Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kajian tentang sejarah perkembangan ilmu pengetahuan cakupannya sangat luas dan
panjang. Di kalangan para ahli sejarah banyak pendapat yang beragam dalam mendefinisikan
term sejarah, namun pada intinya sejarah adalah kesinambungan atau rentetan suatu peristiwa
atau kejadian antara masa lampau, masa sekarang dan masa depan. Hal ini dapat diketahui
dari segi kronologis dan geografis, yang bisa dilihat dengan kurun waktu dimana sejarah itu
terjadi. Dalam setiap periode sejarah perkembangan ilmu pengetahuan, keseluruhan memiliki
ciri khas atau karakteristik tertentu.
Dalam konsepsi agama, ilmu pengetahuan lahir sejak diciptakannya manusia pertama
yaitu Adam, kemudian berkembang menjadi sebuah ilmu atau ilmu pengetahuan. Pada
hakekatnya ilmu pengetahuan lahir karena hasrat ingin tahu dalam diri manusia. Hasrat ingin
tahu ini timbul oleh karena tuntutan dan kebutuhan dalam kehidupan yang terus berkembang.
Secara teoritis perkembangan ilmu pengetahuan selalu mengacu kepada peradaban
Yunani. Hal ini didukung oleh beberapa faktor, diantaranya adalah mitologi bangsa Yunani,
kesusastraan Yunani, dan pengaruh ilmu pengetahuan pada waktu itu yang sudah sampai di
Timur Kuno. Terjadinya perkembangan ilmu pengetahuan di setiap periode dikarenakan pola
pikir manusia yang mengalami perubahan dari mitos-mitos menjadi lebih rasional. Manusia
menjadi lebih proaktif dan kreatif menjadikan alam sebagai objek penelitian dan pengkajian.
Oleh karena itu, dalam makalah ini, penulis akan menjelaskan tentang sejarah perkembangan
ilmu pengetahuan dari perkembangan ilmu zaman Yunani sampai dengan kemajuan Ilmu
menuju Abad 21.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perkembangan ilmu pada zaman Yunani?
2. Bagaimana perkembangan ilmu pada zaman Pertengahan?
3. Bagaimana perkembangan ilmu pada abad Modern ?
4. Bagaimana perkembangan ilmu pada zaman Kontemporer?
5. Bagaimana perkembangan ilmu menuju abad 21?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui perkembangan ilmu pada zaman Yunani
2. Untuk mengetahui perkembangan ilmu pada zaman Pertengahan
3. Untuk mengetahui perkembangan ilmu pada abad Modern
4. Untuk mengetahui perkembangan ilmu pada zaman Kontemporer
5. Untuk mengetahui perkembangan ilmu menuju abad 21
BAB II
PEMBAHASAN

A. Landasan Ilmu pada Zaman Yunani


1. Pemikiran pada Masa Yunani Kuno
Pada masa Yunani kuno, filsafat secara umum sangat dominan, meski harus diakui
bahwa agama masih kelihatan memainkan peranan. Hal ini terjadi pada tahap permulaan,
yaitu pada masa Thales (640-545 SM), yang menyatakan bahwa esensi segala sesuatu
adalah air, belum murni bersifat rasional. Argumen Thales masih dipengaruhi kepercayaan
pada mitos Yunani. Demikian juga Phitagoras (572-500 SM) belum murni rasional.
Ordonya yang mengharamkan makan biji kacang menunjukkan bahwa ia masih
dipengaruhi mitos. Jadi, dapat dikatakan bahwa agama alam bangsa Yunani masih
dipengaruhi misteri yang membujuk pengikutnya, sehingga dapat disimpulkan bahwa
mitos bangsa Yunani bukanlah agama yang berkualitas tinggi. Secara umum dapat
dikatakan, para filosof pra-Socrates berusaha membebaskan diri dari belenggu mitos dan
agama asalnya.
Sokrates menyumbangkan teknik kebidanan (maieutika tekhne) dalam berfilsafat.
Bertolak dari pengalaman konkrit, melalui dialog seseorang diajak Sokrates (sebagai sang
bidan) untuk “melahirkan” pengetahuan akan kebenaran yang dikandung dalam batin
orang itu. Dengan demikian Sokrates meletakkan dasar bagi pendekatan deduktif.
Pemikiran Sokrates dibukukan oleh Plato, muridnya. Hidup pada masa yang sama dengan
mereka yang menamakan diri sebagai “sophis” (“yang bijaksana dan berpengetahuan”).
Ungkapan yang paling sederhana terhadap kata filsafat (shopis) seperti yang dikemukakan
oleh Prof. Dr. Hasan Langgulung adalah cinta hikmah (kebijaksanaan).
Sokrates lebih berminat pada masalah manusia dan tempatnya dalam masyarakat,
dan bukan pada kekuatan-kekuatan yang ada dibalik alam raya ini (para dewa-dewi
mitologi Yunani). Seperti diungkapkan oleh Cicero kemudian, Sokrates “menurunkan
filsafat dari langit, mengantarkannya ke kota-kota, memperkenalkannya ke rumah-rumah”.
Karena itu dia didakwa “memperkenalkan dewa-dewi baru, dan merusak kaum muda” dan
dibawa ke pengadilan kota Athena. Dengan mayoritas tipis, juri 500 orang menyatakan ia
bersalah. Ia sesungguhnya dapat menyelamatkan nyawanya dengan meninggalkan kota
Athena, namun setia pada hati nuraninya ia memilih meminum racun cemara di hadapan
banyak orang untuk mengakhiri hidupnya.
Setelah abad ke-6 SM muncul sejumlah ahli pikir yang menentang adanya mitos.
Mereka menginginkan adanya pertanyaan tentang misteri alam semesta ini, jawabannya
dapat diterima akal (rasional). Keadaan yang demikian ini sebagai suatu demitologi,
artinya suatu kebangkitan pemikiran untuk menggunakan akal pikir dan meninggalkan hal-
hal yang sifatnya mitologi, upaya para ahli pikir untuk mengarahkan kepada suatu
kebebasan berfikir ini, kemudian banyak orang mencoba membuat suatu konsep yang
dilandasi kekuatan akal pikir secara murni, maka timbullah peristiwa ajaib The Greek
Miracle yang artinya dapat dijadikan sebagai landasan peradaban dunia.
Pelaku filsafat adalah akal dan musuhnya adalah hati. Pertentangan antara akal dan
hati itulah pada dasarnya isi sejarah filsafat. Di dalam sejarah filsafat kelihatan akal pernah
menang, pernah kalah, hati pernah berjaya, juga pernah kalah, pernah juga kedua-duanya
sama sama-sama menang. Diantara keduanya, dalam sejarah, telah terjadi pergumulan
berebut dominasi dalam mengendalikan kehidupan manusia.
Yang dimaksud dengan akal disini ialah akal logis yang bertempat di kepala,
sedangkan hati adalah rasa yang kira-kira bertempat di dalam dada. Akal itulah yang
menghasilkan pengetahuan logis yang disebut filsafat, sedangkan hati pada dasarnya
menghasilkan pengetahuan supralogis yang disebut pengetahuan mistik, iman termasuk
disini. Ciri umum filsafat Yunani adalah rasionalisme yang dimana mencapai puncaknya
pada orang-orang sofis.
Dalam sejarah filsafat biasanya filsafat Yunani dimajukan sebagai pangkal sejarah
filsafat barat, karena dunia barat (Erofa Barat) dalam alam pikirannya berpangkal kepada
pemikiran Yunani. Pada masa itu ada keterangan-keterangan tentang terjadinya alam
semesta serta dengan penghuninya, akan tetapi keterangan ini berdasarkan kepercayaan.
Ahli-ahli pikir tidak puas akan keterangan itu lalu mencoba mencari keterangan melalui
budinya. Mereka menanyakan dan mencari jawabannya apakah sebetulnya alam itu.
Apakah intisarinya? Mungkin yang beraneka warna ynag ada dalam alam ini dapat
dipulangkan kepada yang satu. Mereka mencari inti alam, dengan istilah mereka: mereka
mencari arche alam (arche dalam bahasa yunani yang berarti mula, asal).
Terdapat tiga faktor yang menjadikan filsafat Yunani ini lahir, yaitu:
a) Bangsa Yunani yang kaya akan mitos (dongeng), dimana mitos dianggap sebagai awal
dari uapaya orang untuk mengetahui atau mengerti. Mitos-mitos tersebut kemudian
disusun secara sistematis yang untuk sementara kelihatan rasional sehingga muncul
mitos selektif dan rasional, seperti syair karya Homerus, Orpheus dan lain-lain.
b) Karya sastra Yunani yang dapt dianggap sebagai pendorong kelahiran filsafat yunani,
karya Homerous mempunyai kedudukan yang sangat penting untuk pedoman hidup
orang-orang yunani yang didalamnya mengandung nilai-nilai edukatif.
c) Pengaruh ilmu-ilmu pengetahuan yang berasal dari Babylonia (Mesir) di lembah sungai
Nil, kemudian berkat kemampuan dan kecakapannya ilmu-ilmu tersebut dikembangkan
sehingga mereka mempelajarinya tidak didasrkan pada aspek praktis saja, tetapi juga
aspek teoritis kreatif.
Periode Yunani kuno ini lazim disebut periode filsafat alam. Dikatakan demikian,
karena pada periode ini ditandai dengan munculnya para ahli pikir alam, dimana arah dan
perhatian pemikirannya kepada apa yang diamati sekitarnya. Mereka membuat pertanyaan-
pertanyaan tentang gejala alam yang bersifat filsafati (berdasarkan akal pikir) dan tidak
berdasarkan pada mitos. Mereka mencari asas yang pertama dari alam semesta (arche)
yang sifatnya mutlak, yang berada di belakang segala sesuatu yang serba berubah.

2. Landasan Ilmu Pengetahuan pada Zaman Yunani Kuno


Periode filsafat Yunani merupakan periode sangat penting dalam sejarah perdaban
manusia karena pada waktu itu terjadi perubahan pola pikir manusia dari mitosentris
menjadi logosentris. Pola piker mitosentis adalah pola piker masyarakat yang sangat
mengandalkan mitos untuk menjelaskan fenomena alam.
Periode Yunani Kuno disebut periode filsafat alam, karena pada periode ini ditandai
dengan munculnya ahli piker alam di mana arah dan perhatian pemikirannya pada alam
sekitarnya. Pernyataan-pernyataan yang dibuat bersifat filsafati (berdasar akal piker) dan
tidak berdasar pada mitos. Ahli piker alam antara lain adalah Thales, Anaximandros, dan
Pythagoras.
Filsafat Yunani muncul dari pengaruh mitologi, mistisisme, matematika, dan persepsi
yang kental begitu rupa sehingga segalanya nyaris tidak jelas dan seakan mengacaukan
pandangan dunia. Para Filsuf Yunani awal menemukan dirinya dalam kenyataan yang
patut ditiru.
Kebuadayaan mereka kaya dan kreatif, namun dikelilingi oleh orang-orang yang
sportif dan kompetitif. Muncul beberapa pemikiran filosofis pada masa Yunani Kuno
antara lain:
a) Parmenides pada Abad ke-5 (515-450 SM)
Usaha-usaha yang dilakukannya sebagai suatu cara berpikir baru mengenai
hakikat “pengada” (being as such). Klaim-klaim dan argument Parmenides ini bersifat
abstrak dalam cara yang berbeda sama sekali. Misalnya “ynag kita dapat bicarakan dan
pikirkan pastilah yang ada, sementara yang tiada tidak dapat. Pikirkanlah itu”
b) Xenophanes Abad ke-6 (560-478 SM)
“Jika banteng, kuda, singa mempunyai tangan dan dapat melukis seperti manusia,
kuda akan melukis para dewa berupa kuda, dan bandeng akan melukis para dewa seperti
sapi jantan, masing-masing melukis tubuh para dewa seperti tubuhnya sendiri”. Ia
menganjurkan kira-kira sama dengan apa yang tertulis dalam kitab pertama Alkitab
Ibrahi (atau Perjanjian Lama), kepercayaan pada “satu dewa, yang terbesar di anatara
para dewa dan manusia, yang tak serupa dengan hal-hal fana terdapat pada tubuh dan
pikiran”.
c) Thales pada Abad ke-7 (625-547 SM)
Bahwa dunia dikelilingi oleh air pada akhirnya, berasal dari air. Ide yang sangat
mungkin berasal dari Kosmomogi Purba Yunani dan kebudayaan-kebudayaan lainnya.
Tetapi tidak beranggapan bahwa segala sesuatu terbuat dari air.
d) Aristoteles pada Abd ke-4 (384-322 SM)
Aristoteles adalah seorang ilmuwan dan filsuf terbesar di dunia kuno. Adalah
orang animis dan salah satu dari sekian idenya yang menari adalah bahwa dunia sebagai
suatu keseluruhan, kosmos, dan dasarnya hidup dan bersifat illahi. Tahles dan
Aristhotekes bergerak di antara tiga klaim animis secara berbeda. Ketiga hal tersebut
adalah:
1) Segala sesuatu hidup (bahkan batuan, binatang, dan air)
2) Segala yang hidup terkait hokum sebab akibat (kausalitas)
3) Kosmos sebagai keseluruhan adalah hidup
e) Heraklitus (515-450)
Heraklitus terkenal karena pengamatannya yang jelas pada pemikiran kedua teka-
teki mendalam dan dapat jadi kabur yang menyatakan “alam mencintai keter-
sembunyiannya (concealment)”. Ia sendiri mencintai teka-teki, paradox-paradoks dan
permainan kata yang dapat mengundang pemikiran yang mendalam untuk
mengungkapkan maknanya. Pada pemikiran kedua menjadi teka-teki yang mendapam
dan kabur semisal “jalan naik dan jalan belakang adalah sama”. Untuk kehidupan
sesuadah mati, “segala yang kita lihat di saat bangun adalah kematian”, dan “orang
jangan berharap atau membayangkan apa yang menantikan mereka dalam kematian”.
Untuk sebuah peradaban yang putus asa dan mendambakan perdamaian karena perang
yang berkepanjangan, ia menengaskan “perang adalah bapa dan raja dari segalanya”.
f) Phythagoras (581-507)
Diantara banyak hal, rancangan dan pembuktian suatu teorema Phythagoras, salah
satu dari basisi geometri, dalam bangun segitiga yang benar, ida menghasilkan kuadrat
sisi miring (sisi miring yang sering anda lupakan) sama panjangnya dengan jumlah
kuadrat kedua sisinya. Penemuan penting yang lain dalam matematika, termaksud
pengertian “bilangan-bilangan irrasional” bilangan-bilangan yang tidak dapat dibagi rata
dengan satu bilangan bulat menjadi bilangan bulat lainnya. Filsuf yang mempesona,
yang membuat music, yang mempunyai keyakinan eksotis tentang hakikat roh dan cara
terbaik menjalani kehidupan (banyak di antaranya di datangkan dari Mesir, bersama
banyak konsep geometris). Selanjutnya, Phjythagoras memakai teori mengenai
perimbangan (proportion) untuk menjelaskan, dinatara hal-hal lain, hakikat muski dan
gerakan bintang-bintang.

B. Landasan Ilmu pada Zaman Pertengahan


Zaman Abad Pertengahan merupakan abad kebangkitan religi di Eropa. Pada masa ini
agama berkembang dan memengaruhi hampir seluruh kegiatan manusia, termasuk
pemerintahan. Sebagai konsekuensinya, sains yang telah berkembang di masa zaman klasik
dipinggirkan dan dianggap lebih sebagai ilmu sihir yang mengalihkan perhatian manusia dari
ketuhanan. Namun demikian harus diakui bahwa banyak juga temuan dalam bidang ilmu
yang terjadi pada masa ini. Dalam sejarah filsafat, Abad Pertengahan terbentang antara tahun
500 M sampai 1500 M. Abad ini lebih tepat sebagai jembatan penghubung antara abad klasik
dan abad modern. Charles Singer, membagi Abad Pertengahan menjadi dua bagian, yaitu
abad gelap Eropa dan abad kegemilangan peradaban Islam.
1. Periode Abad Gelap Eropa
Zaman Pertengahan (Middle Age) ditandai dengan pengaruh yang cukup besar dari
agama Katolik terhadap kekaisaran dan perkembangan kebudayaan pada saat itu. Pada
umumnya orang Romawi sibuk dengan masalah keagamaan tanpa memperhatikan masalah
duniawi dan ilmu pengetahuan. Pada masa itu yang tampil dalam lapangan ilmu
pengetahuan adalah para teolog. Para ilmuwan pada masa ini hampir semua adalah para
teolog, sehingga aktivitas ilmiah terkait dengan aktivitas keagamaan. Dengan kata lain,
kegiatan ilmiah diarahkan untuk mendukung kebenaran agama. Semboyan yang berlaku
bagi ilmu pada masa ini adalah ancilla theologiae, abdi agama. Oleh karena itu sejak
jatuhnya kekaisaran Romawi Barat hingga kira-kira abad ke-10, di Eropa tidak ada
kegiatan dalam bidang ilmu pengetahuan yang spektakuler yang dapat dikemukakan.
Periode ini dikenal pula dengan sebutan abad kegelapan (Burhanuddin, 2012).
Pada zaman abad gelap Eropa hanya dikenal beberapa ilmuwan semisal Boethius
(480-524 M) yang menekuni bidang aritmetika dan penerjemah karya Euclides ke dalam
Bahasa Latin. Ilmuwan lainnya adalah Matianus Capella yang Menyusun dasar-dasar
Pendidikan manusia melalui tujuh kecakapan, atau dikenal dengan the seven liberar arts.
Ketujuh kecakapan itu adalah trivium (memuat kecakapan grammar, dialektika, dan
retorika); kedua disebut quadrivium (terdiri dari empat kecakapan, yaitu geometri,
aritmatika, astronomi dan music) (The Liang Gie, 1978). Kemudian muncul ilmuwan lain
bernama Bishop Isidore dan Seville (560-636 M) yang menulis ensiklopedia sains secara
lengkap.
Menjelang berakhirnya abad pertengahan, ada beberapa kemajuan yang tampak
dalam masyarakat yang berupa penemuan-penemuan. Penemuan-penemuan tersebut antara
lain pembaharuan penggunaan bajak yang dapat mengurangi penggunaan energi petani.
Kincir air mulai digunakan untuk menggiling jagung. Pada abad ke-13 ada pula kemajuan
dan pembaharuan dalam bidang perkapalan dan navigasi pelayaran. Perlengkapan kapal
memperoleh kemajuan sehingga kapal dapat digunakan lebih efektif. Alat-alat navigasinya
pun mendapat kemajuan pula. Kompas mulai digunakan orang di Eropa. Keterampilan
dalam membuat tekstil dan pengolahan kulit memperoleh kemajuan setelah orang
mengenal alat pemintal kapas. Kemajuan lain yang penting pada masa akhir abad tengah
adalah keterampilan dalam pembuatan kertas. Keterampilan ini berasal dari Cina dan
dibawa oleh orang Islam ke Spanyol. Di samping itu orang juga telah mengenal percetakan
dan pembuatan bahan peledak. Berbeda dengan keadaan di Eropa yang mengalami abad
kegelapan, di dunia Islam pada masa yang sama justru mengalami masa keemasan ilmu
pengetahuan dan teknologi (Burhanuddin, 2012).

2. Periode Islam
Tidak terbantahkan bahwa Islam sesungguhnya adalah ajaran yang sangat cinta
terhadap ilmu pengetahuan, hal ini sudah terlihat dari pesan yang terkandung dalam al-
Qur’an yang diwahyukan pertama kali kepada Nabi Muhammad saw, yaitu surat al-‘Alaq
dengan diawali kata perintah iqra yang berarti (bacalah). Gairah intelektualitas di dunia
Islam ini berkembang pada saat Eropa dan Barat mengalami titik kegelapan. Sebagaimana
dikatakan oleh Josep Schumpeter dalam buku magnum opusnya yang menyatakan adanya
great gap dalam sejarah pemikiran ekonomi selama 500 tahun, yaitu masa yang dikenal
sebagai dark ages. Masa kegelapan Barat itu sebenarnya merupakan masa kegemilangan
umat Islam, suatu hal yang berusaha disembunyikan oleb Barat karena pemikiran ekonom
Muslim pada masa inilah yang kemudian banyak dicuri oleh para ekonom Barat (Karim,
2007).
Pada saat itulah di Timur terutama di wilayah kekuasaan Islam terjadi perkembangan
ilmu pengetahuan yang pesat. Di saat Eropa pada zaman Pertengahan lebih berkutat pada
isu-isu keagamaan, maka peradaban dunia Islam melakukan penterjemahan besar-besaran
terhadap karya-karya filosof Yunani, dan berbagai temuan di lapangan ilmiah lainnya
(Mustansyir, 2002).
Sekitar abad ke 6-7 Masehi obor kemajuan ilmu pengetahuan berada di pangkuan
peradaban Islam. Dalam lapangan kedokteran muncul nama-nama terkenal seperti: Al-
Hāwī karya Al-Rāzī (850-923) merupakan sebuah ensiklopedi mengenai seluruh
perkembangan ilmu kedokteran sampai masanya (Goodman, 2003). Rhazas mengarang
suatu Encyclopedia ilmu kedokteran dengan judul Continens. Al-Khawarizmi (Algorismus
atau Alghoarismus) menyusun buku Aljabar pada tahun 825 M, yang menjadi buku standar
beberapa abad di Eropa. Ia juga menulis perhitungan biasa (Arithmetics), yang menjadi
pembuka jalan penggunaan cara desimal di Eropa untuk menggantikan tulisan Romawi
(Tim Dosen UGM, 1996).
Filsuf lain yang terkenal adalah Ibnu Sina (Avicenna) dari Barat. Selain sebagai
seorang filsuf, ia dikenal sebagai seorang dokter dan penyair. Ilmu pengetahuan yang
ditulisnya banyak yang ditulis dalam bentuk syair. Bukunya yang terkenal berjudul Qanon,
yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin oleh Gerard Cremona di Toledo. Buku ini
kemudian menjadi buku teks dalam ilmu kedokteran yang diajarkan pada beberapa
perguruan tinggi di Eropa, seperti Universitas Louvain dan Montepellier. Dalam kitab
Qanon, Ibnu Sina telah menekankan betapa pentingnya penelitian eksperimental untuk
menentukan khasiat suatu obat. Ibnu Sina menyatakan bahwa daya sembuh suatu jenis obat
sangat tergantung pada ketepatan dosis dan ketepatan waktu pemberian. Bahkan pemberian
obat hendaknya disesuaikan dengan kekuatan penyakit itu sendiri (Burhanuddin, 2018).
Ibnu Sina juga mengatakan alam pada dasarnya adalah potensi (mumkin al-wujud)
dan tidak mungkin bisa mengadakan dirinya sendiri tanpa adanya Tuhan. Ibnu Sina
mengelompokkan ilmu dalam tiga jenis, yakni 1) objek-objek yang secara niscaya tidak
berkaitan dengan materi dan gerak (metafisik), 2) objek-objek yang senantiasa berkaitan
dengan materi dan gerak (fisika), 3) objek-objek yang pada dirinya immaterial tetapi
kadang melakukan kontak dengan materi dan gerak (matematika) (Burhanuddin, 2018).
W. Montgomery Watt menyatakan (dalam bukunya Islam dan Peradaban Dunia:
Pengaruh Islam) dalam bidang kimia ada Jābir ibn Hayyān (Geber) dan al-Bīrūnī (362-442
H/973-1050 M). Sebagian karya Jābir ibn Hayyān memaparkan metode-metode
pengolahan berbagai zat kimia maupun metode pemurniannya. Sebagian besar metodenya
untuk menunjukkan zat dan bejana-bejana kimia yang belakangan menjadi bahasa orang-
orang Eropa berasal dari karya-karyanya. Sementara itu, al-Bīrūnī mengukur sendiri gaya
berat khusus dari beberapa zat yang mencapai ketepatan tinggi.

C. Landasan Ilmu pada Abad Modern


1. Pendahuluan
Jembatan antara abad pertengahan dan zaman modern disebut dengan istilah
Renaissance yang berarti kelahiran kembali. Secara etimologi Renaissance berasal dari
bahasa Latin yaitu kata Re berarti kembali dan naitre berarti lahir. Secara bebas kata
Renaissance dapat diartikan sebagai masa peralihan antara abad pertengahan ke abad
modern yang ditandai dengan lahirnya berbagai kreasi baru yang diilhami oleh kebudayaan
Eropa Klasik (Yunani dan Romawi) yang lebih bersifat duniawi. Renaissance lahir sekitar
abad ke 15-16 M, tatkala kaum intelektual, politik, dan seniman di daratan Eropa serentak
bertekad untuk mengadakan suatu gerakan pembaharuan yang menginginkan kebebasan
berpikir untuk merubah doktrin agama yang dirasakan sangat mengekang kemerdekaan
batin. Sulit dipastikan mana yang lebih dahulu berperan dalam modernisasi Barat,
humanisme atau ilmu pengetahuan modern, namun kita tidak perlu meragukan bahwa
keduanya saling bahu membahu dalam mengokohkan suatu cara berpikir rasional yang
menempatkan manusia dan rasionalitasnya sebagai pusat segala sesuatu. René Descartes
meletakkan dasar filosofis untuk tendensi baru ini lewat penemuan subyektivitas manusia
dalam tesisnya je pense donc je suis (aku berpikir, maka aku ada). Ciri ini lalu disebut
‘antroposentrisme’, untuk menegaskan sikap kritisnya terhadap teosentrisme abad
pertengahan. Salah satu hal penting yang kerap luput dari perhatian adalah hubungan khas
antara perkembangan ilmu-ilmu alam modern dan humanism modern yang semakin skeptis
terhadap agama. Isaac Newton (1643-1727) dengan fisikanya memberi suatu keyakinan
rasional bahwa alam bekerja secara mekanistis seperti sebuah arloji, dan akal budi manusia
dapat menyingkap hukum-hukum yang bekerja di belakang proses-proses alamiah
(Saifullah, 2014). Eksistensi ilmu pengetahuan tidak lepas dari sejarah perkembangannya
yang merupakan sebuah proses panjang tumbuh dan berkembangnya ilmu pengetahuan itu
sendiri. Pada setiap fase perkembangan ilmu pengetahuan muncul sesuatu yang baru dan
memilki karakteristik di setiap masanya. Karakteristik tersebut adalah hasil dari sebuah
pergumulan budaya yang terjadi dalam dinamika social (Abdul karim, 2014). Ilmu
pengetahuan adalah suatu pengetahuan tentang objek tertentu yang disusun secara
sistematis sebagai hasil penelitian dengan menggunakan metode tertentu. (Mohammad
Adib, 2011).
Penjelajahan manusia dalam mencari kebenaran hidup dan kehidupan ini sampailah
pada kesepahaman tentang suatu kebenaran. Pada tataran menyatakan kebenaran maka
terjadi kesepakatan untuk tidak sepakat, karena muncul beberapa mashab, yaitu mashab
rasionalis, empiris dan kritis. Mashab rasionalis menyatakan bahwa sesuatu dianggap benar
manakala logis. Mashab ini dipelopori oleh Thales dan mencapai puncak ketenarannya
pada zaman Socrates-Palto dan Aristoteles. Hal demikian berbeda dengan mashab empiris
yang menyatakan bahwa pengetahuan yang bermanfaat, pasti dan benar manakala
diperoleh lewat indera. Mashab yang dipelopori oleh Francis Bacon, Thomas Hobbes, John
Locke dan David Hume (1561-1776) ini sepakat bahwa pengetahuan yang benar adalah
yang indrawi. Menurut John Locke semua pengetahuan berasal dari pengalaman. Akal
ibarat kertas putih yang ditulisi pengalaman melalui proses kerja sama antara refleksi
(pengenalan intuitif dari jiwa) dan sensasi (pengenalan dari luar) sehingga lahir ide.
Immanuel Kant (1724-1804) sepakat mengakui peran akal dan empiri. Bila keduanya
dipadukan dan difungsikan secara benar, empiri berfungsi menangkap objek dan akal
berfungsi mengelola tangkapan objek tersebut secara benar maka akan diperoleh
pengetahuan yang benar dan akurat. Mashab tersebut telah banyak membantu manusia
dalam mengembangkan pengetahuan dan ilmu pengetahuan (Suhartono dalam Muhammad
Adib, 2009).

2. Perkembangan ilmu Abad Modern


a) Renaissance
Renaisans adalah periode perkembangan peradaban yang terletak di ujung atau
sesudah abad kegelapan sampai muncul abad modern. Renaisans merupakan era sejarah
yang penuh dengan kemajuan dan perubahan yang mengandung arti bagi perkembangan
ilmu. Ciri utama renaisans yaitu humanisme, individualisme, sekulerisme, empirisisme,
dan rasionalisme. Sains berkembang karena semangat dan hasil empirisisme, sementara
Kristen semakin ditinggalkan karena semangat humanisme (Abdul Karim, 2014). Abad
renaissans (bahasa Prancis/bahasa Inggris: Renaissance; Bahasa Italia: Renascimento;
arti harfiah: kelahiran kembali) adalah sebuah gerakan kebudayaan antara abad ke-14
hingga abad ke-17, bermula di Italia pada akhir abad pertengahan dan kemudian
menyebar ke seluruh Eropa. Zaman renaissance adalah zaman kelahiran kembali. Dalam
renaissance kebudayaan kelasik dihidupkan kembali. Kesusasteraan, seni dan filsafat
mencari inspirasi mereka dalam warisan Yunani-Romawi. Pembaruan terpenting yang
kelihatan dalam filsafat renaissance itu adalah antropo-sentrisnya. Pusat perhatian
pemikiran itu tidak lagi kosmos, seperti dalam zaman kuno, atau Tuhan, seperti dalam
abad pertengahan, melainkan manusia. Mulai zaman renaissance manusialah yang
dianggap sebagai titik fokus dari kenyataan. Pada zaman renaissance manusia
dipandang sebagai pusat sejarah, pusat pemikiran, pusat kehendak, kebebasan dan
dunia. Pada masa renaissance terdapat metode yang efektif dalam berpikir yaitu melalui
pendekatan ilmu secara sistematis. Satu – satunya metode yang efektif dalam cara
berpikir secara sistematis dalam zaman Yunani dan Romawai ini disebut metode
pendekatan silogistik. Silogisme yang menjadi dasar bagi penjabaran secara deduktif
pengalaman – pengalaman manusia (Muhammad Adib, 2011).
Zaman renaisans banyak memberikan perhatian pada aspek realitas. Perhatian
yang sebenarnya difokuskan pada hal-hal yang bersifat kongkret dalam lingkup alam
semesta, manusia, kehidupan masyarakat dan sejarah. Pada masa itu pula terdapat upaya
manusia untuk memberi tempat kepada akal yang mandiri. Akal diberi kepercayaan dan
porsi yang lebih besar, karena ada suatu keyakinan bahwa akal pasti dapat menerangkan
segala macam persoalan yang diperlukan pemecahannya. Hal ini dibuktikan dengan
perang terbuka terhadap kepercayaan yang dogmatis dan terhadap orang-orang yang
enggan menggunakan akalnya. Asumsi yang digunakan adalah, semakin besar
kekuasaan akal, maka akan lahir dunia baru yang dihuni oleh manusia-manusia yang
dapat merasakan kepuasan atas dasar kepemimpinan akal yang sehat (Asmoro Achmadi,
2003).
Zaman renaisans terkenal dengan  era kelahiran kembali kebebasan manusia
dalam berpikir seperti pada zaman Yunani kuno. Manusia dikenal sebagai animal
rationale, karena pada masa ini pemikiran manusia mulai bebas dan berkembang.
Manusia ingin mencapai kemajuan atas hasil usaha sendiri, tidak didasarkan atas
campur tangan Ilahi. Saat itu manusia Barat mulia berpikir secara baru dan berangsur-
angsur melepaskan diri dari otoritas kekuasaan Gereja yang selama ini telah
mengungkung kebebasan dalam mengemukakan kebenaran filsafat dan ilmu
pengetahuan (Rizal dan Misnal, 2008).
Aspek positif semangat renaissance adalah i) bermakna kebangkitan; ii) kembali
percaya akan kekuatan akal; iii) tokohnya Rene Descartes yang menyatakan manusia
makhluk berpikir (Cogito ergo Sum); iv) ilmu pengetahuan dengan metode skeptic; v)
bangkitnya paham rasionalisme; vi) perlawanan pemikiran bebas terhadap agama; vii)
penelitian filsafat alam yang meragukan konsep geosentris; viii) mashab Itali dan
temuan heliosentris; ix) perkembangan empirisme dan positivism; x) lahirnya ilmu
pengetahuan; xi) filsagat vs ilmu pengetahuan; xii) bercerainya filsafat dengan ilmu
pengetahuan (abad ke-17 hingga abad ke-20).

b) Tokoh-Tokoh Renaissance
Pada zaman renaisans ada banyak penemuan di bidang ilmu pengetahuan. Di
antara tokoh-tokohnya adalah:
1) Nicolaus Copernicus (1473-1543)
Ia dilahirkan di Torun, Polandia dan belajar di Universitas Cracow. Walaupun
ia tidak mengambil studi astronomi, namun ia mempunyai koleksi buku-buku
astronomi dan matematika. Ia sering disebut sebagai Founder of  Astronomy. Ia
mengembangkan teori bahwa matahari adalah pusat jagad raya dan bumi mempunyai
dua macam gerak, yaitu: perputaran sehari-hari pada porosnya dan perputaran
tahunan mengitari matahari. Teori itu disebut heliocentric menggeser
teori Ptolemaic. Ini adalah perkembangan besar, tetapi yang lebih penting adalah
metode yang dipakai Copernicus, yaitu metode mencakup penelitian terhadap benda-
benda langit dan kalkulasi matematik dari pergerakan benda-benda tersebut (Harold
H. Titus et al., 1984).
2) Galileo Galilei (1564-1642)
Galileo Galilei adalah salah seorang penemu terbesar di bidang ilmu
pengetahuan. Ia menemukan bahwa sebuah peluru yang ditembakkan membuat suatu
gerak parabola, bukan gerak horizontal yang kemudian berubah menjadi gerak
vertikal. Ia menerima pandangan bahwa matahari adalah pusat jagad raya. Dengan
teleskopnya, ia mengamati jagad raya dan menemukan bahwa bintang Bimasakti
terdiri dari bintang-bintang yang banyak sekali jumlahnya dan masing-masing berdiri
sendiri. Selain itu, ia juga berhasil mengamati bentuk Venus dan menemukan
beberapa satelit Jupiter (Harun Hadiwijono, 2004).
3) Francis Bacon (1561-1626)
Francis Bacon adalah seorang filosof dan politikus Inggris. Ia belajar di
Cambridge University dan kemudian menduduki jabatan penting di pemerintahan
serta pernah terpilih menjadi anggota parlemen. Ia adalah pendukung
penggunaan scientific methods,  ia berpendapat bahwa pengakuan tentang
pengetahuan pada zaman dahulu kebanyakan salah, tetapi ia percaya bahwa orang
dapat mengungkapkan kebenaran dengan inductive method, tetapi lebih dahulu harus
membersihkan fikiran dari prasangka yang ia namakan idols (arca) (Harold H. Titus
et al., 1984). Bacon telah memberi kita pernyataan yang klasik tentang kesalahan-
kesalahan berpikir dalam Idols of the Mind. Bacon menolak silogisme, sebab
dipandang tanpa arti dalam ilmu pengetahuan karena tidak mengajarkan kebenaran-
kebenaran yang baru. Ia juga menekankan bahwa ilmu pengetahuan hanya dapat
dihasilkan melalui pengamatan, eksperimen dan harus berdasarkan data-data yang
tersusun. Dengan demikian Bacon dapat dipandang sebagai peletak dasar-dasar
metode induksi modern dan pelopor dalam usaha sistematisasi secara logis prosedur
ilmiah (Harun Hadiwijono, 2004). Pada abad ke-17 pemikiran renaisans mencapai
kesempurnaannya pada diri beberapa tokoh besar. Pada abad ini tercapai kedewasaan
pemikiran, sehingga ada kesatuan yang memberi semangat yang diperlukan pada
abad-abad berikutnya. Pada masa ini, yang dipandang sebagai sumber pengetahuan
hanyalah apa yang secara alamiah dapat dipakai manusia, yaitu akal (rasio) dan
pengalaman (empiri). Sebagai akibat dari kecenderungan berbeda dalam memberi
penekanan kepada salah satu dari keduanya, maka pada abad ini lahir dua aliran yang
saling bertentangan, yaitu rasionalisme yang memberi penekanan pada rasio dan
empirisme yang memberi penekanan pada empiri.
c) Rasionalisme
Usaha manusia untuk memberi kemandirian kepada akal sebagaimana yang telah
dirintis oleh para pemikir renaisans, masih berlanjut terus sampai abad ke-17. Abad ke-
17 adalah era dimulainya pemikiran-pemikiran kefilsafatan dalam artian yang
sebenarnya. Semakin lama manusia semakin menaruh kepercayaan yang besar terhadap
kemampuan akal, bahkan diyakini bahwa dengan kemampuan akal segala macam
persoalan dapat dijelaskan, semua permasalahan dapat dipahami dan dipecahkan
termasuk seluruh masalah kemanusiaan. Dengan kekuasaan akal tersebut, orang
berharap akan lahir suatu dunia baru yang lebih sempurna, dipimpin dan dikendalikan
oleh akal sehat manusia. Kepercayaan terhadap akal ini sangat jelas terlihat dalam
bidang filsafat, yaitu dalam bentuk suatu keinginan untuk menyusun secara a priori
suatu sistem keputusan akal yang luas dan tingkat tinggi. Corak berpikir yang sangat
mendewakan kemampuan akal dalam filsafat dikenal dengan nama aliran rasionalisme
(Rizal dan Misnal, 2008).
Pada zaman filsapat modern, tokoh pertama rasionalisme adalah Rene Descartes
(1595-1650). Tokoh rasionalisme lainnya adalah Baruch Spinoza (1632-1677) dan
Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716). Descartes dianggap sebagai Bapak Filsafat
Modern. Menurut Bertrand Russel, kata “Bapak” pantas diberikan kepada Descartes
karena dialah orang pertama pada zaman modern itu yang membangun filsafat
berdasarkan atas keyakinan diri sendiri yang dihasilkan oleh pengetahuan akliah. Dia
pula orang pertama di akhir abad pertengahan yang menyusun argumentasi yang kuat
dan tegas yang menyimpulkan bahwa dasar filsafat haruslah akal, bukan perasaan,
bukan iman, bukan ayat suci dan bukan yang lainnya. Hal ini disebabkan perasaan tidak
puas terhadap perkembangan filsafat yang amat lamban dan banyak memakan korban.
Ia melihat tokoh-tokoh Gereja yang mengatasnamakan agama telah menyebabkan
lambannya perkembangan itu. Ia ingin filsafat dilepaskan dari dominasi agama Kristen,
selanjutnya kembali kepada semangat filsafat Yunani, yaitu filsafat yang berbasis pada
akal. Descartes sangat menyadari bahwa tidak mudah meyakinkan tokoh-tokoh Gereja
bahwa dasar filsafat haruslah rasio. Tokoh-tokoh Gereja waktu itu masih berpegang
teguh pada keyakinan bahwa dasar filsafat haruslah iman sebagaimana tersirat dalam
jargon credo ut intelligam yang dipopulerkan oleh Anselmus. Untuk meyakinkan orang
bahwa dasar filsafat haruslah akal, ia menyusun argumentasinya dalam sebuah metode
yang sering disebut cogito Descartes, atau metode cogito saja. Metode tersebut dikenal
juga dengan metode keraguan Descartes (Cartesian Doubt) (Ahmad Tafsir, 1998)
Metode Descartes menjelaskan perlunya memperhatikan empat hal berikut ini:
1) Tidak menerima sesuatu apa pun sebagai kebenaran, kecuali bila saya melihat bahwa
hal itu sungguh-sungguh jelas dan tegas, sehingga tidak ada suatu keraguan apa pun
yang mampu merobohkannya.
2) Pecahkanlah setiap kesulitan atau masalah itu sebanyak mungkin bagian, sehingga
tidak ada suatu keraguan apa pun yang mampu merobohkannya.
3) Bimbinglah pikiran dengan teratur, dengan memulai dari hal yang sederhana dan
mudah diketahui, kemudian secara bertahap sampai pada yang paling sulit dan
kompleks.
4) Dalam proses pencarian dan penelaahan hal-hal sulit, selamanya harus dibuat
perhitungan-perhitungan yang sempurna serta pertimbangan-pertimbangan yang
menyeluruh, sehingga kita menjadi yakin bahwa tidak ada satu pun yang terabaikan
atau ketinggalan dalam penjelajahan itu (Juhaya S. Praja, 2014).

Dalam metode cogito satu-satunya hal yang tak dapat ia ragukan adalah eksistensi
dirinya sendiri yang sedang ragu-ragu. Mengenai satu hal ini tidak ada satu manusia pun
yang dapat menipunya termasuk setan licik dan botak sekali pun. Bahkan jika kemudian
ia disesatkan dalam berpikir bahwa dia ada, maka penyesatan itu pun bagi Descartes
merupakan bukti bahwa ada seseorang yang sedang disesatkan. Ini bukan khayalan,
melainkan kenyataan. Batu karang kepastian Descartes ini diekspresikan dalam bahasa
latin cogito ergo sum (saya berpikir, karena itu saya ada). Cogito ergo sum dianggap
sebagai fase yang paling penting dalam filsafat Descartes yang disebut sebagai
kebenaran filsafat yang pertama (primum philosophium). Aku sebagai sesuatu yang
berpikir adalah suatu substansi yang seluruh tabiat dan hakikatnya terdiri dari pikiran
dan keberadaannya tidak butuh kepada suatu tempat atau sesuatu yang bersifat bendawi.
Descartes, bapak dari rasionalisme berusaha menemukan suatu kebenaran yang
tidak dapat diragukan sehingga dengan menggunakan metode deduktif dapat
disimpulkan semua pengetahuan kita. Ia yakin kebenaran – kebenaran semacam itu ada
dan bahwa kebenaran – kebenaran tersebut dikenal dengan cahaya yang terang dari akal
budi sebagai hal-hal yang tidak dapat diragukan. Dengan demikian, akal budi
dipahaminya: 1) sebagai perantara khusus untuk mengenal kebenaran, 2) sebagai suatu
teknik deduktif yang dapat menemukan kebenaran – kebenaran; artinya dengan
melakukan penalaran (Juhaya S. Praja, 2014).
Sebagai penganut rasionalisme, Spinoza dianggap sebagai orang yang tepat dalam
memberikan gambaran tentang apa yang dipikirkan oleh penganut rasionalisme. Ia
berusaha menyusun sebuah sistem filsafat yang menyerupai sistem ilmu ukur
(geometri). Seperti halnya orang Yunani, Spinoza mengatakan bahwa dalil-dalil ilmu
ukur merupakan kebenaran-kebenaran yang tidak perlu dibuktikan lagi. Spinoza
meyakini bahwa jika seseorang memahami makna yang dikandung oleh kata-kata yang
dipergunakan dalam ilmu ukur, maka ia pasti akan memahami makna yang terkandung
dalam pernyataan “sebuah garis lurus merupakan jarak terdekat di antara dua buah
titik”, maka kita harus mengakui kebenaran pernyataan tersebut. Kebenaran yang
menjadi aksioma (Juhaya S. Praja, 2014). Contoh ilmu ukur (geometri) yang
dikemukakan oleh Spinoza di atas adalah salah satu contoh favorit kaum rasionalis.
Mereka berdalih bahwa aksioma dasar geometri seperti, “sebuah garis lurus merupakan
jarak yang terdekat antara dua titik”, adalah idea yang jelas dan tegas yang baru
kemudian dapat diketahui oleh manusia. Dari aksioma dasar itu dapat dideduksikan
sebuah sistem yang terdiri dari subaksioma-subaksioma. Hasilnya adalah sebuah
jaringan pernyataan yang formal dan konsisten yang secara logis tersusun dalam batas-
batas yang telah digariskan oleh suatu aksioma dasar yang sudah pasti (Jujun S.
Suriasumantri, 2003).
d) Empirisme
Para pemikir di Inggris bergerak ke arah yang berbeda dengan tema yang telah
dirintis oleh Descartes. Mereka lebih mengikuti Jejak Francis Bacon, yaitu aliran
empirisme (Harun Hadiwijono, 2004). Empirisme adalah suatu doktrin filsafat yang
menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan dan pengetahuan itu
sendiri dan mengecilkan peran akal. Istilah empirisme diambil dari bahasa
yunani empeiria yang berarti pengalaman. Sebagai suatu doktrin, empirisme adalah
lawan rasionalisme. Akan tetapi tidak berarti bahwa rasionalisme ditolak sama sekali.
Dapat dikatakan bahwa rasionalisme dipergunakan dalam kerangka empirisme, atau
rasionalisme dilihat dalam bingkai empirisme (Ahmad Tafsir, 1998). Orang pertama
pada abad ke-17 yang mengikuti aliran empirisme di Inggris adalah Thomas Hobbes
(1588-1679). Jika Bacon lebih berarti dalam bidang metode penelitian, maka Hobbes
dalam bidang doktrin atau ajaran. Hobbes telah menyusun suatu sistem yang lengkap
berdasar kepada empirisme secara konsekuen. Meskipun ia bertolak pada dasar-dasar
empiris, namun ia menerima juga metode yang dipakai dalam ilmu alam yang bersifat
matematis. Ia telah mempersatukan empirisme dengan rasionalisme matematis. Ia
mempersatukan empirisme dengan rasionalisme dalam bentuk suatu filsafat materialistis
yang konsekuen pada zaman modern.
Sebagai penganut empirisme, pengenalan atau pengetahuan diperoleh melalui
pengalaman. Pengalaman adalah awal dari segala pengetahuan, juga awal pengetahuan
tentang asas-asas yang diperoleh dan diteguhkan oleh pengalaman. Segala pengetahuan
diturunkan dari pengalaman. Dengan demikian, hanya pengalamanlah yang memberi
jaminan kepastian. Berbeda dengan kaum rasionalis, Hobbes memandang bahwa
pengenalan dengan akal hanyalah mempunyai fungsi mekanis semata-mata. Ketika
melakukan proses penjumlahan dan pengurangan misalnya, pengalaman dan akal yang
mewujudkannya. Untuk mempertegas pandangannya, Hobbes menyatakan bahwa tidak
ada yang universal kecuali nama belaka. Konsekuensinya ide dapat digambarkan
melalui kata-kata. Dengan kata lain, tanpa kata-kata ide tidak dapat digambarkan. Tanpa
bahasa tidak ada kebenaran atau kebohongan. Sebab, apa yang dikatakan benar atau
tidak benar itu hanya sekedar sifat saja dari kata-kata. Setiap benda diberi nama dan
membuat ciri atau identitas-identitas di dalam pikiran orang (Juhaya S. Praja, 2014).
Selanjutnya tradisi empiris diteruskan oleh John Locke (1632-1704) yang untuk
pertama kali menerapkan metode empiris kepada persoalan-persoalan tentang
pengenalan atau pengetahuan. Bagi Locke, yang terpenting adalah menguraikan cara
manusia mengenal. Locke berusaha menggabungkan teori-teori empirisme seperti yang
diajarkan Bacon dan Hobbes dengan ajaran rasionalisme Descartes. Usaha ini untuk
memperkuat ajaran empirismenya. Ia menentang teori rasionalisme mengenai idea-idea
dan asas-asas pertama yang dipandang sebagai bawaan manusia. Menurut dia, segala
pengetahuan datang dari pengalaman dan tidak lebih dari itu. Peran akal adalah pasif
pada waktu pengetahuan didapatkan. Oleh karena itu akal tidak melahirkan pengetahuan
dari dirinya sendiri (Harun Hadiwijono, 2004). Pada waktu manusia dilahirkan, akalnya
merupakan sejenis buku catatan yang kosong (tabula rasa). Di dalam buku catatan itulah
dicatat pengalaman-pangalaman inderawi. Seluruh pengetahuan kita diperoleh dengan
jalan menggunakan serta membandingkan ide-ide yang diperoleh dari penginderaan
serta refleksi yang pertama dan sederhana. Tapi pikiran, menurut Locke, bukanlah
sesuatu yang pasif terhadap segala sesuatu yang datang dari luar. Beberapa aktifitas
berlangsung dalam pikiran. Gagasan-gagasan yang datang dari indera tadi diolah
dengan cara berpikir, bernalar, mempercayai, meragukan dan dengan demikian
memunculkan apa yang dinamakannya dengan perenungan.
Locke menekankan bahwa satu-satunya yang dapat kita tangkap adalah
penginderaan sederhana. Ketika kita makan apel misalnya, kita tidak merasakan seluruh
apel itu dalam satu penginderaan saja. Sebenarnya, kita menerima serangkaian
penginderaan sederhana, yaitu apel itu berwarna hijau, rasanya segar, baunya segar dan
sebagainya. Setelah kita makan apel berkali-kali, kita akan berpikir bahwa kita sedang
makan apel. Pemikiran kita tentang apel inilah yang kemudian disebut Locke sebagai
gagasan yang rumit atau ia sebut dengan persepsi. Dengan demikian kita dapat
mengatakan bahwa semua bahan dari pengetahuan kita tentang dunia didapatkan
melalui penginderaan (Bambang dan Radea, 2003). Ini berarti bahwa semua
pengetahuan kita betapapun rumitnya, dapat dilacak kembali sampai kepada
pengalaman-pengalaman inderawi yang pertama-tama yang dapat diibaratkan seperti
atom-atom yang menyusun objek-objek material. Apa yang tidak dapat atau tidak perlu
dilacak kembali seperti demikian itu bukanlah pengetahuan atau setidak-tidaknya
bukanlah pengetahuan mengenai hal-hal yang faktual (Juhaya S. Praja, 2014). Di tangan
empirisme Locke, filsafat mengalami perubahan arah. Jika rasionalisme Descartes
mengajarkan bahwa pengetahuan yang paling berharga tidak berasal dari pengalaman,
maka menurut Locke, pengalamanlah yang menjadi dasar dari segala pengetahuan.
Namun demikian, empirisme dihadapkan pada sebuah persoalan yang sampai begitu
jauh belum bisa dipecahkan secara memuaskan oleh filsafat. Persoalannya adalah
menunjukkan bagaimana kita mempunyai pengetahuan tentang sesuatu selain diri kita
dan cara kerja pikiran itu sendiri (Bambang dan Radea, 2003).
e) Kantianisme
Immanuel Kant (1724-1804) dengan gigih berupaya mendamaikan pertentangan
antara rasionalisme dan empirisme, ia berpendapat bahwa pengetahuan adalah hasil
kerjasama dua unsur, yakni “pengalaman” dan “kearifan budi”. Pengalaman indrawi
datang kemudian sedangkan akal budi merupakan unsur priori (yang datang terlebih
dahulu).
f) Idealisme
Filsafat Fichte adalah filsafat pengetahuan (wissenchaftslehre) yang sekarang
dikenal dengan sebuatan epistemologi. Ia membedakan pengetahuan menjadi dua, yakni
teoritis (metafisika) dan praktis (etika).
g) Positivisme
Pelopor utama positivisme adalah Auguste Comte. Seorang filsuf prancis yang
besar pengaruhnya terhadap teknologi modern dan perkembangan sains. Comte
mengajukan tesis tentang manusia, yang mengatakan bahwa manusia berkembang
dalam tiga tahap, yakni tahap teologi,tahap metafisika dan tahap positivisme.
Positivisme adalah nyata, bukan khayalan. Ia menolak metafisika dan teologik. Comte
menyatakan bahwa ilmu pengetahuan tidak bisa melampaui fakta sehingga positivism
benar-benar menolak metafisika dan menerima adanya “das Ding an Sich” atau objek
yang tidak dapat diselidiki oleh pengetahuan ilmiah.

D. Landasan Ilmu pada Zaman Kontemporer


Perkembangan dan kemajuan peradaban manusia tidak bisa dilepaskan dari peran ilmu.
Bahkan perubahan pola hidup manusia dari waktu ke waktu sesungguhnya berjalan seperti
dengan sejarah kemajuan dan perkembangan ilmu. Tahap-tahap perkembangan itu kita
menyebut dalam konteks ini sebagai periodesasi sejarah perkembangan ilmu: sejak zaman
klasik, zaman pertengahan, zaman modern dan zaman kontenporer.
Kemajuan ilmu dan teknologi dari masa ke masa adalah ibarat mata rantai yang tidak
putus satu sama lain. Hal-hal baru yang ditemukan pada suatu masa menjadi unsur penting
bagi penemuan-penemuan lainnya di masa berikutnya. Demikian semuanya saling terkait.
Oleh karena itu, melihat sejarah perkembangan ilmu zaman kontenporer, tidak lain adalah
mengamati pemanfaatan dan pengembangan lebih lanjut dari rentetan sejarah ilmu
sebelumnya. Kondisi itulah yang kemudian yang mengalami perpecahan atau bahkan
radikalisasi yang tidak jarang berada di luar dugaan manusia itu sendiri.
1. Zaman kontemporer
Filsafat kontemporer yang di awali pada awal abad ke-20, ditandai oleh
variasi pemikiran filsafat yang sangat beragam dan kaya. Mulai dari analisis bahasa,
kebudayaan (antara lain, Posmodernisme), kritik social, metodologi (fenomenologi,
heremeutika, strukturalisme), filsafat hidup (Eksistensialisme), filsafat ilmu, samapai
filsafat tentang perempuan (Feminisme). Tema-tema filsafat yang banyak dibahas
oleh para filsuf dari periode ini antara lain tentang manusia dan bahasa manusia,
ilmu pengetahuan, kesetaraan gender, kuasa dan struktur yang mengungkung hidup
manusia, dan isu-isu actual yang berkaitan dengan budaya, social, politik, ekonomi,
teknologi, moral, ilmu pengetahuan, dan hak asasi manusia. Ciri lainnya adalah filsafat
dewasa ini ditandai oleh profesionalisasi disiplin filsafat. Maksudnya, para filsuf bukan
hanya professional di bidang masing-masing, tetapi juga mereka telah membentuk
komunitas-komunitas dan asosiasi-asosiasi professional dibidang-bidang tertentu
berdasarkan pada minat dan keahlian mereka masing-masing (Zaenal, 2011: 124).
Sejumlah filsuf sebagai filsuf-filsuf kontemporer antara lain adalah: WilhelmDilthey
(1833-1911), Edmund Husserl (1859-1938), Henri Bergson (1858-1941), Ernst Cassirer
(1874-1945), Bertrand Russell (1872-1970) dll.

2. Karakteristik Kehidupan Kontemporer


Kontemporer menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai waktu yang
semasa, dewasa ini, atau masa kini. Karena itu, kehidupan kontemporer berarti ialah suatu
kehidupan yang mengandung segala gejala, fenomena, paradigma dan dunia yang sedang
berlangsung dan masih terjadi hingga saat ini. Kehidupan di masa kontemporer ini juga
tentunya telah memiliki banyak perbedaan yang signifikan dibandingkan dengan
kehidupan di masa-masa sebelumnya, beberapa karakteristik kehidupan kontemporer yang
ada di masa kini ialah sebagai berikut:
a) Kemudahan akses informasi
Berbagai kemajuan di bidang teknologi telah menyebar di masa kontemporer ini.
Dimulai dari teknologi mesin yang canggih hingga benda-benda media elektronik,
seperti internet, televisi, hingga telepon genggam yang mesti dimiliki oleh setiap orang.
Menyebarnya alat-alat canggih ini pun ikut berperan dalam membentuk karakter
masyarakat yang baru dan hanya ada di masa kini. Karakter masyarakat kini lebih sering
menghabiskan waktu di depan benda-benda elektronik mereka. Berkat alat-alat canggih
ini pula berbagai informasi lebih mudah didapatkan Pada masa kontemporer ini,
informasi merupakan bagian dari keseharian masyarakat yang tidak bisa dihindari.
Sebab, di dalam kesehariannya terdapat banyak sekali media yang mempublikasikan
berbagai informasi kepada khalayak umum. Informasi tersebut pula dapat disaksikan
secara langsung melalui media dengan tanpa hambatan, jika dibandingkan dengan
zaman-zaman sebelumnya maka tentunya kecepatan memperoleh informasi pada masa
kontemporer ini lebih menarik bagi masyarakat. Berbagai informasi yang penting
maupun tidak penting pun selalu turut menjadi perhatian dan obrolan bagi masyarakat.
Meskipun informasi tersebut merupakan informasi pribadi yang seharusnya tidak layak
dipublikasikan. Banyaknya informasi yang diperoleh pada masa kontemporer ini pula
menjadikan masyarakat terlalu sibuk mengurusi informasi kehidupan orang lain yang
mereka obrolkan. Bahkan, apabila seseorang tertinggal beberapa informasi saja ia bisa
dikucilkan dan dianggap tidak bisa bergaul. Karena itu, bentuk kelompok sosial yang
dominan dimiliki oleh masyarakat kontemporer kini ialah berbentuk kelompok sosial
yang selalu up to date atau mengetahui kabar informasi terkini. Karena mengurusi
informasi kehidupan orang lain itulah yang menjadikan masyarakat masa kini kurang
perhatian terhadap pribadinya sendiri, mereka cenderung lebih mencontoh orang yang
mereka idolakan di media sosial mereka.
b) Kebutuhan, keinginan dan rutinitas yang kompleks
Seiring berkembangnya zaman dan kemajuan teknologi, kini berbagai kebutuhan
lebih mudah didapatkan dan lebih beragam, dimulai dari kebutuhan sandang maupun
pangan. Berbeda dari zaman-zaman sebelumnya, kebutuhan begitu terbatas dan tidak
banyak ragamnya. Oleh karena itu, masyarakat kini lebih memiliki banyak tujuan yang
hendak diraihnya dalam kehidupan, dimulai dari memenuhi kebutuhan, kekayaan, status
sosial, dan beragam keinginan hasrat yang ingin dipenuhi. Munculnya berbagai
kebutuhan sebagai komoditas terpenting dalam pemenuhan kehidupan, turut pula
membentuk karakter masyarakat yang materialistis dan konsumeris. Karakter
masyarakat yang terbentuk karena berbagai kebutuhan ini menjadikan pula masyarakat
sibuk untuk memenuhinya. Rutinitas keseharian masyarakat kontemporer kini lebih
dimotivasi oleh rasa ingin memenuhi hasrat kebutuhan dan keinginan yang beragam.
Motivasi itu timbul karena mereka terlena dalam gemerlap berbagai barang-barang dan
hal-hal menarik yang ada di masa kini, meskipun hal tersebut bukanlah termasuk ke
dalam kebutuhan sehari-hari mereka. Karena itu pula tidak jarang dari mereka sampai
rela menghabiskan seluruh waktunya hanya untuk memenuhi keinginan tersebut. Hal
tersebut memang bukanlah perbuatan yang salah, tetapi hal tersebut dapat menjadi
penyebab hilangnya arti kehidupan yang mereka jalani.
c) Berorientasi kepada data-data dan kebenaran objektif
Pengetahuan sains dan filsafat memang tidak pernah habis dan akan terus
berkembang setiap zaman, begitu pula di zaman kontemporer. Pengetahuan pada masa
kontemporer kini lebih cenderung kepada data-data statistik yang dapat dikuantifikasi,
dan menganggap kurang penting data-data yang bersifat kualitatif. Hal ini disebabkan
oleh paradigma pengetahuan yang positivistik dan pragmatik yang berlaku di masa kini.
Maka dengan kata lain, zaman kontemporer cenderung menganggap bahwa kemajuan
teknologi yang dapat digunakan secara praktis lebih bermanfaat daripada kemajuan
berpikir dalam meningkatkan kualitas individu. Karena, teknologi dapat diamati secara
objektif dan dapat dirasakan langsung bentuk kegunaannya. Orientasi yang bersifat
objektif ini pula yang membentuk paradigma masyarakat menjadi positivistik.
Paradigma tersebut diperoleh melalui pendidikan di sekolah-sekolah dan lingkungan
yang menunjukkan akan kemajuan teknologi dan sains. Masyarakat yang kagum akan
kemajuan teknologi dan sains perlahan mulai melupakan tradisi lama mereka yang
cenderung berorientasi kepada nilai-nilai ajaran spiritual. Meskipun kemajuan teknologi
dan sains bernilai sangatlah bagus bagi peradaban, tetapi meninggalkan tradisi nilai-
nilai ajaran spiritual merupakan hal yang salah, karena ia mengajarkan tentang moral
dan kualitas kehidupan manusia.
d) Mengutamakan satu keahlian tertentu
Salah satu karakteristik kehidupan kontemporer yang ada kini adalah selalu
mengutamakan keahlian seseorang di bidang tertentu. Berbagai kemajuan di masa
kontemporer kini telah membentuk sistem kelompok individu menjadi dua, yaitu
kelompok yang ahli dan bukan ahli. Pembagian tersebut tidaklah dibentuk secara
sengaja, melainkan ia alami karena paradigma dan orientasi masyarakat kontemporer itu
sendiri. Orientasi masyarakat kontemporer yang cenderung positivistik menjadikan
disiplin ilmu pun terbagi menjadi beberapa macam, seperti ilmu sosial, hukum, dan
sains. Kemajuan di masa kontemporer yang mengutamakan teknologi dan ilmu praktis
ini pula telah memaksa masyarakat untuk menjadi ahli di bidang-bidang tertentu guna
mendapatkan pekerjaan. Satu hal yang merugikan dari pembagian keahlian ini ialah
apabila seseorang yang tidak ahli di dalam bidang tertentu, atau seseorang yang
mengambil gelar dan keahlian bukan di bidang praktis. Maka ia tidak ada pilihan lain
selain menjadi seorang yang terbuang dan sulit mendapat pekerjaan. Padahal, masih
terdapat banyak potensi dirinya yang bisa digunakan. Tetapi karena ia mengambil gelar
dan keahlian yang tidak dibutuhkan di masa kini, maka ia dijustifikasi sebagai orang
yang tidak ahli. Penjustifikasian ini pula telah membatasi keberadaan manusia itu di
dunia. Meskipun pada dasarnya keahlian di bidang tertentu merupakan sesuatu yang
sangat penting, tetapi lebih penting lagi apabila seseorang itu dinilai dari totalitasnya.
e) Masalah hidup dan masalah kriminal yang lebih kompleks
Tidak bisa dipungkiri bahwa masalah merupakan sesuatu yang selalu hadir di
dalam kehidupan. Begitu pula berlaku di masa kontemporer, berbagai kebutuhan dan
keinginan yang hendak dicapai oleh setiap orang di masa kontemporer kini bisa
membentuk suatu masalah baru yang semakin kompleks. Jika dibandingkan dengan
masa-masa sebelumnya, masalah hidup yang dihadapi tidak begitu kompleks karena
mereka menjalani hidup dengan apa adanya. Namun, di masa kontemporer yang penuh
dengan kemajuan teknologi ini masalah menjadi begitu kompleks. Hidup yang apa
adanya itu tidak berlaku lagi di masa kini, berbagai kebutuhan telah mendesak manusia
kini untuk mencapai segala pemenuhan kebutuhannya. Dimulai dari kebutuhan sandang
pangan yang beragam, kebutuhan listrik, air, bahan bakar kendaraan, hingga kebutuhan
telekomunikasi. Padahal selain itu, kebutuhan yang lebih penting adalah peningkatan
nilai moral dan kualitas hidup. Masalah kriminal yang hadir di masa kontemporer kini
pun lebih beragam dan kompleks, dimulai dari masalah penyalahgunaan narkoba,
penyebaran berita palsu, pencemaran nama baik, penipuan berbasis online, hingga
penyalahgunaan wewenang. Karena itulah pendidikan moral dan pengenalan nilai
spiritualitas lebih penting untuk mengatasi masalah ini. Namun, karena paradigma
positivistik yang berlaku di masa kontemporer kini telah menutup mata masyarakat dari
nilai-nilai luhur moral yang seharusnya juga menjadi pedoman hidup bagi manusia.
Beberapa karakteristik kehidupan kontemporer tersebut merupakan beberapa gambaran
tentang kehidupan pada masa kini. Karakteristik tersebut mengandung dimensi fisik
berupa kemajuan teknologi dan dimensi nonfisik berupa pemikiran dan paradigma
masyarakat pada masa kontemporer.
3. Perkembangan Ilmu Pengetahuan Zaman Kontemporer
Zaman ini bermula dari abad 20 M dan masih berlangsung hingga saat ini. Zaman ini
ditandai dengan adanya teknologiteknologi canggih, dan spesialisasi ilmu-ilmu yang
semakin tajam dan mendalam. Pada zaman ini bidang fisika menempati kedudukan paling
tinggi dan banyak dibicarakan oleh para filsuf. Sebagian besar aplikasi ilmu dan teknologi
di abad 21 merupakan hasil penemuan mutakhir di abad 20. Pada zaman ini, ilmuwan yang
menonjol dan banyak dibicarakan adalah fisikawan. Bidang fisika menjadi titik pusat
perkembangan ilmu pada masa ini. Fisikawan yang paling terkenal pada abad ke-20 adalah
Albert Einstein. Ia lahir pada tanggal 14 Maret 1879 dan meninggal pada tanggal 18 April
1955 (umur 76 tahun). Alberth Einstein adalah seorang ilmuwan fisika. Dia
mengemukakan teori relativitas dan juga banyak menyumbang bagi pengembangan
mekanika kuantum, mekanika statistik, dan kosmologi.
Dia dianugerahi Penghargaan Nobel dalam Fisika pada tahun 1921 untuk
penjelasannya tentang efek fotoelektrik dan “pengabdiannya bagi Fisika Teoretis”.
Karyanya yang lain berupa gerak Brownian, efek fotolistrik, dan rumus Einstein yang
paling dikenal adalah E=mc². Di artikel pertamanya di tahun1905 bernama “On the
Motion-Required by the Molecular Kinetic Theory of Heat-of Small Particles Suspended in
a Stationary Liquid“, mencakup penelitian tentanggerakan Brownian. Menggunakan teori
kinetik cairan yang pada saat itu kontroversial, dia menetapkan bahwa fenomena, yang
masih kurang penjelasan yang memuaskan setelah beberapa dekade setelah ia pertama kali
diamati, memberikan bukti empirik (atas dasar pengamatan dan eksperimen) kenyataan
pada atom. Dan juga meminjamkan keyakinan pada mekanika statistika, yang pada saat itu
juga kontroversial.
Pada zaman ini juga melihat integrasi fisika dan kimia, pada zaman ini disebut
dengan “Sains Besar”. Linus Pauling (1953) mengarang sebuah buku yang berjudul The
Nature of Chemical Bond menggunakan prinsip-prinsip mekanika kuantum. Kemudian,
karya Pauling memuncak dalam pemodelan fisik DNA, “rahasia kehidupan”. Pada tahun
ini juga James D. Watson, Francis Crick dan Rosalind Franklin menjelaskan struktur dasar
DNA, bahan genetik untuk mengungkapkan kehidupan dalam segala bentuknya. Hal ini
memicu rekayasa genetika yang dimulai tahun 1990 untuk memetakan seluruh manusia
genom (dalam Human Genome Project) dan telah disebut-sebut sebagai berpotensi
memiliki manfaat medis yang besar.
Selain kimia dan fisika, teknologi komunikasi dan informasi berkembang pesat pada
zaman ini. Sebut saja beberapa penemuan yang dilansir oleh nusantaranews.wordpress.com
sebagai penemuan yang merubah warna dunia, yaitu: Listrik, Elektronika (transistor dan
IC), Robotika (mesin produksi dan mesin pertanian), TV dan Radio, Teknologi Nuklir,
Mesin Transportasi, Komputer, Internet, Pesawat Terbang, Telepon dan Seluler, Rekayasa
Pertanian dan DNA, Perminyakan, Teknologi Luar Angkasa, AC dan Kulkas, Rekayasa
Material, Teknologi Kesehatan (laser, IR, USG), Fiber Optic, dan Fotografi (kamera,
video). Kini, penemuan terbaru di bidang Teknologi telah muncul kembali. sumber lain
telah memberitakan penemuan “Memristor”. Ini merupakan penemuan Leon Chua,
profesor teknik elektro dan ilmu komputer di University of California Berkeley.
Keberhasilan itu menghidupkan kembali mimpi untuk bisa mengembangkan sistem-sistem
elektronik dengan efisiensi energi yang jauh lebih tinggi daripada saat ini. Caranya,
memori yang bisa mempertahankan informasi bahkan ketika power-nya mati, sehingga
tidak perlu ada jeda waktu untuk komputer untuk boot up, misalnya, ketika dinyalakan
kembali dari kondisi mati. Hal ini digambarkan seperti menyala-mematikan lampu listrik,
ke depan komputer juga seperti itu (bisa dihidup-matikan dengan sangat mudah dan cepat).

E. Kemajuan Ilmu Menuju Abad 21


Sebagian besar aplikasi ilmu dan teknologi di abad 21 merupakan hasil penemuan
mutakhir di abad 20. Salah satu fenomena yang terjadi pada abad 21 adalah era globalisasi
yang ditandai dengan mengalirnya beragam sumber daya fisik maupun nonfisik (data,
informasi, dan pengetahuan) (Fakhruddin et al, 2013). Memasuki abad 21, abad dimana
berbagai informasi dapat diperoleh oleh semua orang di penjuru dunia. Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi (IPTEK) juga berkembang begitu pesat serta perkembangan otomasi dimana
banyak pekerjaan yang sifatnya pekerjaan rutin dan berulang-ulang mulai digantikan oleh
mesin, baik mesin produksi maupun komputer. Pesatnya perkembangan IPTEK berimbas
pada tantangan dan persaingan global yang dihadapi oleh setiap negara, khususnya Indonesia.
Terciptanya sumber daya manusia yang berkualitas sangat diperlukan untuk mengatasi
tantangan dan persaingan global tersebut. Adanya sumber daya manusia berkualitas
diharapkan mampu untuk berkompetisi dengan masyarakat luas, khususnya di dunia
pekerjaan.
Pada abad ke-21 juga dikenal dengan masa pengetahuan (knowledge age), dalam era ini,
semua alternative yang berupaya untuk pemenuhan kebutuhan hidup dalam berbagai konteks
lebih berbasis pengetahuan. Upaya pemenuhan kebutuhan bidang pendidikan berbasis
pengetahuan (knowledgge based education), pengembangan ekonomi berbasis pengetahuan
(knowledge based economic), pengembangan dan pemberdayaan masyarakat berbasis
pengetahuan (knowledge based social empowering), dan pengembangan dalam bidang
industri pun berbasis pengetahuan (knowledgge based industry) (Mukhadis, 2013).
Badan Standar Nasional Pendidikan (2010) menjelaskan beberapa karakteristik abad 21
yaitu:
1. Perhatian yang semakin besar terhadap masalah lingkungan hidup, berikut implikasinya
terutama terhadap pemanasan global. energi, pangan, kesehatan, dan lingkungan;
2. Dunia kehidupan akan semakin dihubungkan oleh teknologi informasi, berikut
implikasinya terutama terhadap ketahanan dan sistim pertahanan, pendidikan, industri,
dan komunikasi;
3. Ilmu pengetahuan akan semakin converging, berikut implikasinya terutama terhadap
penelitian, filsafat ilmu, paradigma pendidikan, dan kurikulum;
4. Kebangkitan pusat ekonomi dibelahan Asia Timur dan Tenggara berikut implikasinya
terhadap politik dan strategi ekonomi, industri, dan pertahanan;
5. Perubahan dari ekonomi berbasis sumber daya alam serta manusia kearah ekonomi
berbasis pengetahuan berikut dengan implikasinya terhadap kualitas sumber daya insani,
pendidikan, dan lapangan kerja;
6. Perhatian yang semakin besar pada industri kreatif dan industri budaya berikut
implikasinya terutama terhadap kekayaan dan keanekaan ragam budaya, pendidikan
kreatif, entrepreneurship, technopreneurship, dan rumah produksi;
7. Budaya akan saling imbas mengimbas dengan teknosains berikut implikasinya terutama
terhadap karakter, kepribadian, etika, hukum, kriminologi, dan media;
8. Perubahan paradigma universitas, dari “Menara Gading” ke “Mesin Penggerak
Ekonomi”.
Ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang disusun secara konsisten dan
kebenarannya telah teruji secara empiris. Ilmu tidak bersifat absolut. Ilmu tidak bertujuan
mencari kebenaran melainkan kebenaran yang bermanfaat bagi manusia dalam tahap
perkembangan tertentu. Hipotesis-hipotesis yang sampai saat ini tidak ditolak kebenarannya,
dan mempunyai manfaat bagi kehidupan dianggap sebagai pengetahuan yang shahih. Dalam
proses keilmuan bahwa hipotesis ini kemudian hari ternyata tidak benar, bagi seseorang hal
itu tidaklah terlalu penting selama hipotesis ini mempunyai kegunaan (Adib, 2011).
Ilmu pengetahuan merupakan sesuatu yang terus berkembang dari waktu ke waktu.
Perkembangannya yang terus beradaptasi terhadap perkembangan zaman dan kebutuhkan
manusia akan memudahkan manusia itu sendiri. Seperti contoh kendaraan, dulu manusia
memanfaatkan hewan seperti kuda, sapi, dan lain-lain. Namun semakin berkembangnya
pemikiran manusia, sehingga mereka dapat memikirkan sesuatu yang lebih, utamanya dari
alam dimana mereka menemukan fenomena-fenomena alam, yang sampai akhirnya zaman
sekarang sepeda motor menggantikan hewan transportasi secara massal walaupun masih ada
yang mempertahankan hewan transportasi. Begitu pesatnya kemajuan perkembangan ilmu
pengetahuan.
Pada masa sekarang ini perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga semakin
pesat di karenakan semakin maju dan modernnya sumber daya fikir manusia yang berhasil
menciptakan berbagai teknologi yang di talarkan melalui ilmu pengetahuan dan juga di
dukung dengan penemuan fasilitas-fasilitas modern yang ada, seperti halnya teknologi
elektronik hand phone, laptop, gedget, dll. Terdapat juga fasilitas internet yang sangat
mendukung dan memudahkan kita dalam mencari dan mengupdate berita-berita tentang
segala hal terutama dalam ilmu pengetahuan yang ada di seluruh dunia dengan cepat, mudah,
dan murah.
Seiring berkembangnya teknologi ilmu pengetahuan masa kini, di imbangi juga dengan
meningkatnya penyedia layanan pendukung dalam memberikan informasi. Selain itu juga
sumber daya manusia yang semakin pintar dan teliti dalam memilah-milah kemajuan ilmu
pengetahuan yang ada untuk dimanfaatkan sebagai resensi dalam mengatur ke depan agar
lebih baik lagi, di samping untuk menambah ilmu pengetahuan juga sebagai pedoman untuk
masa yang akan datang.
Perkembangan ilmu sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari rasa keingintahuan yang
besar diiringi dengan usaha-usaha yang sungguh-sungguh melalui penalaran, percobaan,
penyempurnaan, dan berani mengambil resiko tinggi sehingga menghasilkan penemuan-
penemuan yang bermanfaat bagi suatu generasi dan menjadi acuan pertimbangan bagi
generasi selanjutnya untuk mengoreksi, menyempurnakan, mengembangkan, dan menemukan
penemuan selanjutnya. Faktor-faktor inilah yang kemudian menjadi spirit dan motivasi bagi
pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal terpenting adalah bahwa
pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan harus bisa diimbangi dengan pengembangan
moralitas spiritual, karena sebagaimana kita tahu bahwa Ilmu pengetahuan hakekatnya adalah
bebas nilai, tergantung bagaimana manusia mempergunakannya. Ilmu pengetahuan bisa
berdampak positif, tetapi ia juga dapat memiliki dampak negatif bagi kehidupan manusia.
Dampak positifnya adalah dapat semakin mempermudah dan memberikan kenyamanan dalam
kehidupan manusia, sementara dampak negatifnya adalah dapat menghancurkan tatanan
kehidupan manusia itu sendiri (Karim, 2014).
Pendidikan sains saat ini diarahkan untuk mempersiapkan siswa agar sukses hidup di
abad 21. Abad ke-21 baru berjalan satu dekade, namun dalam dunia pendidikan sudah
dirasakan adanya pergeseran, dan bahkan perubahan yang bersifat mendasar pada tataran
filsafat, arah serta tujuannya. Kemajuan ilmu tersebut dipicu oleh lahirnya sains dan teknologi
komputer. Dengan suatu piranti, kemajuan sains dan teknologi terutama dalam bidang
cognitive science, bio-molecular, information technology dan nano-science kemudian menjadi
kelompok ilmu pengetahuan yang mencirikan abad ke-21. Salah satu ciri yang paling
menonjol pada abad ke-21 adalah semakin bertautnya dunia ilmu pengetahuan, sehingga
sinergi di antaranya menjadi semakin cepat. Dalam konteks pemanfaatan teknologi informasi
dan komunikasi di dunia pendidikan, telah terbukti semakin menyempitnya dan meleburnya
faktor “ruang dan waktu” yang selama ini menjadi aspek penentu kecepatan dan keberhasilan
penguasaan ilmu pengetahuan oleh umat manusia (BSNP:2010).
Saat ini pendidikan berada di masa pengetahuan (knowledge age) dengan percepatan
peningkatan pengetahuan yang luar biasa. Percepatan peningkatan pengetahuan ini didukung
oleh penerapan media dan teknologi digital yang disebut dengan information super highway.
Gaya kegiatan pembelajaran pada masa pengetahuan (knowledge age) harus disesuaikan
dengan kebutuhan pada masa pengetahuan (knowledge age). Bahan pembelajaran harus
memberikan desain yang lebih otentik untuk melalui tantangan di mana peserta didik dapat
berkolaborasi menciptakan solusi memecahkan masalah pelajaran. Pemecahan masalah
mengarah ke pertanyaan dan mencari jawaban oleh peserta didik yang kemudian dapat dicari
pemecahan permasalahan dalam konteks pembelajaran menggunakan sumber daya informasi
yang tersedia (Trilling & Gates, dalam Wijaya et al, (2016)).
Sains berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga sains
bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep,
atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan (Pratiwi et al, 2019).
Salah satu keterampilan yang diperlukan dalam abad 21 adalah literasi sains (Liu, 2009).
Literasi sains merupakan keterampilan untuk hidup di era abad 21 dimana pengetahuan ilmiah
menjadi landasan dalam kehidupan sehari-hari (Gultepe & Kilic, 2015). Kemampuan literasi
sainsmerupakan kemampuan berpikir secara ilmiah dan kritis dan menggunakan pengetahuan
ilmiah untuk mengembangkan keterampilan membuat keputusan.
Holbrook dan Rannikmae (2009) dalam jurnalnya The Meaning of Science, menyatakan
literasi sains berarti penghargaan pada ilmu pengetahuan dengan cara meningkatkan
komponen belajar dalam diri agar dapat memberikan kontribusi pada lingkungan sosial.
Mereka menggambarkan terdapat dua kelompok utama orang yang memiliki pandangan
tentang scientific literacy, yaitu kelompok “science literacy” dan kelompok “scientific
literacy”. Kelompok pertama “science literacy” memandang bahwa komponen utama literasi
sains adalah pemahaman konten sains yaitu konsep–konsep dasar sains. Pemahaman
kelompok pertama inilah yang banyak dipahami oleh guru sains saat ini baik di Indonesia
maupun di luar negeri. Rychen & Salganik (2003) mengatakan kelompok kedua “scientific
literacy” memandang literasi sains searah dengan pengembangan life skills, yaitu pandangan
yang mengakui perlunya keterampilan bernalar dalam konteks sosial dan menekankan bahwa
literasi sains diperuntukan bagi semua orang, bukan hanya kepada orang yang memilih karir
dalam bidang sains atau spesialis dalam bidang sains.

Anda mungkin juga menyukai