Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai bidang pengetahuan yang khas, filsafat sudah barang tentu memiliki hampiran, metode,
dan langkah yang tersendiri pula untuk mempelajarinya. Hampiran, metode, dan langkah itu pun
beragam sesuai dengan filsuf yang mengemukakannya sehingga tidak ada satu metode khusus dan
paling baik berlaku, serta paling membawa hasil bagi bidang pengetahuan ini. Semua cara yang meliputi
aneka titik pangkal, problema yang menjadi pusat perhatian. Setiap orang yang akan memulai belajar
filsafat dapat memilih dan menggunakan satu atau beberapa cara yang sejalan dan sesuai dengan
kemampuan pikirannya. Sampai saat ini masih saja ada orang yang menganggap filsafat sebagai sebuah
disiplin yang mengawang, kosong dan jauh dari kehidupan sehari-hari. Mitos-mitos seperti ini
berkembang tidak hanya di kalangan orang awam saja, tapi juga di kalangan agamawan, ilmuwan,
seniman, dan pembisnis. Mereka menafikan bahwa filsafat merupakan upaya kritis yang membantu kita
untuk memahami realitas kehidupan pada umumnya maupun kehidupan subjektif kita secara mendasar
dan prinsipal.
Padahal dengan filsafat kita akan mampu memikirkan segala hal secara radikal (mendalam,
mendasar sampai ke akar-akarnya), sistematik (teratur, runtut, logis dan tidak serampangan) untuk
mencapai kebenaran universal (umum, teritegral, tidak khusus dan tidak parsial). Berbagai pertanyaan
dan masalah seputar kehidupan manusia sehari-hari didalamnya tidak dengan eksperimen-eksperimen
dan percobaan-percobaan semu, tetapi dengan mengutarakan problem secara persisi, memberikan
argumentasi dan alasannya yang tepat, juga solusinya. Oleh karena itu, keberadaan filsafat menjadi hajat
vital bagi hidup manusia. Apalagi apa yang dikajinya tidak sekedar mencerminkan masa di mana kita
hidup, tapi juga membimbing untuk berpikir, sementara makhluk lainnya tidak. Manusia berpikir
dengan akalnya. Akal memang salah satu keistimewaan yang di anugerahkan Allah kepada manusia.
Adapun mengenai prinsip berfilsafat, dalam kehidupan yang manusia tidak tahu apa yang akan
terjadi didalamnya, yang tidak tahu apa yang akan menimpanya, yang hanya bias menebak dan tidak
bisa memastikan, karena yang ada hanyalah peluang yang belum tentu tepat, sehingga dapat merubah
garis jalan kehidupannya yang membuat arah manusia itu berbelok entah kemana, yang kadang belokan
itu membawanya pada tujuan yang diharapkan dan kadang kebalikannya. Manusia membutuhkan
komponen yang tak bisa dihiraukan begitu saja, itu adalah log pose atau penunjuk arah dan tekad yang
kuat agar garis finish yang ditujunya bisa tercapai. Namun kadang tekat itu mengendur bahkan hilang
tergantikan oleh tekad yang baru. Itulah yang akan terjadi bila manusia tidak mengingat akan prinsip
yang harus ia jadikan penguat tekad dan penunjuk arah tersebut.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Sejarah dan definisi dari filsafat ?
2. Apa saja prinsip-prinsip dalam berfilsafat ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui sejarah dan definisi dari filsafat
2. Untuk mengetahui prinsip-prinsip dalam berfilsafat
BAB II
PEMBAHASAN
1. Sejarah dan Definisi Filsafat
1.1. Sejarah Filsafat
Setiap pemikiran manusia selalu memiliki sejarah sendiri-sendiri, dan biasanya selalu terkait dengan
pola kebudayaan yang melingkupinya. Sejarah awal munculnya khazanah pemikiran filsafat tidak bisa
dilepaskan begitu saja dengan kebudayaan dan peradaban Yunani. Pasalnya, di negeri itulah filsafat
lahir dan berkembang hingga mencengangkan peradaban dunia lain hingga abad ini. Karenanya, tak
heran bila banyak pihak mengkaji filsafat berawal dari sejarah peradaban Yunani Kuno, lalu abad
pertengahan, modern sampai abad kontemporer seperti saat ini.
Bertrand Russell (1946), dalam bukunya History of Western Philosophy, menengarai munculnya
filsafat di Yunani tersebut akibat kemahiran bangsa Yunani dalam merajut dan menyempurnakan
peradaban besar lainnya pada saat itu seperti Mesir dan Mesopotamia.
Jauh sebelum filsafat muncul, masyarakat Yunani masih menggantungkan diri pada mitos,
legenda, kepercayaan, dan agama untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tentang
kehidupan mereka. Tetapi, sekitar abad ke-7 SM, di Yunani mulai berkembang suatu pendekatan yang
sama sekali berlainan dibanding masa-masa sebelumnya, yaitu pendekatan filsafat. Sejak saat itulah
orang mulai mencari jawaban rasional tentang berbagai problem yang dihadapi, termasuk beragam
masalah mengenai alam semesta.
Dari sinilah peradaban Yunani mengalami titik balik peradaban yang cukup menakjubkan.
Sebab, di zaman ini orang-orang mulai berpikir dan berdiskusi tentang keadaan alam, dunia, dan
lingkungan sekitar dengan tidak lagi menggantungkan diri pada mitos, legenda, kepercayaan, dan
agama. Tetapi, mereka mulai menggunakan rasio dan akal sehat dalam rangka untuk mencari jawaban
atas pertanyaan-pertanyaan kehidupan. Hemat kata, fungsi logos (akal budi, rasio) telah menggantikan
peran mitos, legenda, kepercayaan, dan agama. Begitulah singkat sejarah filsafat muncul dan lahir
kemudian berkembang sebagai sebuah khazanah ilmu pengetahuan.
Dalam banyak literatur filsafat mutakhir, klasifikasi tahap sejarah filsafat Barat dibagi menjadi
empat tahap penting, yaitu filsafat klasik, abad pertengahan, modern, dan kontemporer. Pembagian
tersebut sekaligus menyempurnakan karya agungnya Bertrand Russell, History of western philosophy,
yang menyatakan tiga tahap penting sejarah filsafat Barat, yaitu: Tahap filsafat kuno, filsafat katolik,
dan filsafat modern.
1.2. Definisi Filsafat
Secara etimologis, istilah “filsafat” merupakan padanan kata falsafah (bahasa Arab)
dan philosophy (bahasa inggris), yang berasal dari bahasa Yunani philosophia. Kata philosphia adalah
kata majemuk yang terdiri dari dua kata, philos dan Sophia. Kata philos berarti cinta
(love) atau sahabat, dan Sophia berarti kebijaksanaan (wisdom),kearifan, dan pengetahuan. Sehingga
secara etimologis, kata filsafat berarti “love of wisdom” atau cinta kebijaksanaan, cinta kearifan, cinta
pengetahuan, atau sahabat kebijaksanaan, sahabat kearifan, dan sahabat pengetahuan.
Menurut sejarah, istilah philosophia pertama kali digunakan oleh Pythagoras (sekitar abad ke-6
SM). Ketika diajukan pertanyaan kepadanya, “apakah Anda termasuk orang yang bijaksana?”. Dengan
rendah hati Pythagoras menjawab, “Saya hanya seorang philosophos”, “pecinta kebijaksanaan” (lover
of wisdom), atau dalam sumber lain, Pythagoras menjawab, “Saya hanya orang mencintai pengetahuan”.
Jawaban Pythagoras ini sebagai reaksi terhadap kaum sophis, yakni sekelompok cendekiawan yang
menggunakan hujah-hujahnya untuk mengalahkan lawan-lawan debatnya.
Lebih dari itu kaum sophis menjajakan kepandaiannya untuk mengambil untung dari lawan-lawan
debatnya atau masyarakat yang diajarinya dengan menarik bayaran tertentu. Di tangan kelompok ini,
kata sophis (arif) kehilangan arti aslinya dan kemudian menjadi seseorang yang menggunakan hujah-
hujah yang keliru untuk mengalahkan lawan dialognya.
Lepas dari siapa yang menyebut pertama kali istilah philosophia atau filsafat, yang jelas pada
masa Socrates dan Plato istilah tersebut sudah cukup popular. Dalam memahami apa sebenarnya filsafat,
kita tidak cukup hanya mengetahui asal-usul dan arti istilah yang digunakan, melainkan juga harus
memperhatikan konsep dan definisi yang diberikan oleh para filsuf menurut pemahaman mereka
masing-masing. Akan tetapi, perlu dikatakan pula bahwa definisi yang diberikan para filsuf tidak selalu
sama. Bahkan, dapat dikatakan setiap filsuf memiliki konsep dan definisi sendiri-sendiri yang berbeda
dengan filsuf lainnya. Karena itu, ada yang mengatakan bahwa jumlah konsep dan definisi filsafat itu
sebanyak jumlah filsuf atau ahli filsafat itu sendiri.
Secara terminologis (istilah), terdapat banyak definisi tentang pengertian filsafat. Beragamnya
definisi filsafat menunjukkan bahwa manusia memiliki kebebasan untuk memilih sudut pandang (point
of view) dalam memikirkan filsafat. Bahkan, perbedaan sudut pandangan ini diusahakan untuk dapat
saling melengkapi. Karena setiap sudut pandangan pasti memiliki kekurangan atau kelemahan.
Berikut ini hanya mengambil beberapa definisi dari beberapa filsuf dan ahli filsafat.
1. Para filsuf pra-Socrates
Para filsuf pra-Socrates mempertanyakan tentang arche, yakni awal mula atau asal-usul alam dan
berusaha menjawabnya dengan menggunakan logos atau rasio tanpa percaya lagi pada jawaban mitos
atau legenda. Oleh sebab itu, bagi mereka, filsafat adalah ilmu yang berupaya untuk memahami hakikat
alam dan realitas dengan mengandalkan akal budi.
2. Plato
Filsafata adalah ilmu pengetahuan yang berusaha meraih kebenaran yang asli dan murni. Selain itu, ia
juga mengatakan bahwa filsafat adalah penyeledikan tentang sebab-sebab dan asas-asas yang paling
akhir dari segala sesuatu yang ada.
3. Aristoteles
Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang senantiasa berupaya mencari prinsip-prinsip dan penyebab-
penyebab dari realitas yang ada.
4. Rene Descartes
Filsafat adalah himpunan dari segala pengetahuan yang pangkal penyeledikannya adalah mengenai
Tuhan, alam, dan manusia.
5. Wiliam James
Filsafat adalah suatu upaya yang luar biasa hebat untuk berpikir yang jelas dan terang.
6. R.F. Beerling
Filsafat adalah mempertanyakan tentang seluruh kenyataan atau tentang hakikat, asas, prinsip dari
kenyataan.Beerling juga mengatakan bahwa filsafat adalah usaha untuk mencapai akar terdalam
kenyataan dunia wujud, juga akar terdalam pengetahuan tentang diri sendiri.
7. Louis O. Kattsoff
Filsafat merupakan suatu analisis secara hati-hati terhadap penelaran-penalaran mengenai suatu
masalah, dan penyusunan secara sengaja serta sistematis suatu sudut pandang yang menjadi dasar suatu
tindakan.
Dari serangkaian definisi diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa filsafat adalah proses berpikir
secara radikal, sistematik, dan universal terhadap segala yang ada dan yang mungkin ada. Dengan kata
lain, berfilsafat berarti berpikir secara radikal (mendasar, mendalam, sampai ke akar-akarnya),
sistematik (teratur, runtut, logis, dan tidak serampangan) untuk mencapai kebenaran universal (umum,
terintegral, dan tidak khusus serta tidak parsial).
Filsafat adalah hasil akal seorang manusia yang mencari dan memikirkan suatu kebenaran
dengan sedalam-dalamnya. Upaya untuk mencari jawaban kebenaran melalui pendekatan berfikir secara
kritis, integral, reflektif, radikal, sistimatis, dan universal.
Adapun mengenai prinsip berfilsafat, dalam kehidupan yang manusia tidak tahu apa yang akan
terjadi di dalamnya, yang tidak tahu apa yang akan menimpanya, yang hanya bisa menebak dan tidak
bisa memastikan, karena yang ada hanyalah peluang yang belum tentu tepat, sehingga dapat merubah
garis jalan kehidupannya yang membuat arah manusia itu berbelok entah kemana, yang kadang kelokan
itu membawanya pada tujuan yang diharapkan dan kadang kebalikannya, manusia membutuhkan
komponen yang tak bisa dihiraukan begitu saja itu adalah log pose atau penunjuk arah dan tekad yang
kuat agar garis finish yang ditujunya bisa tercapai. Namun kadang tekad itu mengendur bahkan hilang
tergantikan oleh tekad yang baru. Itulah yang akan terjadi bila manusia tidak mengingat akan prinsip
yang harus ia jadikan penguat tekad dan penunjuk arah tersebut.

2. PRINSIP-PRINSIP DALAM BERFILSAFAT

Dalam kehidupan yang manusia tidak tahu apa yang akan terjadi dalamnya, yang tidak tahu apa
yang akan menimpanya, yang hanya bisa menebak dan tidak bisa memastikan, karena yang ada
hanyalah peluang yang belum tentu tepat, sehingga dapat merubah garis jalan kehidupannya yang
membuat arah manusia itu berbelok entah kemana, yang kadang kelokan itu membawanya pada tujuan
yang diharapkan dan kadang kebalikannya, manusia membutuhkan komponen yang tak bisa dihiraukan
begitu saja itu adalah log pose atau penunjuk arah dan tekad yang kuat agar garis finish yang ditujunya
bisa tercapai. Namun kadang tekad itu mengendur bahkan hilang tergantikan oleh tekad yang baru.
Itulah yang akan terjadi bila manusia tidak mengingat akan prinsip yang harus ia jadikan penguat tekad
dan penunjuk arah tersebut.
Prinsip adalah rambu yang mengingatkan tujuan sebenarnya yang sudah ditempel pada awal
perjalanan. Manusia hidup sesuai prisipnya masing-masing, manusia mengatur langkahnya
menggunakan prinsip dengan harapan ia dapat mencapai tujannya. Namun prinsip bukanlah suatu rambu
yang dibuat oleh ego sendiri. Prinsip yang kita buat tidak bisa dijadikan patokan bila mengganggu
prinsip lain, menghadang jalan lain, mengubah arah jalan lain ke jurang dalam. Dampak tidak mematuhi
prinsip yang benar dapat berupa dampak yang besar dan dampak yang sedikit-sedikit menjadi besar.
Besar atau kecilnya dampak yang akan terjadi dapat diprediksikan dari penting atau tidaknya langkah
pelaku.
Seorang filsuf dapat dikatakan sebagai pelaku yang mempunyai langkah penting, dan
mempunyai andil pada langkah orang lain. Seorang filsuf mempunyai tugas menyalakan lilin di ruang
gelap menunggu matahari terbit lagi. Sebuah peradaban dapat berjalan baik atau buruk tergantung pada
ilmuan itu, apakah dia memegang prinsip untuk menerangi jalan atau memperburuk keadan.
Sebagai manusia yang hidup berdampingan, yang belajar dengan melihat apa yang terjadi pada
kehidupan yang sepertinya ramai ini, yang berinteraksi satu sama lainnya, yang saling memenuhi
kebutuhan satu sama lainnya pasti dapat mengetahui apa yang baik dan apa yang buruk. Semua hal yang
dicetuskan merupakan hasil dari pertimbangan dalam kehidupan, begitupun dengan prinsip di bawah
ini. Prinsip ini merupakan hasil pertimbangan dari pengelihatan dan pemikiran tentang hal yang
sewajarnya dimiliki oleh seorang makhluk hidup yang berpopulasi, terutama seorang filsuf.
Dari pertimbangan itu mengasilkan Lima prinsip penting dalam berfilsafat:
1. Meniadakan kecongkakan mana tahu sendiri
Prinsip ini adalah prinsip yang harus selalu dipegang oleh manusia dalam segala keadaan, tanpa
prinsip ini manusia tidak akan menemukan ke-objektifitasan terhadap apa yang telah ditelaahnya.
Terutama dalam berfilsafat, seorang filsuf itu tidak akan menemukan jalan lain yang padahal jalan itu
sendiri dapat memberikannya jalan keluar terhadap jalan pikirannya yang mungkin sedang terhalang
oleh tembok permasalahan yang tidak dapat diatasi olehnya sendiri.
Seorang filsuf pernah berpantun tentang macam manusia:
Ada orang yang tahu ditahunya
Ada orang yang tahu ditidaktahunya
Ada orang yang tidak tahu ditahunya
Ada orang yang tidak tahu ditidaktahunya

Itulah mengapa seorang filsuf tidak boleh mengurung pikirannya. Seorang filsuf harus selalu
bercermin terhadap pikirannya agar tidak termasuk macam orang yang tahu ditidaktahunya dan
tidaktahu ditidaktahunya.
2. Perlunya sikap mental berupa kesetiaan pada kebenaran
Dalam prinsip ini seorang filsuf haruslah berpikir tentang dampak apa yang akan terjadi bila ia
menyembunyikan kebenaran. Janganlah terjadi kejadian seorang filsuf merubah arahnya ke jalan
menuju jurang kesesatan. Berfilsafat merupakan berjalan mendahului orang lain untuk mengetahui jalan
mana yang benar yang pantas untuk ditunjukkan kepada orang lain. Bila seorang filsuf
menyembunyikan kebenaran dan menunjukkan arah yang salah maka orang lain yang di belakangnya
pun akan jauh ke jurang kesesatan.
Dalam petualangan kehidupannya, seorang filsuf haruslah berjanji kepada dirinya untuk menuju
garis finish yang sebenarnya. Meskipun ia harus merasakan lubang di jalan. Meskipun jalan yang
ditempuhnya sangat panjang. Namun mental yang kuat untuk seorang filsuf dapat menenangkannya
demi garis finish yang sudah menunggunya.
3. Memahami secara sungguh-sungguh persoalan-persoalan filsafat serta berusaha memikirkan
jawabannya.
Dalam prinsip ini yang menjadi acuan pokok adalah tekad dan kegigihan seorang filsuf.
Sebenarnya prinsip ini dapat kita benarkan dengan melihat kejadian yang terjadi pada kehidupan yang
dialami, apa maksudnya? Dapat kita lihat sendiri tidak ada satupun makhluk hidup yang berdiam diri,
tak beraksi untuk memenuhi kehidupannya. Semua makhluk hidup berjuang untuk dapat bertahan
hidup. Begitupun dengan seorang filsuf, ia dapat bertahan dan berhasil mendapatkan jawaban yang
dibutuhkan dengan kegigihannya melawan beratnya masalah yang dihadapi.
4. Latihan intelektual itu dilakukan secara aktif dari waktu kewaktu dan diungkapkan baik secara lisan
maupun tertulis.
Seperti yang telah kita ketahui dalam film-film yang kita tonton, seorang pendekar mulai
mengembara ketika latihannya telah selesai, dan siap menghadapi kenyataan yang ada. Hal itu hampir
sama dengan seorang filsuf hanya saja seorang filsuf melakukan latihannya bukan hanya ketika hendak
mengembara namun seorang filsuf melakukannya terus meskipun sudah berada pada tahap
pengembaraan. Itu semua dilakukan karena tidak selamanya pedang dipakai untuk menebas. Seorang
filsuf harus berlatih menjadi orang yang flexible, agar ia siap menerima dan mengirim pemikirannya
pada masalah yang datang pada waktu yang terus berubah.
5. Sikap keterbukaan diri, artinya orang yang mempelajari filsafat sebaiknya tidak dihinggapi oleh
prasangka tertentu.
Prinsip ini sebenarnya mempunyai hubungan dengan prinsip yang pertama. Tujuan dari prinsip
ini sama dengan prinsip yang pertama, hanya saja bila prinsip yang pertama berupa larangan dan prinsip
ini berupa perintah. Namun tetap kedua prinsip itu mempunyai point khusus dan saling
berkesinambungan. Seorang filsuf dilarang mempunyai sifat mana tahu sendiri, pada prinsip ini
memberikan syarat untuk memegang prinsip yang kelima. Bila seorang filsuf sudah bisa mengatur ego
nya, maka ia harus belajar untuk melaksanakan prinsip keterbukaan ini.
BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
1. Beragamnya definisi filsafat menunjukkan bahwa manusia memiliki kebebasan untuk memilih sudut
pandang (point of view) dalam memikirkan filsafat. Bahkan, perbedaan sudut pandangan ini diusahakan
untuk dapat saling melengkapi. Karena setiap sudut pandangan pasti memiliki kekurangan atau
kelemahan. dapat ditarik kesimpulan bahwa filsafat adalah proses berpikir secara radikal, sistematik,
dan universal terhadap segala yang ada dan yang mungkin ada. Dengan kata lain, berfilsafat berarti
berpikir secara radikal (mendasar, mendalam, sampai ke akar-akarnya), sistematik (teratur, runtut, logis,
dan tidak serampangan) untuk mencapai kebenaran universal (umum, terintegral, dan tidak khusus serta
tidak parsial).

2. Setiap pemikiran manusia selalu memiliki sejarah sendiri-sendiri, dan biasanya selalu terkait dengan
pola kebudayaan yang melingkupinya. Sejarah awal munculnya khazanah pemikiran filsafat tidak bisa
dilepaskan begitu saja dengan kebudayaan dan peradaban Yunani. Pasalnya, di negeri itulah filsafat lahir
dan berkembang hingga mencengangkan peradaban dunia lain hingga abad ini.
Karenanya, tak heran bila banyak pihak mengkaji filsafat berawal dari sejarah peradaban Yunani Kuno,
lalu abad pertengahan, modern sampai abad kontemporer seperti saat ini. Jauh sebelum filsafat muncul,
masyarakat Yunani masih menggantungkan diri pada mitos, legenda, kepercayaan, dan agama untuk
mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tentang kehidupan mereka. Tetapi, sekitar abad ke-7 SM,
di Yunani mulai berkembang suatu pendekatan yang sama sekali berlainan dibanding masa-masa
sebelumnya, yaitu pendekatan filsafat. Sejak saat itulah orang mulai mencari jawaban rasional tentang
berbagai problem yang dihadapi, termasuk beragam masalah mengenai alam semesta.

3. Dari berbagai lingkup pengertian filsafat sebagai mana tersebut di atas maka secara sederhana filsafat
dapat mengerti bahwa a) filsafat itu merupakan proses berpikir yang sudah barang tentu bersifat dinamis.
Namun demikian b) filsafat itu merupakan produk pemikiran yang bersifat statis. Beberapa hal lagi yang
menjadi lingkup filsafat.
a. Filsafat sebagai kebijaksanaan rasional dari segala sesuatu
b. Filsafat sebagai sikap dan pandangan hidup
c. Filsafat sebagai kelompok persoalan
d. Filsafat sebagai kelompok teori dan sistem pemikiran yang dihasilkan oleh para filsuf

4. Pemikiran filosof dapat digolongkan ke dalam tiga bagian besar, yaitu mengenai cara memperoleh
pengetahuan (teori pengetahuan), mengetahui hakikat (teori hakikat), dan mengenai kegunaan (ini yang
disebut teori nilai). Jadi sistematika filsafat itu adalah teori pengetahuan, teori hakikat dan teori nilai.
Di dalam cabang-cabang itu muncul isme-isme. Dikarenakan filsafat adalah hasil pemikiran berupa
sistem, sistem itu mempunyai karakteristik sendiri-sendiri.

5. Berfilsafatpun mempunyai prinsip-prinsip yaitu, meniadakan kecongkakan mana tahu sendiri, perlunya
sikap mental berupa kesetiaan pada kebenaran, memahami secara sungguh-sungguh persoalan-
persoalan filsafat serta berusaha memikirkan jawabannya, latihan intelektual secara aktif baik secara
lisan maupun tertulis, dan sikap ketebukaan sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Muzayyin. 2009. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Bernadien, U, Win. 2011. Membuka Gerbang Filsafat. Jember: STAIN Jember Press.
Gie, Liang, T. 2000. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty.
Maksum, Ali. 2008. Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media
Rapar, Hendrik, J. 1996. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Kanisius
Russel, Bertrand. 1946. History Of Western Philosophy. London: George Allen And Unwin Ltd.
Surajiyo. 2005. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Tafsir, Ahmad. 1990. Filsafat Umum. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
Suriasumantri, Jujun.S. Filsafat Ilmu sebuah pengantar populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998
Maksum, Ali. Pengantar Filsafat. Jogjakarta: Ar-Ruz Media, 2011
Tafsir, Prof.Dr.Ahmad. Filsafat Umum. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008
Abidin, Dr. Zainal. Pengantar Filsafat Barat. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011

Anda mungkin juga menyukai