Disusun Oleh :
PENDIDIKAN SEJARAH
PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2020
BAB I
PENDAHULUAN
PEMBAHASAN
terjadinya alam, itulah yang menjadi soal bagi para filosof pada saat itu.
Selain itu Fuad Hasan menyebutnya dengan ciri pemikiran yang
kosmosentris, yaitu para filosof mempertanyakan asal usul alam semesta dan
jagad raya. Pengamatan terhadap gejala kosmik dan fisik sebagai upaya
menemukan sesuatu asal muasal yaitu arche yang merupakan unsur awal
terjadinya segala gejala. Tokoh-tokoh yang terkenal pada zaman Yunani
Kuno ini antara lain Thales (625-545 SM). Thales dapat dikatakan salah
seorang dari tujuh orang terpandai dalam serita-serita lama Yunani. Nama-
nama lainnya yaitu Solon, Zaman Yunani Kuno ini ada yang menyebutnya
dengan zaman filosofi alam, sebab tujuan filosofi mereka adalah memikirkan
soal alam besar. Darimana Bias, Pittakos, Chilon, Periandos, dan Kleobulos.
Mereka hidup dikota Miletos dan tersohor karena petuahnya yang pendek-
pendek, misalnya “kenali dirimu”, “segalanya berkira-kira”, “ingat akhirnya”.
Thales dikatakan sebagai bapaknya filosofi Yunani. Filosofinya diajarkan
dengan mulut saja dan dikembangkan oleh murid-muridnya dari mulut ke
mulut juga, baru Aristoteles yang kemudian menuliskannya. Menurut
Aristoteles, kesimpulan ajaran Thales ialah “semuanya itu air”. Air yang cair
itu adalah pangkal, pokok, dan dipengaruhi oleh ajaran gurunya
Anaximandros bahwa “jiwa itu serupa dengan udara” (Anwar, 2013: 116).
Selain ketiga filosof besar diatas, filosof Yunani Kuno lainnya yaitu
Herakleitos (540-480 SM). Berbeda dengan pendahulu-pendahulunya diatas,
menurut Herakleitos, anasir yang asli itu adalah api. Meskipun Herakleitos
memandang api sebagai anasir yang asal, pandangannya tidak semata-mata
terikat pada alam luaran, alam besar,s erta pendangan filosof Miletos. Anasir
yanga sal itu dipandangnya juga sesuatu yang ebrgerak. Menurutnya yang ada
hanya pergerkan senantiasa, tidak ada yang boleh disebut ada, melainkan
menjadi, semuanya itu dalam kejadian. Jasa terbesar Herakleitos yaitu dunia
fikir yang dinamainya logos, yang artinya pikiran yang benar. Dan dari
sinilah kemudian timbul perkataan “logika”.
Filosof lainnya pada zaman Yunani Kuno ini adalah Pytagoras (580-500
SM) yang mempunyai kedudukan tersendiri dalam alam pikiran Yunani.
Filosofinya berdasar pada pandangan agama dan paham keagamaan.
Pytagoras percaya akan kepindahan jiwa dari makhluk yang sekarang pada
makhluk yang akan datang. Pokok ajarannya yang terkenal yaitu segala
barang adalah angka-angka. Kemudian Demokritos (460-370 SM),
merupakan filosof Yunani yang juga mempunyai peranan penting dalam
rangka pengembangan ilmu pengetahuan. Demokritos merupakan cikal bakal
bagi perkembangan ilmu fiiska, kimia, dan biologi. Dia mengatakan bahwa
realitas terdiri bayak unsur yang disebut atom. Dalam perjalanan sejarah
Yunani Kuno, trio besar yang sampai sekarang selalu diperbincangkan adalah
Socrates, Plato, dan Aristoteles. Socrates (470-399 SM), menyajikan metode
filsafat dialektika. Melalui pertanyaan-pertanyaan yang diajukan ia
membidangi pengetahuan yang terdapat dalam diri orang lain. Metode
berfikir Socrates merupakan cara berfikir induksi (Anwar, 2013: 117).
Bagi seorang filsuf ada alasan khusus untuk menaruh perhatian kepada
filsafat Yunani. Dipandang dalam sejarah filsafat seluruhnya, maka masa
filsafat Yunani Kuno mempunyai kedudukan istimewa, karena disini kita
menemui timbulnya filsafat sendiri. Mempelajari filsafat Yunani berarti
menyaksikan kelahiran filsafat. Dari sebab itu sebenarnya tidak ada pengantar
filsafat yang lebih ideal daripada studi mengenai pertumbuhan pemikira
filsafat di negeri Yunani. Seorang filsuf modern pernah mengatakan
mengenai Plato, “All Western philosophy is but a series of footnotes to Plato”
(Alfred Whitehead). Diterima secara harfiah, tulisan ini tentu melebih-
lebihkan, tetapi tidak sukar menangkap kebenarannya. Pada Plato dan
umumnya dalam seluruh filsafat Yunani kita berjumpa dengan problem-
problem filsafat yang masih dipersoalkan sampai pada hari ini. Tema-tema
filsafat Yunani, seperti “ada”, “menjadi”, “substandi”, “ruang”, “waktu”,
“kebenaran”, “jiwa”, “pengenalan”, “Allah”, “dunia”, merupakan tema-tema
pula bagi sejarah filsafat seluruhnya, dan daftar ini pasti tidak lengkap. Filsuf-
filsuf Yunani satu kali untuk selamanya menjuruskan pemikiran filsafat
selanjutnya, sehingga filsafat sekarang masih tetap bergumul dengan
pertanyaan-pertanyaan yang untuk pertama kalinya dikemukakan dalam
karangan mereka (Bertens, 1999: 30).
Zaman Abad Pertengahan (6-16 M), juga disebut zaman kejayaan Kristiani
(gereja). Ciri pemikiran pada zaman ini disebut teosentris, oleh karena para
filosofnya memakai pemikiran filsafat untuk memperkuat dogma-dogma
agama kristiani. Filosof yang terkenal pada abad ini yaitu Agustinus dan
Thomas Aquinas. Agustinus (354-430 M) sangat dipengaruhi oleh pemikiran
Plato. Melalui pengetahuan tentang kebenaran abadi yang dibawa sejak lahir
dalam ingatan dan menjadi dasar karena manusia mengetahui sesuatu,
manusia ikut ambil bagian dalam ide-ide Tuhan. Dalam arti tertentu keadaan
ikut ambil bagian ini terjadi dengan mengetahui sesuatu, namun semua
perbuatan mengetahui dibimbing oleh kasih. Berfikir dan mengasihi
berhubungan secara selaras dan tak terceraikan. Tuhan ada sebagai ada, yang
bersifat pribadi dan sebagai pribadi mencuptakan seluruh jagad raya secara
bebas, dan tidak beremanasi yang niscaya terjadi. Thomas Aquinas (1125-
1274 M), terpengaruh oleh pemikiran Arsitoteles. Ciri khas filsafat abad
pertengahan dikenal dengan predikat “Ancilla Theologiae”, dan ini
merupakan pemikiran Thomas Aquinas. Thomas Aquinas tidak semata-mata
mengulangi ajaran Aristoteles, membuang hal-hal yang tidak pas dengan
ajaran kristiani dan menambah hal-hal baru yang melahirkan aliran bercorak
Thomisme (Anwar, 2013: 118).
Abad Pertengahan sendiri membawa reputasi yang tidak menguntungkan
bagi perkembangan filsafat. Ini tidak lain karena dominasi yang terlalu kuat
dari para rohaniwan,s ehingga segala sesutau yang bertentangan dengan
pendapat mereka dipandang sebagai dosa yang hars dimusnahkan. Dengan
perkataan lain, terjadilah pembungkaman yang demikian hebat terhadap
kebebasan berpikir, yang lebih jauh lagi membawa sejarah filsafat Barat ke
dalam masa kegelapan panjang. Sejarah filsafat Abad Pertengahan dibagi
menjadi dua zaman, yakni zaman Patristik dan zaman Skolastik. Zaman
Patristik (2-7 M) dicirikan dengan usaha keras para Bapa gereja (patres,
Latin) untuk mengartikulasikan, menata, dan memperkuat isi ajaran Kristen
serta membelanya dari serangan kaum kafir dan bidaah kaum Gnosis
(Tjahjadi, 2004: 103).
Abad gelap eropa hanya dikenal beebrapa ilmuwan seperti Boethius (480-
524 M) yang menekuni bidang aritmetika dan penerjemah karya Euclides ke
dalam bahasa Latin. Ilmuwan lain adalah Matianus Capella yang menyusun
dasar-dasar pendidikan manusia melalui tujuh kecakapan atau dikenal dengan
the seven liberar arts. Ketujuh kecakapan itu adalah trivium (memuat
kecakapan gramar, dialektika, dan retorika), kedua disebut quadrivium (terdiri
dari empat kecakapan, yaitu geometri, aritmatika, astronomi, dan musik).
Kemudian muncul ilmuwan lain bernama Bishop Isidore dari Serville (560-
636 M). bishop menulis ensiklopedia sains secara lengkap.
Selain tiga nama tersebut terdapat nama-nama filsuf yang cukup terkenal,
seperti Plotinus, Augustinus, Anselmus dan Thomas Aquinas. Nama-nama
besar di era Abad Pertengahan ini lebih menonjolkan sisi keyakinan
ketimbang berpikir logis. Garis pemikiran mereka berpijak pada diktum
“Credo ut intellegum” (percaya supaya mengerti). Pertama-tama mereka
percaya akan doktrin dan ajaran gereja untuk kemudian mereka membuat
rasionalisasi dari ajaran-ajaran tersebut. Dari sisi ini dapat dipahami bahwa
perkembangan ilmu pengetahuan masyarakat Barat pada era ini nyaris
terbelenggu oleh doktrin-doktrin gereja (Burhanuddin, 2018: 31).
2. Periode Islam
3. Ibnu Sina
Ibnu Sina mengelompokkan ilmu dalam tiga jenis, yaitu (1) objek-objek
yang secara niscaya tidak berkaitan dengan materi dan gerak (metafisik), (2)
objek-objek yang senantiasa berkaitan dengan materi dan gerak (fisika), (3)
objek-objek yang pada dirinya immaterial tetapi kadang melakukan kontak
dengan materi dan gerak (matematika). Selain Al-Faribi dan Ibnu Sina
terdapat filsuf-filsuf lain seperti Ibn Rusydi, Ibn Khaldun, Al-Biruni. Ibn
Khaldun merupakan seorang filsuf sekaligus sosiolog terbesar di dunia Islam
menulis buku yang sangat terkenal berjudul Al-Muqaddimah.dalam kitab ini
Ibn Khaldun membagi metafisika dalam beberapa bagian serta membagi ilmu
matematika kedalam empat subdivisi. Al-Biruni merupakan ahli dalam bidang
ilmu mineral. Salah satu karya terbesarnya adalah Al-Jawahir (batu-batu
permata).
Abu Bakr Al-Razi juga merupakan seorang filsuf dalam bidang ilmu
farmakologi dan media yang mengarang kitab Al-Hawi. Kemudian dalam
bidang nutrisi dikenal karya Ibn Bathar, yakni Al-Jami Li Mufradat Al-
Adawiyyah wa Al-Aghdziyah. Di bidang zoologi dikenal karya Al-Jahizh
yang berjudul Al-Hayawan dan Hayat Al-Hayawan oleh Al-Damiri. Ibn Rushd
merupakan seorang dokter dan telah mengarang buku ilmu kedokteran
berjudul Colliget, yang dianggap setara dengan kitab Qanon karangan Ibnu
Sina. Ilmuwan lain yang juga mewarnai dunia kedokteran adalah seorang ahli
bedah bernama Ibn Zahrawi yang telah menciptakan ratusan alat bedah yang
sudah sangat maju untuk ukuran zamannya gereja (Burhanuddin, 2018:
35-36).
Filsafat modern sebagai suatu periode dalam pemikiran filsafat barat pada
umumnya dianggap mulai dengan Rene Descartes (1596-1650) di Perancis,
atau dengan Francis Bacon (1561-1626) di Inggris. Tentu saja zaman modern
dalam filsafat Barat tidak dapat dilepaskan dari gerakan yang mendambakan
emansipasi, liberalisasi, otonomi diri dan otoritas rasio yakni Renaissance di
abad ke-15 dan Aufklarung di abad ke-18. Renaisance dan Aufklarung tidak
turut mempengaruhi pemikiran para filsuf Barat mengenai kebenaran
(Hamdan Akrumollah, 2018: 53-54).
a. Rasionalisme
Dalam arti luas Rasionalisme merupakan aliran dalam sejarah filsafat modern
yang dasar-dasarnya telah diletakan oleh Rene Descartes (1596-1650), G.W.
Leibnis (1646-1746), dan Baruch Spinoza (1632-1677). Dalam arti sempit,
Rasionalisme adalah sebuah epistemologi yang menggunakan rasio sebagai
sarana utama untuk mencapai pengetahuan, yaitu pengetahuan ilmiah.
Berkenaan dengan kebenaran. Descartes memunculkan persoalan mengenai
kriterium kebenaran. Menurut Descartes cara untuk membedakan ada
tidaknya kebenaran ialah ada tidaknya ide yang jelas dan terpilah-pilah
mengenai sesuatu (idea clara et distincta). Konsekuensi lebih lanjut dari
pernyataan ini adalah isi idea yang jelas dan terpilah-pilah itu menjadi benar
sehingga kebenaran disamakan dengan idea itu. Idea itu pertama-tama
terdapat dalam subjek pengetahuan, demikian pula halnya dengan kebenaran,
tanpa hubungan dengan dunia luar, hanyalah merupakan suatu kesimpulan
dari adanya kebenaran dalam idea tersebut. Terwujudnya kebenaran
ditegaskan sebagai suatu kenyataan. Selanjutnya menurut Spinoza, kebenaran
mempunyai standar sendiri. Sebagaimana terang menyingkapkan baik dirinya
sendiri dan kegelapan, begitupula kebenaran adalah standar untuk dirinya
sendiri dan kesalahan. Leibniz membedakan antara kebenaran akal dengan
kebenaran fakta. Adapun yang dimaksud dengan pertama adalah kebenaran
yang berdasarkan prinsip identitas dan bersifat niscaya, sementara yang kedua
adalah kebenaran yang didasarkan prinsip alasan yang mencukupi adan
bersifat kontingen. Perbedaan keduanya dikenal dengan perbedaan analitik-
sintetik.
b. Empirisme
Arti luas dari Empirisme adalah aliran dalam sejarah filsafat Barat modern
yang dasar-dasarnya telah diletakan oleh John Lock, David Hume dan
Berkeley. Sementara artian sempit dari Empirisme adalah epistemologi yang
menggunakan pengalaman atau empiri sebagai sarana utama. Dalam hal ini
dapat dikatakan Aristoteles adalah sebagai peletak dasarnya. Berbeda dengan
Rasionalisme, menurut Empirisme akal budi tidak dapat memberikan kepada
kita pengetahuan tentang realitas tanpa acuan pada pengalaman inderawi dan
pengunaan pancaindera kita. Informasi yang disajikan oleh indera kita
berguna sebagai fundamen untuk ilu pengetahuan. Dalam hal ini akal budi
bertugas mengolah bahan-bahan yang diperoleh oleh pengalaman. Adapun
metode yang digunakan adalah induksi. Semula aliran ini, sebagaimana yang
nampak pada Francis Bacon, masih menganut semacam realisme naif yang
menganggap bahwa pengenalan yang diperoleh melalui pengalaman tanpa
ditindak lanjuti oleh penyelidikan telah mempunyai nilai yang objektif. Akan
tetapi kemudian nilai pengenalan yang diperoleh melalui pengalaman itu
sendiri dijadikan sasaran atau objek penelitian.
c. Rasionalisme Kritis
Dalam arti luas Rasionalisme Kritis atau sering juga disebut dengan
Kritisisme adalah sebuah aliran dalam sejarah filsafat modern yang dasar-
dasarnya diletakkan oleh Immanuel Kant (1724-1804). Sementara artian
sempitnya adalah sebuah epistemologi yang lebih menekankan kepada intuisi,
kepada pengetahuan-pengetahuan (kebenaran dan kenyataan). Pada
Krisitisisme ini Kant berusaha untuk mendamaikan denganmengambil jalan
tengah antara Empirisme dan Rasionalisme dengan mengatakan bahwa
pengetahuan kita bersifat sintesis. Pengetahuan inderawi atau empirisme
merupakan sintesis dari pengamatan ruang dan waktu. Lalu pengetahuan akal
atau rasionalisme merupakan sintesis pengetahuan dengan kedua belas
kategori yang dioleh oleh Vestand (akal). Akibatnya yang dihasilkan
bukanlah pengetahuan das ding an sich. Untuk itu vernunft (rasio atau budi)
memberi arah ketika akal tidak mampu mengetahuinya. Sedemikian rupa
sehingga Kant menyebut pandangannya sebagai Idealisme Transendental atau
Idealisme Kritis. Dalam alternatif ini, isi pengalaman langsung tidak dianggap
sebagai benda dalam dirinya sendiri dan ruang dan waktu merupakan forma
intuisi kita sendiri.
4. Idealisme
Idealisme dalam artian luasnya dapat disebut sebagai salah satu aliran
dalam sejarah filsafat modern yang dasar-dasarnya diletakan oleh J.C. Fichte
(1762) F.W.J. Schelling (1775-1854) dan Hegel 1770-1831). Dalam artian
sempit Idealisme adalah sebuah epistemologi yang menekankan idealisme
sebagai sarana bagi roh untuk mencapai pengetahuan (lihat Harun
Hadiwijono, 1980; 88-109). Tokoh Idealisme yang patut disebutkan berkaitan
dengan kebenaran adalah Hegel. Hegel membedakan antara kebenaran formal
dan kebenaran historis. Kebenaran formal berkaitan dengan matematika
sedangkan kebenaran historis berkaitan dengan keberadaan yang kongkrit.
Selain itu Hegel juga berbicara tentang kebenaran absolut sebagai sintesa
terakhir dari faktor-faktor universal dan individual, abstrak, dan kongkrit.
Kebenaran dalam idealisme dapat dirumuskan sebagai berikut: Dalam
Idealisme yang berkembang di Jerman terdapat anggapan bahwa dalam
sejarah terwujudlah kebenaran dalam pengungkapan dan perkembangan roh,
yang baru mencapai kebenaran sungguh-sungguh pada akhir seluruh
perjalanannya sambil mencakup segala langkah yang sudah ditempuh dalam
kesamaan mutlak subjek pengenal dan objek yang dikenal. Menurut ungkapan
Hegel ”Kebenaran adalah keseluruha” (Das Wahre ist das Ganze).
5. Positivisme
Positivisme dalam artian luasnya adalah sebagai suatu aliran dalam sejarah
filsafat modern yang dasar-dasarnya telah diletakan oleh August Comte
(1798-1857). Dalam artian sempit, Positivisme adalah suatu aliran
epistemologi yang semata-mata menggunakan pengalaman untuk mencapai
pengetahuan. Kata positif mengandung berbagai arti, yaitu kongkrit, eksak,
tepat/akurat, memberi manfaat. Oleh karena itu yang disebut dengan realitas
adalah fenomena sejauh dapat disermati secara inderawi. Masih berkaitan
dengan kebenaran ilmiah, menurut Comte metode ilmiah merupakan sumber
pengetahuan satu-satunya yang tepat tentang realitas. Selanjutnya Comte
melihat perkembangan pemikiran manusia dalam tiga tahap yaitu tahap
teologis, tahap metafisis, dan tahap positif. Sedemikian rupa sehingga
dikatakan ilmu-ilmu merupakan kesatuan menyeluruh, tetapi dalam tahap-
tahap yang berbeda dari perkembangan ilmu itu. Ilimu-ilmu itu juga terkait
dalam suatu tata ketergantungan yang hirarkisitas dapat dimengerti berkat
konsep dasar seperti kesatuan organis tata, acuan, suksesi, keserupaan, relasi,
kegunaan, realitas, gerakan, dan pengarahan (Hamdan Akromullah, 2018: 54-
56).
Kata filsafat berasal dari bahasa yunani philosopia yang terdiri dari kata
philos yang artinya Cinta dan Philia yang artinya kebijaksanaan atau
pengetahuan. Filsafat yang berarti memahami segala sesuatu secara Kritas dan
radikal yang diarahkan kepada kepandian dan secara teoritis dan praktis. Pada
perkembangannya filsafat terbagi dalam beberapa pembabakan zaman yang
diantaranya
Filsafat Yunani Kuno
Filsafat zaman pertengahan
Filsafat masa Renaisance
Filsafat Modern
Filsafat Kontemporer
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Zaman Yunani Kuno ini ada yang menyebutnya dengan zaman filosofi
alam, sebab tujuan filosofi mereka adalah memikirkan soal alam besar.
Darimana Bias, Pittakos, Chilon, Periandos, dan Kleobulos. Mereka hidup
dikota Miletos dan tersohor karena petuahnya yang pendek-pendek,
misalnya “kenali dirimu”, “segalanya berkira-kira”, “ingat akhirnya”.
Thales dikatakan sebagai bapaknya filosofi Yunani. Filosofinya diajarkan
dengan mulut saja dan dikembangkan oleh murid-muridnya dari mulut ke
mulut juga, baru Aristoteles yang kemudian menuliskannya.
2. Zaman Abad Pertengahan (6-16 M), juga disebut zaman kejayaan Kristiani
(gereja). Ciri pemikiran pada zaman ini disebut teosentris, oleh karena
para filosofnya memakai pemikiran filsafat untuk memperkuat dogma-
dogma agama kristiani. Filosof yang terkenal pada abad ini yaitu
Agustinus dan Thomas Aquinas. Agustinus (354-430 M) sangat
dipengaruhi oleh pemikiran Plato. Melalui pengetahuan tentang kebenaran
abadi yang dibawa sejak lahir dalam ingatan dan menjadi dasar karena
manusia mengetahui sesuatu, manusia ikut ambil bagian dalam ide-ide
Tuhan.
3. Munculnya Renaisance dan Humanisme sebagai awal masa abad modern,
di mana para ahli (filsuf) menjadi pelopor perkembangan filsafat (kalau
pada abad pertengahan yang menjadi pelopor perkembangan filsafat
adalah para pemuka agama). Pemikiran filsafat masa abad modern ini
berusaha meletakkan dasar-dasar bagi metode logis ilmiah. Pemikiran
filsafat diupayakan lebih bersifat praktis, artinya pemikiran filsafat
diarahkan pada upaya manusia agar dapat menguasai lingkungan alam
menggunakan berbagai penemuan ilmiah.
4. Perkembangan Filsafat sejarah abad kontemporer. Pada dasarnya filsafat
sejarah merupakan suatu bagian filsafat yang berusaha memberikan
jawaban atas pertanyaan, makna dari suatu proses sejarah (Sartono
Kartodirjo.1990:78-79). Filsafat sejarah Kontemporer di mulai pada abad
ke-20 sampai sekarang dimana pada perkembangannya dalam filsafat
masa kontemporer memiliki ciri atau yang di cirikan dengan ke
heteregenan, diaman hal ini di pengaruhi oleh Profesionalisme yang
semakin besar.
3.2 Saran
Anwar, Khaidir. 2013. Sejarah Dan Perkembangan Filsafat Ilmu. Jurnal Ilmu
Hukum. 7(2): 116-118.
http://www.lintasberita.com/Dunia/Berita
Dunia/Aliran_Pragmatisme_Filsafat_Masa_Kontemporer.
Muntansyir, Rizal, Dkk. 2004. Filsafat Ilmu.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.