Anda di halaman 1dari 21

SEJARAH FILSAFAT BARAT

Disusun Oleh :

Anita Dwi Hidayati 1813033035

Christin Amelia Putri 1813033025

Bayu Dion Susanto 1813033047

Agus Triyoga 1813033041

Nora Alim Miya 1813033050

PENDIDIKAN SEJARAH
PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2020
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Lahirnya Filsafat adalah dorongan keingin tahuan manusia akan
pengetahuan yang hakikat, sebab musabab keberadaan dan bagaimana
menciptakan barang-barang yang senilai yang dilator belakangi oleh tujuan-
tujuan tertentu bagi perkembangan dan kehidupannya. Oleh karena itu,
keingin tahuan manusia itu bersifat dinamis secara terus-menerus dan
konsisten bergerak sampai ke akar-akarnya.
Filsafat, terutama Filsafat Barat muncul di Yunani semenjak kira-kira abad
ke-7 SM. Filsafat muncul ketika orang-orang mulai berfikir-fikir dan
berdiskusi akan keadaan alam, dunia, dan lingkungan disekitar mereka dan
tidak menggantungkan diri kepada agama lagi.
Di Yunani, tidak seperti di daerah lain-lainnya tidak ada kasta, pendeta,
sehingga secara intelektual orang lebih bebas. Orang Yunani pertama yang
bisa diberi gelar filosof ialah Thales dari Mileta, sekarang di Pesisir barat
Turki. Tetapi filosof-filosof Yunani yang terbesar tentu saja ialah, Socrates,
Plato, dan Aristoteles. Socrates adalah guru Plato sedangkan Aristoteles
adalah murid Plato.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, maka didapatkan rumusan masalah sebagai
berikut :
1. Bagaimana sejarah filsafat pada Abad Yunani Kuno ?
2. Bagaimana sejarah filsafat pada Abad Pertengahan ?
3. Bagaimana sejarah filsafat pada Abad Modern ?
4. Bagaimana sejarah filsafat pada Abad Kontemporer ?

1.3 Tujuan Penulisan


Berdasarkan rumusan masalah yang diangkat diatas, maka tujuan penulisan
makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui sejarah filsafat pada Abad Yunani Kuno.
2. Untuk mengetahui sejarah filsafat pada Abad Pertengahan.
3. Untuk mengetahui sejarah filsafat pada Abad Modern.
4. Untuk mengetahui sejarah filsafat pada Abad Kontemporer.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Filsafat Pada Abad Yunani Kuno

terjadinya alam, itulah yang menjadi soal bagi para filosof pada saat itu.
Selain itu Fuad Hasan menyebutnya dengan ciri pemikiran yang
kosmosentris, yaitu para filosof mempertanyakan asal usul alam semesta dan
jagad raya. Pengamatan terhadap gejala kosmik dan fisik sebagai upaya
menemukan sesuatu asal muasal yaitu arche yang merupakan unsur awal
terjadinya segala gejala. Tokoh-tokoh yang terkenal pada zaman Yunani
Kuno ini antara lain Thales (625-545 SM). Thales dapat dikatakan salah
seorang dari tujuh orang terpandai dalam serita-serita lama Yunani. Nama-
nama lainnya yaitu Solon, Zaman Yunani Kuno ini ada yang menyebutnya
dengan zaman filosofi alam, sebab tujuan filosofi mereka adalah memikirkan
soal alam besar. Darimana Bias, Pittakos, Chilon, Periandos, dan Kleobulos.
Mereka hidup dikota Miletos dan tersohor karena petuahnya yang pendek-
pendek, misalnya “kenali dirimu”, “segalanya berkira-kira”, “ingat akhirnya”.
Thales dikatakan sebagai bapaknya filosofi Yunani. Filosofinya diajarkan
dengan mulut saja dan dikembangkan oleh murid-muridnya dari mulut ke
mulut juga, baru Aristoteles yang kemudian menuliskannya. Menurut
Aristoteles, kesimpulan ajaran Thales ialah “semuanya itu air”. Air yang cair
itu adalah pangkal, pokok, dan dipengaruhi oleh ajaran gurunya
Anaximandros bahwa “jiwa itu serupa dengan udara” (Anwar, 2013: 116).

Selain ketiga filosof besar diatas, filosof Yunani Kuno lainnya yaitu
Herakleitos (540-480 SM). Berbeda dengan pendahulu-pendahulunya diatas,
menurut Herakleitos, anasir yang asli itu adalah api. Meskipun Herakleitos
memandang api sebagai anasir yang asal, pandangannya tidak semata-mata
terikat pada alam luaran, alam besar,s erta pendangan filosof Miletos. Anasir
yanga sal itu dipandangnya juga sesuatu yang ebrgerak. Menurutnya yang ada
hanya pergerkan senantiasa, tidak ada yang boleh disebut ada, melainkan
menjadi, semuanya itu dalam kejadian. Jasa terbesar Herakleitos yaitu dunia
fikir yang dinamainya logos, yang artinya pikiran yang benar. Dan dari
sinilah kemudian timbul perkataan “logika”.

Filosof lainnya pada zaman Yunani Kuno ini adalah Pytagoras (580-500
SM) yang mempunyai kedudukan tersendiri dalam alam pikiran Yunani.
Filosofinya berdasar pada pandangan agama dan paham keagamaan.
Pytagoras percaya akan kepindahan jiwa dari makhluk yang sekarang pada
makhluk yang akan datang. Pokok ajarannya yang terkenal yaitu segala
barang adalah angka-angka. Kemudian Demokritos (460-370 SM),
merupakan filosof Yunani yang juga mempunyai peranan penting dalam
rangka pengembangan ilmu pengetahuan. Demokritos merupakan cikal bakal
bagi perkembangan ilmu fiiska, kimia, dan biologi. Dia mengatakan bahwa
realitas terdiri bayak unsur yang disebut atom. Dalam perjalanan sejarah
Yunani Kuno, trio besar yang sampai sekarang selalu diperbincangkan adalah
Socrates, Plato, dan Aristoteles. Socrates (470-399 SM), menyajikan metode
filsafat dialektika. Melalui pertanyaan-pertanyaan yang diajukan ia
membidangi pengetahuan yang terdapat dalam diri orang lain. Metode
berfikir Socrates merupakan cara berfikir induksi (Anwar, 2013: 117).

Pandangan Plato menyatakan bahwa dalam rangka mencari kebenaran


sebaiknya dilakukan dengan dialog, yang kemudian dikenal dengan metode
Platonik. Plato (428-348 SM) merupakan murid sekaligus penerus tradisi
dialog yang diajarkan Socrates. Plato juga dikenal sebagai filosof dualisme
yang mengakui dua kenyataan yang terpisah dan berdiri sendiri, yaitu dunia
ide dan dunia bayangan. Aristoteles (348-322 SM) menyatakan bahwa tugas
utama ilmu yaitu mencari penyebab-penyabab obyek yang diselidiki. Menurut
Aristoteles tiap-tiap kejadian mempunyai empat sebab yaitu : (a) Penyebab
material, (b) Penyebab formal, (c) Penyebab efisien, (d) Penyebab final.
Aristoteles juga mengemukakan tentang adanya dua pengetahuan, yaitu
pengetahuan indrawi dan penegtahuan akali. Pemikiran tentang sillogisme
sebagai cara menarik kesimpulan dari premis-premis sebelumnya merupakan
sumbangan besar Aristoteles bagi ilmu pengetahuan. Metode yang
diciptakannya ini pada akhirnya membuat dia mendapat julukan sebagai
“Bapak Logika” (Anwar, 2013: 118).

Bagi seorang filsuf ada alasan khusus untuk menaruh perhatian kepada
filsafat Yunani. Dipandang dalam sejarah filsafat seluruhnya, maka masa
filsafat Yunani Kuno mempunyai kedudukan istimewa, karena disini kita
menemui timbulnya filsafat sendiri. Mempelajari filsafat Yunani berarti
menyaksikan kelahiran filsafat. Dari sebab itu sebenarnya tidak ada pengantar
filsafat yang lebih ideal daripada studi mengenai pertumbuhan pemikira
filsafat di negeri Yunani. Seorang filsuf modern pernah mengatakan
mengenai Plato, “All Western philosophy is but a series of footnotes to Plato”
(Alfred Whitehead). Diterima secara harfiah, tulisan ini tentu melebih-
lebihkan, tetapi tidak sukar menangkap kebenarannya. Pada Plato dan
umumnya dalam seluruh filsafat Yunani kita berjumpa dengan problem-
problem filsafat yang masih dipersoalkan sampai pada hari ini. Tema-tema
filsafat Yunani, seperti “ada”, “menjadi”, “substandi”, “ruang”, “waktu”,
“kebenaran”, “jiwa”, “pengenalan”, “Allah”, “dunia”, merupakan tema-tema
pula bagi sejarah filsafat seluruhnya, dan daftar ini pasti tidak lengkap. Filsuf-
filsuf Yunani satu kali untuk selamanya menjuruskan pemikiran filsafat
selanjutnya, sehingga filsafat sekarang masih tetap bergumul dengan
pertanyaan-pertanyaan yang untuk pertama kalinya dikemukakan dalam
karangan mereka (Bertens, 1999: 30).

Ilmu sejarah mengalami kesulitan-kesulitan dalam menghadapi filsafat


Yunani Kuno. Kesulitannya berasal dari keadaan sumber-sumber, di mana
pikiran filsuf-filsuf bersangkutan disimpan bagi kita. Ada filsuf Yunani yang
tidak menuliskan satu baris pun (Thales, Pythagoras, Socrates). Untuk
menetapkan pikrian mereka, terpaksa kita harus mempercayakan diri kepada
kesaksian orang lain yang membicarakan ajaran mereka. Lalu ada filsuf yang
memang menulis satu karangan atau lebih, tetapi tulisan itu sudah hilang dan
mau tidak mau kita harus merasa puas dengan beberapa fragmen yang
misalnya dikutip oleh pengarang lain atau dengan kesaksian-kesaksian
tentang ajaran mereka. Tetapi disini persoalan muncul, atas cara
bagaimanakah kita sanggup menentukan bahwa kesaksian sedemikian itu
dapat dipercaya. Kesulitan mengenai sumber-sumber terdapat pada filsuf-
filsuf yang mendahului Socrates dan karenanya dinamakan “filsuf-filsuf pra-
sokatik”. Berkenaan dengan masalah ini sarjana Jerman yang bernama
Herman Diels (1848-1922) mempunyai jasa, ia menulis dua karya yang
sangat meringankan tugas sejarawan dalam bidang filsafat Yunani. Karya
pertama berjudul Die Fragmente der Vorsokratiker (Berlin, 1903) dan
mengumpulkan semua fragmen tentang filsuf-filsuf pra-sokratik. Karya kedua
bernama Doxographi Graeci (Berlin, 1879) dan mempelajari secara kritis
semua kesaksian yang diemui pada pengarang-pengarang kuno tentang ajaran
filsuf-filsuf Yunani (Bertens, 1999: 31).

2.2 Sejarah Filsafat Pada Abad Pertengahan

Zaman Abad Pertengahan (6-16 M), juga disebut zaman kejayaan Kristiani
(gereja). Ciri pemikiran pada zaman ini disebut teosentris, oleh karena para
filosofnya memakai pemikiran filsafat untuk memperkuat dogma-dogma
agama kristiani. Filosof yang terkenal pada abad ini yaitu Agustinus dan
Thomas Aquinas. Agustinus (354-430 M) sangat dipengaruhi oleh pemikiran
Plato. Melalui pengetahuan tentang kebenaran abadi yang dibawa sejak lahir
dalam ingatan dan menjadi dasar karena manusia mengetahui sesuatu,
manusia ikut ambil bagian dalam ide-ide Tuhan. Dalam arti tertentu keadaan
ikut ambil bagian ini terjadi dengan mengetahui sesuatu, namun semua
perbuatan mengetahui dibimbing oleh kasih. Berfikir dan mengasihi
berhubungan secara selaras dan tak terceraikan. Tuhan ada sebagai ada, yang
bersifat pribadi dan sebagai pribadi mencuptakan seluruh jagad raya secara
bebas, dan tidak beremanasi yang niscaya terjadi. Thomas Aquinas (1125-
1274 M), terpengaruh oleh pemikiran Arsitoteles. Ciri khas filsafat abad
pertengahan dikenal dengan predikat “Ancilla Theologiae”, dan ini
merupakan pemikiran Thomas Aquinas. Thomas Aquinas tidak semata-mata
mengulangi ajaran Aristoteles, membuang hal-hal yang tidak pas dengan
ajaran kristiani dan menambah hal-hal baru yang melahirkan aliran bercorak
Thomisme (Anwar, 2013: 118).
Abad Pertengahan sendiri membawa reputasi yang tidak menguntungkan
bagi perkembangan filsafat. Ini tidak lain karena dominasi yang terlalu kuat
dari para rohaniwan,s ehingga segala sesutau yang bertentangan dengan
pendapat mereka dipandang sebagai dosa yang hars dimusnahkan. Dengan
perkataan lain, terjadilah pembungkaman yang demikian hebat terhadap
kebebasan berpikir, yang lebih jauh lagi membawa sejarah filsafat Barat ke
dalam masa kegelapan panjang. Sejarah filsafat Abad Pertengahan dibagi
menjadi dua zaman, yakni zaman Patristik dan zaman Skolastik. Zaman
Patristik (2-7 M) dicirikan dengan usaha keras para Bapa gereja (patres,
Latin) untuk mengartikulasikan, menata, dan memperkuat isi ajaran Kristen
serta membelanya dari serangan kaum kafir dan bidaah kaum Gnosis
(Tjahjadi, 2004: 103).

Menurut Delfgaauw, berhadapan dengan pemikiran Yunani Kuno, filsafat


Abad Pertengahan Skolastik mewakili aliran pikiran lain yang terlihat jelas
baik karena menyangkut waktunya yang berbeda, maupun karena
menyangkut kelompok bangsa lain, yaitu bangsa Eropa Barat. Filsafat kaum
Skolastik merupakan pertemuan antara pemikiran Aristoteles (yang hidup
kembali melalui filsuf-filsuf Islam dan Yahudi) dan iman Kristiani.
Pertemuan ini menghasilkan banyak filsuf penting. Mereka sebagian besar
berasal dari kedua ordo baru, yang lahir dalam Abad Pertengahan, yaitu para
Dominikan dan Fransiskan. Filsafat mereke disebut Skolastik (dari kata Latin
Scholasticus yang berarti guru) karena dalam periode ini filsafat diajarkan
dalam sekolah-sekolah biara dan universitas-universitas menurut suatu
kurikulum yang tetap dan yang bersifat internasional. Tokoh-tokoh Skolastik
antara lain Albertus Magnus alias Albert Agung (1206-1208), Joannes
Fidanza alias Bonaventura (1221-1257), Thomas Aqinas (1225-1274), dan
Yohanus Duns Scotus (1266-1308). Tema-tema pokok dari ajaran mereka
adalah hubungan antara iman dan akal budi, adanya dan hakikat Tuhan,
antropologi, etika, dan politik. Selain nama-nama diatas, dapat disebutkan
pula nama Boethius (480-524) yang merupakan filsuf pertama Skolastik
(Darmodiharjo, 2006: 69).
Abad Pertengahan lebih tepat sebagai jembatan penghubung antara abad
Klasik dan abad Modern. Charles Singer, membagi Abad Pertengahan
menjadi dua bagian, yaitu abad gelap Eropa dan abad kegemilangan
peradaban Islam.

1. Periode Abad Gelap Eropa

Abad gelap eropa hanya dikenal beebrapa ilmuwan seperti Boethius (480-
524 M) yang menekuni bidang aritmetika dan penerjemah karya Euclides ke
dalam bahasa Latin. Ilmuwan lain adalah Matianus Capella yang menyusun
dasar-dasar pendidikan manusia melalui tujuh kecakapan atau dikenal dengan
the seven liberar arts. Ketujuh kecakapan itu adalah trivium (memuat
kecakapan gramar, dialektika, dan retorika), kedua disebut quadrivium (terdiri
dari empat kecakapan, yaitu geometri, aritmatika, astronomi, dan musik).
Kemudian muncul ilmuwan lain bernama Bishop Isidore dari Serville (560-
636 M). bishop menulis ensiklopedia sains secara lengkap.

Selain tiga nama tersebut terdapat nama-nama filsuf yang cukup terkenal,
seperti Plotinus, Augustinus, Anselmus dan Thomas Aquinas. Nama-nama
besar di era Abad Pertengahan ini lebih menonjolkan sisi keyakinan
ketimbang berpikir logis. Garis pemikiran mereka berpijak pada diktum
“Credo ut intellegum” (percaya supaya mengerti). Pertama-tama mereka
percaya akan doktrin dan ajaran gereja untuk kemudian mereka membuat
rasionalisasi dari ajaran-ajaran tersebut. Dari sisi ini dapat dipahami bahwa
perkembangan ilmu pengetahuan masyarakat Barat pada era ini nyaris
terbelenggu oleh doktrin-doktrin gereja (Burhanuddin, 2018: 31).

2. Periode Islam

Islam tidak hanya mendukung adanya kebebasan intelektual, tetapi juga


membuktikan kecintaan terhadap ilmu pengetahuan dan sikap hormat kepada
para ilmuwan, tanpa memandang agama mereka. Periode anatar 750-1200 M
adalah abad masa keemasan dunia Islam. Plato dan Aristoteles telah
memberikan pengaruh besar pada mahzab-mahzab Islam, khususnya mahzab
Paripatetik.
1. Abu Ya’kub Al-Kindi

Filsuf Muslim pertama adalah Abu Ya’kub Al-Kindi, yang dianggap


sebagai filsuf Arab pertama yang mempelajari filsafat. Ibnu al-Nadhin
mendudukan Al-Kindi sebagai salah satu orang termahsyur dalam filsafat
alam (natural philosophy). Buku-buku Al-Kindi membahas mengenai
berbagai cabang ilmu pengetahuan seperti geometri, aritmetika, astronomi,
musik, logika, dan filsafat. Ibnu Abi Usaibi’a menganggap Al-Kindi sebagai
peenrjemah terbaik kitab-kitab ilmu kedokteran dari bahasa Yunani ke dalam
bahasa Arab. Di samping sebagai penerjemah, Al-Kindi menulis juga berbagai
makalah. Ibnu Al-Nadhin meperkirakan ada 200 judul makalh yag ditulis Al-
Kindi dan sebagain di antaranya tidak dapat dijumpai lagi, karena raib entah
kemana. Nama Al-Kindi sangat mahsyur di Eropa pada Abad Pertengahan.
Bukunya yang telah disalin ke dalam bahasa Latin di Eropa berjudul De
Aspectibus berisi uraian tentang geometri dan ilmu optik, mengacu pada
pendapat Euclides, Heron, dan Prolemeus. Salah satu orang yang sangat
kagum pada berbagai tulisannya adalh filsuf kenamaan Roger Bacon gereja
(Burhanuddin, 2018: 32).

2. Abu Nasr Al-Faribi

Abu Nasr Al-Faribi sanagt berjasa dalam mengenalkan dan


mengembangkan cara berpikir logis (logika) kepada dunia Islam. Berbagai
karangan Aristoteels, seperti Categories, Hermeneutics, First, dan Second
Analysis telah diterjemahkannya ke dalam bahasa Arab. Al-faribi telah
membicarakan berbagai sistem logika dan cara berpikir deduktif mau[un
induktif. Disamping itu, beliau dianggap sebagai peletak dasar pertama ilmu
musik dan menyempurnakannya dari apa yang dibuat pendahulunya, yaitu
Phytagoras. Oleh karena jasanya dalam bidang logika, maka Al-Faribi diberi
gelar guru Kedua (The Second Masterial-Muallim al-Tsani), sedang gelar
Guru Pertama disandang oleh Aristoteels.

Kontribusi lain dari Al-Faribi yang dianggap cukup bernilai adalah


usahanya mengkalsifikasi ilmu pengetahuan. Al-Faribi telah memberikan
definisi dan batasan setiap ilmu pengetahuan yang berkembang pada
zamannya. Al-Faribi mengklasifikasi ilmu ke dalam tujuh cabang, yaitu
logika, percakapan, matematika, fisika, metafiiska, politik, dan ilmu fikih
(hukum). Buku Al-Faribi mengenai pembagian ilmu ini telah diterjemahkan
ke dalam bahasa Latin untuk konsumsi bangsa Eropa. Al-Faribi juga
mengembangkan hierarki wujud, yaitu (1) Puncak hierarki wujud adalah
Tuhan yang merupakan sebab bagi keberadaan yang lain, (2) para malaikat di
bawahnya yang merupakan sebab bagi keberadaan yang lain, (3) benda-benda
langit (angkasa), (4) kemudian benda-benda bumi. Dan masih banyak lagi
karya Al-Faribi, termasuk karya tentang penyatuan atau hormonisasi antara
filsafat dan agama, serta kesatuan filsafat itu sendiri di mana para tokoh filsuf
harus bersepakat sepanjang yang menjadi tujuan adalah kebenaran gereja
(Burhanuddin, 2018: 33).

3. Ibnu Sina

Ibnu Sina dikenal di Barat dengan sebutan Avicenna. Selain sebagai


seorag filsuf, ia dikenal sebagai seorang dokter dan penyair. Ilmu pengetahuan
yang ditulisnya banyak yang ditulis dalam bentuk syair. Bukunya yang
terkenal berjudul Qanon, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latn oleh
Gerard Cremona di Toledo. Buku ini kemudian menjadi buku teks dalam ilmu
kedokteran yang diajarkan pada beberapa perguruan tnggi di Eropa, seperti
Universitas Louvain dan Montepellier. Dalam kitab Qanon, Ibnu Sina telah
menekankan betapa pentingnya penelitian eksperimental untuk menentukan
khasiat suatu obat. Ibnu Sina menyatakan bahwa daya sembuh suatu jenis obat
sangat tergantung pada ketepatan dosis dan ketepatan waktu pemberian. Ibnu
Sina membagi filsafat atas bagian yang bersifat teoritis dan bagian yang
bersifat praktis. Bagian yang bersifat teoritis meliputi matematika, fisika, dan
metafisika, sedangkan bagian yang bersifat praktis meliputi politik dan etika
gereja (Burhanuddin, 2018: 34).

Ibnu Sina mengelompokkan ilmu dalam tiga jenis, yaitu (1) objek-objek
yang secara niscaya tidak berkaitan dengan materi dan gerak (metafisik), (2)
objek-objek yang senantiasa berkaitan dengan materi dan gerak (fisika), (3)
objek-objek yang pada dirinya immaterial tetapi kadang melakukan kontak
dengan materi dan gerak (matematika). Selain Al-Faribi dan Ibnu Sina
terdapat filsuf-filsuf lain seperti Ibn Rusydi, Ibn Khaldun, Al-Biruni. Ibn
Khaldun merupakan seorang filsuf sekaligus sosiolog terbesar di dunia Islam
menulis buku yang sangat terkenal berjudul Al-Muqaddimah.dalam kitab ini
Ibn Khaldun membagi metafisika dalam beberapa bagian serta membagi ilmu
matematika kedalam empat subdivisi. Al-Biruni merupakan ahli dalam bidang
ilmu mineral. Salah satu karya terbesarnya adalah Al-Jawahir (batu-batu
permata).

Abu Bakr Al-Razi juga merupakan seorang filsuf dalam bidang ilmu
farmakologi dan media yang mengarang kitab Al-Hawi. Kemudian dalam
bidang nutrisi dikenal karya Ibn Bathar, yakni Al-Jami Li Mufradat Al-
Adawiyyah wa Al-Aghdziyah. Di bidang zoologi dikenal karya Al-Jahizh
yang berjudul Al-Hayawan dan Hayat Al-Hayawan oleh Al-Damiri. Ibn Rushd
merupakan seorang dokter dan telah mengarang buku ilmu kedokteran
berjudul Colliget, yang dianggap setara dengan kitab Qanon karangan Ibnu
Sina. Ilmuwan lain yang juga mewarnai dunia kedokteran adalah seorang ahli
bedah bernama Ibn Zahrawi yang telah menciptakan ratusan alat bedah yang
sudah sangat maju untuk ukuran zamannya gereja (Burhanuddin, 2018:
35-36).

2.3 Sejarah Filsafat Pada Abad Modern

Munculnya Renaisance dan Humanisme sebagai awal masa abad modern,


di mana para ahli (filsuf) menjadi pelopor perkembangan filsafat (kalau pada
abad pertengahan yang menjadi pelopor perkembangan filsafat adalah para
pemuka agama). Pemikiran filsafat masa abad modern ini berusaha
meletakkan dasar-dasar bagi metode logis ilmiah. Pemikiran filsafat
diupayakan lebih bersifat praktis, artinya pemikiran filsafat diarahkan pada
upaya manusia agar dapat menguasai lingkungan alam menggunakan
berbagai penemuan ilmiah (Suaedi, 2016: 4).

Filsafat modern sebagai suatu periode dalam pemikiran filsafat barat pada
umumnya dianggap mulai dengan Rene Descartes (1596-1650) di Perancis,
atau dengan Francis Bacon (1561-1626) di Inggris. Tentu saja zaman modern
dalam filsafat Barat tidak dapat dilepaskan dari gerakan yang mendambakan
emansipasi, liberalisasi, otonomi diri dan otoritas rasio yakni Renaissance di
abad ke-15 dan Aufklarung di abad ke-18. Renaisance dan Aufklarung tidak
turut mempengaruhi pemikiran para filsuf Barat mengenai kebenaran
(Hamdan Akrumollah, 2018: 53-54).

Renaissance lahir sekitar abad ke 15-16 M, tatkala kaum intelektual,


politik, dan seniman di daratan Eropa serentak bertekad untuk mengadakan
suatu gerakan pembaharuan yang menginginkan kebebasan berpikir untuk
merubah doktrin agama yang dirasakan sangat mengekang kemerdekaan
batin. Renaissance lahir sekitar abad ke 15-16 M, tatkala kaum intelektual,
politik, dan seniman di daratan Eropa serentak bertekad untuk mengadakan
suatu gerakan pembaharuan yang menginginkan kebebasan berpikir untuk
merubah doktrin agama yang dirasakan sangat mengekang kemerdekaan
batin. adalah Humanisme, Istilah humanisme berasal dari kata human yang
berarti manusia. Aliran pemikiran ini menekankan Value (nilai) dan Dignity
(martabat) manusia diatas segala-galanya, serta menjadikan kepentingan
manusia. sebagai ukuran kebenaran mutlak (Saifullah, 2014: 135-136).

Aliran-Aliran Filsafat Modern

a. Rasionalisme
Dalam arti luas Rasionalisme merupakan aliran dalam sejarah filsafat modern
yang dasar-dasarnya telah diletakan oleh Rene Descartes (1596-1650), G.W.
Leibnis (1646-1746), dan Baruch Spinoza (1632-1677). Dalam arti sempit,
Rasionalisme adalah sebuah epistemologi yang menggunakan rasio sebagai
sarana utama untuk mencapai pengetahuan, yaitu pengetahuan ilmiah.
Berkenaan dengan kebenaran. Descartes memunculkan persoalan mengenai
kriterium kebenaran. Menurut Descartes cara untuk membedakan ada
tidaknya kebenaran ialah ada tidaknya ide yang jelas dan terpilah-pilah
mengenai sesuatu (idea clara et distincta). Konsekuensi lebih lanjut dari
pernyataan ini adalah isi idea yang jelas dan terpilah-pilah itu menjadi benar
sehingga kebenaran disamakan dengan idea itu. Idea itu pertama-tama
terdapat dalam subjek pengetahuan, demikian pula halnya dengan kebenaran,
tanpa hubungan dengan dunia luar, hanyalah merupakan suatu kesimpulan
dari adanya kebenaran dalam idea tersebut. Terwujudnya kebenaran
ditegaskan sebagai suatu kenyataan. Selanjutnya menurut Spinoza, kebenaran
mempunyai standar sendiri. Sebagaimana terang menyingkapkan baik dirinya
sendiri dan kegelapan, begitupula kebenaran adalah standar untuk dirinya
sendiri dan kesalahan. Leibniz membedakan antara kebenaran akal dengan
kebenaran fakta. Adapun yang dimaksud dengan pertama adalah kebenaran
yang berdasarkan prinsip identitas dan bersifat niscaya, sementara yang kedua
adalah kebenaran yang didasarkan prinsip alasan yang mencukupi adan
bersifat kontingen. Perbedaan keduanya dikenal dengan perbedaan analitik-
sintetik.

b. Empirisme

Arti luas dari Empirisme adalah aliran dalam sejarah filsafat Barat modern
yang dasar-dasarnya telah diletakan oleh John Lock, David Hume dan
Berkeley. Sementara artian sempit dari Empirisme adalah epistemologi yang
menggunakan pengalaman atau empiri sebagai sarana utama. Dalam hal ini
dapat dikatakan Aristoteles adalah sebagai peletak dasarnya. Berbeda dengan
Rasionalisme, menurut Empirisme akal budi tidak dapat memberikan kepada
kita pengetahuan tentang realitas tanpa acuan pada pengalaman inderawi dan
pengunaan pancaindera kita. Informasi yang disajikan oleh indera kita
berguna sebagai fundamen untuk ilu pengetahuan. Dalam hal ini akal budi
bertugas mengolah bahan-bahan yang diperoleh oleh pengalaman. Adapun
metode yang digunakan adalah induksi. Semula aliran ini, sebagaimana yang
nampak pada Francis Bacon, masih menganut semacam realisme naif yang
menganggap bahwa pengenalan yang diperoleh melalui pengalaman tanpa
ditindak lanjuti oleh penyelidikan telah mempunyai nilai yang objektif. Akan
tetapi kemudian nilai pengenalan yang diperoleh melalui pengalaman itu
sendiri dijadikan sasaran atau objek penelitian.

c. Rasionalisme Kritis
Dalam arti luas Rasionalisme Kritis atau sering juga disebut dengan
Kritisisme adalah sebuah aliran dalam sejarah filsafat modern yang dasar-
dasarnya diletakkan oleh Immanuel Kant (1724-1804). Sementara artian
sempitnya adalah sebuah epistemologi yang lebih menekankan kepada intuisi,
kepada pengetahuan-pengetahuan (kebenaran dan kenyataan). Pada
Krisitisisme ini Kant berusaha untuk mendamaikan denganmengambil jalan
tengah antara Empirisme dan Rasionalisme dengan mengatakan bahwa
pengetahuan kita bersifat sintesis. Pengetahuan inderawi atau empirisme
merupakan sintesis dari pengamatan ruang dan waktu. Lalu pengetahuan akal
atau rasionalisme merupakan sintesis pengetahuan dengan kedua belas
kategori yang dioleh oleh Vestand (akal). Akibatnya yang dihasilkan
bukanlah pengetahuan das ding an sich. Untuk itu vernunft (rasio atau budi)
memberi arah ketika akal tidak mampu mengetahuinya. Sedemikian rupa
sehingga Kant menyebut pandangannya sebagai Idealisme Transendental atau
Idealisme Kritis. Dalam alternatif ini, isi pengalaman langsung tidak dianggap
sebagai benda dalam dirinya sendiri dan ruang dan waktu merupakan forma
intuisi kita sendiri.

4. Idealisme

Idealisme dalam artian luasnya dapat disebut sebagai salah satu aliran
dalam sejarah filsafat modern yang dasar-dasarnya diletakan oleh J.C. Fichte
(1762) F.W.J. Schelling (1775-1854) dan Hegel 1770-1831). Dalam artian
sempit Idealisme adalah sebuah epistemologi yang menekankan idealisme
sebagai sarana bagi roh untuk mencapai pengetahuan (lihat Harun
Hadiwijono, 1980; 88-109). Tokoh Idealisme yang patut disebutkan berkaitan
dengan kebenaran adalah Hegel. Hegel membedakan antara kebenaran formal
dan kebenaran historis. Kebenaran formal berkaitan dengan matematika
sedangkan kebenaran historis berkaitan dengan keberadaan yang kongkrit.
Selain itu Hegel juga berbicara tentang kebenaran absolut sebagai sintesa
terakhir dari faktor-faktor universal dan individual, abstrak, dan kongkrit.
Kebenaran dalam idealisme dapat dirumuskan sebagai berikut: Dalam
Idealisme yang berkembang di Jerman terdapat anggapan bahwa dalam
sejarah terwujudlah kebenaran dalam pengungkapan dan perkembangan roh,
yang baru mencapai kebenaran sungguh-sungguh pada akhir seluruh
perjalanannya sambil mencakup segala langkah yang sudah ditempuh dalam
kesamaan mutlak subjek pengenal dan objek yang dikenal. Menurut ungkapan
Hegel ”Kebenaran adalah keseluruha” (Das Wahre ist das Ganze).

5. Positivisme

Positivisme dalam artian luasnya adalah sebagai suatu aliran dalam sejarah
filsafat modern yang dasar-dasarnya telah diletakan oleh August Comte
(1798-1857). Dalam artian sempit, Positivisme adalah suatu aliran
epistemologi yang semata-mata menggunakan pengalaman untuk mencapai
pengetahuan. Kata positif mengandung berbagai arti, yaitu kongkrit, eksak,
tepat/akurat, memberi manfaat. Oleh karena itu yang disebut dengan realitas
adalah fenomena sejauh dapat disermati secara inderawi. Masih berkaitan
dengan kebenaran ilmiah, menurut Comte metode ilmiah merupakan sumber
pengetahuan satu-satunya yang tepat tentang realitas. Selanjutnya Comte
melihat perkembangan pemikiran manusia dalam tiga tahap yaitu tahap
teologis, tahap metafisis, dan tahap positif. Sedemikian rupa sehingga
dikatakan ilmu-ilmu merupakan kesatuan menyeluruh, tetapi dalam tahap-
tahap yang berbeda dari perkembangan ilmu itu. Ilimu-ilmu itu juga terkait
dalam suatu tata ketergantungan yang hirarkisitas dapat dimengerti berkat
konsep dasar seperti kesatuan organis tata, acuan, suksesi, keserupaan, relasi,
kegunaan, realitas, gerakan, dan pengarahan (Hamdan Akromullah, 2018: 54-
56).

2.4 Sejarah Filsafat Pada Abad Kontemporer

Kata filsafat berasal dari bahasa yunani philosopia yang terdiri dari kata
philos yang artinya Cinta dan Philia yang artinya kebijaksanaan atau
pengetahuan. Filsafat yang berarti memahami segala sesuatu secara Kritas dan
radikal yang diarahkan kepada kepandian dan secara teoritis dan praktis. Pada
perkembangannya filsafat terbagi dalam beberapa pembabakan zaman yang
diantaranya
 Filsafat Yunani Kuno
 Filsafat zaman pertengahan
 Filsafat masa Renaisance
 Filsafat Modern
 Filsafat Kontemporer

Perkembangan Filsafat sejarah abad kontemporer. Pada dasarnya filsafat


sejarah merupakan suatu bagian filsafat yang berusaha memberikan jawaban atas
pertanyaan, makna dari suatu proses sejarah (Sartono Kartodirjo.1990:78-79).
Filsafat sejarah Kontemporer di mulai pada abad ke-20 sampai sekarang dimana
pada perkembangannya dalam filsafat masa kontemporer memiliki ciri atau yang
di cirikan dengan ke heteregenan, diaman hal ini di pengaruhi oleh
Profesionalisme yang semakin besar. Dalam pekembangannya filsafat sejarah
abad kontemporer di pengaruhi oleh beberapa aliran-aliran yang diantaranya
 Pragmatisme
Aliran ini berkembang dan dikenal di Amerika Serikat dimana pada aliran
ini dikemukanan “Suatu hal Yang benar merupakan sesuatu yang
akibatnya dapat di manimbulkan manfaat praktis. Kelompok ini bersifat
kritis terhadap aliran-aliran kajian Ilmu Filsafat pada abad-abad
sebelumnya
 Vitalisme
Vitalisme merupakan padangan bahwasanya organisme hidup di gerakan
oleh daya ataupun prinsip vital yang berbeda dengan daya-daya fisik.
Aliran ini timbul akibat perkembangan Industrialisme dan teknologi
dimana demua dapat di ukur secara sistematis. Tokoh terpenting dalam
vitalisme adalah Hendri Bregson(1859-1941) yang merupakan tokoh filsuf
yang paling terkenal di perancis pada abad 19-an dan awal abad ke-20 an.
 Fenomenologi
Berasal dari kata phenomenon yang berarti suatu gejala atau suatu hal yang
tampak. Fenomenologi merupakan suatu ilmu yang mempelajari segala
sesuatu yang tampak maupun menampakan diri. Fenomenologi di rintis
oleh seorang ilmuan yang bernama Edmund Husserl (1859-1938) pada hal
ini juga mempengaruhi terhadap perkembangan dalam Ilmu pengetahuan
terutama Filsafat sejarah yang mengalami perdebatan dalam hal
keilmuannya diantaranya adalah membatasi tentang subjektivitas dalam
sejarah.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari makalah diatas dapat disimpulkan bahwa :

1. Zaman Yunani Kuno ini ada yang menyebutnya dengan zaman filosofi
alam, sebab tujuan filosofi mereka adalah memikirkan soal alam besar.
Darimana Bias, Pittakos, Chilon, Periandos, dan Kleobulos. Mereka hidup
dikota Miletos dan tersohor karena petuahnya yang pendek-pendek,
misalnya “kenali dirimu”, “segalanya berkira-kira”, “ingat akhirnya”.
Thales dikatakan sebagai bapaknya filosofi Yunani. Filosofinya diajarkan
dengan mulut saja dan dikembangkan oleh murid-muridnya dari mulut ke
mulut juga, baru Aristoteles yang kemudian menuliskannya.
2. Zaman Abad Pertengahan (6-16 M), juga disebut zaman kejayaan Kristiani
(gereja). Ciri pemikiran pada zaman ini disebut teosentris, oleh karena
para filosofnya memakai pemikiran filsafat untuk memperkuat dogma-
dogma agama kristiani. Filosof yang terkenal pada abad ini yaitu
Agustinus dan Thomas Aquinas. Agustinus (354-430 M) sangat
dipengaruhi oleh pemikiran Plato. Melalui pengetahuan tentang kebenaran
abadi yang dibawa sejak lahir dalam ingatan dan menjadi dasar karena
manusia mengetahui sesuatu, manusia ikut ambil bagian dalam ide-ide
Tuhan.
3. Munculnya Renaisance dan Humanisme sebagai awal masa abad modern,
di mana para ahli (filsuf) menjadi pelopor perkembangan filsafat (kalau
pada abad pertengahan yang menjadi pelopor perkembangan filsafat
adalah para pemuka agama). Pemikiran filsafat masa abad modern ini
berusaha meletakkan dasar-dasar bagi metode logis ilmiah. Pemikiran
filsafat diupayakan lebih bersifat praktis, artinya pemikiran filsafat
diarahkan pada upaya manusia agar dapat menguasai lingkungan alam
menggunakan berbagai penemuan ilmiah.
4. Perkembangan Filsafat sejarah abad kontemporer. Pada dasarnya filsafat
sejarah merupakan suatu bagian filsafat yang berusaha memberikan
jawaban atas pertanyaan, makna dari suatu proses sejarah (Sartono
Kartodirjo.1990:78-79). Filsafat sejarah Kontemporer di mulai pada abad
ke-20 sampai sekarang dimana pada perkembangannya dalam filsafat
masa kontemporer memiliki ciri atau yang di cirikan dengan ke
heteregenan, diaman hal ini di pengaruhi oleh Profesionalisme yang
semakin besar.

3.2 Saran

1. Makalah ini kami buat untuk memperluas wawasan pembaca, namun


alangkah baiknya pembaca mencari referensi lain untuk memperkaya
wawasan dan menambah ilmu pengetahuan.
2. Dalam makalah ini masi banyak kekurangan, hendaknya pembaca lebih
teliti membacanya agar maksud yang kami sampaikan dapat tersampaikan
dengan baik.
3. Sumber sumber yang kami dapatkan masih ditaraf universitas di
Indonesia, alangkah baiknya pembaca juga mengaitkan dengan materi dari
luar negeri supaya lebih mengerti dengan materi ini. Sebaiknya membaca
dengan cermat dan teliti supaya ilmunya dapat terserap dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Khaidir. 2013. Sejarah Dan Perkembangan Filsafat Ilmu. Jurnal Ilmu
Hukum. 7(2): 116-118.

Bertens, K. 1999. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Kanisius.

Burhanuddin, Nunu. 2018. Filsafat Ilmu. Jakarta: Prenadamedia Group.

Darmodiharjo, Darji dan Shidarta. 2006. Pokok-Pokok Filsafat Hukum. Jakarta:


PT Gramedia Pustaka Utama.

Hamdan Akromullah. 2018. Kebenaran Ilmiah dalam Perspektif Filsafat Ilmu


(Suatu Pendekatan Historis dalam Memahami Kebenaran Ilmiah dan
Aktualisasinya dalam Bidang Praksis). Majalah Ilmu Pengetahuan dan Pemikiran
Keagamaan Tajdid, Vol. 21, No. 1, Juli 2018

http://www.lintasberita.com/Dunia/Berita
Dunia/Aliran_Pragmatisme_Filsafat_Masa_Kontemporer.
Muntansyir, Rizal, Dkk. 2004. Filsafat Ilmu.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Saifullah. 2014. Renaissance dan Humanisme Sebagai Jembatan Lahirnya Filsafat


Modern. Jurnal Ushuluddin Vol. XXII No. 2, Juli 2014.

Suaedi. 2016. Pengantar Filsafat Ilmu. Bogor: IPB Press.

Tjahjadi, Simon Petrus. 2004. Petualangan Intelektual Konfrontasi Dengan Para


Filsuf Dari Zaman Yunani Hingga Zaman Modern. Yogyakarta: Kanisius.

Anda mungkin juga menyukai