Anda di halaman 1dari 14

TATA URUTAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL NASIONAL DI


INDONESIA
Posted by Komunitas Guru PKn on Tuesday, August 23, 2016
A. Makna Peraturan Perundang-undangan Nasional

Peraturan perundangan-undangan berbeda dengan Undang-Undang, karena Undang-Undang


hanya merupakan salah satu bagian dari peraturan perundang-undangan. Peraturan Peundang-
Undangan itu sendiri adalah semua pertauran tertulis yang dibentuk dengan cara-cara tertentu
oleh pejabat yang berwenang dan dituangkan dalam bentuk tertulis.

Menurut Undang-Undang No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-


Undangan, dinyatakan bahwa Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang
memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga
negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan
Perundang-undangan.

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, fungsi peraturan perundang-undangan, antara lain
sebagai berikut:
a) sebagai norma hukum bagi warga negara karena beisi peraturan untuk membatasi
tingkah laku manusia sebagai warga negara yang harus ditaati, dipatuhi, dan
dilaksanakan. Bagi mereka yang melanggar diberi sanksi atau hukum sesuai dengan
ketentuan yang berlaku, sehingga terjamin rasa keadilan dan kebenaran.
b) Menentukan aturan-aturan yang menjadi pedoman dalam menjalankan hubungan antar
sesama manusia sebabagi warga negara dan warga masyarakat
c) untuk mengatur kehidupan manusia sebagai warga negara agar kehidupannya
sejahtera. aman, rukun, dan harmonis;
d) untuk menciptakan suasana aman, tertib, tenteram dan kehidupan yang harmonis rasa.
e) untuk memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum bagi warga negara.
f) untuk memberikan perlindungan atas hak asasi manusia.

Untuk memahami perundang-undangan yang berlaku, kita harus memahami susunan tata urutan
perundang-undangan. Ini disebabkan susunan tata urutan perundangan-undangan mengajar
prinsip-prinsip:
a) Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kedudukannya dapat dijadikan
landasan atau dasar hukum bagi peraturan perundang-undangan yang lebih rendah
atau berada di bawahnya.
b) Peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah harus bersumber atau memiliki
dasar hukum dari peraturan perundangan-undangan tingkat lebih tinggi.
c) Isi atau muatan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh
menyimpang atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi tingkatannya.
d) Suatu peraturan perundang-undangan hanya dapat dicabut, diganti atau diubah dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau paling tidak dengan yang
sederajat.
e) Peraturan perundang-undangan yang sejenis apabila mengatur materi yang sama,
perturan yang terbaru harus diberlakukan walaupun tidak dengan secara tegas
dinyatakan bahwa peraturan yang lama dicabut.
f) Peraturan yang mengatur materi yang lebih khusus harus diutamakan dari peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.

Adapun azas-azas dalam pembentukan peraturan perundangan sesuai Undang-undang Nomor


12 tahun 2011 adalah sebagai berikut :
a. Kejelasan tujuan, adalah bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan
harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai
b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat , adalah setiap jenis peraturan
perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat pembentuk
peraturan perundang-undangan yang berwenang. peraturan perundang-undangan
tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga yang
tidak berwewenang
c. Kesesuaian antara jenis, hirarki, dan materi muatan, adalah bahwa dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan
yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan
d. Dapat dilaksanakan, adalah bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-
undangan harus memperhitungkan efektivitas peraturan perundang-undangan tersebut
di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis
e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan, adalah bahwa setiap peraturan perundang
undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam
mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
f. Kejelasan rumusan, adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus
memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan,
sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah
dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam
pelaksanaannya.
g. Keterbukaan, adalah bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan mulai
dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan
pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan
masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan
dalam pembentukan.

Terkait materi yang terdapat dalam suatu peraturan perundang-undangan menurut Undang-
undang Nomor 12 tahun 2011 juga harus mencerminkan asas :
a. Pengayoman adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan
harus berfungsi memberikan perlindungan untuk menciptakan ketentraman
masyarakat.
b. Kemanusiaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan
harus mencerminkan pelindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat
dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.
c. Kebangsaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan
harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang majemuk dengan tetap
menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
d. Kekeluargaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan
harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan
keputusan.
e. Kenusantaraan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan
senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan Materi Muatan
Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem
hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
f. Bhinneka Tunggal Ika adalah bahwa materi muatan peraturan perundang-undangan
harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi
khusus daerah serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
g. Keadilan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus
mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara.
h. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan adalah bahwa setiap materi
muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh memuat hal yang bersifat
membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan,
gender, atau status sosial.
i. Ketertiban dan kepastian hukum adalah bahwa setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui
jaminan kepastian hukum.
j. Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan adalah bahwa setiap materi muatan
peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan
keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan bangsa dan
negara
B. Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia

Dalam kajia hukum, tata urutan peraturan perundang-undangan disusun berdasarkan


pandangan bahwa sistem hukum merupakan sistem hierarki dengan kaidah berjenjang dimana
norma hukum yang paling rendah harus berpegangan pada norma hukum yang lebih tinggi. Hal
ini sesuai Teori Stufenbau (Stufen Theory) atau yang dipopulerkan oleh ahli ilmu hukum yang
bernama Hans Kelsen yang menyatakan bahwa sistem hukum merupakan sistem anak tangga
dengan kaidah berjenjang dimana norma hukum yang paling rendah harus berpegangan pada
norma hukum yang lebih tinggi, dan kaidah hukum yang tertinggi (seperti konstitusi) harus
berpegangan pada norma hukum yang paling mendasar (grundnorm). Menurut Kelsen norma
hukum yang paling dasar (grundnorm) bentuknya tidak kongkrit (abstrak) .Contoh norma hukum
paling dasar abstrak adalah Pancasila.

Bagaimana susunan tata urutan perundang-undangan di Indonesia? Berdasarkan Tap MPRS


NO. XX/MPRS/1996 tentang Memorandum DPR-GR mengenai sumber tertib hukum Republik
Indonesia dan tata urutan perundang-undangan Republik Indonesia. Tata urutan peraturan
perundang-undangan RI yaitu
1) UUD 1945;
2) Ketetapan MPR;
3) Undang-Undang;
4) Peraturan Pemerintah (PP);
5) Keputusan Presiden;
6) Peraturan Pelaksana yang terdiri dari : Peraturan Menteri dan Instruksi Menteri.
Catatan: Ketentuan dalam Tap MPR ini sudah tidak berlaku.

Berdasarkan Tap MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan
Undang-Undang, Tata urutan peraturan perundang-undangan RI yaitu :
1) UUD 1945;
2) Tap MPR;
3) Undang-Undang
4) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu);
5) Peraturan Pemerintah (PP)
6) Keppres;
7) Peraturan Daerah;
Ketentuan dalam Tap MPR ini sudah tidak berlaku.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan


Perundang-undangan., Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia
adalah sebagai berikut :
1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2) Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu);
3) Peraturan Pemerintah;
4) Peraturan Presiden;
5) Peraturan Daerah.
Catatan: Ketentuan dalam Undang-Undang ini sudah tidak berlaku.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia
adalah sebagai berikut:
1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2) Ketetapan MPR;
3) Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu);
4) Peraturan Pemerintah (PP)
5) Peraturan Presiden;
6) Peraturan Daerah Provinsi;
7) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Lalu, aturan mana terkait Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia yang
saat ini berlaku? Tentunya aturan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Ketentuan ini
sesuai asas dan prinsip hukum bahwa peraturan atau Undang-Undang terbaru yang mengatur
persoalan yang sama menggantikan peraturan atau Undang-Undang yang ada sebelumnya. Hal
ini dipertegas dalam Pasal 102 dimana berbunyi : “Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku,
Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4389), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku”.

Sehingga dengan adanya Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 ini menggantikan Undang-
undang yang lama yaitu Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 dan peraturan yang ada
sebelumnya.

Penjelasan lebih lanjut mengenai urutan perundangan-undangan ini adalah sebagai berikut:

1. UUD 1945
Undang-Undang Dasar 1945 merupakan Hukum Dasar tertulis Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan berfungsi sebagai sumber hukum tertinggi. Menurut. L.J. van Apeldom,
Undang-Undang Dasar adalah bagian tertulis dari suatu konstitusi. Sementara itu E.C.S.
Wade menyatakan, bahwa Undang-Undang Dasar adalah naskah yang memaparkan
rangka dan tugas-tugas pokok dan badan-badan pemerintahan suatu negara dan
menentukan pokok-pokok cara kerja badan-badan tersebut. Miriam Budiardjo, menyatakan
bahwa UndangUndang Dasar memuat ketentuan-ketentuan mengenai organisasi negara,
hak-hak asasi manusia, prosedur mengubah UUD dan memuat larangan untuk mengubah
sifat tertentu dari Undang-Undang Dasar.
Dalam tata peraturan perundang-undangan di negara Indonesia, menurut Miriam Budiardjo
( 1981: 106-107) Undang-Undang Dasar 1945 mempunyai kedudukan yang istimewa
dibandingkan dengan undang-undang lainnya, hal ini dikarenakan
a) UUD dibentuk menurut suatu cara istimewa yang berbeda dengan pembentukan UU
biasa
b) UUD dibuat secara istimewa untuk itu dianggap sesuatu yang luhur.
c) UUD adalah piagam yang menyatakan cita-cita bangsa Indonesia dan merupakan
dasar organisasi kenegaraan suatu bangsa

2. Ketetapan MPR
Ketetapan MPR adalah ketetapan yang dikeluarkan MPR sebagai konsekuensi dari tugas,
kedudukan dan kewenangan MPR sesuai UUD 1945.

Adapun yang dimaksud Ketetapan MPR yang menjadi sumber hukum menurut penjelasan
UU No 12 tahun 2011 adalah adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan
Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7
Agustus 2003.

3. Undang-Undang
Undang-undang merupakan peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan UUD
1945. Yang berwenang membuat UU adalah DPR bersama Presiden. Adapun kriteria agar
suatu masalah diatur dengan UU antara lain :
a) UU dibentuk atas perintah ketentuan UUD 1945,
b) UU dibentuk atas perintah Ketetapan MPR,
c) UU dibentuk atas perintah ketentuan UU terdahulu,
d) UU dibentuk dalam rangka mencabut, mengubah dan menambah UU yang sudah ada,
e) UU dibentuk karena berkaitan dengan hak sasai manusia,
f) UU dibentuk karena berkaitan dengan kewajiban atau kepentingan orang banyak.

Adapun materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi:


a. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang;
c. pengesahan perjanjian internasional tertentu;
d. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
e. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.

4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu)


Peraturan Pemerintah pengannti Undang-Undang (PERPU) dibentuk oleh presiden tanpa
terlebih dahulu rnendapat persetujuan DPR. Hal ini dikarenakan PERPU dibuat dalam
keadaan "darurat" dalam arti persoalan yang muncul harus segera ditindaklanjuti. Namun
demikian pada akhirnya PERPU tersebut harus diajukan ke DPR untuk mendapatkan
persetujuan. ladi bukan berarti presiden dapat seenaknya mengeluarkan PERPPU, karena
pada akhirnya harus diajukan kepada DPR pada persidangan berikutnya. Sebagai lembaga
legislatif DPR dapat menerima atau menolak PERPPU yang diajukan Presiden tersebut,
konsekwensinya kalau PERPPU tersebut ditolak, harus dicabut, dengan kata lain harus
dinyakan tidak berlaku lagi

Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sama dengan materi


muatan Undang-Undang, yakni:
a. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang;
c. pengesahan perjanjian internasional tertentu;
d. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
e. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.

5. Peraturan Pemerintah (PP)


Untuk melaksanakan suatu undang-undang, maka dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah.
Jadi peraturan pemerintah tersebut merupakan bentuk pelaksanaan dari suatu undang-
undang. Itulah sebabnya materi muatan Peraturan Pemerintah (PP) berisi materi untuk
menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.

Adapun kriteria untuk dikeluarkannya Peraturan pemerintah adalah sebagai berikut :


a) PP tidak dapat dibentuk tanpa adanya UU induknya,
b) PP tidak dapat mencantumkan sanksi pidana. jika UU induknya tidak mencantumkan
sanksi pidana,
c) PP tidak dapat memperluas atau mengurangi ketentuan UU induknya.
d) PP dapat dibentuk meskipun UU yang bersangkutan tidak menyebut secara tegas, asal
PP tersebut untuk melaksanakan UU,

6. Peraturan Presiden
Peraturan Presiden merupakan peraturan perundang-undangan yang dibentuk Presiden
berdasarkan pasal 4 UUD 1945. Dilihat dari sifatnya Presiden dapat membuat dua macam
keputusan yaitu yang bersifat pengaturan dan yang bersifat penetapan. Yang termasuk jenis
peraturan perundang-undangan adalah keputusan presiden yang bersfat pengaturan atau
yang dikenal dengan Peraturan Presiden .

Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang,
materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau materi untuk melaksanakan
penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.

7. Peraturan Daerah (Perda)


Peraturan Daerah adalah peraturan yang dibuat oleh Pemerintah daerah Propinsi dan
daerah Kabupaten dan/atau Daerah Kota. Masuknya Peraturan Daerah dibuat untuk
melaksanakan peraturan perundangundangan yang lebuh tinggi. Selain itu Peraturan
daerah inijuga dibuat dalam rangka melaksanakan kebutuhan daerah. Dengan demikian
kalau Peraturan Daerah terse but dibuat sesuai kebutuhan daerah, dimungkinkan Perda
yang berlaku di suatu daerah KabupatenlKota belum tentu diberlakukan di daerah
kabupaten/ kota lain.

Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi
materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta
menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-
undangan yang lebih tinggi.

C. Proses Pembuatan Peraturan Perundang-undangan Indonesia

1. Proses pembentukan Undang-Undang


Undang-undang adalah peraturan perundangan, yang dalam pembentukannya Presiden
harus mendapat persetujuan DPR. Ketentuan tersebut diatur dalam UUD 1945 Pasal 5
Ayat 1 "Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada DPR",
Pasal20 Ayat 1 "DPR memegang kekuasaan membentuk UU" dan Pasal 20 Ayat 2
"Setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama" .

Dalam pembentukan suatu undang-undang, sebagaimana diatur dalam undang-undang


nomor 12 tahun 2011, maka tahap-tahapnya meliputi:

a. Tahap penyusunan Rancangan Undang-Undang meliputi:


1) Rancangan Undang-Undang dapat berasal dari DPR atau Presiden.
2) Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat berasal dari DPD.
3) Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR, Presiden, atau DPD
harus disertai Naskah Akademik. Terdapat 3 jenis RUU yang tidak harus
disertai Naskah Akademik namun haruss disertai dengan keterangan yang
memuat pokok pikiran dan materi muatan yang diatur yakni: a) RUU Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara; b) penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang; atau c) pencabutan
Undang-Undang atau pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang.
4) Rancangan Undang-Undang, baik yang berasal dari DPR maupun Presiden
serta Rancangan Undang-Undang yang diajukan DPD kepada DPR disusun
berdasarkan Prolegnas (Program Legislasi Nasional). Adapun Rancangan
Undang-Undang yang diajukan oleh DPD berkaitan dengan: a) otonomi
daerah; b) hubungan pusat dan daerah; c) pembentukan dan pemekaran serta
penggabungan daerah; d) pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya; dan e) perimbangan keuangan pusat dan daerah.
5) Rancangan Undang-Undang dari DPR diajukan oleh anggota DPR, komisi,
gabungan komisi, atau alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang
legislasi atau DPD. Kemudian dilakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan
pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR
dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang
legislasi.
6) Rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh Presiden disiapkan oleh
menteri atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian sesuai dengan
lingkup tugas dan tanggung jawabnya. Dalam penyusunan Rancangan
Undang-Undang, menteri atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian
terkait membentuk panitia antar kementerian dan/atau antar nonkementerian.
Kemudian dilakukan Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan
konsepsi Rancangan Undang-Undang yang berasal dari Presiden
dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang hukum.
7) Rancangan Undang-Undang dari DPD disampaikan secara tertulis oleh
pimpinan DPD kepada pimpinan DPR dan harus disertai Naskah Akademik.
Usul Rancangan Undang-Undang dari DPD disampaikan oleh pimpinan DPR
kepada alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi untuk
dilakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi
Rancangan Undang-Undang. Untuk selanjutnya Alat kelengkapan DPR dalam
melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi
Rancangan Undang-Undang dapat mengundang pimpinan alat kelengkapan
DPD yang mempunyai tugas di bidang perancangan Undang-Undang untuk
membahas usul Rancangan Undang-Undang yang diajukan DPD.
8) Rancangan Undang-Undang dari DPR disampaikan dengan surat pimpinan
DPR kepada Presiden. Presiden menugasi menteri yang mewakili untuk
membahas Rancangan Undang-Undang bersama DPR dalam jangka waktu
paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak surat pimpinan DPR diterima.
Kemudian Menteri yang mendapat tugas dari Presiden mengoordinasikan
persiapan pembahasan dengan menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum.
9) Rancangan Undang-Undang dari Presiden diajukan dengan surat Presiden
kepada pimpinan DPR. Surat Presiden tersebut memuat penunjukan menteri
yang ditugasi mewakili Presiden dalam melakukan pembahasan Rancangan
Undang-Undang bersama DPR. DPR mulai membahas Rancangan Undang-
Undang yang diajukan presiden dalam jangka waktu paling lama 60 (enam
puluh) hari terhitung sejak surat Presiden diterima. Untuk keperluan
pembahasan Rancangan Undang-Undang di DPR, menteri atau pimpinan
lembagapemrakarsa memperbanyak naskah RancanganUndang-Undang
tersebut dalam jumlah yang diperlukan.
10) Apabila dalam satu masa sidang DPR dan Presiden menyampaikan
Rancangan Undang-Undang mengenai materi yang sama, yang dibahas
adalah Rancangan Undang-Undang yang disampaikan oleh DPR dan
Rancangan Undang-Undang yang disampaikan Presiden digunakan sebagai
bahan untuk dipersandingkan.

b. Tahap penyusunan Pembahasan Rancangan Undang-Undang meliputi:


1) Pembahasan Rancangan Undang-Undang dilakukan oleh DPR bersama
Presiden atau menteri yang ditugasi.
2) Khusus Pembahasan Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan: a)
otonomi daerah; b) hubungan pusat dan daerah; c) pembentukan, pemekaran,
dan penggabungan daerah; d) pengelolaan sumber daya alam dan sumber
daya ekonomi lainnya; dan e) perimbangan keuangan pusat dan daerah, pada
pembicaraan tingkat I dilakukan dengan mengikutsertakan DPD yang diwakili
oleh alat kelengkapan yang membidangi materi muatan Rancangan Undang-
Undang yang dibahas.
3) DPD memberikan pertimbangan kepada DPR atas Rancangan Undang-
Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Rancangan
Undang-Undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.
4) Pembahasan Rancangan Undang-Undang dilakukan melalui 2 (dua) tingkat
pembicaraan, yaitu pembicaraan tingkat I dalam rapat komisi, rapat gabungan
komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat Panitia
Khusus; dan pembicaraan tingkat II dalam rapat paripurna.
5) Pembicaraan tingkat I dilakukan dengan kegiatansebagai berikut: a) pengantar
musyawarah; b) pembahasan daftar inventarisasi masalah; dan c)
penyampaian pendapat mini
6) Dalam pengantar musyawarah a) DPR memberikan penjelasan dan Presiden
menyampaikan pandangan jika Rancangan Undang-Undang berasal dari DPR;
b) DPR memberikan penjelasan serta Presiden dan DPD menyampaikan
pandangan jika Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan
kewenangan DPD berasal dari DPD; c) Presiden memberikan penjelasan dan
fraksi memberikan pandangan jika Rancangan Undang-Undang berasal dari
Presiden; atau d) Presiden memberikan penjelasan serta fraksi dan DPD
menyampaikan pandangan jika Rancangan Undang-Undang yang berkaitan
dengan kewenangan DPD berasal dari Presiden.
7) Daftar inventarisasi masalah diajukan oleh: a) Presiden jika Rancangan
Undang-Undang berasal dari DPR; atau b) DPR jika Rancangan Undang-
Undang berasal dari Presiden dengan mempertimbangkan usul dari DPD
sepanjang terkait dengan kewenangan DPD
8) Penyampaian pendapat mini disampaikan pada akhir pembicaraan tingkat I
oleh: a) fraksi; b) DPD, jika Rancangan Undang-Undang berkaitan dengan
kewenangan DPD; dan c. Presiden.
9) Pembicaraan tingkat II merupakan pengambilan keputusan dalam rapat
paripurna dengan kegiatan: a) penyampaian laporan yang berisi proses,
pendapat mini fraksi, pendapat mini DPD, dan hasil pembicaraan tingkat I; b)
pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap fraksi dan anggota secara
lisan yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna; dan c) penyampaian
pendapat akhir Presiden yang dilakukan oleh menteri yang ditugasi.
10) Dalam hal persetujuan tidak dapat dicapai secara musyawarah untuk mufakat,
pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara terbanyak.
11) Rancangan Undang-Undang tidak mendapat persetujuan bersama antara DPR
dan Presiden, Rancangan Undang-Undang tersebut tidak boleh diajukan lagi
dalam persidangan DPR masa itu.
12) Rancangan Undang-Undang dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama
oleh DPR dan Presiden. Rancangan Undang-Undang yang sedang dibahas
hanya dapat ditarik kembali berdasarkan persetujuan bersama DPR dan
Presiden.
c. Tahap Pengesahan Rancangan Undang-Undang
Tahap Pengesahan Rancangan Undang-Undang adalah sebagai berikut:
1) Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan
Presiden disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan
menjadi Undang-Undang.
2) Penyampaian Rancangan Undang-Undang dilakukan dalam jangka waktu
paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.
3) Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 disahkan
oleh Presiden dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling
lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak Rancangan Undang-Undang tersebut
disetujui bersama oleh DPR dan Presiden.
4) Dalam hal Rancangan Undang-Undang tidak ditandatangani oleh Presiden
dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak Rancangan
Undang-Undang tersebut disetujui bersama, Rancangan Undang-Undang
tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan.
5) Dalam hal sahnya Rancangan Undang-Undang kalimat pengesahannya
berbunyi: Undang-Undang ini dinyatakan sah berdasarkan ketentuan Pasal 20
ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
6) Kalimat pengesahan tersebut harus dibubuhkan pada halaman terakhir
Undang-Undang sebelum pengundangan naskah Undang-Undang ke dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.

2. Proses Penyusunan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang


Peraturan Pemerintah pengannti Undang-Undang (PERPU) dibentuk oleh presiden yang
dibuat dalam keadaan "darurat" dalam arti persoalan yang muncul harus segera
ditindaklanjuti.
Adapun Proses Penyusunan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sesuai
UU nomor 11 Tahun 2012 adalah sebagai berikut:
a. Peraturan Pemerintah pengannti Undang-Undang (PERPU) dibentuk oleh presiden
yang dibuat dalamkeadaan "darurat" dalam arti persoalan yang muncul harus segera
ditindaklanjuti.
b. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus diajukan ke DPR dalam
persidangan yang berikut.
c. Pengajuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dilakukan dalam bentuk
pengajuan Rancangan Undang-Undang tentang penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang.
d. DPR hanya memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
e. Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang mendapat persetujuan
DPR dalam rapat paripurna, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
tersebut ditetapkan menjadi Undang-Undang.
f. Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tidak mendapat
persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang tersebut harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku.
g. Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus dicabut dan harus
dinyatakan tidak berlaku, DPR atau Presiden mengajukan Rancangan Undang-
Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
h. Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang mengatur segala akibat hukum dari pencabutan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
i. Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang ditetapkan menjadi Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang dalam rapat paripurna.
j. Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang dilaksanakan melalui mekanisme yang sama dengan
pembahasan Rancangan Undang-Undang.
k. Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang dilaksanakan dengan tata cara: a) Rancangan
Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang diajukan oleh DPR atau Presiden; b) Rancangan Undang-Undang tentang
Pencabutan diajukan pada saat Rapat Paripurna DPR tidak memberikan persetujuan
atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang diajukan oleh Presiden;
dan c) Pengambilan keputusan persetujuan terhadap Rancangan Undang-Undang
tentang Pencabutan dilaksanakan dalam Rapat Paripurna DPR yang sama dengan
rapat paripurna penetapan tidak memberikan persetujuan atas Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang tersebut.

3. Proses Penyusunan Peraturan Pemerintah


Berikut ini Proses Penyusunan Peraturan Pemerintah sesuai UU nomor 11 Tahun 2012
adalah sebagai berikut:
a. Dalam penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah, pemrakarsa membentuk
panitia antarkementerian dan/atau lembaga pemerintah nonkementerian.
b. Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan
Pemerintah dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum.

4. Proses Penyusunan Peraturan Presiden


Berikut ini Proses Penyusunan Peraturan Presiden sesuai UU nomor 11 Tahun 2012
adalah sebagai berikut:
a. Dalam penyusunan Rancangan Peraturan Presiden, pemrakarsa membentuk panitia
antarkementerian dan/atau antar nonkementerian,
b. Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan
Presiden dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang hukum.

5. Proses Penyusunan Peraturan Daerah Provinsi


a. Proses Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Proses Penyusunan
Peraturan Daerah Provinsi
Berikut ini Proses Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sesuai UU
nomor 11 Tahun 2012 adalah sebagai berikut:
1) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dapat berasal dari DPRD Provinsi atau
Gubernur.
2) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi disertai dengan penjelasan atau
keterangan dan/atau Naskah Akademik.
3) Dalam hal Rancangan Peraturan Daerah Provinsi mengenai a) Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi; b) Pencabutan Peraturan Daerah
Provinsi; atau c) perubahan Peraturan Daerah Provinsi yang hanya terbatas
mengubah beberapa materi, tidak disertai naskah akademik namun harus
disertai keterangan yang memuat pokok pikiran dan materi muatan yang diatur.
4) Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Provinsi
dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan Naskah Akademik.
2) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan
Peraturan Daerah Provinsi yang berasal dari DPRD Provinsi dikoordinasikan
oleh alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi.
3) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan
Peraturan Daerah Provinsi yang berasal dari Gubernur dikoordinasikan oleh biro
hukum dan dapat mengikutsertakan instansi vertikal dari kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
4) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dapat diajukan oleh anggota, komisi,
gabungan komisi, atau alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus
menangani bidang legislasi.
5) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang telah disiapkan oleh DPRD Provinsi
disampaikan dengan surat pimpinan DPRD Provinsi kepada Gubernur.
6) Rancangan Peraturan Daerah yang telah disiapkan oleh Gubernur disampaikan
dengan surat pengantar Gubernur kepada pimpinan DPRD Provinsi.
7) Apabila dalam satu masa sidang DPRD Provinsi dan Gubernur menyampaikan
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi mengenai materi yang sama, yang
dibahas adalah Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang disampaikan oleh
DPRD Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang disampaikan
oleh Gubernur digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan.

b. Proses Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Proses Penyusunan


Peraturan Daerah Provinsi
1) Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dilakukan oleh DPRD
Provinsi bersama Gubernur.
2) Pembahasan bersama dilakukan melalui tingkat-tingkat pembicaraan.
3) Tingkat-tingkat pembicaraan dilakukan dalam rapat komisi/ panitia/ badan/ alat
kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi dan rapat
paripurna.
4) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dapat ditarik kembali sebelum dibahas
bersama oleh DPRD Provinsi dan Gubernur.
5) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang sedang dibahas hanya dapat ditarik
kembali berdasarkan persetujuan bersama DPRD Provinsi dan Gubernur.
c. Proses Penetapan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Proses Penyusunan
Peraturan Daerah Provinsi
1) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang telah disetujui bersama oleh DPRD
Provinsi dan Gubernur disampaikan oleh pimpinan DPRD Provinsi kepada
Gubernur untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah Provinsi.
2) Penyampaian Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dilakukan dalam jangka
waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.
3) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi ditetapkan oleh Gubernur dengan
membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
sejak Rancangan Peraturan Daerah Provinsi tersebut disetujui bersama oleh
DPRD Provinsi dan Gubernur.
4) Dalam hal Rancangan Peraturan Daerah Provinsi tidak ditandatangani oleh
Gubernur dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak Rancangan
Peraturan Daerah Provinsi tersebut disetujui bersama, Rancangan Peraturan
Daerah Provinsi tersebut sah menjadi Peraturan Daerah Provinsi dan wajib
diundangkan.
5) Dalam hal sahnya Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, kalimat
pengesahannya berbunyi: Peraturan Daerah ini dinyatakan sah.
6) Kalimat pengesahan tersebut harus dibubuhkan pada halaman terakhir
Peraturan Daerah Provinsi sebelum pengundangan naskah Peraturan Daerah
Provinsi dalam Lembaran Daerah

6. Proses Penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Pada prinsipnya proses penyusunan rancangan, pembahasan dan penetapan Peraturan


Daerah Kabupaten/Kota sesuai UU nomor 11 Tahun 2012 sama seperti penyusunan,
pembahasan dan peetapan rancangan Peraturan Daerah Provinsi.

Anda mungkin juga menyukai