Anda di halaman 1dari 114

DIKTAT MATA KULIAH

FILSAFAT MANUSIA

EMILIANUS JEHADUS, S.S.,M.PD


NIDN : 08-2105-6901

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA


FAKULKAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIKA SANTU PAULUS RUTENG
2020

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
BAB I
HAKIKAT MANUSIA : APA DAN SIAPAKAH MANUSIA?

1. Pengantar :
Manusia adalah satu-satunya mahkluk yang mampu bertanya. Manusia mempertanyakan
dirinya, keberadaannya, dan dunianya. Kendati masih bersifat sederhana, kegiatan ini sudah
diperlihatkan sejak dini. Sebagai contoh, seorang anak kecil ketika dia melihat sesuatu yang
baru, secara spontan dia bertanya. Melalui pertanyaan yang diajukan tersebut, ia ingin
mengetahui sesuatu. Kegiatan seperti ini berlangsung terus sepanjang hayat sang anak.
Dalam kehidupan sehari-hari secara umum pertanyaan dapat digolongkan dalam dua
tingkatan, yakni pertanyaan sederhana dan pertanyaan yang bersifat teoritis. Pertanyaan
pertama terkait dengan masalah-masalah praktis. Pertanyaan ini berhubungan dengan cara-cara
untuk mencapai sesuatu. Misalnya, bagaimana cara kita agar kita bisa berbahasa Inggris?
Bagaimana cara agar kita bisa mengendarai mobil? bagaimana caranya agar kita memiliki
pengetahuan yang banyak? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti ini selalu berhubungan
dengan hal-hal yang praktis. Agar kita bisa berbahasa Inggris, misalnya kita harus mengikuti
Agar kita memiliki pengetahuan yang banyak, kita harus tekun belajar dan membaca banyak
buku. Singkatnya, pertanyaan sederhana lebih banyak berhubungan dengan hal-hal yang
bersifat teknis dan sifatnya aplikatif.
Sedangkan pertanyaan yang bersifat teoritis, sering juga disebut pertanyaan mendasar.
Pertanyaan yang bersifat mendasar disebutkan pertanyaan filosofis. Pertanyaan ini berkaitan
atau bersentuhan dengan makna dan nilai hidup manusia. Pertanyaan-pertanyaan yang
termasuk dalam kategori atau tingkatan ini antara lain siapakah diri kita? kemana tujuan hidup?
apa yang paling berharga bagi kehidupan ini? apakah hidup kita bersifat abadi? Semua
pertanyaan ini bersifat mendasar karena menyentuh hal-hal yang hakiki tentang manusia.
Pertanyaan yang bersifat mendasar dijawab dengan permenungan yang mendalam.
Permenungan itu dilakukan dengan berbagai tahapan, yakni menyadari adanya masalah,
meragukan dan menguji secara rasional anggapan-anggapan yang terkait dengan pertanyaan,
memeriksa dan mempertimbangkan penyelesaian-penyelesaian yang telah diajukan mengenai
masalah, menarik hipotesa, menguji konsekuensi-konsekuensi dari hipotesa, akhirnya menarik
kesimpulan yang secara rasional dapat dipertanggungjawabkan (Bdk Louis O. Kattsoff,
Pengantar Filsafat, alih bahasa Soejono Soemargono, Penerbit Tiara Wacana, Yogyakarta,
2004, cetakan IX, hal 34 – 47).

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
2. Manusia sebagai sebuah persoalan
Pertanyaan mendasar yang perlu didalami disini adalah apa dan siapakah manusia itu?
Untuk menjawab pertanyaan ini dapat ditilik dari beberapa hal, yaitu :
a. Dari Pengetahuan Pra-Reflektif kepada pertanyaan filosofis tentang manusia
Dari satu pihak, semua orang tahu siapakah manusia itu. dari pihak lain, apa yang sehari-
hari tampaknya jelas, tiba-tiba jadi problematik dan tidak jelas, kalau kita mulai
mempertanyakannya dengan sungguh-sungguh. Contoh paling bagus dalam buku St.
Agustinus “Confessiones” yang berbicara soal waktu. Agustinus mengatakan bahwa “ saya
tahu tentang apa itu waktu sejauh orang tidak bertanya padaku, tapi ketika orang bertanya
padaku, saya bingung”.
Pengetahuan biasa sehari-hari yang bersifat spontan, di mana orang merasa bahwa ia tahu
sesuatu disebut pengetahuan pra-refleksif. Pengetahuan pra-refleksif bersifat implisit/tersirat
dan selalu diandaikan dalam tindakan, sikap dan tutur kata manusia. Dan filsafat selalu
bertolak dari pengetahuan pra-refleksif. Akan tetapi, filsafat tidak hanya berhenti di situ.
Filsafat berusaha memeriksa, mengupas, mentematisasi pengetahuan pra-refleksif untuk
mencapai kebenaran yang hakiki tentang sesuatu. Dengan kata lain, filsafat merupakan refleksi
kritis atas pengetahuan pra-refleksif atau filsafat adalah ikhtiar untuk membuat yang tersirat
(implisit) menjadi tersurat (eksplisit) dengan jelas. Kata ikhtiar digunakan karena usaha
manusia untuk mencapai eksistensi yang tertinggi belum tercapai, tetapi sekurang-kurangnya
filsafat yaitu cara atau sistem bertanya yang radikal secara terus-menerus tentang realitas.
b. Inti pertanyaan kita : Apa dan siapakah sebenarnya manusia itu?
Pertanyaan ini bukan semata monopoli para filsuf. Pertanyaan ini juga dibahas dalam ilmu
human, human science, dalam teologi dan seringkali juga muncul dalam karya-karya sastra.
Sebagai contoh, cerpen dari Pramoedya Ananta Toer : tentang seorang muda, pada suatu senja
menyaksikan hujan rintik-rintik di beranda depan rumahnya. Dalam alunan dan buaian derai
rintik hujan, ia bertanya tentang masa depan hidupnya yang semakin suram akibat kecelakaan
yang dialaminya sewaktu mengikuti perang gerilya. Ia telah bercita-cita membangun
Indonesianya yang tercinta. Namun hal ini rupanya tidak mungkin lagi. Ia menghadapi masa
depan yang penuh dengan misteri.
Ada perbedaan dan persamaan pertanyaan tentang manusia dari perspektif filsafat dan
sastra. Persamaannya adalah filsafat dan sastra kedua-duanya mempertanyakan tentang
manusia. Sedangkan perbedaaan keduanya adalah sebagai berikut :
 Sastra :

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
 Karya-karya sastra tidak bertanya tentang manusia secara tematis, teoritis dan
argumentasi rasional. Dalam karya sastra, pertanyaan tentang manusia itu muncul
dalam rajutan sebuah kisah dan situasi konkrit manusia seperti jatuh cinta,
kematian, dll
 Bahasa yang digunakan sastra bersifat simbolis dan metaforis yang dipenuhi
dengan asosiasi, kiasan dan lambang-lambang yang tidak seluruhnya dapat
direduksikan ke dalam argumentasi rasional yang jelas dan tepat.
 Jawaban yang diberikan sastra bersifat saran naratif, yaitu bagaimana para
tokohnya bertindak, bergaul dengan orang lain, menyelesaikan konflik,
menanggung penderitaan, dll. DKL, pertanyaan dan jawaban tentang manusia
dalam sastra masih cukup implisit, tersirat dalam rajutan kisah (identitas manusia
adalah identitas naratif)
 Filsafat :
 Filsafat meruncingkan secara radikal pertanyaan tentang manusia,
mengeksplisitasinya dalam bahasa yang rasional, jelas dan berusaha menjawab
sejauh mungkin melalui satu penalaran yang metodis dan sistematis. Dikatakan
filsafat berusaha menjawab sejauh mungkin karena pada prinsipnya, pertanyaan-
pertanyaan fundamental tentang manusia tidak pernah dapat dijawab secara tuntas
 Sehubungan dengan hal ini, filsuf Gabriel Marcel membuat distingsi antara
misteri dan problem. Menurut Gabriel Marcel, sebuah problem pada dasarnya
dapat diselesaikan secara tuntas (misalnya satu soal matematika atau fisika yang
sulit, mungkin tidak bisa dipecahkan oleh seorang ahli saat ini, tetapi mungkin
oleh seorang pakar lain di kemudian hari). Sedangkan misteri tidak dapat
diselesaikan secara tuntas.
 Problem, misalnya : Newton dengan teori gravitasi dan Einstein dengan teori
relativitas. Kritik terhadap dua teori ini dilakukan oleh Stephen Howking
 Misteri. Misteri merupakan sebuah pertanyaan abadi karena setiap jawaban
niscaya menghasilkan pertanyaan yang baru. Eksistensi manusia lebih merupakan
misteri daripada problem. Eksistensi itu lebih dalam dan kaya daripada apa yang
saya katakan dan apa yang saya jawab atau jelaskan secara rasional.
Pertanyaan kita tentang siapakah manusia itu? merupakan pertanyaan yang paling
mendasar dan paling utama dalam sejarah manusia. Segala pertanyaan yang menyangkut hal-
hal lain seperti tentang bumi, bulan, langit, udara, air dan atom, sel serta tentang Tuhan hanya
relevan jika dikaitkan dengan manusia. Bagi manusia, mengetahui siapa dirinya, dari mana

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
asal-usulnya, apa tujuan hidupnya, bagaimana ia menghayati hidup secara konsisten, memang
merupakan masalah yang berbeda-beda. Akan tetapi semua pertanyaan ini merupakan satu
kesatuan, yakni berkaitan dengan pemaknaan hidup serta nilai-nilai keberadaan manusia.
Selain pertanyaan tentang manusia bersifat mendasar, pertanyaan tentang siapakah
manusia itu? juga merupakan pertanyaan yang paling klasik. Sebelum Socrates (469-399 sM)
muncul di Yunani pertanyaan itu. Pada zaman itu sudah banyak pemikir berusaha untuk
menjawab pertanyaan tersebut. Hanya saja sumber jawaban tidak langsung dicarai pada
hakikat diri manusia itu sendiri, melainkan pada sesuatu yang berhubungan dengan diri
manusia. Dengan kata lain, pengertian tentang manusia dikaitkan dengan sesuatu yang ada di
luar. Dalam masyarakat Yunani, alam dipandang sangat dekat dengan manusia, sehingga untuk
menjelaskan hidup manusia, alam dijadikan sebagai titik pijak. Dengan demikian pendekatan
kosmologis digunakan untuk menjelaskan “siapakah manusia itu?”. Para filsuf pra-Sokratik
berpendapat bahwa manusia menyatakan dirinya ketika ia bertindak sesuai dengan aturan-
aturan alam. Di sini harmoni dengan alam merupakan poin penting yang memberi makna bagi
hidup manusia. Baru pada masa Socrates, Plato dan Aristoteles, jawaban atas pertanyaan
“siapakah manusia itu?” sungguh-sungguh dicari pada hakikat manusia itu sendiri.
Pada abad pertengahan, pertanyaan mendasar di atas juga menjadi pembicaraan bagi
sejumlah pemikir Kristiani. Namun pendekatan mereka tidak lagi berpusat pada alam, tetapi
berpusat pada agama. Para penulis Kristiani mengkaitkan nilai hidup manusia dengan hidup di
akhirat. Ajaran-ajaran mereka berfokus pada hubungan manusia dengan Sang Pencipta. Dalam
masa ini, para penulis Kristiani menyatakan bahwa manusia berperilaku secara benar dan
mencapai pemenuhan diri hanya jika dia hidup sesuai dengan aturan agama dan menjadikan
Allah sebagai model hidup satu-satunya. Manusia adalah makhluk yang tidak berdaya di
hadapan Sang Pencipta. Ia tidak bisa selamat tanpa menjalin hubungan yang baik dengan Sang
Penciptanya. Homo religious merupakan konsep sentral dari antropologi zaman ini
Dalam zaman modern, perspektif antroposentris dipakai untuk membicarakan manusia.
Sumber untuk menjawab pertanyaan Siapakah manusia itu? Dicari dalam diri manusia itu
sendiri. Dengan kata lain, nilai-nilai yang melekat pada manusia merupakan jawaban atas
pertanyaan mendasar tersebut. Filsuf-filsuf modern menegaskan bahwa manusia adalah
makhluk yang tertinggi. Ia menjadi ukuran bagi dirinya sendiri serta ukuran dari segala hal,
karena itu tidak ada hal yang lebih tinggi dan lebih luas dari manusia itu sendiri. Manusia
bernilai karena ia manusia.
Kendati sejak zaman dahulu pertanyaan “Siapakah manusia itu? sudah dimunculkan dan
berusaha dijawab oleh beberapa pemikir dengan berbagai pendekatan, namun pertanyaan ini

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
tetap relevan diangkat hingga zaman sekarang. Dengan kata lain, “siapakah manusia itu? akan
tetap menjadi pertanyaan sepanjang masa. Pertanyaan ini bukan sesuatu yang abstrak,
melainkan sesuatu yang konkret, karena menyangkut manusia yang nyata, bukan pula bersifat
generis belaka, melainkan bersifat personal, karena bersentuhan dengan nilai-nilai pribadi
manusia. Dan jawaban atas pertanyaan tersebut tidak pernah final atau tuntas. Karena itu,
pertanyaan itu akan muncul terus menerus sepanjang kehidupan manusia.
Munculnya pertanyaan itu secara terus menerus menandakan bahwa manusia adalah
sebuah persoalan. Semakin dia mendalami pengalamannya, semakin ia menyadari dirinya
sebagai problem. Oleh karena itu, beberapa filsuf eksistensialisme tidak salah ketika mereka
menyatakan bahwa manusia sebagai sebuah persoalan yang tidak akan pernah selesai. Kita
menyebut beberapa nama filsuf dalam aliran ini, antara lain Gabriel Marcel (1889-1973) dan
Martin Buber (1878-1965). Keduanya sama-sama mengakui bahwa manusia adalah sebuah
persoalan yang tidak akan pernah berujung.
Pengakuan kedua filsuf eksistensialis itu menunjukkan bahwa esensi manusia selalu
melahirkan hal-hal baru untuk terus- menerus dipertanyakan. Oleh karena itu, persoalan-
persoalan kemanusiaan tidak bisa didiamkan, selama ada pikiran yang bergerak untuk
mempertanyakan dan mengkajinya. Dalam sejarah, kita memang bisa menemukan jawaban-
jawaban tentang persoalan manusia, namun jawaban-jawaban itu tidak akan pernah menjadi
penjelasan akhir bagi masalah kemanusiaan.
Kalau dikaitkan dengan situasi modern, mencari jawaban atas pertanyaan “siapakah
manusia itu”? semakin mendesak, mengingat problem kemanusiaan yang selalu berkembang
dan bersifat kompleks. Perkembangan dan kompleksitas masalah humanisme tidak terlepas
dari hakikat manusia sebagai makhluk yang dinamis, misteri dan paradoksal. Manusia
disebut dinamis karena ia berkembang terus-menerus dengan kebebasannya. Ia disebut misteri
karena me mang ia tidak pernah bisa dipahami secara definitif. Ia bersifat paradoksal, karena
ketika ia semakin didalami, pengetahuan tentangnya semakin dangkal. Dengan kata lain,
semakin banyak kita mengupas hakikat manusia, semakin sedikit yang kita tahu tentangnya.
Karena itu, manusia adalah makhluk yang paling sulit dimengerti. Atas dasar itulah, maka
Pramoedya Ananta Toer berani menyatakan bahwa pengetahuan tentang manusia tidak akan
bakal bisa “kemput”.1
c. Apa itu Filsafat?
1
Pernyataan lengkap dari Pramoedya Ananta Toer adalah sebagai berikut : “Tak ada yang lebih sulit dapat
dipahami daripada manusia. Jangan anggap remeh si manusia, yang katanya begitu sederhana, biar penglihatanmu
setajam mata elang, pikiranmu setajam pisau cukur, perasaanmu lebih peka daripada dewa, pendengaranmu dapat
menangkap musik dan ratap tangis kehidupan, pengetahuanmu tentang manusia tak bakal bisa kemput” (Kemput
menurut KBBI berarti adv. seluruhnya (sampai tuntas) – Bdk. Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia, Lentera
Nusantara, Jakarta, 2005, hal. 7)

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
Kata “filsafat” berasal dari bahasa Yunani, yakni philein, artinya mencintai dan Sophia,
artinya kebijaksanaan atau kebenaran. Berdasarkan dua kata ini, maka filsafat secara harafiah
berarti cinta akan kebijaksanaan atau kebenaran. Kata sophia dalam pandangan filsafat lebih
dari sekedar “wisdom” dalam bahasa Inggris. Sophia mengandung banyak makna. Beberapa
filsuf Yunani seperti Herodotus (484-425 sM), Pythagoras (560-480 sM) dan Plato 9427-347
sM) menunjukkan keanekaan pengertian itu. Herodotus menggunakan kata philosophein dalam
upaya “menemukan sesuatu”. Dalam pengertian ini, filsafat diberi arti rasa cinta manusia untuk
mengetahui dan memuaskan aspek kognitifnya. Sementara Pythagoras mengkaitkan sophia
dengan kontemplasi. Menurut Pythagoras, Sophia adalah “pengetahuan hasil kontemplasi”.
Dengan pengertian itu, murid Plato ini ingin membedakan antara “pengetahuan hasil
kontemplasi” dengan “pengetahuan yang bersifat teknis dan instrumentalistik” yang dimiliki
oleh pelaku bisnis dan para atlet.
Plato lebih jauh menunjukkan hakikat filsafat sebagai hasil kontemplasi dalam lima
karakter berikut (Bdk. Andre Ata Ujan. 2008. Filsafat Hukum : Membangun Hukum, Membela
Keadilan, Yogyakarta : Kanisius, hal 15 – 16) :
Pertama, dapat bertahan terhadap diskusi kritis. Artinya, kegiatan utama filsafat adalah
mengkaji secara kritis seg ala hal. Dengan kajian itu diharapkan terjadi pertanggungjawaban
rasional. Dalam pengertian ini kata “kebijaksanaan” tidak lagi menjadi makna dari filsafat.
Kedua, menggunakan metode dialektis. Dengan metode ini , filsafat bergerak secara
bertahap, yakni mengkritik pandangan-pandangan yang ada, setelah itu membangun
pandangan baru yang didukung dengan argumen-argumen yang lebih kuat.
Ketiga, berusaha mencapai realitas yang terdalam. Filsafat menganalisa hal-hal terdalam
dari realitas/kenyataan. Ia tidak berhenti pada fakta empiris, melainkan berusaha untuk
menemukan kebenaran yang terdalam. Filsafat mencari pengetahuan yang sejati, serta hal yang
hakiki dari realitas. Atas dasar itu, filsafat bersifat metaempiris.
Keempat, terkait dengan butir ketiga ini, filsafat bertujuan untuk menangkap tujuan ideal
realitas. Bagi Plato, memahami kebenaran misalnya berarti juga memahami IDEA tentang
kebenaran yang dicari manusia. IDEA tentang kebenaran dilihat sebagai realitas tertinggi bagi
manusia. Menurut Plato, inilah yang dibela oleh para filsuf. Sokrates sendiri selama hidupnya
telah membuktikan hal ini. Ia berani mati karena ingin mempertahankan kebenaran yang
diyakininya harus dibela.
Kelima, mengetahui bagaimana harus hidup sebagai manusia. Dalam butir ini, filsafat
dikaitkan dengan suatu pengetahuan yang benar tentang cara hidup sebagai manusia. Artinya,
seorang filsuf mempertanggungjawabkan kedudukannya dengan mempertahankan prinsip-

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
prinsip yang ideal baginya sebagai seorang manusia. Dengan ini, filsafat dimaksudkan
membentuk kualitas pribadi, yakni menjadi manusia yang bermutu dalam kehidupan sehari-
hari.
Berdasarkan keenam karakteristik di atas, maka filsafat dapat didefinisikan dalam tiga hal.
Pertama, filsafat sebagai perenungan. Dalam pengertian ini, filsafat merupakan permenungan
terhadap hasil permenungan atau ide-ide yang ada. Perenungan ini ialah sejenis percakapan
yang dilakukan dengan diri sendiri atau dengan orang lain. Kedua, sebagai kritik. Dalam
pengertian ini, filsafat berusaha mengerti, membedakan dan mengambil keputusan. 2 Ketiga,
filsafat sebagai ilmu yang berusaha mencari kebenaran secara metodis, sistematis, rasional dan
radikal melampaui kebenaran dan pertanggungjawaban. Sebagai sebuah ilmu, filsafat selalu
berusaha untuk bertanya dan mempertanyakan. Tujuannya adalah untuk menemukan
kebenaran dan sebab musabab yang terdalam dari segala hal.
Sarana utama yang digunakan filsafat adalah akal budi. Karena itu, segala hal dikaji
menurut daya akal budi. Dengan kata lain, dengan rasio, filsafat berusaha untuk membongkar
dan menguji pandangan-pandangan atau asumsi-asumsi yang mendasari realitas. Tentu tidak
semua aktivitas rasional, yaitu aktivitas khas pada manusia, boleh disebut sebagai filsafat.
Namun apabila terdapat sejumlah aktivitas dan pemikiran rasional yang mempertanyakan
makna hidup, menguji kebenaran nilai dan secara kritis merefleksikan keyakinan-keyakinan
yang diajarkan dalam masyarakat, maka pastilah semua ini termasuk dalam kegiatan
berfilsafat.
Menurut Poespowardojo & Seran (2015: 9-10), filsafat memiliki tiga ciri, yakni (1)
sebagian besar dihubungkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang belum pernah bisa dijawab
secara memuaskan dengan satu cara yang sistematis; (2) pertanyaan-pertanyaan filsafat
cenderung mengenai apa yang dinamakan pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan
fenomen-fenomen dalam garis besar (framework question) daripada pertanyaan-pertanyaan
yang spesifik mengenai kenyataan-kenyataan; (3) pertanyaan-pertanyaan filsafat secara khusus
berhubungan dengan masalah-masalah konseptual, yakni pemahaman kita dan hubungan antara
pemahaman tentang realitas dan realitas itu sendiri.
d. Pengertian dan ruang lingkup Filsafat Manusia
Menurut Abidin (2009:3-4), filsafat manusia atau antropologi filsafat adalah bagian
integral dari sistem filsafat yang secara spesifik menyoroti hakikat atau esensi manusia.
Sebagai bagian dari sistem filsafat, secara metodis, filsafat manusia mempunyai kedudukan
2
Pengertian ini sejalan dengan pengertian kata “kritik” yang sebenarnya. Secara etimologis, kata “kritik”
berasal dari bahasa Yunani “kritikos”, yang berarti mampu membedakan dan mengambil keputusan. Dalam
bahasa Latin terdapat kata “criticus”, yang diturunkan dari kata kerja “cernere” yang berarti membedakan,
mengerti, dan memutuskan.

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
yang kurang lebih setara dengan cabang-cabang filsafat lainnya seperti etika, kosmologi,
epistemologi, metafisika, filsafat sosial, dan estetika. Tetapi secara ontologis (berdasarkan pada
obyek kajiannya), filsafat manusia mempunyai kedudukan yang relatif penting karena semua
cabang filsafat tersebut pada prinsipnya bermuara pada persoalan asasi mengenai esensi
manusia, yang tidak lain merupakan persoalan yang secara spesifik menjadi objek kajian
filsafat manusia.
Dibandingkan dengan ilmu-ilmu tentang manusia (human studies), filsafat manusia
mempunyai kedudukan ynag kurang lebih sejajar juga terutama kalau ditinjau dari objek
materialnya. Objek material filsafat manusia dan ilmu-ilmu tentang manusia (misalnya
psikologi dan antropologi) adalah gejala manusia. Baik filsafat manusia maupun ilmu-ilmu
tentang manusia, pada dasarnya bertujuan untuk menyelidiki, menginterpretasi, dan memahami
gejala-gejala atau ekspresi-ekspresi manusia. Ini berarti bahwa gejala atau ekspresi manusia,
baik merupakan objek kajian untuk filsafat manusia maupun untuk ilmu-ilmu tentang manusia.
Akan tetapi, jika ditinjau dari objek formal atau metodenya, kedua jenis ilmu ini memiliki
perbedaan yang sangat mendasar. Secara umum dapat dikatakan bahwa setiap cabang ilmu-
ilmu tentang manusia mendasarkan penyelidikannya pada gejala empiris, yang bersifat
objektif, dapat dilihat (visible) dan bisa diukur (measureable). Gejala itu kemudian diselidiki
dengan menggunakan metode yang bersifat observasional dan/atau eksperimental. Sebaliknya,
filsafat manusia tidak membatasi diri pada gejala empiris. Bentuk atau jenis gejala apapun
tentang manusia sejauh bisa dipikirkan, dan memungkinkan untuk dipikirkan secara rasional,
bisa menjadi bahan kajian filsafat manusia. Aspek-aspek, dimensi-dimensi, atau nilai-nilai
yang bersifat metafisis, spiritual, dan universal dari manusia, yang tidak bisa diobservasi dan
diukur melalui metode-metode keilmuan, bisa menjadi bahan kajian terpenting bagi filsafat
manusia. Aspek-aspek, dimensi-dimensi, atau nilai-nilai tersebut merupakan sesuatu yang
hendak dipikirkan, dipahami, dan diungkap maknanya oleh filsafat manusia.
Karena luas dan tidak terbatasnya gejala manusiawi yang diselidiki oleh filsafat manusia,
maka tidak mungkin ia menggunakan metode yang bersifat observasional dan/atau
eksperimental. Observasi dan eksperimentasi hanay mungkin dilakukan, kalau gejalanya bisa
diamati (empiris), bisa diukur (misalnya di dalam eksperimen-eksperimen di laboratorium).
Sedangkan aspek-aspek atau dimensi-dimensi metafisis, spiritual, dan universal hanya bisa
diselidiki dengan menggunakan metode yang lebih spesifik, misalnya melalui sintesis dan
refleksi. Sintesis dan refleksi bisa dilakukan sejauh gejalanya bisa dipikirkan. Dan karena apa
yang bisa dipikirkan jauh lebih luas daripada apa yang bisa diamati secara empiris, maka
pengetahuan atau informasi tentang gejala manusia di dalam filsafat manusia, pada akhirnya,

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
jauh lebih ekstensif (menyeluruh) dan intensif (mendalam) daripada informasi atau teori yang
didapatkan oleh ilmu-ilmu tentang manusia.
e. Filsafat Manusia dan Metodenya
Menurut Sihotang (2009 : 21-26), kajian tentang filsafat manusia dan metodenya adalah
sebagai berikut :
 Filsafat Manusia dan Ilmu-ilmu lain
Filsafat manusia adalah bagian integral dari sistem filsafat, yang secara spesifik
menyoroti hakikat atau esensi manusia. Karena itu, cara kerja filsafat manusia tidak
terlepas dari cara kerja filsafat pada umumnya. Dengan kata lain, metode filsafat
manusia tidak berbeda dengan metode filsafat pada umumnya. Namun sebelum
membicarakan metode filsafat manusia lebih lanjut tidak salah jika kita terlebih dahulu
membedakan filsafat manusia dengan ilmu-ilmu lain yang juga membicarakan tentang
manusia.
Sejak fenomenologi digagaskan oleh Edmund Husserl (1859-1938), ilmu pengetahuan
termasuk ilmu-ilmu sosial, mengarahkan diri pada data. Bagi ilmu pengetahuan, data
merupakan titik pijak untuk menggambarkan apa yang ingin dikaji, termasuk manusia.
Data itu harus dipisahkan dari interpretasi. Karena itu, dalam pandangan
fenomenologis, ilmu pengetahuan harus bisa membedakan antara interpretasi dan data.
Interpretasi dihindari sebisa mungkin karena interpretasi dianggap membiaskan data.
Melalui data, ilmu-ilmu sosial menjelaskan siapa manusia. Data dikumpulkan dan
dirangkai menjadi satu kesatuan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa data
merupakan sebuah penjelasan terhadap realitas hidup manusia. Karena itu, bagi ilmu-
ilmu sosial data sangat penting.
Akan tetapi orientasi penelusuran filsafat manusia tidak berhenti pada data. Filsafat
manusia justru beranjak lebih jauh dari fakta yang ada. Dengan kata lain, filsafat
manusia berusaha mencari makna tertinggi dari data. Pencarian ini bertujuan untuk
menemukan konsep-konsep mendasar tentang manusia. Jadi, langkah filsafat manusia
tidak berhenti pada pengalaman sehari-hari, tetapi justru melampaui pengalaman itu. Ia
mencari makna yang terdalam dari pengalaman keseharian itu.
Dari paparan ini, muncul pertanyaan berikut, apakah itu berarti filsafat tidak
memerlukan data? Pertama-tama harus dinyatakan bahwa filsafat manusia memerlukan
data, bahkan mengapresiasinya dan memanfaatkannya sebagai bahan dalam
permenunganya. Tetapi, bagi filsafat manusia data adalah instrument, bukan menjadi
tujuan untuk menemukan sebuah konsep universal. Data merupakan pendukung bagi

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
perumusan konsep itu. Artinya, data membantu untuk merumuskan pandangan
mendasar tentang realitas.
Tugas dan fungsi filsafat manusia adalah mempelajari manusia dalam kebulatan aslinya
serta menghadapinya sebagai sesuatu keseluruhan. Seperti ditegaskan oleh Viktor E.
Frankl (1905-1997), filsafat manusia membangun suatu konsep yang menyatukan
manusia dihadapan data dan penemuan terpencar-pencar yang disajikan oleh ilmu-ilmu
lain yang juga membicarakan manusia (Bdk. Louis Leahy. 2001. Siapakah Manusia?
Sintesa Filosofis tentang manusia, Yogyakarta : Kanisius, hal. 19). Dengan demikian,
pendekatan filsafat manusia tidak berhenti pada fenomena, melainkan berusaha untuk
menangkap noumena3 dibalik data. Secara lain dapat dikatakan filsafat manusia tidak
berhenti pada pendekatan empiris, tetapi sampai pada pendekatan metaempiris (Bdk
Zainal Abidin. 2009. Filsafat Manusia, Memahami Manusia Melalui Filsafat, Bandung
: PT Remaja Rosdakarya, hal. 4). Melihat hal ini, maka arah pendekatan filsafat
manusia bersifat vertical, karena ia maju dari satu gejala ke sebab terdalam yang
mendasari realitas hidup manusia. Tujuannya, sekali lagi, adalah merumuskan konsep
manusia yang universal.
 Metode Filsafat Manusia
Sebagai bagian dari filsafat, filsafat manusia memiliki cara kerja yang sama dengan
cara kerja filsafat pada umumnya, yakni berusaha menangkap makna di balik gejala
empiris itu. Karena itu, obyek penelurusan filsafat manusia adalah hal-hal yang ada
dibalik yang kelihatan, yang sangat menentukan eksistensi manusia. Filsafat manusia
memikirkan aspek-aspek mendasar yang bersifat metafisis dan spiritualitas tentang
manusia.
Bagaimana manusia bisa melakukan penelusuran terhadap hal-hal yang bersifat
metaempiris itu? Jawabannya adalah melalui refleksi. Refleksi merupakan kegiatan
khas filsafat manusia untuk menangkap noumene. Kata refleksi berasal dari kata
bahasa Latin “reflectere” yang artinya “melentukan kebelakang. Dalam arti ini, filsafat
manusia tampak sebagai pemikiran yang tidak tidak mau berhenti pada data, melainkan
3
Istilah “noumena” dan “fenomena” dimunculkan oleh Imanuel Kant. “Noumena” adalah sesuatu dalam
dirinya sendiri. “Noumena” merupakan entitas-entitas (jamak) yang menyebabkan adanya “fenomena-fenomena”.
Namun, “noumena” tidak akan pernah dapat kita ketahui. Menurut Kant, kehidupan ultim manusia terletak pada
pemahamannya yang mendasar tentang hakikat dirinya. Tetapi kemungkinan ultim ini hanya ditemukan dengan
bantuan rasio praktis, dengan permenungan atas tatanan etis dan kewajiban. Tatanan etis ini melebihi dunia
fenomenal. Tatanan etis justru berada dalam tahap “noumena”, yakni hal-hal yang tidak kelihatan. Sedangkan apa
yang menjadi citra atau bayangan dari “noumena” atau IDEA (dalam bahasa Plato) oleh Kant disebut sebagai
“fenomena”. Menurut Kant, segala sesuatu yang kita tangkap melalui indera kita baik itu perasaan, emosi,
gambaran lewat mata, suara dari telinga, rasa dari sentuhan lidah atau kulit, dan segala sesuatunya hanyalah
merupakan entitas “fenomena”. Waktu, jarak, ruang, benda dan segala sesuatu yang kita cerna hanyalah entitas
“fenomena”. (entitas – satuan yang berwujud, wujud – menurut KBBI)

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
menembusnya. Ia menyelami dimensi mendasar yang ada di balik data yang
menentukan realitas manusia.
Titik tolak refeksi filsafat manusia adalah pengalaman. Akan tetapi tidak semua
pengalaman dapat direfleksikan secara filosofis, melainkan hanya hal-hal yang
berhubungan dengan hakikat manusia. Oleh karena itu, refleksi filsafat manusia
menyangkut dua hal (Abidin, 2009 : 8), yaitu pertama: pertanyaan-pertanyaan tentang
esensi manusia dan alam. Pertanyaan-pertanyaan yang menyentuh ini adalah apakah
esensi kebenaran itu? Apakah esensi manusia itu? Apakah esensi alam semesta itu?
Kedua, proses pemahaman berdasarkan totalitas gejala dan kejadian manusia. Itu
berarti ketika kita mendalami manusia melalui filsafat, kita juga hendak memahami
esensi kita sendiri. Karena itu, pendalaman manusia secara filosofis memuat
pengalaman objektif sekaligus pengalaman subyektif. Dalam hal ini, filsafat manusia
menangkap manusia secara utuh dengan menyatupadukan pengalaman dan
pengetahuan ke dalam satu pandangan yang lengkap. Dengan kata lain, selain
merefleksikan, filsafat manusia melakukan sintesa untuk mendapatkan gambaran yang
menyeluruh serta rasional “siapakah manusia itu? Ia melihat manusia secara utuh tanpa
melupakan keragaman aspek-aspeknya. Sintesa pengalaman dan pengetahuan ini
menghasilkan pemahaman yang memadai tentang hakikat manusia.
Metode filsafat manusia untuk menangkap hakikat manusia secara utuh adalah metode
refleksif, analisa transendental serta sintesis. Filsafat manusia menggunakan beberapa
metode sebagai berikut : (Leo Kleden, SVD : Materi Ajar Filsafat Manusia, STFK
Ledalero – Maumre).
a. Metode Kritis
Metode ini meneliti paham-paham filsuf terdahulu serta meneliti system-sistem
filsafat dan teori yang sudah ada. Hal yang terutama diperhatikan dalam penelitian
ini ialah : pengandaian dasar (prinsip) konsistensi, koherensi dari system-sistem
filsafat dari teori-teori tersebut. Konsistensi berarti persesuaian dengan asas atau
prinsip yang dianut. Koherensi berarti persesuaian antara satu bagian dengan bagian
yang lain, sehingga merupakan satu keseluruhan yang utuh. Kalau ternyata suatu
teori tidak konsisten dan tidak tidak koheren, maka perlu dicari tahu di mana letak
kesalahannya. Entah kesalahannya terletak pada argumentasi atau konsep-
konsepnya bersifat kontradiktoris. Metode kristis ini berguna bagi pandangan filsuf,
namun metode ini tidak boleh dipakai secara terpisah karena jika dipakai secara

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
terpisah, maka orang tidak akan sampai kepada jawaban yang positif dan utuh
tentang manusia.
b. Metode analitika bahasa
Metode ini bertolak dari bahasa sehari-hari (ordinary language) dan menyelidiki
hubungan antara realitas, pikiran dan bahasa dengan maksud supaya manusia dapat
mengungkapkan pikirannya secara tepat dan jelas. Metode ini bermaksud
membersihkan bahasa dari kekaburan dan kerancuan arti. Ada filsuf yang begitu
konsekuen dengan metode ini sampai menjadikan bahasa dalam suatu struktur
matematis, sebagaimana yang dibuat Wittgenstein dalam Symbolic Logic.
Ada dua pengaruh dari struktur bahasa matematis dari metode ini. Pertama. Positif.
Metode ini dapat melatih kita untuk mengungkapkan pikiran secara tepat dan benar.
Kedua, negative. Metode ini mencita-citakan suatu bahasa yang ideal, di mana satu
kata hanya mempunyai satu arti yang persis. Tetapi bahasa ideal di mana satu kata
hanya mempunyai satu arti tidak mungkin diwujudkan karena, hal itu
mengandaikan kosa kata yang tidak terbatas. Hal ini tepat seperti apa yang
dikatakan oleh von Humboldt (Belanda) : language is the infinite use of finite
means’ – bahasa adalah penggunaan tak terbatas atas sarana yang terbatas. Di balik
cita-cita bahasa ideal yang serba logis dan persis sebenarnya tersembunyi tendensi
rasionalistik yang hanya mengutamakan rasio manusia. Padahal perasaan,
kerinduan, kecemasan, harapan, kegelisaan manusia lebih kuat diekspresikan bukan
dalam bahasa logis, melainkan dalam basa analogis dan simbolis.
Maka Wittggenstein merumuskan filsafat dalam bahasa yang serba logis matematis.
Witggenstein mengakui adanya “language games” (ragam bahasa). Bahasa puisi,
misalnya sangat kaya dengan lambing-lambang dan tidak pernah dapat direduksi ke
dalam bahasa logis dan matematis.
c. Metode fenomelogis
Metode ini dimulai oleh Edmund Husserl dalam semboyan “Zuruk zu den
sachenselbst” – kembali kepada kenyataan apa adanya. Husserl menganjurkan
‘supaya lihat dan amatilah segala sesuatu dengan teliti sekali’. Ia mengajak kita
untuk melihat dan mengamati sesuatu secara teliti. Hal ini penting bukan hanya
untuk ilmu pengetahuan dan filsafat, melainkan juga untuk hidup rohani seseorang.
Dua istilah awal yang perlu diketahui adalah fenomen dan intensionalitas. Ia
menggunakan istilah fenomen sebagai gejala, sesuatu yang tampak pada kesadaran

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
kita. Sedangkan intensionalitas artinya keterarahan, kesadaran manusia kepada
kenyataan konkret di luar dirinya.
Kalau kita mengamati benda-benda di sekitar kita, maka ada dua kemungkinan
yang kita miliki, yaitu : (1) menyelidiki benda itu sejauh ia berada di luar
kesadaranku (Das ding an sich); (2) menyelidiki benda itu sejauh ia menampakkan
diri dalam kesadaranku (das ding fur mich). Kemungkinan pertama, tidak mungkin
karena bagaimana mungkin saya menyelidiki dia kalau dia tidak menampakan diri
daam kesadaranku, kemungkin kedua adalah kemungkinan yang dapat diselidiki
karena sesuatu dapat diselidiki hanya kalau ia menampakkan diri dalam
kesadaranku. Contohnya, fenomena tentang air dan batu. Bagi seorang ahli kimia,
air adalah H2O (2 molekul Hidrogen dan Oksigen), tetapi bagi seseorang yang
tengah berjalan di padang gurun, air itu merupakan nyawanya, sumber hidupnya.
Air juga mempunyai wajah yang menakutkan seperti saat banjir atau peristiwa
tsunami. Bagi seorang penyair, air merupakan sumber ekspresi dan inspirasi, seperti
Chairil Anwar.
Contoh menjadi jelas bagi kita bahwa dalam pengalaman asli tiap benda
mempunyai arti yang sangat kaya. Fenomenologi berusaha menemukan kembali
kekayaan arti sesuatu daalm pengalaman asli manusia. Tetapi, fenomenologi juga
mau menjelaskan gejala dalam hubungan dengan kesadaranku, maka yang perlu
diteliti ialah bagaimana makna atau arti sesuatu yang muncul dalam kesadaranku
diperiksa. Untuk membuat pemeriksaan sebaik-baiknya, Husserl menawarkan
beberapa langkah metodis di mana hal-hal yang kurang penting ditempatkan dalam
kurung. Hal itu dilakukan supaya kita dapat menemukan yang paling pokok dan
inti. Seluruh prosedur metodis ini disebut dengan reduksi fenomelogis (reduksi :
proses berpikir dimana orang melepaskan hal-hal yang kurang penting untuk
dicapai).
d. Metode transcendental
Metode ini dirintis oleh Immanuel Kant dan kemudian diteruskan oleh Joseph
Marschal, dan dala teologi dipakai oleh teolog besar Karl Rahner. Metode ini
menyelidiki prasyarat-prasyarat a priori yang hadir secara implicit dalam proses
berpikir, tetapi senantiasa berperan aktif dalam aktivitas kira, biar pun tidak
dirumuskan secara jelas. Kant membedakan das ding an sich (hakekat atau
noumenon) dengan das ding fur mich (gejala/phaimenon). Benda pada dirinya
sendiri atau hakekat benda itu, tidak pernah engkau tahu. Engkau hanya tahu gejala

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
yang ditampilkan oleh benda itu. Bagaimanakah proses pengetahuan itu terjadi?
Menurut Kant, semua gejala merupakan rangsangan-rangsangan yang tidak teratur.
Rangsangan-rangsangan itu ditangkap oleh panca indra dan langsung disusun
menurut dua forma a priori panca indra, yaitu ruang dan waktu. Hasil godokan
panca indra diteruskan ke akal budi supaya diolah menjadi konsep, tetapi untuk
menjadi konsep, semua data panca indra disusun lagi menurut 12 forma a priori
akal budi.
e. Metode antropologi metafisik
Metode ini hampir mirip dengan metode transendental. Metode ini dapat dijabarkan
sebagai berikut :
 Dari banyak gejala atau fenomena, kita berusaha menangkap satu pemahaman
inti dari semua gejala tersebut. Inti ini kita akan menyebutnya dengan faktum
primum/fakta dasariah yang bersifat mutlak yang dieksplisitkan terus-menerus
 Faktum primum atau inti pokok tadi dikonfrontasikan dengan kenyataan konkrit
dan berusaha dieksplisitasi terus-menerus. Pada tahap ini metode fenomelogis
tidak diabaikan tetapi diintegrasikan
 Metode ini berusaha merumuskan bahasa ini dengan tepat, tentang faktum
primum yang sudah dikonfrontasikan dengan pengalaman sehari-hari. Disini
metode analitika bahasa diintegrasikan
 Metode kritis hanya dipakai secara terbatas ketika kita menyinggung perspektif
filsuf terlebih dahulu tentang manusia.
Dengan metode-metode ini, filsafat manusia mengantar kita sampai kepada inti yang
mendalam tentang manusia. Dan inilah keunggulan filsafat sebagaimana ditegaskan oleh
Ernest Cassier (1874-1945). Artinya, keunggulan filsafat justru terletak dalam upayanya untuk
menembus sesuatu yang hakiki dari manusia. Secara lebih tegas lagi Max Scheler (1874-1928)
menandaskan bahwa ini adalah keunggulan filsafat manusia dibandingkan dengan ilmu-ilmu
lain yang membahas manusia. Filsafat justru berperan utama dalam upaya mengungkap
persoalan mendasar tentang eksistensi manusia.
3. Karakteristik Filsafat Manusia (Zainal Abidin. 2009. Filsafat Manusia, Memahami
Manusia Melalui Filsafat. Bandung : PT Remaja Rosdakarya, hal. 10 – 15).
Setelah mengetahui secara garis besar penggunaan metode filsafat manusia yang bercorak
sintesis dan reflektif tersebut, kita perlu mengetahui karakteristik atau ciri-ciri filsafat manusia
secara umum, yakni bercirikan ekstensif, intensif, dan kritis.

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
Pertama, ciri ekstensi filsafat manusia dapat kita saksikan dari luasnya jangkauan atau
menyeluruhnya objek kajian yang digeluti oleh filsafat. Filsafat manusia adalah gambaran
menyeluruh atau synopsis tentang realitas manusia. Berbeda dengan ilmu-ilmu tentang
manusia, filsafat manusia tidak menyoroti aspek-aspek tertentu dari gejala dan kejadian
manusia secara terbatas. `Aspek-aspek seperti kerohanian dan kejasmanian (kejiwaan dan
ketubuhan), kebebasan dan determinisme, keilahian dan keduniawian, serta dimensi-dimensi
seperti sosialitas dan individualitas, kesejarahan dan kebudayaan, kebahasaan dan simbolisme
– semuanya itu ditempatkan dalam kesatuan gejala dan kejadian manusia, yang kemudian
disoroti secara integral oleh filsafat manusia. Itu berarti filsafat manusia mencakup segenap
aspek dan ekspresi manusia, dan lepas dari kontekstualitas ruang dan waktu (universal).
Karena filsafat manusia bersifat synopsis dan universal, mencakup semua aspek dan dimensi
yang terdapat dalam realitas manusia, maka tidak mungkin bisa mendeskripsikan semuanya itu
secara rinci dan detail.
Kedua, ciri lain Filsafat manusia adalah penjelesannya yang intensif (mendasar). Filsafat
adalah kegiatan intelektual yang hendak menggali inti, hakikat (esensi), akar, atau struktur
dasar, yang melandasi segenap kenyataan. Dalam hubungannya dengan filsafat manusia,
dapatlah kita katakana bahwa filsafat manusia hendak mencari inti, hakikat (esensi), akar, atau
struktur dasar, yang melandasi kenyataan manusia, baik yang tampak pada gejala kehidupan
sehari-hari (prailmiah) maupun yang terdapat di dalam data-data dan teori-teori ilmiah.
Ketiga, ciri filsafat manusia yang ketiga berhubungan dengan dua metode yang dipakainya
yakni sintesa dan refleksif, kritis. Dua ciri yang terdapat di dalam isi atau hasil filsafatnya
(ekstensif dan intensif). Tujuan filsafat manusia pada taraf akhir adalah memahami diri
manusia sendiri (pemahaman diri), maka hal apa saja – apakah itu berupa ilmu pengetahuan,
kebudayaan, atau ideologi – yang langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan
pemahaman diri manusia tidak luput dari kritik filsafat. Asumsi teoretis yang mendasari ilmu
pengetahuan, dan kecenderungan ilmu pengetahuan modern yang semakin fragmentaris dan
mengarah kepada dehumanisasi menjadi sasaran kritik filsafat manusia. Filsafat manusia akan
berusaha membongkar kekuatan-kekuatan yang ada dibalik kecenderungan-kecenderungan
yang bersifat manipulatif dan mengeksploitasi manusia. Filsafat manusia sangat peka pada
masalah-masalah yang berkenaan dengan pemahaman diri manusia. Selain itu, filsafat manusia
juga sangat peka terhadap upaya-upaya untuk mensimplifikasikan hidup manusia. Karena
filsafat manusia hendak memahami manusia secara ekstensif dan intensif, maka ia tidak puas
terhadap pengetahuan atau informasi yang bersifat sempit, dangkal dan simplistic tentang

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
manusia. Oleh karena itu, filsafat manusia tidak henti-hentinya mengecam kekuatan-kekuatan
atau ideology-ideologi yang ada dibekakang upaya simplifikasi itu.
4. Relevansi Filsafat Manusia bagi hidup manusia
Manusia bersifat dinamis, misteri dan paradoksal (makhluk multidimensional). Sifat
dinamis manusia terus mengalami perkembangan. Seiring dengan perkembangan itu, ia
berhadapan dengan berbagai masalah sekaligus ia menjadi sebuah masalah yang tidak akan
pernah berakhir. Semakin manusia didalami, semakin sedikit pengetahuan tentangnya. Akan
tetapi sifat dinamis dan paradoksal ini tidak boleh membuat manusia berhenti untuk
membicarakan manusia. Mempersoalkan manusia harus terus dilakukan agar hidup semakin
bermutu. Dalam hal ini filsafat manusia tetap relevan untuk dibicarakan.
Jika manusia itu sendiri merupakan sebauh pertanyaan abadi, apakah refleksi tentang
manusia itu sia-sia belaka? Tentu tidak. Karena pandangan tentang manusia mempunyai
dampak yang luas bagi hidup kita, baik bagi diri sendiri maupun bagi masyarakat.
Menurut Sihotang (2009:26-28), ada tiga (3) alasan untuk menunjukkan relevansi filsafat
manusia, yakni :
Pertama, dengan bertanya kita mewujudkan hakikat kemanusiaan. Aristoles (384-322 sM)
telah mendefinisikan manusia sebagai ungkapan homo est animal rationale, artinya manusia
adalah makhluk berpkir. Dalam ungkapan ini terlihat secara jelas baha berpikir adalah esensi
manusia. Kegiatan utama manusia sebagai makhluk berpikir adalah bertanya dan
mempertanyakan segala hal, termasuk dirinya. Karena itu, dengan mendalami hakikatnya,
manusia mengungkapkan jati dirinya.
Kedua, dengan mendalami manusia, kita mengenal manusia dengan lebih baik. Memang
filsafat manusia tidak menawarkan jawaban yang menurut ukuran pragmatis membawa
dampak langsung bagi kehidupan sehari-hari. Filsafat manusia hanya menghadirkan
pandangan-pandangan tentang dimensi-dimensi hakiki manusia. Akan tetapi pandangan-
pandangan mendasar ini sangat diperlukan untuk semakin mengenal diri lebih baik. Oleh
karena itu, tepatlah ungkapan Sokrates (469-399 sM) yang mengatakan, “kenalilah dirimu
sendiri”. Dengan demikian, tepat pula pepatah kuno yang berbunyi “tidak kenal, maka tidak
sayang”. Dua ungkapan ini mengisyaratkan makna yang sama, yakni perlunya mengenal
manusia secara memadai sebelum bertindak terhadapnya. Pengenalan merupakan dasar bagi
kita untuk semakin mencintai nilai-nilai kemanusiaan.
Ketiga, sebagai konsekuensi lebih lanjut dari butir kedua adalah filsafat manusia
mengantar kita untuk semakin bertanggungjawab terhadap kita dan manusia. Orang yang
mengenal diri dan sesamanya dengan baik tidak hanya mampu mencintai diri dan orang lain,

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
tetapi juga semakin mampu menunjukkan tanggungjawab secara nyata terhadapnya. Jadi cinta
akan nilai-nilai kemanusiaan tidak sekedar kata-kata, melainkan terungkap dalam perbuatan
nyata. Karena itulah Karl Marx (1818-1883), seperti dikutip oleh Erich Fromm (1900-1980)
sangat tepat ketika menyatakan bahwa cinta tidak hanya terletak pada kata-kata. Cinta hanya
bermakna dalam perbuatan nyata”. Dalam ungkapan ini tersirat pesan yang mendalam bahwa
setiap perjumpaan dengan orang lain tidak sekedar perjumpaan fisik, melainkan mengandung
tuntutanetis terhadap diri, terlebih-lebih terhadap orang lain. Pertemuan antar manusia memuat
tuntutan untuk peduli terhadap sesama, yang oleh Emmanuel Levinas (1905-1995) disebut
“etika tanggungjawab”.
Berdasarkan tiga alasan ini, maka jawaban atas pertanyaan apa dan siapakah manusia itu
mempunyai arti dan dampak yang penting. Maka, sekalipun pertanyaan tentang manusia lebih
merupakan misteri yang tak terselesaikan secara tuntas, namun kita toh tetap harus berusaha
terus-menerus untuk menjawabnya karena dari jawaban itulah kita hidup. Oleh karena itu, jika
Wittgenstein mengatakan : “where of one cannot speak there of one must be silent” – tentang
apa yang tak terkatakan lebih baik diam, maka W Luijpen (Belanda) pada gilirannya menjawab
: “where of one cannot speak there of one must speak for there of one lives and there of he
died” – tentang ada yang tak terkatakan, orang harus mengatakan sebab dari situlah ia hidup
dan dari situlah ia mati.
Mungkin dapat diajukan sebuah keberatan, bukankah orang-orang biasa dalam masyarakat
hidup tanpa mempertanyakan? Untuk menjawabnya kita balik bertanya, benarkah orang-orang
biasa dalam masyarakat hidup tanpa mempertanyakan? Pada situasi-situasi tertentu (sakit,
bencana, situasi batas), orang-orang biasa mempertanyakan hal itu, biarpun pertanyaan mereka
tidak dirumuskan secara radikal filosofis (Karl Jaspers – situasi batas – keterbatasan radikal).
Bandingkan penggalan sebuah puisi Chairil Anwar – “dipintumu aku mengetuk aku tak bisa
berpaling.
Tetapi andaikata mereka tak bisa bertanya, mereka toh mempunyai pandangan atau
keyakinan tertentu, entah berupa pandangan keagamaan, idelologi yang menjadi pegangan
hidup mereka. Pandangan ini diwariskan. Akan tetapi dalam pandangan filosofis, kita tak boleh
dengan mudah menerima atau mempercayai apa yang dikatakan orang lain. Kita harus
bertanya secara radikal dan perlahan-lahan harus mencari jawaban secara pribadi. Sebab
berpikir filosofis bukan menghafal salah satu system filsafat, melainkan terus-menerus
bertanya dan berusaha merumuskan sebuah jawaban. Meskipun demikian, kita toh perlu
belajar dari orang lain, sebab tidak pernah kita berpikir dari titik zero, melainkan dari sebuah
tradisi system filsafat yang kita pelajari. Namun apapun sistem filsafat yang kita pelajari tidak

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
boleh dijadikan dogma – jawaban final, sebaliknya mereka harus menjadi sumber inspirasi
untuk menjawab pertanyaan kita sendiri.
5. Manfaat mempelajari filsafat manusia
Filsafat manusia menyoroti gejala dan kejadian manusia secara sintesis dan reflektif,
memiliki ciri-ciri ekstensif, intensif dan kritis. Jika demikian, maka dengan mempelajari
filsafat manusia kita dibawa ke dalam suatu panorama pengetahuan yang luas, dalam dan
kritis, yang menggambarkan esensi manusia. Panorama pengetahuan seperti itu, paling tidak,
mempunyai manfaat ganda, yakni manfaat praktis dan teoretis. Abidin (2009:15-17)
mengemukakan beberapa manfaat mempelajari filsafat manusia, yaitu :
Pertama, secara praktis, filsafat manusia bukan saja berguna untuk mengetahui apa dan
siapakah manusia secara menyeluruh, melainkan juga untuk mengetahui siapakah
sesungguhnya diri kita di dalam pemahaman tentang manusia yang menyeluruh itu.
Pemahaman yang demikian pada gilirannya akan memudahkan kita dalam mengambil
keputusan-keputusan praktis atau dalam menjalankan berbagai aktivitas hidup sehari-hari;
dalam mengambil makna dan arti dari setiap peristiwa yang setiap saat kita jalani; dalam
menentukan arah dan tujuan hidup kita; yang selalu saja tidak gampang untuk kita tentukan
secara pasti.
Kedua, secara teoretis, filsafat manusia mampu memberikan kepada kita pemahaman yang
esensial tentang manusia, sehingga pada gilirannya, kita bisa meninjau secara kritis asumsi-
asumsi yang tersembunyi di balik teori-teori yang terdapat di dalam ilmu-ilmu tentang
manusia.
Manfaat lain mempelajari filsafat manusia adalah mencari dan menemukan jawaban
tentang apa dan siapakah manusia itu sesungguhnya. Akan tetapi, filsafat manusia tidak
menawarkan jawaban yang tuntas (final) dan seragam tentang manusia. Kita justru dihadapkan
pada kenyataan bahwa banyak filsuf memiliki pendapat yang berbeda tentang apa dan siapakah
manusia sebenarnya. Karena itu, ketika kita mempelajari filsafat manusia, kita sebenarnya
mendapat pengetahuan tentang kompleksitas manusia (ambivalensi manusia), yang tidak
pernah habis-habisnya dipertanyakan apa makna dan hakikatnya. Oleh karena kompleksitas
yang melekat pada manusia itu, maka beberapa filsuf menarik kesimpulan bahwa esensi
manusia pada prinsipnya adalah sebuah misteri, sebuah teka-teki yang barangkali tidak pernah
akan terungkap secara tuntas kapan dan oleh siapa pun. Tidak berlebihan kalau seorang filsuf
humanis seperti Scheler mengatakan bahwa “semakin berkembang ilmu-ilmu khusus yang
terjun mempelajari manusia tidak semakin menjernihkan konsepsi kita sendiri, sebaliknya
malah semakin mengaburkan dan membingungkannya, karena pada kenyataannya hakikat

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
manusianay sendiri tampaknya terus-menerus tersembunyi dan selalu luput dair penyelidikan
kita.
Sesungguhnya gejala dan kejadian manusia adalah kaya dan tidak terbatas.
Berkembangnya ilmu-ilmu tentang manusia, yang diikuti oleh munculnya spesialisasi-
spesialisasinya, menjadi bukti dari kekayaan manusia yang tidak terbatas itu. Kritik Scheler,
seperti yang kita kutip itu rupanya masih relevan hingga sekarang. Pemahaman tentang
manusia memang tidak akan pernah tuntas. Manusia, seperti yang diungkapkan oleh seorang
filsuf modern lainnya dari Perancis, Merleau Ponty, adalah manusia sebagai makhluk ambigu,
makhluk yang bermakna ganda. Setiap kali kita mengungkap satu aspek atau dimensi dari
gejala manusia, setiap kali itu pula kita luput melihat aspek-aspek atau dimensi-dimensi
lainnya dari gejala itu. Setiap kali kita berhasil menjawab sebuah pertanyaan tentang dimensi
manusia, setiap kali itu juga muncul pertanyaan-pertanyaan baru tentang dimensi-dimensi lain,
yang juga menuntut untuk segera kita cari jawabannya.

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
BAB II
MANUSIA SEBAGAI PERSONA
2.1 Pengantar
Persona atau pribadi merupakan salah satu dimensi mendasar manusia. Sebagai pribadi,
manusia mempunyai kemampuan untuk menentukan dirinya sendiri. Ia juga memiliki cara
berada yang khas dibandingkan dengan makhluk yang lain. Persoalannya, apa hakikat manusia
sebagai makhluk persona atau pribadi? Mana saja yang menjadi nilai-nilai kepersonalan
manusia? Apa yang termasuk dalam elemen-elemen persona manusia dalam kehidupan sehari-
hari? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini menjadi bahan kajian dalam bab ini. Namun,
sebelum membicarakan pengertian persona dan nilai-nilainya lebih lanjut, kita terlebih dahulu
mengkaji pengertian kata individu, karena kata ini juga digunakan pada manusia.
Bahan kajian pada bab ini dikelompokkan menjadi empat (4) bagian, yakni (1) perbedaan
arti kata individu bagi makluk infrahuman dan bagi manusia; (2) pengertian persona atau
pribadi; (3) nilai-nilai absolut pribadi; dan (4) elemen-elemen persona. Elemen-elemen ini
disajikan untuk menunjukkan bahwa manusia sebagia pribadi adalah nyata. Dengan kata lain,
pribadi manusia bukan hanya konsep abstrak, tetapi merupakan sesuatu yang kelihatan dalam
kehidupan sehari-hari.
2.2. Pengertian Individu (Abidin, 2009 : 143-152)
a) Makhluk Infrahuman
Setiap makhluk di dunia ini merupakan individualitas tersendiri. Syarat sebagai
individu ialah bahwa ia mempunyai identitas diri yang tidak terbagi sehingga ia bisa
dibedakan dari yang lain. Pengertian individu bagi makhluk infrahuman dikaitkan
dengan jenis. Kalau kita mengatakan bahwa kita memiliki tiga pohon pisang, itu
berarti kita memiliki tiga individu pisang. Begitu juga kalau kita mengatakan bahwa
kita memiliki tiga pohon kelapa, itu berarti ada tiga individu pohon kelapa. Kita juga
bisa membandingkan antara pohon pisang dengan pohon kelapa sebagai individu.
Apabila kita ingin membedakan individu pohon kelapa dan individu pohon pisang,
maka kita hanya bisa membandingkan kedunya dari segi jenis spesiesnya. Demikian
halnya apabila kita ingin membedakan anjing dengan ikan, perbedaan itu terlihat
dalam jenis spesiesnya. Namun spesies pohon pisang, pohon kelapa, anjing dan ikan
sebagai sebuah individu di mana-mana tetap sama dan seragam.
Selain menurut jenis spesies, kita juga bisa memberi nomor urut bagi makhluk
infrahuman. Kita bisa memberi nomor urut 1, 2 atau 3 dan seterusnya pada pohon
kelapa atau pohon pisang atau anjing atau ikan. Penomoran ini dimaksudkan untuk

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
memberikan identitas pada masing-masing jenis. Akan tetapi penomoran ini tidak
akan mengubah spesies masing-masing. Jenis spesies nomor urut 1 entah pada
kelapa, pisang atau ikan tetap sama dengan jenis spesies yang sama pada nomor urut
2 dan seterusnya. Penomoran ini tidak berkaitan dengan kualitas, melainkan hanya
berkaitan dengan kuantitas.
Dengan demikian bagi makhluk infrahuman perbedaan yang mungkin hanyalah
perbedaan kuantitatif, bukan perbedaan kualitatif. Dengan kata lain, kata “individu”
bagi makhluk infrahuman hanya terkait dengan perbedaan fisik antara satu jenis
dengan jenis yang lain, serta urut-urutan menurut ruang dan waktu tertentu.
Singkatnya, kata individu dalam konteks makhluk infrahuman dikaitkan dengan tiga
ciri, yakni bersifat kuantitatif, dan numeric serta uniform atau seragam.
b) Manusia
Pengertian individu bagi manusia tidak sekedar jenis atau spesies, tidak pula bersifat
seragam, apalagi bersifat numerik. Individu manusia terkait dengan keunikan.
Keunikan itu berakar pada dimensi kerohaniaan. Sebagai individu manusia memang
merupakan jenis yang sama. Namun nilainya tidak pada kesamaan jenis yang
dimilikinya. Individualitas manusia terkait dengan kualitas. Manusia bukan suatu
ulangan numerik dari jenis yang sama. Dia dikehendaki demi dirinya sendiri. Ia
menentukan diri dan khas bagi dirinya sendiri.
Karena itu, perbedaan antara seorang individu dan seorang individu yang lain pada
mausia tidak saja terlihat dalam aspek fisiknya seperti bentuk tubuh, warna
rambutnya, melainkan terlebih-lebih dalam keunikan yang serba baru yang ada
padanya. Namun dalam keunikan yang serba baru itu tidak terhapuskan
kejasmaniaanya. Artinya, dari segi materi manusia merupakan salah satu individu.
Akan tetapi dari segi kerohanian, ia adalah satu kesatuan. Dengan demikian, kata
individu bagi manusia menunjuk pada keutuhan, yakni keutuhan aspek kerohanian
dan aspek kejasmaniaan.4 Setiap orang memiliki perbedaan kualitatif dan intensif.
Aspek kerohanian individualitas manusia terkait dengan kemampuan untuk berdiri
sendiri. Memang makhluk infrahuman bisa berdiri sendiri. Akan tetapi, arti berdiri
sendiri bagi manusia berbeda dengan makhluk infrahuman, misalnya pohon atau
hewan. Menurut Melsen (1912-1991) dalam Sihotang (2009:33), arti berdiri sendiri
di sini bersifat analog, karena memiliki persamaan sekaligus perbedaan.
4
Hal ini seiring dengan pengertian harafiah dari kata individu itu sendiri. Kata individu berasal dari bahasa
Latin yang terdari dari dua kata, yakni in, artinya tidak, dan divider artinya membagi. Kata individu secara
harafiah berarti tidak terbagikan. Bagi manusia pengertian ini dikaitkan dengan kesatuan badan dan jiwa. Dengan
kata lain, individualitas mengandung arti keutuhan diri.

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
Persamaannya, baik manusia maupun makhluk infrahuman mempunyai
individualitas. Perbedaannya terletak pada derajat kesatuan. Derajat kesatuan
manusia adalah yang paling tinggi dibandingkan dengan makhluk infrahuman. Bagi
manusia, diri merupakan sumber kegiatan dan tindakan. Dengan demikian,
individualitas manusia ada pada derajat dan martabatnya. Jadi, bagi manusia
individu mengandung arti kesatuan dan keutuhan badan dan jiwa (Diyarkara. 1989.
Filsafat Manusia, Yogyakarta : Kanisius).
2.3. Persona
a) Arti Persona
Selain kata “kata individu”, kata “persona” juga dikenakan pada manusia. Di zaman
sekarang, kata ini bahkan lebih banyak digunakan daripada kata “individu”. Secara umum
persona adalah “role” atau peran. Secara etimologis, kata “persona” berasal dari kata bahasa
Latin yaitu persona yang artinya “topeng”. Kata persona juga bisa ditelusuri dari kata bahasa
Kuno Entruscan ‘phersu’ atau bahasa Yunani ‘prosopon” yang artinya adalah topeng. Konon
dalam tradisi seni drama masyarakat Yunani, para pemain sandiwara harus mengenakan topeng
ketika memainkan peran tokoh tertentu. Melalui topeng sang aktor/aktris menghadirkan watak
tokoh yang dimainkan. Dengan demikian, topeng sesungguhnya dipakai sebagai media untuk
menghadirkan pribadi seseorang di hadapan penonton.
Aktor atau aktris tidak hanya mampu mengenakan topeng dalam drama, melainkan ia
juga harus menghayati sifat-sifat utama dari tokoh yang diperankan. Untuk tuntutan ini seorang
pemain harus mempelajari lebih dahulu watak dari tokoh yang ingin dimainkan. Ia bahkan
harus bisa “menjadi” diri tokoh yang dilakonkan.5 Dalam perkembangan selanjutnya,
“persona” tidak lagi dimengerti sebagai sebuah topeng, melainkan kualitas-kualitas pribadi
yang ada dalam diri seseorang. Dengan demikian, arti “persona” tidak lagi menunjuk pada
topeng, melainkan pada makna yang ada dibaliknya, yakni jati diri.
Dalam kaidah psikologi, kata persona dikaitkan dengan penjelasan yang dibuat oleh Carl
Jung, yakni : “social face the individual presented to the world – a kind of mask, designed on
the hand to make a definite impression upon others, and on the other to conceal the true
nature of the individual” (wajah yang ditampilkan oleh seseorang kepada dunia, atau dalam
pengertian yang lebih kompleks dapat juga dikatan sebagai topeng yang dibuat oleh seseorang
tersebut untuk memberi kesan kepribadiaan tertentu pada sekitar, atua menyembunyikan sifat
5
Bdk. Film Persona. Film ini mengisahkan bagaimana pengaruh negatif topeng bagi kaum remaja di Jepang.
Digambarkan dalam film itu bahwa anak-anak muda menggunakan topeng untuk menutupi segala kenakalannya
serta masalah yang dialaminya dalam keluarga. Ketika penggunaan topeng dilarang di sekolah, para siswa yang
menggenakan topeng melakukan bunuh diri. Bunuh diri ini dilakukan karena eksistensi mereka tidak diberi ruang
gerak dan tidak diakui oleh pihak sekolah dan murid-murid yang lain. Film ini berakhir dengan keberhasilan
seoran gadis bernama Yukie untuk membongkar siapa pembuat topeng dan maksud penggunaannya.

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
asli orang tersebut dari dunia). Setiap orang di dunia ini hanya menampilkan sebagian dari
kepribadiaan aslinya, sebagian lain tersembunyi dalam topeng, sehingga mungkin tak ada
seorangpun yang tahu. Pembentukan persona dimulai sejak kecil, saat seorang anak mulai
belajar membentuk kepribadiaannya, dan belajar menjadi seseorang yang diterima oleh
sekitarnya, kemudiaan seseorang akan belajar untuk membuat suatu lambing identitas tertentu
yang sesuai dengan personanya
Dalam filsafat manusia pribadi dihubungkan dengan keunikan seseorang. Setiap orang
adalah unik. Ia unik karena ia tidak ada duanya. Kalau ini benar, pertanyaan berikut tentunya
bisa dimunculkan, bagaimana dengan anak yang kembar? Apakah keduanya sungguh-sungguh
berbeda? Jawabnya secara substansial adalah “ya”. Kendati secara fisik, wajah keduanya mirip
dan mereka sering menginginkan hal-hal yang sama, misanya pakaian berwarna dan bermodel
yang sama, namun masing-masing memiliki kepribadiaan yang unik. Mereka memiliki cara
yang berbeda dalam menjalani hidup. Karena itu, keduanya tidak pernah identik.
Dalam butir sebelumnya sudah sedikit disinggung bahwa sebagai individu, manusia
adalah makhluk yang utuh. Dengan pengertian seperti ini, maka individualitas seseorang tidak
terpisah dari persona. Dengan kata lain, persona dan individualitas mengandung makna yang
sama, yakni keutuhan. Manusia menjadi pribadi atau individu karena jiwa dan badannya
bersatu. Ia adalah jiwa yang berbadan atau badan yang berjiwa.
Seperti sudah dikatakan bahwa unsur rohani merupakan sumber keunikan manusia.
Dalam arti ini, kerohaniaan memiliki arti penting, karena unsur ini memperkaya setiap pribadi
sekaligus membuat setiap pribadi unik. Karena dimensi rohani inilah, maka setiap pribadi
mampu menentukan pilihan yang berbeda, memiliki watak yang berlainan, serta menghasilkan
ide-ide dan pikiran yang mengagumkan. Kerohanian ini pula membuat manusia mampu
berkreasi dan berprestasi serta menghasilkan hal-hal baru dan berbeda sama sekali. Jadi,
pribadi manusia berakar pada keunikannya. Dengan alasan ini, maka manusia tidak bisa
diurutkan dalam bentuk nomor-nomor seperti dilakukan pada makhluk infrahuman. Ia juga
tidak pernah boleh dikotak-kotakkan. Kendati manusia secara fisik merupakan spesies yang
sama, namun secara pribadi dan individual, ia tetap serba berbeda. Dan dimensi rohani menjadi
dasar dari keunikan itu.
Sebagai pribadi, hidup manusia bersifat dinamis. Sifat dinamis ini membuat manusia
berkembang terus-menerus. Hidup manusia tidak bersifat statis, melainkan berproses. Selain
dasar terhadap perkembangan, sifat dinamis itu membuat manusia berbeda satu sama lain.
Persona dan individualitas setiap orang adalah unik. Dengan karakter dinamis sebagai bagian
dari hakikat manusia, maka ada tuntutan untuk membiarkan proses perkembangan setiap

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
individu terjadi dan mengakui keunikan setiap pribadi. Dengan kata lain, menghentikan
perkembangan setiap pribadi dan menyangkal keunikan masing-masing pribadi adalah
tindakan yang bertentangan dengan hakikat manusia yang unik.
b) Tiga Pandangan
 Pandangan Ontologis
Untuk menambah cara pandang kita tentang pribadi baiklah kita menyinggung
berbagai pendekatan yang digunakan untuk menjelaskan personalitas manusia.
Baptista Mondin mengelompokkan tiga pendekatan yang pada umumnya dipakai
untuk tujuan tersebut, yakni pendekatan ontologisme, pendekatan psikologis, dan
pendekatan dialogis.
Dalam pandangan ontologis, tekanan manusia sebagai pribadi diletakkan pada
rasionalitas dan individualitas. Artinya, manusia dilihat sebagai makhluk yang
rasional dan bersifat individual. Dengan demikian, substansi manusia dipandang
dalam dua hal, yaitu pertama, manusia adalah makhluk yang berpikir (animal
rationale); dan kedua, manusia memiliki kodrat sebagai individu. Jadi, substansi
persona manusia ada pada akal budi dan individualitas.
Para filsuf seperti Anicius Severinus Manlius Boethius (480-524), dan Thomas
Aquinas (1225-1274) mengaitkan hakikat pribadi pada dua elemen di atas. Severinus
Boethius dengan jelas menunjukkan hakikat manusia itu dalam definisinya yang
bertuliskan, “persona est rationalis naturae individual substantia”. Dalam ungkapan
ini kepribadiaan manusia diletakkan pada kodratnya sebagai individu dan makhluk
berpikir.
Thomas Aquinas, seorang filsuf sekaligus teolog Kristiani pada abad pertengahan
mengembangkan pandangan Boethius. Bagi Thomas Aquinas, pribadi adalah manusia
yang nyata dan individual dalam segala keunikannya, serta yang tidak bisa terulang
dalam dirinya. Pribadi adalah totalitas dari eksistensi individu. Sementara kodrat
memiliki cakupan yang lebih sempit dari pribadi. Kodrat merupakan bagian dari
pribadi. Kualitas pribadi ditentukan oleh tindakan sebagai makhluk ciptaan. Lebih
lanjut, Thomas Aquinas menambahkan bahwa kualitas tindakan manusia sebagia
pribadi terletak dalam cara-cara hidup di tengah masyarakat. Itu berarti bagi filsuf dan
sekaligus teolog ini, pemaknaan pribadi berkaitan dengan bagaimana seorang
individu bertindak dalam kehidupan yang nyata. Jadi, aktualitasasi diri di tengah
komunitas merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hidup seorang pribadi. Cara

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
berada berkaitan dengan cara bertindak. Karena itu, menurut Thomas Aquinas, setiap
pribadi hanya mengungkapkan diri melalui perbuatan konkret (the act of being).
 Pandangan Psikologis
Pendekatan psikologis meletakkan pribadi manusia pada aspek psikis. Fokus
perhatian psikologi adalah emosi dan afeksi. Ini berbeda dengan pandangan
ontologis. Kalau pandangan ontologis meletakkan inti pribadi manusia pada esensi
dan eksistensinya, yakni kodrat rasio serta keunikan dan kebebasan, sedangkan
psikologi meletakkan pribadi manusia pada kejiwaan. Pintu bagi pemahaman
psikologis dibukakan oleh Rene Descartes (1596-1650). Ungkapan yang terkenal dari
tokoh ini adalah “cogito ergo sum”, artinya, saya berpikir, maka saya ada”. Dalam
ungkapan ini konsep persona diletakkan pada animus atau jiwa. Jaminan tentang
keberadaan manusia ada pada kejiwaannya.
Seorang pemikir yang sangat berpengaruh serta pemikirannya disebut revolusioner
dalam psikologi adalah Sigmund Freud (1856-1938). Melalui teori psikoanalisanya
6
Freud memetakan manusia dalam tiga bagian, yaitu superego, ego dan Id. Freud
menyatakan bahwa kepribadiaan manusia sangat tergantung pada alam bawah sadar
(Id), bukan pada kesadaran sebagaimana dikatakan oleh Aristoteles dan Rene
Descartes. Alam bawah sadar memiliki porsi yang jauh lebih besar dibandingkan
dengan alam sadar.
Dengan pendekatan psikoanalisanya, Freud mengafirmasikan bahwa untuk
memahami pribadi manusia secara memadai wilayah alam bawah sadar perlu
diperhatikan, karena alam ini turut membentuk perilaku manusia. Pengalaman masa
lalu dan naluri-naluri manusia merupakan perwujudan dari alam bahwa sadar itu.
Dengan itu, Freud ingin menegaskan bahwa manusia bukan hanya memiliki pikiran,
melainkan juga memiliki insting.
Dalam bidang filsafat, Freud memberikan paradigm baru bagi masyarakat modern
tentang keakuan. Paradigma keakuan yang baru itu dapat dirumuskan dengan kalimat
berikut, “Aku bukan hanya aku yang sadar, tetapi juga aku adalah aku yang dikuasai
alam bawah sadar.” Pemikiran Freud ini menambah pemahaman yang lebih kaya
tentang pribadi, yakni eksistensi manusia tidak saja berkaitan dengan kesadaran,
melainkan juga berkaitan dengan dunia alam bawah sadar. Gagasan Freud ini

6
Tiga struktur kepribadiaan manusia menurut Sigmund Freud dijelaskan sebagai berikut : (1) Id yang
berfungsi untuk menggerakkan seseorang untuk memuaskan kebutuhannya; (2) Ego berfungsi untuk
menjembatani antara keinginan id dg lingkungan yang realistis; (3)Super ego berfungsi untuk mengawasi
dan mengontrol tingkah laku seseorang agar sesuai dengan aturan dan nilai-nilai moral.

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
sebagaimana diakui oleh John W.M. Verhaar, memberikan empat gagasan berikut ini,
yakni Pertama, adanya dalam setiap orang suatu pusat kepribadiaan yang disebabkan
“aku” dan yang dianggap sebagai sesuatu yang positif untuk keseimbangan psikis;
Kedua, adanya lebih dari satu “instansi identitas”; dari instansi tersebut, hanya akulah
yang dianggap positif; Ketiga, identitas manusia dengan aku sebagai salah satu
instansi daripadanya berkembang menurut “genetic individual”, menurut hokum-
hukum perkembangan umum; Keempat, hubungan orang dengan sesama dapat
menyebabkan adanya kekacauan antara identitas dirinya sendiri dan identitas sesama,
sehingga dapat menimbulkan krisis identitas.
 Pandangan Dialogis
Pandangan dialogis mengkaitkan pribadi manusia dengan hubungan antara satu
manusia dengan manusia yang lain. Dalam pandangan ini, manusia adalah makhluk
relasional. Pribadi setiap manusia terbentuk melalui relasi, yakni relasi jiwa dan
badan, relasi individu dengan masyarakat, sebaliknya relasi masyarakat dengan
individu. Jadi, konsep “Aku berpusat pada relasi”.
Konsep dialogis dikembangkan oleh sejumlah pemikir. Kita menyebut dua nama di
sini, yakni Mounier (1758-1806) dan Martin Buber (1878-1965). Mounier
menyatakan bahwa pribadi manusia melekat dalam tiga hal berikut, yakni:
Pertama, ia dipanggil untuk melakukan sesuatu untuk dunianya. Artinya,
panggilan untuk berbuat sesuatu pada orang lain adalah bagian dari persona.
Panggilan untuk melakukan tindakan yang baik tidak bisa digantikan oleh siapapun.
Setiap orang justru diminta untuk itu.
Kedua, tindakan. Menjadi pribadi menuntut perbuatan yang tidak bisa ditunda-
tunda. Artinya, pribadi menjadi pribadi kalau dia bertindak. Ia harus merealisasikan
apa yang dipikirkannya. Jadi, menjadi pribadi tidak hanya berpikir, melainkan juga
melakukan apa yang dipikirkan. Sependapat dengan Thomas Aquinas, Mounier
menegaskan bahwa pribadi adalah the act of being. Orang yang tidak pernah
merealisasikan pikirannya bukanlah pribadi yang utuh. Ia adalah pribadi yang
terpecah. Tanpa tindakan, ia tidak bisa menunjukkan kualitas pribadinya. Jadi,
kualitas pribadi seseorang dilihat dari perbuatan sehari-hari.
Ketiga, komunikasi. Pribadi terkait dengan perjumpaan dengan yang lain.
Mounier melihat bahwa kebersamaan merupakan wadah pengungkapan eksistensi
pribadi. Dalam bingkai berpikir seperti ini, manusia hanya menjadi pribadi kalau ia
berhubungan dengan orang lain. Dengan demikian, komunikasi adalah bagian

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
eksistensi manusia. Dengan komunikasi, manusia mengungkapkan diri, kemauan dan
keunikannya. Tidak hanya itu. Menurut Mounier, seseorang dapat menyembuhkan
dirinya dengan komunikasi. Menurut pandangan dialogis, makna hidup ini terletak
pada usaha untuk membangun komunikasi yang baik. Orang yang mengasingkan diri
dari orang lain mengalami hidup yang tidak bermakna.
Martin Buber memperkaya pemahaman dialogis dengan meletakkan dasar
dalam relasi sosial. Ia membedakan dua bentuk relasi dalam dunia manusia, yakni
relasi “Aku-Engkau” dan relasi “Aku – Itu”. Dalam hubungan “Aku-Engkau”,
manusia membentuk dirinya secara personal sekaligus turut membentuk persona yang
lain. Ia menempatkan diri dihadapan orang lain sebagai pribadi, karena orang lain
adalah bagian dari dirinya. Sebaliknya, orang lain ditempatkan sebagai bagian dari
perwujudan pribadinya.
“Engkau” mengandung makna bahwa setiap orang memiliki posisi yang sama
dengan “Aku”. “Aku” menjadi “aku” karena “engkau”, dan “engkau” menjadi
“engkau” karena “aku”. Karena itulah, “aku” tidak mungkin menjadikan orang lain
sebagai obyek baginya. “Engkau” merupakan pengungkapan sapaan kehangatan
pada orang lain. Makna pribadi “aku” ada pada penghayatan kehadiran orang lain
dalam dirinya sebagai “engkau”. Selain itu, “aku” menunjukkan cinta pada “engkau”
karena “engkau” memiliki arti penting dalam membentuk pribadinya. “Aku” dan
“engkau” selalu hidup dalam dialog. Hubungan keduanya bersifat dua arah. Suatu
saat orang lain adalah menjadi “engkau” bagi “aku”. Pada saat yang lain “aku”
menjadi “engkau” bagi “aku” yang lain. Menurut Martin Buber, perspektif dialogis
ini memberikan makna bagi pribadi manusia. Dalam relasi ini, setiap pribadi
menghadirkan diri bagi orang lain, dan mengakui kehadiran orang lain dalam dirinya.
Karena itu, bagi Martin Buber, kehadiran memiliki nilai penting dalam membangun
relasi interpersonal.
Model relasi “aku-itu” adalah hubungan yang pada umumnya terjadi dengan
benda-benda. “Itu” adalah obyek-obyek. Dalam hubungan ini “Aku” dan “Itu” tidak
merupakan subjek yang sama. Yang menjadi subyek hanyalah “Aku”, sementara
“itu” adalah objek. “Itu”diperlakukan oleh “Aku” secara sewenang-wenang. Bagi
“Aku”, “itu” hanyalah objek. Dan “Itu” tidak pernah aktif bagi “Aku”. Yang aktif
hanyalah “Aku”. Karena itu, di sini tidak terjadi hubungan interpersonal. Buber
menegaskan bahwa relas ini juga berlangsung dalam hidup manusia.

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
Akan tetapi, menurut Martin Buber, yang membentuk pribadi manusia
sesungguhnya adalah relasi “Aku-Engkau”. Dikatakan demikian karena dalam model
hubungan seperti ini, keunikan setiap individu mendapat perhatian. Setiap orang
mengakui siapa saja yang dijumpainya sebagai subyek yang sama dengan dirinya. Ia
juga sadar bahwa hanya dengan subjek yang lain, ia menjadi “Aku”. Dalam relasi ini,
ada pengakuan keunikan setiap pribadi.
2.4. Nilai-Nilai Absolut Pribadi
Berdasarkan deskripsi di atas, dapat disimpulkan bahwa esensi manusia sebagai pribadi
menyangkut empat hal mendasar, yakni : kesadaran akan diri, bersifat otonom dan
transendental, serta komunikatif. Sebagai pribadi, manusia adalah makhluk yang sadar akan
diri sendiri. Kesadaran ini bersumber pada aspek kerohaniannya. Dengan kesadaran, manusia
mempertimbangkan kualitas tindakannya. Manusia tahu apa yang harus dilakukan dan apa
yang tidak boleh dilakukan. Dengan kesadaran pula, manusia mengenal siapa dirinya, dan
bagaimana ia berpartisipasi membangun dunianya. Selain itu, melalui kesadaran, ia mengakui
dirinya sebagai makhluk yang unik.
Selain kesadaran, manusia juga memiliki kemampuan untuk menentukan dirinya. Itu
berarti, sifat otonom menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pribadi manusia. Tidak seperti
makhluk infrahuman yang terdeterminasi oleh kondisi internalnya seperti naluri dan kondisi
eksternalnya seperti lingkungan, manusia adalah makhluk yang bebas. Kebebasan adalah
kondisi yang melekat di dalam diri manusia. Karena adanya ruang untuk bergerak, manusia
bisa secara maksimal mengembangkan dirinya dan berpartisipasi membangun dunianya
menurut keunikannya. Otonomi ini pula memungkinkan manusia mampu
mempertanggungjawabkan perbuatannya.7
Transendensi diri sebagai pribadi memampukan manusia untuk mengatasi ruang dan
waktu. Dan hakikat diri ini bersumber dari kesadaran. Sifat transendental merupakan modal
bagi manusia untuk mengatasi persoalan-persoalan hidup serta memungkinkannya masuk
dalam dunia abadi dan absolut, yakni kehidupan religius. Dengan demikina, transendensi diri
merupakan perwujudan dari partisipasi manusia dalam keilahian Sang Pencipta.
Melalui komunikasi, setiap pribadi sadar bahwa ia merupakan bagian dari orang lain. Ia
menyadari bahwa keberadaannya bermakna berkat kehadiran orang lain dan karena
berpartisipasi dalam pengakuan eksistensi yang lain. Ia sadar bahwa dalam berhubungan
dengan orang lain ada cinta di samping kebencian, ada persahabatan di sisi permusuhan, ada
kepedulian disamping keacuhan. Jadi, nilai-nilai absolute personalitas manusia terungkap
7
Franz Magnis Suseno, Etika Dasar : Masalah-masalah pokok Filsafat Moral, Kanisius, Yogyakarta,
1987, hal. 43.

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
dalam empat hal mendasar ini, yakni ia memiliki kesadaran diri, otonomi, memiliki
transendensi diri serta mampu berkomunikasi. Dengan kata lain, manusia sebagai pribadi
adalah a subsistent gifted with self-consciousness, communication and self-trancendence.
Semua ini merupakan nilai-nilai universal dan mutlak bagi manusia sebagai pribadi.
2.5. Elemen- Elemen Persona
Pribadi manusia bukan konsep yang abstrak. Ia adalah makhluk yang konkret. Sifat
konkret itu terungkap dalam berbagai elemen yang ada dalam dirinya. Ada enam elemen dasar
yang mengungkapkan pribadi seseorang .
Pertama, karakter. Setiap pribadi memiliki karakter yang unik. Kata “karakter” berasal
dari bahasa Yunani, yakni “character”, artinya “alat untuk memberi tanda atau cap” atau
“tanda atau capnya sendiri”. Dalam psikologi Belanda dan Jerman kata “karakter” sering
diartikan sebagai pribadi. Karakter merupakan kebiasaan hidup seseorang. Kebiasaan ini
melekat dalam diri seseorang dan tidak bisa diubah dengan mudah, yang oleh Martin Buber di
8
sebut karakter alamiah. Karakter alamiah terbentuk melalui lingkungan di mana seseorang
hidup. Pembentukan karakter ini dipengaruhi oleh berbagai macam factor eksternal seperti
latar belakang budaya dan pendidikan.
Dalam etika, pengertian karakter dihubungkan dengan perilaku yang baik. Orang yang
berwatak adalah orang yang berperilaku baik. Di sini ada itikad untuk melakukan hal-hal baik
yang dikehendaki. Orang yang memiliki niat baik, tetapi tidak mampu mewujudkan niat
baiknya, tidak disebut sebagai orang yang berkarakter. Sebaliknya, seseorang yang tidak
menunjukkan tindakan yang bernilai, seperti berkelakuan menyimpang, tidak dapat dikatakan
mempunyai karakter. Jadi, karakter, sebagaimana diakui oleh William McDougall 9 1822-
1905), merupakan penjelmaan kehidupan pribadi. Karakter memberikan kestabilan,
kemantapan, harmoni pada seseorang. Dengannya seseorang menjadi lebih mantap untuk
mencapai tujuan-tujuannya yang penting dan membangkitkan kemauan dan kekuatan dalam
mengambil keputusan.
Kedua, akal budi. Akal budi merupakan elemen persona yang paling hakiki.
Dibandingkan dengan makhluk lainnya, akal budi merupakan keistimewaan manusia.
Pengakuan ini pertama muncul di Yunani. Aristoteles adalah orang pertama menempatkan akal
budi sebagai wujud kodrat manusia melalui definisinya tentang manusia bertuliskan, homo est
animal rationale. Artinya, manusia adalah binatang yang berakal budi. Akal budi memiliki
multiperan. Akal budi merupakan dasar untuk melahirkan ide-ide. Dan itu tidak sama dalam
setiap orang. Artinya, akal budi membuat manusia memiliki pengertian yang berbeda tentang
8
Martin Buber membedakan karakter alamiah dan karakter etis. Karakter etis adalah sifat-sifat baik yang
bisa dididik dan dibentuk melalui proses pendidikan baik di rumah maupun di sekolah.

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
suatu hal. Apa yang diungkapkan pikiran melalui kata-kata adalah ungkapan pribadi yang
mendalam dari seseorang. Oleh karena itu, buah pikiran juga merupakan perwujudan dari
hakikat pribadi.
Pikiran hanya dapat dibicarakan dalam kerangka individu. Tidak pernah ada pikiran
bersama. Yang ada secara bersama adalah kesepakatan, yang merupakan buah dari pikiran
sejumlah individu. Implikasi logis dari pandangan ini ialah bahwa pendapat dan gagasan setiap
orang pasti berbeda. Justru karena itu keanekaragaman itu harus dihargai. Penghargaan ini
merupakan tanda pengakuan terhadap personalitas setiap individu.
Akal budi merupakan dasar bagi manusia untuk mencari kebenaran, kebenaran tentang
diri manusia dan kebenaran tentang alam melalui ilmu pengetahuan (Bdk. Adelbert Snijders.
Manusia dan Kebenaran, Kanisius, Yogyakarta, 2006, hal 1-2). Akal budi juga merupakan
modal untuk mengadakan refleksi dan penyelidikan. Sejak zaman pra-skolastik orang-orang
Yunani sangat menyadari hal ini, yang kemudian diakui sebagai cikal bakal lahirnya filsafat
dalam sejarah umat manusia. Francis Bacon (1909-1992) telah menempatkan akal budi sebagai
sarana utama untuk menguasai alam dengan penemuan-penemuan baru. Ungkapan terkenal
Bacon adalah knowledge is power. Alfred North Whitehead (1861-1947), menunjukkan akal
budi sebagai pemandu pengalaman dan kesadaran manusia. Menurut Whitehead, akal budi
berfungsi membawa manusia sampai pada kesadaran tentang kualitas hidup. Dengannya
manusia mampu menghayati hidup sebagai seni (the art of life).
Ketiga, kebebasan. Wacana mengenai kebebasan juga bersifat personal. Mengapa?
Karena yang dapat menentukan diri seseorang, bukan orang lain melainkan dirinya sendiri.
Dalam proses pengambilan keputusan, seseorang harus menentukan pilihan menurut suara
hatinya. Memang ia menerima masukan dari luar pada saat sebelum mengambil keputusan agar
keputusannya jernih. Tetapi peran orang lain hanyalah memberikan masukan padannya. Subjek
pengambil keputusan hanyalah dia sendiri. Itu berarti keputusan tetap hanya ada di tangannya.
Disinilah sifat personal kebebasan terlibat. John Dewey (1859-1952) bahkan mengatakan
bahwa kebebasan merupakan bagian dari martabat kemanusiaan yang tidak bisa dibungkam
oleh siapapun. Berdasarkan penegasan John Dewey ini pemaksaan pendapat, pandangan dan
ideology serta gagasan dalam bentuk apapun terhadap seseorang merupakan pemerkosaan dan
pelanggaran terhadap individualitas seseorang.
Keempat, nama. Kendati ada ungkapan yang mengatakan “apalah artinya sebuah nama”,
namun nama mempunyai makna bagi setiap pribadi. Setiap orang memiliki nama. Nama
merupakan perwujudan dan pengejawantahan sekaligus menjadi identitas pribadi seseorang.
Seseorang dipanggil dengan namanya. Menyebut nama tidak sekedar mengeluarkan bunyi

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
melalui huruf-huruf yang tersusun, melainkan mengandung makna pengakuan terhadap
eksistensi pemilik nama. Pengakuan ini bersifat utuh. Artinya, menyebut nama seseorang
dengan baik adalah mengakui eksistensi orang yang bersangkutan. Sebaliknya, melecehkan
nama seseorang sama dengan melecehkan pribadi pemilik nama.
Dalam berbagai kebudayaan, nama mengandung arti yang penting. Banyak suku
mempertahankan sebagian tradisi dengan salah satunya melalui nama-nama yang diberikan
pada anggota keluarganya. Dalam berbagai etnis, bahkan pemberian nama selalu disertai
dengan kegiatan ritual baik bersifat agamis maupun bersifat cultural. Tujuannya adalah untuk
keselamatan jiwa si pemilik nama. Tidak jarang pula ketika nama yang diberikan pada
seseorang tidak cocok, nama itu membawa malapetaka, misalnya pemilik nama sakit-sakitan.
Tidak hanya dalam konteks budaya nama memiliki arti penting, dalam konteks religius juga
terlihat betapa nama itu memiliki arti yang penting. Hubungan Sang Pencipta dengan manusia
dan sebaliknya terjadi dengan menyebut nama sebagaimana dialami musa.9
Kelima, suara hati. Suara hati merupakan bagian hakiki dari kepribadiaan seseorang.
Suatu hati ada dalam diri setiap orang. Karena itu, suara hati tidak bersifat massal. Hati nurani
selalu bersifat personal, karena ia melekat dengan pribadi seseorang. Tidak ada pihak luar yang
pernah bisa mengetahui kedalaman suara hati seseorang, selain orang yang bersangkutan.
Dalam masyarakat sering terdengar ungkapan “dalamnya laut dapat diduga, tapi dalamnya hati
siapa yang tahu”. Ungkapan ini menunjukkan bahwa suara hati merupakan urusan pribadi.
Pembentukan mutu suara hati terkait dengan latarbelakang, pendidikan dan budaya seseorang.
Semua ini menunjukkan bahwa suara hati bersifat personal.
Apa peranan suara hati? Suara hati merupakan pedoman hidup bagi setiap orang dalam
mengambil keputusan untuk menentukan perilaku hidupnya. Jika akal budi membuat seseorang
mampu berefleksi, mencari kebenaran dan menemukan sesuatu demi pengembangan hidup
manusia, maka suara hati berfungsi etis karena mengarahkan manusia untuk mampu
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk dalam tindakannya.
Selain itu, suara hati juga menjadi dasar bagi setiap pribadi dalam mengambil keputusan.
Karena itu, hati nurani merupakan lambing martabat dan hakikat kemanusiaan yang paling
dalam dari seorang individu. Sutan Takdir Alsyahbana bahkan mengaitkan suara hati itu

9
Ini terlihat dengan jelas dalam hubungan Musa dengan Tuhan. Kutipan perikop tentang ini adalah sebagai
berikut : (13) Lalu Musa berkata kepada Allah, “tetapi apabila aku mendapatkan orang Israel dan berkata keapda
mereka : Allah nenek moyangmu telah mengutus aku kepadamu dan mereka bertanya kepadaku, bagaimana
tentang namaNya? Apakah yang harus kujawab kepada mereka? (14) Firman Allah kepada Musa : AKU
ADALAH AKU”. Lagi firman-Nya, Beginilah kaukatakan kepada orang Israel itu “ AKULAH AKU telah
mengutus aku kepadamu” (15) Selanjutnya berfirmanlah Allah kepada Musa : “Beginilah kaukatakan kepada oran
Israel : Tuhan, Allah nenek moyangmu, Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakup telah mengutus aku
padamu: Itulah nama-Ku untuk selamanya dan itulah sebutan-Ku turun-temurun (Bdk Keluaran 3:13-15).

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
dengan harga diri. Ketika seseorang mengingkari bisikan hati nuraninya, saat itulah ia
mengingkari martabatnya sebagai manusia. Orang seperti ini telah kehilangan harga dirinya. Ia
adalah individu yang gagal sebagai makhluk yang bebas. Sebaliknya, jika seseorang selalu
mendasarkan seluruh gerakan hidupnya pada suara hati, saat itu pula ia memperlihatkan diri
hidup menurut martabat kemanusiaannya. Suara hati sejalan dengan kesadaran. Artinya,
kesadaran etis sejalan dengan proses kognitif dan volutif yang bertumbuh dalam diri pribadi.
Apabila persona bertindak sesadar-sadarnya, yaitu pada tingkat yang setinggi-tingginya dengan
rancangan hidup, ia sejalan dengan kata hatinya. Itu berarti dalam kata hati yang berasal dari
perasaan etis dan ikut merasa pada tingkat hati, perasaan-perasaan ini bersintesis dengan ego
volutif dan kognitif.
Keenam, perasaan. Perasaan merupakan ungkapan lubuk hati yang mendalam dari setiap
pribadi. Ketika seseorang merasa senang atau sedih dan mengungkapkan perasaan senang atau
sedihnya itu, ia mengungkapkan diri. Perasaan tidak dibicarakan secara kolektif, melainkan
dikaitkan dengan pribadi. Karena perasaan terkait dengan pribadi, maka menghargai perasaan
seseorang juga berarti menghargai harkat dan martabatnya sebagai manusia.
2.6. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa selain makhluk yang bertanya,
manusia juga adalah pribadi yang unik. Keunikan manusia bersumber dari aspek kerohanian,
yakni jiwanya. Jiwa membuat manusia serba baru. Ia menjadi makhluk dinamis karena
jiwanya. Karena ia adalah unik, maka manusia tidak boleh diurutkan dalam bentuk nomor atau
dikelompok-kelompokan seperti makhluk infrahuman. Makhluk infrahuman dapat diurutkan
dan dapat pula diklasifikasikan menurut jenis dan spesiesnya untuk memberikan identitas pada
masing-masing. Pada manusia hal ini tidak bisa dilakukan.
Sebagai pribadi manusia mempunyai kemampuan untuk menentukan diri. Ia juga
memberi makna bagi kehidupannya dengan mempertimbangkan segala tindakannya. Tidak
hanya mempertimbangkan, melainkan ia juga menyatakan apa yang dipertimbangkan. Karena
itu, manusia bukan saja the rational being, melainkan juga the act of being. Artinya, kualitas
manusia sebagai pribadi diungkapkan melalui perbuatan nyata sehari-hari.
Sebagai pribadi manusia adalah makhluk yang transendental, otonom, bebas dan
relasional. Dengan sifat transendentalnya, manusia mampu mengatasi diri, sekaligus
mengambil bagian dalam sifat keilahian. Hidup manusia tertuju pada sesuatu yang mengatasi
dirinya. Dengan sifat otonomnya, manusia mampu memilih mana yang baik dan mana yang
buruk, serta mengambil keputusan terhadap tindakannya. Dengan sifat relasionalnya, manusia
diharuskan untuk berhubungan dengan sesama serta dunianya. Sebagai pribadi manusia bukan

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
konsep yang abstrak. Ia adalah makhluk yang konkret. Realitas manusia sebagai pribadi
terungkap dalam elemen-elemen seperti karakter, akal budi, suara hati, nama dan perasaan
serta kebebasan. Elemen-elemen ini terkait dengan pribadi. Karena itulah, semua elemen ini
bersifat personal. Menghargai elemen-elemen ini berarti menghargai nilai-nilai kepersonalan
manusia.

BAB III
MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK YANG BERJIWA – RAGA
(JIWA DAN BADAN)

Pengantar
Badan dan jiwa merupakan satu kesatuan yang membentuk pribadi manusia. Manusia
tidak disebut sebagai manusia kalau ia tidak memiliki jiwa. Demikian juga ia tidak akan
disebut sebagai manusia kalau ia tidak memiliki badan. Badan bukan manusia jikalau jiwa
tidak ada untuk menjiwainya, dan sebaliknya jiwapun bukan manusia jikalau tanpa badan.
Badan dan jiwa adalah satu kesatuan. Kesatuan keduanya menentukan keutuhan pribadi
manusia.

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
Namun yang menjadi pertanyaan, bagimana kita harus mengerti badan dan jiwa?
Bagaimana peranan masing-masing dalam membentuk eksistensi manusia? Dua pertanyaan ini
menjadi titik berangkat kajian dalam bab ini. Materi kajian dalam bab ini di bagi menjadi lima
(5) bagian. Bagian pertama berisikan uraian mengenai dua aliran yang melihat kedudukan
badan dan jiwa secara bertolak belakang, yakni monisme dan dualisme. Bagian kedua berisikan
tanggapan sekilas terhadap kedua aliran tersebut. Bagian ketiga membahas tentang pengertian
dan hakikat badan, dilanjutkan dengan uraian tentang pengertian dan hakikat jiwa manusia.
Bagian kelima merupakan kesimpulan untuk menutup bab ini.
1. Aliran-Aliran
(a) Monisme
Monisme adalah aliran filsafat yang menolak pandangan bahwa badan dan jiwa
merupakan dua unsur yang terpisah. Aliran ini menyatakan bahwa badan dan jiwa merupakan
satu substansi. Keduanya merupakan satu kesatuan yang membentuk kepribadiaan manusia. 10
11
Aliran ini memiliki tiga (3) bentuk yakni materialisme, teori identitas, dan idealisme.
Materialisme merupakan teori tertua yang membicarakan hubungan badan dan jiwa. Dalam
memberikan argumentasinya, aliran ini menggunakan beberapa varian. Kendati demikian ada
satu prinsip utama yang ditemukan dalam ada. Aliran ini sering juga disebut fisikalisme. Bagi
penganut aliran ini yang terdalam dan paling awal serta satu-satunya yang nyata adalah materi.
Materi bereksistensi karena ia memiliki kekuatan sendiri. Artinya, materi bisa ada tanpa
dukungan atau gerakan dari unsur non materi. Materi merupakan sumber serta keterangan
terdalam bagi bereksistensinya segala sesuatu. Segala hal tergantung pada materi.
Penganut materialisme mengakui bahwa manusia juga bersumber dari materi semata.
Karena bersumber dari materi, maka kemungkinan –kemungkinan yang dimiliki manusia tidak
melebihi kemungkinan–kemungkinan kombinasi-kombinasi materi. Manusia tidak pernah
melampaui potensi-potensi kejasmaniannya.12 Bagi penganut aliran ini, jiwa tidak memiliki
eksistensi sendiri. Jiwa bersumber dari materi. Ia merupakan buah terakhir dan merupakan
hasil evolusi tertinggi dari materi. Dengan pengakuan seperti ini, eksistensi jiwa tidak bersifat
ontologisme bagi kaum fisikalisme, melainkan bersifat kronologis.13 Karena materi sebagai

10
Aristoteles membedakan antara substansi dengan aksiden. Menurut Aristoteles, substansi adalah
segala hal yang memiliki sifat tetap, stabil, dan otonom di dalam dirinya sendiri. Pada dirinya sendiri
substansi ada sebagai subyek. Substansi ada pertama-tama dalam setiap makna definisi, sementara aksiden
adalah hal-hal yang tidak ada dalam diri sendiri, tetapi di dalam yang lain. Aksiden tidak memiliki
kemampuan untuk berada dari diri sendiri, melainkan ia ada karena yang lain dan tertuju pada yang lain.
11
Bdk. P. Hardono Adi, Jati Diri Manusia : Berdasarkan Filsafat Organisme Whitehead, Kanisius,
Yogyakarta, 1996, hal. 70-73
12
Bdk. PA Van de Weij, Filsuf-filsuf Besar Tentang Manusia, Gramedia, Jakarta, 1991, hal, 1033
13
Pernyataan ini mau menegaskan bahwa jiwa merupakan hasil dari proses hubungan sebab akibat,
bukan sesuatu yang ada dengan sendirinya. Jiwa adalah hasil dari materi.

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
penentu, maka di mata materialisme segala aktivitas dan ungkapan serta kejadian yang
melibatkan mental tidak lain merupakan keadaan otak, dan tidak ada alasan lain untuk berpikir
secara filosofis bahwa hal itu tidak demikian. Reduksi humanitas pada dimensi fisik memiliki
implikasi negatif terhadap penilaian atas aktivitas mental. Dalam pengakuan seperti ini
aktivitas mental tidak dianggap sebagai aktivitas yang mendasar.14
Teori identitas menekankan sesuatu yang berbeda dengan apa yang dinyatakan oleh
penganut materialisme, bahkan mengakui apa yang disangkal oleh materialisme, yakni
aktivitas mental. Bagi penganut aliran ini, pernyataan mental merupakan identitas manusia. Ini
membedakan manusia dengan makhluk yang lain. J.J Smart dan H. Feigl merupakan dua
penganut teori identitas. Keduanya membedakan manusia secara filosofis menurut arti dan
referensi, atau konotasi dan denotasi. Mereka mengakui bahwa pernyataan mental dan fisik
bukan dua hal yang berbeda secara mendasar. Kedua pernyataan itu hanya berbeda dalam arti
atau konotasi, tetapi secara empiris menunjuk kepada gejala atau objek yang sama. Dengan
demikian, bagi penganut teori identitas, letak perbedaan jiwa dan badan hanya pada arti, bukan
pada referensi. Dengan kata lain, badan dan jiwa merupakan dua elemen yang sama.
Cabang monisme yang lain adalah idealisme. Kalau penganut materialisme meletakkan
dasar segala hal pada materi, maka kaum idealis meletakkkannya pada sesuatu di luar materi.
Dengan kata lain, idealisme melihat sesuatu yang bertolak belakang dengan apa yang diakui
oleh materialisme sebagai hal yang hakiki dalam diri manusia. Menurut aliran ini, ada hal-hal
serta gejala yang tidak dapat diterangkan semata berdasarkan materi, seperti pengalaman, nilai
dan makna. Semua ini tidak memiliki arti apabila dikaitkan dengan materi. Secara positif dapat
dikatakan, pengalaman, nilai dan makna hanya berarti kalau dihubungkan dengan sesuatu yang
immaterial. Dan sesuatu yang immaterial itu adalah jiwa.
Penganut idealisme lebih lanjut menegaskan bahwa untuk bisa memahami realitas dan
kejadian-kejadian spasial dan temporal15 sampai pada hakikat yang terdalam, kita tidak boleh
menyingkirkan dimensi spiritual, karena dimensi ini memiliki peran yang sangat mendasar dan
sangat luas bagi kehidupan manusia. Dimensi spiritual mempersatukan masa lampau, masa
kini dan masa yang akan datang. Selain itu, dimensi spiritual mempersatukan fakta dan nilai,
dan apa yang sungguh ada dan yang mungkin ada. Setiap hal yang bersifat fisik senantiasa
termasuk dalam salah satu segi pasangan ini dan tidak sekaligus termasuk dalam keduanya.
Hal-hal semacam ini senantiasa merupakan fakta pada masa kini. Jadi, alam, ruang dan waktu
14
Tan Malaka menunjukkan bahwa aliran materialism ini telah menghantui manusia modern melalui
semboyan-semboyannya. Semboyan yang paling umum dalam dunia modern menurut Tan Malaka adalah
“makan sampai muntah, minum sampai mabuk, kawin dan cerai sesukanya saja” (Bdk, Tan Malaka,
Madilog, LPPM Tan Malaka, Jakarta, 2008, hal. 38).
15
Yang dimaksudkan dengan kejadian spasial dan temporal adalah peristiwa-peristiwa yang terjadi
dalam ruang dan waktu tertentu

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
yang merupakan tempat menyatakan diri manusia hanya bermakna karena jiwa hadir di
dalamnya.
Dalam sejarah filsafat modern Rene Descartes (1596-1650) dikenal sebagai peletak dasar
bagi idealisme melalui ungkapannya “cogito ergo sum” (saya berpikir, maka saya ada). Dalam
ungkapan ini, Descartes secara jelas mengkaitkan jiwa dengan kegiatan berpikir. Kegiatan
berpikir merupakan wujud eksistensi sekaligus ciri utama manusia yang hidup. Jadi, dasar
eksistensi manusia bagi Descartes adalah bukan pada aktivitas kejasmanian, melainkan pada
aktivitas jiwa, yaitu berpikir.
(b) Dualisme : Pandangan yang mempertentangkan dua aspek manusia – jiwa dan
badan
Dualisme adalah aliran yang mengajarkan pandangan yang bertolak belakang dengan
monisme. Kalau monisme menyangkal badan dan jiwa sebagai dua substansi yang terpisah dan
masih perlu dikaitkan satu dengan yang lain, dualisme justru mengakuinya. Aliran ini
mengafirmasi dualitas. Artinya, badan dan jiwa merupakan dua elemen yang berbeda dan
terpisah. Dan perbedaan keduanya ada dalam pengertian dan objek.
Dualisme pada umumnya memiliki empat cabang, yakni interaksionisme,
okkasionalisme, paralelisme, dan epifenomenalisme. Interaksionisme memfokuskan diri pada
hubungan timbal balik antara badan dan jiwa. Aliran ini mengakui bahwa peristiwa-peristiwa
mental kadang-kadang menyebabkan peristiwa-peristiwa badani, sebaliknya, peristiwa-
peristiwa badaniah kadang-kadang menyebabkan peristiwa mental. Keduanya saling
berhubungan. Misalnya, jika seorang gelisah, mukanya akan terlihat pucat. Dalam contoh ini,
menurut interaksionisme, kepucatan bersumber dari kegelisahan. Kegelisahan merupakan
sebab dari kepucatan. Demikian halnya jika seseorang mengalami sakit gigi. Pengalaman yang
tidak menyenangkan ini akan menurunkan semgant bekerja dari orang yang bersangkutan.
Kendati peristiwa badan dan peristiwa mental saling terkait dan saling mempengaruhi, namun
dalam pandangan interaksional badan dan jiwa tetap merupakan dua entitas yang terpisah.
Okkasionalisme16adalah cabang dualisme yang lain. Penganut aliran ini memasukkan
dimensi ilahi dalam membicarakan hubungan badan dan jiwa. Arnold Geulincx (1624-1669)
dan Nicolas de Mallebranche (1638-1715) adalah dua orang yang termasuk dalam penganut

16
Menurut etimologinya, okkasionalisme berasal dari kata Bahasa Inggris, yakni occasion, artinya
kesempatan. Aliran ini mempertahankan dengan tegas bahwa jiwa tidak dapat mempengaruhi tubuh
sebaliknya tubuh tidak dapat mempengaruhi jiwa. Tetapi pada kesempatan terjadinya perubahan dalam
tubuh, Allah menyebabkan perubahan yang sesuai dengannya dalam jiwa dan sebaliknya juga. Misalnya,
pada kesempatan tangan seseorang terbakar api, maka Allah mengakibatkan rasa sakit dalam jiwa. Dan
sebaliknya, jika seseorang mengulurkan tangan, maka Allah menyebabkan tangan betul-betul diulurkan.
Hanya Allah merupakan penyebab dalam arti yang sebenarnya “Causa Prima” (Bdk K. Bertens, Ringkasan
Sejarah Filsafat, Kanisius, 1992, hal. 47).

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
aliran ini. Keduanya meyakini bahwa hubungan antara peristiwa mental dan peristiwa fisik
bisa terjadi hanya karena campur tangan Allah. Tanpa intervensi itu, relasi antara badan
dengan jiwa tidak mungkin terjadi. Allah merupakan satu-satunya penghubung antaara hal-hal
yang bersifat fisik dengna hal-hal yang bersifat mental. Allah selalu menemukan kesempatan
untuk menyesuaikan antara yang mental dan yang fisik. Dalam perasaan takut, misalnya,
menurut pandangan ini, Allah memiliki kesempatan untuk membuat badan bergetar.
Cabang dualisme yang lain adalah paralelisme. Aliaran ini mensejajarkan kejadian yang
ragawi dan yang rohani. Aliran ini menyatakan bahwa sistem kejadian ragawi terdapat di alam,
sedangkan sistem kejadian kejiwaan terdapat dalam jiwa manusia. Di antara keduanya tidak
terdapat hubungan sebab akibat. Badan memiliki peristiwa sendiri, demikian juga jiwa
memiliki peristiwa sendiri. Namun keduanya berjalan bersamaan.
Jadi menurut paralelisme dalam diri manusia ada dua peristiwa yang berjalan seiring,
yakni peristiwa mental dan peristiwa fisik, namun yang satu tidak menjadi sumber bagi yang
lain. Masing-masing sistem berjalan secara terpisah. Kejadian-kejadian fisik menimbulkan
kejadian fisik yang lainnya, sedangkan kejadian-kejadian mental menimbulkan kejadian-
kejadian mental yang lain. Kejadian fisik tidak pernah menimbulkan kejadian mental dan
demikian sebaliknya. Gottfried Wilhelm Leibnitz (1646-1716), seorang penganut aliran ini
mengakui bahwa peristiwa mental dan peristiwa fisik telah disetel oleh Tuhan sedemikian rupa
bagaikan dua jam yang disetel bersamaan waktunya. Dalam hubungan keduanya terjadi
mekanisme sempurna sehingga peristiwa badaniah dan rohaniah terjadi secara serentak
meskipun keduanya tidak mempunyai hubungan kausal.
Epifenomenalisme17 adalah cabang ketiga dari aliran dualisme. Aliran ini melihat
hubungan badan dan jiwa dari fungsi syaraf. Aliaran ini menyatakan bahwa satu-satunya unsur
yang kita dapati untuk menyelidiki proses-proses kejiwaan ialah syaraf kita. Proses kejiwaan
seperti kesadaran dilihat sebagai nyala yang berasal dari proses-proses syaraf. Aliran ini
menyangkal pengaruh kesadaran terhadap proses kejiwaan.
2. Tanggapan Singkat

17
Epifenomenalisme berasal dari kata, yakni epi yang berarti penampakan, dan fenomena yang
berarti gejala-gejala, serta isme yang berarti aliran atau pandangan. Jika diartikan secara harafiah, maka
epifenomenalisme berarti aliran yang menekankan bahwa yang kelihatan sebenarnya hanyalah gejala,
bukan menunjukkan hal yang sesungguhnya. Dalam filsafat aliran ini menegaskan bahwa sebagaimana
tubuh menimbulkan bayangannya dan bayangan tidak mempunyai pengaruh kasual atas tubuh atau atas
baying-bayang yang lain, demikian juga otak menimbulkan kesadaran, tetapi kesadaran tidak dapat
mempengaruhi otak. Sebagaimana lokomotif menghasilkan uap atau asap, yang tidak mempunyai pengaruh
begitu saja atas lokomotif, demikian pula tubuh menghasilkan kesadaran yang tidak mempunyai hubungan
kausal dengan sumbernya di dalam proses otak (Bdk. Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 1992, hal 211)

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
Monisme dan dualisme merupakan pandangan yang bertolak belakang. Monisme
meletakkan eksistensi manusia hanya pada satu dimensi, yakni dimensi badan atau dimensi
jiwa. Sementara dualisme melihat masing-masing sebagai unsur berbeda dan terpisah.
Tanggapan sekilas akan diberikan terhadap dua aliran ini.
Pertama. Tanggapan diberikan kepada monisme, khususnya materialisme. Materialisme
menempatkan materi sebagai sumber satu-satunya. Segala aktivitas manusia merupakan
ungkapan dari materi itu sendiri. Bahkan aktivitas jiwa dianggap bersumber dari materi.
Pandangan ini jelas memiliki kelemahan. Pandangan ini bertentangan dengan hakikat manusia
yang sesungguhnya. Bila kita mengacu pada pandangan Plato, jelaslah bahwa badan dan jiwa
memiliki sifat yang berbeda. Plato menandaskan bahwa badan bersifat sementara, sedangkan
jiwa bersifat abadi.
Merujuk pada pandangan Plato ini, pandangan materialisme yang menyatakan bahwa
materi sebagai asal segala hal dalam alama semesta, termasuk manusia, sangat tidak tepat.
Pandangan ini sangat bertentangan dengan hakikat jiwa dan badan yang sebenarnya. Jiwa
bersifat kekal, namun badan bersifat sementara. Jiwa tidak bisa mati, tetapi badan akan mati.
Karena itu tidak mungkin sesuatu yang tidak bisa mati bersumber dari sesuatu yang bisa mati.
Dengan kata lain, sesuatu yang relatif tidak mungkin akan menghasilkan sesuatu yang absolut.
Karena itu, mereduksi jiwa pada materi merupakan kekeliruan.
Kelemahan lain dari materi ialah bahwa aliran ini tidak bisa melihat bahwa suatu
pengalaman bersifat personal. Misalnya, rasa sakit yang disebabkan oleh luka. Menurut
penganut fisikalisme, rasa sakit itu adalah sesuatu yang berlangsung dalam otak sang penderita
yang disebabkan oleh luka dan membuatnya menjerit-jerit serta berupaya untuk menghindari
benda yang melukai itu. Dan hal itu dapat merupakan suatu keadaan fisik semata dalam otak.
Tetapi aliran ini tidak menyadari bahwa pengalaman satu orang dengan orang yang lain
tentang hal yang sama sangat berbeda. Dengan kata lain, rasa sakit dirasakan atas cara tertentu
dan pengalaman pahit ini berbeda dari semua relasinya dengan sebab dan akibat, dan juga
dengan semua sifat fisik yang mungkin dimiliki rasa sakit itu.
Terhadap pandangan dualisme, khususnya paralelisme, keberatan juga dapat diajukan.
Klaim paralelisme bahwa badan dan jiwa merupakan dua hal yang terpisah serta memiliki
kegiatan masing-masing yang tidak terkait satu sama lain juga sulit diterima. Kalau pandangan
ini benar, maka muncul pertanyaan berikut, dapatkah seseorang , misalnya berbuat baik
kepada orang lain, tanpa dorongan dari dalam diri sendiri, yakni niat yang baik? Dapatkah
diterima bahwa rasa sakit pada gigi seorang karyawan tidak mempengaruhi semangat kerja?
Jawabannya jelas tidak. Perbuatan baik muncul dari niat yang baik. Niat untuk berbuat baik

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
sendiri bersumber dari jiwa, bukan dari materi. Namun perbuatan baik itu tidak bisa terwujud
kalau tidak didukung oleh tindakan badan, misalnya dengan memberikan sedekah dengan
tangan. Demikian halnya rasa sakit gigi yang dialami seorang karyawan akan mempengaruhi
semangat kerjanya.
Berdasarkan dua contoh ini, jelaslah bahwa gagasan paralelisme yang mensejajarkan
aktivitas jasmani dan aktivitas rohani begitu saja tidak masuk akal. Penyejajaran ini justru
bertolak belakang dengan realitas bahwa manusia adalah makhluk rohani dan makhluk jasmani
sekaligus. Badan dan jiwa merupakan satu kesatuan yang membentuk manusia secara utuh.
Manusia adalah badan sekaligus rohani. Konkretnya, badan manusia adalah suatu objek
dengan segi rangkap, yakni segi fisik dan segi mental; badan dapat dibedakan namun badan
juga mempunyai semacam sifat batiniah yang tidak dapat diperlihatkan melalui upaya
pembedahan tersebut. Ia adalah makhluk “dwi-segi”. Keakuan manusia justru terjadi karena
keduanya menyatu. Tetapi bagaimana kita harus mengerti kedua elemen mendasar ini? Kajian
berikut ini akan menjelaskan lebih detail tentang badan dan jiwa manusia.
3. Badan Manusia
Badan merupakan bagian elemen mendasar dalam membentuk pribadi manusia. Badan
adalah dimensi manusia yang paling nyata. Tetapi adapa pengertian badan? Bagaimana pula
badan berperan sebagai perwujudan eksistensi manusia? Di mana letak perbedaan antara badan
manusia dengan badan makhluk hidup yang lain?
Dalam pandangan tradisional, badan hanya dilihat sebagai kemampuan pelbagai entitas
material yang membentuk suatu makhluk. Mekanisme biologis yang bersifat kausal menjadi
ide sentral dalam pendekatan ini. Dalam pandangan ini, seluruh mekanisme gerakan badan
bersifat mekanistik. B.F.Skinner (1904-1990) termasuk orang yang mengakui pandangan
seperti itu. Ia mengidentikkan seluruh gerakan badan manusia dengan gerakan mesin, yang
seluruh aktivitasnya terjadi karena hubugan sebab akibat.
Namun pandangan Skinner di atas bersifat deterministik dan tidak memberikan paha
yang memadai tentang keutuhan pribadi manusia. Pengertian seperti ini sempit. Karena itu,
badan harus dimengerti melebihi dimensi fisik, yaitu seluruh proses yang terjadi di dalamnya.
Badan manusia tidak sekedar tubuh yang konkret, dan juga tidak hanya merupakan kumpulan
organ-organ tubuh. Badan menyangkut keakuan. Oleh karena itu, Gabriel Marcel (1889-1973)
sangat tepat ketika mengataka bahwa “membicarakan tubuh adalah membicarakan diri”.
Melalui aktivitas badaniah seseorang memperkenalkan diri pada orang lain, demikian
sebaliknya. Itu sebabnya, ketika seseorang berjumpa dengan orang lain dalam sebuah
pertemuan, ia tidak hanya bertemu dengan badan orang yang bersangkutan, melainkan juga

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
bertemu dengan dirinya. Ia memang menatap matanya, mendengar suaranya, melihat gerakan
tangannya saat bicara. Tetapi semua aktivitas badani ini tidak bersifat lahiriah belaka,
melainkan menyatakan sesuatu yang mendasar dari orang yang bersangkutan, yakni
keakuannya. Dengan demikian, kegiatan fisikal itu mengungkapkan subjektivitas. Melihat hal
inilah, Martin Buber ( 1878-1965) beralasan untuk mengatakan bahwa pertemuan antar
manusia merupakan pertemuan antar “Aku – Engkau”. Dalam hal ini, tubuh menjadi
intermediasi antar pribadi.
Sebagai intermediasi, tubuh juga menjadi media pengembangan diri setiap pribadi.
Misalnya, seorang atlet, setiap hari melatih diri untuk menjadi altet yang handal melalui
kegiatan fisik. Demikian halnya dengan seorang pelajar akan menggunakan matanya untuk
belajar dan menggunakan tangannya untuk mengerjakan tugas-tugasnya demi masa depannya
yang baik. Orangtua bekerja keras dari pagi hingga malam untuk menyekolahkan anaknya.
Semua kegiatan seperti ini menunjukkan bahwa melalui kegiatan-kegiatan badaniah seseorang
mengembangkan diri dan orang lain.
Tetapi badan tidak berfungsi sampai di situ. Badan juga menghadirkan dunia bagi
manusia, sebaliknya menghadirkan manusia bagi dunia. Manusia berpartisipasi dalam dunia
justru melalui pekerjaan-pekerjaan yang melibatkan tangannya. Jadi, melalui badan, manusia
mengarahkan diri pada dunia dan memanifestasikan diri sendiri terhadap orang lain. Melalui
badan, manusia mengabdikan miliknya untuk membangun dunia.
Berdasarkan uraian ini menjadi jelas bahwa pengertian badan jauh lebih luas dari sekedar
fisik, yakni seluruh proses entitas aktual yang membentuk satu kesatuan pribadi manusia.
Dengan demikian, hakikat badan bukan pertama-tama terleta terjadi di dalam badan seperti
tertawa, menangis, berjalan, lari, duduk, tidur, dan seterusnya. Semua aktivitas ini merupakan
satu kesatuan yang membentuk jati diri manusia.
4. Jiwa Manusia
Badan manusia tidak memiliki arti apa-apa tanpa jiwa. Juga tidak ada keakuan manusia
kalau ia dilepaskan dari jiwanya. Itu berarti jiwa menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
perwujudan jati diri manusia sebagai subyek. Pertanyaan tentunya, bagaimana kita mengerti
jiwa? Apa saja kemampuan-kemampuan yang dimiliki oleh jiwa? Bagaimana jiwa berperan
membentuk jati diri manusia?
Dalam pandangan masyarakat tradisional jiwa dimengerti sebagai makhluk halus, atau
kekuatan halus, bahkan sebagai tubuh yang tidak bisa ditangkap oleh indra. Pengertian ini
tidak mengungkapkan eksistensi manusia yang sebenarnya. Konsep seperti ini meletakkan jiwa
di luar hakikat manusia. Karena itu, pengertian tradisional ini kita tinggalkan.

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
Sebagaimana badan, kita pahami sebagai seluruh aktivitas kompleks kegiatan fisik,
demikian juga jiwa harus dipahami sebagai kompleksitas kegiatan mental manusia. Bagi
eksistensi manusia, jiwa merupakan sesuatu yang hakiki. Jiwa menyadarkan manusia akan
siapa dirinya, menentukan perbuatannya dan menyadarkannya akan kehadiran di tengah dunia.
Dengan kata lain, jiwa menjadi penggerak seluruh aktivitas fisik manusia. Jadi, aktivitas fisik
tidak bisa berjalan tanpa jiwa.
Kemampuan-kemampuan apa saja yang dimiliki oleh jiwa? Pandangan James B. Pratt
(1875-1944) membantu kita untuk menjawab pertanyaan ini. Pratt menunjukkan bahwa ada
empat (4) kemampuan mendasar dari jiwa. Pertama. Kemampuan menghasilkan kualitas-
kualitas penginderaan. Kita bisa merasakan manisnya gula, kita bisa merasakan panasnya api,
kita bisa merasakan kasarnya batu, menurut Pratt hanya karena jiwa memam pukan kita untuk
semua hal itu. Kedua. Kemampuan menghasilkan makna yang berasal dari penginderaan
khusus. Menurut Pratt, ada orang yang memiliki penginderaan khusus, seperti telepati.
Pengindraan khusus itu memampukan seseorang untuk bisa merasakan sesuatu yang dirasakan
oleh orang lain dari kejauhan. Ketiga. Kemampuan memberikan tanggapan terhadap hasil-hasil
penginderaan dan makna dengan jalan merasakan, berkehendak atau berusaha. Kalau Anda
jalan-jalan, dan melihat orang miskin tertidur di jalan raya, dalam diri Anda ada perasaan
kasihan. Anda tidak hanya merasa kasihan, melainkan Anda juga mau melakukan sesuatu
terhadap orang miskin itu, misalnya memberikan sedekah kepadanya. Kemampuan merasakan
dan keinginan untuk membantu orang miskin menurut Pratt bersumber dari jiwa. Keempat.
Kemampuan memberikan tanggapan terhadap proses-proses yang terjadi dalam pikiran demi
kebaikan. Dalam diri manusia selalu ada keinginan. Tetapi tidak semua keinginan baik. Jiwa
menggerakkan untuk meninggalkan keinginan yang tidak baik. Dalam arti ini jiwa memiliki
fungsi moral. Ia menggerakan manusia untuk melihat baik buruknya perbuatan serta
memampukannya untuk meninggalkan yang buruk.
Apa yang dikatakan Pratt tentang fungsi moral jiwa sebenarnya tidak jauh dari apa yang
dikatakan oleh Santu Agustinus (354-430). Menurut Agustinus, manusia hanya bisa melakukan
penilaian terhadap tindakannya karena dorongan dari jiwa. Bahkan eksistensi jiwa justru
18
terungkap pada pengetahuan tentang apa yang baik dan apa yang buruk itu. Tetapi apakah
fungsi jiwa hanya membuat manusia tahu tentang yang baik atau yang buruk? Menurut
Agustinus tidak. Jiwa juga mendorong manusia untuk melakukan hokum-hukum moral yang
diketahui. Praktik moral dalam kenyataan sehari-hari menurut Agustinus merupakan tanda
berfu ngsinya jiwa dalam diri seseorang. Agustinus lebih lanjut menunjukkan bahawa ada dua
18
Jacques Veuger, MSF, Hubungan Jiwa-Badan menurut Santu Agustinus, Kanisius, Yogyakarta, 2005,
hal. 50

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
sumber dari tindakan moral, yaitu kehendak dan cinta. Kehendak merupakan aktivitas jiwa
yang membuat manusia mewujudkan keinginannya. Kehendak selalu menyertai empat
dorongan hati manusia, yakni keinginan, ketakutan, sukacita dan dukacita. Bahkan keempat
dorongan ini merupakan bentuk keaktifan kehendak. Ketika seseorang menghendaki sesuatu
dan ingin memiliki serta menikmatinya, maka kehendaknya ialah keinginan, apabila ia
memperoleh kenikmatan dari apa yang ia miliki, maka kehendak yang menyetujui itu ialah
sukacita, apabila ia menolak dan tidak menghendaki sesuatu yang masih masa depan akan
terjadi, maka kehendaknya adalah ketakutan, dan apabila seseorang tidak menghendaki dan
menyetujui sesuatu, yang meski tidak disukai terjadi namun terjadi, maka kehendaknya ialah
dukacita. Semua pengenalan mausia dalam kehidupan sehari-hari menurut Agustinus dikuasai
oleh kehendak.
Akan tetapi bagi Agustinus, manusia tidak hanya terdiri atas dorongan untuk memenuhi
keinginannya, tetapi ia juga memiliki dorongan melakukan sesuatu yang lebih luhur. Dorongan
itu ialah cinta. Cinta merupakan daya gerak dari batin paling fundamental. Cinta secara kodrati
bekerja di dalam jiwa. Cinta menggerakkan jiwa manusia pada sesuatu yang lebih baik.
Berdasarkan uraian ini jelas bahwa jiwa bukanlah makhluk haluss yang masuk ke dalam
diri manusia sebagaimana dipahami oleh masyarakat tradisional. Jiwa adalah hidup manusia itu
sendiri. Jiwa merupakan penggerak aktivitas manusia. Karena jiwa manusia mampu merasakan
rasa sakit dalam tubuhnya, menyadari dan menilai perbuatannya, memecahkan persoalan-
persoalan yang dihadapinya, menyatukan pengalaman-pengalaman masa lalu dengan
pengalaman masa kini, belajar dari masa lalu serta merencanakan masa depan. Singkatnya,
jiwa membebaskan manusia dari keadaan yang semata-mata ditentukan oleh kejasmanian.
Semua kemampuan jiwa yang diperlihatkan Pratt dan Santu Agustinus di atas
menunjukkan bahwa jiwa memiliki peran vital bagi kehidupan manusia. Tanpa kehadiran
jiwa, manusia tidak bisa berbuat apa-apa. Dapat dikatakan, keakuan manusia justru terdapat
dalam jiwanya. Karena itulah Pratt benar ketika berkata, “jiwa adalah aku. Ia mempunyai cita-
cita serta tujuan, mempunyai kehendak, yang menderita, yang berusaha dan yang mengetahui.
Aku bisa tetap bertahan dalam menghadapi perubahan-perubahan dan tetap bersifat unik justru
karena jiwa. Ia sadar akan waktunya, mempersatukan masa kini, masa lalu serta melakukan
pencerahan, mengingat, merasakan serta berpikir.19
Kemampuan-kemampuan jiwa yang disebutkan ini menjadi alasan mendasar untuk
menyatakan bahwa kegiatan-kegiatan manusia tidak bersifat mekanistik. Artinya, tindakan-
tindakan manusia bukan disebabkan oleh hukum sebab akibat sebagaimana diproklamirkan

19
Bdk. Louis O. Kattsoff, op.cit., hal. 315

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
oleh Jacques Monod (1910-1976), melainkan muncul dari kesadaran. Karena itu jiwa
sebagaimana diakui oleh Thomas Aquinas (1225-1274) merupakan prinsip kegiatan
intelektual. Prinsip ini membuat manusia menjadi makhluk yang bebas dari tubuhnya dan dari
dunianya.
5. Manusia Sebagai makhluk yang berjiwa-raga (Bdk. Suparlan Suhartono, hal. 13)
Unsur jiwa dan raga manusia itu bukan hal yang berdiri sendiri. Keduanya berada di
dalam satu struktur yang menyatu menjadi “diri-pribadi”. Sehingga diri-pribadi manusia adalah
“jiwa yang meraga” dan “raga yang menjiwa”. Artinya, jiwa menyatu dengan raganya, dan
raga menjadi satu dengan jiwanya. Kejiwaan seseorang seharusnya terlihat dari tingkah laku
badannya dan badan seseorang itu seharunya mencerminkan jiwanya.
 Jiwa yang meraga
Jiwa yang menjadi satu dengan raga, yaitu jiwa yang maujud dalam bentuk raga. Jiwa
adalah sesuatu yang maujud20, tidak berbentuk dan tidak berbobot. Ia dapat dipahami dari
kecenderungan-kecenderungan badan. Lihatlah, jika jiwa seseorang dalam keadaan menderita,
maka badannya lemah, mukanya muram dan gelap, tetapi jika berbahagia, maka badannya
ringan, energik dan mukanya berseri-seri.
Di dalam jiwa, ada unsur-unsur yang sering kita kenal sebagai “tri-potensi kejiwaan”
yaitu cipta, rasa dan karsa. Cipta adalah akal-budi yang mempunyai potensi luar biasa.
Dengan akal, kebenaran dan keadilan bisa dicapai. Dengan akal saja semua bisa diakali
(dibuat-buat, dipolesi), sehingga orang bisa berpura-pura. Lihatlah, seseorang bisa melakukan
perbuatan yang tidak sesuai dengan kenyataan sesungguhnya. Misalnnya, karena keadaan
tertentu, seseorang bisa mengatakan “kenyang”, padahal sebenarnya dia “lapar”. Karena itu,
orang sering tertipu jika tidak atau kurang sungguh-sungguh dalam melakukan pengsangatan.
Bagaimanapun juga, kenyataan keadaan jiwa secara natural pasti tercermin dalam tingkah laku
badan. Disebut apapun, “emas” tetaplah “emas”.
Yang pasti, suatu keadaan jiwa (fenomena kejiwaan) bisa terwujud dalam berbagai
jenis tingkah laku badan. Apakah ekspresinya itu selaras atau bertentangan. Jiwa yang sudah
bisa berbentuk perbuatan menangis, tetapi juga bisa dalam bentuk tawa. Bahagia bisa
berbentuk perbuatan senyum, tetapi juga bisa berbentuk tangisan.
Demikianlah kejiwaan manusia dapat menjelma menjadi pluralitas perbuatan badan.
Hal ini tidak ubahnya seperti kenyataan manusia itu sendiri yang hanya satu, tetapi bisa
menjelma menjadi plural dalam jenis dan bentuknya. Prinsip bisa satu, tetapi realisasi bisa
beraneka ragam.
20
Menurut KBBI, maujud berarti benar-benar ada, nyata, konkret, berwujud – sesuatu yang
dapat diraba dan dilihat

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
 Raga yang menjiwa
Raga yang menjadi satu dengan jiwa adalah suatu kecenderungan fenomena badan
yang menjadi bersifat kejiwaan. Raga adalah sesuatu yang maujud, berbentuk dan berbobot
(berukuran). Tingkah laku badan dapat dipahami sebagai gerakan material belaka, tetapi lebih
daripada itu terkandung kecenderungan-kecenderungan spiritual tertentu. Lihatlah pada
langkah-langkah kaki. Hal itu ternyata bukanlah sekadar gerakan badan. Di dalamnya
terkandung dorongan-dorongan, kecenderungan-kecenderungan, dan tujuan. Jika kita
melangkahkan kaki searah dan konsisten setiap saat ke kampus, tentu saja dengan kondisi-
kondisi tertentu pastilah ada dorongan kejiwaan untuk menjadi ilmuwan. Pendeknya, segala
aktivitas keragaan tidak ada satu pun yang tidak tertuju pada hal-hal yang kejiwaan.
Kenyataanya, memang sulit untuk kita tolak bahwa segala kegiatan yang kita lakukan setiap
hari adalah demi kebahagiaan jiwa.
Diri-pribadi manusia yang terbentuk atas jiwa yang meraga dan raga yang menjiwa ini
sebenarnya dapat terjadi karena suatu sebab, yaitu dominasi jiwa atas badannya. Jiwa manusia
itu tidak sama dengan jiwa hewan. Jiwa manusia adalah berkesadaran (jiwa intelektif). Sadar
akan dirinya, sadar akan sesamanya, sadar akan dunianya dan sadar akan asal-mula dan
tujuannya. Kesadaran jiwa ini selanjutnya membentuk perbedaan badan manusia, dengan
segala gerak-geriknya, dengan badan-badan hewan.
Menurut posisinya, jiwa manusia itu bertabiat di dalam badan. Artinya, jiwa
mempunyai kekuasaan atas badan. Jiwa yang sehat, pasti akan membuat badan menjadi sehat,
tetapi badan yang sehat belum tentu bisa membuat jiwa menjadi sehat.
6. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa manusia bukan hanya badan, bukan
pula hanya jiwa. Manusia bukan pula suatu badan yang padannya ditambahkan suatu jiwa.
Masing-masing bukan substansi yang lengkap dan berdiri sendiri. Badan dan jiwa merupakan
satu kesatuan dalam membentuk eksistensi manusia. Badan memperoleh sifat sebagai badan
hanya karena kenyataan bahwa ia dihidupkan oleh jiwa. Dengan kata lain, jiwa merupakan
kehidupan bagi badan. Hanya karena jiwa, manusia mampu melaksanakan aktivitas-aktivitas
mental seperti berpikir, menikmati keindahan, menginginkan kebahagiaan, mengusahakan
kemajuan, mengambil keputusan, melakukan kebaikan kepada orang lain, serta menilai
perbuatannya.
Tetapi jiwa tidak bisa berfungsi dengan baik kalau tidak ada badan. Hal itu berarti bahwa
badan merupakan elemen konstitutif mendasar bagi jiwa. Dengan kata lain, jiwa bisa
merealisasikan fungsinya hanya melalui aktivitas-aktivitas badaniah. Karena itu, aktivitas

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
badaniah manusia bukan merupakan proses mekanistik, melainkan dinamika dari jiwa itu
sendiri. Jiwa menghadirkan keakuan diri seseorang melalui badan. Karena itulah badan bukan
sekedar onggokan daging. Badan merupakan ungkapan keakuan, yakni jiwa seseorang. Badan
mengkomunikasikan diri seseorang terhadap orang lain, dan mengkomunikasikan dirinya
terhadap dunia, sekaligus memungkinkan manusia berpartisipasi dalam dunia orang lain.
Oleh karena itu, realitas manusia adalah realitas yang secara prinsipiil terbentuk dari dua
elemen, yakni elemen material dan elemen spiritual. Dua elemen ini merupakan dua prinsip
ontologis. Sebagai prinsip ontologism, manusia hanya menjadi manusia kalau badan dan
jiwanya bersatu. Karena itulah pembentukan manusia seutuhnya dan penghargaan terhadap
martabat manusia berkaitan dengan dua elemen ini.

BAB IV
KESADARAN MANUSIA
(Bdk. Theo Huijbers, hal 27-44 & Zainal Abidin, hal. 155)

Kajian tentang kesadaran manusia mencakup pembahasan tentang konsep pengertian


kesadaran, fungsi kesadaran, teori dan pendekatan tentang kesadaran serta jenjang atau
tingkatan/bentuk-bentuk kesadaran.
4.1 Pengertian Kesadaran
Contoh ilustrasi tentang seorang anak kecil yang menjadi sadar. Apa artinya menjadi
sadar? Anak dikatakan sadar karena ia mengenal. Sebagai contoh, seorang bayi melewati
proses mengenal ibunya. Sebelumnya, seorang bayi tidak mengenal ibunya, tetapi kemudiaan
mengalami proses pengenalan. Bayi itu sebelumnya tidak sadar dan kemudian menjadi sadar.
Sebelumnya, tidak ada yang dikenal oleh bayi itu, tetapi kemudian ada yang dikenal. Itu berarti
bahwa terjadi perubahan dalam diri bayi itu. Perubahan tersebut yang dinamakan dengan
kesadaran. Berdasarkan contoh ini, maka kita dapat merumuskan arti atau pengertian tentang
kesadaran.

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
Kesadaran adalah sesuatu yang tinggal dalam manusia, sesuatu yang bersifat batiniah.
Namun kesadaran itu tidak saja bersifat batiniah. Jika kesadaran hanya bersifat batiniah, maka
tidak mungkin mengatakan tentang seorang bayi bahwa ia sudah mulai sadar. Pada
kenyataannya, kesadaran yang batiniah itu menyatakan diri secara lahiriah. Contohnya,
seorang bayi menyadari atau mengenal ibunya dengan ungkapan lahiriah yakni senyuman. Hal
ini terjadi karena seorang bayi terbuka bagi yang lain karena kesadarannya. Kalau tidak ada
keterbukaan itu, tidak ada yang dapat digabungkan secara intim dengannya, tidak ada yang
dikenal, tidak ada kesadaran. Dalam hal ini terungkap ciri-ciri khusus kesadaran, yang tidak
ada pada sesuatu yang bersifat benda. Umpanya, sebuah batu. Sebuah batu dapat
berdampingan dengan batu yang lain, akan tetapi tidak dapat digabungkan secara batiniah
dengannya. Oleh sebab batu itu tertutup dalam dirinya sendiri. Batu adalah batu sebagai
benda. Lain halnya dengan kesadaran. Dikatakan bahwa kesadaran meniadakan kesamaan
dengan dirinya, sebab kesadaran tidak terbentuk sebagai sesuatu yang tersendiri. Kesadaran
baru terwujud sebagai kesadaran dalam hubungan dengan sesuatu yang lain yang bukan
kesadaran.
Selain itu, kesadaran adalah suatu tingkat kesiagaan individu pada saat ini terhadap
stimulus internal dan eksternal. Yaitu terhadap peristiwa-peristiwa lingkungan dan sensasi tubu
h, memori dan pikiran. Pengertian lainnya adalah Kemampuan individu mengadakan hubungan
dengan lingkungan serta diri sendiri (melalui panca inderanya) dan mengadakan pembatasan
terhadap lingkungan serta diri sendiri (melalui perhatian). Bukti terjadinya pemrosesan
informasi membuat para ahli kembali mengungkap konsep kesadaran. Kesadaran sudah mulai
diungkap sejak zaman William James (1890) yang menyatakan bahwa kesadaran adalah agen
yang memilih satu dari sekian banyak stimulus dan selanjutnya stimulus yang dipilih
ditonjolkan dan diperjelas sementara event-event yang lain ditekan. Kesadaran merupakan
topik epifenomenal karena meskipun tampak pada perilaku namun sangat dipengaruhi oleh
proses tidak sadar.
Berdasarkan konsep inilah, maka seorang Filsuf Prancis, Jean P. Sartre menyatakan
bahwa manusia karena kesadarannya berlainan sama sekali dari benda. Benda adalah yang ada,
yang tetap sama dengan dirinya. Manusia tidak sama dengan dirinya. Karena manusia,
timbullah suatu retak dalam yang ada, suatu lubang, sesuatu yang tiada (neant). Pernyataan
Sartre ini menjelaskan bahwa betapa besar perbedaan antara yang sadar dan yang tidak sadar.
Namun perbedaan ini jangan dilebihkan. Jika ada perbedaan belum berarti adanya suatu jurang.
Benda yang tidak sadar dan manusia yang sadar memang berbeda secara mendalam, akan

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
tetapi mereka tidak terpisah satu sama lain secara mutlak. Mereka sama-sama membentuk
suatu realitas.
Kedasaran juga bisa dijelaskan dengan menggunakan suatu symbol yakni simbol
cahaya. Ketidaksadaran dibandingkan dengan yang gelap, sedangkan kesadaran dengan
cahaya. Kalau manusia menjadi sadar, seakan-akan terang bersinar dalam kegelapan. Simbol
cahaya itu diambil dari salah satu bentuk kesadaran, yakni dari melihat dengan mata. Menurut
pengalaman semua orang, di dunia ini tidak ada yang dilihat kalau gelap. Sebaliknya kalau
terang, semunya dapat dilihat. Bedanya melihat dengan mata dari melihat dengan batin adalah
bahwa apa yang membuat objek-objek di luar menjadi terang, ialah matahari atau api atau
lampu, sedangkan apa yang m embuat terang dalam batin ditemukan dalam kesadaran sendiri.
Bayi melihat ibunya asal ada terang, tetapi itu sebenarnya karena terang yang ada dalam
batinnya. Bayi mengenal ibunya berarti terang bernyala dalam bayi itu sendiri.
Oleh sebab itu, senyuman merupakan suatu tanda bahwa bayi itu telah memecahkan
kegelapan yang terletak dalam dirinya, waktu ia masih berlaku seakan-akan ia benda. Melalui
terang yang ada dalam bayi itu kebendaan dapat diatasi. Itulah benar-benar sesuatu yang
misterius yang tidak dapat dimengerti. Namun terjadi. Kita hanya dapat tunduk pada kenyataan
yang terjadi
4.2 Fungsi Kesadaran
Kesadaran berfungsi untuk :
a) Membuat keputusan. Dalam keadaan sadar seseorang dapat memutuskan pergi atau
tidak, bekerja atau tidak, melanjutkan pendidikan atau tidak.
b) Mengarahkan dan mengendalikan tindakan merencanakan, memulai dan mengarahkan
tindakan. Misalnya dalam keadaan sadar seorang dapat melakukan kegiatan seperti
membereskan ruangan, memberi obat, mengganti balutan.
c) Pemantauan perilaku. Secara sadar seseorang mengamati perilaku orang lain yang
menyimpang dan melakukan evaluasi atas perilaku yang ditunjukan tersebut
d) Memungkinkan terhadap penyesuaian perilaku. Dalam keadaan sadar, seseorang dapat
menyiapkan diri bila hujan turun, mencari alternatif bila kendaraan mogok, atau
menyesuaikan diri bila lingkungan terasa berisik.
4.3. Alam Sadar Dan Alam Tak Sadar
4.3.1. Alam Sadar (kesadaran = conscious)
Kesadaran merupakan kemampuan individu mengadakan hubungan dengan
lingkungannya serta dengan dirinya sendiri (melalui panca inderanya) dan mengadakan

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
pembatasan terhadap lingkungannya serta terhadap dirinya sendiri (melalui perhatian). Alam
sadar adalah alam yang berisi hasil-hasil pengamatan kita kepada dunia luar (Maramis, 1999).
Bentuk-bentuk Kesadaran
Menurut Maramis (1999) bentuk-bentuk kesadarannya, yaitu : (1) Kesadaran normal, (2)
kesadaran menurun, (3) kesadaran meninggi, (4) kesadaran waktu tidur, (5) kesadaran waktu
mimpi, (6) kesadaran waktu disosiasi, trance, (7) hipnotis, dan kesadaran yang terganggu.
Pertama. Kesadaran normal adalah suatu bentuk kesadaran yang ditandai individu sadar
tentang diri dan lingkungannya sehingga daya ingat, perhatian, dan orientasinya mencakup
ruang, waktu, dan orang  dalam keadaan baik.
Kedua. Kesadaran yang menurun adalah suatu bentuk kesadaran yang berkurang secara
keseluruhan, kemampuan persepsi, perhatian dan pemikiran. Tingkat menurunnya kesadaran
ditandai oleh beberapa ciri, yaitu
a) Amnesia, menurunnya kesadaran ditandai dengan hilangnya ingatan atau lupa
tentang suatu kejadian tertentu.
b) Apatis, menurunnya kesadaran ditandai dengan acuh tak acuh terhadap stimulus
yang masuk (mulai mengantuk)
c) Somnolensi, menurunya kesadaran ditandai dengan mengantuk (rasa malas, dan
ingin tidur)
d) Sopor, menurunnya kesadaran ditandai dengan hilangnya ingatan, orientasi,dan
pertimbangan
e) Subkoma dan koma, menurunnya kesadaran  ditandai dengan tidak ada respon
terhadap rangsang yang keras,
Ketiga. kesadaran yang tinggi adalah bentuk kesadaran dengan respon yang meninggi
terhadap rangsangan. Contoh : Warna terlihat lebih terang dengan suara terdengar lebih keras.
         Keempat. Kesadaran waktu tidur adalah suatu bentuk kesadaran yang ditandai dengan
menurunnya kesadaran secara reversibel, biasanya disertai posisi berbaring dan tidak bergerak.
Contoh :
a) Nonrapid eye movement sleep (nrem sleep) atau tidur tanpa gerak mata cepat
b) Rapid eye movement sleep (REM sleep) atau tidur dengan gerak mata cepat, 20%-25%
dari lamanya tidur malam seorang dewasa muda dan ada hubungan dengan mimpi.
Macam-macam gangguan tidur
   Insomnia = sukar tidur
   somnambulisme = berjalan waktu tidur
   nightmare atau pavor nocturnus = mimpi buruk

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
          Kelima. Kesadaran waktu disosiasi adalah suatu bentuk kesadaran ditandai dengan
keadaan memisahkan sebagian tingkah laku atau kejadian dirinya secara psikologik dan
kesadaran. Bentuk disosiasi, meliputi :
a) trance, yaitu keadaan kesadaran tanpa reaksi yang jelas terhadap lingkungan yang
biasanya dimulai dengan mendadak. Contoh : Kesurupan, permainan kuda kepang,
dan tari keris.
b) Senjakala histerik atau histerical twilight state, yaitu kehilangan ingatan atas dasar
psikologik ditandai kesadaran menurun dan menyempit.
c) Fugue, yaitu suatu periode penurunan kesadaeran dengan pelarian secara fisik dari
suatu keadaan yang menimbulkan banyak stres (ada keinginan besar untuk
mengembara)
d) serangan histerik, yaitu suatu penampilan emosional yang jelas, dengan unsur
menarik perhatian dan kelihatannya tidak ada kontak dengan lingkungan.
Keenam. Hipnotis  ialah kesadaran yang sengaja diubah melalui sugesti.
4.3.2 Alam tak sadar (unconscious)
(a) Pengertian
Alam tak sadar adalah daerah kesadaran yang berisi berbagai ide dan efek yang
tertekan, yang tidak dapat diingat kembali karena ditahan oleh efek alam prasadar sebagai
sensor. Pengertian lain alam tak sadar adalah alam yang berisi kompleks-kompleks terdesak
Das Es, Das Ich, dan Das Ueber Ich (Maramis, 1999).
(b) Ciri-ciri alam tak sadar
a. Mengandung   ide dan efek yang ditekan.
b. Hal-hal yang terdapat dalam alam tak sadar tidak dapat di ingat kembali.
c. Apabila mau muncul ke alam sadar harus melewati sensor alam prasadar.
d. Memiliki prinsip kesenangan denagn tujuan memuaskan keinginan.
e. Behubungan erat denagn naluri terutama naluri seksual.
4.3.3. TEORI ALAM SADAR DAN ALAM TAK SADAR
(a) Teori Sigmund Freud (1856-1939)
Menurut Freud bahwa kesadaran hanyalah sebagian kecil dari seluruh kehidupan psikis.
Psikis diibaratkan fenomena gunung es di tangah lautan luas yang ada dalam alam sadar atau
kesadaran, sedangkan yang berada dibawah permukaan air laut dan merupakan bagian terbesar
adalah hal-hal yang tidak disadari atau ketidaksadaran. Menurut Freud di dalam ketidaksadaran
inilah terdapat kekuatan-kekuatan dasar yang mendorong pribadi.

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
Dalam kehidupan psikis terdapat tiga unsur penting yang membentuk kepribadian, yaitu : Das
Es (the id), Das Ich (the ego), dan Das UeberIch (the super ego)
             Das Esd (the id) merupakan bentuk ketidaksardaran, aspek biologis kepribadian, dan
memiliki prinsip kesenangan berisi insting dan nafsu, terutama nafsu seksual (libido) serta
pendorong.
          Das Ich (the ego) merupakan kehidupan psikis, aspek sosiologis kepribadian, dan
memiliki unsur kesadaran yang memiliki kemmapuan menghayati secara lahiriyah dan
batiniah. Memiliki prinsip kenyataan dan mampu beradaptasi dengan kenyataan, serta mampu
menjadi filter keluarganya dorongan instingsif dari Das Es sehingga dapat menghambatdan
mengendalikan prinsip kesenangan.
          Freud mengemukakan teori topografi tentang,kesadaran. Tingat kesadaran menurutnya
dibagi menjadi 3 daerah, yaitu : alam sadar, alam prasadar, dan alam tak sadar.
Pertama. Alam sadar. Alam sadar merupakan bagian kecil dari kehidupan psikis yang
merupakan sistem yang disadari. Kesadaran  ini diperoleh melalui
pengamatan (persepsi) baik berasal dari luar dirinya (eksternal) maupun yang dari dalam
dirinya (internal). Alam sadar memiliki hubungan yang sangat erat dengan alam prasadar.
Dalam kehidupan psikis, ternyata hanya bahan-bahan yang berasal dari alam prasadar yang
dapat masuk ke alam sadar, sedangkan hal-hal lain berada diluar kesadaran. Kesadaran itu
sendiri merupakan fenomena subjektif yang isinya hanya dapat dikomunikasikan malalui
perilaku dan bahasa.
Kedua. Alam prasadar atau bawah sadar. Alam prasadar merupakan jembatan
penghubung antara alam tak sadar dan alam sadar. Kehidupan psikis alam prasadar disebut
proses berpikir sekuder yang memiliki prinsip kenyataan dan bertujuan menghambat
munculnya keinginan instingtif, menghindari ketidak  senangan dan mengikat energi psikis
agar sesuai dengan kenyataan dan ajaran serta norma individu. Alam prasadar berisikan
kehidupan psikis yang laten dan tanggapan yang dapat diingat sehingga sewaktu-waktu dapat
dimunculkan kembali melalui ingatan. Persepsi, dan reproduksi. Alam prasadzr menjaga agar
hasrat yang mencemaskan dan bertentangan dengan realitas tidak keluar ke alam sadar.

Ketiga. Alam tak sadar. Alam tak sadar merupakan sistem dinamisyang berisi
berbagaia ide dan efek yang ditekan atau terdesak. Hal-hal yang ada dalam alam tidak sadar
dapat dimunculkan kembali ke alam sadar karena ada sensor maupun resepsi dari alam
prasadar dibuat tak berdyaa seperti pada pembentukan gejala neurotik, dalam keadaan mimpi,
atau dikelabuhi melalui lelucon.    Kehidupan psikis pada alam tak sadar disebut proses

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
berpikir primer yang mengutamakan pemuasan keinginan dan erat berkaitan dengan prinsip
kesenangan (hedoinisme) dan naluri seksual. Alam tak sadar berisis kekuatan pokok, yaitu
nafsu-nafsu yang merupakan ungkapan libido sebagai sumber segala nafsu yang hendak
tampak keluar.
          Menurut Kaplan H. Dkk (1997), alam tak sadar memiliki 5 ciri, yaitu :
a. Berhubungan ertat dengan dorongan insting, yaitu dorongan seksual dan dorongan
mempertahankan diri 
b. Isi alam tak sadar terbatas pada harapan yang mencari pemenuhan sehingga
menimbulkan motivasi
c. Alam tak sadar ditandai proses berpikir primer yang memiliki tujuan utama
mempermudah pemenuhan harapan dan pelepasan insting yang diatur oleh prinsip
kesenangan.
d. Ingatan yang berada dalam alam tak sadar mudah dilepaskan dengan simbol verbal
e. Isi yang  ada dalam alam tak sadar, untuk dapat disadari, harus melalui alam prasadar
dengan mengalahkan sensor penghambat.
(b) Teori Carl Gustaf Jung.
Menurut Jung yang terkenal dengan psikologi analitiknya bahwa jiwa (psikis) manusia
yang merupakan totalitas keidupan jiwa terdiri dari dua alam, yaitu :
 Alam sadar (kesadaran), yang berfungsi untuk beradaptasi terhadap dunia luar
(lahiriah)  
 Alam tak sadar (ketidaksadaran), yang berfungsi untuk adaptasi terhadap dunia dalam
(batiniah). Ketidaksadaran merupakan tenaga utama dari kehidupan mausia.
Hubungan antara alam sadar dan alam tak sadar menurut Sumandi Suryabrata (1989)
adalah secara kompensatoris dan jabatanya tidak tetap atau dapat berubah-ubah. Artinya luas
daerah kesadaran atau ketidaksadaran dapat bertambah atau berkurang.
Struktur kesadaran
Menurut Jung sebagaimana diuraikan oleh Sumadi Suryabrata (1983), komponen
pokok kesadaran adalah fungsi jiwa dan sifat jiwa. 
          Fungsi jiwa ialah suatu bentuk aktivitas kejiwaan yang secara teori tidak berubah dalam
lingkungan yang berbeda-beda (Sumadi Suryabrata, 1989).
          Jiwa memiliki empat fungsi pokok, yaitu :
a) Fungsi pikiran, bersifat rasional dan cara bekerjanya dengan penilaian salah-
benar

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
b) Fungsi perasaan,  bersifat rasional dan cara bekerjanya dengan penilaian senang
dan tidak senang.dan tidak senang.
c) Fungsi pendriaan, bersifat irasional dan cara bekerjanya tanpa penilaian; sadar
(indrawi)
d) Fungsi perasaan, bersifat irasional dan cara bekerjanya tanpa penilaian; tak sadar
(naluri)
Setiap manusia hanya memiliki salah satu fungsi jiwa yang dominan atau superior
sehingga menentukan tipe orangnnya. Ada orang yang tipe pemikir,perasa,pendriaan, dan
intisif. Keempat fungsi jiwa tersebut bekerja berpasangan, yaitu : apabila sesuatu fungsi
menjadi superior dan berada dalam ketidaksadaran, sedangkan kedua fungsi lain sebagai fungsi
bantu, serbagian terletak dalam alam sadar dan sebagian terletakpada alam tak sadar.telah
disebutkan bahwa hubungan fungsi jiwa tersebut secara kompenatoris artinya, semakin
berkembang fungsi dominan atau superior, kebutuhan fungsi untuk kompensasi semakin besar.
Fungsi dominan atau superior adalah pikiran yang berada dalam alam sadar dan fungsi
pembantu, yaitu pendirian dan intuisi yang sebagian ada dalam alam sadar dan sebagian ada
dalam alam tak sadar. Tipe individu tersebut adalah pemikir. Demikian juga untuk tipe
individu yang lain.
Sikap jiwa  ialah energi psikis umum atau libido yang menjelma dalam bentuk orientasi
manusia terhadap dunianya (Sumardi Suryabrata,1989). Energi psikis memilik dua arah, yaitu :
 ke dalam, yaitu arah energi psikis yang orientasinya ditunjukkan kedalam dirinya
(batiniah)
 kedunia luar, yaitu arah energi psikis orientasinya di tujukan keluar dirinya
(lahiriyah)
Setiap individu mengadakan orientasi terhadap dunia sekitarnya, namun cara yag
dipakai antara individu satu dan yang lain berbeda. Contoh : ada individu yang acuh terhadap
kejadian disekitarnya dan sebaliknya ada individu yang sangat peduli terhadap kejadian yang
sama. Ada individu cepat merespons terjadinya musibah yang dialami masyarakat sekitarnya,
namun sebaliknya ada yang  tak acuh.
Berdasarkan contoh ini, ada individu yang memiliki orientasi ke luar atau extravert
yang dipengaruhi dunia objektif (dunia dalam dirinya). Apabila menjadi kebiasaan disebut
individu tipe extrovert. Di samping itu, ada juga individu yang memiliki orientasi ke dalam
atau introvert yang dipengaruhi dunia subjektif (dunia dalam dirinya). Apabila terjadi
kebiasaan disebut individu tipe introvert. Ciri-ciri keduanya sebagai berikut.

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
(a) Tipe extravert. Orientasinya lebih banyak tertuju ke luar (lahiriah). Pikiran, perasaan,
dan tindakannya terutama ditentukan oleh lingkungan sosial maupun non sosial di luar dirinya.
Sifatnya positif terhadap masyarakat, cepat beradaptasi dengan lingkungan, tindakan cepat dan
tegas, hatinya terbuka, mudah bergaul, dan hubungan dengan orang lain lancar.
Kelemahannya adalah perhatian terhadap dunia luar terlalu kuat yang akan membuatnya
tenggelam dalam dunia objektif sehingga akan mengalami kehilangan dirinya atau asing
terhadap dunia subyektifnya. Disamping itu, mereka cenderung cepat melakukan tindakan
tanpa pertimbangan yang matang.
(b) Tipe introvert. Orientasinya tertuju ke dalam dirinya (batiniah).
Tabel. 1 Tipologi Jung        

Sikap jiwa Fungsi jwa Tipe Ketidaksadaran


Introvert Pikiran Pemikir introvert Pemikir introvert
Perasaan Perasa introvert Perasa introvert
Pendirian Pendriaan introvert Pendriaan introvert
Intuisi Intuisi introvert Intuisi introvert
Ekstrovert Pikiran Pikiran ekstrovert Pikiran ekstrovert
Perasaan Perasaan ekstrovert Perasaan ekstrovert
Pendriaan Pendriaan ekstrovert Pendriaan ekstrovert
Intuisi Intuisi ekstrovert Intuisi ekstrovert

Pikiran, perasaan, dan tindakannya terutama ditentukan oleh faktor subjektif.


Adaptasi dengan dunia luar kurang baik, jiwanya tertutup, sukar bergaul, sukar berhubungan
dengan orang lain,kurang dapat menarik hati orang lain, tingkah lakunya lamban dan ragu-
ragu, serta pentyesuaian dengan batinnya baik.
Kehidupan batiniah kaya dan terdidik secara baik. Bertindak hati-hati dan penuh perhitungan.
Kelemahannya adalah jarak dengan dunia objektif terlalu jauh sehingga lepas dari dunia
objektifnya.
Tripologi Jung, hubungan sikap jiwa, fungsi jiwa kesadaran dan keridaksadaran
menghasilkan 8 macam tipe manusia. Kehidupan alam sadar berlawanan dengan alam tak
sadar sehingga individu yang kesadarannya bertipe pemikir maka ketidaksadarannya adalah
prasa dan individu yang kesadarannya bersifat introvert, ketidaksadarannya extravert, dan
seterusnya.
Pesona adsalah topeng yang dipergunakan individu untuk menutupi kepribadiannya,
apabila ia tampil di dunia luar atau dalam alam sadar sehingga dapat dikatakan bahwa pesona
merupakan kompromi antar individu dan masyarakat, antara struktur batiniah dan lahiriah.

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
Apabila individu dapat menyesuaikan dunia batin dengan dunia lahir dengan baik, pesona itu
akan merupakan selubung elatis, yang dengan mudah dapat dipergunakan. Namun,apabila
penyesuaian tersebut tidak baik, pesona dijadikan topeng untuk menutupi kelemahannya.
 Contoh:
  Seorang pimpinan instusi yang pada dasarnya tidak mampu mengelola bawahannya
dengan baik, namun berlagak ”sok pintar, sok pembesar, dan sok maha tahu”, sebagai topeng
untuk menutupi kelemahannya sehingga perilakunya stereotipe dan tidak sesuai dengan
keadaan. Keadaan yang demikian disebut inflasi.
Struktur ketidaksadaran 
Terdiri dari ketidaksadaran pribadi dan ketidaksadaran kolekif.
          Ketidaksadaran pribadi, berisi hal-hal yang diperoleh individu selama hidupnya, yang
meliputi hal-hal yang terdesak, terlupakan, (bahan-bahan ingatan), dan hal-hal yang teramati,
berpikir, dan terasa dibawah ambang kesadaran. Termasuk juga alam pra sadar, yang
merupakan daerah perbatasan antara ketidaksadaran pribadi da kesadaran yang bersisi hal-hal
yang siap masuk ke kesadaran dan alam bawah sadar, merupakan daerah perbatasab antara
ketidaksadaran pribadi denagn ketidak sadaran kolektif dan berisi hal-hal yang tidak dapat
diingat lagi, hal-hal yang tidak diolah, dan keadaan trance.
             Ketidaksadaran kolektif, berisi mitologi dan simbolik masa lalu yang diperoleh selama
pertumbuhan psikis seluruh jenis manusia, melalui generasi terdahulu yang merupakan
endapan cara-cara reaksi kemanusiaan yang khas zaman dahulu pada saat manusia menghadapi
ketakutan, bahaya, perjuangan, kelahiran, dan kematian.
a) Paling atas yang berada langsung dibawah ketidaksadaran pribadi, berisikan emosi, afek,
dan dorongan primitif
b) Di bawah lapisan tersebut, berisilan inovasi, yaitu erupsi dari bagian terdalam dari
ketidaksadaran serta hal-hal yang sama sekali tidak dapat dibuat dasar.
Manisfestasi ketidsaksadaran dapat berupa simptom dan kompleks, mimpi, dan archetypus.
Simptom adalah gelaja dorongan jalannya energi yang normal dan merupakan tanda
bahaya, yang memberi tahu bahwa ada sesuatu dalam kesadaran yang kurang, dan perlu
perluasan alam tak sadar. Bentuknya dapat gejala kejasmanian maupun kejiwaan.
Kompleks-kompleks adalah bagian kejiwaan kepribadian yang terbelah dan lepas dari
kontrol serta memiliki kehidupan sendiri dalam kegelapan dan ketidaksadaran, yang dapat
menghambat maupun memajukan kesadaran menyebabkan perilaku yang keliru (mis.lupa,
salah menulis, salah membaca, salah ucap, dan salah arah).
Simptom maupun kompleks marupakan gejala yang masih dapat disadari.

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
Mimpi sering timbul dari hal-hal yang terdesak, memiliki hukum dan bahasa sendiri, mimpi
tidak terkait sebab-akibat, ruang dan waktu. Bahasa mimpi adalah pelambang penafsiran,
menurut Jung, mimpi merupakan manisfer ketidaksadaran kolektif yang mempunyai fungsi
konstruktif, sebagai regulasai (pengaturan) isi ketidaksadaran, keberatsebelahan dari konflik.
Fantasi dan khayalan merupakan bentuk manisfer ketidaksadaran yang bersangkutan
dengan mimpi dan timbul pada saat taraf kesadaran merendah.
Archetype-archetype :
a. Reminiensi-reminiensi/kenang-kenangan
b. Pusat kekuatan dari ketidaksadaran
c. Penerimaan reaksi yang instingtif
d. Bawaan terhadap situasi-situasi di luar kesadaran.
Sumber ketidaksadaan adalah :
a) Timbul dari pengalaman-pengalaman masa lampau yang tak menyenangkan
b) Memeperlihatkan diri dalam bentuk simbolis
  Archetypus adalah isi kejiwaan yang ada sejak zaman purba atau yang dibawa sejak
manusia pertama lahir. Archetypus berbentuk pendapat dan reaksi instingtif yang terjadi di luar
kesadaran, artinya bahwa setiap individu akan berbuat sama dan reaksi sama .
Terhadap suatu peristiwa secara instingtif dan tanpa disadari serta muncul dari ketidaksadaran
kolektif, sumber archeytypus adalah ingatan tentang mitos,setan,roh jahat,perbuatan mistik,dan
warisan religius yang diwariskan leluhur, misalnya mistos tentang kekjaman ibu tiri,sifat ular
yang jahat, dan setan yang memiliki sifat jahat.
Bentuk khusus isi ketidaksadaran
Bayang-bayang adalah sifat atau kualitas ketidaksadaran sendiri yang dihadapi sebagai
sifat atau kualitas orang lain yang terbentuk dari fungsi dan sikap orang yang inferior. Bayang-
bayang merupakan bagian gelap dari kepribadian karena pertimbangan intelektual, nilai, dan
moral, kemudian dimasukkan kedalam ketidaksadaran karena tidak sesuai dengan prinsip
realitas kehidupan alam sadar.
Bila ”Aku” adalah pusat kesadaran dan ”bayang-bayang” sebagai pusat ketidaksadaran
individu maupun kolektis.
          Proyeksi proyeksi adalah menempatkan isi-isi batin dengan tidak sadar ke objek-objek di
luar dirinya.
          Imago adalah isi kejiwaan yang diproyeksikan kepada orang lain.
Aminus adalah maskunilitas (sifat kelaki-lakian) wanita yang ada dalam ketidaksadaran
manusia dan tidak dikembangkan. Jadi, perempuan ketidaksadarannya laki-laki  (animus)

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
         Anima adalah feminitas (sifat kewanitaan) laki-laki yang ada dalam ketidaksadaran
manusia dan tidak dikembangkan sehingga laki-laki ketidaksadarannya adalah perempuan
(anima).
          Anima dan animus memiliki hubungan dengan persona, yaitu :
a) Anima dan  animus merupakan perantara ”Aku” dengan dunia batin, dan
fungsinya menanggapi proses psikis individu ke dalaM
b) Persona merupakan perantara antara ”Aku” dan dunia luar (lahiriah) dan
berfungsi untuk menanggapi proses psikis individu keluar.
c) hubungan keduanya adalah kompensatoris
4.4. TEORI DAN PENDEKATAN TENTANG KESADARAN
Pada bagian ini dikaji aspek-aspek yang membentuk manusia. Pengenalan akan aspek-
aspek ini membuahkan pengenalan terhadap diri sendiri. Pengenalan terhadap diri sendiri
merupakan syarat utama untuk mencapai hidup yang otentik. Selain didorong oleh motivasi,
manusia juga dipengaruhi oleh kesadaran yang ada di dalam dirinya. Oleh karena itu, pada
bagian didalami beberapa refleksi filosofis tentang fenomena kesadaran manusia. Kerangka
kajian pada bagian ini terinspirasi oleh tulisan Ken Wilber dan Lycan W.G.
Di dalam sejarah para filsuf dan psikolog seringkali berbicara tentang “problematika
kesadaran” (the problem of consciousness), seolah problem kesadaran merupakan problem
yang sudah jelas pemetaannya. Descartes, seorang filsuf modern asal Prancis, berupaya
menanggapi problem itu dengan merumuskan pendapatnya sendiri. Ia berpendapat bahwa
pikiran manusia merupakan entitas yang lebih tinggi tingkatannya dari pada tubuh. Pikiran
mempunyai prioritas atas tubuh. Fakta bahwa kita dapat berpikir menunjukkan bahwa manusia
merupakan entitas yang memiliki kesadaran. Ada relasi internal antara kesadaran dan pikiran.
Pikiran juga memiliki prioritas atas dunia. Tanpa pikiran tidak ada realitas eksternal. Dengan
demikian pikiran terpisah dari dunia. Pikiran adalah entitas yang mandiri. Pikiran juga terlepas
dari tubuh. Argumen Descartes banyak dikenal sebagai teori tentang dualisme tubuh dan jiwa.
Pandangan semacam ini mendominasi dunia filsafat, terutama dalam metafisika dan
epistemologi, dari abad ke-17 sampai pertengahan abad ke-20. Pada akhir dekade 1950-an
pandangan ini mulai ditantang dari berbagai penjuru.
4.4.1. Behaviorisme dan Kritik terhadap Dualisme
Penantang pertama adalah para pemikir positivisme logis. Mereka memprioritaskan
verifikasi dari pikiran individual. Pernyataan yang bermakna adalah pernyataan yang bisa
diverifikasi langsung di dalam realitas. Pernyataan yang bermakna adalah pernyataan yang
menggunakan “bahasa bersama yang bisa diobservasi secara inter personal” (interpersonally

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
shared observation language). Cara pandang ini kemudian menjadi basis bagi behaviorisme di
dalam filsafat dan psikologi.
Behaviorisme, baik di dalam filsafat maupun psikologi, sebenarnya merupakan kritik
terhadap pandangan Descartes tentang pikiran dan kesadaran. Kritik pertama berpendapat
bahwa filsafat Descartes menggunakan bahasa-bahasa privat yang tidak diakui secara komunal,
sehingga keakuratannya patut dipertanyakan. Kritik kedua terhadap dualisme tubuh-jiwa
Cartesian adalah bahwa problem tentang keterpisahan tubuh dan jiwa di dalam filsafat
Cartesian seolah tidak akan pernah terselesaikan, dan hanya tetap tinggal sebagai misteri
manusia selamanya. Untuk memberikan kontribusi terhadap problem itu orang perlu
menggunakan piranti sains yang empiris dan eksperimental, seperti peran otot dan organ di
dalam relasi antara tubuh dan jiwa. Di dalam kerangka ilmiah ini hipotesis Cartesian tidak akan
lagi mengambang, melainkan bisa diverifikasi dan diuji secara empiris oleh orang banyak.
Menurut Lycan hipotesis Descartes tentang dualisme tubuh dan jiwa juga menyalahi
hukum fisika. Andaikan kita bisa membuka tengkorak kepala seseorang. Kemudian kita
mengamati proses mekanis yang ada di dalam otak. Di dalamnya kita melihat aliran listrik
yang tidak berasal dari manapun, tetapi hanya dari kekosongan. Artinya ada semacam energi
yang tidak berasal dari aspek biologis tubuh. Tentunya ini adalah penemuan yang
mencengangkan, dan akan menjadi afirmasi empiris atas dualisme. Walaupun dalam realitas
penemuan semacam ini akan sulit dilakukan. Para fisikawan akan menolak kesimpulan itu.
Tidak mungkin ada energi yang berasal dari kekosongan, pasti ada sebab biologis yang belum
diketahui.
Behaviorisme, baik di dalam filsafat maupun psikologi, berpindah dari sudut pandang
orang pertama menjadi sudut pandang orang ketiga, atau pengamat. Hal yang sama berlaku di
dalam refleksi tentang pikiran dan kesadaran manusia. Kesadaran manusia dianalisis secara
obyektif melalui sudut pandang pengamat, dan bukan dari sudut pandang orang yang
menghayatinya. Ini merupakan ciri khas pendekatan positivisme dan behaviorisme di dalam
menganalisis realitas. Di dalam tulisannya Lycan dengan tegas menyatakan bahwa
behaviorisme merupakan kritik yang salah sasaran terhadap dualisme di dalam filsafat.
4.4.2. Kritik terhadap Behaviorisme
Bagi para pemikir behavioris kondisi internal mental manusia bukanlah sebuah fakta.
Kondisi internal mental tidaklah relevan, karena itupun akan tunduk pada hukum aksi reaksi
dan stimulus respons. Misalnya anda bertanya pada orang di pinggir jalan, “Bagaimana
pendapat anda tent ang sepeda motor?” Ia menjawab, “Benda itu berbahaya. Begitu banyak
kecelakaan terjadi karenanya.” Maka dapatlah dipastikan jika anda menawarkannya untuk

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
mengendarai motor, maka ia akan menolaknya. Dalam hal ini kondisi internal mental
seseorang tidaklah relevan. Keputusannya nyaris bisa dipastikan, sama seperti satu tambah satu
sama dengan dua. Akan tetapi banyak filsuf berpendapat bahwa penolakan terhadap
pengetahuan tentang kondisi mental seseorang justru merupakan “kelupaan” terhadap aspek
paling penting yang mempengaruhi perilaku seseorang. Para pemikir behavioris menolak
mengakui kondisi internal mental seseorang sebagai sesuatu yang faktual demi alasan
rigorisitas saintifik. Misalnya anda duduk dan menghadap sebuah tembok berwarna hijau. Lalu
anda mengkontemplasikan warna hijau tersebut. Apakah warna hijau, yang merupakan
persepsi internal mental anda, tidaklah faktual? Hanya orang bodoh yang menyebut bayangan
anda tidak faktual.
Lycan kemudian mengajukan alternatif terhadap behaviorisme dalam bentuk teori identitas. Di
dalam teori ini kondisi internal mental seseorang berperan sangatlah penting di dalam
menentukan perilakunya. Ia menyebutnya sebagai perasaan-perasaan mentah (raw feels), yang
hanya dapat dipahami dengan menggunakan metode fenomenologi kualitatif. Perasaan-
perasaan mentah ini melibatkan pengalaman inderawi sekaligus gambar-gambar mental
(mental images). Teori identitas, juga behaviorisme, memang menolak pandangan-pandangan
dualisme Cartesian. Akan tetapi teori identitas juga menolak pandangan-pandangan dasar
behaviorisme. Dari sudut pandang teori identitas para pemikir behavioris mereduksikan
kondisi internal mental manusia melulu pada kondisi fisiknya. Menurut Lycan kondisi internal
manusia berbeda dengan kondisi fisiknya. “Kondisi mental”, demikian tulis Lycan. “..adalah
kondisi yang menjadi penghubung antara stimulus dan respons.” Kondisi mental adalah
kondisi di dalam diri manusia yang menentukan apa keputusan seseorang menghadapi keadaan
yang ada.
4.4.3. Teori-teori tentang Kesadaran
Pemahaman diatas dapat kita jadikan titik tolak untuk merumuskan teori tentang
kesadaran. Menurut Wilber, dewasa ini banyak bermunculan beragam pendekatan di dalam
memahami fenomena kesadaran manusia. Ada beberapa aliran yang kiranya cukup dominan di
dalamnya. Yang pertama adalah pendekatan ilmu pengetahuan kognitif (cognitive science).
Pendekatan ini mencoba memandang kesadaran sebagai bagian dari fungsi otak yang
kemudian berkembang (emerge). “Kesadaran dalam pendekatan ini”, demikian Wilber,
“dipandang sebagai berkembanganya jaringan-jaringan yang terintegrasi secara hirarkis.”
Kesadaran adalah sesuatu yang bertumbuh dari kompleksnya jaringan yang saling terhubung di
dalam otak manusia.

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
Pendekatan kedua adalah pendekatan instrospeksionisme (introspectionism). Di dalam
pandangan ini kesadaran dipandang sebagai kesadaran orang pertama yang tertuju pada sesuatu
di luarnya. Penafsiran terhadap realitas didasarkan pada kesadaran langsung yang muncul dari
pengalaman sehari-hari, dan bukan dari pengamatan obyektif orang ketiga. Menurut Wilber
pendekatan ini mencakup fenomenologi, eksistensialisme, dan psikologi introspektif.
Pendekatan ketiga adalah neuropsikologi. Di dalam pandangan ini kesadaran dipandang
sebagai sesuatu yang berakar pada sistem-sistem saraf, neurotransmiter, dan mekanisme otak
yang bersifat organik. Sekilas pandangan ini mirip seperti pendekatan ilmu pengetahuan
kognitif. Namun ilmu pengetahuan kognitif lebih menggunakan ilmu komputer sebagai pisau
analisisnya, sehingga seringkali, menurut Wilber, pendekatan ini mengalami kebingungan
tentang relasi antara kesadaran dengan struktur organik dari otak. Sementara pendekatan
neuropsikologi lebih berbasis pada ilmu biologi. “Dengan bersandar lebih pada ilmu saraf
daripada ilmu komputer,” demikian tulis Wilber, “neuropsikologi melihat kesadaran sebagai
sesuatu yang secara intrinsik terhubung dengan sistem saraf organik dengan kompleksitas yang
memadai.”
Pendekatan keempat adalah apa yang disebut Wilber sebagai psikoterapi individual
(individual psychotherapy). Pendekatan ini menggunakan psikologi interpretatif dan psikologi
introspektif untuk menyelesaikan masalah-masalah emosional dan personal. Pendekatan ini
melihat kesadaran sebagai sesuatu yang berakar pada kemampun adaptif dari individu terhadap
dunia luarnya. Pendekatan psikoterapi sangat mengandalkan suatu pemahaman tertentu tentang
kesadaran, karena pendekatan itu berurusan langsung dengan kemampuan individu untuk
menciptakan makna dari apa yang dialaminya. Ketidakmampuan individu untuk menciptakan
makna dari peristiwa yang dialaminya, terutama peristiwa buruk, akan membuatnya terjatuh
kepada tekanan mental emosional yang berat. Kondisi terakhir ini yang disebut sebagai
psikopatologi.
Pendekatan kelima adalah pendekatan psikologi sosial. Menurut Wilber pendekatan ini
melihat kesadaran sebagai sesuatu yang tertanam pada jaringan makna kultural tertentu.
Dengan kata lain kesadaran adalah produk dari sistem sosial yang ada di dalam suatu
masyarakat. Pendekatan ini terdiri dari pendekatan marxisme, konstruktivisme, dan
hermeneutika kultural. Semua pendekatan ini berakar pada satu asumsi bahwa kesadaran
tidaklah terletak melulu di kepala individu, tetapi ditentukan oleh kultur sosial-politik-ekonomi
masyarakat.
Pendekatan keenam adalah pendekatan psikiatri klinis (clinical psychiatry). Pendekatan
ini berfokus pada relasi antara psikopatologi, pola perilaku, dan psikofarmakologi. Sebenarnya

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
pendekatan ini mirip dengan neuropsikologi. Dewasa ini, pendekatan psikiatri klinis banyak
menggunakan kosa kata biologis untuk menganalisis “penyakit mental” manusia. Problem
emosional dan mental, dari sudut pandang ini, dianggap merupakan problem yang terdapat di
dalam sistem saraf. Pengobatannya dapat dilakukan dengan meminum obat tertentu, atau
melakukan terapi tertentu.
Pendekatan ketujuh adalah pendekatan psikologi perkembangan. Pendekatan ini
memandang kesadaran bukan sebagai sesuatu yang tunggal, tetapi sebagai sesuatu yang terus
berkembang di dalam proses. Setiap tahap di dalam proses tersebut memiliki perbedaan yang
substansial, dan harus dianalisis menurut kekhususannya masing-masing. Menurut Wilber
pendekatan ini juga menyentuh perkembangan-perkembangan unik di dalam diri manusia
dalam bentuk kemampuan supernatural. Kemampuan ini dianggap sebagai fungsi kognitif,
afektif, moral, dan spiritual yang berada di level yang lebih tinggi.
Pendekatan kedelapan adalah pendekatan pengobatan psikosomatik (psychosomatic
medicine). Pendekatan ini melihat kesadaran sebagai sesuatu yang terkait erat dengan proses-
proses tubuh yang bersifat biologis. Pada level yang lebih maju pendekatan ini melihat adanya
kemungkinan kesadaran sebagai fungsi penyembuh dari penyakit-penyakit akut yang diderita
manusia. Kesadaran bisa ditingkatkan dengan meningkatkan kekuatan doa didalam tradisi
religius, misalnya. Pendekatan ini juga mempelajari dampak kekuatan kehendak dan
intensionalitas manusia untuk penyembuhan. Bentuknya mulai dari terapi suara, visualisasi,
sampai dengan meditasi.
Pendekatan kesembilan, menurut Wilber, adalah pendekatan nonordinary states of
consciousness. Pendekatan ini mencakup area yang luas, mulai dari tafsir mimpi hingga
penggunaan obat-obat tertentu yang memiliki efek halusinatif. Pendekatan ini, menurut Wilber,
berusaha memahami kesadaran dalam arti yang luas. Pada titik ekstrem penggunaan obat
dengan efek halusinatif bisa menimbulkan keracunan. Akan tetapi jika digunakan secara tepat,
obat-obat semacam itu dapat memberikan penyembuhan pada kesadaran dengan cara-cara yang
tampaknya diabaikan oleh ilmu pengetahuan, atau diremehkan oleh pendekatan-pendekatan
lainnya.
Pendekatan kesepuluh yang diajukan oleh Wilber adalah pendekatan yang berasal dari
tradisi Timur yang bersifat kontemplatif. Di dalam pandangan ini kesadaran, seperti yang
dimaksud oleh ilmu-ilmu yang mempelajarinya, berada pada tingkatan yang lebih rendah dari
yang seharusnya bisa dicapai manusia. Untuk meningkatkan kesadarannya orang perlu
melakukan praktek meditasi dan yoga. Kesadaran yang sesungguhnya hanya dapat dicapai, jika
orang melakukan praktek tersebut secara konsisten.

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
Pendekatan kesebelas dalam pandangan Wilber adalah apa yang disebutnya sebagai
kesadaran kuantum. Di dalam pendekatan itu kesadaran dipandang sebagai sesuatu yang secara
intrinsik terikat dengan dunia fisik. Kesadaran memiliki interaksi dan kemampuan untuk
mengubah dunia luar. Jadi realitas ditentukan oleh kesadaran, terutama pada level
intracellular. Pendekatan ini mencakup teori tentang dawai di dalam memandang alam
semesta, sampai teori tentang hyperspace.
Pendekatan keduabelas adalah pendekatan yang disebut sebagai teori energi-energi
halus (subtle energies). Di dalam pendekatan ini penelitian dilakukan dengan berpijak pada
pengandaian, bahwa ada sesuatu yang disebut energi kehidupan yang melampaui fisika. Energi
ini mempengaruhi kesadaran dan perilaku manusia secara signifikan. Energi ini memiliki
banyak nama lain, seperti prana, ki, dan chi. Energi ini pula yang direkayasa di dalam praktek
akupunktur untuk kepentingan pengobatan. Menurut Wilber energi kehidupan ini merupakan
penghubung antara dunia luar yang bersifat material dengan kesadaran manusia, dan
sebaliknya, yakni dunia kesadaran manusia yang tertuju pada dunia luarnya.
Pemadatan Teori Lebih Jauh
Wilber tidak hanya menjabarkan beragam pendekatan di dalam memahami kesadaran, tetapi
juga menawarkan teorinya sendiri. Ia menyebutnya sebagai teori yang integral tentang
kesadaran. Pada hemat saya teori ini cukup representatif sebagai cara untuk memahami
fenomena kesadaran manusia. Coba kita lihat pandangannya lebih jauh.
Menurut Wilber suatu teori yang bersifat integral tentang kesadaran haruslah menempuh dua
langkah berikut. Yang pertama penelitian yang berkelanjutan di berbagai pendekatan yang
ingin memahami fenomena kesadaran manusia. Fenomena kesadaran adalah suatu enigma,
yakni sesuatu yang misterius. Masing-masing pendekatan yang telah dijabarkan sebelumnya
mampu memberikan sumbangan untuk memahami enigma ini. Setiap pendekatan penting, dan
layak mendapatkan dukungan lebih jauh untuk mengembangkan penelitiannya.
Memang jika dilihat sekilas beberapa pendekatan terlihat sangat dekat dengan mistik, sehingga
kadar ilmiahnya memang patut dipertanyakan. Akan tetapi, menurut Wilber, fenomena
kesadaran itu tidak melulu ilmiah, tetapi merupakan suatu misteri. Maka pendekatan apapun
sebenarnya bisa membantu kita untuk memahaminya. Dalam hal ini kesombongan ilmiah
sedapat mungkin harus dicegah.
“Tidak ada pikiran manusia”, demikian tulis Wilber, “yang dapat melakukan kesalahan seratus
persen. Kita dapat berkata, tidak ada orang yang cukup pintar untuk salah setiap waktu.”
Dalam konteks ini semua pendekatan dapat menyumbangkan kebenarannya masing-masing di

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
dalam proses memahami kesadaran. Semua cara harus ditempuh, supaya enigma yang bernama
kesadaran ini semakin dapat dipahami.
Yang kedua walaupun masing-masing pendekatan memiliki keunikannya sendiri, tetapi upaya
untuk menciptakan kerja sama di antara ragam pendekatan tersebut teruslah harus diupayakan.
Hal ini sangat penting supaya teori tentang kesadaran yang bersifat integral dapat dirumuskan
secara komprehensif. “Fakta bahwa, sebagian besar, pendekatan selama ini telah terkurung di
dalam kerangkengnya masing-masing”, demikian Wilber, “tidak berarti bahwa bahwa realitas
juga terkurung seperti itu. Realitas itu melampaui batas-batas paradigma ilmiah yang
digunakan oleh para peneliti. Realitas itu melompat dari satu kerangkeng ke kerangkeng yang
lain. Untuk merumuskan suatu teori komprehensif tentang kesadaran, kita perlu juga untuk
melompat dari satu pendekatan ke pendekatan yang lain, mengikuti lenturnya realitas yang
ingin kita teliti, terutama lenturnya fenomena kesadaran.
Setiap pendekatan memiliki asumsi dan metode yang berbeda. Akan tetapi masing-masing
pendekatan itu sebenarnya melukiskan aspek yang berbeda dari realitas yang sama. Dalam arti
ini setiap pendekatan sebenarnya saling berhubungan satu sama lain. Setiap pendekatan
menyentuh realitas, dan membahasakannya dengan menggunakan kerangka teorinya masing-
masing. Dengan demikian setiap pendekatan, apapun bentuknya, memiliki arti penting sebagai
salah satu cara untuk memahami satu aspek dari keseluruhan realitas, termasuk dalam
memahami kesadaran manusia.

4.5. Akal budi


Dalam tradisi skolastik dikatakan bahwa manusia mempunyai suatu lumen naturale,
suatu terang alam yang terletak dalam batinnya.21 Terang itu disebut alamiah, sebab terang itu
ditemukan dalam alam manusia sebagai bagian hakiki darinya. Terang yang ada dalam diri
manusia itu bersinar. Akibatnya apa yang disinari dimengerti. Terang yang bersinar itu
memberi pengertian kepada manusia. Dengan terang itu segala sesuatu dapat dimengerti atau
mendapat arti. Bukan hanya apa yang ada di sekitar manusia mendapat arti, tetapi karena
prinsip terang itu bersinar ke mana-mana, maka apa saja yang ada dalam jangkauannya,
termasuk manusia sendiri dapat dimengerti atau mendapat arti. Karenanya dikatakan bahwa
bagi manusia sadar realitas muncul seperti sebuah buku yang didalamnya dapat dibaca, sebab
apa yang ditulis didalamnya penuh arti. Dikatakan juga bahwa kesadaran merupakan suatu
cermin yang di dalamnya realitas dicerminkan. Pada permulaan realitas dicerminkan secara

21
Pada Aristoteles dan Thomas Aquinas, lumen natural itu disamakan dengan akal budi aktif (nous
poietikos, intellectus agens). Pada Aristoteles, akal budi ini dianggap bersifat ilahi, sedangka pada Thomas,
akal budi ini dipandang sebagai bagian manusia sendiri

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
terbatas, pada bayi itu hanya wajah ibu ada artinya. Kemudiaan realitas itu dicerminkan dalam
kesadaran secara lebih luas, tetapi juga secara lebih mendalam; dalam kesadaran ibu bayi itu
diartikan sebagai yang tersayang yang tak ada taranya di dunia.
Oleh sebab realitas mendapat arti karena terang alam yang ada dalam batin manusia,
maka terang alam itu oleh filsuf-filsuf Yunani disebut dengan logos. Kata ini menunjukkan
kemampuan kesadaran untuk mengerti realitas, dan sekaligus pengertian yang merupakan hasil
kegiatan kesadaran itu. Filsuf-filsuf zaman skolastik memakai kata ratio. Manusia adalah
makhluk yang memiliki ratio atau akal budi. Manusia adalah makhluk yang berakal budi,
animal rationale. Kata rationale menunjukkan kemampuan dasar manusia untuk mengerti
realitas.
Sementara para pemikir tertentu mengatakan bahwa istilah animal rationale kurang
tepat. Alasannya karena rationale tidak mengungkapkan cara mengerti manusia sebagai
makhluk yang mencari arti, melainkan cara mengerti secara obyektif dan ilmiah. Cara ini
memang tidak bersifat alamiah dalam manusia. Buktinya bahwa banyak orang tidak
menggunakan daya upaya mengerti secara ilmiah,namun mereka mengerti. Terhadap protes ini
dicari jalan tengah bahwa arti pertama ratio ialah akal budi dalam arti umum dan luas. Maka
menurut artinya yang asli, rasional tidak disamakan dengan ilmiah, tetapi menunjukkan logos
atau akal budi sebagai terang asli manusia, yang memberikan kemampuan kepadanya untuk
membuka arti-arti yang terletak dalam realitas.
4.6. Kebenaran
Bila realtias mendapat arti, apa yang dulu tersembunyi bagi manusia menjadi tidak
tersembunyi lagi baginya. Yang tak tersembunyi itu, oleh filsuf-filsuf kuno ditunjuk dengan
kata aletheia, yakni kebenaran. Apa yang mendapat arti menjadi tak tersembunyi, yaitu benar.
Kebenaran suatu hal diungkapkan dalam nama. Bayi itu tampak dalam batin ibunya dan
menyebabkan kegembiraan : a little beauty, a Joy forever”.
Ada orang yang bertanya, apakah suatu hal dapat disebut benar sungguh-sungguh, bila
hal itu berada pada kesadaran dan diberikan arti dan nama kepadanya? Bagaimana saya tahu,
bahwa arti yang diberikan itu benar? Orang yang bertanya secara demikian, ingin mendapat
suatu criteria yang mutlak bagi kebenaran, suatu bukti bahwa arti yang diberikan sungguh-
sungguh benar. Atas pertanyaan ini dapat dijawab, bahwa arti yang diberikan kepada suatu hal
benar secara sungguh-sungguh, bila hal itu benar-benar berada pada kesadaran. Alasannya
ialah bahwa kebenaran pada intinya tidak lain daripada kehadiran realitas pada kesadaran. Bila
suatu hal sungguh-sungguh berada pada kesadaran, hal ini menjadi eviden, yaitu nyata dan
benar.

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
4.7. Hidup Psikis
Dalam manusia terdapat suatu terang alamiah. Berkat terang itu realitas yang muncul
dalam lingkungan hidup mendapat arti, seperti umpamanya wajah ibu, orang-orang lain, objek-
objek yang ada di sekitar. Namun terang itu tidak hanya membuka dunia lingkungan saja.
Karena terang itu, sekaligus suatu dunia lain dibuka, yakni kehidupan batin manusia sendiri.
Batin itu ditunjuk dengan kata “psike” hidup batin disebut “hidup psikis”.
Dalam pergaulannya dengan orang dan barang, yang berada dalam lingkungan
hidupnya, manusia sadar tentang suatu kontak batiniah dirinya dengan apa yang muncul
dihadapannya. Kontak itu diadakan melalui perbuatan sadar, seperti melihat, mendengar dan
mengerti.
4.8. Perhatian dan Apersepsi
4.9. Jenjang-Jenjang Kesadaran
Terdapat hidup sadar ketika ketika orang sendiri seluruhnya menentukan isi kesadaran
dengan mengarahkan perhatian ke suatu obyek tertentu melalui kehendaknya. Dalam berbuat
itu, segala fungsi hidup secara sadar diperbantukan pada niat itu. Dalam penghayatan semacam
ini hasilnya merupakan suatu pengetahuan yang terang. Kemudiaan isi pengetahuan itu
ditempatkannya dalam keseluruhan hidup psikisnya sebagai penutup apersepsi “noetis”
(intelektual).
Dapat dikatakan bahwa dalam hidup sadar subjek menghadirkan dirinya pada
kesadarannya secara eksplisit, secara refleksif. Dalam refleksi macam itu, manusia mampu
mengambil keputusan-keputusan. Dalam refleksi macam ini juga manusia mengungkapkan
pandangannya dalam kata. Orang yang cerdik dapat juga memberikan perhatian eksplisit
kepada dua atau tiga objek sekaligus.
Tanggapan kesadaran sebagai hidup sadar, diutamakan dalam psikologi kesadaran abad
yang lampau. Hanya apa yang disadari secara sengaja dianggap sungguh-sungguh termasuk
kesadaran. Akan tetapi psikologi dianggap tidak lengkap karena pada kenyataannya ada
banyak hal disadari manusia yang tidak dipertimbangkan dan tidak dinilai. Oleh karena itu,
dapat disimpulkan bahwa disamping kesadaran refleksif ada juga kesadaran tak refleksif.
Kesadaran yang tak refleksif itu meliputi semua bidang hidup, tetapi terutama
menyangkut kelakuan. Kelakuan sering kali berlangsung tanpa adanya kontrol kehendak yang
sadar. Semua yang dilakukan secara instingtif termasuk jenjang kesadaran ini. Selain itu,
semua kegiatan yang bersifat otomatis berasal dari kesadaran tak refleksif. Pada permulaan
perbuatan macam itu diselenggarakan secara refleksif, kemudian secara spontan tanpa kontrol

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
yang sadar. Juga kegiatan kesadaran dalam membayangkan atau memikirkan sesuatu dapat
berlangsung tanpa adanya pengarahan yang sadar dari pihak subyek.
Kesadaran yang ada dalam perbuatan-perbuatan itu tidak bersifat eksplisit, melainkan
implicit, yakni tinggal terkandung dalam perbuatan sendiri. Kesadaran itu tidak lain daripada
berada manusia pada dirinya sebagaimana dialami olehnya dari permulaan sampai akhir hidup
(experience vecue). Jelas bahwa disini juga terdapat apersepsi noetis : apa yang dihayati
ditentukan isinya dan ditempatkan dalam keseluruhan hidup psikis.
Disamping kesadaran tak refleksif – di mana sesuatu kurang disadari, namun dihayati,
sehingga ditentukan isinya dalam apersepsi noetis – kiranya terdapat juga kesadaran di mana
apersepsi noetis itu tidak ada lagi. Dalam hal ini daapt dikatakan bahwa ada sesuatu yang tidak
dihayati secara sungguh-sungguh, namun dalam salah satu arti termasuk kesadaran. Ada
banyak contoh tentang hal-hal yang tidak dihayati sungguh-sungguh namun termasuk kategoris
kesadaran, seperti :
- Ada gambar yang muncur dalam ingatan, mimpi, hipnose, penggambaran eidetis. Itu
hanya mungkin, kalau gambar-gambar itu sudah termasuk kesadaran lebih dahulu.
Namun masuknya gambar-gambar itu tidak diperhatikan sungguh-sungguh, sebab tidak
diingat sama sekali.
- Dalam situasi tertentu, orang bereaksi secara spontan atas perangsang yang sebenarnya
tidak diperhatikan, umpamanya dalam situasi bahaya.
- Dalam pergaulan dengan orang lain, manusia secara spontan menyesuaikan diri dengan
tingkah laku orang lain itu, tanpa adanya kesadaran penuh tentang ekspresi-ekspresi
orang itu.
- Sering kali orang bertindak secara impulsive tanpa berpikir dan tanpa menghendaki
sungguh-sungguh, seperti dapat terjadi pada perbuatan instingtif dan otomatis.
- Bayangan, pikiran, motif, cita-cita sering kurang disadari. Juga hubungan antara
bayangan disadari secara kabur saja, seperti juga langkah-langkah pemikiran untuk
sampai pada suatu kesimpulan
Adanya jenjang-jenjang kesadaran, membawa kita kepada kesimpulan bahwa perhatian yang
memberikan arah kepada kesadaran, berbeda dalam menuju ke lapangan objek-objek. Ada
perhatian yang sungguh-sungguh menilai bagi apa yang disadari sebagai inti lapangan. Ada
perhatian yang kurang intensif bagi apa yag di sekitar inti lapangan, yakni sejumlah proses
psikis dan isi proses-proses yang semakin jauh dari inti itu makin kurang dinilai. Akhirnya
dapat timbul perhatian juga bagi suatu zone pinggiran lapangan itu, di mana ada objek yang
tidak disadari pada saat masuk.

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
Kalau ditanya mengapa tidak terdapat suatu kesadaran penuh tentang seluruh lapangan,
dapat dijawab, bahwa kesadaran memang mempunyai suatu keluasan yang terbatas.
Perangsang kuat pasti disadari. Kalau rangsangan tidak kuat, kemungkinan ada perangsang itu
tidak dihayati. Itu berarti bahwa energy yang memotori kesadaran, lebih besar daripada
kemampuan kesadaran itu.

BAB V
MANUSIA DAN DUNIA
(Bdk. Theo Huijbers, hal. 35)

5.1. Dunia dan pandangan dunia


Mengerti dunia sebagai keseluruhan yang terstruktur belum berarti mengerti dunia.
Pengertian dunia sebagai terstruktur harus dilengkapi melalui dua jalan. Pertama-tama
melalui analisis dunia dalam bagian-bagiannya. Menganalisis dunia secara demikian terjadi
dalam ilmu-ilmu pengetahuan, seperti fisika, biologi, psikologi, dll. Dalam tiap-tiap ilmu
pengetahuan diselidiki suatu bagian tertentu dunia obyektif itu, baik menurut strukturnya
maupun menurut fungsinya dalam keseluruhan. Jalan yang kedua untuk mendapat
pengertian lebih lengkap tentang dunia ialah dengan bertanya mengenai keseluruhan yang
terstruktur itu sendiri, yakni : apa gerangan makna dunia ini? Dengan ini ditanyakan
tentang fungsi atau tujuan dunia. Pertanyaan ini penting sebab apa yang ada dan
mempunyai struktur yang tertentu dialami sebagai sesuatu yang berfungsi, entah dalam arti
positif ataupun dalam arti negatif.

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
Dengan bertanya tentang fungsi dan tujuan dunia bukan dalam situasi obyektifnya,
melainkan dalam hubungannya dengan manusia sebagai subyek. Dengan demikian, soal
dunia menjadi soal manusia, yaitu apa fungsi dunia dalam hidup manusia? Pertanyaan
yang serupa dapat diajukan juga, ketika ditanyakan tentang arti dunia hidup manusia. Di
sini arti dunia dibatasi pada lingkungan hidup yang khas bagi tiap-tiap manusia. Dimana ia
bertemu dengan barang-barang dan orang-orang tertentu. Disini, dunia itu dipersoalkan
dengan melibatkan artinya sebagai keseluruhan. Pertanyaan yang muncul disini adalah apa
nilai dunia? apa yang dapat diharapkan dari dunia? Dengan bertanya seperti ini,
perbedaan antara soal dunia dan soal hidup telah hilang. Manusia yang hidup didunia ini
dapat mengharapkan apa? Jawabannya diberikan atas pertanyaan ini mendapat bentuknya
dalam suatu pandangan dunia atau pandangan hidup (way of life).
Dengan diangkatnya pengertian dunia dalam pandangan subyek, pengertian dunia
ini kehilangan persamaannya dengan dunia material. Dunia yang dipersoalkan ialah dunia
yang merangkum semuanya, baik yang real maupun yang ideal. Apa saja yang ditemukan
manusia selama hidupnya di dunia ini, barang-barang, orang-orang, nilai-nilai hidup
bersama dan rohani, semuanya ini termasuk pengertian dunia. Maka di sini sungguh-
sungguh benar : dunia adalah keseluruhan realitas tanpa kekecualian. 22
5.2. Mendiami Dunia : Kedudukan manusia dalam dunia : Biologis, individu dan sosial
Seorang anak menggambarkan dunia sebagai sebidang tanah yang datar. Ditengah
kertas digariskan suatu strip. Di bawah strip itu ada dunia. Memang itu dunia, sebab di atas
strip itu dilukiskan rumah-rumah dan orang-orang. Mungkin juga burung-burung terbang di
udara. Jelas dunia dimengerti anak-anak sebagai kediaman manusia. Pandangan yang sama
tampak jika dunia dibandingkan dengan sebuah panggung. Pelaku-pelaku berdiri di atas
panggung dan main sandiwara (Bdk. Lagu Panggung Sandiwara – Nicky Astria – Dunia
ini panggung sandiwara – cerita yang mudah berubah – Kisah Mahabrata atau trategi
dari Yunani – Setiap kita dapat satu peranan – Yang harus kita mainkan – Ada peran
wajar dan ada peran berpura-pura – Mengapa kita bersandiwara – mengapa kita
bersandiwara – Peran yang koncak bikin kita terbahak-bahak – Peran bercinta bikin
orang mabuk kepayang – Dunia ini penuh peranan – Dunia ini bagaikan jembatan
kehidupan – Mengapa kita bersandiwara – Mengapa kita bersandiwara – Dunia ini penuh
peranan – Dunia ini bagaikan jembatan kehidupan – Mengapa kita bersandiwara –
Mengapa kita bersandiwara). Panggung berarti sebagai panggung atau tempat dari

Dalam konteks filsafat skolastik dapat dikatakan bahwa makna dunia yang dicari, adalah kebenaran, kebaikan, dan
22

keindahan darinya, yang terletak dalam seluruh realitas. Sifat-sifat ini sudah terkandung dalam realitas sebagai suatu praarti.
Tugas manusia adalah mencarinya, sehingga muncul dalam bentuk makna dunia.

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
permainan yang dipentaskan di atasnya. Demikian juga dunia mendapat artinya dari
manusia yang hidup di atasnya.23
Pengertian spontan dunia sebagai kediaman manusia menunjukkan makna dunia
itu. Guna mendapatkan pengertian yang sungguh-sungguh tentang makna dunia itu, perlu
dipertimbangkan apa yang dimaksud dengan kata mendiami. Bila dikatakan bahwa orang
mendiami dunia, mendiami itu artinya apa?24
Pertama, mendiami dunia adalah tinggal dalam dunia sebagai ruang dan tempat di
mana manusia bergerak. Bagi saya maupun orang lain dan benda-benda mengisi salah satu
tempat di dalam ruang itu. Dunia sebagai ruang ditemukan manusia melalui badannya,
yakni secara lahiriah dan jasmani. Karena itu, dunia dapat ditentukan sebagai suatu
kenyataan real, dan ruang sebagai sifat material dunia. Dalam dunia material itu, manusia
memenuhi kebutuhan jasmaninya, seperti makan, minum, dan sebagainya.
Kedua, mendiami dunia berarti membangun rumah dan hidup didalamnya. Oleh
kebanyakan orang, kata mendiami secara spontan digabungkan dengan mendiami rumah.
Mendiami dunia ini sulit dilangsungkan tanpa mendiami rumah, betapa kecil dan sederhana
rumah itu juga. Dengan memiliki rumah, orang memiliki tempat berteduhnya melawan
hujan, angin dan matahari, lagi pula suatu tempat di mana mereka bebas dan leluasa dapat
memenuhi kebutuhan dasar hidup, yakni makan, minum, istirahat, dsbnya. Tetapi
kebutuhan yang paling menonjol dalam mendiami rumah ialah kebutuhan akan hidup
bersama sebagai keluarga. Di rumah, kebersamaan paling dalam artinya, dan kata ‘kita’
mendapat maknanya yang paling dalam. Dalam lingkup kebersamaan yang akrab itu
kebanyakan orang berbuat juga apa yang termasuk inti hidup, yakni lahir, mencintai, dan
meninggal dunia. Mendiami adalah cara orang mendiami dunia.
Ketiga, mendiami bumi ialah hidup bersama orang lain dalam masyarakat.
Kebersamaan dan kemungkinan memenuhi kebutuhan hidup, yang dialami manusia dalam
menghuni rumah, dialaminya juga dalam hidup masyarakat, walaupun dengan nada
perasaan lain. Pentingnya hidup dalam masyarakat diinsyafi secara tajam oleh orang yang
merantau dan hidup jauh dari tanah airnya. Umpamanya, tidak mengherankan bahwa orang
Ambon yang merantau suka bernyanyi tentang “ambon manise” karena nostaligia ke
kampong halamannya dengan adat-istiradat yang khas bagi mereka dan nenek moyangnya.
Masyarakat dan adat-istiadat seperti ditemukan dalam tanah air termasuk dunia sebagai
23
Pandangan atas dunia sebagai tempat sandiwara cukup terkenal dalam semua kebudayaan. Di Indonesia,
pengertian ini mendapat suatu bentuk konkret yang istimewa dalam wayang. Para pelaku wayang menggambarkan orang-
orang sebagai penghuni dunia dengan segala ancaman, segala baik dan buruk dihadapinya. Wayang adalah lambing hidup
24
Bahwa manusia mendiami dunia, diungkapkan oleh para filsuf eksistensialisme. Menurut filsuf-filsuf Perancis,
seperti Marcel, Sartre, Merleau – Ponty adanya manusia ditentukan sebagai berada di dunia atau menghuni ( habiter) dunia.
Menurut eksistensialisme Jerman, berdiam (wohnen) merupakan sesuatu yang khas bagi eksistensi manusia.

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
lingkungan hidup tertentu. Akan tetapi masyarakat dan kebudayaan itu sekaligus
mengandung nilai-nilai yang melebihi dunia lingkungan itu, seperti keramahan, keakraban,
dsbnya. Mendiami dunia umumnya berarti hidup bersama dalam masyarakat dengan cita-
cita dan nilai-nilai hidup tertentu.
Keempat, mendiami dunia berarti menciptakan nilai-nilai yang sesuai dengan
kebutuhan-kebutuhan rohani. Nilai-nilai yang dimaksudkan di sini ialah bukan hanya nilai-
nilai yang berasal dari hidup bersama dalam rumah dan masyarakat, melainkan khususnya
nilai-nilai yang universal yang menyatakan dunia sebagaimana dihayati manusia. Nilai-
nilai itu diciptakan manusia dengan memikirkan dan membayangkan dunia, seperti halnya
dalam filsafat dan kesenian. Dengan menggunakan ide-ide, bayangan-bayangan, gerakan-
gerakan, bunyi-bunyi dan lain sebagainya diberikan suatu wajah baru kepada dunia, suatu
wajah rohani. Buku, musik, lukisan, patung dan tarian dan sebagainya merupakan
perwujudan material nilai-nilai itu. Mereka tidak hanya menghiasa dunia sebagai tempat
kediaman manusia, melainkan ikut membentuk kediaman itu sendiri, yakni sbeagia dunia
ideal. Dalam perwujudan nilai-nilai itu menjadi nyata bahwa mendiami dunia bukan saja
mendiami dalam arti material saja. Mendiami dunia berarti juga tinggal dalam dunia yang
penuh nilai itu.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dunia ditanggapi
sebagai kediaman manusia, oleh sebab dunia dialami sebagai lingkungan yang tepat untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan alam, baik jasmani maupun rohani. Tinggal dalam rumah
dan ditengah masyarakat merupakan konkretisasi mendiami dunia. Dapat dikatakan juga
bahwa membangun rumah dan membentuk suatu masyarakat adalah upaya-upaya manusia
untuk menjadikan dunia suatu tempat kediaman yang wajar baginya.
5.3. Aman Sentosa
Mendiami dunia diiringi oleh suatu perasaan hidup tertentu dalam hati manusia,
yakni rasa aman sentosa. Dalam merasa aman sentosa itu, manusia merasa dirinya cocok
dengan dunia dan percaya kepadanya.
Manusia merasa dirinya cocok dengan dunia, sebab kebutuhannya dan cita-cita
pribadinya dipenuhi didalamnya. Memang sering kali terjadi bahwa terjadi kesenjangan
antara apa yang ada dalam dunia dan apa yang ada dalam kecenderungan dan keinginan,
sehingga timbullah rasa kecewa. Akan tetapi kesenjangan ini tidak menghilangkan rasa
cocok itu. Ternyata rasa cocok itu lebih fundamental dairpada perasaan negative yang
timbul dalam hidup. Hal ini menandakan bahwa rasa cocok itu menyatakan hubungan
alamiah manusia dengan dunia; manusia sungguh-sungguh makhluk dunia. Rasa cocok itu

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
juga dapat menimbulkan suatu keakraban emosional yang mendalam dengan dunia.
Manusia merasa betah di dunia, merasa aman sentosa.
Manusia juga terdorong untuk percaya kepada dunia. Hubungan manusia dengan
dunia dihayati sebagai suatu hubungan kepercayaan tampak dalam nasfsu manusia untuk
mempertahankan diri. Tiap-tiap manusia terus-menerus berusaha untuk menyesuaikan
dunia dengan dirinya, dan kalau hal ini tidak mungkin, unguk menyesuaikan diri dengan
dunia. Setiap manusia juga selalu siap untuk berbuat apa saja untuk mengamankan dirinya
terhadap segala bahaya yang mengancam hidupnya. Hal ini menandaskan bahwa dalam
hati manusia terkandunglah suatu kepercayaan bahwa keinginan-keinginan hatinya dapat
dipenuhi dalam hidup di dunia ini. Kuatnya kecenderungan untuk mempertahankan diri
dalam hidup mencerminkan rasa betah, rasa aman sentosa manusia di dunia.
Rasa aman sentosa yang mengiringi hidup manusia di dunia ini, terasa olehnya
sebagai suatu kebutuhan yang termasuk wujudnya, dan karenanya sejak masa mudanya
dibawa sebagai bekal yang tidak pernah hilang. Memang rasa itu tidak selalu sama kuat.
Dapat terjadi bahwa penghargaan manusia terhadap dunia sebagai kediaman hidup
berkurang, yakni kalau apa yang diharapkan dari hidup di dunia ini tidak tercapai. Dalam
situasi sepeti ini, dunia dialami manusia sebagai sesuatu yang menentang rasa sentosa yang
bersemayam dalam hatinya. Betapapun rasa sentosa itu mulai goncang, rasa itu pada
intinya tetap ada, sebab hubungannya dengan dunia tetap terasa olehnya sebagai suatu
hubungan alamiah. Dan jika dunia berlarut-larut dialami sebagai tidak cocok dengan
kebutuhan-kebutuhan pribadi, dapat terjadi bahwa hubungan kepercayaan terhadap dunia
begitu berkurang, sehingga akhirnya orang merasa bosan hidup, seakan-akan nilai yang
terkandung dalam mendiami dunia kehilangan pengaruhnya. Berapa jauh jaraknya manusia
dari akar-akar hidupnya dinyatakan dalam rasa sentosa itu. Rasa sentosa itu berfungsi
sebagai tolok ukur bagi penghayatan manusia tentang dunia sebagai kediaman alamiahnya.
Faktor-faktor yang menyebabkan rasa kurang betah di dunia adalah sebagai
berikut : Pertama, faktor obyektif yakni situasi dunia yang kurang memuaskan entah dunia
individual atau dunia bersama atau kolektif; Kedua, faktor subyektif, yakni psike pesimis
seseorang terhadap peristiwa-peristiwa hidup, dengan akibat bahwa hidup di dunia ini tidak
dinikmati lagi. Ketiga, faktor dapat menjadi hambatan untuk menilai hidup secara positif,
yakni pandangan bahwa dunia dan hidup kurang berarti.
5.4. Pandangan Hidup Umum
Orang akan merasakan dunia cukup bernilai, jika salama hidupnya dapat memenuhi
kebutuhan-kebutuhan pokok hidupnya seperti kebutuhan yang berkaitan dengan kehidupan

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
vital psikis, yakni untuk makan, minum, dsbnya. Selain itu, terdapat juga kebutuhan akan
suatu hidup bersama yang akrab dengan orang-orang tertentu. Sekelompok orang merasa
kebutuhan juga untuk menikmati kekayaan dunia seperti keindahan alam dan semarak
mulia hasil-hasil kesenian. Bila orang dapat hidup dalam suatu lingkungan macam itu,
hidup dianggap cukup berarti.
5.5. Situasi Hidup
Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap penilaian hidup di dunia ini ialah
situasi hidup pribadi. Bila situasi hidup baik, penilaian terhadap dunia akan baik dan sangat
bertentang jika situasi hidup pribadi kurang menguntungkan. Sebagai contoh, bagi seorang
yang sehat dan kaya sulit memandang dunia sebagai sama sekali tidak bernilai. Mungkin
orang itu tidak merasa bahagia, akan tetapi sekurang-kurangnya baginya ada kemungkinan
untuk memilih jalan hidup yang dikehendakinya. Sedangkan bagi orang yang sakit dan
miskin, tidak ada kemungkinan untuk memilih. Orang yang sakit dan miskin hanya
memiliki usaha supaya penderitaan tidak terlalu besar. Artinya bahwa kenikmatannya
berhenti pada makan dan minum, lagi istirahat karena kelemahan badan. Maka bagi orang
macam ini sulit menghayati hidup di dunia ini secara positif.
Situasi-situasi hidup yang mengurangi atau nyaris menghilangkan kecenderungan
alamiah manusia untuk menilai dunia dan hidup secara positif, adalah :
(1) Keadaan jasmani yang kurang baik
Keadaan ini langsung berhubungan dengan dunia sebagai tempat manusia bergerak
dan menjalankan kegiatan-kegiatannya, akan tetapi secara tidak langsung mempengaruhi
seluruh hidup. Kalau orang tampan atau cantik, merasa enak badan, tidak tegang, karena
proses metabolism, pencernaan, pernapasan, peredaran darah, sekresi intern berjalan
dengan semestinya, lagi pula keadaan mental tidak terganggu, maka semua syarat jasmani
telah terpenuhi untuk menghadapi dunia dengan sikap optimis. Itulah sebabnya bahwa pada
seorang yang tidak merasa betah dalam badan sendiri, rasa betah sebagai makhluk yang
mendiami dunia juga dapat berkurang.
(2) Kemiskinan
Kemiskinan itu langsung berhubungan dengan kebutuhan manusia untuk mendiami
rumah dengan segala keuntungan yang ada didalamnya. Namun di banyak tempat di dunia
ini, orang tidak mendapat suatu tempat yang layak untuk hidup sebagai manusia. Begitulah
halnya di bagian tertentu dunia ketiga, di mana nasib orang sungguh-sungguh
menyedihkan. Orang-orang itu menderita karena kelaparan dan penyakit, dan sama sekali
idak ada suatu prospek hidup yang cerah. Realitas kemiskinan bukan hanya menjadi

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
persoalan Negara dunia ketiga, tetapi juga menjadi persoalan dalam masyarakat yang maju
– dimana ada orang yang terlantar yang tidak mampu untuk memperoleh rejeki yang
diperlukan untuk hidup secara manusiawi.
(3) Ketidakadilan
Apa yang diharapkan orang dari kehidupan masyarakat adalah suatu hidup bersama di
mana semua orang diberi kemungkinan mengembangkan hidupnya sebagaimana mestinya.
Namun ternyata ada orang yang termasuk golongan bawah, yang tidak diberi kesempatan
untuk membangun suatu hidup yang berarti.
(4) Situasi wanita
Salah satu kasus khusus ketidakadilan di dunia adalah situasi wanita. Problem ini masih
cukup aktual hingga saat ini. Berhadapan dengan kenyataan seperti ini, kita perlu bertanya
“apakah gerangan dosa wanita sehingga sejak dulu mereka harus mengalami kegetiran
dalam hidup yang tiada putus dan mengalami perlakuan yang tidak adil….Kita tahu hidup
adalah apa yang sesungguhnya terjadi, bukan apa yang seharusnya terjadi. Adakala manis,
adakala pahit. Tetapi kenapa hanya kepahitan yang kita berikan kepada kaum wanita?
(Bdk. Raden Yusuf). Prospek hidup bagi wanita yang masih dalam situasi ketidakadilan ini
kurang memberikan harapan.
(5) Malapetaka
Orang dapat saja mengalami malapetaka yang memusnahkan nilai-nilai hidup yang
diciptakan manusia. Malapetaka yang paling ditakuti orang ialah perang. Hidup orang akan
terancam di tengah medan perang. Bagi orang yang tidka berperan aktif dalam perang
tetap ada bahaya, bahwa mereka kehilangan harta bendanya. Hidup sendiri tidak lagi aman
juga, dan sulit mempertahankan suatu sikap positif terhadap masa depan.
Dapat dimengerti bahwa menurut pandangan orang yang tinggal dalam situasi-situasi
tertentu kemungkinan untuk hidup bahagia sangat terbatas. Karenanya bagi mereka sulit
memandang hidup secara positif. Namun kenyataan ini bisa juga terjadi sebaliknya bahwa
ada orang miskin, sakit dan tertindas yang tetap bergembira. Hal ini berkaitan dengan psike
pribadi manusia.
5.6. Optimisme dan pesimisme
5.7. Pandangan Hidup dan Kematian
5.7.1. Pandangan hidup negatif
5.7.2. Katakutan
5.7.3. Pandangan hidup positif
5.8. Harapan

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
BAB VI
KEBEBASAN SEBAGAI EKSISTENSI MANUSIA
(Bdk. Kasdin Sihotang, hal 65 & Anton Bekker, hal. 211)

Pengantar

Dalam bab sebelumnya sudah dinyatakan bahwa jiwa memiliki arti penting bagaimana
manusia. Eksistensi jiwa dalam tubuh memampukan manusia untuk menghadirkan diri secara
total di dunia dan memungkinkan manusia untuk menentukan perbuatannya. Dalam fungsi
yang terakhir ini jiwa berhubungan dengan kehendak bebas. Bahkan dapat dikatakan karena
jiwa manusia menjadi makhluk yang bebas. Kebebasan adalah hal mendasar bagi manusia dan
merupakan syarat penting bagi humanisasi. Karena itulah, Erich Fromm tidak salah ketika
menyatakan bahwa sejarah manusia merupakan sejarah perjuangan kebebasan. Dalam
pernyataan ini, Erich Fromm ingin menegaskan bahwa kebebasan menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari eksistensi manusia.
Namun persoalan muncul, apakah manusia sungguh-sungguh bebas? Kalau “Ya”, argumen-
argumen apa yang meneguhkan pengakuan ini? Apa pengertian kebebasan? Apa makna
kebebasan? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi titik pijak pembahasan dalam bab ini.
Pembahasan akan dikelompokkan dalam lima bagian. Pada bagian pertama akan dibahas
pandangan-pandangan kelompok yang menolak kebebasan sebagai bagian eksistensi manusia.
Kelompok ini disebut determinisme. Pada bagian keduanya, topik pembicaraan beralih ke

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
argumen-argumen yang menempatkan kebebasan sebagai hal mendasar bagi manusia. Bagian
ketiga akan berisikan uraian tentang makna kebebasan, kemudian dilanjutkan dengan uraian
atau kajian tentang jenis-jenis kebebasan yang menjadi pokok kajian dalam bab keempat.
Untuk menutup bab beberapa kesimpulan akan mengisi bagian kelima.

BAB VII
PENGETAHUAN SEBAGAI CARA BERADA MANUSIA
(Bdk. Kasding Sihotang, hal 85)
Pengantar
Pada bab sebelumnya dikaji tentang bagaimana peran kebebasan bagi perwujudan eksistensi
manusia. Pada bab ini diuraikan tentang pengetahuan.25 Pengetahuan juga merupakan gejala
khas manusiawi. Persoalan-persoalan yang diangkat di sini adalah bagaimana pengetahuan
menjadi ungkapan kesadaran manusia? Apa yang diandaikan oleh pengetahuan? Apa saja ciri-
ciri umum pengetahuan? Manakah bentuk-bentuk pengetahuan manusia? Pertanyaan-
pertanyaan ini menjadi titik tolak kajian dalam bab ini.
Pembahasan akan dibagi dalam lima (5) bagian. Bagian pertama akan membicarakan
pengetahuan sebagai fenomena kesadaran manusia. Bagian kedua berisikan kondisi-kondisi
yang memungkinkan pengetahuan. Dalam bagian ketiga akan dikaji tentang ciri-ciri umum
pengetahuan. Bagian keempat akan membahas bentuk-bentuk pengetahuan. Bagian kelima
merupakan kesimpulan.
7.1. Pengetahuan Sebagai cara Berada
Kegiatan mengetahui merupakan aktivitas khas manusia. Dikatakan khas, karena di
antara makhluk-makhluk yang ada hanya manusia yang bisa melakukan kegiatan ini. Kegiatan

25
Sebagai catatan, yang dibahas disini adalah pengetahuan sebagai fenomena manusia dan kondisi-kondisi
yang memungkinkan pengetahuan, bukan filsafat ilmu pengetahuan, walaupun hal ini barangkali tidak bisa
terhindari.

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
ini merupakan instrumen bagi manusia untuk berpengetahuan. Dan isi pengetahuan manusia
tidak lain adalah hidup manusia itu sendiri. Dalam pernyataan itu ditemukan dua sisi. Di satu
sisi pengetahuan tidak terpisah dari keberadaan manusia. Di sisi lain, melalui pengetahuan
manusia mengungkapkan eksistensinya sebagai makhluk yang rasional
7.2. Syarat-syarat pengetahuan
7.3. Ciri-ciri umum Pengetahuan
7.4. Dua bentuk Pengetahuan
7.4.1. Pengetahuan Indrawi
7.4.2. Pengetahuan Intelektual
7.4.2.1. Arti Pengetahuan Intelektual
7.4.2.2. Ciri-ciri Pengetahuan Intelektif
7.4.2.3. Tingkat-Tingkat Pengetahuan Intelektif
7.5. Kesimpulan

Bab VIII
SOSIALITAS MANUSIA
(Bdk. Anton Bakker, hal 35-53)

8.1. Sosialitas Manusia pada Umumnya


8.1.1. Arti Umum
Pertama, setiap manusia adalah aku, pribadi dan subjek yang sadar. Ini merupakan
fakata mutlak dan kenyataan dasar yang tidak tersangkalkan. Sebagai pribadi setiap manusia
memiliki cirri-ciri sebagai berikut: Pertama, tertentu dan khusus; kedua, utuh dan tak terbagi;
ketiga, otonom dan unik.
Kedua, aku selalu menyadari diri dalam hubungan dengan orang lain dan dengan dunia
infra human (benda-benda inorganik, tumbuh-tumbuhan dan hewan), menurut semua aspek.
Misalnya: guru dan murid, tukang ojek dan penumpang.
Aku ditentukan oleh orang lain: nama dan fungsi. Yang lain memberikan tempat dan
peranan. Saya menjadi aku yang konkret ini, sejauh saya mengakui keberadaan yang lain dan
sejauh mereka mengakui saya. Aku menentukan mereka pula. Semua saua beri nama;
misalnya: air, hutan, seorang petani, nelayan, mahasiswa mempunyai dunia lain. Orang lain
tergantung padaku, merek saya tentukan. Duniaku adalah seperti saya artikan. Penilaianku
terhadap orang lain menampakkan diriku.
Ketiga, otonomi dan ko-relasiku (hubungan timbal balik dengan yang lain) saling
menentukan. Ada kesesuaian mutlak antara kesadaranku akan diri dan pengakuanku akan

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
yang lain dan pengakuan mereka akan aku sejauh saya terima. Otonomi dan korelasi saling
menentukan. Aku ada, sejauh aku berperan dan berfungsi di antara yang lain. Aku hanya
mempunyai identitas dalam relasi dengan yang lain. Tetapi aku baru berhubungan sejauh
’aku’ ini ’ada’. Bukan soal memilih, misalnya antara watak atau lingkungan. Sosialitas ini
bukan kekurangan atau kelemahan, yang hanya membantu saja. Adaikata begitu, maka
sosialitas akan berkurang, sejauh aku ini otonom. Tetapi semakin otonom, semakin pula aku
berkorelasi.
Keempat, maka kep entingan pribadi dan kepentingan orang lain (juga kepentingan
bersama) tidak saling bertentangan. Yang baik atau yang buruk bagi kita bersama, adalah baik
dan buruk bagi aku pribadi dan sebaliknya. Demikian ditemukan suatu norma dosa. Cinta
akan diri sendiri pada dasarnya sejajar dengan cinta akan orang lain; dan sebaliknya. Korban
nyata itu bukan kerugian bagi diriku, dan kebahagiaanku bukan kerugian bagi orang lain. Dosa
paling fundamental ialah iri hati (ingin agar orang lain tidak memiliki.....tidak berhasil dalam
usaha).
8.1.2. Lingkaran dan Gradasi
Dalam hubungan dengan yang lain dibedakan macam-macam bidang lingkaran dan
gradasi.
8.1.2.1. Hubungan dengan manusia lain
Pertama, ada bidang dan kesatuan hidup tertentu: kebudayaan dan bangsa, keluarga, negara
sebagai kelompok sosial politik, kelompok agama atau ideologi. Ada antar-aksi besar antara
semua kelompok tersebut.
Kedua, hubungan dengan orang lain mempunyai intensitas yang berbeda-beda. Pertama,
hubungan yang ekonomis, pragmatis, utilitaristis: hubungan fungsional, seperti perdagangan.
Kedua, hubungan personal. Hubungan dalam keluarga, dengan sahabat. Tetapi taraf-taraf itu
tidak dapat saling lepas karena saling membutuhkan.
8.1.2.2. Hubungan dengan dunia infra human
Berbeda dengan hubungan dengan manusia lain, sebab hewan, pohon dan batu bertaraf
lebih rendah daripada manusia. Manusia dan makhluk-makhluk infra human bertumbuh
bersama-sama. Makhluk-makhluk infra human menjadi dasar dan landasan bagi kehidupan dan
perkembangan pada taraf human.
8.1.2.3. Integrasi harmonis
Kesadaran akan adaku sebagai pribadi hanya dapat terbentuk harmonis, jikalau
manusia mengintegrasikan secara harmonis lingkaran dan gradasi yang terdapat dalam
relasinya dengan yang lain ini merupakan suatu norma etis.

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
8.1.3. Komunikasi dan Partisipasi
8.1.3.1. Sebagai kegiatan umum
Dalam hubungan satu dengan yang lain manusia saling mengadakan. Manusia tidak
hanya mengembangkan dirinya secara imanen, melainkan juga secara transenden
mengembangkan orang lain. Dalam hubungan dengan itu, ia memberikan dirinya sendiri
kepada yang lain, namun tanpa kehilangan dirinya. Dan pemberian diri itu diterima oleh yang
lain, namun menurut gayanya pribadi dan tanpa merasa terpaksa. Tetapi sebaliknya iapun
memberikan dirinya sendiri kepada orang pertama, dan ditampung olehnya pula.
Dalam komunikasi diri itu, kedua belah pihak masing-masing aktif dan pasif.masing-
masing hanya dapat memberi seukuran dengan menerima; dan hanya menerima sejajar
dengan memberi. Dengan demikian terjadilah kesatuan benar (entah dalam kebahagian, entah
dalam kemalangan), tanpa membahayakan otonomi masing-masing. Malahan semakin
bersatu, semakin berbeda pula. Semakin berbeda, semakin mereka bersatu.
8.1.3.2. Pengertian (Pengartian)
Pengertian ini tidak hanya merupakan observasi belaka, tetapi memahami orang lain
menurut apa adanya, berdasarkan keunikannya. Maka pengertian itu bukan saja bersifat pasif,
melainkan aktif pula. Aku mengartikan yang lain, membagi dan menanamkan arti kepadanya.
Dengan demikian aku sendiri menjadi aku, dan sekaligus aku mengadakan dia dan
mempengaruhinya. Maka ilmu yang benar selalu bersifat praktis-operasional.
Tetapi pengertianku ini menyangkut inti orang lain yang paling dalam, misterinya yang
tidak dapat dikuasai, melainkan hanya dapat diterima sebagai karunia. Manusialah objek
utama bagi segala pengertian. Pemahaman akan orang lain sekaligus memuat kepastian dan
penyerahan bebas. Hanya dengan kesediaan untuk terbuka, aku dapat melihat dia secara tepat.
8.1.3.3. Penghendakan (Penilaian)
Penilaian adalah suatu pengambilan sikap yang menyeluruh dan menjadi konkret dalam
bentuk; cinta atau benci. Aku menerima atau menolak orang itu. Dan sikapku ini mengadakan
orang lain, entah memajukan orang itu, entah mencelakakan dia. Aku menanamkan nilai
dalam dia sesuai dengan adanya. Terutama dalam cinta aku berusaha menghidupkan
keunikannya; bagi saya dia menjadi mutiara. Cinta sejati tidak mengobjekkan, melainkan
menyerahkan diri, tanpa menghitung resiko atau waktu (setia). Cinta tidak pernah menutup
komunikasi; tidak mengadili secara defenitif.
8.1.3.4. Komunikasi dengan dunia infra human
Dengan dunia infra human manusia juga berkomunikasi; saling mengadakan. Dalam
komunikasi manusia mendunia. Dunia infra human membentuk manusia, dan manusia

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
memanusiakan dunianya. Mereka bersatu. Hubungan itu terwujud secara menyolok dalam
(ilmu) pengetahuan.
Manusia hanya dapat semakin menjadi manusia, kalau pengertian tentang dunia infra
human ikut dikembangkan menjadi pertanian, teknik, dan transportasi serta komunikasi.
Tetapi pengetahuan itu baru nyata, kalau berciri efektif. Manusia menghidupkan dunia infra
human dalam karyanya; menerimanya sebagai patner kecil: makanan, alat, kebun, kerbau. Ia
memberikan arti dan menghargai mereka menurut kekhususannya. Ia menerima pula bahwa
mereka mengadakan dia, memberi tempat kepadanya dan memperkaya dia.
8.1.3.5. Beberapa Sifat Komunikasi
Komunikasi timbal balik itu mempunyai beberapa ciri: Pertama, sasaran. Komunikasi
sejati selalu bertujuan pemanusiaan. Dalam hubungan mana saja selalu manusia mau
memanusiakan diri dan yang lain dan memanusiakan dunia. Kedua, satu dan berbeda. Dalam
setiap hubungan manusia menyatukan diri dengan yang lain. Dan sejajar dengan itu ia juga
membedakan diri, dan menyendirikan yang lain. Ketiga, objektif dan subjektif. Manusia
mengartikan dan menilai yang lain menurut adanya yang lain itu, yang berbeda dari aku. Aku
bergerak menuju keberlainannya. Tetapi juga ia hanya diartikan dan dinilai menurut
keterlibatanku, atau sejauh berarti dan bernilai bagiku. Keempat, singular – universal. Yang
lain dinilai menurut keunikan dan kekhususannya. Tetapi yang lain itu sekaligus dialami
dalam seluruh komunikasinya dengan lingkungannya; sebagai titik fokus dari seluruh
dunianya. Dengan demikian yang singular itu mendapat status unibersal pula.
8.1.3.6. Antar Subjektivitas
Komunikasi tersebut harus dihayati menurut harmoni yang maksimal, dengan semua
orang dan seluruh dunia infra human. Interpretasi pada filsuf berbeda-beda: J.P. Sartre
mengatakan bahwa orang lain merupakan sumber dosa dan neraka bagiku; hanya dalam
hubungan dengan dunia infra human aku tidak terancam dalam otonomi. Sementara
Emmanueil Levinas mengatakan bahwa orang lain menuntut pelayananku sebagai keadilan;
wajahnya mendorong saya meninggalkan duniaku yang tertutup dan aman. Selanjutnya G.
Marcel dan M. Buber mengatakan bahwa hanya dengan keluar dari diri dan terbuka terhadap
engkau saya dapat menjadi aku.
8.1.4. Kebebasan
8.1.4.1. Pengertian Yang Salah
Kebebasan digambarkan sebagai lepas dari pengaruh yang lain, dari nasihat, peraturan,
norma moral, semua ketentuan dan juga kebebasan orang lain, membatasi cita-cita itu. De
facto, orang semakin jauh dari kebebasan itu. Dan secara prinsipil: jikalau ia mau memcapai

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
cita-cita itu, ia harus menolak segala respons terhadap manusia lain dan dunia infra human,
dan tidak boleh berbuat apa-apa. Kebebasan itulah yang disebut kekosongan.
8.1.4.2. Unsur-unsur Kebebasan Sejati
Pertama, mengambil sikap. Kebebasan adalah penghayatan diri yang otonom. Itu hanya
mungkin dalam mengambil sikap terhadap yang lain (entah menerima atau menolak). Hanya
dalam pertemuan, identitas seseorang jadi jelas. Kebebasan berarti bertanggung jawab
terhadap yang lain. Rupanya ’saya’ hanya menyesuaikan diri dengan situasi terbatas: hanya
bersatu dengan keadaan sekitar, tanpa ada pembaharuan. Namun setiap orang juga memberi
cap pribadi kepada situasinya, membuat situasinya sendiri. Situasi selalu ikut saya bentuk
sendiri.
Kedua, konfrontasi. Pengaruh, situasi, tuntutan, peraturan tidak merupakan ancaman bagi
kebebasan, melainkan sarana dan kondisi yang menunjang perkembanganku. Baru dalam
menghadapinya ’aku’ menjadi otonom. Anak tidak dididik menuju kebebasan, kalau dibiarkan
saja (terserah), melainkan hanya kalau dihadapkan dengan arti dan nilai, dengan anjuran
dan perintah. Hanya kalau dihadapkan dengan putusan-pilihan yang melibatkan yang lain.
Kebebasan orang lain bukan merupakan ancaman bagiku, melainkan syarat mutlak bagi
otonomiku. Kebebasan orang lain melengkapi kebebasanku. Kebebasan adalah keterlibatan.
Ketiga, bukan paksaan struktural. Tidak semua pengaruh, peraturan, atau larangan merupakan
paksaan. Asal saja terarah kepadaku sebagai manusia, dengan mengizinkan pengambilan
posisi pribadi; entah sebagai ajakan, panggilan, atau pula menghadapkan orang dengan
putusan–pilihan.
Pengaruh dapat menjadi paksaan struktural, jikalau menghampiri orang bukan secara utuh;
misalnya paksaan fisik (dipenjara), paksaan biotis (dibius), paksaan psikis (hipnosis), paksaan
moril (mengancam keselamatan saudaraku). Dengan jalan demikian diharap memaksa
pengambilan posisi personal. Orang dipaksa untuk mengambil keputusan yang bertentangan
dengan kehendak bebasnya.
8.2. Sosialitas Manusia dan Pendidikan Pada Umumnya
Pengertian Pendidikan
Dengan pendidikan dimaksudkan sebagai hubungan antara orang dewasa dengan
orang yang belum dewasa (anak), yaitu pengaruh yang mau mengarahkan anak menuju
kedewasaan. Pada hakikatnya, pendidikan adalah humanisasi, menolong anak untuk
menjalankan hidupnya sebagai manusia. Mendidik ialah memanusiakan manusia muda;
memimpin pertumbuhan, sampai dapat bersikap sendiri, bertanggung jawab dan berbuat
sendiri.

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
8.2.1. Arah Inti Pendidikan: Sosialitas
Anak harus dibimbing menuju harmoni yang seoptimal mungkin dari struktur
otonomi-korelasi. Hal-hal penting yang harus diperhatikan, sebagai berikut:
8.2.1.1. Otonomi-Korelasi
Anak dididik agar menyadari bahwa otonominya hanya tumbuh dalam korelasi, dan
korelasi hanya dapat dijalankan berdasarkan otonomi. Kedua unsur ini harus diharmonikan,
sehingga anak tidak mengalami pertentangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan
bersama. Harus dipupuk kesatuan antara kepribadian dan keanggotaan, dengan dihindari dua
penyelewengan ekstrim:
Pertama, individualisme. Sikap yang menekankan kepentingan pribadi yang terisolasi (‘asal
saya menang’). Ini disebabkan karena semua keinginan anak dituruti; anak dimanjakan. Untuk
mencegahnya anak harus dididik untuk memiliki kepekaan sosial dan rasa tanggung jawab.
Kedua, kolektivisme. Sikap yang terlalu menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungan (’asal
bapa senang’). Karena kebersamaan begitu ditekankan, maka orang sering membeo dan
membebek. Untuk mencegahnya anak harus dididik menjadi pribadi yang mandiri dan
berpikir kritis.
8.2.1.2. Integrasi dalam Lingkungan
Anak harus dididik menncapai integrasi dalam kelompok dan lingkungan, sebab hanya
dengan demikian ia mencapai otonominya. Bidang-bidang khusus yang menentukan integrasi
adalah:
Pertama, kebudayaan. Konteks pendidikan yang utama tidak boleh bersifat terlalu sempit,
terlalu pragmatis, misalnya hanya pembangunan kekuatan militer. Harus lebih integral.
Integrasi ke dalam kebudayaan dapat berupa. Pertama, inkulturasi, yakni pemasukan anak ke
dalam suatu kebudayaan dan pemasukan kebudayaan dalam diri anak. Anak diantar
mengintegrasikan kebudayaan bangsanya; adat-istiadat, kesenian, bahasa, segala arti dan nilai,
religiositas. Hal itu mutlak perlu agar anak mendapat identitas. Dan anak harus memberi
sumbangan pribadinya. Hal itu mutlak perlu bagi kebudayaan. Kedua, alkulturasi. Komunikasi
antar kebudayaan-kebudayaan dan bangsa-bangsa lain. Sebab kebudayaan-kebudayaan lain
juga menghayati nilai kemanusiaan.

Kedua, negara. Dari satu pihak, integrasi dalam negara sebagai kesatuan sosial, politik,
ekonomi, dan kebudayaan tidak boleh menguasai pendidikan. Itu akan mengarah kepada
statosentrisme. Nilai kemanusiaan yang disatukan dalam negara hanya merupakan bagian
saja. Mengabdikan anak seluruh kepada negara dan kebutuhannya (politik) itu merupakan

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
tendensi totalitaristik. Dari pihak lain, sudut pragmatis harus ada pula. Anak harus belajar
memberikan sumbangan bagi kehidupan negara.
Ketiga, bidang-bidang lain. Juga aspek lain dalam anak hanya dapat dikembangkan sejauh
berintegrasi; agama tau ideologi, bidang ekonomis, olah raga, dan sebagainya.
8.2.1.3. Komunikasi Hidup
Dibedakan dua jenis komunikasi hidup; Pertama, komunikasi antar manusia. Anak
dididik melihat dunia insani sebagai dunia bersama, dan dirinya sebagai ada bersama. Segala
hal menunjukkan kebersamaan; jalan, bahasa, alat. Harus diusahakan komunikasi yang
harmonis; saling memahami, mencintai, saling melayani dalam keadilan. Kedua, komunikasi
dengan dunia infra human. Anak harus dididik untuk mengenal dan menghargai makhluk-
makhluk hidup lain dalam alam yang lain. Ia mempunyai tugas untuk melestarikan
lingkungannya dan menerima sendiri tempatnya dalam dunia makhluk itu. Ia harus merasa diri
’at home’ dengan tehnik, dengan flora dan fauna. Ia harus mengetahui jalan-jalan, desa dan
daerah.
8.2.1.4. Penggunaan Kebebasan
Anak didik menjadi orang bebas, yaitu orang yang dapat bertanggung jawab,
mengambil posisi pribadi. Di sini diperhatikan dua hal:
Pertama, sikap berani. Sikap ini dimaksudkan agar anak tidak boleh bingung menghadapi
tugas, tidak mudah merasa diri dikuasai oleh situasi, diintimidasi oleh orang lain; tidak mudah
dipaksa agar bersikap pasrah saja. Ia harus perlahan-lahan berani dan tegas dalam mengambil
keputusan, dalam penilaian dan tindakan. Dalam otonomi ia berani menerima tanggung jawab;
bukan tinggal menerima saja tanpa sikap kritis.
Kedua, perlunya tantangan. Untuk mencapai sikap yang berani itu, anak tidak boleh
’dibebaskan’, diserahkan kepada kerelaan sendiri, kecuali dalam hal-hal yang kurang penting.
Pendidikan harus menghadapkan anak dengan keyakinan jelas, dengan arti dan nilai tegas.
Hanya dengan demikian anak sendiri dapat mencapai keyakinan dan sikap tegas, dan
menjelaskan alasan mengapa orang menerima atau menolak hal tertentu. Pengarahan ’non
directive’ hanya berlaku bagi situasi tertentu; dan itupun terutama bersifat terapeutis.
Sedapat mungkin makin lama makin dijauhi sikap yang memaksa. Dalam hal tertentu anak
harus diberi kemungkinan untuk berbuat kesalahan pula. Tetapi dalam arti ini pendidikan
harus memperlihatkan bahwa ia terlibat secara pribadi; ia perlu mengajukan tuntutan;
memperlihatkan emosi pribadi (marah, kecewa, senang), memberikan perintah dan peraturan.
Ia tidak perlu takut menghukum dan menurut pertanggungjawaban pribadi dari anak, yaitu

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
dengan menjelaskan dan memberikan alasan atas perbuatannya. Tanpa tantangan itu anak
tetap ragu-ragu, tidak mampu melibatkan diri, kurang mencapai keyakinan pribadi.
8.2.2. Sosialitas Proses Pendidikan.
8.2.2.1. Secara Umum
Proses pendidikan harus berlangsung dalam sosialitas. Arah dan harmoni tersebut di
atas harus dilatih dalam hubungan antara pendidik dan anak. Otnomi, keunikan dan
kebebasan anak harus dicermati.anak harus diberi fungsi dan peranan terhadap yang lain.
Seluruh proses pendidikan perlu diresapi undur seperti: otonomi – korelasi, lingkaran,
komunikasi, dan kebebasan.
8.2.2.2. Pendidik Utama
Pertama, orang tua. Suasana sosialitas total personal terutama diwujudkan dalam
keluarga; dalam lingkungan ini perlu terjamin suasana cinta dan keterlibatan total. Hanya
dalam hubungan total-personal demikian, anak mampu berkembangan dalam otonomi –
korelasi secara harmonis. Maka yang pertama-tama berhak dan wajib mendidik anak adalah
orang tua. Pendidikan menjadi pribadi itu merupakan kelangsungan propagasi fisik. Orang
paling terlibat, sebab anak merupakan kesatuan dan kontinuitas dari hidup mereka.
Kedua, peranan negara. Objek formal kegiatan negara adalah keteraturan dan
ketertiban hidup bersama menurut segi-segi pragmatis-praktis: Sos-pol-ek. Dengan hukum-
hukumnya negara menentukan suatu batas minimal bagi hak dan kewajiban segala warga
negara, sejauh itu perlu untuk memungkinkan hidup bersama itu. Pengaturan itu tidak boleh
bersifat totalitaristik: harus tetap memperhatikan prinsip subsidiaritas dan pluriformitas yang
wajar.
Mengenai segi-segi lebih pribadi dan prinsipiil, negara bertugas mengawasi agar terjaminlah
hak-hak azasi, baik bagi orang tua maupun bagi anak. Negara harus mengakui, melindungi dan
membantu pelaksanaan hak dan kewajiban orang tua. Bukan bersifat laissez faire, laissez aller,
membiarkan segala sesuatu berlangsung apa adanya.
Terutama dalam hal pendidikan harus dihindari statosentrisme. Sebab negara menurut
hakikatnya terutama menekankan segi pragmatis, politis, dan eknomis belaka. Itu hanya salah
satu bagian dari hidup manusia.
8.2.2.3. Kualifikasi Pendidik
Pendidik harus memiliki kematangan pribadi, bukan saja struktural, melainkan jug etis.
Ia harus telah menyadari kesimbangan dan harmoni dari otonomi-korelasi. Terutama dalam
hubungan dengan anak ia harus sanggup hidup menurut pola itu, dan mengusahakan otonomi
korelasi anak yang setinggi-tingginya.

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
8.3. Sosialitas Manusia dan Pendidikan di Sekolah
8.3.1. Pendidikan di Sekolah
8.3.1.1. Kedudukan Sekolah
Pengertian pada umumnya penting untuk menjadi manusia dan untuk mendunia, dan
perlu bagi kemajuan. Pengertian spontan tidak cukup untuk menghadapi kemajuan. Pengertian
spontan harus dikembangkan dengan pengajaran yang sistematis dan metodis. Anak
memerlukan pengajaran agar dapat mengerti kemanusiaannya, masyarakat, sejarah,
bahasanya. Diperlukan pengetahuan sistematis metodis. Itu diberikan di sekolah. Sekolah
hanya meliputi sebagian dari pendidikan. Tujuannya yang pokok hanya beberapa segi:
pengertian dan keterampilan.
Sekolah harus diberi tempat dalam lingkup pendidikan. Proses belajar di sekolah harus
terarah pada memanusiakan anak sesuai dengan hakikatnya. Mata pelajaran-mata pelajaran
(kurikulum) harus bersifat mendidik ke arah itu pula.

8.3.1.2. Fungsi Edukatif dalam Mata Pelajaran


Pengajaran harus berlangsung secara seimbang. Macam-macam mata pelajaran harus
melatih anak supaya mempunyai cara memandang dari macam-macam segi, selengkap
mungkin. Fungsi edukatif dalam suatu mata pelajaran menyangkut akibat mata pelajaran
tertentu pada tabiat anak, dan pengaruhnya pada pertumbuhan anak. Fungsi edukatif mencari
tujuan mata pelajaran. Tujuan itu dapat dipandang secara kurang fundamental. Misalnya,
menggambar dapat bermaksud mengajar menggambar, memenuhi dorongan estetika, atau
melatih membuat bentuk. Pada filsafat pendidikan dicari fungsi paling fundamental ialah
fungsi humanisasi.
8.3.1.3. Hubungan Pengertian dan Keterampilan
Pengajaran tidak boleh dipisahkan dari hidup sehari-hari. Anak dididik agar
berintegrasi dengan masyarakatnya. Ia harus ikut serta menyelenggarakan masyarakatnya.
Jadi ia harus bertumbuh dalam keadaan dan dari keadaan yang dialaminya. Bacaan, pelajaran,
peraga-peraga harus mencerminkan masyarkatnya, dan membawa anak kembali kepadanya.
Maka pelajaran perlu dihubungkan dengan latihan, untuk memperoleh keterampilan dalam
bidang-bidang yang bersifat praktis. Harus terjadi dalam konteks kegiatan : pattern of
behaviour: pola tingkah laku. Misalnya; pertama, penyelidikan dan observasi sederhana,
dengan memberikan laporan. Kedua, ekskursi. Dengan penglihatan yang dipimpin dan
diarahkan. Fungsi praktis ini terutama ditekankan dalam sekolah kejuruan dan sekolah
pembangunan.

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
8.3.1.4. Kurikulum dan Sosialitas Anak
Tujuan fundamental bagi kurikulum ialah otonomi dan korelasi anak. Anak dapat
mencapai otonomi dewasa dalam hubungan dengan manusia dan dengan dunia infra human
(dan sebaliknya). Segi sosial dari hubungan itu termuat pada segala macam mata pelajaran
(misalnya sejarah, bahasa dan kebudayaan). Tetapi ada kelompok mata pelajaran yang secara
khusus mengajar hal itu. Disebut tiga kelompok : Mata pelajaran sosial (Mit-sein), mata
pelajaran ”tengah”, dan mata pelajaran eksakta (Mit-welt).
8.3.1.5. Mata Pelajaran Sosial
8.3.1.5.1. Sifatnya
Mata pelajaran ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi, ekonomi, tata negara, hukum.
Langsung mempelajari kebersamaan manusia dan perbuatan manusia lain.
8.3.1.5.2. Fungsi Edukatif
Mata pelajaran ilmu-ilmu sosial bertujuan: Pertama, membantu anak untuk menghayati
dunia dan masyarkatnya menurut struktur otonomi-korelasi. Kedua, melatih anak untuk
melihat dunia insani sebagai dunia bersama, dan dirinya sendiri sebagai berada bersama.
Dipelajari stuktur, prinsip-prinsip yang sehat bagi hidup bersama, penghayatan hidup bersama
yang harmonis, dan penghayatan yang menyeleweng dan merusak. Dengan contoh-contoh
yang konkret diperlihatkan keharusan saling mencintai, saling membantu, gotong royong dan
bertindak adil. Ketiga, membantu anak mencapai pengertian yang lebih lengkap dan yang
dapat dipertanggung jawabkan tentang hidup bersama sehingga anak didik menjadi manusia
yang bertanggung jawab dan rela terlibat.
8.3.1.6. Mata Pelajaran ”Tengah”
Ada mata pelajaran yang tidak mempelajari hubungan antar-manusia secara langsung,
melainkan hubungan manusia sebagai kelompok dengan dunia infra human. Misalnya ilmu
bumi sosial. Ilmu bumi pada umumnya menguraikan lingkungan hidup manusia. Tetapi ilmu
bumi sosial membahas hubungan antara ruang hidup dan kelompok manusia yang hidup di
dalamnya. Keadaan ruang hidup (gunung, rawa, sungai) mempengaruhi cara dan bentuk
hidup, kemajuan, perkembangan dan peradaban. Manusia terpengaruh sebagai kelompok.
8.3.1.7. Mata Pelajaran Eksakta
8.3.1.7.1. Objek dan Metode
Pertama, kekhasan ilmu eksakta ialah abstraksi dan penggunaan bahasa simbolis. Semua
dapat dipelajari dengan metode ini, dan hasilnya mengagumkan: tehnik dan mekanisasi.
Kedua, objek formal ilmu eksakta bersifat terbatas, dan metodenya sesuai dengan objek itu.
Ada bahaya orang menganggap bahwa hanya metode eksakta ini sah, sebagai satu-satunya

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
metode yang ilmiah, dan bahwa tingkah laku manusia hanya dapat dipelajari secara integral
dan objektif dengan metode ini. Sikap ini disebut scietisme.
8.3.1.7.2. Fungsi Edukatif
Pengajaran mata pelajaran ilmu eksakta bertujuan untuk:
Pertama, membantu anak untuk menyelami dunia infra human. Menguasai alam secara
progresif, namun belum sebagai sarjana. Kedua, membantu anak menjadi manusia penuh
pengertian rasional tentang alam. Dengan menguasainya, ia dapat membuat hidupnya lebih
manusiawi. Belum dimaksudkan pengetahuan berupa keahlian, melainkan sikap atau
pendirian;sehingga anak merasa ’at home’ di dalam dunianya. Sekaligus anak belajar
menghormati alam, mentaati hukum-hukumnya. Dengan demikian, ia juga harus menyelami
arti dan nilai personal dari alam.
8.3.1.8. Segi Keterampilan
Segi pengajaran dilengkapi dengan aspek praktis, baik untuk menyadari kebersamaan
dengan orang lain, maupun dengan dunia infra human. Anak dibimbing untuk membuka mata
terhadap lingkungannya sendiri secara sadar dan refleksif. Perlu ditegaskan keterlibatan dan
keaktifan untuk memperhatikan, memahami dan mengevaluasi. Di laboratorium mereka
mendapat pengalaman terbatas dan terisolasi. Misalnya obyek observasi lain di kota, lain di
desa. Diobservasi barang apa yang dibawa orang ke pasar dari daerah utara atau selatan.
Lebih psikologis: observasi tentang cara dan reaksi orang tawar menawar di pasar atau diberi
tugas menawar sendiri. Ekskursi ke kolam perikanan; berapa dalamnya, mengapa air mengalir.
Sistem pengairan sawah; kekeringan.
8.3.2. Sosialitas Proses Lingkungan
8.3.2.1. Lingkungan
Pertama, sebagian dari waktu hidup anak dihabiskan di sekolah. Untuk waktu yang lama
sekolah menjadi lingkungannya. Maka proses pengajaran dan hidup di sekolah harus melatih
sosialitas anak. Harus dilatih pola tingkah laku ( pattern of behaviour) dan cara-cara
bertindak (ways of doing). Sekolah baru adalah situasi baru yang harus diselami anak. Disiplin
di kelas merupakan cara untuk mengatur cara bertingkah laku dalam hidup bersama yang
baru.
Kedua, anak menemukan otonomi dan korelasinya pada bidang moral dan pribadi di sekolah.
Karena itu di sekolah anak harus dilatih dalam hal kejujuran, kerjasama, persahabatan,
kepemimpinan, keberanian dan dibina dengan hukuman dan ganjaran. Terutama juga
kebebasan dan tanggung jawab. Ia harus dihadapkan dengan tawaran, tantangan, tuntutan dan

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
keyakinan; dipengaruhi dan dibimbing. Di sekolah anak belajar mengorganisasi hidup
bersama: demokrasi praksis, gotong royong, ekonomi dan perdagangan.
Ketiga, dalam mata pelajaran ia sendiri belajar membaca, menulis, mengukur. Pada
laboratorium ia belajar bergaul dengan dunia infra human. Di pekarangan sekolah diadakan
pertanian, peternakan, perikanan, kebersihan.
Keempat, pendidikan di sekolah harus dilandasi suasana sosialitas dan komunikasi.
8.3.2.2. Pengajar Utama
8.3.2.2.1. Guru
Penanggung jawab utama bagi pengajaran dan tempatnya dalam pendidikan adalah
orang tua, karena mereka membuat anak berintegrasi dengan masyarakat. Namun untuk
pengajaran teratur, dibutuhkan keahlian khusus. Maka guru menjadi wakil orang tua, dan
sedapat mungkin orang tua tetap ikut berpartisipasi dan bertanggung jawab dalam bidang
pengajaran. Tetapi guru juga mempunyai tanggung jawab sendiri, dengan keterlibatan dan
keyakinan pribadi. Ia bukanlah alat, melainkan partner yang terpercaya, dengan inisiatif
pribadi. Tetapi ia tetap harus mengakui hak dan kewajiban orang tua terhadap anaknya.

8.3.2.2.2. Negara
Oleh karena sifat personal dalam pengajaran, maka negara harus mengakui,
melindungi, mendorong dan membantu pelaksanaannya di mana proses pengajaran sudah
terlaksana atas inisiatif pribadi, misalnya swasta. Negara harus menghindari manipulasi
sekolah dengan maksud sempit yang merugikan pribadi anak; itu sikap totaliter. Keinginan
monopoli dari negara itu secara prinsipil salah. Dalam hal pribadi dan prinsipilitu, guru harus
lebih memihak kepada orang tua daripada negara.
Dari lain pihak, negara berhak dan wajib mengawasi dan mengkoordinasi proses
pengajaran. Negara harus menjamin pula agar dibentuk tenaga yang cakap untuk
menghidupkan negara. Dalam hal ini, negara dapat menentukan syarat-syarat minimal untuk
pengajaran. Negara harus menjamin agar dibedakan secara tegas macam-macam fungsi dan
macam-macam tipe sekolah.
8.3.2.2.3. Kualifikasi Guru
Baik menurut aspek struktural maupun menurut segi normatif, guru harus mencapai
kedewasaan otonomi-korelasi. Ia harus menguasai keahliannya sebagai pengajar, dan terutama
menyadari dan melaksanakan segi sosialitas di dalamnya.

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
BAB IX
HISTORISITAS MANUSIA
(Bdk. Anton Bakker, Hal. 53-73)

9.1. Historisitas Manusia pada Umumnya


9.1.1. Dinamika Waktu
9.1.1.1.1. Struktur Statis
Waktu yang merupakan dasar untuk historisitas (kesejarahan) manusia terdiri dari tiga
dimensi: Masa sekarang, masa lampau dan masa depan.
Pertama, satu-satunya dimensi waktu yang real hanyalah sekarang. Sekarang adalah batas
antara masa lampau dan masa depan. Tetapi sekarang tidak kosong dan umum saja karena
saat sekarang berisi aku, jadi sangat tertentu dan sangat pribadi.
Kedua, saat sekarang ini seluruh isinya saya alami sebagai hasil warisan masa lampau:
bahasaku, tingkah laku, kebudayaanku. Saya seakan-akan terlemparkan dalam masa sekarang.
Masa lampauku hanya riil sejauh termuat pada sekarangku.
Ketiga, sekarangku tidak tertutup atau tidak ’fixed’, melainkan terbuka ke masa depan yang
merupakan suatu proyek. Sekarangku adalah janji, ramalan, harapan, dan tugas. Masa depanku
hanya real sejauh termuat pada sekarangku. Yang serba baru itu mustahil.
Keempat, ketiga dimensi waktu ini bersatu dalam sekarang. Seluruh masa lampau mengendap
dalam sekarang dan seluruh masa depan mengalir dalam sekarang. Mereka saling
berhubungan, dan sama padatnya. Misalnya bagi anak kecil, baik masa lampaunya
(pengalaman) maupun masa depannya (proyek) masih kecil.
9.1.1.1.2. Dinamika Sekarang
Pertama, sekarangku tidak statis, melainkan bergerak; selalu berubah menjadi sekarang yang
baru. Di sini dapat dibedakan beberapa aspek penting. Pertama, yang ’baru’ mengalir dari
aku yang telah tertentu. Kedua, aku sejauh telah jadi masuk dalam yang-baru. Ketiga, aku
berkembang dalam yang baru. Keempat, aku berkembang dalam yang baru. Dan kemudian
yang baru mengendap dan melarut dalam aku yang telah dipercaya, sehingga aku siap bagi
sekarang berikutnya lagi. Jadi aku secara total hadi dalam sekarang baru itu; namun
kekayaanku hanya dieksplisitasikan secara terbatas.
Kedua, dalam tindakan baru masa –lampauku diolah kembali dan ditatar; jadi ikut
berkembang dan diarahkan sesuai dengan tindakan itu. Tidak ada apa-apa yang hilang. Itu
juga berlaku bagi dosa.
Ketiga, masa depan, yaitu proyek atau prospek, ikut berkembang. Bukan menjadi rumusan
statis (blue print), melainkan ditinjau kembali. Dapat disebut, cita-citaku induk, yaitu: untuk

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
memanusia, tetapi dikonkritkan dalam cita-cita praktis, misalnya menjadi guru, dokter, juara.
Cita-citaku selalu disegarkan dan ditatar.
9.1.2. Perkembangan
9.1.2.1. Perkembangan selalu memuncak
Pertama, manusia tetap aku yang lama dan baru, kontinu dan diskontinu, stabil dan labil, nisbi
dan relatif. Aku selalu serentak merupakan rutinitas dan kreasi, tradisi dan inovasi
(pembaharuan).aku hanya dapat tinggal aku yang sama karena membaharui diri. Tetapi hanya
dapat menjadi aku yang baru, karena berakar pada aku yang lama.
Kedua, perkembangan struktural itu terus menerus memuncak. Tidak dapat dibalik menurun,
tidak dapat merosot. Sebab semua mengendap dan yang baru bertambah. Aku menjadi makin
luas dan padat. Setiap sekarang baru menemukan dasar gema yang semakin kaya. Aku seperti
gunung api yang terus meninggikan kubahnya sendiri.
Ketiga, di lain pihak tidak ada jalan pintas atau loncatan. Perkembangan membutuhkan
landasan dan pematangan. Perkembangan membutuhkan waktu dan tidak dapat dipaksakan
(Kairos: tidak dipercepat, juga tidak diperlambat).
9.1.2.2. Diferensiasi
Perkembangan manusia berlangsung antara kelahiran dan kematian. Walaupun
menurut segi-segi khusus perkembangan itu mengenal urut-urutan (makan, bergerak, bicara),
namun menurut aspek-aspek hakiki, semua berkembang bersama. Tetapi perkembangan itu
tidak selalu merata. Hal ini tergantung dari pada dan luasnya tindakan baru. Ada tindakan baru
yang sentral, ada yang dangkal dan marginal. Misalnya kuliah, prasaran, baca roman,
bermalas-malas. Waktu sendiri dirasa berjalan cepat atau pelan (misalnya waktu ujian).
9.1.2.3. Integrasi dan Desintegrasi
Perkembangan bukan saja merupakan pembesaran linear, melainkan integrasi atau
sintesis segala endapan. Pada waktu tertentu sintesis lama terlalu sempit untuk menampung
pengalaman baru. Harus terjadi desintegrasi, untuk memungkinkan sintesis lebih luas. Seperti
seekor ular mengelupas kulitnya. Desintegrasi itu merupakan krisis, misalnya pubertas; tetapi
terjadinya krisis itu normal.
9.1.2.4. Konsistensi
Historisitas tidak berarti bahwa manusia selalu hanya berubah-ubah. Manusia
berkembang dengan arah tertentu, yaitu menuju kemanusiaan. Menurut arti struktural ia makin
menjadi manusia, makin menjadi aku. Dalam arah kodrat yang diambil ada konsistensi pula,
walaupun juga mungkin bahwa toh terjadi perombakan. Tindakan-tindakan baru mengendap
dalam aku, sehingga ada kecenderungan untuk melanjutkan arah yang telah diambil. Kalau

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
orang toh membanting stir, pengarahan yang Cuma marginal lebih mudah dibalik (mis. Tukan
kebun), dari pada arah yang sentral, misalnya menjadi guru.
9.1.2.5. Arah: Otonomi dan Korelasi
Dinamika dan arah ini pertama-tama berarti bahwa orang makin menjadi otonom
sambil makin berkorelasi (entah secara harmonis, entah dengan menyeleweng). Secara konkret
integrasi dalam pelbagai lingkungan dan kelompok terus-menerus mengalami perkembangan,
peralihan dan keterarahan itu; terutama integrasi dalam keluarga dan bangsa, tetapi juga dalam
kelompok agama, sekolah, dunia ekonomi, dan dunia teknis.
Pertemuan dengan kebudayaan lain menggoncangkan integrasi yang telah tercapai.
Misalnya, dalam adat-istiadat, kepemimpinan, ekonomi. Integrasi lama ditinggalkan. Banyak
hal baru belum menjadi sikap pribadi. Masing-masing anggota bangsa main peranannya dalam
pencarian integrasi baru.
9.1.2.6. Perkembangan Komunikasi
Pertama, manusia makin saling mengadakan dalam kegiatan timbal balik dalam pengartian
dan dalam penilaian. Self centeredness dan other centeredness berkembang secara sejajar,
walaupun mungkin dalam pertentangan. Pengertian itu bukan saja hafalan. Pemahaman akan
masyarakat dan alam menjadi kebijaksanaan atau kebandelan. Penilaian terhadap orang dan
dunia sekitar bersifat setia (kalau bercinta) atau menjadi ketegangan hati (kalau benci).
Kedua, pada komunikasi dan partisipasi yang sadar ini tampaklah segi masa lampau dan masa
depan: Pertama, ingatan ialah pengolahan dan penataran masa lampau dalam pergaulanku
sekarang. Kedua, imaginasi adalah antisipasi dan persiapan masa depan yang terjadi dalam
pertemuan baru. Mereka bersama menjadi kebiasaan dan pengarahan pada setiap kegiatan
sadar yang baru.
9.1.3. Kebebasan dan Perkembangan
9.1.3.1. Pemahaman Tradisional
Menurut pendapat spontan, pengaruh dari masa lampau bertentangan dengan
kebebasan, misalnya pengaruh pendidikan, pengalaman traumatis. Pada setiap langkah orang
baru bebas, lalu ia lepas dari masa lampau, bebas dari konsekuensi, dan dapat menghadapi
mada depan dengan serba segar dan baru. Cita-citanya ialah kreativitas murni. Orang setiap
saat dapat memilih lain sekali (teman, rumah, karya), lepas dari segala rutinitas dan
kebebasan.
Beberapa penilaian: Pertama, kebebasan itu merupakan sikap plin-plan. Orang tidak
mempunyai arah dalam hidup. Kedua, orang makin jauh dari cita-cita itu; anak masih paling
dekat. Menurut pandangan itu orang itu hanya bebas sebelum memilih; tetapi setiap pilihan

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
menyempitkan bidang gerak; masuk teropong. ”sudah tidak bebas”. Ketiga, untuk mencapai
cita-cita itu sebaiknya orang jangan pilih apa-apa. Namun itupun sudah merupakan pilihan.
9.1.3.2. Pengambilan Sikap yang Terarah
Kebebasan terjadi di dalam pengambilan sikap terhadap tawaran dan tantangan.
Intisari kebebasan bukanlah kekosongan melainkan penentuan sikap. Dalam penentuan sikap
ini dikembangkan pengarahan dalam hubungan dengan yang lain. Endapan masa lampau
memberikan arah dan kecenderungan tertentu. Tetapi pada setiap tindakan baru, arah itu
ditinjau kembali. Jadi pengambilan sikap membawa konsekuensi: pilih sekolah, kerja, atau
pacar. Pengambilan sikap itu menjadi landasan bagi kepentingan berikut. Maka langkah baru
dapat diramalkan. Dalam situasi baru manusia tidak serba tak tertentu. Dengan spontan ia
telah bergerak ke arah tertentul seakan-akan dikenal (Aha Erlebnis) tanpa mempertimbangkan
lama-lama; misalnya; pacar, profesi, dll. Dan setiap penentuan baru menjadi kunci interpretasi
lagi bagi hidup selanjutnya.
9.1.3.3. Masa Lampau Bukan Ancaman
Maka pengarah masa lampau bukan ancaman. Endapan itu merupakan bagian
integral dalam kebebasanku. Arah motivasi bawah-sadar yang telah dibentuk, bukan dengan
sendirinya mencemarkan putusan melainkan sebaliknya menjamin kelancaran pilihan.
Kebiasaan dan rutinitas melandasi kreativitas.
9.1.3.4. Kestabilan
Kebebasan yang dewasa itu bukan bersifat plin-plan dan opotunis (misalnya seorang
guru bersikap lain terhadap anak bimbingan tertentu). Berdasarkan pengarahan historis,
manusia bertendensi melangsungkan arah yang telah diambil. Jika diubah arahnya, dia
mengalami krisis. Kebebasan yang dewasa makin stabil dalam sikap dan keterikatan pada
orang dan situasi konkret, misalnya orang tua dan guru. Segala situasi baru akan dihadapi
orang secara dinamis, namun dengan makin mantap dan konsekuen; ia dapat diandalkan.
9.2. Historisitas Manusia dan Pendidikan pada Umumnya.
9.2.1. Pendidikan Menuju Kedewasaan
Pendidikan dimaksudkan ssebagai pembinaan anak oleh orang dewasa, agar
berkembang menuru kedewasaan. Pendidikan memperhitungkan bahwa perkembangan itu
dapat diberi arah. Maka arah dasar pendidikan (utimate aims) adalah historisitas. Anaka harus
dididik agar memilik kesadaran historis. Anak harus dibimbing menuju harmoni yang
seoptimal mungkin dari struktur masa lampau dan masa depan, tradisi dan inovasi.
9.2.2. Dialektika Masa Lampau dan Masa Depan

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
Pertama, anak harus menerima warisan yang telah dibawa atau dibentuk dalam dirinya (fisik,
psikis, human). Landasan ini memberikan arah. Namun ia tidak terpaku pada modal itu,
melainkan harus mengembangkannya secara pribadi. Ia bukan fixed nature (saya memang
begini), tetapi juga bukan serba dapat dimodifikasi. Intellingence Quotients (IQ) dapat
berkembang, tetapi hanya dalam batas-batas tertentu. Anak harus memeluk tradisinya
sepenuh-penuhnya, dan sekaligus berusaha sekuat tenaga untuk membaharuinya. Tidak hanya
mau mempertahankan tradisi (menjadi tradisionalis), tidka hanya mau mengambil jalan
revolusioner (menjadi revolusioner). Bukan berubah-ubah saja, melainkan berkembang
dengan kontinu dan secara harmonis.
Kedua, di satu pihak masa lampau dapat dirubah dalam tindakan murtad atau dalam tobat,
dengan memperbaiki akibat-akibat tindakannya. Di pihak lain, masa depan atau cita-cita
harus realistis, berdasarkan landasan ‘sekarang’; tetapi selalu ditinjau kembali dan diarahkan
lagi dan dibersihkan dari khayalan dan harapan palsu. Tidak terlalu optimistis atau pesimistis.
Ketiga, pada permulaannya anak bukanlah suatu himpunan dorongan-dorongan dan nafsu-
nafsu yang liar dan kacau, sehingga itu kemudian harus diatur, disiplinkan. Bukan pula suatu
kekosongan yang harus diisi saja. Sejak kelahirannya anak mempunyai segala unsur manusia
yang hakiki. Ia membawa serta warisan dari orang tua dan dari nenek moyang. Tetapi
pembawaan itu dihayati sebagai pribadi otentik; lama dan baru. Maka keseluruhan pribadi
anak, menurut semua seginya, dari semula harus dikonfrontasikan dengan tawaran, pengaruh
dan tantangan. Ia harus belajar bahwa tidak dapat berhenti.perkembangan itu hanya dapat
memuncak. Tetapi perkembangan itu harus bertahap dan tidak dapat meloncati fase-fase
tertentu. Ia harus berusaha maksimal, dan dengan sabar menunggu kematangan landasan bagi
langkah baru.
9.2.3. Diferensiasi
Pertama, anak harus menyadari pentingnya setiap tindakan khusus dalam perkembangannya.
Kalau ia terlalu tegang; akan retak; kalau ia terlalu santai, akan menjadi kacau. Ia harus belajar
menemukan ritme yang cocok bagi dia, dan membawa hasil optimal.
Kedua, dalam desintegrasi, anak tidak kehilangan harapan akan integrasi baru. Ia harus
menghadapi krisis dengan berani dan sabar.
Ketiga, secara konkret anak harus membangun arah yang konsisten dalam relasi dengan
masyarakat dan dunianya, juga visi dan suara hatinya. Dari satu pihak, anak harus dididik
supaya dapat memanusia pada akhir pendidikannya, sesuai dengan situasi masyarakat pada
waktu itu; kebudayaan, ekonomi, keluarga, ilmu. Dari lain pihak, anak harus dibimbing agar
memanusia sekarangpun. Ia harus hidup sekarang, tetapi dengan terarah ke masa depan. Jadi

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
sekarang pun dalam komunikasi ia harus dihadapi dan dilatih dalam arti nilai yang benar-
benar manusiawi. Tidak hanya asal dilatih dengan salah satu hal, tetapi dengan sendirinya
akan terbuku dan terarah ke masa depan.
9.2.4. Inkulturasi dan Alkulturasi
Pertama, berhadapan dengan arti dan nilai bangsanya, anak harus menggembalai tradisi. Tetapi
tidak boleh menganggap tradisi sebagai suatu susunan yang telah terbuka. Tidak boleh
diterima dengan hanya mengulanginya secara steoreotip. Tradisi harus dihadapi dengan sikap
kritis, dengan memberi jalan-jalan baru untuk menghayatinya dengan lebih efektif lagi untuk
hidup bersama.
Kedua, anak harus dapat menghadapi tantangan yang sekarang belum jelas; harus mampu
mengambil sikap terhadap situasi baru dan orang baru.
Ketiga, nilai tradisi tidak terletak dalam bentuk-bentuk yang telah jadi. Mencari jalan baru
untuk mengungkapkan inspirasi asli, yang ada dalam bentuk-bentuk itu.
Keempat, anak harus dididik untuk berani berkomunikasi dengan kebudayaan lain.
9.2.5. Komunikasi
Komunikasi bersifat kreatif. Terutama dalam pelaksanaan spontan, harus diperhatikan
dua hal:
Pertama, pengertian bukan saja ensiklopedis; tumpukan fakta, melainkan mengembangkan
kesetiaan dan sikap konsisten. Anak harus belajar mengikatkan diri dalam janji dan tidak
meninggalkan sesamanya. Tetapi kesetiaan itu tidak boleh dipahami harafiah saja, melainkan
kreatif. Dalam situasi baru dicari jalan baru; partner yang berubah dicintai secara sesuai.
Kedua, dalam hubungan dengan ingatan dan imajinasi, anak harus dilatih mengintegrasikan
masa lampau (ingatan) ke dalam pengalaman baru, dan harus dapat mengantisipasi masa depan
dengan imajinasi; orang baru situasi baru.
9.2.6. Kebebasan
Pertama, anak harus membentuk kebiasaan yang sehat dan efektif (terutama dalam
komunikasi), melalui rutinitas yang dapat dipertanggungjawabkan. Ia harus dilatih sehingga
dapat membentuk suatu feelling (aha Erlebnis) yang dapat dipercaya. Kecuali itu, anak harus
belajar membawa konsekuensi dari pilihan dan putusannya.
Kedua, anak dididik agar setiap kali mengambil sikap kreatif terhadap situasi. Ia perlu belajar
meninjau kembali pengertian-pengertian yang lampau. Ia harus berani bertobat dan berani
mengampuni orang lain yang memberikan masa depan dan harapan.
9.2.7. Historisitas Proses Pendidikan
9.2.7.1. Umum

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
Pertama, proses pendidikan sendiripun harus menghayati historisitasnya. Hubungan anak didik
mengalami pengaruh dari hubungan sebelumnya, terbuka secara kreatif bagi perkembangan
relasi selanjutnya. Perkembangan itu akan memuncak tahap demi tahap. Kadang-kadang
bersemangat, sering kali juga bersantai. Hubungan itu mengalami desintegrasi dan integrasi
baru, juga krisis dan kelancaran. Hubugan itu harus setia dan penuh pemahaman (tidak
menguasai anak); harus bersifat konsekuen, dan makin menimbulkan kepercayaan.
Kedua, pendidikan dengan tawaran dan tantangan selalu harus disesuaikan dengan
perkembangan otonomi anak menurut fase-fasenya, juga sesuai dengan kemampuannya untuk
memberikan respons. Itu berbeda untuk masa kanak-kanak, remaja, dan dewasa. Andaikan
terlalu berat, mustahil diolah anak, dan menghasilkan kegagalan, frustrasi, trauma dan
neorosis. Ketidaksabaran orang tua terhadap perkembangan anaknya membuat rugi besar.
Anak harus diberi waktu. Otonominya harus semakin diindahkan; ia harus diberi kemungkinan
mengambil sikap pribadi (konflik-konflik sekitar ketaatan).

9.2.7.2. Pendidik Utama


Pertama, pertama-tama orang tualah yang mampu membimbing proses historisasi anak
dengan pengarahannya. Mereka mampu mengikuti perkembangan, menghantar akselerasi dan
perubahan relasi mendidik. Mereka sendiri ikut berkembang dalam proses itu; sehingga
relasi mendidik stabil dan tidak mengalami diskontinu. Sejarah orang tua adalah sejarah anak.
Kedua, mengenai kualifikasi pendidik. Pendidik sendiri harus menghayati historisitas,
sehingga mempunyai keluwesan untuk mengembangkan relasi mendidik secara kontinu.
9.3. Historisitas Manusia dan Pendidikan di Sekolah
9.3.1. Kurikulum Harus Bertujuan Historisitas Anak
Tujuan fundamental bagi kurikulum ialah historisitas anak. Anak harus dapat mencapai
identitas pribadi, dan diresapi dengan dinamika kreatif.
9.3.2. Mata Pelajaran Sejarah
9.3.2.1. Sifat Mata Pelajaran Sejarah
Sebenarnya banyak mata pelajaran mengandung aspek sejarah. Di samping penelitian
struktur-struktur, dipelajari pula perkembangan yang dialami pada objeknya. Paling minim itu
terjadi pada ilmu pasti dan alam. Tetapi sudah ada dalam geologi, dalam ilmu hayat (evolusi),
dalam ekonomi, sosiologi, politik, kebudayaan, dan sebagainya. Secara khusus segi sejarah
dibicarakan pada ilmu sejarah (masa lampau), dan pada futurologi (masa depan). Namun di
situpun diselidiki perkembangan pada bidang politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan.
9.3.2.2. Fungsi Edukatif Mata Pelajaran Sejarah

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
Ilmu sejarah membantu agar anak masuk dalam sejarah, dan sejarah masuk dalam anak.
Anak harus memahami diri sendiri dan masyarakatnya dalam perspektif historis. Dirinya dan
masyarakatnya merupakan hasil perkembangan lama, dan bahwa sedang berkembang terus.
Mata pelajaran ilmu sejarah tidak hanya mempelajari tahun-tahun, fakta-fakta, peristiwa-
peristiwa, dan tokoh-tokoh, sebagai batu-batu lepas. Semua data dilihat dalam hubungan
historis. Walaupun rupanya simpang siur urutannya, tetapi satu tergantung dari yang lain;
bahkan ada ritme di dalamnya. Anak harus dilatih melihat bahwa ada proses yang berlangsung
bahwa ada faktor-faktor riil yang menyebabkan peristiwa; bahwa tidak ada nasib atau
penyelenggaraan ilahi saja.
9.3.2.3. Ilmu Sejarah dan Persitiwa Masa Lampau
Pemahaman atas mitos memberikan keterangan dengan cerita-cerita; misalnya
Borobudur dibangun oleh anak raja dalam 3 hari, raksasa menumpukkan gunung, lakon
wayang. Menurut pemahaman ini segala-galanya terjadi serentak dan dalam bentuk selesai.
Tetapi ilmu sejarah menampakkan, bahwa revolusi Perancis mempunyai pra sejarah; begitu
pula revolusi kemerdekaan Indonesia. Ada hubungan antara sistem-sistem kenegaraan dan
ide-ide filosofis. Gelombang-gelombang imigran menyebabkan adanya banyak suku bangsa di
Indonesia. Ada alasan bahwa bangsa Jawa bukanlah bangsa pelaut. Ada konstelasi politik
yang memungkinkan G 30 S. Selalu dapat ditunjukkan alasan geologis, biologis, sosial,
ekonomis, politis dan keagamaan.
9.3.2.4. Jaman Sekarang adalah Hasil Masa Lampau
Terutama anak harus belajar bahwa keadaan sekarang dihasilkan oleh masa lampau.
Masa lampau akhirnya selalu dipelajari dalam sorotan sekarang; dicari relevansinya bagi
sekarang. Pemahaman mistis bersifat siklis; satu peristiwa asli menjadi eksemplaris (model
atau contoh riil) bagi segala peristiwa sekarang. Sebenarnya tidak pernah ada lagi yang
sungguh-sungguh baru, tetapi proses kosmis mengulang kembali dan semua peristiwa baru
ditempatkan kembali dalam peristiwa asli. Peristiwa itu diceritakan dalam mythos; juga
wayang mempunyai segi mitos itu.
Anak belajar bahwa memang ada yang baru, tetapi berakar dalam yang lampau. Ada alasan
yang menyebabkan sekarang; hal kebudayaan, konstelasi politik, ekonomi, sikap hidup.
Pemahaman sejarah memberi perspektif. Misalnya oleh generasi muda, sejarah sebelum 1945
dianggap tidak ada. Sejarah dunia barat tidak dilihat dalam hubungan dengan keadaan
Indonesia. Orang muda membaca surat khabar tanpa perspektif historis.
ASEAN, konferensi hukum laut, kerjasama ekonomi internasional, keadaan ekonomis-politik
di Indonesia.

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
Banyak orang mempergunakan hasil teknologi, AC, TV, Mobil, Hanphone, dll tetapi
mereka tidak tahu menahu pra sejarahnya fase-fase latar belakang budaya. Lebih lagi dalam
hal ide-ide dan nilai-nilai, seperti kebebasan, demokrasi, uang, kurang ada perspektif historis.
9.3.2.5. Sejarah dan Masa Depan
Situasi aktual dunia membuka pemahaman bagi yang akan datang; sosial, politik,
ekonomi, budaya, agama. Segi tersebut dipeljari dalam futurologi. Yang akan terjadi itu
berakar pada sekarang dan dapat dibuat prognosis (usaha untuk memprediksi apa yang akan
terjadi di masa depan berdasarkan kejadian-kejadian saat sekarang).
Banyak orang kurang menyadari bahwa masa depan berlandaskan sekarang, dan bahwa
perkembangan membutuhkan waktu dan usaha. Selekas mungkin mau mendapat pekerjaan
baik, gaji tinggi, mobil dan rumah. Diharapkan mukjizat, diharapkan banyak dari lotre, main
angka untung. Begitu kematangan manusia mengambil waktu; kebaikan, kepercayaan,
kewibawaan.
9.3.2.6. Ilmu Sejarah dan Peranan Tokoh-Tokoh
Dengan melihat pengaruh tokoh-tokoh besar, anak menyadari peranan individual
dalam terbentuknya sejarah. Sejarah itu bukan anonim, tidak begitu saja disebabkan oleh
faktor-faktor di luar kemampuan manusia. Melainkan bersandarkan keunikan dan inisiatif
perorangan, entah di bidang ilmu, politik, budaya dan agama.
9.3.3. Pembinaan Rasa Kesejarahan dan Segi Keterampilan
Segi pengajaran di sekolah dilengkapi dengan aspek praktis untuk menyadari
historisitas. Hal ini dilaksanakan dengan:
9.3.3.1. Dalam Peristiwa Bersekolah
Karena anak berada di sekolah sekian banyak tahun, perlu ditumbuhkan rasanya bagi
perkembangan dalam rangka sekolah pula. Di sini perlu diperhatikan aspek-aspek berikut ini:
Pertama, moral personal. Perkembangan hubungan antar pribadi dengan guru dan kawan
dalam pengalaman konkret persahabatan; kepercayaan, tobat dan ampun. Pembentukan sikap
akan membutuhkan waktu. Kedua, pengetahuan dan studi. Pengalaman bersekolah dari tahun
ke tahun, memberi pemahaman bahwa bagi perkembangan pengetahuan dan kemampuan
belajar tidak ada jalan pintas; membutuhkan waktu. Anak tidak mengalami secara refleksif,
melainkan spontan. Baru lambat laun anak mampu mengutarakan pendapat orisinil, terutama
dalam hal bahasa dengan sulit sekali dirasakan kemajuan. Anak mengalami hubungan
antara hafalan (tradisi) dan pemecahan baru (inovasi).
9.3.3.2. Dalam Rangka Mata Pelajaran

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
Pertama, untuk memberikan rasa kesejarahan, anak-anak diajak ikut berpikir dalam
perencanaan perbaikan sekolah: tambahan lokal, pemakaian lapangan, lebih-lebih kalau
berjalan bertahun-tahun lamanya. Dalam memelihari kebun, mereka belajar tentang
lambatnya proses pertumbuhan. Dalam koperasi sekolah mereka melihat lambatnya tambahan
modal.
Kedua, anak diberi pengalaman mengenai hal-hal rutin, dan kesempatan bagi kreativitas
spontan.
Ketiga, sebagai pekerjaan rumah, anak diberi tugas untuk menanyakan sejarah mengenai candi
tertentu; darimana? Menyelidiki sejarah desanya sendiri, keluarganya dan nama keluarga.
Menanyakan bencana alam tertentu yang terjadi dulu dengan akibatnya bagi pertanian.
9.3.4. Historisitas Proses Pelajaran
9.3.4.1. Lingkungan Sejarah
Kurikulum dan pengajaran harus disesuaikan dengan perkembangan anak; dalam hal
urutan-urutan matapelajaran, tuntutan. Harus diperhitungkan proses belajar dalam anak;
didaktik akan berkembang dari TK, SD, SMP, SMA. Pengetahuan bukan hanya ditumpuk
saja, keberlangsungan pengajaran memperhatikan pengalaman anak, hasil lampau, arah
depan. Pertanyaan-pertanyaan anak yang muncul, harus ditampung.
9.3.4.2. Pengajar
Guru menjadi wakil orang tua selama beberapa tahun. Ia mempunyai sejarahnya
pribadi, dan rasa (feeling) sejarah pribadi. Ia juga mengalami sejarah sambil mengajar. Negara
hanya memperhatikan segi praktis efisien bagi masa depan negara. Terutama harus menjadi
dan melindungi proses historis dalam anak; dan menentukan syarat-syarat minimal.
9.3.4.3. Kualifikasi Guru
Guru harus mempunyai historisitas yang harmonis. Ia harus dapat menghayati arti
edukatif dalam mata pelajaran keahliannya.

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
BAB X
MANUSIA DAN KERJA
(Bdk. Kasdin Sihotang, hal. 137)
1. Pandangan Masyarakat
a. Masyarakat Yunani Dan Abad Pertengahan

Masyarakat yunani kuno, kerja atau pekerjaan kurang mendapat perhatian. Bahkan
ada kecendrungan kerja tidak dipandang sebagai sesuatu yang mendasar bagi perwujudan
eksistensi manusia. Kita mengambil pandang dua tokoh ,yakni plato dan Aristoteles sebagai
landasan untuk menyatakan penilaian itu.
Dalam karya-karyanya plato jarang mengangkat topik tentang kerja atau pekerjaan
sebagai bahan kajian. Ia lebih banyak membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan
konsep-konsep seperti konsep tentang jiwa. Jiwa merupakan posisi tertinggi bagi
manusia.menurut plato jiwa manusia memiliki struktur yang memuat tiga hal, yakni:
rasionalitas atau pikiran, keberanian, dan keinginan atau kebutuhan. Dari ketiga hal itu, yang
menduduki posisi tertinggi adalah rasionalitas atau pikiran. Plato lebih lanjut menyatakan
bahwa kelas-kelas Negara juga mengikuti struktur jiwa tersebut. Dalam teori tentang Negara
ia mendapatkan tiga unsur dalam jiwa sebgaai dasar bagi pembagian kelas. Artinya
sebgaimana jiwa memiliki tiga kelompok, demikian juga Negara terdiri atas tiga kelas.
Ketika kelas itu adalah para penasehat yang ditempatakan pada peringkat pertama, para
pembantu atau militer pada peringkat kedua, dan para penghasil, yang dalam hal ini adalah
petani, pengusaha, niagawan, tukang sepatu, tukang kayu, dan tukang besi yang berada pada
posisi ketiga.
Para penasehat menepati urutan pertama karena seluruh aktivitasnya bersumber pada
akal budi, sedangkan para penghasil diurutkan pada urutan ketiga karena sumber kegiatanya
berasal dari keinginan dan kebutuhan. Dari klasifikasi social diatas terlihat dengan jelas
bahawa plato menggunggulkan orang-orang yang dalam aktivitasnya sangat berkaitan
dengan pikiran atau akal budi disatu sisi, merendahkan orang-orang yang dalam aktivitasnya
sangat berhubungan dengan kebutuhan dilain sisi. Dengan kata lain, aktivitas yang penting
bagi manusia adalah berpikir. Mengenal ide-ide adalah kegiatan yang paling mendasar dalam
pandangan plato. Sebaliknya melakukan aktivitas yang berhubungan dengan badan kurang
berharga karena kerja atau pekerjaan terkait dengan kebutuhan, maka aktivitas ini tidak
memiliki arti penting. Tubuh bahkan di mata plato adalah penjara bagi jiwa manusia, karena
tubuh membuat jiwa manusia tidak bebas. Pandangan Aris toteles tentang makna kerja atau
pekerjaan tidak jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh plato. Menurut Aris Toteles

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
kerja yang berhubugan dengan tubuh adalah kerja para budak. Sementara Aris Toteles
memandang budak sebgai kelas masyarakat yang paling rendah dalam struktur keluarga
yunani. Kegiatan mereka adalah pekerjaan kasar. Mereka melakukan apa saja untuk mencari
nafka. Modal mereka hanya kekuatan fisik dan kekuatn itu diabadikan pada tuannya semata.
Budak bukan orang bebas. Orang bebas bagi Aris Toteles adalah orang yang menggunakan
pikiranya dalam bertindak, bukan orang yang mengandalkan tubuhnya. Dan ini hanya
dimiliki oleh tuan.jadi, seluruh kegiatan yang berhubungan dengan tubuh dalam pandangan
Aris Toteles kurang bernilai. Yang berharga adalah aktivitas intelektif, yakni berpikir. Ini
merupakan kegiatan khas manusia. Itu berarti, esensi manusia ada pada kemampuan
integelensinya. Atas dasar ini, Aris Toteles mendifinisikan manusia sebagai animal rationale.
Kerja badaniah merupakan selubung bagi kegiatan berpikir, karena didalamnya akal budi
ditekan. Tubuh menghambat kegiatan intelegensi.
b. Masyrakat Reformasi Dan Industialisasi

Perubahan cara pandang tentang makna kerja terjadi pada masa protestantisme dan
dipertegu pada zaman industrialisasi. Protestantisme tidak lagi mempertentangkan kehidupan
badanih dan rohani. Melalui Max Weber (1897-1974 ) protestantisme memunculkan konsep
baru bahwa kerja dilihat sebagai sesuatu yang penting dalam dunia manusia. Kerja adalah
untuk mengembangkan pribadi dan dunia serta sarana bagi keselmatan jiwa. Calvin adalah
tokoh yang pada zaman ini memandang kerja sebgai ungkapan rasa memiliki terhadaap
kerajaan surga. Pada masa industrialisasi, kerja tidak lagi dilihat dalam kerangka religius,
melainkan dalam kerangka humanisasi. Perubahan ini terjadi seiring dengan perubahan
manusia yang semakin besar untuk mengakui dirinya sebgainya subjek. Filsuf-filsuf yang
berpandang seperti ini antara lain: Jhon Locke (1632-1704 ), Adam Smith (1723-1790 ),
George Wilhelm Friendrich Hegel (1770-1881 ), Karl Max (1818-1883 ).
 Pandangan Jhon Locke (1632-1704 )

Dalam filsafat jhon locke digolongkan sebagai filsuf yang meletakan dasar bagaimana
kerja menjadi bagian penting dari eksisitensi manusia. Ia menyatakan bahwa pekerjaan
menciptakan hak, yang disebut sebgai hak alamiah.menurut locke setiap orang yang bekerja
menghasilkan hak, yakni hak miliki atas karyanya. Karena kerja menghsilkan hak dan hak itu
adalah miliki setiap orang, maka kerja merupakan hak asasi manusia. Ada 3 argument dasar
Locke untuk menepatkan kerja sebagai sesuatu yang mendasar bagi manusia. Pertama,
keletakan kerja pada tubuh manusia. Locke menegaskan bahwa kerja melekat pada tubuh
manusia. Karena melekat dalam tubuh, maka kerja juga melekat dalam diri manusia. Jika

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
seorang mencabut pekerjaan sesorang, sama dengan ia menghancurkan tubuh yang
bersangkutan. Sebagaimana tubuh merupakan hak milik individum, demikan hal kerja
merupakan milik pribadi yang mendasar. Kedua, kerja merupakan perwujudan bagi manusia
bagi locke kerja merupakan tempat pengungkapan diri. Melalui kerja manuisa membangun
hidup dan lingkungannya kearah yang lebih baik. Dengan demikian kerja merupakan sarana
humanisasi. Tidak hanya itu, locke juga menegaskan bahwa melalui pekerjaan manusia
membebaskan dirinya dari ktergantunganya terhadap alam. Di dalamya ia menyatakan diri
sebgai makhluk yang otonom. Karena alasan ini kerja berkaitan dengan harkkat dan martabat
manusia. Ketiga, kerja berkaitan dengan hidup. Bagi locke hidup hanya dipertahankan
melalui kerja. orang yang tidak bekerja tidak akan mampu bertahan hidup, karena manusia
dilahirkan bukan untuk tinggal di alam pertama. Ia tidak diperlengkapi untuk itu. Manusia
harus mengubah alam agar ia bisa bertahan hidup. Ia harus mengadaptasikan alamya menurut
kodrat kemanusiaaanya. Proses adaptasi ala mini disebut kerja. Jadi, kerja bagi manusia
merupakan satu-satunya jalan untuk mempertahankan hidup.
 Pandangan Adam Smith (1723-1890 )

Tokoh lain yang banyak membicarakan kerja adalah Adam Smith. Adam smith
menguniversalkan makna kerja bagi manusia. Ia berpandangan bahwa seluruh kebudayaan
merupakan hasil dari pekerjaan manusia. Ia mengelompokan du jenis pekerjaan, yakni
pekerjaan yang produktif dan pekerjaan yang tidak produktif. Pekerjaan produktif adalah
pekerjaan kaum tani, buruh, sedangkan pekerjaan yang tidak produktif adalah pekerjaan para
prajurit, politisi,dan ahli hukum. Bagi Adam Smith kegiatan golongan yang tidak produktif
ini tidak memberikan manfaat, karena tidak menghasilkan sesuatu bagi masyarakat. Selain
perhatian pada dua jenis pekerjaan, smith juga mengembangkan gagasan tentang pembagian
kerja. Smith menunjukan tiga alasan pentingnya pembagian kerja. Petama, meningktkan
kerainan pada setiap pekerja yang pada giliranya memperbaiki kondisi hidup pekerja dan
masyarakat kearah yng lebih baik. Dalam hal ni, smith melihat pembagian kerja mendorong
kemakmuran pribadi dan bersama, karena melalui kerja peningkatan produk dapat dicapai.
Kedua, pembagian kerja menyebabakan penghematan waktu. Artinya, pembagaian kerja
membuat seorang karyawan bekerja secara efisien. Ia tidak perlu lagi menghabiskan waktu
yang banyak utuk mengerjakan satu produk. Ia justru bisa menghasilkan lebih banyak lagi.
Ketiga, pembagian kerja mendorong dan menimbulkan penemuan mesin-mesin baru yang
mempermuda sekaligus menghemat tenaga kerja. Smith menyatakan bahwa pembagian kerja
membuat pekerja memiliki kesempatan untuk memikirkan cara-cara baru dalam
meningkatakan produktivitasnya.

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
 Pandangan Gwf Hegel (1770-1881 )

George Wilhelm Friedrich Hegel menempatkan pekerjaan sebgai keseluruhan kontek


kegiatan manuisa. Ia menilai kerja sebagai suatu yang dinamis, berkembang dan menjadi
sarana bagi manusia untuk menyadari diri melalui traf-taraf dialektis yang semakin
mendalam. artinya, manusia menemukan diri apabila ia menyadri sepenuhnya apa yang
dikerjakanya. Dengam menemukan dirinya manusia semakin nyata. Jadi, kerja memainkan
peran utama terhadap pengungkapan keperibadian manusia. Melalui kerja manusia
merealisasikan dirinya. Bagaimana cara manusia menempatkan pekrjaan sebgai realisasi
diri? Menjawab pertanyan ini Hegel menguraihakan keterkaitan subjek dan objek. Bentuk
kesadaran ini diungkapkan Hegel dalam dua hal. Pertama, kesadaran akan keakuan manusia
secara negative. Artinya, ketika melihta objek-objek manusia menyadari dirinya bukan
sebagai objek, melainkan sebagai subjek. Kedua, kesadaran bahwa tanpa objek manusia tidak
memiliki kesadaran. Itu berarti, manuisia hanya dapat sadar akan dirinya ketika berada
ditengah-tengah objek. Disisni objek justru memiliki arti penting bagi adanya kesadaran
manusia tentang keakuanya. Jadinya, struktur subjek objek merupakan struktur dasar
kesadaran diri manusia. Dengan pengakuan diatas, menurut Hegel, objek bagi subjek tidak
dilihat sebgai ancaman. Objek justru penting bagi manusia untuk menyatakan keakuanya.
Dengn kata lain, objek-objek dibutuhkan manusia untuk menyadari eksistensinya sebgai
persona.
 Pandangan Karl Max (1818-1883 )

Idealism Hegel diatas memiliki arti penting bagi Karl Max. mengikuti pandangan
hegel, karl max juga menmpatakan pekrjaan sebagai realisasi melalui objektivasi. Ia mengkui
bahwa pencapian kenyataan manusia yang sepenuhnya hanya bisa terjadi melalui pekerjaan.
Penyataan diri itu tidak hanya terungkap dalam ketertiban penuh dalam pekrjaan, melainkan
terlbih-lebih melaui karya-karya nyata yang memungkinkan manusia memandang diri dalam
hasil pekerjaanya.
2. Hakikat Kerja
a. Defenisi kerja
Jika kita mencermati pandangan 4 filsuf pada masa industrialisasi, ada satu benang
merah yang bisa ditarik, yakni keterkaitan kerja dengan eksisitensi manusia. Kerja menyatuh
dengan keberadaan manusia. Secara negative dapat dikatakan kerja tidak terpisahkan dari
kehidupan manusia. Demikian kerja adalah wadah bagi pembentukan diri manusia dalam

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
membangun dunianya. Bahkan dapat dikatakan kehidupan manusia sendiri tercermin pada
pekerjaan dan hasil-hasilnya. Tanpa kerja manusia tidak hidup dan dunia tidak akan terbentu.
b. Kerja manusia vs kerja hewan
Dari defensisi diatas, jelas bahwa kerja atau pekerjaan merupakan bagian eksisitensi
manusia. Dapat dikatakan pula kerja menjadi cirri khas manusia. Persoalanya apa
kekhasanya kerja manusia dibandingka denga kerja binatang? Secara ringkas perbedaan kerja
manusia dn kerja binatang dapat dipetakan dalam 4 hal berikut ini. Pertama, jenis energi
yang dikerahkan. Hewan hanya bisa mengerakan energi biofisik. Meskipun hewan mungkin
memiliki energi psikis, boleh dikatakan tingkatanya sangat primitif. Manusia memilikinya
sebagai bagian dirinya dank arena itu ia mampu mengarahkan energi psikis dan mampu
mengarahkan energi spiritual.
Kedua, hasil kerja. Hasil kerja hewan pada dsarnya hanya sekadar untuk keperluan self-
survival dan spesiesnya berupa gerak, pemenuhan kebutuhan makan dan minum, keturunan,
dan membuat tempat bertedu. Dengan kata lain, hasil kerja binatang hanya untuk
mempertahankan kebutuhan biologisnya. Akan tetapi hasil kerja manusia selalu melebihi
kebutuhan biologisnya. Manusia bekerja untuk memenuhi kebutuhan psikisnya dan pada
tingkat lebih tinggi melebihi kebutuhan spiritualnya juga. Oleh karenanya manusia mengenal
konsep menabung, mengumpulkan dan memikirkan masa depan. Ketika, dorongan kerja.
Pada hewan dorongan kerja bersumber dari dan berupa naluri. Dorongan ini terdapat pada
hewan secara amiah, bagaikan software kehidupan yang berfungsi otonomis. Naluri itu
medorong binatang untuk beraktivitas dengan senidrinya. Keempat, makna kerja. Manusia
memebrikan makna terhadap kerja dan kinerjanya, sedangkan binatang tidak. Kapasitas
member makna ini lahir dri kenyataan bahwa kemampuan manusia secara kualitatif lebih
tinggi dari pada hewan. Manusia memiliki kualitas akal budi yang tinggi.
c. Dua Eiemen Kerja
Dalam defenisis tentang kerja pada butir sebelumnya terlihat dengan jelas bahwa ada
dua elemen penting apabilah suatu kegiatan disebutkan sebagai keerja tau pekerjaan. Kedua
elemen itu adalah elemen subjek dan elemen objek. Yang di maksdkan dengan elemen
pertama adalah potensi atau kekuatan yang melekat didalam diri manuisia. Elemen ini
meliputi pikiran, keinginana, hati, kebebasan, kehendak dan kemampuan. Manusia
memikirkan bagaimana harus melakukan pekerjaan dan mencapai hasilnya. Ia merancang
program kerja serta membuat target. Ia ingin maju melaui pekerjaan dan menghendaki
pekerjaan yang sesuai dengan bakat dan minat. Singkatnya, kerja merupakan wadah
perwujudan cipta, karsa dan rasa. Elemen objektif merupakan sarana pendukyng untuk

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
merealisasikan pikiran, rencana serta kehendaknya. Artinya, selain elemen subjek manusia
membutuhkan sarana pendukung untuk merealisasikan pikiran, kemauan dan rencananya.
Dua elemen tersebut sangat penting dalam kerja.
d. Peran istimewah tangan
Salah satu instrument yang penting dalam diri manusia adalah tangan. Bagian organ
tubuh ini memiliki arti yang sangat istimewah dalam melakukan aktivitas. Ada beberapa
argument untuk menyatakan keistimewahan tanagan tesebut. Pertama, posisi vertical tubuh
manusia. Jika dibandingkan dengan binatang pada umumnya, tubuh manusia bersifat
vertical, sedangkan kontur tubuh binatang lebih cenderung bersifat horizontal. Vertikalitas
ini membuat gerakan tangan lebih bebas dan dinamis. Kedua, kekayaan fungsi tangan.
Fungsi tangan sangat luas dibandingkan dengan organ tubuh yang lain. Hal ini disebabkan
oleh vertikalitas tubuh manusia. tangan merupakan sebuah alat yang memiliki banyak
kemapuan. Dengan tangan manusia membagi, memegang dengan kuat, mendorong dan
menarik. Tidak hanya itu tangan juga berfungsi simbiotik.Ia menghadirkan apa yang ada
dalam pikiran seseorang. Ketiga, tangan bersifat personal dan social. Tangan merupakan
intrumen yang bersifat pribadi. Melalui tangan seseorang bisa menyampaikan pikiran, dan
keinginanya kepada orang lain. Tangan pula dapat menjadi instrument merealisasikan
kebahasaan bagi seorang individu.
3. Tiga Dimensi Kerja
a. Dimensi personal

Perbandingan antara kerja binatang dan kerja manusia pada bagian sebelumnya
memperlihatkan kepada kita secara jelas bahwa kerja manusia memiliki nilai lebih karena
didalamnya manusia mengungkapkan dirinya secara nyata. Ia berkembang dan menjadi
pribadi justru didalam pekerjaanya titik itu berarti, bagi manusia pekerjaan merupakan ruang
untuk menyatakan diri secara total. Ia menuangkan pikiran, menyertakan perasaan, dan
kehendak didalamnya. Melalui pekerjaan ia memiliki harapan akan masa depan, mewujudkan
cita-citanya. Melalui kerja atau pekerjaan bahkan manusia menunjukan nilai kemanusiaanya.
b. Dimensi social

Selain mengungkapkan diri, kerja juga memiliki makna social. Hal ini seiring dengan hakikat
manusia sebagai makhluk social. Martin heidengger yang pendapatnya berkali-kali dikutif
dalam bab sebelumnya menyatakan bahwa manusia adalah ‘’ hidup bersama dengan orang
lain’’. Hidup manusia meruapakan sebuah keterlemparan bersama dengan orang lain. Ada

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
manusia adalah bersama orang lain. Gagasan hedengger ini mengandung makna bahwa
apapun yang dilakukan manusia selalu melibatkan orang lain.
c. Dimensi etis

Selain dimensi personal dan dimensi social, kerja juga memilki aspek etis bahkan dapat
dikatakan aspek etis ini justru memiliki posisi vital karena aspek ini akan membuat pekerjaan
bermakna baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Dimensi etis menandahkan bahwa
kerja berkaitan dengan nilai moral. Nilai ini justru landasan vital untuk mewujudkan dimensi
personal dan dimensi social kerja. Di era modern ini nilai etis bahkan mendapat perhatian
serius dalam pekrjaan, misalnya dalam kegiatan bisnis. Itu berarti dalam bekerja, orang tidak
boleh merusak atau menguraikan orang lain. Secara positif dapat dikatakan setiap pekerjaan
memuat nilai kebaikan bagi diri sendiri dan orang lain. Nialai-nilai etis yang dituntut dalam
berkeja, pertama, keadilan. Dalam bekerja setiap pribadi memiliki kewajiban untuk menhargai
hak-hak dari orang lain. Merampas pekerjaan orang lain adalah sebuah tindakan yang
bertentangan dengan keadilan. Kedua, tanggungjawab. Sebagaimana sudah disinggung dalam
dimensi social, kerja juga bermakna social.
Makna social mengandung tuntutan tanggungjawab terhadap orang lain. Dalam hal ini
kepedulian terhadap hidup orang lain menjadi tutuntan moral yang mendasar dalam pekrjaan.
Kepdulian ini terkait dengan manfaat tindakan terhadap orang lain. Ketiga, kejujuran.
Kejujuran merupakan niali moral lain yang dituntut dalam pekerjaan. Prinsip ini merupakan
keutamaan pertama dan paling penting yang harus dimilki oleh seorang pekerja. Orang yang
memiliki kejujuran tidak akan menipu orang lain. Dalam bekerja seorang penjual mobil
mempunyai kewajiban untuk mengatakan yang sebenarnya tentang kondisi mobil yang
dijualnya. Kejujuran sang penjual ini merupakan keharusan karena berkaitan dengan
keselamatan dari sang pembeli keika menggunakan mobil yang dibelinya.
4. Kesimpulan

Dari uraian yang panjang lebar diatas terlihat dengan jelas bahwa kesadaran tentang kerja
sebagai bagian dari eksisistensi manusia tidak sama pada setiap masyarakat. Kesadaran ini
secara menonjol pada masyarakat yang hidup setelah protestantisme dan industrialisasi, yang
memuncak pada masyarakat modern. Dalam periode yang terakhir ini kerja atau pekerjaan
dilihat sebagai wadah dimana manusia mewujudkan diri. Di dalam subjek sejarah adalah
manusia itu senidiri. Karena sejarah manusia adalah cara berada, maka hakikat sejarah
manusia terutama terletak pada dinamika kehidupan manusia dalam ruang dan waktu, bukan
pada peristiwa-peristiwa dimasa lalu atau benda-benda peninggalan masa lalu serta data-data

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
semata. Sejarah mengandung makna testimonial, karena meberi kesaksian akan masa lalu.
Tetapi sejarah tidak hanya menjadi saksi, melainkan juga memiliki makna yang diteruskan
dari satu generasi kegenerasi.

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
BAB XI
MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK RELIGIUS atau Ber-Tuhan
(Bdk. Louis O. Kattsoff, hal.443)
 
11.1. Pengertian Manusia Sebagai Makhluk Religius
Manusia adalah makhluk ber-Tuhan. Pola pemikiran ini bertolak dari pandangan
manusia sebagai makhluk homo religious. Salah satu tokohnya adalah Mircea Eliade.
Pandangan Eliade dapat dilihat pada tulisan Mangunhardjono dalam buku Manusia Multi
Dimesional: Sebuah renungan filsafat (1982:38). Menurut Eliade, homo religius, tipe manusia
yang hidup dalam suatu alam yang sakral, penuh dengan nilai-nilai religius dan dapat
menikmati sakralitas yang ada dan tampak pada alam semesta, alam materi, alam tumbuh-
tumbuhan, dan manusia. Sebagai makhluk religius manusia sadar dan meyakini akan adanya
kekuatan supranatural dalam dirinya. Sesuatu yang disebut supranatural itu dalam sejarah
manusia disebut Tuhan. Sebagai mahluk Tuhan, manusia memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1)
Mengakui kebesaran dan keagungan Tuhan yang diwujudkan dengan berbagai cara;  (2)
Menyadari bahwa dunia serta isinya adalah ciptaan Tuhan; (3) Manusia dianugerahi akal
dan budi yang dapat dikembangkan secara maksimal; (4) Manusia memiliki keterbatasan
yang kadang sukar dijelaskan. Ciri-ciri tersebut dapat kita amati dalam berbagai perilaku
manusia dalam kesehariannya.
11.2 Tanggung Jawab Manusia sebagai Makhluk Religius atau ber-Tuhan
Tanggung jawab menurut kamus umum Bahasa Indonesia adalah keadaan wajib
menanggung segala sesuatunya. Sehingga bertanggung jawab adalah berkewajiban
menanggung, memikul jawab, menanggung segala sesuatunya, dan memberikan jawab serta
menanggung akibatnya. Seseorang mau bertanggung jawab karena ada kesadaran atau
pengertian atas segala perbuatan dan akibatnya dan atas kepentingan pihak lain. Timbulnya
sikap tanggung jawab karena manusia itu hidup bermasyarakat dan hidup dalam lingkungan
alam. Manusia di dalam hidupnya disamping sebagai makhluk Tuhan, makhluk individu, juga
merupakan makhluk sosial. Dimana dalam kehidupannya di bebani tanggung jawab,
mempunyai hak dan kewajiiban, dituntut pengabdian dan pengorbanan.
Tanggung jawab itu sendiri merupakan sifat yang mendasar dalam diri manusia. Setiap
individu memiliki sifat ini. Ia akan semakin membaik bila kepribadian orang tersebut semakin
meningkat. Ia akan selalu ada dalam diri manusia karena pada dasarnya setiap insan tidak bisa
melepaskan diri dari kehidupan sekitar yang menunutut kepedulian dan tanggung jawab.
Inilah yang menyebabkan frekuensi tanggung jawab masing-masing individu berbeda.
Tanggung jawab mempunyai kaitan yang sangat erat dengan perasaan. Tanggung jawab juga
berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya.

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
Tanggung jawab manusia terhadap Tuhan yaitu dimana tindakan manusia tidak bisa
lepas dari hukum-hukum Tuhan yang dituangkan dalam berbagai kitab suci melalui berbagai
macam agama. Dalam hubungannya dengan Tuhan, manusia menempatkan posisinya sebagai
ciptaan dan Tuhan sebagai pencipta. Posisi ini memiliki konsekuensi adanya keharusan
manusia untuk taat dan patuh kepada Penciptanya yaitu dengan menjalankan perintah-Nya dan
menjauhi larangan-Nya.
Tanggung jawab manusia terhadap Tuhan adalah sebagai berikut:
1) Mengabdikan diri kepada Tuhan dengan beriman dan melakukan perbuatan baik
sebagaimana ditetapakan oleh agama.
2) Mensyukuri nikmat yang telah dikaruniakanNya kepada kita semua.
3) Beribadah kepada Tuhan YME sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan yang
dianut masing-masing.
4) Melaksanakan segala perintahNya serta berusha menjauhi atau meninggalkan
segala apa yang dilarang oleh Tuhan YME.
5) Menuntut ilmu dan menggunakannya untuk kebajikan (kemaslahatan) umat
manusia sebagai bekal kehidupan baik di dunia maupun di akhirat kelak.
6) Menjalin persahabatan atau persaudaraan guna mewujudkan kehidupan
maysarakat yang aman, tentram, damai, dan sejahtera

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
1. RENCANA PEMBELAJARAN SEMESTER (RPS)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
SEKOLAH TINGGI SANTU PAULUS – RUTENG
Jln. Jend. A. Yani 10, Tromol Pos 805, Ruteng, Flores, NTT, Indonesia
Telp (0385) 22305, Fax (0385) 21097;e-mail:
matematika@stkipsantupaulus.ac.id,
Website: www.stkipsantupaulus.ac.id;matematika.stkipsantupaulus.ac.id
Nama Mata :
2. FILSAFAT MANUSIA
Kuliah
Kode Mata :
3.
Kuliah
4. Semester : 4
5. Bobot (sks) : 2 SKS
Dosen :
6. Emilianus Jehadus, S.S., M.Pd.
Pengampu
7. Deskripsi : Mata kuliah ini dirancang untuk membantu mahasiswa meningkatkan
Mata Kuliah pemahaman tentang hakikat manusia dari berbagai dimensinya dari
sudut filsafat fenomenologi yang mencakup asal usul manusia, manusia
sebagai persona, manusia sebagai realitas jiwa dan badan, kesadaran
manusia, manusia dan dunia, kebebasan manusia, pengetahuan, sosialitas
manusia, historisitas manusia, kerja, dan religiositas manusia sehingga
diharapkan mampu menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dalam
menjalankan tugas berdasarkan agama, moral, dan etika.
8. Capaian : Mahasiswa mampu menguasai dan mempunyai wawasan yang luas
Pembelajara tentang hakikat manusia seperti asal-usul manusia, manusia sebagai
n sebuah persoalan; manusia sebagai persona; badan dan jiwa manusia;
kesadaran manusia; manusia dan dunia; kebebasan; pengetahuan;
sosialitas; historisitas; Kerja; religiositas manusia
9. Bahan : 1. Hakikat manusia
Kajian 2. Manusia sebagai persona (Individu dan Persona) : nilai-nilai absolut
pribadi dan beberapa elemen persona
3. Badan dan Jiwa manusia
4. Kesadaran
5. Manusia dan dunia
6. Kebebasan : Kebebasan sebagai eksistensi manusia (Homo
Liberamus)
7. Pengetahuan : Pengetahuan sebagai cara berada manusia (cogito
ergo sum – Rene Descartes) : animal rational – animal educandum.
8. Sosialitas : Manusia berkorelasi dengan yang lain (ens sociale atau
homo socius)
9. Historisitas : Manusia makhluk yang menyejarah : masa lalu,
sekarang dan masa yang akan datang (retrospeksi, introsepksi dan
prospeksi/proyeksi) (Homo Historicus)
10. Manusia dan Kerja (homo faber)
11. Religiositas manusia (homo religius)

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
Acara Pembelajaran
Strategi /
Alokas Kriteria Bobot
Mingg Kemampuan Akhir Metode Pengalama Instrumen Pustaka/
Bahan Kajian i (Indikator) Penilaia
u ke- yang Diharapkan Pembelajara n Belajar Penilaian Literatur
Waktu Capaian n (%)
n
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 Mampu memahami Tinjauan umum Ceramah, 2 x 50’ Orientasi Pemahaman - - -
karakteristik MK, perkuliahan, tanya jawab perkuliahan terhadap
capaian RPS, kontrak, dan reflective hakikat MK,
pembelajaran yang penugasan- learning tugas dan
diharapkan, penugasan dan proses
penugasan- kriteria perkuliahan
penugasan, criteria penilaian secara
penilaian dan proses menyeluruh
pembelajaran yang
akan dilaksanakan
2–3 Mampu menjelaskan Hakikat Penugasan 4x Tugas Ketepatan Tes tertulis Dahler dan
konsep tentang manusia- apa dan 170’ pemahaman Candra,
hakikat manusia dan siapakah presentasi membuat konsep, Kasdin
secara lisan dan manusia? makalah kemampuan Sihotang;
tertulis dan presentasi Theo Huijbers,
15
presentasi Kemampuan Driyarkara,
komunikasi Mangunwijaya
, Suparlan
Suhartono,
Anton Bakker
4–5 Mampu menjelaskan Manusia Penugasan 4 x 170 Tugas Ketepatan Tes Dahler dan
manusia sebagai sebagai persona dan membuat pemahaman performans Candra,
persona presentasi makalah konsep, i 5 Kasdin
dan kemampuan Sihotang;
presentasi presentasi Theo Huijbers,

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
Strategi /
Alokas Kriteria Bobot
Mingg Kemampuan Akhir Metode Pengalama Instrumen Pustaka/
Bahan Kajian i (Indikator) Penilaia
u ke- yang Diharapkan Pembelajara n Belajar Penilaian Literatur
Waktu Capaian n (%)
n
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kemampuan Driyarkara,
komunikasi Mangunwijaya
, Suparlan
Suhartono,
Anton Bakker
6 Mampu menjelaskan Badan dan jiwa Penugasan 4 x 170 Tugas Kemampuan Tes Dahler dan
konsep tentang manusia dan membuat pemahaman performans Candra,
badan dan jiwa presentasi makalah konsep i Kasdin
manusia dan kemampuan Sihotang;
presentasi presentasi Theo Huijbers,
10
dan Driyarkara,
kemampuan Mangunwijaya
komunikasi , Suparlan
Suhartono,
Anton Bakker
7 Mampu menjelaskan Kesadaran Penugasan 4x170 Tugas Kemampuan Tes Dahler dan
tentang kesadaran dan membuat pemahaman performans Candra,
presentasi makalah konsep i Kasdin
dan kemampuan Sihotang;
presentasi presentasi Theo Huijbers,
5
dan Driyarkara,
kemampuan Mangunwijaya
komunikasi , Suparlan
Suhartono,
Anton Bakker
8 UJIAN MID SEMESTER

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
Strategi /
Alokas Kriteria Bobot
Mingg Kemampuan Akhir Metode Pengalama Instrumen Pustaka/
Bahan Kajian i (Indikator) Penilaia
u ke- yang Diharapkan Pembelajara n Belajar Penilaian Literatur
Waktu Capaian n (%)
n
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
9 Mampu menjelaskan Manusia dan Penugasan 2x Tugas Kemampuan Tes Dahler dan
tentang manusia dan dunia dan 170’ membuat pemahaman performans Candra,
dunia presentasi makalah konsep, i Kasdin
dan kemampuan Sihotang;
presentasi presentasi Theo Huijbers,
15
dan Driyarkara,
kemampuan Mangunwijaya
komunikasi , Suparlan
Suhartono,
Anton Bakker
10 Mampu menjelaskan Kebebasan Penugasan 2x Tugas Kemampuan Tes Dahler dan
kebebasan sebagai sebagai dan 170’ membuat pemahaman performans Candra,
eksistensi manusia eksistensi presentasi makalah konsep, i Kasdin
manusia dan kemampuan Sihotang;
presentasi presentasi Theo Huijbers,
10
dan Driyarkara,
kemampuan Mangunwijaya
komunikasi , Suparlan
Suhartono,
Anton Bakker
Mampu menguraikan Pengetahuan Penugasan 4x Tugas Kemampuan Tes 10 Dahler dan
pengetahuan sebagai sebagai cara dan 170’ membuat pemahaman performans Candra,
cara berada manusia berada manusia presentasi makalah konsep, i Kasdin
11 dan kemampuan Sihotang;
presentasi presentasi Theo Huijbers,
dan Driyarkara,
kemampuan Mangunwijaya

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
Strategi /
Alokas Kriteria Bobot
Mingg Kemampuan Akhir Metode Pengalama Instrumen Pustaka/
Bahan Kajian i (Indikator) Penilaia
u ke- yang Diharapkan Pembelajara n Belajar Penilaian Literatur
Waktu Capaian n (%)
n
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
komunikasi , Suparlan
Suhartono,
Anton Bakker
12 Mampu menjelaskan Sosialitas Penugasan 4 x170’ Tugas Kemampuan Tes Dahler dan
tentang sosialitas manusia dan membuat pemahaman performans Candra,
manusia presentasi makalah konsep, i Kasdin
dan kemampuan Sihotang;
presentasi presentasi Theo Huijbers,
5
dan Driyarkara,
kemampuan Mangunwijaya
komunikasi , Suparlan
Suhartono,
Anton Bakker
13 Mampu menjelaskan Historisitas Penugasan 4x Tugas Kemampuan Tes Dahler dan
historisitas manusia manusia dan 170’ membuat pemahaman performans Candra,
presentasi makalah konsep, i Kasdin
dan kemampuan Sihotang;
presentasi presentasi Theo Huijbers,
10
dan Driyarkara,
kemampuan Mangunwijaya
komunikasi , Suparlan
Suhartono,
Anton Bakker
14 Mampu menjelaskan Manusia dan Penugasan 2x Tugas Kemampuan Tes Dahler dan
tentang manusia dan Kerja dan 170’ membuat pemahaman performans Candra,
5
kerja presentasi makalah konsep, i Kasdin
dan kemampuan Sihotang;

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
Strategi /
Alokas Kriteria Bobot
Mingg Kemampuan Akhir Metode Pengalama Instrumen Pustaka/
Bahan Kajian i (Indikator) Penilaia
u ke- yang Diharapkan Pembelajara n Belajar Penilaian Literatur
Waktu Capaian n (%)
n
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
presentasi presentasi Theo Huijbers,
dan Driyarkara,
kemampuan Mangunwijaya
komunikasi , Suparlan
Suhartono,
Anton Bakker
15 Mampu menjelaskan Religiositas Penugasan 2x Tugas Kemampuan Portofolio Dahler dan
tentang religiositas Manusia dan 170’ membuat pemahaman Candra,
manusia presentasi makalah konsep, Kasdin
final kemampuan Sihotang;
presentasi Theo Huijbers,
10
dan Driyarkara,
kemampuan Mangunwijaya
komunikasi , Suparlan
Suhartono,
Anton Bakker
16 UJIAN AKHIR SEMESTER

Sumber Belajar:
1. Kasdin Sihotang. 2009. Filsafat Manusia : Upaya Membangkitkan Humanisme. Yogyakarta : Kanisius
2. Asal dan Tujuan Manusia (Frans Dahler & Julius Chandra)
3. Filsafat Manusia (Driyarkara)
4. Pertjikan Filsafat (Drijarkara)
5. Y.B. Mangunwijaya. 1999. Manusia Pascamodern, Semesta, dan Tuhan. Yogyakarta : Kanisius
6. Theo Huijbers. 1986. Manusia Merenungkan Dirinya. Yogyakarta : Kanisius
7. Theo Huijbers. 1986. Manusia Merenungkan Makna Hidupnya. Yogyakarta : Kanisius

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd
8. Manusia Multidimensi (M. Sastrapratedja)
9. Antropologi Filsafat Manusia, Paradoks dan Seruan (Adelbert Snijders)
10. Manusia dalam Pijar-pijar Kekayaan Dimensinya (Mudji Sustrisno)
11. Panggilan Hidup Manusia (BS Mardiaatmadja)
12. Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes
13. Zainal Abidin. 2006. Filsafat Manusia, Memahami Manusia Melalui Filsafat. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya
14. Lois O. Kattsoff. 1989. Pengantar Filsafat. Yogyakarta : Tiara Wacana
15. Suparlan Suhartono. 2009. Dasar-Dasar Filsafat. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media
16. Anton Bakker. 2000. Antropologi Metafisik. Yogyakarta : Kanisius

Diktat Mata Kuliah Filsafat Manusia oleh Emilianus Jehadus, S.S, M.Pd

Anda mungkin juga menyukai