Filsuf-filsuf pertama
1. Latar Belakang
Filsafat Yunani Kuno mulai sejak abad ke-6 SM. Pada masa ini, filsafat digunakan
untuk memberikan makna bagi dunia dalam cara yang bukan religius. Hal ini menyangkut
tema-tema yang bervariasi dan luas, yaitu astronomi, matematika, politik, filsafat, etika,
metafisika, ontologi, logika, biologi, retorika, dan estetika.
Perhatian dari filsafat pra-sokrates menelurusi dan mengenali “suatu hal di seberang
sana” dari sejumlah fenomena dan perubahan alam yang terus-menerus, serta sekaligus
kesatuan yang berlangsung dalam alam sendiri sebagai sebuah dunia; substansi unik yang
membentuk keberadaannya, hukum unik yang mengatur perubahannya. Substansi bagi para
filsuf pra-sokrates adalah materi yang darinya semua hal tersusun. Akan tetapi, substansi juga
adalah energi yang menjelaskan komposisinya tentang kelahiran dan kematian dan juga
perubahannya yang abadi. Substansi adalah prinsip yang bukan hanya dalam arti menjelaskan
asal-usulnya, melainkan juga, khusus dalam arti memberikan kejelasan dan membawa kepada
kesatuan dari keanekaragaman dan perubahan yang tampak pada pengamatan pertama
sedemikian pelik untuk pertimbangan kesatuan. Dari sinilah berasal karakter aktif dan dinamis
bahwa alam (physis) bagi para filsuf pra-sokrates: alam bukanlah substansi dalam “sifat
ketidakberubahannya” (immobilità), tetapi substansi sebagai “prinsip dari tindakan” dan
“prinsip kejelasan bagi diri” dari semua yang beranekaragam dan dalam perubahannya
(principi). Dari sini, juga berasal apa yang disebut sebagai “hylezoisme” (teori tentang materi
yang hidup) dari para filsuf prasokrates. Pemikiran ini menyiratkan bahwa substansi primordial
yang berwujud terdapat dalam suatu energi yang membuat sesuatu bergerak dan hidup.3
1 Bernard Delfgaauw, A Concise History of Philosophy, hlm. 1; Selain itu, Alfred North Whitehead mencatat: “Karakterisasi
umum yang paling menonjol dari tradisi filosofis Eropa merupakan sebuah seri dari catatan kaki terhadap karya-karya
Plato” (Lih. Alfred North Whitehead, Process and Reality, Part II, Chap. I, Sect. I.).
2 G.W.F. Hegel, The Philosophy of History, hlm. 27.
3 Lih. Nicola Abbagnano, Storia della Filosofia, hlm. 14.
4 Lih. Nicola Abbagnano, Storia della Filosofia, hlm. 3-5.
1
yang melakukan perjalanan secara khusus ke Mesir: Phytagoras pergi ke Mesir, Demokritos ke
wilayah Timur, dan Plato juga pergi ke Mesir.
Barangkali hal lebih mirip dengan asal-usul ilmu pengetahuan. Sejarawan Herodotos
Yunani (484 – 425 SM) mengatakan bahwa geometri lahir di Mesir untuk kepentingan
mengukur luas tanah di Mesir setelah peristiwa banjir sungai Nil. Menurut tradisi lain,
astronomi lahir di Babilonia, dan aritmatika juga lahir di Mesir. Jika orang Babilonia
mengembangkan astronomi, kepentingannya adalah soal kepercayaan akan ramalan hidup
manusia berdasarkan rasi bintang-bintang (astrologi). Demikian juga, aritmatika digunakan
bangsa Mesir demi kepentingan praktis. Tidak demikian bagi bangsa Yunani, ilmu-ilmu itu
digunakan bukan untuk kepentingan praktis, melainkan untuk kepentingan teoritis. Bagi
bangsa Yunani, ilmu pengetahuan dipelajari bukan untuk mencari “keuntungan praktis”
melainkan “ilmu pengetahuan tanpa pamrih” (la scienza disinteressata). Di sini, ada kesamaan
dan ketidaksamaan antara tradisi ilmu pengetahuan Timur dan ilmu pengetahuan Yunani.
Ilmu pengetahuan dari Timur Kuno ini memberikan sumbangan pengetahuan pada
bangsa Yunani. Sumbangan pengetahuan itu berciri kontinuitas dan diskontinuitas.
Kontinuitasnya terdapat pada materi ilmu yang sama baik bagi bangsa-bangsa Timur Kuno
maupun bangsa Yunani (geometri, astronomi, aritmatika). Diskontinuitasnya terdapat pada
cara mengaplikasikan ilmu pengetahuan. Bangsa-bangsa Timur Kuno memakainya demi
kepentingan praktis sementara bangsa Yunani menggunakannya demi kepentingan teoritis.
5 Phytagoras membandingkan hidup seperti pesta besar di Olimpus tempat orang melakukan pesta; ada yang sibuk
dengan urusan pesta; ada yang terlibat dalam pacuan kuda; ada yang melakukan mabuk-mabukan, dan akhirnya ada
sejumlah orang yang hanya “untuk melihat” apa yang terjadi dalam pesta; Yang terakhir ini adalah kelompok para
filsuf. Kisah ini menggarisbawahi sebuah jarak dalam kontemplasi dari para filsuf dan peristiwa yang dialami oleh orang
pada umumnya (Tuscolare V, 9; Diog. L., Proemium, hlm. 12).
2
pandangan Yunani, seorang yang mempunyai kebijaksanaan sebagai milik definitif sudah
melampaui kemampuan insani. Orang demikian telah melangkahi batas-batas sebagai manusia.
Memiliki kebijaksanaan berarti mencapai status adimanusiawi. Karena manusia bukan dewa,
manusia harus puas sebagai “pencinta kebijaksanaan” dalam philosophia.6
Menurut orang-orang Yunani, setiap orang dapat berfilsafat karena manusia adalah
makhluk berpikir (animale ragionevole) dan kemampuan berpikirnya mengisyaratkan
kemungkinan untuk mencari dengan cara tertentu tentang kebenaran. Mereka juga meyakini
bahwa filsafat Yunani adalah pencarian rasional yakni pencarian secara bebas tidak bergantung
kepada kebenaran yang sudah terwujud atau kebenaran yang dinyatakan, tetapi kebenaran yang
didasarkan pada kekuatan akal budi. Hal ini ditegaskan: “Kami mencintai keindahan dengan
pikiran yang sederhana dan kami berfilsafat tanpa sebuah ketakutan [terhadap tradisi,
kebiasaan, keyakinan pada umumnya]”.7
Hal penting yang patut dicatat adalah kedudukan mythos dan logos. Sejak abad ke-6
SM, bangsa Yunani mulai mengajukan jawaban-jawaban rasional terhadap problem-problem
3
yang diajukan oleh alam semesta. Sebelum itu, jawaban yang diberikan bersifat mitologis,
tetapi setelah jawaban yang dicari bersifat logis. Karena itu, seluruh perjalanan filsafat Yunani
dapat dianggap sebagai suatu pergumulan yang panjang antara mythos dan logos. Kalau kita
mengatakan bahwa filsafat Yunani lahir karena logos telah mengalahkan mythos, filsafat harus
dipahami sebagai filsafat dan ilmu pengetahuan sebagai satu-kesatuan. Bagi orang Yunani,
filsafat merupakan suatu pandangan rasional tentang segala-galanya.
Kedua, bangsa Yunani menghayati agama misteri yang berkembang abad ke-6 SM.
Agama misteri ini merupakan bagian dari kultus Dionisius. Di dalamnya, ada jejak kultus
Demetra yang di dalamnya dirayakan oleh kelompok Orfisme. Aliran religius yang konon
didirikan oleh penyair Orpheus. Aliran religius ini merayakan pemurnian jiwa agar jiwa dapat
ditempatkan dalam” lingkaran kelahiran”, yaitu pemindahan badan kepada kehidupan yang
lain. Pengajaran mendasar dari kelompok Orfisme yang berisi ajaran pengetahuan dan pada
umumnya aktivitas refleksi seperti perjalanan kehidupan, yaitu seperti suatu pencarian yang
membawa kepada hidup sejati manusia. Dalam cara yang sama, mereka harus mempelajari dan
mempraktekkan ajaran filsafat Plato; terutama ajaran Plato dalam buku Fedone yang secara
eksplisit merupakan kepercayaan kelompok Orfisme.
Ketiga, kesusastraan Yunani mempengaruhi perkembangan filsafat Yunani.
Kesusastraan ini seperti sebuah persiapan bagi filsafat Yunani. Di satu pihak, refleksi moral
dari puisi-puisi yang berkembang di Yunani menjadi konsep dasar bagi para filsuf Yunani
untuk menafsirkannya bagi dunia. Konsep dari sebuah hukum yang memberikan persatuan
dunia manusiawi ditemukan pertama kali dalam puisi Odissea karya Homeros. Odissea
didominasi seluruhnya oleh kepercayaan kepada sebuah hukum keadilan. Di dalam
kepercayaan itu, dewa-dewa menjadi pelindung dan penjamin hukum yang menentukan sebuah
tatanan yang bernasib mujur dalam peristiwa manusia. Dengan demikian, orang yang benar
akan menang dan orang yang salah akan dihukum. Menurut Hesiodos, hukum ini
dipersonifikasikan dalam Dike, anak perempuan Zeus yang duduk di samping ayahnya dan
mengamati sampai semua manusia yang melakukan ketidakadilan dihukum. Pelanggaran pada
hukum ini tampak dalam Hesiodos sendiri seperti keangkuhan (hybris) yang harus
membebaskan nafsu dan kekuatan irasional. Karya-karya kesusastraan lain adalah Archilos,
Mnermo, Teognide, Solone. Berhadapan dengan situasi ketidakadilan, filsafat menemukan dan
menilai kesatuan hukum yang di dalamnya keanekaragaman menghilang dari fenomen-
fenomen alamiah; puisi Yunani telah menemukan dan menilai kesatuan hukum sebagai
persiapan bagi filsafat.
Di lain pihak, syair-syair lama digunakan untuk semacam pendidikan untuk rakyat
Yunani. Dalam dialog Politeia, Plato mengatakan bahwa Homeros telah mendidik seluruh
Hellas. Peranan syair-syair Homeros dalam kebudayaan Yunani dapat dibandingkan dengan
peranan wayang dalam budaya Jawa atau upasa-upasa dalam budaya Batak. Karena puisi-puisi
Homeros disukai rakyat Yunani digunakan untuk mengisi waktu luang dan serentak bernilai
edukatif. Aristoteles mengutip Homeros di samping filsuf-filsuf lain (Metafisica 1009b),
seakan-akan ia mau menggolongkannya dalam deretan para filsuf, padahal Homeros adalah
seorang penyair.
Keempat, refleksi moral dalam legenda tujuh orang bijak memberikan kontribusi pada
filsafat Yunani. Mereka adalah Thales dari Miletos, Bias dari Priëne, Pittakos dari Mytilene,
Solon dari Athena, Kleoboulos dari Lindos, Khiloon dari Sparta, dan Periandros dari
Korinthos. Thales mempunyai motto “Kenalilah dirimu sendiri”; Bias dengan motto “Hal yang
berlebihan itu jahat” dan juga “Tanggung jawab adalah ciri manusia”; Pittakos dengan motto
4
“Tahu bagaimana menggunakan kesempatan”; Solon dengan motto “Bawalah hal-hal penting
ke hati”; Kleoboulos dengan motto “Optimal adalah ukurannya”; Periandros dengan motto
“Selidikilah kata-kata berangkat dari segala hal”; Khiloon dengan motto “Jagalah dirimu
sendiri” dan “Jangan menginginkan ketidakmustahilan”. Bukanlah kebetulan bahwa orang
pertama dari tujuh orang bijak adalah Thales, ini seperti perwakilan sejati dari filsafat Yunani.
5
Filsafat Yunani sebagai cikal-bakal sejarah filsafat mempunyai periode-periodenya.
Masa periode ini dapat dimaknai sebagai pusat perhatian dan sekaligus hasil kritik. Periode ini
menegaskan pusat perhatian filsafat yang menjadi fokus pemikiran para filsuf pada zaman itu.
Selain itu, periode mengindikasikan ada periode sebelumnya yang telah berlalu. Suatu periode
lahir tidak hanya soal fokus perhatian filosofis, tetapi juga hasil kritik terhadap pemikiran
filsafat sebelumnya. Dengan ini, kita dapat memahami periode-periode yang terjadi dalam
filsafat Yunani.
Pertama, filsafat Yunani mulai dengan periode kosmologis. Periode ini berlangsung
dalam sekolah-sekolah pra-sokrates; kecuali sekolah sofistis yang memusatkan pemikirannya
pada soal-soal moral. Pada periode ini, pemikiran filosofis berpusat pada problem tentang
kesatuan yang menjamin tatanan alam semesta dan kemungkinan pengetahuan manusia.
Kedua, filasat Yunani berlanjut dengan periode antropologis. Kaum sofis dan Sokrates
memusatkan perhatian pada persoalan manusia sebagai pusat alam semesta. Mereka
memikirkan kesatuan manusia dalam dirinya sendiri dan bersama dengan manusia lain. Hal ini
merupakan dasar dan kemungkinan dari pembentukan individu dan harmoni kehidupan
bersama.
Ketiga, filsafat Yunani mencapai puncak pada periode ontologis. Plato dan Aristoteles
adalah para tokoh utama dalam periode ini. Periode ontologis berpusat pada persoalan dalam
hubungan antara manusia dan mengada. Dalam hubungan ini, ada kondisi dan kemungkinan
nilai manusia seperti adanya dan kemungkinan validitas dari mengada seperti adanya. Periode
ini merupakan masa kematangan filsafat Yunani karena dalam periode ini menjembatani
persoalan periode kosmologis dan antropologis.
Keempat, filsafat Yunani berkembang dalam periode etis. Periode ini berkembang
dengan aliran stoisisme, aliran epikureanisme, aliran skeptisme. Pusat perhatian periode ini
berfokus pada tingkah laku manusia. Pada periode ini ditandai dengan berkurangnya kesadaran
nilai teoritis dari penyelidikan filsafat.
6
Thales, Anaximandros, dan Anaximenes sebagai kosmolog-kosmolog pertama (filsuf filsafat
alam). Mereka adalah para filsuf Yunani sebelum Socrates (470 – 399 SM).
15 Ketujuh orang bijak itu adalah Thales dari Miletos, Bias dari Priëne, Pittakos dari Mytilene, Soloon dari Athena,
Kleoboulos dari Lindos, Khiloon dari Sparta, dan Periandros dari Korinthos (Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat
Barat, hlm. 16)
16 Para ahli astronomi modern mengatakan bahwa gerhana matahari tersebut tidak bisa lain daripada tanggal 28 Mei
585. Itu tidak berarti bahwa Thales membuat ramalan itu persis mengenai tanggal itu. Agaknya kira-kira satu tahun
sebelumnya, ia meramalkan bahwa suatu gerhana matahari akan terjadi. Mungkin ia sanggup untuk itu, karena
mempunyai penanggalan-penanggalan dari Babylonia. Tentu saja, ia belum mengenal penyebab-penyeba fisis gejal ini
(Kees Bertens, Sejarah Filsafat Yunani hlm. 34).
17 Nicola Abbagnano, Storia della Filosofia, hlm. 16-17.
7
basah” diadaptasikan hanya sebagai suatu yang mungkin; mungkin hal ini dugaan dari
Aristoteles sendiri. Seluruh air, Thales berpikir membuat sebuah kekuatan yang aktif,
menghidupkan, dan mengubah.
Orang-orang pada zaman itu mengalami kesulitan untuk memahami ajaran Thales tentang air sebagai
prinsip pertama. Menurut Thales, bumi berada di atas air seperti sebatang kayu mengambang dalam
sebuah aliran air – tetapi, kemudian Aristoteles bertanya, apa yang menopang air? (Cael. 2. 13. 294a28–
34). Selanjutnya, Thales menyatakan bahwa segala sesuatu berasal dan berada dalam air dalam arti
tertentu. Lagi alasannya tidak jelas, dan Aristoteles hanya berkomentar apakah karena hal ini semua
binatang dan tumbuh-tumbuhan membutuhkan air untuk hidup, atau karena benih sebagai asal kehidupan
itu basah (Metaph. A 3. 983b17–27).18
Menurut Aristoteles, Thales menyatakan bahwa “Segalanya itu penuh dengan dewa”.
Aristoteles menafsirkan bahwa dengan perkataan tersebut, Thales memaksudkan bahwa jagad
raya memiliki jiwa. Ajaran lain yang bersejajaran adalah bahwa magnet mempunyai jiwa
karena mampu menarik besi. Agak sulit didamaikan antara jagad raya berjiwa dan mangnet
berjiwa; walaupun ada kemiripannya. Ajaran tentang jagad raya berjiwa disebut sebagai
“hylezoisme” (teori tentang materi yang hidup). Teori ini tidak ada kepastian bahwa anggapan
ini boleh digabungkan dengan teori “jiwa dunia”.
18 Anthony Kenny, Ancient Philosophy: A New History of Western Philosophy (Vol. I), hlm. 5.
19 Lih. Kees Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, hlm. 36-39.
8
kembali kepadanya. Di dalam apeiron, ada dunia lain yang tak terhitung jumlahnya di samping dunia
yang kita kenal.20
Bagaimana dunia timbul dari prinsip “yang tak terbatas”? Oleh karena suatu perceraian
(ekkrisis), maka dilepaskan dari apeiron itu unsur-unsur yang berlawanan (ta enantia): yang
panas dan yang dingin, yang kering dan yang basah. Unsur-unsur itu selalu berperang yang
satu dengan yang lain. Misalnya, musim panas selalu mengalahkan musim dingin; musim
dingin mengalahkan musim panas. Tetapi, bilamana suatu unsur menjadi dominan, maka
karena keadaan ini dirasakan tidak adil (adikia), keseimbangan harus dipulihkan kembali.
Dengan demikian, ada satu hukum yang menguasai unsur-unsur dunia, dan hukum itu bernama
keadilan (dikê).
Kejadian dunia ini berasal dari peristiwa apeiron. Dunia ini berasal dari apeiron dengan
“gerakan puting beliung” (a whirling vortex). Gerakan ini merupakan bagian dari dari gerakan
abadi (the eternal motion). Gerakan menyebabkan perceraian (ekkrisis) yang memisahkan yang
dingin dari yang panas, sedangkan yang panas membalut yang dingin. Gerakan puting beliung
ini mengakibatkan suatu bola raksasa, dengan yang dingin berada di tengah-tengah yang panas.
Karena panas itu, air lepas dari unsur tanah dan menjadi kabut. Udara menekan bola itu
sedemikian rupa sehingga meletus menjadi sejumlah lingkaran yang berpusat menjadi satu.
Tiap lingkaran terdiri dari api yang dibalut udara, sedang tiap lingkaran memiliki satu lobang,
yang menjadikan api yang di dalamnya tampak sebagai bintang-bintang, bulan, dan matahari.
Secara khusus, dalam waktu evolusi yang panjang, materi padat terpisah dari air dan menjadi
bumi yang kering di bawah sinar dari lingkaran luar yang hangat. Kemudian, dunia kita
memiliki bumi sebagai pusatnya, dengan air yang mengitarinya dan udara yang
menglingkupinya.21
Menurut Anaximandros, bumi berbentuk silinder, yang bergerak di pusat jagad raya.
Bumi mempunyai lebar tiga kali lebih besar dari tingginya. Ada pertanyaan di kalangan orang
Yunani pada zaman itu: “Mengapa bumi tidak jatuh?” Thales, gurunya akan menjawab bahwa
bumi berada di atas air. Hal ini masih menyisakan persoalan, “Di mana air bersandar?” Karena
itu, Anaximandros menjawab bahwa bumi tidak bersandar pada apa pun juga. Bumi tidak jatuh
karena kedudukannya persis dalam pusat jagad raya, dengan jarak yang sama terhadap semua
badan lain. Akibatnya, tidak ada alasan yang menyebabkan bumi dapat jatuh.22
Anaximandros seperti juga Thales mencampurkan antara spekulasi filsafat dan
hipotesis saintis. Ia dianggap sebagai pencetus dari gagasan tentang materi-materi awali dari
kejadian alam semesta ini (cosmic dust). Kabut kosmis ini adalah materi-materi yang amorf,
tak berbentuk, dan tak menentu. Ajarannya tentang to apeiron (kenyataan yang tak dapat
ditentukan) mungkin dianggap sebagai awal-mula penyelidikan filosofis ke dalam
“berlangsung ke dalam mengada” (going on in being) dan “menjadi ke dalam mengada”
(coming into being) yang menjadi jelas di dalam kenyataan atau keberadaan alam semesta.
inilah filsuf awal yang melahirkan persoalan filosofis yang Aristoteles mencoba untuk
memecahkannya, 200 tahun setelahnya, di dalam penyelidikan dalam realitas dari “mengada
20 Martin J. Wals, A History of Philosophy, hlm. 5; Perihal “banyak dunia” yang jumlah tak terbilang, para ahli sejarah
filslafat Yunani tidak setuju apakah ini harus dimengerti secara suksesif (banyak dunia berturut-turut) atau apakah
maksudnya secara simultan (banyak dunia sekaligus). E. Zeller misalnya menganut pendirian pertama, sedangkan J.
Burnet mempertahankan yang kedua (Lih. Kees Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, hlm. 38).
21 Alam semesta menurut Anaximandros berciri geosentrisme. Susunannya adalah bumi sebagai pusat, bintang-
bintang, bulan, dan yang paling jauh itu matahari. Bintang-bintang berada di antara bumi dan bulan (Lih. Harun
Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat, hlm. 18).
22 Selain ajaran asal usul dunia (kosmologi), Anaximandros juga berbicara tentang asal usul manusia (Lih. Kees Bertens,
9
dan menjadi” dan di dalam ajaran tentang “mengada yang aktual” dan “mengada potensial”
(actual being and potential being).
10
benda angkasa bergantung kepada kemiringan bumi yang datar. Benda-benda angkasa itu tidak
terbenam di bawah bumi sebagaimana dipikirkan Anaximandros, tetapi mengelilingi bumi
yang datar itu. Matahari lenyap di waktu malam karena tertutup di bagian belakang bagian-
bagian tinggi bumi yang datar. Adapun prinsip utama, Anaximenes menemukan “yang tak
terbatas” Anaximandros konsep yang sangat langka, dan memilih, seperti Thales, untuk satu
konsep saja elemen yang ada sebagai hal fundamental, meskipun ia lebih memilih udara dari
pada air sebagai prinsip pertama alam semesta.25
Ajaran Anaximenes ini pada masa berikutnya diperdebatkan oleh Anaxagoras dan
Dionesius dari Apollonia. Menurut Anaxagoras, udara sebagai jiwa yang dimaksud oleh
Anaximenes adalah inteligensi. Sementara, Dionesius berpendapat bahwa udara meliputi
segala sesuatu sebagaimana jiwa dan nafas (pneuma) menciptakan kehidupan dalam binatang.
Karena itu, menurut Dionesius, udara itu tak diciptakan, menerangi, mencerahkan, menata,
menguasai segalanya.
Ada sejarawan yang menyangka bahwa ajaran Anaximenes merupakan kemunduran,
jika dibandingkan dengan pemikiran Anaximandros. Alasannya bahwa pemikiran
Anaximandros itu lebih subtil serta spekulatif. Tetapi ada sejarawan lain yang berpendapat
bahwa ajaran Anaximenes harus dianggap sebagai kemajuan. Alasan yang mereka kemukakan
ialah bahwa karena proses pemadatan dan pengenceran itu untuk pertama kalinya dinyatakan
sebagai suatu hukum fisis yang dikenakan kepada alam semesta sebagai pengganti hukum
moral (keadilan) dari Anaximandros. Dengan demikian perbedaan-perbedaan alam semesta
dianggap bersifat kuantitatif belaka. Anggapan ini membuka luas untuk penyelidikan ilmiah.26
25 Bdk. Anthony Kenny, Ancient Philosophy: A New History of Western Philosophy (Vol. I), hlm. 8.
26 Kees Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, hlm. hlm. 40.
11
luar biasa, sekalipun banyak unsur dalam pemikiran mereka naif kedengarannya bagi orang
modern.27
Hasil penyelidikan para filsuf Miletos ini kiranya dapat disimpulkan dalam tiga
pernyataan. Pertama, alam semesta merupakan keseluruhan yang bersatu, akibatnya harus
diterangkan dengan menggunakan satu prinsip saja. Tetapi mereka tidak sepakat dalam
memilih zat asali yang menjamin dan mengartikan kesatuan dunia. Kedua, alam semesta
dikuasai oleh suatu hukum. Kejadian-kejadian dalam alam tidak kebetulan saja, tetapi ada
semacam keharusan di belakang kejadian-kejadian itu. Ketiga, akibatnya adalah bahwa alam
semesta adalah cosmos yang artinya adalah “dunia yang teratur” (Yunani). Bagi orang Yunani
cosmos (dunia yang teratur) bertentangan dan chaos (dunia yang kacau-balau).28
12