Anda di halaman 1dari 31

EKSPLANASI SEJARAH

Penyusun
Kelompok 9 :
Anggota : Dimas Aditia (1813033020)
Heni Tri Wulandari (1813033052)
Merisa Rusiana (1813033054)
Yulia Putri Perdana. (1813033058)

Mata Kuliah : Filsafat Sejarah


Dosen Pengampu : Sumargono, S.Pd., M. Pd.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH


JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2020

i
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang, kami
panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah
kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Eksplanasi Sejarah”
sebagai salah satu tugas mata kuliah Filsafat Sejarah. Atas dukungan moral dan material
yang diberikan dalam penyusunan makalah ini, maka penulis mengucapkan banyak terima
kasih kepada orang tua, saudara, dan seluruh keluarga yang telah mencurahkan doa dan
semangat kepada kami. Tidak lupa pula kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak
Sumargono, S. Pd., M.Pd. Selaku Dosen yang membimbing sehingga makalah ini dapat
diselesaikan. Serta teman-teman yang telah banyak membantu dan memberi dukungan
khususnya teman-teman dari Program Studi Pendidikan Sejarah 2018.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun dari semua pihak. Dan
apabila kesalahan kata atau penulisan, penulis mohon maaf yang sebesar besarnya.

Bandar Lampung, 14 April 2020

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................ii
DAFTAR ISI..................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................1
1.1. Latar Belakang.......................................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah.................................................................................................2
1.3. Tujuan....................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN...............................................................................................3
2.1. Eksplanasi Sejarah.................................................................................................5
2.2. Periodisasi..............................................................................................................8
2.3. Kausalitas..............................................................................................................10
2.4. Generalisasi Sejarah..............................................................................................12
2.5. Makna Silogisme..............................................................................................17
2.6. Covering Law Model........................................................................................20
2.7. Inferesial dan Kesimpulan Statistik................................................................23
2.8. Hermeneutika........................................................................................................25
BAB III PENUTUP.......................................................................................................28
3.1. Simpulan................................................................................................................28
3.2. Saran......................................................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................30

iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Filsafat sejarah adalah suatu kajian yang mendalam mengenai sejarah, sehingga
dapat diketahui segala yang berkaitan dengan sejarah tersebut. Sejarah bukanlah
kumpulan dari fakta, parade tokoh,kronologis peristiwa, atau deskripsi belaka
yang apabila dibaca akan terasa kering karena kurang mempunyai makna.
Fakta-fakta sejarah harus diinterpretasikan atau ditafsirkan agar sesuatu
peristiwa dapat di- rekonstruksikan dengan baik, yakni dengan jalan
menyeleksi, menyusun, mengurangi tekanan, dan menempatkan fakta dalam
urutan kausal. Dengan demikian, tidak hanya pertanyaan dimana, siapa,
bilamana, dan apa yang perlu dijawab, tetapi juga yang berkenaan dengan
kata mengapa dan apa jadinya. Paparan sejarah secara subyektif memerlukan
penjelasan yang rasional mengenai suatu fenomena historis.

Kuntowijoyo memaparkan bahwa ilmu sejarah merupakan ilmu yang


terbuka. Hakikat dan kemandirian ilmu sejarah merupakan kekuatan yang
mampu menjelaskan sejarah,sehingga perlu dibedakan antara penjelasan ilmu-
ilmu alam dan ilmu sosial di satu pihak dan ilmu sejarah di pihak lain. Karena
sejarah adalah ilmu yang mandiri. Mandiri, artinya mempunyai filsafat ilmu
sendiri, permasalahan sendiri, dan penjelasan sendiri. Karena kemandirian
ilmu sejarah tersebut maka muncul pertanyaan, apakah yang dimaksud
dengan eksplanasi /penjelasan sejarah? (Kuntowijoyo, 2008:2).

Menurut Kuntowijoyo, eksplanasi/penjelasan sejarah(historical


explanation) ialah usaha membuat satu unit sejarah intelligible

1
(dimengerti secara cerdas). Dari hal tersebutlah kami ingin menyajikan Materi
mengenai "Eksplanasi".

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat diperoleh rumusan masalah sebagai
berikut:

1) Apa itu Eksplanasi Sejarah?


2) Bagaimana Periodisasi dalam Eksplanasi Sejarah?
3) Bagaimana Kausalitas dalam Eksplanasi Sejarah?
4) Bagaimana Generalisasi Sejarah dalam Eksplanasi Sejarah?
5) Bagaimana Makna Silogisme dalam Eksplanasi Sejarah?
6) Bagaimana Covering Law Model dalam Eksplanasi Sejarah?
7) Bagaimana Inferensial dan Kesimpulan Statistik dalam Eksplanasi Sejarah?
8) Bagaimana Hermeneutika dalam Eksplanasi Sejarah?
1.3. Tujuan
Sesuai dengan masalah yang di atas, tujuan penelitian ini adalah:
1) Untuk mengetahui Pengertian Eksplanasi
2) Untuk mengetahui Periodisasi dalam Eksplanasi Sejarah
3) Untuk mengetahui Kausalitas dalam Eksplanasi Sejarah
4) Untuk mengetahui Generalisasi Sejarah dalam Eksplanasi Sejarah
5) Untuk mengetahui Makna Silogisme dalam Eksplanasi Sejarah
6) Untuk mengetahui Covering Law Model dalam Eksplanasi Sejarah
7) Untuk mengetahui Inferensial dan Kesimpulan Statistik dalam Eksplanasi
SejarahUntuk mengetahui Hermeneutika dalam Eksplanasi Sejara
8) Untuk mengetahui Hermeneutika dalam Eksplanasi Sejarah

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Eksplanasi

Menurut Kuntowijoyo, eksplanasi/penjelasan sejarah (historical explanation) ialah


usaha membuat satu unit sejarah intelligible (dimengerti secara cerdas). Kunto menegaskan
perlunya intelligibility karena sejarah tidak hanya dijelaskan secara kausalitas. Kausalitas
hanyalah salah satu dari penjelasan sejarah. Sedang tentang pertanyaan, mengapa sekedar
penjelasan "bukan analisis" yang meyakinkan dan pasti? Kata “ana1isis" memang juga
dipakai bergantian dengan “penjelasan", diantaranya oleh Marc Bloch, terutama ketika
orang menganalisis hubungan kausal antar gejala sejarah. Akan tetapi, karena kata
“penjelasan" lebih sesuai untuk sejarah pada umumnya, sedangkan kata “analisis" tidak
sepenuhnya sesuai dengan hakikat ilmu sejarah, maka lebih tepat dipakai kata “penjelasan
sejarah". Namun demikian, Kunto menyilakan bagi siapa saja yang ingin menyebut
“penjelasan sejarah" dengan "analisis" sejarah. Kuntowijoyo, Penjelasan Sejarah (Historical
Explanation), Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008, him. 2. Penjelasan atau eksplanasi kaum
historis didasarkan atas pendapat bahwa setiap peristiwa mempunyai keunikan dan
individualitas, sehingga peristiwanya tidak dapat dianalisis dan direduksi. Setiap peristiwa
hanya perlu dilacak kembali ke peristiwa yang mendahuluinya. Sehingga dapat dikatakan
bahwa eksplanasi sejarah adalah suatu proses yang menunjukkan peristiwa-peristiwa
tertentu dihubungkan dengan peristiwa-peristiwa lain melalui penggunaan pernyataan-
pernyataan yang bersifat umum yang tepat (general statements). Sebagai ilmu, sejarah
terikat pada prosedur penelitian ilmiah. Penelitian ilmiah merupakan sumber dan upaya
pengembangan ilmu. Sejarah, karenanya, juga terikat pada penalaran (reasoning) yang
mendasarkan diri pada fakta. Dalam sejarah dibedakan antara konsep data dan konsep
fakta. Fakta adalah data-data yang telah teruji kebenarannya melalui uji (kritik) sumber.
Fakta-fakta inilah yang menjadi andalan bagi kebenaran sejarah. Untuk memperoleh

3
kebenaran sejarah, akan banyak bergantung pada kesediaan para sejarawan untuk meneliti
dan mengkaji sumber sejarah secara cermat dan tuntas, sehingga diharapkan mampu
mengungkap sejarah dengan objektif (atau mendekati objektif). Hasil final yang diharapkan
ialah adanya kesesuaian (korespondensi) antara pemahaman (interpretasi dan historiografi)
sejarawan dengan fakta (Sartono, 1993:233).

Bagaimanakah Penjelasan Sejarah dilakukan?

Menurut Djoko Suryo, Kuntowijoyo telah berhasil meramu hakikat penjelasan sejarah
(meskipun ada jenis penjelasan sejarah lain yang tidak disebutkan) yang selama tiga dekade
pada abad XX telah menjadi bahan perdebatan dan ketidaksepakatan di antara kaum
positivis dan kaum idealis (humanis dalam bahasa Clayton Robert). (Clayton Robert.
1996:6).

Kaum positivis, pada satu-pihak, antara lain diwakili oleh Karl Popper dan Carl
Hempel, dan kaum idealis, pada pihak lain, antara lain diwakili oleh Dilthey, Collingwood,
Croce, dan Max Weber. Perdebatan ini antara lain berkisat pada persoalan sebagai berikut:
haruskah semua penjelasan sejarah seragam dengan menggunakan model yang sama
(deduksi) ataukah penjelasan dalam sejarah boleh memiliki logika sendiri? Apakah kaum
positivis benar ketika ia menyatakan bahwa secara metodologis tidak ada perbedaan
mendasar antara sejarah,,,dan ilmu alam? Apakah sejarah ( dipandang sebagai disiplin
kognitif) sui generis atau tidak? Haruskah sejarawan menggunakan hukum (atau
generalisasi universal) seperti ahli ilmu alam atau dapatkah ia mencapainya dengan cara
berbeda?

Keberhasilan Kuntowijoyo dalam meramu teori tentang penjelasan sejarah adalah


dengan mengungkapkan kaidah-kaidah penjelasan sejarah yang disederhanakan menjadi
enam kaidah, kesemuanya diambilkan baik dari aliran positivis maupun humanis. Keenam
kaidah tersebut adalah:

4
1. Pertama: Regularity (keajekan, keteraturan, konsistensi ( diambilkan dari konsep
Gardiner; positivis). Regularity adalah penjelasan antar peristiwa yang mengandung
prediksi sejarah menjadi pejelasan dalam peristiwa (inner coherence). Artinya
secara ajek gejala-gejala muncul dimana saja terjadi stiatu peristiwa. Contoh:
penjelasan sejarah tentang sebabmusabab Revohisi Indonesia. Sekali diterangkan
bahwa revolusi itu adalah revolusi pemuda, maka semua tempat peristiwa harus
disebabkan oleh pemuda, baik dipusat maupun di da~rah. Contoh lain kalau ada
kekosongan otoritas rnaka akan terjadi anarki. Itulah yang terjadi di Indonesia pada
Mei 1998 dan juga di Baghdad pada April 2003. Bagi Kunto, semua penjelasan
sejarah sebenamya memerlukan. regularity di dalamnya, terutama dalam-
menjelaskan aspek kausalitas.
2. Kedua: Generalisasi (konsep dari Mc Cullagh). Adalah persamaan karakteristik
tertentu. usuatu bagian yang menjadi ciri sebuah kelompok, juga menjadi dri dari
kelompok yang lain pula'. Konsep-konsep sejarah seperti "feodalisme'',
"puritanisme", dan "pergerakan nasional" semuanya mengandung generalisasi
konseptual. Generalisasi sejarah ialah membandingkan unit-unit sejarah. Letak
penjelasan sejarahnya ialah pada generalisasi itu, tidak pada deskripsi atas masing-
masing unit sejarah. Konsep Generalisasi diambilkan daricilmu alam dan ilmu
sosial, namun yang membedakannya adalah generalisasi dalam sejarah sangat
berkait dengan waktu sehingga dalam pengeneralisasiannya seorang sejarawan akan
menyusun periodisasi (generalisasi periodik).
3. Ketiga: Inferensi Statistik, Metode Statistik. (konsep dari Mc Cullagh). Inferensi
statistik dan metode statistik menjadi andalan dalam generalisasi. Kuantifikasi
sebagaimana dalam tradisi sejarah sebenamya hanya menjelaskan narasi, bu_l<an
merupakan penjelasan numerikal dan statitikal. Pada dasarnya sejarah itu persoalan
kualifikatif.
4. Keempat: Pembagian waktu dalam sejarah (konsep dari Fernand Braudel).
Sejarawan melakukan klasifikasi atas waktu, sejarawan membuat periodisasi.

5
Realitas sejarah sendiri terus-menerus mengalir tanpa sekat-sekat, dan pembabakan
waktu adalah hasil konseptualisasi sejarawan, suatu rasionalisasi. Rasionalisasi
bukan generalisasi. Rasionalisasi lahir dari pemikiran teoritis, sedangkan
generalisasi adalah hasil dari gejala empiris.
5. Kelima: Narrative History. Sejarah adalah cerita lllasa lalu. Tugas sejarawan adalah
menyusun bersama secara teratur. Susunan yang teratur itu sendiri tidak terdapat
dalam gejala sejarah, tetapi justru tugas sejarawanlah untuk membuatnya teratur.
Cara sejarawan menyusun adalah dengan merekonstruksi masa lalu,
menghubungkan fakta yang satu dengan yang lainnya, sehingga terbentuklah suatu
cerita.
6. Keenam: Multi-Interpretable (konsep Lorenz). Bahwa ilmu sejarah yang dipahami
sebagai menafsirkan, memahami dan mengerti, cukup menjelaskan adanya
subyektivisme dan relativisme dalam penjelasan sejarah. Sehingga sejarah bakal
Multi-Interpretable. Sebagai akibatnya bisa jadi dalam mencari sebab musabab
sebuah peristiwa terdapat perbedaan-perbedaan tafsir.

2.2. Periodisasi
Periodisasi atau pembabakan adalah prosses strukturalisasi waktu dalam sejarah
berdasar pada pembagian atas beberapa zaman, babak. Atau peiode. peristiwa- peristiwa
masa silam yang begitu banyak dibagi-bagi dan dikelompokkan menurut sifat atau bentuk
sehingga membentuk suatu kesatuan waktu tertentu. maka, dapat dikatakan sejarawan
melakukan klasifikasi Atas waktu, sejarawan membuat periodisasi. periodisasi dalam
sejarah tidaklah mudah dipahami sebagai suatu hal yang mutlak. seorang sejarawan
profesional dapat saja membuat periodisasi sejarah dari sudut pandang yang berbeda dalam
versi yang tidak sama. memang sejarah sebagai aktivitas manusia masa silam ke masa
sejarah sebagai suatu proses tidak mengenal batas-batas yang tegas dan pasti lebih lebih
yang menekankan semata-mata pada angka, tanggal bulan dan tahun peristiwa. memahami,
mengerti, dan mengetahui periodisasi sangat bermanfaat bukan hanya bagi sejarawan tetapi

6
juga bagi pembaca, dan penggemar sejarah apalagi bagi para siswa dan mahasiswa yang
belajar pengetahuan sejarah. sangat jelas bahwa peiodisasi merupakan konsep sejarawan
semata- mata, suatu produk mental yang hanya ada dalam pikiran sejarawan, suatu ideal
type. Periodisasi sekalipun sebagai produk pemikiran sejarawan, tidaklah diputuskan secara
sembarangan, semena-mena. Peridisasi adalah hasil pemikiran komperatif antara satu
periode dengan periode lainnya setelah sejarawan melihat ciri khas suatu kurun sejarah.
Selebihnya, sejarawan juga menandai adanya perubahan penting yang terjadi dari periode
sejarah yang satu ke periode sejarah yang berikutnya. Contohnya seperti periodisasi dalam
Sejarah Eropa atau barat misalnya, membagi sejarah daam tiga periode atau zaman. Yakni
zaman klasik, Abad Pertengahan, dan zaman Modern ( Sundoro Mohamad Hadi, 2009:135-
137).

Para sejarawan dan ahli filsafat tertarik dengan skema- skema periodisasi dikarenakan
konsep-konsep sejarah selalu mengungkap keberkaitan yang ingin ditunjukkan dalam masa
silam. Dalam keterkaitan itu setiap unsur atau aspek dalam masa silam, disediakan
tempatnya sendiri dalam bagian masa silam yang diteliti. Mengingat hal itu, maka dapat
dipertahankan, bahwa makna dan arti setiap unsur atau aspek itu tergantung pada tempat
didalam keseluruhan proses sejarah. Peristiwa- peristiwa itu akan lebih bermakna apabia
peristiwa itu ditempatkan dalam proses sejarah. Dalam membahas tetang periodisasi
terdapat kritik yang dilontarkan oleh filsuf sejarah. Mereka mengatakan bahwa membagi
sejarah Eropa menjadi tig periode, yakni aman Klasik, Abad Pertengahan, dan Zaman
Modern, berarti akan menyayat-nyayat masa silam. Tetapi, didalam masa silam tidak ada
sayatan-sayatan, masa silam menyerupai seheai kain yang tidak ada jahitan. Periodisasi
telah mengadakan diskontiniutas-diskontiniutas dalam proses sejarah yang bersifat kontinu.

Sejarawan selalu memperhatikan penyusunan cerita sejarah dalam karyanya secara


kronologis, yakni dalam periode-periode waktu. Tetapi perlu pula diperhatikan bahwa
periodisasi dapat dan seringkali bersifat sewenang-wenang. Kesewenangan itu yang paling
menonjol adalah didalam periodisasi sejarah pemikiran atau gerakan. Berbagai sebutan atau
istilah seperti Abad Metternich, Abad Kemanjuan, Zaman Revolusi Industri, zaman

7
Pencerahan, jika tidak berhati-hati dalam memahami istilah atau sebutan itu dapat
berakibat bahwa apa yang dilakukan itu tidak mewakili zaman yang ada ( Sundoro
Mohamad Hadi, 2009:138-139).

2.3. Kausalitas
Kausalitas adalah hukum sebab-akibat. Plato mengatakan bahwa “segala sesuatu
yang terjadi dan berubah mestilah ada sebab nya karena tak ada didunia ini yang terjadi
tanpa sebab”. Konsep “sebab” dalam sejarah mengacu pada tindakan atau kejadian
yang dapat menyebabkan terjadinya tindakan atau peristiwa lain. Hasil dari tindakan
atau kejadian itu disebut akibat. Hubungan sebab akibat melibatkan korelasi yang selalu
dapat dipelajari. Tanpa konsep sebab sejarah Akan kehilangan ciri ilmiahnya. selalu
mendahului akibat atau sebaliknya akibat selalu merupakan hasil dari tindakan atau
peristiwa sebelumnya. Hukum kausalitas sejarah selalu berlangsung dalam lintas waktu.
Namun tidak semua rentetan tindakan atau kejadian berlangsung dalam rangkaian
sebab akibat, melainkan dalam bentuk hubungan “korelasi” atau koeksistensi
(berlangsung bersamaan). Sebuah tindakan lain, tetapi bukan disebabkan oleh tindakan
atau kejadian yang mendahuluinya. Misalnya keliru mengatakan perilaku kekerasan
terjadi karena acara tv atau film karena disitu ada beberapa aspek berbeda yang perlu
dibedakan. Maka lebih aman mengatakan bahwa ada korelasi antara menonton
tayangan tv dalam film bertema kekerasan (fisik dan nonfisik) dari pada mengatakan
acara tv yang menyuguhkan tayangan perilaku kekerasan menjadi penyebab perilaku
kekerasan. Kausalitas dua peritiwa atau tindakan yang saling berhubungan sangat sukar
ditetapkan tetapi pasti ada. Beda diperkirakan, sementara korelasi tidak, tetapi mesti ada
kemukinan probabilitas atau contingency. Korelasi biasanya dapat dideteksi lewat
penjelasan statistik. Kalau dirumuskan ke dalam hukum CLM dalam sejarah rumusannya

8
kira-kira begini. Jika terdapat hubungan dua gejala A dan B, itu bisa diperkirakan A
adalah penyebab B atau A bertanggung jawab terjadinya peristiwa atau tindakan B.
Kemungkinan lain ialah bahwa ada faktor-faktor lain yang menjadi alasan terjadinya A
dan B atau keduanya merupakan variable (sebab) independen yang kebetulan
berlangsung parallel (Zed, 2018:57).

Model kausalitas berupaya menjelaskan peristiwa sejarah dengan merangkaikan


berbagai fakta dalam sintesis hubungan sebab akibat (cause-effect). Hukum
sebab akibat (law of causation) menunjukkan bahwa setiap fenomena merupakan
akibat dari sebab sebelumnya. Kajian sejarah adalah kajian tentang sebab-sebab dari
suatu peristiwa terjadi sehingga hampir merupakan aksioma atau kebenaran umum.
Dalam perkembangannya, hukum jausalitas dianggap ketinggalan karena memiliki
tendensi deterministik. Alternatif terhadap hukum kausalitas adalah pendekatan
fungsional. Penjelasan dalam hukum kausalitas dimulai dengan mencari sejumlah sebab
untuk peristiwa yang sama. Sebab-sebab yang banyak tersebut disebut kemajemukan
sebab (multiplicity of causes). Dalam konteks ini, setiap sebab memiliki kedudukan sama
penting. Langkah selanjutnya adalah menganalisis sebab-sebab untuk kemudian
mendapatkan penyebab utama (the ultimate cause), sebab dari semua sebab (cause of
all causes). Kaitannya dengan kemajemukan sebab, muncul persoalan determinisme
dalam sejarah (determinism in history) dan kebetulan dalam sejarah (chance in history).
Ahli filsafat Hegel dianggap sebagai peletak dasar filsafat sejarah determinisme. Kritik
terhadap determinisme adalah dianggap mengabaikan kemauan bebas (freewill)
manusia. Determinisme dianggap bertentangan dengan adanya penyebab majemuk atau
multikausal. Sementara itu, kebetulan sejarah menganggap pertemuan atau benturan
antar sebab dalam peristiwa sejarah sebagai sebuah kebetulan. Kebetulan yang
kemudian mengubah jalannya sejarah. Teori kebetulan mendapat kritik karena dianggap
melebih-lebihkan. Penganut teori ini dianggap malas melakukan penelitian, kemalasan

9
inteletual (intellectual laziness) atau vitalitas yang rendah(low intellectual vitality). Dalam
melakukan rekonstruksi sejarah, tidak semua fakta otomatis menjadi fakta sejarah.
Fakta-fakta masa lalu baru menjadi fakta sejarah jika sejarawan memilihnya karena
dianggap mempunyai hubungan (relevansi)dan berarti (signifikansi) dengan apa yang
diteliti. Hal yang sama juga berlaku bagi penganut multikausal dalam peristiwa sejarah.
Susunan sebab-sebab, signifikansi serta relevansi antar satu sebab atau serangkaian
sebab dengan yang lainnya merupakan esensi penafsiran sejarah (Sjamsudin, 1996:35).

2.4. Generalisasi Sejarah


Generalisasi (bahasa latin generalis berarti umum) adalah pekerjaan menyimpulkan dari
yang khusus kepada yang umum. Generalisasi yang tersedia dapat menjadi dasar penelitian
bila sifatnya sederhana, sudah dibuktikan oleh peneliti sebelumnya dan merupakan
accepted history. Generalisasi itu dapat dipakai bila hipotesis deskriptif yaitu sebagai
dugaan sementara, biasanya itu hanya berupa generalisasi konseptual. Meskipun demikian,
pemakaian generalisasi yang bagaimanapun sederhananya harus dibatasi supaya sejarah
tetap empiris, generalisasi sejarah yang sebenarnya adalah hasil penelitin
(Kuntowijoyo,2005:146).

Generalisasi (konsep dari McCullagh) adalah persamaan karakteristik tertentu atau suatu
bagian yang menjadi cirri sebuah kelompok, juga menjadi cirri dari kelompok yang lain
pula. Konsep-konsep sejarah seperti feodalisme, puritanisme, dan pergerakan nasional
semuannya mengandung generalisasi konseptual. Generalisasi sejarah ialah
membandingkan unit-unit sejarah. Letak penjelasan sejarahnya ialah pada generalisasi itu,
tidak pada deskripsi atas masing-masing unit sejarah. Konsep generalisasi diambilkan dari
ilmu alam dan ilmu sosial, namun yang membedakan adalah generalisasi dalam sejarah
sangat berkaitan dengan waktu sehingga dalam penggeneralisasiannya seorang sejarawan
akan menyusun periodisasi (Nur Saidah, 2012:51-52).

Generalisasi sejarah memiliki 2 tujuan yaitu

10
1. Saintifikasi : Semua ilmu menarik kesimpulan umum. Kesahajaan menjadi tumpuan
dalam generalisasi. Kalau kita ingin memberi warna pada sesuatu tembok, kita perlu
tahu bahawa kita memerlukan berapa tong cat. Perhitungan luas tembok dan berapa
meter dapat dicat oleh setiap tong, kita akan dapat meramalkan dengan penuh
kepastian berapa tong cat yang diperlukan. Ramalan itu dalam ilmu sosial, termasuk
sejarah adalah tidak dengan penuh kepastian, sebaliknya hanya berupa
kemungkinan. Dalam sejarah, generalisasi sama dengan teori bagi ilmu lain. Dalam
antropologi kita kenal teori evolusi. Dalam sejarah kita mengenal generalisasi
tentang perkembangan sebuah masyarakat. Kalau orang menggunakan istilah teori
untuk sejarah, maka yang di maksud adalah generalisasi (susanto, 2014:141-142).
2. Simplifikasi (penyederhanaan) : Orang akan terheran-heran mengenang gerakan
rakyat yang beramai-ramai menurunkan para pejabat dalam Peristiwa Tiga Daerah
di Pekalongan, Tegal dan Brebes pada pasca-revolusi tersebut. Seorang sejarawan
dari Australia, Anton Lucas, telah menyederhanakan peristiwa itu dengan
menyebutnya "bambu runcing menembus payung". Demikian juga dengan Peristiwa
Cumbok dapat disederhanakan dalam "pertentangan antara hulubalang dengan
ulama". Revolusi Sosial di Sumatera Timur yang banyak memakan korban tak
bersalah, seperti Amir Hamzah, sering disederhanakan dengan kata "rakyat
melawan bangsawan". Simplifikasi diperlukan supaya sejarawan dapat melakukan
analisis. Penyederhanaan yang ditentukan melalui pembacaan itu akan membimbing
(menuntun) sejarawan dalam mencari data, melakukan kritik sumber, interpretasi
dan penulisan. (Kuntowijoyo, 2005:148).

Macam-macam Generalisasi

1. Generalisasi Konseptual
Generalisasi ini disebut dengan generalisasi konseptual karena berupa konsep yang
menggambarkan fakta. Misalnya, Ketika orang mengatakan "revolusi" dan bukan
yang lainnya, seperti "pemogokan", "pemberontakan", "ontran-ontran", maka dalam
gambarannya ialah darah, pertempuran, orang yang diadili massa, pembelotan dan

11
pergantian pemimpin. Orang dapat memakai istilah "revolusi sosial", "revolusi
damai", "revolusi petani", dan sebagainya. Semua itu mempunyai denotasi dan
konotasi tersendiri.
2. Generalisasi Personal
logika ada cara berpikir yang menyamakan bagian dengan keseluruhan atau pars
pro toto. Generalisasi personal juga berpikir seperti itu. Misalnya, kita berfikir
seolah-olah Pan Islamisme adalah Jamaluddin Al-Maghani, pembaharuan Islam di
Mesir dengan Muhammad Abduh, Svadeshi di India dengan Gan dhi, kemerdekaan
Indonesia dengan Sukarno-Hatta, dan Orde Baru dengan Presiden Soeharto. Tentu
saja itu tidak terlalu salah, hanya saja itu bearti kita meniadakan peranan orang-
orang lain.
3. Generalisasi Tematik
Biasanya judul buku sama de ngan tema buku. Sejarah Amerika pada abad pertama
ditandai dengan budaya Puritan. Masa kanak-kanak dimulai dengan santai,
kemudian menjelang dewasa diterapkan disiplin yang keras oleh orang tua atau
seperti buku yang ditulis orang mengenai presiden soeharto, O.G. Roeder yang
melukiskan bahwa pada hakikatnya presiden ialah anak desa.
4. Generalisasi Spatial
Kita sering membuat generalisasi berdasarkan tempat, seperti untuk Korea, Jepang,
dan Cina kita menyebutnya dengan Timur Jauh atau Asia Timur, untuk sebagian
besar negara-negara Arab, Turki dan Iran kita menyebutnya Asia Barat, Asia
Selatan untuk India, Pakistan dan Bangladesh, dan Asia Tenggara untuk negara-
negara Asean.
5. Generalisasi Periodik atau Temporal
Apabila membuat periodisasi, kita pasti membuat kesimpulan umum mengenai
sebuah periode. Zaman Pertengahan di Eropa disebut orang The Age of Believe
karena pada zaman itu orang cenderung menggunakan Kitab Suci daripada
menggunakan pikiran. Penyebutan sebuah periode tentu saja tergantung pada sudut
pandang orang dan tergantung jenis sejarah yang ditulis.

12
6. Generalisasi Sosial
Bila kita melukiskan suatu kelompok sosial dalam pikiran kita sudah timbul
generalisasi, misalnya Kata petani barangkali mempunyai konotasi yang berma
cam-macam, sesuai dengan tempat dan waktu yang dibicarakan.
7. Generalisasi Kausal
Bila kita membuat generalisasi tentang sebab-musabab kesinambungan,
perkembangan, pengulangan, dan perubahan sejarah. Pada tingkat individual, kita
sering membuat kesimpulan umum tentang sebab-sebab seseorang berubah. Banyak
faktor yang senang kita tunjuk, seperti masalah moral, ekonomi, pangkat, dan
sebagainya. Tidak lepas dari generalisasi kausal adalah keluarga, desa, satuan di
atas desa, negara, masyarakat, budaya, dan sejarah.
8. Generalisasi Determinisme
Bila orang memastikan hanya satu saja yang menyebabkan,itu disebut
determinisme. Determinisme bersifat filosofis dan determinisme ada dua yaitu
idealisme dan materialisme. Pada idealisme yang menggerakkan sejarah ialah ide,
sedangkan materialisme menganggap bahwa materilah yang menggerakkan sejarah.
Idealisme diwakili oleh Hegelianisme, dan materialisme oleh Matxisme.
9. Generalisasi Kultural
Para pelaku sejarah sendiri kadang-kadang melakukan generalisasi kultural.
Generalisasi ini dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat. Misalnya, Tidak ada
anak-anak ulama yang masuk sekolah umum sebelum kemerdekaan. Sebaliknya,
Belanda pernah menya makan haji dengan rentenir. Dalam laporan Mindere Wel
vaart Commissie jumlah haji di Madura persis jumlah rentenir.
10. Generalisasi Sistemik
Kita sering membuat kesimpulan umum tentang adanya suatu sistem dalam sejarah.
Misalnya, Dalam sejarah ekonomi, hubungan antara Afrika, Amerika, dan Eropa
sebelum Perang Saudara dapat digambar kan sebagai sebuah sistem.
11. Generalisasi Struktural

13
Kita sering heran, mengapa orang asing lebih peka dari kita sendiri, mengenai orang
Indonesia. Sering ketika kita sedang berjalan di negeri orang, di mana tidak terdapat
orang Indonesia, tiba-tiba kita ditegur dalam bahasa Indonesia, oleh orang kulit
putih. Dengan kata lain, orang asing itu telah mempelajari susunan kita, struktur
kita, mereka telah membuat generalisasi struktural tentang orang Indonesia
(susanto, 2014 :146-151).

2.5. Makna Silogisme


Silogisme adalah bentuk pemikiran yang kesimpulannya muncul secara signifikan setelah
ada penyataan-pernyataan yang diturunkan secara mutlak. Silogisme terdiri dari dua premis
atau dua pernyataan yang harus diasumsikan benar dan ditambah dengan suatu kesimpulan.
Silogisme hipotetik, kedua premisnya merupakan proposisi kondisional. Silogisme dalam
bentuk umum adalah Silogisme bisa dinyatakan dengan kata-kata semua, beberapa, tidak
satupun atau istilah-istilah lain yang sejenis. Silogisme sebagai prosedur penalaran
menurunkan konklusi yang benar atas dasar premis-premis yang benar. Argumen yang
valid dapat menghasilkan kesimpulan yang benar, argumen yang tidak valid dapat pula
secara sepintas masuk akal akan tetapi ada juga argumen yang valid menghasilkan
kesimpulan yang tak benar. Kesalahan umum dalam penalaran silogisme yaitu siswa
membuat konversi gelap, dan dipengaruhi oleh keyakinan yang bias. Keyakinan efek bias
dalam penalaran silogisme terjadi ketika siswa membuat pertimbangan didasarkan prioritas
keyakinan, dari pada aturan logis (Nurmanita dan Edy Surya, 2017:7).
2.5.1 Struktur Silogisme

Term adalah kata yang mempunyai pengertian sendiri. Term dalam silogisme ada 3
yaitu : term subyek, term predikat, dan term penengah. Term subyek adalah term yang
mendapatkan pengakuan atau pengingkaran dari term predikat. Sedangkan term predikat
adalah term yang menyatakan pengakuan atau pengingkaran terhadap term subyek. Contoh
mahasiswa adalah orang yang terpelajar, term subyek adalah mahasiswa yang mendapat
pengakuan dari term predikat yaitu orang yang terpelajar. Sedangkan term penengah adalah

14
term yang menghubungkan antara term mayor dan term minor. Term ini hanya terdapat
dalam premis mayor dan premis minor dari sebuah silogisme. Contoh: semua mahasiswa
adalah orang terpelajar, Hasan adalah mahasiswa, Jadi Hasan adalah orang terpelajar. Yang
menjadi term penengah adalah mahasiswa.

Sebuah silogisme terdiri atas 3 buah premis, yaitu dua buah premis yang
diberikan/disajikan dan sebuah premis yang ditarik dari kedua premis yang disajikan.
Premis yang disajikan dinamakan premis mayor dan premis minor. Sedangkan premis yang
ditarik dari kedua premis yang disajikan adalah kesimpulan atau konklusi (Siti Zulaikah,
2015:16-17).

Macam macam silogisme

1. Silogisme kategoris
Silogisme kategoris adalah silogisme yang premispremis dan kesimpulannya berupa
kesimpulan kategoris. Silogisme kategoris juga merupakan struktur suatu deduksi
berupa suatu proses logis yang terdiri dari tiga bagian yang masing-masing
bagiannya berupa pernyataan kategoris (pernyataan tanpa syarat). Atau dengan kata
lain silogisme kategoris adalah silogisme yang semua proposisinya merupakan
proposisi kategoris. Dalam buku logika formal karya Burhanuddin Salam juga
disebutkan bahwa silogisme kategoris adalah suatu silogisme yang semua
proposisinya bentuknya kategoris.
2. Silogisme hipotesis
Silogisme hipotesis adalah argumen yang premis mayornya berupa proposisi
hipotetik, sedangkan premis minornya adalah proposisi kategorik yang menetapkan
atau mengingkari. Silogisme hipotetik term konklusi adalah term yang kesemuanya
dikandung oleh premis mayornya, mungkin bagian anteseden dan mungkin pula
bagian konsekuennya tergantung oleh bagian yang diakui atau dipungkiri oleh
bagian premis minornya. Contoh, premis mayor: jika hari tidak hujan maka hari

15
cerah, premis minor: hari tidak hujan. Jadi, hari cerah. Hukum-hukum Silogisme
Hipotetik.
3. Silogisme Disjungtif
Silogisme disjungtif adalah silogisme yang premis mayornya keputusan disjungtif.
Sedangkan, premis minornya keputusan kategorika yang mengakui atau
mengingkari salah satu alternatif yang disebut oleh premis mayor. Contoh, premis
mayor: kamu atau saya yang pergi, premis minor: kamu tidak pergi, maka
kesimpulannya: sayalah yang pergi.

Hukum-hukum silogisme disjungtif yaitu:

1. Silogisme disjungtif dalam arti sempit, konklusi yang dihasilkan selalu benar,
apabila prosedur penyampaiannya valid.
2. Silogisme disjungtif dalam arti luas, kebenaran konklusinya yaitu: Jika premis
minor mengakui salah satu alternatif, maka konklusinya sah atau benar (Siti
Zulaikah, 2015:22-28).
2.6. Covering Law Model
David Hume, seorang filsuf dari Skotlandia ( 171-1776) merumuskan modul pertama
menegenai CLM. Pada abad ke-18 banyak orang terkesan oleh pretasi-prestasi yang telah
dicapai oleh ilmu alam. Maka masuk akal kalau ada ide utuk menerapkan metode-metode
dan penelitian illmu alam terhadap mayarakat manusia. Ada pertimbangan-pertimabangan
lain yang ikut memainkan peranan. Seperti lam raya tetap sama, tetap setia terhadap
kodratnya, demikian pula kodrat manusia tidak dapat berubah. Seperti alam diatur oelh
hukum-hukum tertentu, demikian pula perbuatan-perbuatan manusia tunduk kepada
prinsip-prinsip tertentu yang “konstan dan universal”, demikian tulis Hume. Hume
menganjurkan metode-metode yang digunakan dalam ilmu alam juga diterapkan terhadap
manusia. Auguste Comte seorang filsuf dari abad ke-9 (1798-1857) berpendapat bahwa
cara kerja seorang peneliti sejarah harus sama dengan metode kerja seorang peneiti alam
raya. Itulah yang dirumuskan oleh Comte dengan istilah “ Positivisme”. Bila dirumuskan

16
secara uum maka menurut positivisme hanya terdapat satu jalan memeperoleh pengetahuan
yang benr dan dapat dipercaya, entah apa objek penelitian kita ( alam hidup, alam mati,
sejarah dan sebagainya) yakni menerapkan metode ilmu eksakta (Susanto Dwi.2009:160).

Menurt pendukung Covering Law Model (CLM) sebuah eksplaasi (penjelasan


sejarah bau dapat diterima, bila didukung oleh saah satu atau bebrapa hukum umum, yang
dimaksud dengan CLM adaah sama dengan teori “ hukum yang menjelaskan segalanya”
pada Patrick Gardiner. Jelas teori ini berasal dari kaura positivisme ( A. Daliman.2012.:71)

Konsep CLM intinya bahwa metode penelitian ilmu eksakta atau ilmu alam tau
ilmu fisika dapat diterapkan dalam ilmu sosial atau ilmu-ilmu kemanusiaan, tunduk kepda
hukum- hukum umum. Hukum-hukum umum dalam sejarah merupakan studi menarik dari
para filsuf sejarah. Dalam pengetahuan sejarah sebagai suatu disiplin teoritis, maka yang
perlu dipahami bahwa suatu peridtiwa atau kejadian didalam masyarakat dapat diterangkan
dan dipreiksi dengan bantuan teori atau hukum-hukum universal. Sejarah termasuk ilmu
sosial yang berdasar pada ilmu empiris, berarti pengetahuan sejarah sama dengan sosiologi
bertitik tolak dari peengalaman, Bahwa kejadian yang diterangkan dan diprediki merupakan
realitas yang dpat diselidiki, diobservasi, hal itu lah yang menentukan penerimaan atu
penolakan suatu teori.

Materi generalisasi sejarah yang telah menempatkan diri meniru konsep popper,
masuk doktrin pronaturalistis dalam historisisme. Situasi dan kondisi yang sama hanya
timbul dalam satu kurun waktu di dalam sejarah. Tentu saja menegnai masalah prediksi
selalu berkaitan dengan perubahan-perubahan sosial, maka harus berlandaskan pada
hukum-hukum sejarah. Dalam generalisasi sejarah dalam konsep CLM, mengkritik
terhadap hukum generalisasi didalam ilmu-ilmu sosial. Kita perlu bersikap kritis, bahwa
kita tidak boleh beranggapan bahwa uniformitas-uniformitas dalam kehidupan sosil akan
tidak berubah menurut tempat dan waktu, karena biasanya suatu uniformitas berlku terbatas
didalam suatu aman kebudayaan tertentu. Dalam filsafat ejarah kita mengenal prediksi,
maka prediksi dalam sejarah harus berlandaskan pada hukum-hukum sejarah. Hukum-

17
hukum sejarah mengajarkan bahwa hukum-hukum kemasyrakatan yang dianut dalam ilmu
sosiologi. Konsep pemikir penganut CLM mendapat reaksi dari para sejarawan. Bahwa
pola hukum umum masih dapat disangsikan kebenarannya terhadap keterangan sejarah.
Artinya bahwa pola-pola hukum yang digunakan tidak sepenuhnya dapat diandalkan.
Dalam praktik pengkajian sejarah ini selalu terjadi, memang tidak menggugurkan ketepatan
suatu eksplanasi sejarah. Sangat sulit dalam konsep CLM bagi pengkajian sejarah karena
pola hukum itu tidak dapat dibuktikan ketidakbenarannya ( Sundoro Mohamad Hadi,
2009:148-151)

Kritik terhadap CLM dimaksudkan agar kita lebih berhati-hati terhadap konsep
generalisasi sejarah. Landasan berfikir CLM dipengaruhi oleh perkembangan ilmu alam
atau ilmu eksakta melalui metode penelitian dalam ilmu tersebut. CLM memberi kesan
seolah-olah ada kaitan yang lebih erat antara ilmu eksakta dan ilmu sejarah, dan juga
penganut CLM ingin berusaha memepererat hubungan antara pengkajian sejarah dan ilmu-
ilmu sosial.

1. Jarak antara eksplanasi dan eksplanandum


Filsuf sejarah dari kanada, W.H. Dray mengkritik konsep CLM isi kritikannya
adalaah bahwa dlam eksplanasi CLM, sebuah peristiwa tidak pernah diteernagkan
dalam segala kompleksitasnya melankan selalu daam sebauh deskripsi. Selalu
terdapat jarak antara eksplanasi dan eksplanandum. Bagi peneliti sejarah selalu
ingin tahu seluk-beluk suatu peristiwa, selalu berminat terhadap spesifik dan unik
yang melapisi uatu kejadian sejarah.
2. Obyek penelitian yang berbeda
Obyek penelitian pada ilmu-ilmu alam bertumpu pada penelitian alam, sedangkan
pada ilmu-ilmu sosial termauk juga sejarah berfokus paa aktivitas manusia. Dalam
filsafat sejarah memuat hal-hal seperti : kesempatan, kemungkinan, dan kebetulan
keterangan yang masuk akal atau probably, berarti dalam konsep CLM menganut
pemikiran “eksplanasi tunggal”, padahal sebagian sejarawan berusaha untuk

18
menghindari pemikiran “ monocausal explanation”. Keberatan terhadap hukum
probabilistis selalu menagtakan bahwa sejumlah kasus sebab tertentu disusul akibat
tertentu, tetapi tidak menerangkan apa yang terjadi dalam kasus-kasus individual.
Bagi peneliti sejarah, konsep CLM dianggap kurang memadai seorang ahli sejarah
baru memperdalam pengertian mengenai masa silam, dan sejauh mana ia berhasil
mengasingkan masa silam terhadap kita.
3. Sifat formal dalam CLM
Agar suatu eksplanasi dalam sejarah dapat diterima, bagi penganut CLM
mendasarkan diri pada konsep legal formal. Bahwa peristiwa yang terjadi itu adalah
masuk akal, menunjukkan suatu pola hukum empiris, tetapi juga dengan menurut
empiris tidak niscaya benar ecara logis. Mengenai ini keterangan sejarah itu,
bagaimanakah mengenai fakta yang ada atau bagaimanakah seharusnya fakta itu ada
, tidak disinggung oeh penganut CLM. Dalam konsep pemikiran CLM pola hukum
pertama, sebagai dasar keterangan lebih menarrik karena tidak pernah ada seorang
manusia yang dapat hidup terus dalam udara di atas 400 o Celcius sedangkan dilain
pihak ada cukup banyak kasus mengenai orang-orang katolik yang ajarannya
menyimpang dari ajaran resmi Gereja.namun tidak ditahan ataupun dianiaya. Bagi
peneliti sejarah lebih tertarik pada pola-pola hukum kedua daripada hukum pertama.
Pada pola hukum kedua peneliti sejarah dapat mengajukan berbagai peertanyaan
menarik ( Sundoro Mohamad Hadi, 2009:152-155).

2.7. Inferensial dan kesimpulan statistik


Pendapat Nisfiannoor tentang statistik inferensial adalah metode yang berhubungan
dengan analisis data pada sampel untuk digunakan untuk penggeneralisasian pada populasi.
Dalam pemakaian statistik inferensial berdasar atas adanya peluang (probability) dan
sampel yang terpilih secara acak (random) . Dengan demikian analisis statistik inferensial
digunakan untuk membantu dari hasil yang didapatkan pengolahan dari suatu sampel yang
dapat digeneralisasikan pada populasi. Analisis inferensial biasa digunakan karena jumlah

19
populasi yang amat besar dan luas serta keterbatasan yang dimiliki seorang peneliti. Namun
statistik inferensial mempunyai kegunaan yang lebih luas, sebab dilihat dari analisisnya,
hasil yang diperoleh tidak hanyasekedar menggambarkan keadaan atau fenomena yang
dihasilkan obyek penelitian, namun dapat digeneralisasikan secara luas ke dalam wilayah
populasi. Analisis ini juga digunakan untuk menentukan apakah Ho dapat diterima atau
ditolak. (Muhammad Nisfiannoor. 2009:4).

Bentuk analisis data dari statistik inferensi berupa penyajian data seperti tabel dan ukuran-
ukuran statistik lainnya. Analisis data inferensial terdapat uji signifikansi dan taraf
kesalahan karena peneliti bermaksud membuat atau melakukan generalisasi sehingga selalu
terdapat kesalahan dalam melakukan generalisasi. Uji signifikansi adalah cara mengetahui
perbedaan antara dua skor. Uji ini dilakukan untuk menentukan tingkat probabilitas yang
biasa disebut tingkat signifikansi. Tingkat probabilitas ini dijadikan dasar penetuan diterima
atau ditolaknya Ho. Standar minimum yang biasa digunakan adalah 0,05. (Agus, 2007:2).

Menurut Sugiyono, analisis inferensial dalam bukunya yang berjudul Metode


Penelitian Kombinasi (Mixed Methods) mengatakan bahwa pada statistik inferensial
terdapat statistik parametris dan statistik nonparametris. Statistik parametris digunakan
untuk menguji ukuran populasi melalui data sampel. Dalam statistik, pengujian parameter
melalui statistik tersebut dinamakan uji hipotesis statistik. Oleh karena itu, penelitian
berhipotesis statistik adalah penelitian yang menggunakan sampel. Sedang kan statistik
nonparametris tidak menguji parameter populasi, tetapi menguji distribusi. Penggunaan
statistik parametris dan non parameter tergantung pada pemenuhan asumsi dan jenis data
yang akan dianalisis. Pada statistik parametris memerlukan terpenuhinya asumsi, yakni data
yang akan dianalisis harus berdistribusi normal. Selanjutnya dalam penggunaan salah satu
tes mengharuskan data dua kelompok atau lebih yang diuji harus homogen, dalam regresi
harus terpenuhi asumsi linieritas. Sedangkan statistik non parametris tidak menuntut
terpenuhinya banyak asumsi, oleh karena itu statistik non parametris sering disebut
“distribution free”. Data yang bisa digunakan pada statistik parametris adalah data interval
dan rasio. Untuk statistik non parametris kebanyakan digunakan adalah data nominal dan

20
ordinal. Jadi untuk menguji hipotesis dalam penelitian kuantitatif yang menggunakan
statistik, ada dua hal utama yang harus diperhatikan yaitu, macam data dan bentuk hipotesis
yang diajukan (Sugiyono, 2009:63).

2.8. Hermeneutika

Hermeneutika boleh dibilang menjadi semacam antitesis terhadap teori CLM.


Hermeneutika menekankan secara jelas antara ilmu alam dengan ilmu kemanusiaan. Penganut
hermeneutika berpendapat bahwa perbuatan manusia hanya bisa diterangkan dengan kajian
edografik (kekhusunan, partikularistik) daripada nomotetik (keumuman, generalistik). Pengertian
hermeneutika erat hubungannya dengan penafsiran teks- teks dari masa lalu dan penjelasan
pelaku sejarah. Sejarawan mencoba menjelaskan masa lalu dengan mencoba menghayati atau
dengan empati, menempatkan dirinya dalam alam pemikiran pelaku sejarah. Hermeneutika
mencoba memasuki diri pelaku dan berupaya memahami apa yang dipikirkan, dirasakan, dan
diperbuat pelaku sejarah. Ada semacam dialog batin antara batin sejarawan yang menggunakan
pengalaman hidupnya sendiri dengan sumber-sumber sejarah yang digunakan (Sjamsuddin,
1996:37).

Ketika sebuah teks dibaca seseorang, disadari atau tidak akan


memunculkan interpretasi terhadap teks tersebut. Membicarakan teks ti dak
pernah terlepas dari unsur bahasa, Heidegger menyebutkan bahasa adalah
dimensi kehidupan yang bergerak yang memungkinkan terciptanya dunia sejak
awal, bahasa mempunyai eksistensi sendiri yang di dalamnya manusia turut
berparti sipasi (Eagleton, 2006:88).

Sebagai metode tafsir, hermeneuti ka menjadikan bahasa seba gai tema


sentral, kendati di kalangan para filsuf hermenuti ka sendiri terdapat perbedaan
dalam meman-dang hakikat dan fungsi bahasa. Perkembangan aliran filsafat
hermenutika mencapai puncaknya ketika muncul dua aliran pemikiran yang
berlawanan, yaitu aliran Intensionalisme dan aliran Hermeneutika Gadamerian.

21
Intensionalisme memandang makna sudah ada karena dibawa
pengarang/penyusun teks sehingga ti nggal menunggu interpretasi penafsir.
Sementara Hermeneutika Gadamerian sebaliknya memandang makna dicari,
dikonstruksi, dan direkonstruksi oleh penafsir sesuai konteks penafsir dibuat sehingga
makna teks tidak pernah baku, ia senantiasa berubah tergantung dengan bagaimana,
kapan, dan siapa pembacanya (Rahardjo, 2007:55).

Peristiwa pemahaman terjadi ketika cakraw ala makna historis dan asumsi kita
berpadu dengan cakrawala tempat karya itu berada. Hermeneutika melihat sejarah
sebagai dialog hidup antara masa lalu, masa kini, dan masa depan. Metode hermeneutik
mencoba menyesuaikan setiap elemen dalam setiap teks menjadi satu keseluruhan yang
lengkap, dalam sebuah proses yang biasa dikenal sebagai lingkaran hermeneutik. Ciri -ciri
individual dapat dimengerti berdasarkan keseluruhan konteks, dan keseluruhan konteks
dapat dimengerti melalui ciri -ciri individual (Eagleton , 2006:104 -105).

Kunci pemahaman adalah pertisipasi dan keterbukaan, bukan manipulasi


dan pengendalian. Sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika tidak
hanya memandang teks, tetapi juga berusaha menyelami kandungan makna
literalnya. Hermeneuti ka berusaha menggali makna dengan
mempertimbangkan horison - horison (cakrawala) yang melingkupi teks
tersebut. Horison yang dimaksud adalah horison teks, pengarang, dan
pembaca. Dengan memperhatikan ketiga horison tersebut diharapkan suatu
upaya pemahaman atau penafsiran menjadi kegiatan rekonstruksi dan
reproduksi makna teks, yang selain melacak bagaimana suatu teks dimunculkan
oleh pengarangnya dan muatan apa yang masuk dan ingin dimasukkan
oleh pengarang kedalam teks, juga berusaha melahirkan kembali makna sesuai
dengan situasi dan kondisi saat teks dibaca atau dipahami . Dengan kata lain,
hermeneutika memperhatikan tiga hal sebagai komponen pokok dalam upaya

22
penafsiran yaitu teks, konteks, kemudian melakukan upaya kontekstualisasi.
(Rahardjo, 2007:90-91).

Supriyono (2004) memberikan contoh tentang tulisan Pramoedya Ananta


Toer, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu . Pramoedya mengisahkan begitu saja, apa
adanya tentang pengalaman para tahanan sehari-hari di pulau terpencil,
PulauBuru. Pengalaman bagaimana harus survive di bawah tekanan militer,
pengalaman santiaji (indoktrinasi) Pancasila, pengalaman penyiksaan fisik yang
membuat pandangan mata kabur dan pendengarannya berkurang, pengalaman
teman-temannya diperbudak sebagai penebang hutan untuk memperbesar
kekayaan komandannya, pengalaman tentang usaha ternak ayam, tentang
perjuangan keras membuka jalan, tentang pemberontakan dari para tahanan,
tentang kematian teman-temannya yang sebagian misterius, dan lain-lain
diceritakannya lebih berupa fakta. Akan tetapi, pemaknaan yang sesungguhnya
atas realitas itu berlangsung, yakni betapa kemanusiaan ditundukkan
sedemikian dahsyatnya sampai-sampai manusia tahanan politi k kehilangan
kemanusiaannya.

23
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Dari materi diatas dapat di simpulkan yaitu:
1. Eksplanasi Sejarah merupakan suatu proses yang menunjukkan peristiwa-peristiwa
tertentu dihubungkan dengan peristiwa lainnya melalui penggunaan pernyataan-
pernyataan yang bersifat umum yang tepat.
2. Pentingnya Eksplanasi Sejarah sendiri adalah untuk menunjukan kausalitas yang
sesungguhnya mengenai suatu peristiwa sejarah.
3. Bentuk-bentuk Eksplanasi Sejarah, antara lain : Periodisasi, Kausalitas, Makna
Silogisme, Generalisasi, Cover Law Model, inferensial dan statistik, dan
Hermeneutika.

3.2 Saran
1. Makalah ini kami buat untuk memperluas wawasan pembaca, namun alangkah
baiknya pembaca mencari referensi lain untuk memperkaya wawasan dan
menambah ilmu pengetahuan.
2. Dalam makalah ini masi banyak kekurangan, hendaknya pembaca lebih teliti
membacanya agar maksud yang kami sampaikan dapat tersampaikan dengan baik.
3. Sumber sumber yang kami dapatkan masih ditaraf universitas di Indonesia,
alangkah baiknya pembaca juga mengaitkan dengan materi dari luar negeri supaya
lebih mengerti dengan materi ini. Sebaiknya membaca dengan cermat dan teliti
supaya ilmunya dapat terserap dengan baik.

24
25
DAFTAR PUSTAKA

Agus Purwoto. 2007. Panduan Laboratorium Statistik Inferensial. Jakarta : Grasindo.


Clayton Robert. 1996. The Logic of Historical Explanation. USA: The Pennsylvania State
University Press.
Daliman. 2012. Pengantar Filsafat sejarah.Yogyakarta: Ombak.

Eagleton, Terry. Teori Sastra: Sebuah Pengantar Komprehensif.


Harfiah, (Yogyakarta: Jalasutra,2006).

Kuntowijoyo. 2005. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta : PT Bentang Pustaka.

Kuntowijoyo. 2008. Penjelasan Sejarah (Historical Explanation). Yogyakarta:Tiara


Wacana.
Muhammad Nisfiannoor. 2009. Pendekatan Statistika Modern untuk Ilmu Sosial, Jakarta:
Salemba Humatika.
Nur, Saidah. 2012. Eksplanasi Sejarah Dan Implikasinya Dalam Pengembangan Model
Pembelajaran SKI Untuk MI. Literasi Vol 3 No 1.

Nurmanita dan Edy Surya. 2017. Membangun Kemampuan Penalaran Matematis


(Reasoning Mathematics Ability ) Dalam Pembelajaran Matematik. Program
Pascasarjana Pendidikan Matematika : Universitas Negri Medan.

Rahardjo, Mudjia. 2007. Hermeneutika Gadamerian: Kuasa Bahasa dalam


Wacana Politik Gus Dur , (Malang: Universitas Islam Negeri - Malang
Press,2007).

Sartono Kartodirdjo. 1993. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, Jakarta:
Gramedia.
Siti Zulaikah. 2015. Silogisme Matematik Hubungannya Dengan Proses Pembelajaran
Berpikir Tingkat Tinggi (Sebuah Analisis Filosofis). Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan
Keguruan Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang.

Sjamsuddin, Helius. 1996. Metodologi Sejarah. Jakarta: Depdikbud Direktorat


Jenderal Pendidikan Tinggi.

Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kombinasi.Yogyakarta : Grasindo.

26
Sundoro Mohamad Hadi.2009. Teka- teki sejarah berbagai persoalan tentang filsafat
sejarah. : jember university Press.

Supriyono, J. 2004. “Mencari Identi tas Kultur Keindonesiaan,” dalam


Herme-
neuti ka Pascakolonial: Soal Identi tas . Yogyakarta :Yayasan Kanisius.

Susanto Dwi. 2009. Buku perkuliahan program s-1 Jurusan Sejarah dan kebudayaan Islam
Fakultas adab dan Humanior. UIN Sunan ampel Surabaya.
Susanto, Dwi. 2014. Pengantar Ilmu Sejarah. Buku Perkuliahan Program S 1. Uin Sunan
Ampel Surabaya.

Zed, Mestika. 2018. Tentang Konsep Sejarah. Jurnal Lensa Budaya. Vol (13) No (1):54-
62.

27

Anda mungkin juga menyukai