PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap manusia dalam kehidupannya memiliki filsafat,1 sekalipun ia
sendiri tidak menyadari tentang hal tersebut. Untuk dapat mengatakan dan
mengerti apa itu filsafat maka seseorang tidak harus seorang filsuf. Akan
tetapi untuk dapat menyebabkan orang lain menghayati tentang filsafat,
memang haruslah ia seorang filsuf.2
Banyak orang yang menganggap bahwa filsafat adalah sesuatu yang
menakutkan. Dan bahkan dapat menyebabkan orang menjadi gila apabila
filsafat dipelajari dengan serius. Sehingga sedikit orang yang berminat
mempelajarinya. Akan tetapi, semua itu hanya merupakan sebuah mitos
seputar filsafat yang tidak hanya beredar di kalangan awam saja. Sebagian
agamawanpun berpandangan bahwa filsafat tidak menjanjikan kebenaran
mutlak, sehingga filsafat tidak diperlukan. Mereka memegang erat-erat kitab
suci sebagai pegangan hidup.
Namun, di sisi lain banyak pula orang yang termenung pada suatu
waktu. Oleh karena terdapat kejadian yang membingungkan dan kadang-
kadang karena ingin tahu maka mereka berfikir dengan sungguh-sungguh
tentang soal-soal yang pokok. Apakah kehidupan itu dan mengapa aku berada
di sini? Mengapa ada sesuatu? Apakah kedudukan kehidupan dalam alam
yang besar ini? Apakah keindahan itu? Apakah agama itu masih berperan
1
Filsafat dari segi semantik berasal dari bahasa Yunani “Philosophia” yang berarti cinta
kepada kebijaksanaan atau cinta kepada kebenaran. Philo sendiri berarti cinta, suka (love) dan
Sophia berarti pengetahuan, hikmah (wisdom) dan bijaksana, sedangkan dari segi praktisnya
filsafat berarti alam pikiran atau alam berfikir. Berfikir berarti berfilsafat tapi tidak semua berfikir
berarti berfilsafat karena berfilsafat adalah berfikir secara mendalam dan bersungguh-sungguh.
Filsuf adalah orang yang cinta pada pengetahuan. Lihat: A. Mustafa, Filsafat Islam, (Bandung:
CV Pustaka: 1997), hlm. 9.
2
Soejono Soemargono, Berfikir Secara Kefilsafatan, (Yogyakarta: Nur Cahaya, 1988),
hlm. 3
1
2
dalam kehidupan seseorang? Dan lain-lain yang semua soal tadi adalah
filsafat.3
Filsafat merupakan induk dari segala ilmu yang mencakup semua
ilmu-ilmu khusus. Dalam perkembangan selanjutnya, ilmu-ilmu khusus itu
satu demi satu memisahkan diri dari induknya (filsafat). Mula-mula
matematika dan fisika melepaskan diri, kemudian diikuti oleh ilmu-ilmu
khusus yang lainnya. Ternyata filsafat tidak mati dan bahkan hidup dengan
corak baru sebagai “ilmu istimewa” yang memecahkan masalah-masalah yang
tidak terpecahkan oleh limu-ilmu khusus.4 Dari sini maka timbul cabang-
cabang filsafat.
Cabang-cabang filsafat meliputi metafisika, epistemologi, metodologi,
logika, etika atau moral, dan estetika.5 Secara etimologi, epistemologi berasal
dari bahasa Yunani episteme dan logos. Episteme berarti pengetahuan
sedangkan logos berarti teori, uraian atau alasan.6 Sedangkan secara istilah,
epistemologi adalah ilmu filsafat tentang pengetahuan atau dengan pendek
kata filsafat pengetahuan.7
Persoalan-persoalan pokok dalam bidang epistemologi antara lain :
Pertama, apakah sumber-sumber pengetahuan? Kedua, apakah sifat dasar
pengetahuan itu? Adakah dunia yang benar-benar di luar pikiran dan kalau ada
dapatkah manusia mengetahuinya? Ini merupakan persoalan tentang apa yang
kelihatan (Phenomena atau Appearance) versus hakikat (Noumena atau
Essence). Ketiga, apakah pengetahuan itu benar (valid)? Bagaimana
membedakan yang benar dari yang salah? Ini merupakan bagian yang
mengkaji soal kebenaran atau verifikasi.8
3
Harold H. Titus dkk, Persoalan-persoalan Filsafat, (Jakarta : Bulan Bintang, 1984),
hlm. 14
4
Pradana Boy ZTF, Filsafat Islam Sejarah Aliran dan Tokoh, (Malang : UMM Press,
2003), hlm. 5-6
5
A. Chairil Basori, Filsafat, (Semarang : IAIN Walisongo, 1986), hlm. 12
6
Miska Muhammad Amin, Epsitemologi Islam, Pengantar Filsafat Pengetahuan Islam,
(Yogyakarta : UII, Press, 1983), hlm. 1-2
7
R.B.S. Fudiyartanto, Epistemologi, (Yogyakarta : Wara Widyani, 1978), hlm. 8
8
Harold H. Titus, op.cit., hlm. 188
3
9
Pradana Boy ZTF, op.cit., hlm. 12-13
10
Ibid.
11
Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1999), hlm. 244.
4
ilmu pengetahuan, lantara sifatnya yang berubah-ubah dan tidak tetap. Dengan
singkat, indera tidak memberi kepastian dan pengetahuan yang benar.12
Sebaliknya Aristoteles menyanggah teori ini dengan mengatakan
bahwa ide-ide bawaan itu tidak ada. Kalau Plato menekankan adanya dunia
“idea” yang berada di luar benda-benda konkret (Empiric), maka Aristoteles
tidak mengakui adanya dunia seperti itu.13 Kebalikan dari Plato, Aristoteles,
menekankan perlunya memanfaatkan pengalaman inderawi untuk
menekankan hukum-hukum dan idea-idea yang universal. Bagi Aristoteles
tanpa pengamatan inderawi, manusia tidak bisa menemukan hal-hal yang
bersifat intelektual-universal.14
Plato dan Aristoteles merupakan tokoh Rasionalisme dan Empirisme
pada masa Yunani. Di sisi lain, di abad pertengahan Agustinus (350-430) dan
Thomas Aquinas (1225-1247) dapat memadukan ajaran agama Kristen dengan
filsafat. Dalam perkembangan sejarah menuju abad ke-16, di Eropa muncul
suatu gerakan yaitu Renaissance (Kelahiran Kembali) sebagai awal dari
mentalisasi individu bangsa Barat. Kemudian abad ke-18 disusul Zaman
Aufklarung.15
Pengaruh dari gerakan Renaissance dan Aufklarung menyebabkan
peradaban dan kebudayaan Barat modern berkembang dengan pesat dan
semakin bebas dari pengaruh dogma-dogma gereja. Wacana filsafat yang
menjadi topik utama pada zaman modern khususnya abad ke-17 adalah
Epistemologi. Di abad moden ini, muncul dua aliran filsafat yang saling
bertentangan yaitu Rasionalisme dan Empirisme. Descrates dan Leibniz
merupakan tokoh-tokoh Rasionalisme abad modern. Sedangkan tokoh-tokoh
Empirisme antara lain Francis Bacon, Thomas Hobbes, John Locke, David
12
Harold H. Titus, op.cit., hlm. 256
13
Harun Hadiwiyono, op.cit., hlm. 244
14
Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas, (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 1999), hlm. 244
15
Aufklarung berarti Pencerahan. Orang Inggris mengatakan “Enlightenment”, nama ini
diberikan kepada zaman ini, karena manusia mencari cahaya baru dalam rasionya, Kant memberi
definisi Aufklarung bahwa manusia keluar dari keadaan tidak akil baliq (bahasa Jerman
“unmundrgkeit” yang dengannya ia sendiri bersalah. Lihat: K. Berterns, Ringkasan Sejarah
Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hlm. 53.
5
16
H. B. Acton, Dasar-dasar Filsafat Moral, Elaborasi terhadap Pemikiran Etika
Immanuel Kant, (Surabaya: Pustaka Eureka, 2003), hlm. 1.
17
Sindhunata, Dilema Usaha Manusia Rasional, (Jakarta : PT. Gramedia, 1983), hlm. 30
18
Ali Mudhofir, Kamus Filsafat Barat, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 87
19
Amin Abdullah, op.cit., hlm. 249
6
Barat dapat membuka perspektif baru dalam kajian ilmu pengetahuan yang
multi-dimensional. Kecenderungan epistemologi dalam pemikiran Islam
beringut lebih tajam ke wilayah Idealisme dan Rasionalisme, dengan tidak
begitu peduli pada masukan-masukan yang diberikan oleh Empirisme.20
Sebelum kedatangan Islam permasalahan akal telah dibicarakan.
Diantara pendapat tentang akal yang banyak menjadi rujukan Muslim adalah
pendapat Plato, Aristoteles, dan Plotinus atau Neo-Platonisme. Menurut
Plotinus sebagaimana dikutup A. Hanafi mengatakan, “Akal keluar langsung
dari yang pertama, ke-Esaan pertama dari segala segi menjadi berbilang
dengan akal, karena dengan adanya akal maka ada lagi yang menjadi obyek
pemikiran. Mulailah timbul keduanya sesudah adanya ke-Esan, yang mutlak
pada yang pertama.21
Menurut M. Amin Abdullah, dalam dunia pemikiran Muslim
setidaknya ada 3 macam teori pengetahuan yang biasa disebut-sebut yakni
pengetahuan rasional, pengetahuan inderawi dan pengetahuan kasyf yang
diperoleh lewat ilham.22 Dari ketiga teori tersebut, pengetahuan rasional
sangat mendominasi tradisi filsafat Islam, sedangkan pengetahuan inderawi
atau empiris kurang mendapat tempat, sekalipun al-Qur'an sendiri banyak
mendorong untuk menggunakan indera sebagai sumber pengetahuan.
Khazanah pemikiran Islam paska masa kodifikasi (abad 2/3 H) hingga
masa kini adalah citra sekaligus manifestasi dari sejarah panjang pergulatan
para intelektual Muslim, baik pada ranah filsafat, ideologi, teologi, hukum
serta bidang-bidang lain.23 Saat ini kita mengenal Muhammad Abed al-Jabiri,
seorang pemikir Muslim kontemporer asal Maroko, yang tidak asing lagi,
khususnya setelah beberapa karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia. Mencuatnya nama al-Jabiri, tidak lepas dari proyek pemikirannya
yang ia sebut Kritik Nalar Arab yang ia tuangkan dalam dua buah buku yaitu
20
Ibid., hlm. 250
21
A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1990), hlm. 35
22
Amin Abdullah, op.cit., hlm. 250
23
Moh Abed Al-Jabiri, Kritik Kontemporer atas Filsafat Arab – Islam, terj. Al-Khitab Al-
Rabi Al_Mu'atir, penj. Muh. Nur Ichwan, (Yogyakarta : Islamika, 2003), hlm. xiii
7
dalam Takwin al-Aql al-Arabi (Formasi Nalar Arab) dan Bunyah al-Aql al-
Arabi : Dirasah Tahliliyah Naqliyah li Nudzum al-Ma’rifah fi al-Tsaqafah al-
Arabiyah (Struktur Nalar Arab : Studi Kritik Analitik atas Sistem-sistem
Pemikiran dalam Kebudayaan Arab).24
Karya tersebut, telah mempengaruhi dan menimbulkan perdebatan di
dunia Arab, sekarang karya tersebut menjadi salah satu karya terbaik
mengenai pemikiran Arab kontemporer. Medan perhatian al-Jabiri, pada
mulanya dan sebenarnya bukanlah agama, karena ia bukanlah seorang
mutakallim (teolog) liberal atau seorang spesialis dalam bidang agama, yang
bertujuan menawarkan pandangan-pandangan dan alternatif kritis terhadap
ortodoksi keagamaan yang ada. Akan tetapi, ia mengemukakan gagasan-
gagasan yang mau tidak mau menyentuh wilayah pemikiran keagamaan,
(karena) sejauh gagasan itu merupakan bagian dari sejarah intelektual Arab.
Dalam hal ini, ia menyumbang pada metode-metode dasar dan pandangan-
pandangan dunia. Di sini ia lebih bertindak sebagai filsuf dan sejarawan
mengenai pemikiran-pemikiran yang didekati melalui dasar-dasar
epistemologi atau sistem pemikiran, daripada seorang pemikir yang
perhatiannya pada muatan dan pengaruh sistem-sistem ini.25
Menurut al-Jabiri, berdasarkan konteks geografis, khazanah pemikiran
Islam dibedakan menjadi dua wilayah yaitu Timur (al-Masyriq) dan Barat (al-
Maghrib). Wilayah Timur (al-Masyriq) meliputi Persia, Mesir, Irak, Syria,
Khurasan dan beberapa wilayah lain. Dalam bidang filsafat, dapat dilihat
tokoh Ibn Sina yang dianggap sebagai representasi dari tradisi Rasionalisme
ketimuran, dan beberapa tokoh dalam berbagai bidang tertentu seperti al-
Ghazali, al-Asy’ari, dan asy-Syafi’i. Wilayah Barat (al-Maghrib), meliputi
Maroko dan Andalusia (Spanyol), dengan banyak prestasi dalam bidang
pemikiran serta ilmu pengetahuan, dan telah banyak memberikan pengaruh
24
Moh Abed al-Jabiri, Formasi Nalar Arab Kritik Tradisi menuju Pembebasan dan
Pluralisme Wacana Intereligius, terj. Takwin Al-Aql-Al-Arabi, penj. Imam Khoiri, (Yogyakarta :
IRCiSoD 2003), hlm. 5
25
Ahmad Baso, Post-Tradisionalisme Islam Moh. Abed Al-Jabiri, (Yogyakarta : LKiS,
2000), hlm. vi-vii
8
26
Moh Abed al-Jabiri, Kritik Kontemporer atas Filsafat Arab – Islam, loc.cit.
27
Ibid., hlm. xiv-xv
28
Ahmad Baso, op.cit., hlm. xx-ix
9
B. Penegasan Istilah
Untuk menghindari salah penafsiran dalam memahami judul
“Epistemologi Kritisisme Immanuel Kant dalam Perspektif Islam”, maka
29
Moh Abed al-Jabiri, Kritik Kontemporer Filsafat Arab Islam, op.cit., hlm. xxvii-xxxi
30
Ibid.
10
31
Ahmad Tafsir. op.cit, hlm. 23.
32
Miska Muhammad Amin, op.cit., hlm. 3
11
dan peranan unsur aposteriori yang berasal dari pengalaman yang berupa
materi.33
3. Immanuel Kant
Tokoh filsuf besar yang pernah tampil dalam pentas pemikiran
filosofis zaman Aufklarung Jerman menjelang akhir abad ke-18.34 Lahir di
Konigsberg, sebutan kota kecil di Prusia Timur. Hidup dalam dua periode
: periode pra kritis dan kritis. Pada masa pra kritis, ia menganut
rasionalismenya Cristian Wolf dan kawan-kawannya, kemudian
terpengaruh Empirisme-nya Hume. Dan pada masa kritis, Kant mengubah
wajah filsafat secara radikal dengan Kritisismenya.35 Karya Kant dalam
Epistemologi adalah The Critique of Pure Reason (Kritik Atas Rasio
Murni).
4. Perspektif Islam
Perspektif Islam adalah sudut pandang dalam agama Islam.36
Namun dalam skripsi ini penulis lebih menekankan pada perspektif Abed
Al-Jabiri, terutama perspektif nalar Burhaninya. Hal ini dimaksudkan
supaya pembahasan lebih spesifik.
Berdasarkan pengertian istilah-istilah tersebut maka yang penulis
maksud dengan Epistemologi Kritisisme Immanuel Kant dalam Perspektif
Islam adalah teori pengetahuan Immanuel Kant yang berasal dari luar
maupun dari diri manusia itu sendiri dilihat dalam sudut pandang Islam.
Dan lebih ditekankan pada perspektif Abed Al-Jabiri dengan Nalar
Burhani-nya.
C. Pokok Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, maka pokok-pokok permasalahan
yang akan dikaji melalui penelitian ini adalah sebagai berikut :
33
Juhaya S. Praja, op. cit. hlm. 76-77.
34
Lili Tjacjadi, Hukum Moral Ajaran Immanuel Kant tentang Etika dan Imperatif
Kategoris, (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 25.
35
Ali Mudhofir, Kamus Filsafat Barat, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 87.
36
W.J.S. Poerwadaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka,
1976), hlm. 704.
12
E. Tinjauan Pustaka
Sejauh penelusuran penulis, penelitian tentang Epistemologi Kritisisme
Immanuel Kant dalam Perspektif Islam, belum ada yang mengkaji atau
meneliti baik dalam bentuk skripsi maupun dalam karya ilmiah yang lain. Hal
ini sangat mendorong penulis untuk mengkaji lebih dalam tentang
Epistemologi Kritisisme Immanuel Kant dalam Perspektif Islam.
Dalam rangka menghindari terjadinya kesamaan obyek kajian dalam
penelitian ini, maka penulis menampilkan beberapa karya ilmiah tentang
Pemikiran Immanuel Kant dalam perspektif lain, diantaranya :
Pertama, Antara Al-Ghozali dan Immanuel Kant, Filsafat Etika Islam,
dikarang oleh Amin Abdullah, seorang doktor di bidang filsafat dari Middle
East Technical University Turki. Diberi kata pengantar oleh Haider Baqir,
buku ini diterbitkan Mizan, Bandung tahun 2002. Yang ditonjolkan dalam
13
F. Metodologi Penelitian
Pada dasarnya jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan
(Library Research), maka sistematika metode yang dipakai adalah sebagai
berikut :
1. Sumber Data
Guna mencapai maksud dan tujuan dalam skripsi ini, maka
penulis melakukan penelitian dengan cara memahami literatur yang ada
dan mengumpulkan data sebanyak-banyaknya, serta mengolah data-data
tersebut berdasarkan kriteria sumbernya. Dalam penelitian ini penulis
membagi dua sumber data sebagai berikut :
a. Data Primer
Adalah seluruh data-data yang ditulis oleh Immanuel Kant dan
Abed Al-Jabiri tentang masalah (objek) yang sedang dikaji atau
diteliti sesuai dengan judul, yaitu tentang Epistemologi. Secara
sederhana data ini disebut data asli.37 Diantaranya yaitu buku
Immanuel Kant The Critique of Pure Reason dan buku Abed Al-
Jabiri Formasi Nalar Arab terjemahan dari Taqwin Al-Aql Al-Arabi.
b. Data Sekunder
Adapun data sekundernya penulis menggunakan buku-buku
yang membahas tentang Immanuel Kant. Data sekunder ini meliputi
buku-buku dari tokoh yang menguatkan dan memberikan interpretasi
dari pemikiran yang ada pada data primer.
2. Metode Pengumpulan Data
Objek penelitian yang dikaji dalam skripsi ini adalah
epistemologi Barat Immanuel Kant. Maka dalam pengumpulan data,
metode yang dipakai adalah metode library research, yaitu teknik
37
Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1998),
hlm. 85.
15
38
Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta : Fakultas Psikologi UGM, 1986),
hlm. 49.
39
Noeng Muhajir, Metode Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rakhe Sarasin, 1993),
hlm.5.
40
Sudharto, Metode Penelitian Filsafat, (Jakarta: Raja Wali Grafindo Persada, 1996)
hlm.57.
41
Anton Baker dan Ahmad Kharis Jubaid, Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta:
Kanisius, 1990), hlm, 65.
16
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi dimaksudkan untuk lebih memperjelas
setiap permasalahan yang dikemukakan. Dan dimaksudkan pula, supaya
dalam penulisan skripsi ini diperoleh bentuk tulisan yang ilmiah dan
sistematis. Adapun dalam penulisan skripsi ini, penulis bagi dalam lima bab.
Lima bab tersebut merupakan rangkaian yang tidak dapat dipisahkan antara
bab yang satu dengan bab yang lainnya.
Untuk lebih jelasnya penulis uraikan sebagai berikut:
Bab pertama (Pendahuluan) terdiri atas enam sub bab. Sub bab
pertama, Latar Belakang Masalah, menjelaskan tentang landasan pemikiran
dan gambaran secara umum, yakni memberikan gambaran terhadap
munculnya Kritisisme dan gambaran terhadap Epistemologi Islam pada
umumnya serta kerangka Epistemologi Abed Al-Jabiri yang sifatnya
menghantarkan pada pokok masalah. Agar dalam memahami judul tersebut
tidak salah penafsiran maka dalam sub bab kedua, penulis menampilkan
Penegasan Judul. Berisi tentang istilah-istilah judul yakni istilah Epistemologi,
Kritisisme, Immanuel Kant dan Perspektif Islam. Dalam perspektif Islam ini
penulis sengaja menggunakan perspektif dengan nalar burhani. Karena nalar
burhani tersebut sangat cocok digunakan dalam memandang epistemologi
kritisisme Kant. Selain itu juga dimaksudkan supaya pembahasannya lebih
42
Sumadi Suryabrata, loc.cit.
17
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin, antara al-Ghazali dan Kant Filsafat Etika Islam, Bandung:
Mizan, 2002.
al-Jabiri, Moh. Abed, Formasi Nalar Arab Kritik Tradisi menuju Pembebasan
dan Pluralisme Wacana Intereligius, Yogyakarta : IRCiSoD 2003.
Boy, Pradana ZTF, Filsafat Islam Sejarah Aliran dan Tokoh, Malang : UMM
Press, 2003.
Sudarto, Metode Penelitian Filsafat, Jakarta: Raja Wali Grafindo Persada, 1996.
Tjacjadi, Lili, Hukum Moral Ajaran Immanuel Kant tentang Etika dan Imperatif
Kategoris, Yogyakarta: Kanisius, 1991.