Anda di halaman 1dari 12

2.

Filsuf-filsuf pertama

Bernard Delfgaauf memulai buku Sejarah Filsafatnya dengan pernyataan: “Filsafat


Eropa dan Amerika yang berkembang sekarang ini berasal dari kekuatan pemikiran Yunani
dan tidak mungkinlah memahami filsafat zaman ini tanpa menyertakan sejumlah pengetahuan
dari sejarah dan asal-usulnya”.1 Karena itu, betapa penting mempelajari sejarah.
Friederick Hegel menandaskan makna pentingnya sebuah sejarah: “Menjelaskan
sejarah adalah menggambarkan kegairahan umat manusia, melukiskan kejeniusannya,
menunjukkan kekuatan-kekuatannya yang bekerja. Semua ini memainkan peran pada tahap
yang menentukan dan prosesnya ditentukan oleh takdir yang ditunjukkan oleh peristiwa-
peristiwa di dalamnya; ini adalah apa yang secara umum disebut "rencana" dari sebuah
penyelenggaraan”.2

1. Latar Belakang
Filsafat Yunani Kuno mulai sejak abad ke-6 SM. Pada masa ini, filsafat digunakan
untuk memberikan makna bagi dunia dalam cara yang bukan religius. Hal ini menyangkut
tema-tema yang bervariasi dan luas, yaitu astronomi, matematika, politik, filsafat, etika,
metafisika, ontologi, logika, biologi, retorika, dan estetika.
Perhatian dari filsafat pra-sokrates menelurusi dan mengenali “suatu hal di seberang
sana” dari sejumlah fenomena dan perubahan alam yang terus-menerus, serta sekaligus
kesatuan yang berlangsung dalam alam sendiri sebagai sebuah dunia; substansi unik yang
membentuk keberadaannya, hukum unik yang mengatur perubahannya. Substansi bagi para
filsuf pra-sokrates adalah materi yang darinya semua hal tersusun. Akan tetapi, substansi juga
adalah energi yang menjelaskan komposisinya tentang kelahiran dan kematian dan juga
perubahannya yang abadi. Substansi adalah prinsip yang bukan hanya dalam arti menjelaskan
asal-usulnya, melainkan juga, khusus dalam arti memberikan kejelasan dan membawa kepada
kesatuan dari keanekaragaman dan perubahan yang tampak pada pengamatan pertama
sedemikian pelik untuk pertimbangan kesatuan. Dari sinilah berasal karakter aktif dan dinamis
bahwa alam (physis) bagi para filsuf pra-sokrates: alam bukanlah substansi dalam “sifat
ketidakberubahannya” (immobilità), tetapi substansi sebagai “prinsip dari tindakan” dan
“prinsip kejelasan bagi diri” dari semua yang beranekaragam dan dalam perubahannya
(principi). Dari sini, juga berasal apa yang disebut sebagai “hylezoisme” (teori tentang materi
yang hidup) dari para filsuf prasokrates. Pemikiran ini menyiratkan bahwa substansi primordial
yang berwujud terdapat dalam suatu energi yang membuat sesuatu bergerak dan hidup.3

1.1 Asal usul yang Dipertanyakan4


Ada sebuah pendapat bahwa asal-usul filsafat Yunani berasal dari kebudayaan Timur
Kuno. Konon filsafat Yunani berasal dari tradisi Yahudi, Mesir, Babilonia, dan India. Pendapat
ini berlangsung selama berabad-abad dan mencapai puncaknya pada keyakinan dari aliran Neo-
Phytagorean. Aliran ini menyebut Plato sebagai seorang “Nabi Musa yang hidup kembali” dan
darinya lahir penulis-penulis kristiani. Mungkin hal ini didukung oleh beberapa filsuf Yunani

1 Bernard Delfgaauw, A Concise History of Philosophy, hlm. 1; Selain itu, Alfred North Whitehead mencatat: “Karakterisasi
umum yang paling menonjol dari tradisi filosofis Eropa merupakan sebuah seri dari catatan kaki terhadap karya-karya
Plato” (Lih. Alfred North Whitehead, Process and Reality, Part II, Chap. I, Sect. I.).
2 G.W.F. Hegel, The Philosophy of History, hlm. 27.
3 Lih. Nicola Abbagnano, Storia della Filosofia, hlm. 14.
4 Lih. Nicola Abbagnano, Storia della Filosofia, hlm. 3-5.

1
yang melakukan perjalanan secara khusus ke Mesir: Phytagoras pergi ke Mesir, Demokritos ke
wilayah Timur, dan Plato juga pergi ke Mesir.
Barangkali hal lebih mirip dengan asal-usul ilmu pengetahuan. Sejarawan Herodotos
Yunani (484 – 425 SM) mengatakan bahwa geometri lahir di Mesir untuk kepentingan
mengukur luas tanah di Mesir setelah peristiwa banjir sungai Nil. Menurut tradisi lain,
astronomi lahir di Babilonia, dan aritmatika juga lahir di Mesir. Jika orang Babilonia
mengembangkan astronomi, kepentingannya adalah soal kepercayaan akan ramalan hidup
manusia berdasarkan rasi bintang-bintang (astrologi). Demikian juga, aritmatika digunakan
bangsa Mesir demi kepentingan praktis. Tidak demikian bagi bangsa Yunani, ilmu-ilmu itu
digunakan bukan untuk kepentingan praktis, melainkan untuk kepentingan teoritis. Bagi
bangsa Yunani, ilmu pengetahuan dipelajari bukan untuk mencari “keuntungan praktis”
melainkan “ilmu pengetahuan tanpa pamrih” (la scienza disinteressata). Di sini, ada kesamaan
dan ketidaksamaan antara tradisi ilmu pengetahuan Timur dan ilmu pengetahuan Yunani.
Ilmu pengetahuan dari Timur Kuno ini memberikan sumbangan pengetahuan pada
bangsa Yunani. Sumbangan pengetahuan itu berciri kontinuitas dan diskontinuitas.
Kontinuitasnya terdapat pada materi ilmu yang sama baik bagi bangsa-bangsa Timur Kuno
maupun bangsa Yunani (geometri, astronomi, aritmatika). Diskontinuitasnya terdapat pada
cara mengaplikasikan ilmu pengetahuan. Bangsa-bangsa Timur Kuno memakainya demi
kepentingan praktis sementara bangsa Yunani menggunakannya demi kepentingan teoritis.

1.2 Pencari Kebijaksanaan


Jika dikatakan asal-usul tradisi Timur ada dalam sejumlah ajaran Yunani Kuno, hal ini
tidak mengindikasikan juga asal-usul tradisi Timur dalam filsafat Yunani. Kebijaksanaan
Timur lebih lebih berfokus kepada hal-hal rohani. Kebijaksaan itu merupakan milik dari
kelompok imam yang di dalamnya memperhatikan soal-soal memelihara kesucian. Dasar
utama dari kebijaksanaan Timur adalah tradisi, yaitu ajaran yang diwariskan (la tradizione).
Sementara itu, filsafat Yunani berhubungan dengan pencarian, yaitu pemikiran yang mencari
kebenaran (la ricerca). Filsafat Yunani lahir dari suatu aktivitas kebebasan berpikir di hadapan
penghayatan tradisi, praktek kebiasaaan, dan keyakinan yang sudah dianggap benar. Dasarnya
adalah bahwa manusia tidak memiliki kebijaksanaan, tetapi manusia harus mencari
kebijaksanaan. Manusia itu bukan kebijaksanaan (sofia), tetapi pencari kebijaksanaan
(filosofia). Manusia belum berada dalam kebijaksanaan tetapi manusia mesti “mencintai
kebijaksanaan”. Artinya, manusia mesti melakukan penyelidikan dengan berpikir kritis untuk
mencari kebenaran melalui kebiasaan-kebiasaan, tradisi-tradisi, dan keyakinan-keyakinan.
Nama “filsafat” dan “filsuf” berasal dari kata-kata Yunani philosophia dan
philosophos. Menurut bentuk kata, seorang philo-sophos adalah seorang “pencinta
kebijaksanaan”. Ada tradisi kuno dalam tulisan “Tuscolane” karya Cicero yang menyatakan
bahwa Phytagoras adalah orang yang pertama kali menggunakan istilah filsafat dalam arti yang
khusus; filsafat adalah cara memandang dunia secara kritis (la contemplazione disinteressata).5
Pengertian filsafat diperjelas oleh Plato dalam Phaidros: “Nama ‘orang bijaksana terlalu luhur
untuk memanggil seorang manusia dan lebih cocok untuk seorang dewa. Lebih baik dipanggil
philosophos, pencinta kebijaksanaan. Nama ini berpautan dengan makhluk insani”. Menurut

5 Phytagoras membandingkan hidup seperti pesta besar di Olimpus tempat orang melakukan pesta; ada yang sibuk
dengan urusan pesta; ada yang terlibat dalam pacuan kuda; ada yang melakukan mabuk-mabukan, dan akhirnya ada
sejumlah orang yang hanya “untuk melihat” apa yang terjadi dalam pesta; Yang terakhir ini adalah kelompok para
filsuf. Kisah ini menggarisbawahi sebuah jarak dalam kontemplasi dari para filsuf dan peristiwa yang dialami oleh orang
pada umumnya (Tuscolare V, 9; Diog. L., Proemium, hlm. 12).

2
pandangan Yunani, seorang yang mempunyai kebijaksanaan sebagai milik definitif sudah
melampaui kemampuan insani. Orang demikian telah melangkahi batas-batas sebagai manusia.
Memiliki kebijaksanaan berarti mencapai status adimanusiawi. Karena manusia bukan dewa,
manusia harus puas sebagai “pencinta kebijaksanaan” dalam philosophia.6
Menurut orang-orang Yunani, setiap orang dapat berfilsafat karena manusia adalah
makhluk berpikir (animale ragionevole) dan kemampuan berpikirnya mengisyaratkan
kemungkinan untuk mencari dengan cara tertentu tentang kebenaran. Mereka juga meyakini
bahwa filsafat Yunani adalah pencarian rasional yakni pencarian secara bebas tidak bergantung
kepada kebenaran yang sudah terwujud atau kebenaran yang dinyatakan, tetapi kebenaran yang
didasarkan pada kekuatan akal budi. Hal ini ditegaskan: “Kami mencintai keindahan dengan
pikiran yang sederhana dan kami berfilsafat tanpa sebuah ketakutan [terhadap tradisi,
kebiasaan, keyakinan pada umumnya]”.7

1.3 Permulaan Filsafat Yunani8


Filsafat merupakan penemuan khas bangsa Yunani yang diwariskan kepada seluruh
dunia. Penemuan filsafat ini disebabkan oleh beberapa faktor.
Pertama, bangsa Yunani seperti bangsa lain memiliki mitologi yang kaya dan luas.
Mitologi ini dapat dianggap sebagai perintis yang mendahului filsafat, karena mitos-mitos
sudah merupakan percobaan untuk mengerti. Mitos-mitos sudah memberi jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan yang hidup dalam hati manusia: Dari mana asal dunia ini? Apa
penyebab kejadian-kejadian dalam alam? Apa penyebab matahari terbit pada pagi hari dan
terbenam pada waktu malam hari? Melalui mitos-mitos manusia mencari penjelasan asal-usul
alam semesta dan tentang kejadian-kejadian yang berlangsung di dalamnya. Mitos jenis
pertama yang mencari keterangan tentang asal-usul alam semesta disebut mitos kosmogonis.
Sementara, mitos jenis kedua yang mencari keterangan tentang asal-usul serta sifat kejadian-
kejadian dalam alam semesta disebut mitos kosmologis.
Bangsa Yunani mempunyai kekhususan bahwa mereka mengadakan beberapa usaha
untuk menyusun mitos-mitos yang diceritakan oleh rakyat menjadi suatu keseluruhan yang
sistematis. Dalam usaha-usaha itu, sudah tampaklah sifat rasional bangsa Yunani. Karena
dengan mencari suatu keseluruhan yang sistematis, mereka sudah menyatakan keinginan untuk
mengerti hubungan mitos-mitos satu sama lain dan menyingkirkan mitos yang tidak dapat
dicocokkan dengan mitos lain. Salah satu usaha serupa itu adalah syair Hesiodos yang berjudul
Theogonia (Kejadian dewa-dewa). Ada juga kumpulan mitos-mitos yang dikarang oleh
Pherekydes dari Syros. Aristoteles menamai orang-orang seperti Hesiodos dan Pherekydes
dengan gelar theologoi (teolog-teolog) dan membedakan mereka dengan philosophoi (filsuf-
filsuf).
Pherekydes berkata bahwa awal mula dari segalanya adalah dewa Zeus, dewa Kronos, dan dewa Ktonos.
Ktonos adalah penguasa bumi, Kronos adalah penguasa waktu, dan Zeus adalah penguasa langit. Zeus
berubah dalam Eros, yaitu cinta, memulai pada penciptaan dunia. Ada dalam mitos ini pembedaan awal
antara material dan kekuatan yang mengatur dunia.9

Hal penting yang patut dicatat adalah kedudukan mythos dan logos. Sejak abad ke-6
SM, bangsa Yunani mulai mengajukan jawaban-jawaban rasional terhadap problem-problem

6 Lih. Kees Bertens, Sejarah Filsafat Yunani hlm. hlm. 17-18.


7 Tucidide ketika berbicara kepada Pericles dan sejumlah warga Atena (II,40).
8 Bdk. Kees Bertens, Sejarah Filsafat Yunani hlm. hlm. 18-21.
9 Lih. Nicola Abbagnano, Storia della Filosofia, hlm. 7.

3
yang diajukan oleh alam semesta. Sebelum itu, jawaban yang diberikan bersifat mitologis,
tetapi setelah jawaban yang dicari bersifat logis. Karena itu, seluruh perjalanan filsafat Yunani
dapat dianggap sebagai suatu pergumulan yang panjang antara mythos dan logos. Kalau kita
mengatakan bahwa filsafat Yunani lahir karena logos telah mengalahkan mythos, filsafat harus
dipahami sebagai filsafat dan ilmu pengetahuan sebagai satu-kesatuan. Bagi orang Yunani,
filsafat merupakan suatu pandangan rasional tentang segala-galanya.
Kedua, bangsa Yunani menghayati agama misteri yang berkembang abad ke-6 SM.
Agama misteri ini merupakan bagian dari kultus Dionisius. Di dalamnya, ada jejak kultus
Demetra yang di dalamnya dirayakan oleh kelompok Orfisme. Aliran religius yang konon
didirikan oleh penyair Orpheus. Aliran religius ini merayakan pemurnian jiwa agar jiwa dapat
ditempatkan dalam” lingkaran kelahiran”, yaitu pemindahan badan kepada kehidupan yang
lain. Pengajaran mendasar dari kelompok Orfisme yang berisi ajaran pengetahuan dan pada
umumnya aktivitas refleksi seperti perjalanan kehidupan, yaitu seperti suatu pencarian yang
membawa kepada hidup sejati manusia. Dalam cara yang sama, mereka harus mempelajari dan
mempraktekkan ajaran filsafat Plato; terutama ajaran Plato dalam buku Fedone yang secara
eksplisit merupakan kepercayaan kelompok Orfisme.
Ketiga, kesusastraan Yunani mempengaruhi perkembangan filsafat Yunani.
Kesusastraan ini seperti sebuah persiapan bagi filsafat Yunani. Di satu pihak, refleksi moral
dari puisi-puisi yang berkembang di Yunani menjadi konsep dasar bagi para filsuf Yunani
untuk menafsirkannya bagi dunia. Konsep dari sebuah hukum yang memberikan persatuan
dunia manusiawi ditemukan pertama kali dalam puisi Odissea karya Homeros. Odissea
didominasi seluruhnya oleh kepercayaan kepada sebuah hukum keadilan. Di dalam
kepercayaan itu, dewa-dewa menjadi pelindung dan penjamin hukum yang menentukan sebuah
tatanan yang bernasib mujur dalam peristiwa manusia. Dengan demikian, orang yang benar
akan menang dan orang yang salah akan dihukum. Menurut Hesiodos, hukum ini
dipersonifikasikan dalam Dike, anak perempuan Zeus yang duduk di samping ayahnya dan
mengamati sampai semua manusia yang melakukan ketidakadilan dihukum. Pelanggaran pada
hukum ini tampak dalam Hesiodos sendiri seperti keangkuhan (hybris) yang harus
membebaskan nafsu dan kekuatan irasional. Karya-karya kesusastraan lain adalah Archilos,
Mnermo, Teognide, Solone. Berhadapan dengan situasi ketidakadilan, filsafat menemukan dan
menilai kesatuan hukum yang di dalamnya keanekaragaman menghilang dari fenomen-
fenomen alamiah; puisi Yunani telah menemukan dan menilai kesatuan hukum sebagai
persiapan bagi filsafat.
Di lain pihak, syair-syair lama digunakan untuk semacam pendidikan untuk rakyat
Yunani. Dalam dialog Politeia, Plato mengatakan bahwa Homeros telah mendidik seluruh
Hellas. Peranan syair-syair Homeros dalam kebudayaan Yunani dapat dibandingkan dengan
peranan wayang dalam budaya Jawa atau upasa-upasa dalam budaya Batak. Karena puisi-puisi
Homeros disukai rakyat Yunani digunakan untuk mengisi waktu luang dan serentak bernilai
edukatif. Aristoteles mengutip Homeros di samping filsuf-filsuf lain (Metafisica 1009b),
seakan-akan ia mau menggolongkannya dalam deretan para filsuf, padahal Homeros adalah
seorang penyair.
Keempat, refleksi moral dalam legenda tujuh orang bijak memberikan kontribusi pada
filsafat Yunani. Mereka adalah Thales dari Miletos, Bias dari Priëne, Pittakos dari Mytilene,
Solon dari Athena, Kleoboulos dari Lindos, Khiloon dari Sparta, dan Periandros dari
Korinthos. Thales mempunyai motto “Kenalilah dirimu sendiri”; Bias dengan motto “Hal yang
berlebihan itu jahat” dan juga “Tanggung jawab adalah ciri manusia”; Pittakos dengan motto

4
“Tahu bagaimana menggunakan kesempatan”; Solon dengan motto “Bawalah hal-hal penting
ke hati”; Kleoboulos dengan motto “Optimal adalah ukurannya”; Periandros dengan motto
“Selidikilah kata-kata berangkat dari segala hal”; Khiloon dengan motto “Jagalah dirimu
sendiri” dan “Jangan menginginkan ketidakmustahilan”. Bukanlah kebetulan bahwa orang
pertama dari tujuh orang bijak adalah Thales, ini seperti perwakilan sejati dari filsafat Yunani.

1.4 Polis Pemicu Filsafat10


Orang Yunani hidup dalam polis. Polis adalah suatu negara kecil atau suatu negara-
kota, tetapi kata polis juga mengacu kepada rakyat yang hidup dalam negara-kota itu. Polis
timbul sebagai suatu bentuk kemasyarakatan baru antara abad ke-8 dan ke-7 SM. Permukaan
tanah polis itu tidak besar. Suatu polis melingkupi suatu kota dan mungkin juga beberapa desa.
Jumlah warga polis berkisar antara 5.000 sampai 20.000 warga negara. Secara khusus, polis
bagi orang Yunani menjadi pemicu pertumbuhan dan perkembangan filsafat. Dalam Polis, ada
suatu iklim yang memudahkan timbulnya sikap ilmiah. Ada tiga hal yang membuat Polis
memicu pertumbuhan dan perkembangan filsafat Yunani.
Pertama, Polis memberikan peranan logos secara istimewa. Logos sebagai akal budi,
kata, dan bahasa mempunyai peranan penting dalam Polis. Dalam susunan Polis, bahasa
memainkan peranan penting sebagai alat politik. Keputusan-keputusan dalam sidang umum
dan dalam sidang pengadilan diambil atas dasar diskusi. Dalam suasana demikian, yang
penting ialah meyakinkan khalayak ramai dengan kemahiran berbahasa dan argumentasi yang
cerdik, sebab pada akhirnya sidanglah yang akan memutuskan yang mana dari dua pidato akan
dibenarkan. Dengan demikian, hubungan antara politik dan logos menjadi sangat erat.
Berdasarkan situasi ini, ada kebutuhan mahir berbahasa (rethorica), kebutuhan cara berpikir
logis (logica), dan refleksi tentang keadilan, kebenaran, kebijaksanaan (philosophia).
Berdasarkan hal ini, Aristoteles menciptakan logika yang sistematis di dalamnya diselidiki
peraturan-peraturan yang berlaku untuk membuat argumentasi dan syarat-syarat bagi
pengetahuan ilmiah pada umumnya.
Kedua, polis memberikan suasana keterbukaan bagi semua warga. Urusan negara
adalah urusan umum. Ini berarti bahwa kepentingan negara berada di atas kepetingan pribadi,
tidak ada yang rahasia bagi warganya, semua orang terlibat dalam persoalan negara. Suasana
ini membuat setiap orang berpartisipasi dalam urusan bersama sebagai warga polis. Dalam
pergaulan sehari-hari pusat polis adalah agora yang sering diterjemahkan sebagai “pasar”.
Agora lebih dari sekedar tempat urusan bisnis, tetapi terutama berperan penting sebagai tempat
pertemuan. Dalam agora, segala hal yang menyangkut kepentingan umum dibicarakan dan
didiskusikan. Dalam masyarakat yang ditandai keterbukaan ini, segala informasi dapat
disebarkan dan setiap pendapat dapat dikritik. Suasana seperti ini memberikan suasana ilmiah
yang menjadi lahan subur bagi filsafat. Selain suasana keterbukaan, polis memberikan bahwa
semua warga sama derajatnya. Dengan persamaan hak ini, orang bisa bebas berbicara, orang
bisa mengembangkan kepandaian secara maksimal, orang bisa mengembangkan bakatnya
secara leluasa. Walaupun harus diakui, persamaan sebagai warga negara ini tidak berlaku bagi
para pendatang, para budak, dan kaum perempuan. Mereka tidak punya hak untuk mengambil
bagian dalam urusan negara.

1.5 Periode Filsafat Yunani11

10 Bdk. Kees Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, hlm. 25-28.


11 Bdk. Nicola Abbagnano, La Storia della Filosofia, hlm. 9-10.

5
Filsafat Yunani sebagai cikal-bakal sejarah filsafat mempunyai periode-periodenya.
Masa periode ini dapat dimaknai sebagai pusat perhatian dan sekaligus hasil kritik. Periode ini
menegaskan pusat perhatian filsafat yang menjadi fokus pemikiran para filsuf pada zaman itu.
Selain itu, periode mengindikasikan ada periode sebelumnya yang telah berlalu. Suatu periode
lahir tidak hanya soal fokus perhatian filosofis, tetapi juga hasil kritik terhadap pemikiran
filsafat sebelumnya. Dengan ini, kita dapat memahami periode-periode yang terjadi dalam
filsafat Yunani.
Pertama, filsafat Yunani mulai dengan periode kosmologis. Periode ini berlangsung
dalam sekolah-sekolah pra-sokrates; kecuali sekolah sofistis yang memusatkan pemikirannya
pada soal-soal moral. Pada periode ini, pemikiran filosofis berpusat pada problem tentang
kesatuan yang menjamin tatanan alam semesta dan kemungkinan pengetahuan manusia.
Kedua, filasat Yunani berlanjut dengan periode antropologis. Kaum sofis dan Sokrates
memusatkan perhatian pada persoalan manusia sebagai pusat alam semesta. Mereka
memikirkan kesatuan manusia dalam dirinya sendiri dan bersama dengan manusia lain. Hal ini
merupakan dasar dan kemungkinan dari pembentukan individu dan harmoni kehidupan
bersama.
Ketiga, filsafat Yunani mencapai puncak pada periode ontologis. Plato dan Aristoteles
adalah para tokoh utama dalam periode ini. Periode ontologis berpusat pada persoalan dalam
hubungan antara manusia dan mengada. Dalam hubungan ini, ada kondisi dan kemungkinan
nilai manusia seperti adanya dan kemungkinan validitas dari mengada seperti adanya. Periode
ini merupakan masa kematangan filsafat Yunani karena dalam periode ini menjembatani
persoalan periode kosmologis dan antropologis.
Keempat, filsafat Yunani berkembang dalam periode etis. Periode ini berkembang
dengan aliran stoisisme, aliran epikureanisme, aliran skeptisme. Pusat perhatian periode ini
berfokus pada tingkah laku manusia. Pada periode ini ditandai dengan berkurangnya kesadaran
nilai teoritis dari penyelidikan filsafat.

2. Para Kosmolog dari Miletos


Bukanlah kebetulan bahwa pada awal abad ke-6 SM, Miletos menjadi tempat lahirnya
filsafat dan bukan kota lain, karena pada waktu itu Miletos adalah kota terpenting dari ke-12
kota di Ionia. Kota yang letaknya di bagian selatan pesisir Asia Kecil ini mempunyai pelabuhan
yang memungkinkan perhubungan dengan banyak budaya lain. Dengan demikian, Miletos
menjadi titik pertemuan untuk banyak kebudayaan dan segala macam informasi dapat ditukar
antara orang-orang yang berasal dari pelbagai tempat. Homeros, penyair terkenal hidup berasal
dari Ionia dan Hekataios, ahli ilmu bumi berasal dari Miletos. Khususnya, ketiga filsuf alam
bertempat tinggal di kota Miletos: Thales, Anaximandros, dan Anaximenes.12
Pada umumnya filsuf-filsuf prasokrates merefleksikan alam sebagai objek filsafatnya.
Ini menjadi kondisi pertama dari setiap pertimbangan ilmiah dari alam semesta. 13 Menurut
Aristoteles, sebuah pemahaman saintis tentang alam semesta membutuhkan penyelidikan
dalam dunia yang mempunyai empat penyebab ini. Filsuf-filsuf pertama berkonsentrasi pada
penyebab material. Mereka mencari “bahan dasar” dari dunia tempat kita tinggal. Thales dan
penerusnya mengajukan pertanyaan: pada tingkat yang paling dasar dari alam semesta dibuat
oleh air, udara, api, atau tanah, atau kombinasi dari semuanya? 14 Inilah yang menjadikan

12 Lih. Kees Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, hlm. hlm. 33.


13 Bdk. Nicola Abbagnano, Storia della Filosofia, hlm. 16.
14 Lih. Aristotele, Metafisica, A 3. 983a24–b17 dan A 3. 983b20–84a16.

6
Thales, Anaximandros, dan Anaximenes sebagai kosmolog-kosmolog pertama (filsuf filsafat
alam). Mereka adalah para filsuf Yunani sebelum Socrates (470 – 399 SM).

1.1 Thales (640-550 SM)


Thales adalah pendiri dari sekolah Ionia di Miletos. Walaupun informasi tidak selalu
sama, Thales disebutkan sebagai salah satu dari ketujuh orang bijaksana pada abad ke-6 SM.15
Berita tentang tokoh ini secara historis bersumber dari sejarawan Herodotos (abad ke-5 SM);
Herodotos sebagai sejarawan tidak menyebutkan tokoh ini sebagai “filsuf” dan tidak
menceritakan aktivitasnya sebagai filsuf. Baru Aristoteles (abad ke-4 SM) menyebutkan gelar
kepada Thales sebagai “filsuf yang pertama”.
Menurut Nicola Abbagnano, Thales adalah seorang politikus, astronom,
matematikawan dan fisikawan, serta filsuf. Sebagai seorang politikus mendorong orang-orang
Yunani di Ionia untuk bersatu dalam ‘negara federal dengan kota Teo. Sebagai seorang
astronom meramalakan tentang gerhana matahari, yang menurut para astronom modern terjadi
pada tanggal 28 Mei 585.16 Sebagai seorang matematikawan, ia menemukan teorema-teorema
geometri; sebuah metode yang menjelaskan sudut tegak-lurus segitiga dalam sebuah lingkaran.
Sebagai seorang fisikawan, ia menemukan fungsi magnet.17 Ketenarannya berlangsung dalam
spekulasi yang diceritakan dalam anekdot yang mengacu kepada Plato; katanya langit jatuh ke
dalam sumur, dengan menumbuhkan padi di sebuah talam besar (Teaetetus, 174e). Anekdot
lain mengacu kepada Aristoteles menempatkan dalam terang kemampuannya dari seorang
yang banyak urusan: dengan meramalkan panenan zaitun yang sangat berlimpah, Thales
menyewa semua pabrik minyak di wilayah itu dan kemudian menyewakannya dengan harga
yang jauh lebih tinggi kepada pemilik yang sama (Pol, I, 11, 125a). Barangkali anekdot-
anekdot yang diarahkan kepada Thales lebih sebagai simbol dan inkarnasi dari kebijaksanaan
daripada sebagai seorang pribadi.
Kita dapat mengetahui ajarannya yang fundamental Thales dari Aristoteles. Aristoteles
mengatakan bahwa Thales adalah filsuf yang mencari arkhê dari alam semesta. Prinsip pertama
dari alam semesta, menurut Thales, adalah air. Inilah penjelasan Aristoteles tentang arkhê:
“Thales berkata bahwa prinsip kehidupan adalah air baik yang ada di bawah bumi maupun
yang ada di atas langit. Ia mungkin mengambil argumentasi dari melihat bahwa nutrisi dari
suatu hal bersifat basah dan hal yang panas diturunkan dari hidup dalam keadaan basah; jadi,
sekarang dari mana segala sesuatu dihasilkan dan prinsip dari segalanya. Karena itu saya
mempunyai dugaan ini, dan juga karena benih-benih segala sesuatu memiliki sifat lembab dan
air adalah hal-hal basah prinsip alam mereka” (Metafisica, I, 3, 983b, 20).
Aristoteles mengamati bahwa kepercayaan ini merupakan hal yang paling kuno.
Homerus telah menceritakan bahwa laut dan langit merupakan prinsip-prinsip dari pewarisan.
Dalam hal ini, Aristoteles seolah-olah menyatakan bahwa pencetus gagasannya adalah Thales,
bahwa bumi berada di atas air; air adalah substansi dalam arti yang lebih sederhana, seperti
berada di bawah dan menangggungnya. Argumen yang lain tentang “pewarisan dari hal yang

15 Ketujuh orang bijak itu adalah Thales dari Miletos, Bias dari Priëne, Pittakos dari Mytilene, Soloon dari Athena,
Kleoboulos dari Lindos, Khiloon dari Sparta, dan Periandros dari Korinthos (Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat
Barat, hlm. 16)
16 Para ahli astronomi modern mengatakan bahwa gerhana matahari tersebut tidak bisa lain daripada tanggal 28 Mei

585. Itu tidak berarti bahwa Thales membuat ramalan itu persis mengenai tanggal itu. Agaknya kira-kira satu tahun
sebelumnya, ia meramalkan bahwa suatu gerhana matahari akan terjadi. Mungkin ia sanggup untuk itu, karena
mempunyai penanggalan-penanggalan dari Babylonia. Tentu saja, ia belum mengenal penyebab-penyeba fisis gejal ini
(Kees Bertens, Sejarah Filsafat Yunani hlm. 34).
17 Nicola Abbagnano, Storia della Filosofia, hlm. 16-17.

7
basah” diadaptasikan hanya sebagai suatu yang mungkin; mungkin hal ini dugaan dari
Aristoteles sendiri. Seluruh air, Thales berpikir membuat sebuah kekuatan yang aktif,
menghidupkan, dan mengubah.
Orang-orang pada zaman itu mengalami kesulitan untuk memahami ajaran Thales tentang air sebagai
prinsip pertama. Menurut Thales, bumi berada di atas air seperti sebatang kayu mengambang dalam
sebuah aliran air – tetapi, kemudian Aristoteles bertanya, apa yang menopang air? (Cael. 2. 13. 294a28–
34). Selanjutnya, Thales menyatakan bahwa segala sesuatu berasal dan berada dalam air dalam arti
tertentu. Lagi alasannya tidak jelas, dan Aristoteles hanya berkomentar apakah karena hal ini semua
binatang dan tumbuh-tumbuhan membutuhkan air untuk hidup, atau karena benih sebagai asal kehidupan
itu basah (Metaph. A 3. 983b17–27).18

Menurut Aristoteles, Thales menyatakan bahwa “Segalanya itu penuh dengan dewa”.
Aristoteles menafsirkan bahwa dengan perkataan tersebut, Thales memaksudkan bahwa jagad
raya memiliki jiwa. Ajaran lain yang bersejajaran adalah bahwa magnet mempunyai jiwa
karena mampu menarik besi. Agak sulit didamaikan antara jagad raya berjiwa dan mangnet
berjiwa; walaupun ada kemiripannya. Ajaran tentang jagad raya berjiwa disebut sebagai
“hylezoisme” (teori tentang materi yang hidup). Teori ini tidak ada kepastian bahwa anggapan
ini boleh digabungkan dengan teori “jiwa dunia”.

2.2 Anaximandros (611-546 SM)19


Anaximandros adalah murid Thales. Ia mengarang sebuah risalah dalam prosa yang
pertama dalam kesusastraan Yunani. Sekarang tinggal satu fragmen saja. Menurut tradisi, ia
mempunyai jasa-jasa dalam bidang astronomi dan juga dalam bidang geografi, sebab dialah
orang pertama yang membuat suatu peta bumi. Usahanya dalam bidang geografi dilanjutkan
oleh Hekataios sewarga polis dengannya. Ia memimpin ekspedisi dari Miletos yang mendirikan
kota perantauan baru di Apollonia di pantai Laut Hitam. Konon kota Miletos menghormatinya
dengan patung.
Sebagai murid, Thales, Anaximandros mengembangkan ajaran gurunya. Di satu pihak,
Anaximandros berpikir tentang arkhê (prinsip pertama jagad raya). Di lain pihak, pendapatnya
tentang arkhê berbeda dengan gurunya. Menurut Anaximandros, prinsip pertama dari segala
sesuatu di alam semesta ini adalah to apeiron (yang tak terbatas). Sifat apeiron adalah tak dapat
dilalui, tak dapat ditentukan, tak terbatas, selain itu bersifat kekal dan kenyataan yang tak dapat
dihancurkan. Dengan kata lain, to apeiron bersifat ilahi, abadi, dan tak berubah-ubah.
Anaximandros memilih to apeiron sebagai prinsip pertama. Kalau seandainya prinsip itu
adalah air seperti Thales, maka air harus meresapi segala-galanya. Dengan kata lain, air harus
tak terhingga. Pada kenyataannya air itu bukan materi yang tak terhingga. Jika benar, maka
tidak ada tempat lagi untuk anasir yang berlawanan dengannya: air sebagai anasir basah akan
mengeksklusikan api yang merupakan anasir kering. Dari sebab itu, Anaximandros tidak puas
dengan menunjukkan salah satu anasir sebagai prinsip terakhir, tetapi ia mencari sesuatu yang
lebih mendalam, yang tidak dapat diamati oleh pancaindera.
Apeiron disebut sebagai kenyataan yang tak dapat ditentukan (the indeterminate reality). Artinya,
apeiron bukanlah bagian khusus dari ini atau itu; bukan pula substansi terbatas seperti bumi, air, api, atau
air. Apeiron merupakan susunan tak berbentuk dari segala unsur yang berlawanan. Sifatnya netral dalam
perbedaan yang ada dalam unsur-unsur yang berlawanan. Segala sesuatu berasal darinya dan akan

18 Anthony Kenny, Ancient Philosophy: A New History of Western Philosophy (Vol. I), hlm. 5.
19 Lih. Kees Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, hlm. 36-39.

8
kembali kepadanya. Di dalam apeiron, ada dunia lain yang tak terhitung jumlahnya di samping dunia
yang kita kenal.20

Bagaimana dunia timbul dari prinsip “yang tak terbatas”? Oleh karena suatu perceraian
(ekkrisis), maka dilepaskan dari apeiron itu unsur-unsur yang berlawanan (ta enantia): yang
panas dan yang dingin, yang kering dan yang basah. Unsur-unsur itu selalu berperang yang
satu dengan yang lain. Misalnya, musim panas selalu mengalahkan musim dingin; musim
dingin mengalahkan musim panas. Tetapi, bilamana suatu unsur menjadi dominan, maka
karena keadaan ini dirasakan tidak adil (adikia), keseimbangan harus dipulihkan kembali.
Dengan demikian, ada satu hukum yang menguasai unsur-unsur dunia, dan hukum itu bernama
keadilan (dikê).
Kejadian dunia ini berasal dari peristiwa apeiron. Dunia ini berasal dari apeiron dengan
“gerakan puting beliung” (a whirling vortex). Gerakan ini merupakan bagian dari dari gerakan
abadi (the eternal motion). Gerakan menyebabkan perceraian (ekkrisis) yang memisahkan yang
dingin dari yang panas, sedangkan yang panas membalut yang dingin. Gerakan puting beliung
ini mengakibatkan suatu bola raksasa, dengan yang dingin berada di tengah-tengah yang panas.
Karena panas itu, air lepas dari unsur tanah dan menjadi kabut. Udara menekan bola itu
sedemikian rupa sehingga meletus menjadi sejumlah lingkaran yang berpusat menjadi satu.
Tiap lingkaran terdiri dari api yang dibalut udara, sedang tiap lingkaran memiliki satu lobang,
yang menjadikan api yang di dalamnya tampak sebagai bintang-bintang, bulan, dan matahari.
Secara khusus, dalam waktu evolusi yang panjang, materi padat terpisah dari air dan menjadi
bumi yang kering di bawah sinar dari lingkaran luar yang hangat. Kemudian, dunia kita
memiliki bumi sebagai pusatnya, dengan air yang mengitarinya dan udara yang
menglingkupinya.21
Menurut Anaximandros, bumi berbentuk silinder, yang bergerak di pusat jagad raya.
Bumi mempunyai lebar tiga kali lebih besar dari tingginya. Ada pertanyaan di kalangan orang
Yunani pada zaman itu: “Mengapa bumi tidak jatuh?” Thales, gurunya akan menjawab bahwa
bumi berada di atas air. Hal ini masih menyisakan persoalan, “Di mana air bersandar?” Karena
itu, Anaximandros menjawab bahwa bumi tidak bersandar pada apa pun juga. Bumi tidak jatuh
karena kedudukannya persis dalam pusat jagad raya, dengan jarak yang sama terhadap semua
badan lain. Akibatnya, tidak ada alasan yang menyebabkan bumi dapat jatuh.22
Anaximandros seperti juga Thales mencampurkan antara spekulasi filsafat dan
hipotesis saintis. Ia dianggap sebagai pencetus dari gagasan tentang materi-materi awali dari
kejadian alam semesta ini (cosmic dust). Kabut kosmis ini adalah materi-materi yang amorf,
tak berbentuk, dan tak menentu. Ajarannya tentang to apeiron (kenyataan yang tak dapat
ditentukan) mungkin dianggap sebagai awal-mula penyelidikan filosofis ke dalam
“berlangsung ke dalam mengada” (going on in being) dan “menjadi ke dalam mengada”
(coming into being) yang menjadi jelas di dalam kenyataan atau keberadaan alam semesta.
inilah filsuf awal yang melahirkan persoalan filosofis yang Aristoteles mencoba untuk
memecahkannya, 200 tahun setelahnya, di dalam penyelidikan dalam realitas dari “mengada
20 Martin J. Wals, A History of Philosophy, hlm. 5; Perihal “banyak dunia” yang jumlah tak terbilang, para ahli sejarah
filslafat Yunani tidak setuju apakah ini harus dimengerti secara suksesif (banyak dunia berturut-turut) atau apakah
maksudnya secara simultan (banyak dunia sekaligus). E. Zeller misalnya menganut pendirian pertama, sedangkan J.
Burnet mempertahankan yang kedua (Lih. Kees Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, hlm. 38).
21 Alam semesta menurut Anaximandros berciri geosentrisme. Susunannya adalah bumi sebagai pusat, bintang-

bintang, bulan, dan yang paling jauh itu matahari. Bintang-bintang berada di antara bumi dan bulan (Lih. Harun
Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat, hlm. 18).
22 Selain ajaran asal usul dunia (kosmologi), Anaximandros juga berbicara tentang asal usul manusia (Lih. Kees Bertens,

Sejarah Filsafat Yunani, hlm. 38-39).

9
dan menjadi” dan di dalam ajaran tentang “mengada yang aktual” dan “mengada potensial”
(actual being and potential being).

2.3. Anaximenes (588-524 SM)


Anaximenes lebih muda dari Anaximandros yang kemungkinan besar adalah muridnya.
Ia menulis suatu buku dan dari buku itu, sebagaimana juga Anaximandros, cuma satu fragmen
disimpan.
Anaximenes tidak dapat menerima pandangan Anaximandros. Bagaimana mungkin
“yang tak terbatas” (to apeiron) dapat menjadi prinsip pertama seluruh alam semesta dengan
segala isinya? Menurutnya, prinsip pertama adalah udara. Alasannya seperti jiwa menjamin
kesatuan tubuh, demikian juga udara melingkupi segala-galanya. Jiwa sendiri tidak lain adalah
udara yang dipupuk dengan bernafas dan mampu menghidupi badan manusia. Manusia akan
mati jika ia tidak bernafas. Seperti halnya, jiwa manusia adalah udara yang mampu
mempersatukan segala sesuatu dalam diri manusia, demikian juga udara mempersatukan segala
sesuatu di dalam alam semesta. Dengan demikian, Anaximenes adalah pemikir pertama yang
mengemukakan persamaan antara tubuh manusiawi dengan alam semesta; Tema ini muncul
dalam sejarah filsafat Yunani bahwa tubuh adalah microcosmos (dunia kecil) dan seakan-akan
mencerminkan alam semesta macrocosmos (dunia besar); Walaupun, Anaximenes belum
menggunakan istilah-istilah itu. Menurut Anaximenes, udara adalah penyebab dari segala
benda di dalam alam semesta. Hal ini terjadi karena “pemadatan dan pengenceran udara”
(condensation and rarefaction). Karena udara memadat, maka timbullah secara berturut-turut
angin, air, tanah, dan batu. Sebaliknya karena udara mengencer maka timbullah api. Udara
menjadi prinsip pertama dalam keberadaan alam semesta. Hal ini ditegaskan:
Sebagaimana Thales, Anaximenes menyatakan bahwa prinsip pertama materi terbatas, yaitu udara. Akan
tetapi, materi ini memberikan karakter dari prinsip Anaximandros, yaitu tak terbatas dan gerak yang
terus-menerus. Anaximenes melihat dalam udara ada kekuatan yang menjiwai dunia: “Sebagaimana jiwa
kita, udara menopang kita, nafas dan udara meresapi seluruh dunia”. Dunia itu seperti binatang raksasa
yang bernafas: nafas adalah hidupnya dan jiwanya. Dalam udara, semua hal bersembunyi yang telah dan
akan dan juga dewa-dewa dan segala hal ilahi. Udara adalah prinsip dari gerakan dan perubahan. 23

Sebagaimana Anaximandros, Anaximenes mengakui segala sesuatu yang berubah


dalam dunia memiliki siklus (il divenire ciclico). Akibatnya, segala hal yang berubah akan
mengalami peleburan periodik dalam prinsip awali. Selanjutnya, segala hal yang berubah akan
mengalami perulangan kembali dengan sendirinya.24 Kita dapat menggambarkan hal ini dalam
perkembangan manusia. Ketika seseorang masih bayi, semuanya dilayani oleh orang dewasa.
Ini karena kemampuan sebagai manusia masih terbatas. Demikian juga, ketika seseorang
menjadi tua renta, karakternya akan kembali seperti bayi. Ia butuh dilayani karena segala
kemampuannya menjadi menurun. Apa yang terjadi pada waktu bayi, juga terjadi pada waktu
tua renta. Dalam hal ini, ada peleburan kepada prinsip awali dan periodisasi yang terulang.
Seperti hal Thales, Anaximenes berpikir bahwa bumi harus ditopang sesuatu, tetapi
topangan itu adalah udara bukan air sehingga bumi melayang di atas udara. Bumi sendiri
berbentuk datar dan begitu pula benda-benda angkasa lainnya seperti matahari, bulan, dan
bintang-bintang. Mereka melayang-layang di udara seperti sehelai daun. Sebagai ganti rotasi
perputaran di atas dan di bawah dalam perjalanan siang dan malam, orbitnya horizontal
mengelilingi kita seperti topi berputar di sekitar kepala. Terbitnya dan terbenamnya benda-

23 Nicola Abbagnano, Storia della Filosofia, hlm. 19-20.


24 Nicola Abbagnano, Storia della Filosofia, hlm. 20.

10
benda angkasa bergantung kepada kemiringan bumi yang datar. Benda-benda angkasa itu tidak
terbenam di bawah bumi sebagaimana dipikirkan Anaximandros, tetapi mengelilingi bumi
yang datar itu. Matahari lenyap di waktu malam karena tertutup di bagian belakang bagian-
bagian tinggi bumi yang datar. Adapun prinsip utama, Anaximenes menemukan “yang tak
terbatas” Anaximandros konsep yang sangat langka, dan memilih, seperti Thales, untuk satu
konsep saja elemen yang ada sebagai hal fundamental, meskipun ia lebih memilih udara dari
pada air sebagai prinsip pertama alam semesta.25
Ajaran Anaximenes ini pada masa berikutnya diperdebatkan oleh Anaxagoras dan
Dionesius dari Apollonia. Menurut Anaxagoras, udara sebagai jiwa yang dimaksud oleh
Anaximenes adalah inteligensi. Sementara, Dionesius berpendapat bahwa udara meliputi
segala sesuatu sebagaimana jiwa dan nafas (pneuma) menciptakan kehidupan dalam binatang.
Karena itu, menurut Dionesius, udara itu tak diciptakan, menerangi, mencerahkan, menata,
menguasai segalanya.
Ada sejarawan yang menyangka bahwa ajaran Anaximenes merupakan kemunduran,
jika dibandingkan dengan pemikiran Anaximandros. Alasannya bahwa pemikiran
Anaximandros itu lebih subtil serta spekulatif. Tetapi ada sejarawan lain yang berpendapat
bahwa ajaran Anaximenes harus dianggap sebagai kemajuan. Alasan yang mereka kemukakan
ialah bahwa karena proses pemadatan dan pengenceran itu untuk pertama kalinya dinyatakan
sebagai suatu hukum fisis yang dikenakan kepada alam semesta sebagai pengganti hukum
moral (keadilan) dari Anaximandros. Dengan demikian perbedaan-perbedaan alam semesta
dianggap bersifat kuantitatif belaka. Anggapan ini membuka luas untuk penyelidikan ilmiah.26

3. Relevansi: Sumbangan Pemikiran


Para kosmolog Miletos (Thales, Anaximandros, dan Anaximenes) memberikan
pemikiran-pemikiran yang penting bagi kita. Hal ini bukan karena prestasi pemikiran atau
pemecahan masalah yang mereka berikan, melainkan karena persoalan-persoalan pokok dalam
spekulasi mereka lahir dari soal keberadaan alam semesta yang berlanjut sampai zaman kita.
Persoalan tentang alam semesta akan berlanjut dalam bentuk dan perubahan yang berbeda
secara terus-menerus.
Kelahiran kosmologi sebagai filsafat alam ini didorong oleh rasa kagum (admire). Rasa
kagum ini melahirkan pertanyaan dan pencarian akan jawabannya. Perhatian para komolog
Miletos ini diarahkan kepada kejadian yang ada di alam semesta. Alam semesta ini senantiasa
berubah: siang berganti malam, bulan terang berganti bulan gelap, laut pasang dan surut,
musim panas berganti musim dingin, dan lain sebagainya. Semua itu menimbulkan pertanyaan:
“Apa sebab ada perubahan-perubahan itu? Apa yang sebenarnya melatarbelakanginya?”
Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan ini, mereka berspekulasi dengan “prinsip pertama” yang
menjadikan keberadaan alam semesta. Walaupun prinsip-prinsip pertama mereka berbeda satu
sama lain, tetapi mereka telah meletakkan pondasi bagi kosmologi sebagai filsafat alam bagi
kita. Perlu ditambahkan bahwa rasa kagum para filsuf Miletos ini sebenarnya
berlatarbelakang pada mitos-mitos kosmogonis (penciptaan alam semesta) dan mitos-mitos
kosmologis (keberadaan alam semesta). Keunggulan para filsuf Miletos ini memberikan
jawaban rasional atas tanda-tanda yang disodorkan oleh alam semesta ini. Itulah prestasi yang

25 Bdk. Anthony Kenny, Ancient Philosophy: A New History of Western Philosophy (Vol. I), hlm. 8.
26 Kees Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, hlm. hlm. 40.

11
luar biasa, sekalipun banyak unsur dalam pemikiran mereka naif kedengarannya bagi orang
modern.27
Hasil penyelidikan para filsuf Miletos ini kiranya dapat disimpulkan dalam tiga
pernyataan. Pertama, alam semesta merupakan keseluruhan yang bersatu, akibatnya harus
diterangkan dengan menggunakan satu prinsip saja. Tetapi mereka tidak sepakat dalam
memilih zat asali yang menjamin dan mengartikan kesatuan dunia. Kedua, alam semesta
dikuasai oleh suatu hukum. Kejadian-kejadian dalam alam tidak kebetulan saja, tetapi ada
semacam keharusan di belakang kejadian-kejadian itu. Ketiga, akibatnya adalah bahwa alam
semesta adalah cosmos yang artinya adalah “dunia yang teratur” (Yunani). Bagi orang Yunani
cosmos (dunia yang teratur) bertentangan dan chaos (dunia yang kacau-balau).28

27 Bdk. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat, hlm. 18-19


28 Kees Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, hlm. 41.

12

Anda mungkin juga menyukai