilan.
mengecualikan peraturan yang lebih umum. Bahwa ketika telah dibuat suatu
peraturan yang lebih khusus dalam suatu bidang tertentu, maka serta merta
yang masih bersifat umum. Keberadaan asas ini kembali menegaskan tidak
masyarakat.40
derogate legi priori), yang dimasudkan dengan asas ini adalah bahwa
undang-undang lain (yang lebih dahulu berlaku) di mana diatur hal tertentu,
tidak berlaku lagi jika ada undang-undang baru (yang berlakunya belakangan)
yang mengatur pula hal tertentu tersebut, akan tetapi makna atau tujuannya
40
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Peraturan Perundang-undangan dan
Yurisprudensi, h 9
41
Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Cet. 10; Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2015) h. 46
29
suatu sistem yang bersifat sistematis menuju terciptanya sistem hukum yang
berkeadilan.
tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi dalam
dengan substansi UUD 1945, maka diperlukan adanya uji materi oleh
undang dapat di judicial review jika bertentangan dengan hukum yang lebih
42
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2007), h. 56-57
30
bimbingan yang diberikan oleh cita negara hukum yang tidak lain adalah
pembagian atas asas formal dan materil, maka pembagiannya sebagai berikut :
1. Asas–asas formal: (a) Asas tujuan yang jelas; (b) Asas perlunya pengaturan;
(c) Asas organ / lembaga yang tepat; (d) Asas materi muatan yang tepat; (e)
2. Asas–asas materiil:
a. Asas sesuai dengan cita hukum Indonesia dan norma fundamental negara.
43
Pendapat Amiroeddin Syarief tentang asas peraturan perundang-undangan dalam Rosjidi
Ranggawijaya, Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia, h. 78
44
Maria Farida Indrati. S, Ilmu Perundang-undangan (Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan) h.
256
31
45
Maria Farida Indrati. S, Ilmu Perundang-undangan (Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan) h.
197
32
atas harus dipenuhi sekaligus, yaitu berlaku, baik secara filosofis, yuridis,
sosiologis dan politis.
33
segenap rakyat Indonesia. Tidak satu pun kelima nilai-nilai filosofis terebut
yang boleh diabaikan atau malah ditentang oleh norma hukum yang terdapat
dalam berbagai kemungkinan bentuk peraturan perundang-undangan dalam
wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Setiap masyarakat mengharapkan agar hukum itu dapat menciptakan
keadilan, ketertiban, kesejahteraan. Hal ini yang disebut dengan cita hukum,
yaitu yang berkaitan dengan baik dan buruk, adil atau tidak. Hukum
diharapkan dapat mencerminkan nilai-nilai yang tumbuh dan dirasa adil
dalam masyarakat. Dalam kaitan ini, penyusunan peraturan perundang-
46
M. Efran Helmi Juni, Filsafat Hukum, (Bandung: Pustaka Setia, 2012) h.323.
34
47
Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, (Cet. 2; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2011) h.167
35
diatur. Kalau diatur dalam bentuk lain misalnya Keputusan Presiden, maka
3) Keharusan mengikuti tata cara tertentu. Apabila tata cara tersebut tidak
48
Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-undangan, (Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan),
h. 41.
49
Bagir Manan, Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia, (Jakarta: Ind-Hill. Co, 1992)
h. 13-18
36
dengan hierarkinya, hal ini ditegaskan dalam Pasal 7 ayat 2 yang berbunyi “
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”.51 Kekuatan hukum sesuai dengan hierarki
lebih tinggi.52 Atau dengan kata lain kekuatan hukum peraturan perundag-
Selain dari bentuk aturan hukum yang berdasarkan Pasal 7 ayat 1 di atas,
50
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Perundang-Undangan Pasal 7 ayat 1.
51
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Perundang-Undangan Pasal 7 ayat 2.
52
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Perundang-Undangan Penjelasan Pasal 7 ayat 2.
37
53
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Perundang-Undangan Penjelasan Pasal 8 ayat 1.
54
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Perundang-Undangan Penjelasan Pasal 8 ayat 2.
38
55
Nomenson Sinamo, Ilmu Perundang-undangan, (Cet 1; Jakarta: Jala Permata Aksara,
2016) h. 49
56
M. Efran Helmi Juni, Filsafat Hukum, h.323
39
57
Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, h.168