Anda di halaman 1dari 12

Makalah

Filsafat Sejarah

Filsafat Sejarah Narataif

Dosen Pengampu ;

Azmi Fitrisia, SS, M. Hum

Oleh Kelompok 5 :

Az Zhukruf Nadhillah Saleh 20046004

Aprina Aygilia 20046114

Desti Nur Oftia 20046122

Dapartemen Pendidikan Sejarah

Fakultas Ilmu Sosial

Universitas Negeri Padang

2023
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena telah memberikan kesempatan pada
kami untuk menyelesaikan makalah Mata kuliah Filsafat Sejarah ini. Atas rahmat dan
hidayahNya lah kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Filsafat Sejarah Barat
(Narataif) ini dengan tepat waktu.

Makalah ini disusun guna memenuhi nilai tugas mata kuliah Filsafat Sejarah. Selain itu, kami
juga berharap makalah ini nantinya dapat menambah wawasan bagi pembaca .

Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Azmi Fitrisia, SS, M. Hum selaku dosen
pengampu mata kuliah Filsafat Sejarah. Kami berharap tugas yang diberikan ini dapat
menambah pengetahuan dan wawasan penulis terkait bidang yang ditekuni. Kami juga berterima
kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam penyusunan makalah ini. Kami menyadari
makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun
akan kami terima demi kesempurnaan makalah ini.

Padang, 3 Februari 2023

Kelompok 5
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………… .......................................... …...2

DAFTAR ISI……………………………………………… ......................................... …...3

BAB I: PENDAHULUAN………………………………. .......................................... …...4

1. Latar Belakang………………………………………………………….......4
2. Rumusan Masalah………………………………………………………......4
3. Tujuan Penulisan…………………………………………………………....4

BAB II: PEMBAHASAN……………………………………………… ..................... …....5

1. Metanaratif; Latar Pemikiran Filsafat Sejarahnya…………………………...5


2. New Historicism……………………………………………………………..6
3. Tiga Pendekatan Teoritis terhadap Sejarah…………………………………..7
4. Satu Masa Lampau, Banyak Sejarahnya……………………………………..9

BAB III: PENUTUP………………………………………………………………………...11

A. Kesimpulan…………………………………………………………………..11
B. Saran…………………………………………………………………………11

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………..12
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejak tahun 1970-an sebuah aliran pemikiran Filsafat Sejarah “baru” (new philosophy
0f history), mengundang perdebatan yang cukup sengit di kalangan sejarawan . Aliran
baru itu disebut “Filsafat Sejarah naratif”, kadang-kadang disebut juga “Filsafat Sejarah
dekonstuksionis”. Para pengikutnya berasal dari sekelompok kaum intektual dan aktivis
dengan latar belakang disiplin akademik berbeda-beda, termasuk diantaranya filsafat,
bahasa dan sastra serta sejarah. Mereka bekerja untuk menghasilkan semacam
pengetahuan ‘baru’ tentang sejarah. Terlepas dari pro-kontra terhadap gagasan-gagasan
yang ditawarkannya, kita perlu mengenali aliran baru itu sebagai bagian dari dialektika
pemikiran sejarah selama beberapa decade belakangan

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana metanaratif; latar pemikiran filsafat sejarahnya
2. Bagaimana new historicism
3. Bagaimana tiga pendekatan teoritis terhadap sejarah
4. Bagaimana satu masa lampau, banyak sejarahnya

C. Tujuan Penulisan
1. Menjelaskan tentang metanaratif; latar pemikiran filsafat sejarahnya
2. Menjelaskan tentang new historicism
3. Menjelaskan tentang tiga pendekatan teoritis terhadap sejarah
4. Menjelaskan satu masa lampau, banyak sejarahnya
BAB II

PEMBAHASAN

A. Metanaratif; Latar Pemikiran Filsafat Sejarahnya


Filsafat sejarah naratif hadir menandingi seraya menggugat paradigma mainstream
sejarah ilmiah, yang bersumber pada pemikiran filsafat sejarah kritis. Selama abad ke-20,
karya-karya sejarah filosofis-spekulatif (metasejarah) yang sebenarnya masih tetap
muncul seperti yang dikerjakan oleh Spongler dan Toynbee; terakhir oleh Francis
Fukuyama The end Of History and the Las Men (1989). Akan tetapi karya-karya sejarah
semacam hadir tidak memiliki efek yang signifikan, baik terhadap filsafat sejarah kritis
pada umumnya, maupun terhadap kajian sejarah ilmiah khususnya. . Lambat laun karya-
karya sejarah filosofis-spekulatif mulai ditinggalkan, kendati tetap dipelajari sebagai
mata kuliah wajib di kebanyakan universitas-universitas di dunia termasuk Indonesia.

Selepas 1970-an, diskusi-diskusi tentang filsafat sejarah kritis (analitik) sebetulnya


masih tetap penting dalam memberikan kontribusinya terhadap penguatan fondasi sejarah
ilmiah. Namun kecenderungan itu makin merosot tatkala komitmen terhadap program
risetnya pun tidak lagi menunjukkan kemajuan yang berarti . Masa-masa kemorosotan ini
segera diisi oleh suatu pendekatan baru dalam sejarah, yaitu melalui apa yang disebut
sejarah dekonstuksionis atau sejarah post-modernis. Postmodernisme itu sendiri memilki
banyak segi dan menorobos lintas batas disiplin karena ia masuk ke dalam berbagai
disiplin ilmu sosial dan kajian kebudayaan. Para pengikutnya menawarkan suatu
pendekatan yang serba baru. Mereka tidak mau dicap menggunakan pendekatan
“interdipliner” melainkan suatu sintesis filosofis yang melahirkan semacam
“supradisipliner” kolektif, dimana tidak ada lagi identitas dan garis batas disiplin ilmu
yang konvensional seperti yang dikenal selama ini.

Khusus dalam kajian sejarah, persoalan kuncinya sejak semula dan sebenarnya juga
dalam pengembangan yang lebih kemudian ialah adanya pertentangan dan/ atau
ketegangan pendekatan ilmiah yaitu pendekatan model positivisme versus pendekatan
humanistik dalam mempelajari “ilmu-ilmu manusia”.1

1
Mestika Zed.2010. Pengantar Filsafat Sejarah. Padang: UNP Press Padang. Hal.114
Kehadiran filsafat sejarah naratif dengan pendekatan baru melalui sejarah
dekontruksionis atau postmodernis telah menimbutkan perdebatan pro dan kontra
dikalangan sejarawan dan filsuf. Karena membuat filsafat sejarah kritis seperti berada
di persimpangan jalan, dimana kebenaran lama yang dianut selama ini digugat oleh
aliran baru itu, yang memperkenalkan pengetahuan dan kebenaran baru tentag sejarah.
Dalam keterkaitan ini terdapat tiga pendirian pokok filsafat sejarah kritis yang digugat
oleh aliran baru ini yaitu :
1. Apakah sejarah sebagai studi empirik memiliki dasar epistomologinya sendiri?
2. Apakah mungkin bagi seseorang untuk mencapai kebenaran tentang masa silam
melalui bukti-bukti yang dapat mewakili masa silam?
3. Apa peran sejarawan dalam menggunakan teori-teori ilmu sosial untuk
dijadikan kerangka kerja dalam kontruksi sejarah?2

Ranke mengatakan bahwa sahnya sejarawan tidak lebih dari melukiskan masa lalu
sebagaimana yang terjadi.Filsafat sejarah kritis lebih memusatkan perhatiannya kepada
pemikiran pemikiran mengenai hakikat sejarah sebagai suatu disiplin ilmu
pengetahuan.Masalah masalah dari filsafat sejarah yang bersifat kritis dapat dibagi
menjadi 4 golongan yaitu:

 Sejarah dan bentuk bentuk pengetahuan lain


 Kebenaran dan kenyataan dalam sejarah
 Keterangan dalam sejarah
 Objektivitas dalam sejarah3

B. New Historicism
New Historicism adalah suatu bentuk teori sastra yang bertujuan untuk memahami
sejarah intelektual melalui sastra yang konteks budayanya mengikuti bidang sejarah
gagasan tahun 1950-an dan menyebut dirinya sebagai bentuk "Puisi Budaya". Pertama
kali dikembangkan pada 1980-an, terutama melalui karya kritikus dan profesor Inggris

2
Ibid Hal.115
3
Rochgiyanti dan Sriwati.2022. Filsafat Sejarah. Banjarmasin: Universitas Lembung Mangkurat. Hal.47
Stephen Greenblatt dari University of California, Berkeley, dan memperoleh pengaruh
luas pada 1990-an. Greenblatt menciptakan istilah New Historicism ketika dia
mengumpulkan banyak esai dan putus asa untuk menyelesaikan pengantarnya, kemudian
dia menulis bahwa esai-esai tersebut mewakili sesuatu yang disebut New Historicism.

New Historicism menempatkan teks sastra dalam kerangka teks nonsastra. New
Historicism tidak menilai produk-produk, melainkan untuk menunjukkan bagaimana
berbagai ragam teks saling berkelindan dengan persoalan-persoalan zamannya. Hal ini
dikarenakan sastra dan sejarah adalah jejaring teks, bukan pendulum. New Historicism
bukan dipandang sebagai cerminan yang transparan dan pasif sejarah, melainkan ikut
membangun, mengartikulasikan dan memproduksi konvensi, norma, dan nilai-nilai
budaya melalui tindak verbal dan imajinatif kreatif.

Secara spesifik kajian New Historicism mencoba menafsir dan menelaah kembali
konstruksi kekuasaan berikut jejaring yang dibentuknya melalui pembacaan secara
memadai atas teks sastra yang ada. Oleh karena itu dalam konteks kajiannya, New
Historicism sama halnya mencoba membuka selubung praksis kekuasaan yang berjalan
melalui teks sastra.

C. Tiga Pendekatan Teoritis Terhadap Sejarah


1. Pendekatan Rekonstruksionis
Pendekatan rekonstruksionis berasal dari tradisi penelitian dan penulisan
sejarah abad ke-19. Ada banyak istilah untuk tipe ini kadang-kadang disebut
“sejarah kontekstualis”, “sejarah naratif”, “sejarah peristiwa, dan yang paling
umum ialah “sejarah konvensional”. Sebagai disiplin ilmiah, sejarah diyakini
sebagai studi empirik. Tugas sejarawan ialah melakukan rekontruksi sejarah
secara obyektif “apa adanya”. Berdasarkan bukti-bukti empirik, yakni sisa-sisa
jejak peninggalan masa lampau, khususnya dokumen sebagai data konkrit
(sumber primer), sejarawan percaya bahwa masa silam telah berlalu itu dapat
disusun kembali berdasarkan bukti-bukti yang tersedia. Selanjutnya dalam seluruh
proses rekontruksi sejarah, mereka mampu membebaskan diri dari prasangka
ideologis dan subyektifitas.
2. Pendekatan Kontruksionis
Pendekatan kontruksionis berasal dari tradisi pemikiran struktralisme dalam
ilmu-ilmu sosial. Pendirian pokoknya ialah bahwa dunia nyata, termasuk alaam
manusia, pada dasarnya terdiri dari unsur-unsur yang berhubungan antara satu
dengan yang lain dalam menjalankan funginya.4
Asal mula stukturalisme dalam ilmu-ilmu sosial, termasuk dalam antropologi
berasal dari liguistik struktural Ferdinand de Saussure (1857-1913). Liguistik
Saussure menyatakan bahwa suara atau citra tertulis (naratif), dan makna
bahasanya hanya ada dan dapat dimengerti dalam relasinya dengan unsur-unsur
yang lain dalam kebudayaan tertentu.
Para penggagas sejarah stuktural dan pengikutnya percaya bahwa kenyataan
sejarah hanya dapat dipahami bila dikenali stukturnya. Demikian pula waktu
memiliki struktur, arah, atau irama yang teratur, seperti halnya struktur masyarat
secara keseluruhan. Stuktur terdiri darin jaringan sistem-sistem yang dapat
diidentifikasikasi melalui penyelidikan ilmiah.
Tugas sejarawan seperti halnya dengan pada umumnya,ialah untuk
menemukan struktur peristiwa dan maknanya. Dengan kata lain, tugas sejarawan
bukan merekontruksi masa lampau, melainkan menstrukturkan , memolakan
kenyataan sejarah dan menjelaskan hubungan-hubungan kausal seperti yang
dikerjakan teoritisi sosial. Sejarah konstruksionis, kadang-kadang disebut sejarah
structural, dan sedikit banyak mencerminkan pengaruh ilmu-ilmu sosial
positivistik terhadap sejarah .5

3. Pendekatan Dokonstuksionisme

Pendekaan dokonstuksionis adalah produk filsafat sejarah naratif. Sejarah


dokonstuksionisme kadang-kadang disebut New Historicisn, atau Sejarah
Postmodernist. Pengikut dokonstuksionis mengajukan semacam pemahaman
baru tentang sejarah. Sesuai dengan sifatnya, ia menolak pemahaman sejarah

4
Ibid Hal.120
5
Ibid Hal.121
yang dikenal selama ini. Kajian sejarah diubah menjadi ilmu baru, dimana
penulisan sejarah tidak sama artinya dengan menulis kebenaran tentang
kenyataan masa silam, sebab sejarah yang sebenarnya sudah mati, tidak ada lagi.
Ia sudah terkubur dalam masa silam. Jadi yang dikerjakan oleh sejarawan
hanyalah mengolah data sejarah dalam bentuk teks dan hasilnya juga dalam
bentuk teks. Teks adalah sejarah dan sejarah adalah teks. Dengan pengertian ini
dokonstuksionis berupauya merelokasi sejarah sebagai bagian dari karya-karya
sastra, sama halnya dengan memahami puisi, novel, dan drama sebagai
teks.Menurut pandangan ini, karya sejarah sama halnya dengan karya sastra,
berkaitan erat dengan institusi-institusi masyarakat dan peristiwa sejarah turut
mempengaruhi karya-karya mereka.6

D. Satu Masa Lampau, Banyak Sejarahnya


Gambar tentang realitas sejarah tidak mesti sama dengan realitas itu
sendiri.Pandangan ini sebenarnya sudah lama diterima oleh sejarawan professional mana
pun. Namun bagi dekontruksionis perbedaan ini menjadi dasar yang penting untuk
membongkar pradigma lama tentang epistemologi sejarah, baik positivist maupun
empiris. Lalu menggantikannya dengan yang baru, yaitu filsafat sejarah naratif dengan
produknya yang berupa sejarah dekontruksionis. Ini selanjutnya mencoba konsekuensi
terhadap perubahan pemahaman mereka tentang sifat pengetahuan sejarah umumnya dan
interpretasi sejarah khususnya dan dengan demikian juga terhadap pembentukan
kesadaran sejarah.7
Dengan diakuinya interpretasi-interpretasi sejarah yang berbeda-beda, maka bagi
mereka adalah sah ‘satu masa lampau banyak sejarahnya’. Interpretasi yang berbeda-beda
tentang kasus Civil War di Amerika Serikat pada tahun 1816 itu misalnya adalah bukti
bahwa sejarah tidak mungkin mencapai tarif empirik . Tetapi ini hanyalah satu aspek saja
dari mata rantai persoalan, yakni tentang sebab-akibat dalam sejarah. Dalam kasus
sejarah Indonesia kita dapat mengambil contoh “Peristiwa G. 30 S PKI” tahun 1945.

6
Ibid Hal.123
7
Ibid Hal.133
Dalam hal ini setidaknya ada empat sampai lima macam interpretasi sejarah terhadapnya.
Persoalan utama dari contoh diatas terletak pada penilaian tentang sebab-akibat sejarah.8

8
Ibid Hal.134
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Filsafat sejarah naratif sebagai suatu upaya untuk mengajukan suatu bentuk
pengetahuan baru tentang sejarah, dengan menghubungkan filsafat sejarah dan kritik
sastra. Sejarah seperti halnya sastra, juga meletakkan naratif sebagai komponen utama
dalam wacana tentang dunia. Tanpa naratif sejarah kehilangan cirri aslinya. Namun
konsep naratif sejarah yang dipahami sejarawan selama ini sangat berbeda dengan naratif
sastra.

Apakah aliran baru ini berhasil menggantikan kedudukan filsafat sejarah kritis?
jawabannya yaitu bahwa sejarah dekontruksionis tampaknya ikut mewarnai studi
sejarah sejak beberapa dekade belakangan ini, namun belum mampu menggeser arus
utama mainstream filsafat sejarah kritis yang dianut kebanyakan sejarawan profrsional
selama ini. Ada banyak keberatan terhadap aliran baru ini.

B. Saran

Dalam mempelajari filsafat sejarah, sebaiknya mempelajari bagaimana filsafat


tersebut mengalami perkembangan dimulai dari munculnya aliran-aliran baru dalam
pengetahuan mengenai sejarah.
DAFTAR PUSTAKA

Zed, Mestika. 2010. Pengantar Fisafat Sejarah. Padang: UNP Press Padang

Rochgiyanti dan Sriwati.2022. Filsafat Sejarah. Banjarmasin: Universitas Lembung


Mangkurat

Anda mungkin juga menyukai