Anda di halaman 1dari 25

KRITISME

IMMANUEL KANT

TUGAS INDIVIDU DALAM MATA KULIAH FILSAFAT ILMU

Dosen Pembimbing :

Prof. Dr. Jufri, M.Pd

Disusun Oleh

Asytia Haninah (1854040004)

PRODI PENDIDIKAN BAHASA JERMAN


FAKULTAS BAHASA DAN SASTRA
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
OKTOBER 2018
ABSTRAK : Filsafat kritisisme adalah faham yang mengkritik terhadap
faham Rasionalisme dan faham Empirisme. Rasinonalisme dan Empirisme
telah menengang sejak lebih dari 100 tahun. Ketegangan yang telah
mengurangi rasa hormat pengikutnya, tidak hanya kepada ajaran-ajaran
filsafat tetapi juga kepada ilmu pengetahuan pada umumnya. Rasionalisme
gagal membangun transendensi Tuhan atas alam. Alih-alih membuktikan
trasendensi Tuhan atas alam semesta, rasionalisme justru terjerat dalam
panteisme implisit ala Descartes, Malabranca, Leibniz, dan panteisme
eksplisit Spinoza. Di lain pihak, empirisme pun gagal membuktikan
eksistensi alam yang diyakini sebagai yang berbeda dari pikiran.
Empirisme justru kehilangan jati dirinya dalam skeptisisme. Tidak bisa
dipungkiri, kegagalan rasionalisme dan empirisme adalah konsekuensi
logis dari fenomenalisme yang sebenarnya adalah fundasi dari
rasionalisme dan empirisme itu sendiri, terutama ajaran bahwa manusia
tidak bisa mengetahui benda-benda (things) atau realitas;

bahwa yang diketahui manusia hanyalah penampakan (appearance) di


mana benda-benda atau kenyataan dihasilkan atau diproduksi dalam
pikiran manusia. Pemikiran Immanuel Kant dan Kritisisme Kantian
berusaha menyatukan rasionalisme dan empirisisme dalam semacam
fenomenalisme “baru” (fenomenalisme jenis unggul). Bagi Kant,
manusialah aktor yang mengkonstruksi dunianya sendiri. Melalui a priori
formal, jiwa manusia mengatur data kasar pengalaman (pengindraan) dan
kemudian membangun ilmu-ilmu matematika dan fisika. Melalui
kehendak yang otonomlah jiwa membangun moralitas. Dan melalui
perasaan (sentiment) manusia menempatkan realitas dalam hubungannya
dengan tujuan tertentu yang hendak dicapai (finalitas) serta memahami
semuanya secara inheren sebagai yang memiliki tendensi kepada kesatuan
(unity).

Kata Kunci : Kritisme Rasionalisme Empirisme


PENDAHULUAN

Secara harfiah, kata kritik berarti pemisahan.Kritisisme adalah filsafat yang memulai
perjalanannya dengan terlebih dulu menyelidiki kemampuan rasio dan batas-batasnya.Filsafat
kritisisme adalah faham yang mengkritik terhadap faham rasionalisme dan faham
empirisme.Yang kedua faham tersebut berlawanan.

Aliran ini muncul pada abad ke 18 suatu zaman baru dimana seorang yang cedas
mencoba menyelesaikan pertentanangan antara rasionalisme dan empirisme.Zaman baru ini
disebut zaman pencerahan (Aufklarung) zaman pencerahan ini muncul dimana manusia lahir
dalam keadaan belum dewasa (dalam pemikiran filsafatnya). Akan tetapi,seorang filosof
jerman Immanuel Kant (1724-1804) mengadakan penyelidikan (kritik) terhadap pengetahuan
akal.

Dilihat dari riwayat hidupnya, Immanuel Kant adalah seorang yang sederhana.Selama
hidupnya Kant menetap di Prusia dan mengalami masa peperangan tujuh tahun sewaktu
Rusia menaklukkan Prusia Timur.Ia juga hidup pada masa Revolusi Perancis dan masa
kejayaan Napoleon.

Immanuel Kant dilahirkan di Koenigsberg, suatu kota di Prusia Timur, Jerman pada
tanggal 22 April 1724,sebagai anak ke 4 dari keluarga pembuat pelana kuda dan penganut
setia gerakan Peitisme. Tahun 1732-1740 kant belajar di Collegium Friedericianum Kant
memasuki Universitas Konigsberg pada usia 16 tahun. Setelah selesai ia menjadi guru privat.
Kemudian pada tahun 1755, ia kembali ke universitas Konogsberg menjadi dosen, dan tahun
1770 ia diangkat menjadi professor, terutama di bidang logika dan metafisika.Sejak kecil ia
tidak meninggalkan desanya, kecuali hanya selama beberapa waktu singkat untuk mengajar
di desa tetangganya. Pemikiran-pemikiran Kant yang terpenting diantaranya ialah tentang
“akal murni”. Menurutnya, dunia luar itu diketahui hanya dengan sensasi, dan jiwa bukanlah
sekedar tabula rasa, tetapi jiwa merupakan alat yang positif, memilih dan merekonstruksi
hasil sensasi yang masuk itu dikerjakan oleh jiwa dengan menggunakan kategori, yakni
mengklasifikasikan dan mempresepsikannya ke dalam idea.

Dari ibunya, Kant mendapat pengaruh agama yang beraliran Peitisme,ialah suatu
aliran dalam agama yang menghendaki suatu ketaatan yang mendalam dari para
pemeluknya.Itulah sebabnya Kant besar kepercayaannya kepada Tuhan hanya kehadirannya
di gereja sangat terbatas pada hari-hari besar agama saja.
Kant kerap dipandang sebagai tokoh paling menonjol dalam bidang filsafat setelah era yunani
kuno. Perpaduannya antara rasionalisme dan empirisme yang ia sebut dengan kritisisme, ia
mengatakan bahwa pengalaman kita berada dalam bentuk-bentuk yang ditentukan oleh
perangkat indrawi kita, maka hanya dalam bentuk-bentuk itulah kita menggambarkan
eksitensi segala hal. Kant dengan pemikirannya membangun pemikiran baru, yakni yang
disebut denagan kritisisme yang dilawankan terhadap seluruh filsafat sebelumnnya yang
ditolaknya sebagai dogmatisme.Artinya, filsafat sebelumnnya yang ditolaknya sebagai
dogmatism. Artinya, filsafat sebelum dianggap kant domatis karena begitu saja kemampuan
rasio manusia dipercaya, padahal batas rasio harus diteliti dulu .

Yang dimaksud dengan dogmatisme adalah filsafat yang mendasarkan pandangannya kepada
pengertian Allah atau subtansi atau monade, tanpa menghiraukan rasio telah memiliki
pengertian tentang hakekatnya sendiri, luas dan batas kemampuannya.Filsafat bersifat
dogmatis menerima kebenaran-kebenaran asasi agama dan dasar ilmu pengetahuan begitu
saja, tanpa mempertanggung jawabkan secara kritis.Dogmatisme menganggap pengenalan
obyektif sebagai hal yang sudah sendirinya. Sikap demikian, menurut kant adalah ssalah.
Orang harus bertanya: “bagaimana pengenalan obyektif mungkin?”.Oleh karena itu penting
sekali menjawab pertanyaan mengenai sysrat syarat kemungkinan adanyua pengenalan dan
batas batas pengenalan itu.

Filsafat kant disebut dengan kritisime. Itulah sebab ketiga karyanya yang besar disebut
“kritik”, yaitu kritik der reinen vernunft, atau kritik atas rasio murni (1781), kritik der
praktischen vernunft, atau kritik atas rasio praktis (1788) dan kritik der urteilskraft, atau kritik
ats daya pertimbangan (1790).

Dua periode kehidupan Immanual Kant :

1. Zaman Pra Kritis ( menganut pendirian Rasionalistis)

2. Zaman Kritis (meninggalkan rasionalisme dogmatis menuju filsafat kritis akibat pengaruh
David Hume (1711-1776)

Ontologi
Secara etimologis, ontologi berasal dari Bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata
yaitu ontos dan logos.Ontos yang berarti ada atau keberadaan sedangkan logos yang berarti
studi (ilmu tentang).Menurut pengertian tersebut dapat diartikan secara sederhana bahwa
ontologi adalah ilmu atau studi tentang keberadaan.Estetika Transendental Awal
pengetahuan adalah sensibilitas. Artinya pengetahuan berawal dari proses sensasi atau
pengindraan. Supaya pengetahuan bisa dihasilkan, sensasi harus dilokasikan dalam ruang (in
space), jika pengetahuan tersebut dihasilkan melalui indera eksternal.Sementara itu, sensasi
dilokasikan dalam waktu (in time) jika pengetahuan dihasilkan satu melampaui lainnya, tidak
peduli dari mana asal pengetahuan tersebut, bahkan ketika pengetahuan tersebut hanyalah
keadaan kesadaran yang sederhana, misalnya kenikmatan dan rasa sakit. Bagi Kant, ruang
dan waktu bukanlah realitas yang eksis dalam dirinya sendiri, sebagaimana dipercaya
Newton. Ruang dan waktu juga bukan realitas yang dihasilkan oleh pengalaman,
sebagaimana dipertahankan Aristoteles. Ruang dan waktu lebih merupakan bentuk-bentuk a
priori, Pengetahuan pada tingkat pengindraan (intuisi murni) membawa dalam dirinya
semacam kegentingan (exigencies), bahwa setiap pengindraan (sensation) harus dilokasikan
dalam ruang, entah itu di atas, di bawah, di sebelah kiri atau kanan, dan dalam waktu, yakni
sebelumnya, sesudahnya, atau yang bersamaan dengan pengindraan lainnya. Demikianlah,
ruang dan waktu adalah kondisi-kondisi, bukanlah eksistensi dari sesuatu tetapi posibilitas
dari keberadaannya yang termanifestasi di dalam diri kita.Singkatnya, ruang dan waktu
adalah bentuk-bentuk subjektif.Aritmatika dan geometri kemudian didasarkan pada ruang dan
waktu.Akibatnya, mereka didasarkan pada bentuk-bentuk subyektif, serta aspek keseluruhan
(universalitas) dan kondisi yang harus ada (necessity) yang kita temukan di dalam mereka
muncul atau dihasilkan dari bentuk-bentuk subyektif ini. Dengan kata lain, aritmatika dan
geometri adalah ilmu mutlak, bukan karena mereka mewakili sebuah aspek universal dan
keniscayaan dari dunia fisik tetapi karena mereka adalah konstruksi apriori jiwa manusia dan
menerima darinya universalitas dan keniscayaan.

Analitik Transendental Intuisi murni tentang ruang dan waktu menyajikan kepada
kita spektrum pengetahuan (dalam epistemologi Kant digunakan istilah manifold, dimaksud
sebagai “the totality of discrete items of experience as presented to the mind; the constituents
of a sensory experience”),
tetapi sebenarnya merupakan pengetahuan yang tidak tertata. Jiwa manusia, yang cenderung
ke arah penyatuan pengetahuan, tidak bisa berhenti pada intuisi yang membingungkan
ini.Roh atau jiwa manusia selalu ingin bergerak maju ke pengetahuan pada tingkat yang lebih
tinggi yang berpusat di kecerdasan (intellect) dan yang kegiatannya adalah mengatur data
yang diinderai yang tersebar dalam ruang dan waktu. Aktivitas ini dimungkinkan melalui
bentuk-bentuk (forms) apriori atau atau kategori-kategori yang dengannya intelek
mendapatkan bentuknya. Bentuk-bentuk atau kategori-kategori semacam ini berfungsi
sebagai berikut: Pada intuisi, misalnya, intuisi mengenai “pohon”. Saya punya data tertentu
yang diindrai (warna, daun, cabang, dll) yang eksis dalam ruang dan dalam perubahan yang
sifatnya temporal.Intelek mengolah data-data ini (data-data pohon) sesuai keadaan
alamiahnya—yakni sesuai bentuk atau forma apriorinya—dan menggunakan substansi untuk
memantapkan atau menstabilkan data-data pengindraan yang masih berubah-ubah ini.Pada
gilirannya, substansi lalu menjadi salah satu dari kategori intelek.Meskipun demikian, intelek
tidak berdiam diri di dalam substansi. Proses ini akan terus berlanjut di mana data yang
dikelola intelek kemudian diletakkan dalam hubungannya dengan data yang mendahului
“pohon” itu.

Intelek kemudian mengasosiasikan data-data tersebut dengan konsep kedua, yakni


“penyebab” (cause). Ini adalah kategori kedua, yang karenanya fenomena terikat atau
tergantung satu sama lain berkat bantuan suatu koneksi yang sifatnya universal dan perlu.
Hubungan atau koneksi ini terjadi sedemikian rupa sehingga pada saat fenomena ada atau
terjadi (penyebab), pada saat itu pula fenomena lainnya (efek) harus terjadi, selalu dan di
mana-mana.Ada 12 kategori intelek, dan dibagi oleh Kant menjadi empat kelas, yakni
kuantitas, kualitas, hubungan, dan moda.Keduabelas kategori berfungsi sebagai kerangka
acuan di mana hukum-hukum mekanis alam bisa dipahami. Perlu dicatat bahwa unifikasi
permanen dari data yang diinderai ini hanya mungkin dengan syarat bahwa intelek pemersatu
(yang dimaksud adalah intelek) tetap identik dengan dirinya sendiri. Jika intelek berubah-
ubah di hadapan data yang diinderai, mustahil mencapai suatu unifikasi permanen.
Demikianlah universalitas dan objektivitas ilmu pengetahuan menyiratkan keabadian intelek
dalam identitasnya.
Dialektika Transendental Klasifikasi yang dilakukan intelek atas data-data yang
ditangkap intuisi ke dalam kategori-kategori tidak pernah mencapai suatu penyatuan
sempurna. Dalam dunia fenomenal selalu ada serangkaian fenomenal yang memperpanjang
sendiri tanpa batas dalam ruang dan waktu. Dalam diri kita, bagaimanapun, ada
kecenderungan untuk mencapai penyatuan fenomena secara tetap, dan sebagai akibatnya
timbul dalam diri kita “ide-ide” tertentu yang berfungsi sebagai titik acuan dan pengatur bagi
fenomena secara keseluruhan. “Ide-ide” dimaksud ada tiga, yakni, (1) ego personal, prinsip
pemersatu atas semua fenomena internal; (2) dunia eksternal, prinsip pemersatu dari semua
fenomena yang datang dari luar, dan (3) Allah, prinsip pemersatu dari semua fenomena,
terlepas dari asal-usul mereka. Ego personal, dunia eksternal, dan Allah (realitas tertinggi dari
metafisika tradisional), disebut numena, yaitu, realitas dalam dirinya, pengada yang
melampau realitas yang diindrai dan dan tak-terkondisikan. Kant menyajikan ketiga entitas
ini dalam karyanya berjudul Dialektika Transendental, bagian ketiga dari Critique of Pure
Reason.Demikianlah, Dialektika Transendental membawa kita ke tingkat ketiga dari
pengetahuan manusia.Inilah bagian dari pengetahuan manusia yang menyibukkan diri dengan
“ide-ide” yang oleh Kant sendiri disebut sebagai rasio. Bagian ketiga dari Critique of Pure
Reasonbertujuan untuk melihat apakah ide-ide mengenai “ego”, “dunia”, dan “Allah”
memungkinkan kita untuk mengetahui kenyataan sebagaimana mereka representasikan, atau
apakah pengetahuan tersebut tidak mungkin. Ide-ide ini pada gilirannya akan menjadi
semacam wadah subjektif tanpa makna. Jelas bahwa kritisisme Kant berakhir dalam
skeptisisme.Rasio murni selalu terhubung dengan intuisi yang bisa diindrai, dan karena itu
tidak dapat sampai pada pengetahuan tentang ego personal, dunia, dan Allah.Ketiga realitas
ini melampaui data-data intuisi.

Sehubungan dengan “ego personal” (substansi)—objek dari psikologi rasional dalam


filsafat tradisional—Kant mengamati bahwa hal itu lenyap dalam paralogisme-paralogisme,
yaitu di dalam sofisme, penalaran palsu.Jadi, bertentangan dengan Descartes, Kant percaya
bahwa substansi spiritual tidak dapat diketahui secara langsung.Apa yang dapat kita ketahui
secara langsung adalah tindakan mengetahui (fenomena). Serangkaian tindakan ini, bahkan
jika diekstensi secara tak-terhingga, tidak akan pernah memberikan kita pengetahuan tentang
kenyataan seperti ego personal, yang seharusnya berada melampau rangkaian pengetahuan
ini.
Selain itu, bagi Kant, substansi adalah kategori intelek yang memiliki hubungan hanya
kepada data-data yang bisa diindrai, dan akibatnya tidak berguna dalam upaya menemukan
pengetahuan tentang realitas yang melampaui pengindraan.

Kant pada titik ini diarahkan langsung kepada Descartes yang berpendapat bahwa
objek pertama pengetahuan adalah jiwa (substansi spiritual).Dengan mengacu pada dunia
eksternal, yang mengenainya studi filsafat tradisional mempelajarinya secara khusus dalam
kosmologi, Kant mengatakan bahwa itu hilang dalam antinomi-antinomi, yaitu dalam
proposisi kontradiktoris, dan bahwa intelek tidak mampu membedakan manakah dari
proposisi yang bertentangan adalah benar.Antinomi-antinomi ini berjumlah empat, masing-
masingnya dibentuk dari sebuah tesis dan antitesis yang sesuai. Keempat antinomi tersebut
adalah berikut: Tesis: Dunia harus memiliki awal dalam waktu dan tertutup dalam dalam
ruang yang terbatas. Antitesis: Dunia ini kekal dan tak-terbatas. Tesis: Materi pada akhirnya
dapat dibagi menjadi bagian-bagian sederhana (atom atau monad-monad) yang pada dirinya
tidak bisa lagi dibagi menjadi bagian yang lebih kecil lagi. Antitesis: Setiap benda material
dapat dibagi, bahwa ada sesuatu yang sederhana yang sedang berada atau eksis di satu tempat
tertentu di dunia ini. Tesis: Selain kausalitas yang sesuai dengan hukum alam (dan karena itu
perlu), ada kausalitas yang bebas. Antitesis: Tidak ada kebebasan; segala sesuatu di dunia ini
terjadi sepenuhnya sesuai hukum alam. Tesis: Terdapat eksistensi pengada absolute tertentu
yang perlu yang menjadi bagian dari dunia, entah sebagai bagian atau sebagai penyebabnya.
Antitesis:Pengada absolute tertentu yang perlu itu tidak eksis, entah di dalam dunia ini atau di
luarnya. Dua antinomi pertama (pertentangan berada di antara semesta yang terbatas dan
yang tak- terbatas dan di antara materi dapat dibagi dan tak-dapat-dibagi) adalah bagian dari
dunia fisik. Menurut Kant, mereka tidak berkorespondensi dengan “benda dalam dirinya
sendiri” (noumenon), karena mereka adalah aplikasi tidak sah dari kategori ruang dan waktu
terhadap “benda dalam dirinya sendiri.” Dengan kata lain, dalam dua antinomi ini dunia fisik
dianggap sekaligus sebagai “benda di dalam dirinya” yang terlepas dari keniscayaan
mekanistik alam (ruang dan waktu) dan sebagai subjek dari keniscayaan mekanistik yang
sama. Oposisi apapun yang diturunkan dari posisi kontradiktoris ini niscaya palsu. Dua
antinomi lainnya berhubungan dengan yang pertama adalah roh (kebebasan) dan yang kedua
berhubungan dengan Allah. Keduanya bisa menjadi benar dari sudut pandang noumenikal
dan dari titik pandang fenomenal.
Memang, akan ada kontradiksi yang sama seperti disebutkan di atas, jika kebebasan dan
Allah dipahami sebagai pengada yang tunduk pada kausalitas mekanis. Tetapi roh dan Allah
dapat diafirmasi tanpa mempertimbangkan ruang dan waktu, dan dalam kasus ini tesis dari
dua antinomi tersebut tidak menyiratkan adanya kontradiksi. Dengan demikian tesis-tesis
tersebut hanya benar jika mereka diafirmasi hanya dari sudut pandang numenal, sama halnya
dengan antitesis adalah benar jika mereka diafirmasi hanya dari sudut pandang fenomenal.

Demikianlah Kant menyimpulkan kritisismenya, membiarkan pintu terbuka bagi


afirmasi akan eksistensi roh dan Allah. Meskipun demikian, harus dicatat bahwa kesimpulan
semacam itu tidak dapat disebut sebagai pengetahuan yang benar, karena tidak didasarkan
pada intuisi apapun. Bagi Kant, intuisi sendiri menyingkapkan asal-muasal pengetahuan
sejati. Akhirnya, mengacu pada gagasan tentang Allah, Kant mereduksikan argumen yang
oleh teologi rasional justru sangat ditonjolkan dalam membuktikan eksistensi Allah berikut:
Argumen Ontologis (St. Anselmus, Descartes). Kant menyatakan bahwa pembuktian ini
tidaklah memadai bukan hanya karena Allah bukanlah objek intuisi, tetapi juga karena
peralihan dari dunia fenomenal (pemikiran) ke dunia numenal (realitas) tidaklah sah.
Argumen kosmologis. Kant menyatakan bahwa argumen ini tidak memadai karena
mendasarkan dirinya pada prinsip kausalitas, dan bagi Kant, kausalitas adalah salah satu
kategori yang hanya berlaku dalam dunia pengalaman dan bukan untuk apa yang ada di luar
pengalaman. Argumen teleologis. Argumen ini menunjukkan kepada kita bahwa di mana ada
finalitas atau tujuan di situ ada Intelijensi, yakni seorang perancang. Namun, seperti Kant
mengamatinya secara benar, argumen ini tidak menunjukkan Inteligensi itu sebagai pengada
yang paling sempurna, yaitu Allah. Demikianlah, Critique of Pure Reason menyimpulkan
bahwa pengetahuan kita tidak mencapai realitas metafisik (numena).Kant tidak menyangkal
eksistensi Allah dan dunia eksternal. Dia juga tidak menyangkal keabadian jiwa, tetapi ia
mengatakan bahwa entitas-entitas semacam itu tertutup bagi penyelidikan ilmiah.
Penyelidikan ilmiah sendiri memiliki dunia fenomenal sebagai objek, dan sama sekali tidak
mampu menembus dunia supra-fenomenal, yaitu dunia numena, yang tidak berkondisi.
Menurut Kant, Allah, dunia dan jiwa dapat dipahami melalui kegiatan lain, yakni rasio
praktis.Apakah yang dimaksud dengan rasio praktis?
Kritik Nalar Praktis Dalam Kritik Atas Rasio Murni (Critique of Pure Reason),
Kant menjadikan unsur-unsur penting dari semua pengetahuan (universalitas dan
keniscayaan) tergantung (dependent), bukan pada isi pengalaman, tetapi pada bentuk-bentuk
apriori. Demikian juga dalam Kritis Atas Rasio Praktis (Critique of Practical Reason), Kant
membuat universalitas dan hukum moral menjadi tergantung, bukan pada tindakan empiris
dan tujuan yang kita niatkan dalam tindakan kita, tetapi pada imperatif kategoris, yakni dalam
kehendak (will) itu sendiri. Sebuah tindakan akan menjadi tindakan yang baik secara moral
jika kehendak (will) adalah otonom. Tindakan dilakukan bukan berdasarkan pertimbangan
pada hasil akhir yang akan dicapai tetapi hanya pada ketaatan pada kewajiban. “Kewajiban
demi kewajiban itu sendiri”: inilah rigiditas kewajiban moral Kantian. Ini artinya di antara
semua imperatif yang dapat menentukan kehendak (will) dalam sebuah tindakan perlu
membedakan yang hipotesis dari yang kategoris.

Imperatif hipotetis menetapkan sebuah perintah demi mencapai sebuah tujuan dan
dengan demikian sangat dikondisikan oleh hasil akhir yang hendak dicapai tersebut.Misalnya,
Anda harus mengkonsumsi obat yang diperlukan jika Anda ingin sembuh. Sementara itu,
imperatif kategoris mendesakkan dirinya secara otomatis, yakni berdasarkan kekuatan
kewajiban, tanpa memperhatikan hal baik atau atau buruk yang mungkin timbul karena
tindakan tersebut. Msalnya, “Kerjakan ini karena itulah kewajibanmu.” Hanya imperatif
kategoris menikmati universalitas dan keharusan, dan karenanya hanya mereka dapat menjadi
dasar moralitas. Perbedaan mendasar harus dikemukakan antara bentuk a priori intelek
(kategori-kategori) dan bentuk-bentuk a priori dari kehendak (imperatif kategoris). Yang
pertama, akan menjadi tak-bermakna (void) jika kehilangan unsur material. Bentuk-bentuk a
priori intelek membutuhkan unsur empiris agar bisa dipahami. Sebaliknya, bentuk-bentuk a
priori dari kehendak tidaklah kosong. Bentuk-bentuk ini memiliki elemen-elemen penentu
dalam dirinya sendiri. Dengan kata lain, hal sebaliknya harus dikatakan di sini: Bukanlah
unsur-unsur empiris yang menentukan bentuk (imperatif), tetapi justru bentuk-bentuklah yang
menentukan unsur empiris dan menjadikannya mengandung tuntutan moral. Misalnya,
perintah “Jangan berbohong” menjadi kewajiban bukan karena orang tidak berbohong (unsur
empiris), tetapi karena perintah ini berasal dari kehendak (will) selaku pengatur unsur-unsur
empiris.
Kehendak adalah legislator otonom dalam ranah tindakan.“Jadi bertindaklah
sedemikian rupa sehingga kehendakmu dapat diperhitungkan sebagai yang menetapkan
kewajiban-kewajiban moral,” demikianlah salah satu imperatif kategoris Kantian.Tetapi jika
kita bertindak demikian, kita sudah berada dalam dunia yang melampaui pengindraan dan
tak-terkondisikan.Menurut Critique of Pure Reason kita tidak dapat mencapai realitas yang
melampaui pengindraa (noumenon) karena bentuk-bentuk pengetahuan kita (kategori-
kategori) adalah kosong.Isi dari kategori-kategori itu tidak bisa tidak bersifat fenomenal, hal
yang terkondisikan. Sebaliknya, bentuk-bentuk kehendak (imperatif kategoris) memiliki isi
yang sifatnya independen dalam dirinya, tidak dikondisikan oleh unsur material. Adalah
kehendak itu sendiri yang membuat tindakan manusia bersifat baik secara moral, dan tidak
sebaliknya. Bahkan, menurut Kant, tindakan empiris akan baik hanya dengan syarat bahwa
itu dilakukan demi kewajiban. Demikianlah, kehendak tetaplah melampaui dunia fenomenal
nan mekanik.Kehendak adalah bagian dari dunia numenal, yakni yang tidak-berkondisikan.
Begitu telah mencapai realitas yang melampaui pengindraan (ingat baik-baik: melalui rasio
praktis, dan bukan melalui rasio kognitif), Kant memutuskan untuk menguji apa yang
mungkin menjadi postulat (kondisi yang niscaya) yang membuat moralitas menjadi mungkin.
Dalam investigasi ini Kant berpendapat bahwa ada tiga postulat yang membangun moralitas,
yaitu, kebebasan, keabadian jiwa, dan Allah. Inilah tiga realitas tertinggi dari filsafat
tradisional, dan Kant, yang telah menyangkal kemampuan kita untuk mencapai mereka
melalui pengetahuan teoritis, percaya bahwa ia bisa menegaskan eksistensi mereka melalui
akal budi praktis. Pertama, Kant mengamati bahwa kehendak bersifat independen dari semua
daya pikat yang berasal dari dunia fenomenal. Alasannya karena kehendak bersifat otonom.
Kehendak tidak bisa bersifat demikian jika dia ditentukan atau dikondisikan oleh mekanisme
kausal. Oleh karena itu, kehendak adalah bebas (postulat pertama). Kedua, Kant mengamati
bahwa kebajikan adalah kebaikan tertinggi. Tapi keinginan (desire) kita tidak akan
sepenuhnya terpuaskan kecuali jika kebahagiaan selalu menjadi akibat dari setiap kebajikan.
Dalam dunia fenomenal ini, adalah mustahil mencapai kebahagiaan melalui kebajikan. Dari
fakta ini—bahwa kebahagiaan berada di luar pencapaian dalam kehidupan sekarang—muncul
keyakinan akan keabadian jiwa (postulat kedua). Ketiga, karena kita yakin bahwa
kebahagiaan mengikuti kebajikan tentu, keyakinan ini melahirkan kepercayaan akan
eksistensi Allah (postulat ketiga).
Demikianlah, Kant yakin bahwa dia tidak hanya telah merekonstruksi dunia
metafisika tradisional, tetapi juga yakin bahwa dirinya telah meletakkan dasar yang lebih
solid bagi metafisika, pendasaran metafisika yang melampaui berbagai keraguan apa pun
mengenainya. Bagi Kant, kehendak memiliki keunggulan melampaui intelek.

Simak apa kata para ahli mengenai pengertiankritisme :

1). Immanuel Kant (1724 – 1804) mengkritisi Rasionalisme dan Empirisme yang hanya
mementingkan satu sisi dari dua unsur (akal dan pengalaman) dalam mencapai kebenaran.
Menonjolkan satu unsur dengan mengabaikan yang lain hanya akan menghasilkan sesuatu
yang berat sebelah. Kant jelas-jelas menolak cara berfikir seperti ini. Karena itu, Kant
menawarkan sebuah konsep “Filsafat Kritisisme” yang merupakan sintesis dari rasionalisme
dan empirisme.Kata kritik secara harfiah berarti “pemisahan”.

Artinya, Mengkritisi rasionalisme dan empirisme yang hanya mementingkan satu sisi dari
dua unsur (akal dan pengalaman) dalam mencapai kebenaran.Karena itu, filsuf menawarkan
sebuah konsep yang merupakan sintesis dari rasionalisme dan empirisme yang bermaksud
untuk membedakan antara pengenalan yang murni dan yang tidak murni, yang tiada
kepastiannya.Dengan kritis ini mencoba untuk mengembangkan suatu sintesis atas dua
pendekatan yang bertentangan.Filsuf ini juga berpendapat bahwa masing-masing pendekatan
separuh benar dan separuh salah.Namun dalam akal kita ada factor-faktor yang menentukan
bagaimana kita memandang dunia disekitar kita.

2). Tamburaka Rustam (2002 : 132) menyatakan bahwa Kritis adalah akal menerima bahan-
bahan pengetahuan empiris (yang meliputi indra dan pengalaman). Kemudian akal
menempatkan , mengatur dan menerbitkan dalam bentuk-bentuk pengamatan yakni ruang dan
waktu. Pengamatan merupakan permulaan pengetahuan sedangkan pengolahan akal
merupakan pembentukannya.Lebih jauh dijelaskan bahwa kritis dapat membedakan akal
(vertstand) dari rasio dan budi (vernuft).Tugas akal merupakan yang mengatur data-data
indrawi, yaitu dengan mengemukakan “putusan-putusan”.Sebgaimana kita melihat sesuatu,
maka sesuatu itu ditrasmisikan ke dalam akal, selanjutnya akal mengesaninya.
Hasil indra diolah sedemikian rupa oleh akal, selanjutnya bekerja dengan daya fantasi umtuk
menyusun kesan-kesan itu sehingga menjadi suatu gambar yang dikuasai oleh bentuk ruang
dan waktu.

3). Khuza’i (2007 : 25) Kritisme merupakan filsafat yang memulai perjalanannya dengan
terlebih dahulu menyelidiki kemampuan dan batas-batas rasio.Demikian gagasan yang
menjadi penggagas Kritisisme.Filsafat memulai perjalanannya dengan menyelidiki batas-
batas kemampuan rasio sebagai sumber pengetahuan manusia.Maka Kritisisme berbeda
dengan corak filsafat modern sebelum sebelumnya yang mempercayai kemampuan rasio
secara mutlak.Dengan Kritisisme yang diciptakan oleh Immanuel Kant, hubungan antara
rasio dan pengalaman menjadi harmonis, sehingga pengetahuan yang benar bukan hannya
pada rasio, tetapi juga pada hasil indrawi.

Berkaitan dengan Rasio Perkembangan ilmu filsafat mencoba untuk menjebatani pandangan
Rasionalisme dan Emprisme, teori dalam aliran filsafat Kritisisme adalah sebuah teori
pengetahuan yang berusaha untuk mempersatukan kedua macam unsur dari filsafat
Rasionalisme dan disini kekuatan kritis filsafat sangatlah penting, karena ia bisa menghindari
kemungkinan ilmu pengetahuan menjadi sebuah dogma. Filsafat ini memulai pelajarannya
dengan menyelidiki batas-batas kemampuan rasio sebagaiSumber pengetahuan manusia.Oleh
karena itu, Kritisisme sangat berbeda dengan corak filsafat modern sebelumnya yang
mempercayai kemampuan rasio secara mutlak.

4). Ahmad Tafsir (2005:150-151) mendefinisikan kritis sebagai akal dipandu oleh tiga ide
transcendental, yaitu ide psikologis yang disebut jiwa, ide dunia, dan ide tentang Tuhan.
Ketiganya tersebut memiliki fungsi masing-masing, yaitu “ide jiwa” menyatakan dan
mendasari segala gejala batiniah yang merupakan cita-cita yang menjamin kesatuan terakhir
dalam bidang psikis, “ide dunia” menyatakan segala gejala jasmaniah, “ide Tuhan”
mendasari segala gejala, segala yang ada, baik batiniah maupun yang lahiriah,

kritik mengenai akalbudi, kehendak, rasa, dan agama Dalam karyanya yang sering disebut
metafisika. Menurutnya Metafisika merupakan uraian sistematis mengenai keseluruhan
pengertian filosofis yang dapat dicapai.
Ia berpendapat bahwa pada sekurang-kurangnya pada prinsipnya mungkin untuk
memperkembangkan suatu metafisika sistematis yang lengkap. Namun meragukan
kemungkinan dan kompetensi metafisik, sebab menurut dia metafisik tidak pernah
menemukan metode ilmiah yang pasti untuk memecahkan masalahnya, maka perlu diselidiki
dahulu kemampuan dan batas-batas akal-budi.

5). Ahmad Syadali dan Mudzakir (2004: 121) Menjelaskan bahwa kritisme merupakan
Pemikiran-pemikiran yang terpenting diantaranya adalah tentang “akal murni”. Menurut
dunia luar itu diketahui hanya dengan sensasi, dan jiwa, bukanlah sekedar tabula rasa.Tetapi
jiwa merupakan alat yang positif, memilih dan merekontruksi hasil sensasi yang masuk itu
dikerjakan oleh jiwa dengan menggunakan kategori, yaitu dengan mengklasifikasikan dan
memersepsikannya ke dalam idea.Melalui alat indara sensasi masuk ke otak, lalu objek itu
diperhatikan kemudian disadari. Sensasi-sensasi itu masuk ke otak melalui saluran-saluran
tertentu yaitu hukum-hukum, dan hukum-hukum tersebut tidak semua stimulus yang menerpa
alat indra dapat masuk ke otak. Penangkapan tersebut telah diatur oleh persepsi sesuai dengan
tujuan.Tujuan inilah yang dinamakan hukum-hukum.

Kant memastikan adanya pengetahuan yang benar-benar “pasti”, artinya menolak aliran
skeptisisme, yaitu aliran yang menyatakan tidak ada pengetahuan yang pasti.Zaman
pencerahan atau yang dikenal di Inggris dengan enlightenment. Terjadi pada abad ke 18 di
Jerman. Mereka mendefinisikan zaman itu dengan mengatakan “dengan aufklarung, manusia
akan keluar dari keadaan tidak akil balig (dalam bahasa Jerman: unmundigkeint), yang
dengan ia sendiri bersalah”. Sebabnya menusia bersalah karena manusia tidak menggunakan
kemungkinan yang ada padanya yaitu rasio. Dengan demikian zaman pencerahan merupakan
tahap baru dalam proses emansipasi manusia barat yang sudah dimulai sejak Renaissance dan
reformasi. Di Jerman, seorang filosof besar yang melebihi zaman aufklarung telah lahir yaitu
filsuf bernama Immanuel Kant.

Adapun pengertian kritisme menurut pendapat saya dari beberapa ahli tersebut, dapat
saya simpulkan :
Aliran Kritisisme pada pembahsan ini mengkritisi terhadap aliran rasionalisme dan
empirisme yang mana kedua aliran tersebut berlawanan. Adapun Faham Rasionalisme adalah
faham yang beranggapan bahwa dasar semua pengetahuan itu ada dalam pikiran (berasal dari
rasio/ akal sedangkan Faham Empirisme adalah faham yang beranggapan bahwa seluruh
pengetahuan tentang dunia itu berasal dari indra (pengalaman) kita.

Berkaitan dengan Kritis bukan hanya mengkritis menggunakan Rasio tetapi juga dengan
pengalaman sebab pengetahuan terjadi dihasilkan oleh analisa terhadap adanya unsur-unsur
mengalaman jika mementingkan satu sisi dari dua unsur (akal dan pengalaman) akan
menghasilkan sesuatu yang berat sebelahmaka dari itu kita satukan hubungan antara rasio dan
pengalaman menjadi harmonis, sehingga pengetahuan yang benar bukan hannya pada rasio,
tetapi juga pada hasil indrawi.Maka dari itu kritisme sebagai pemisah mengembangkan suatu
sintesis atas dua pendekatan yang bertentangan.
Epistemologi

Epistemologis berasal dari Bahasa Yunani episteme yang artinya pengetahuan dan
logos yang berarti perkataan, pikiran atau ilmu.Bagi kritisme ada kerja sama (korelasi)
antara realitas empiris dan proses penalaran dalam mengkontruksi pengetahuan. Bentuk
pengetahuan yang dikonsepkan adalah sintesis antara realitas yang menampakkan sebagai
objek kepada subjek dan proses presepsi sang subjek yang bermukim dalam ranah ruang dan
waktu.

IntuisionismeDalam Kamus Besar Bahasa Indonesia intuisi memiliki arti daya atau
kemampuan mengetahui dan memahami sesuatu tanpa dipikirkan atau dipelajari, dalam
bahasa sederhana adalah bisikan hati.Epistemologis atau filsafat pengetahuan pada dasarnya
juga merupakan upaya untuk menimbang, dan menentukan nilai kognitif pengalaman
manusia dalam interaksinya dengan diri sendiri, lingkungan sosial, alam sekitarnya. Maka
epistemologis adalah disiplin ilmu yang bersifat evaluatif, normatif, dan
kritis.Kritisisme adalah filsafat yang memulai perjalanannya dengan terlebih dulu
menyelidiki kemampuan rasio dan batas-batasnya.Filsafat kritisisme adalah faham yang
mengkritik terhadap faham Rasionalisme dan faham Empirisme. Yang mana kedua faham
tersebut berlawanan, Adapun pengertian secara perinci adalah sebagai berikut:

Faham Rasionalisme adalah paham yang menyatakan kebenaran haruslah ditentukan


melalui pembuktian, logika, dan analisis yang berdasarkan fakta.Paham ini menjadi salah satu
bagian dari renaissance atau pencerahan dimana timbul perlawanan terhadap gereja yang
menyebar ajaran dengan dogma-dogma yang tidak bisa diterima oleh logika.Filsafat
Rasionalisme sangat menjunjung tinggi akal sebagai sumber dari segala pembenaran.Segala
sesuatu harus diukur dan dinilai berdasarkan logika yang jelas.Titik tolak pandangan ini
didasarkan kepada logika matematika.Pandangan ini sangat popular pada abad 17. Tokoh-
tokohnya adalah Rene Descartes (1596-1650), Benedictus de Spinoza – biasa dikenal: Barukh
Spinoza (1632-1677), G.W. Leibniz (1646-1716), Blaise Pascal (1623-1662).

Faham Empirisisme adalah pencarian kebenaran melalui pembuktian-pembukitan


indrawi.Kebenaran belum dapat dikatakan kebenaran apabila tidak bisa dibuktikan secara
indrawi, yaitu dilihat, didengar dan dirasa.
Francis Bacon (1561-1624) seorang filsuf Empirisme pada awal abad Pencerahan menulis
dalam salah satu karyanya Novum Organum: Segala kebenaran hanya diperoleh secara
induktif, yaitu melalui pengalamn dan pikiran yang didasarkan atas empiris, dan melalui
kesimpulan dari hal yang khusus kepada hal yang umum. Empirisisme muncul sebagai akibat
ketidakpuasan terhadap superioritas akal. Paham ini bertolak belakang dengan Rasionalisme
yang mengutamakan akal. Tokoh-tokohnya adalah John Locke (1632-1704); George
Berkeley (1685-1753); David Hume (1711-1776). Kebenaran dalam Empirisme harus
dibuktikan dengan pengalaman. Peranan pengalaman menjadi tumpuan untuk memverifikasi
sesuatu yang dianggap benar. Kebenaran jenis ini juga telah mempengaruhi manusia sampai
sekarang ini, khususnya dalam bidang Hukum dan HAM.

Pelopor kritisisme adalah Immanuel Kant. Immanuel Kant (1724 – 1804) mengkritisi
Rasionalisme dan Empirisme yang hanya mementingkan satu sisi dari dua unsur (akal dan
pengalaman) dalam mencapai kebenaran. Menonjolkan satu unsur dengan mengabaikan yang
lain hanya akan menghasilkan sesuatu yang berat sebelah. Kant jelas-jelas menolak cara
berfikir seperti ini. Karena itu, Kant menawarkan sebuah konsep “Filsafat Kritisisme” yang
merupakan sintesis dari rasionalisme dan empirisme. Kata kritik secara harfiah berarti
“pemisahan”.

Dengan filsafatnya Kant bermaksud memugar sifat objektivitas dunia dan ilmu
pengetahuan. Agar maksud itu terlaksana, orang harus menghindarkan diri dari sifat sepihak
rasionalisme dan dari sifat sepihak empirisme. Rasionalisme mengira telah menemukan kunci
bagi pembukaan realitas pada diri subjeknya, lepas dari segala pengalaman, sedang
empirisme mengira hanya dapat memperoleh pengenalan dari pengalaman saja. Ternyata
bahwa empirisme sekalipun mulai dengan ajaran yang murni tentang pengalaman, tetapi
melalui idealisme subjektif bermuara pada suatu skeptisisme yang radikal.

Dengan kritisisme, Imanuel Kant mencoba mengembangkan suatu sintesis atas dua
pendekatan yang bertentangan ini. Kant berpendapat bahwa masing-masing pendekatan benar
separuh, dan salah separuh. Benarlah bahwa pengetahuan kita tentang dunia berasal dari
indera kita, namun dalam akal kita ada faktor-faktor yang menentukan bagaimana kita
memandang dunia sekitar kita.
Ada kondisi-kondisi tertentu dalam manusia yang ikut menentukan konsepsi manusia tentang
dunia. Kant setuju dengan Hume bahwa kita tidak mengetahui secara pasti seperti apa dunia
“itu sendiri” (“das Ding an sich”), namun hanya dunia itu seperti tampak “bagiku”, atau “bagi
semua orang”. Namun, menurut Kant, ada dua unsur yang memberi sumbangan kepada
pengetahuan manusia tentang dunia. Yang pertama adalah kondisi-kondisi lahirilah ruang dan
waktu yang tidak dapat kita ketahui sebelum kita menangkapnya dengan indera kita. Ruang
dan waktu adalah cara pandang dan bukan atribut dari dunia fisik di mana hal itu merupakan
materi pengetahuan. Yang kedua adalah kondisi-kondisi batiniah dalam manusia mengenai
proses-proses yang tunduk kepada hukum kausalitas yang tak terpatahkan.

Sejarah Timbulnya Kritisisme

Aliran ini muncul pada abad ke-18 suatu zaman baru dimana seorang yang cerdas mencoba
menyelesaikan pertentangan antara rasionalisme dengan emperisme. Zaman baru ini disebut
zaman pencerahan (aufklarung) zaman pencerahan ini muncul dimana manusia lahir dalam
keadaan belum dewasa (dalam pemikiran filsafatnya). Akan tetapi, seorang filosof Jerman
Immanuel Kant (1724-1804) mengadakan penyelidikan (kritik) terhadap pernah pengetahuan
akal.

Sebagai latar belakangnya, manusia melihat adanya kemajuan ilmu pengetahuan (ilmu pasti,
biologi, filsafat dan sejarah) telah mencapai hasil yang menggembirakan. Disisi lain, jalannya
filsafat tersendat-sendat. Untuk itu diperlukan upaya agar filsafat dapat berkembang sejajar
dengan ilmu pengetahuan alam.
Pada rasionalimse dan emperisme ternyata amat jelas pertentangan antara budi dan
pengalaman, manakah yang sebenarnya sumber pengetahuan, makanah pengetahuan yang
benar? Seorang ahli pikir Jerman Immanuel Kant mencoba mengadakan penyelesaian
pertalian ini. Pada umumnya, Kant mengikuti rasionalisme, tetapi kemudian terpengaruh oleh
emperisme (hume). Walaupun demikian, Kant tidak begitu mudah menerimanya karena ia
mengetahui bahwa emperisme membawa karagu-raguan terhadap budi manusia akan dapat
mencapai kebenaran. Maka Kant akan menyelidiki (mengadakan kritik) pengetahuan budi
serta akan diterangkan, apa sebabnya pengetahuan budi ini mungkin. Itulah sebabnya aliran
ini disebut kriticisme.
Akhirnya, Kant mengakui peranan budi dan keharusan empiri, kemudian dicobanya
mengadakan sintesis. Walaupun semua pengetahuan bersumber pada budi (nasionalisme),
tetapi adanya pengertian timbul dari benda (emperisme) budi metode berpikirnya disebut
metode kritik.

Pemikiran Kritisisme Tentang Ilmu Pengetahuan, Kant membedakan pengetahuan ke


dalam empat bagian, yaitu (1) Yang analitis a priori (2) Yang sintetis a priori (3) Yang
analitis a posteriori (4) Yang sintetis a posterior.

Pengetahuan a priori adalah pengetahuan yang tidak tergantung pada adanya


pengalaman atau, yang ada sebelum pengalaman. Sedangkan pengetahuan a posteriori
terjadi sebagai akibat pengalaman. Pengetahuan yang analitis merupakan hasil analisa dan
pengetahuan sintetis merupakan hasil keadaan yang mempersatukan dua hal yang biasanya
terpisah Pengetahuan yang analitis a priori adalah pengetahuan yang dihasilkan oleh analisa
terhadap unsur-unsur yang a priori. Pengetahuan sintetis a priori dihasilkan oleh
penyelidikan akal terhadap bentuk-bentuk pengalamannya sendiri dan penggabungan unsur-
unsur yang tidak saling bertumpu. Misal, 7 – 2 = 5 merupakan contoh pengetahuan semacam
itu. Pengetahuan sintetis a posteriori diperoleh setelah adanya pengalaman.

Dengan filsafatnya, ia bermaksud memugar sifat obyektivitas dunia dan ilmu


pengetahuan. Agar maksud tersebut terlaksana orang harus menghindarkan diri dari sifat
sepihak. Menurut Kant ilmu pengetahuan adalah bersyarat pada bersiafat umum dan bersifat
perlu mutlak dan memberi pengetahuan yang baru. Kant bermaksud mengadakan penelitian
yang kritis terhadap rasio murni dan realita.
Kant yang mengajarkan tentang daya pengenalan mengemukakan bahwa daya
pengenalan roh adalah bertingkat, dari tingkatan terendah pengamatan inderawi, menuju ke
tingkat menengah akal (Verstand) dan yang tertinggi rasio atau buddhi (Vernunft).

Immanuel Kant menganggap Empirisme (pengalaman) itu bersifat relative bila tanpa
ada landasan teorinya. contohnya adalah kamu selama ini tahu air yang dimasak sampai
mendidih pasti akan panas, itu kita dapat dari pengalaman kita di rumah kita di Indonesia ini,
namun lain cerita bila kita memasak air sampai mendidih di daerah kutub yang suhunya di
bawah 0̊ C, maka air itu tidak akan panas karena terkena suhu dingin daerah kutub, karena
pada teorinya suhu air malah akan menjadi dingin. dan contoh lainnya adalah pada gravitasi,
gravitasi hanya dapat di buktikan di bumi saja, tetapi tidak dapat diterapkan di bulan. Jadi
sudah terbukti bahwa pengalaman itu bersifat relatif, tidak bisa kita simpulkan atau kita
iyakan begitu saja tanpa dibuktikan dengan sebuah akal dan teori. Dan oleh karena itu Ilmu
pengetahuan atau Science haruslah bersifat berkembang, tidak absolute atau mutlak dan tidak
bertahan lama karena akan melalui perubahan yang mengikuti perkembangan zaman yang
terus maju. (mungkin Sir Issac Newton bila hidup kembali bakal merevisi teroi Gravitasinya
kembali) Pengalaman juga bersifat data-data Inderawi. Makanya Immanuel Kant mengkritik
Empirisme, data Inderawi sendiri harus dibuktikan atau dicek dengan 12 kategori “a priori”
rasio, baru setelah itu diputuskan sah “a priory” atau 12 kategori azas prinsipal abstrak yang
dibagi menjadi 4 oleh Immanuel Kant, antara lain (1)kuantitas (hitung-hitungan)
mengandung kesatuan, kejamakan dan keutuhan.(2)Kualitas (Baik dan buruk) realitas, negasi
dan pembatasan. (3) Relasi (hubungan) mengandung substansi, kausalitas dan timbal balik.
(4)Modalitas mengandung kemungkinan, peneguhan dan keperluan.

Data-data inderawi harus dibuktikan dulu dengan 12 kategori tadi, baru dapat
diputuskan, itulah proses Kritisisme Rasionalis Jerman yang di ajarkan Immanuel Kant.

Metodologi berpikir Dalam Mendapatkan Ilmu

Metodelogi Immanuel Kant tersebut dikenal dengan metode Induksi, dari particular
data-data terkecil baru mencapai kesimpulan Universal. Menurut Immanuel Kant, Manusia
sudah mendapatkan ke 12 kategori tersebut sejak terlahir di dunia ini, Teori itu terinspirasi
dari Dunia Ide Plato.

Immanuel Kant juga beranggapan bahwa data inderawi manusia hanya bisa
menentukan Fenomena saja. Fenomena itu sendiri adalah sesuatu yang tampak yang hanya
menunjukkan fisiknya saja. Seperti benda pada dirinya, bukan isinya atau idenya. Seperti ada
ungkapan “The Think in itself” Sama halnya dengan Manusia hanya bisa melihat Manusia
lain secara penampakannya saja atau fisiknya saja, tetapi tidak bisa melihat ide manusia
tersebut. Inderawi hanya bisa melihat Fenomena (fisik) tapi tidak bisa melihat Nomena
(Dunia ide abstrakPlato).
Cara berpikir yang demikian itu, yaitu pemikiran dengan memakai tese, antitese dan sintese.
Immanuel Kant menggabungkan dunia Ide Plato “a priori” yang artinya sebelum dibuktikan
tapi kita sudah percaya, seperti konsep ketuhanan dengan pengalaman itu sendiri yang
bersifat “a posteriori” yaitu setelah dibuktikan baru percaya, kata lainnya adalah kesimpulan
dari kesan-kesan baru kemudian membentuk sebuah ide
Aksiologi

Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu; axiosyang
berarti sesuai atau wajar. Sedangkan logos yang berarti ilmu. Aksiologi dipahami sebagai
teori nilai. Aksiologi ilmu (nilai) adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai,
yang umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan (Kattsoff: 1992). Aksiologi meliputi
nilai-nilai, parameter bagi apa yang disebut sebagai kebenaran atau kenyataan itu
sebagaimana kehidupan kita yang menjelajahi kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan fisik
materiil, dan kawasan simbolik yang masing-masing menunjukan aspeknya sendiri-sendiri.
Lebih dari itu, aksiologi juga menunjukan kaidah-kaidah apa yang harus kita perhatikan di
dalam menerapkan ilmu kedalam praksis. Menurut Suriasumantri aksiologi adalah teori nilai
yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Menurutkamus Bahasa
Indonesia aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian
tentang nilai-nilai khususnya etika.

Menurut Imanuel kant, aksiologi terbagi tiga bagian, yaitu (1) Moral Conduct, yaitu
tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus, yaitu etika. (2) Estetic Expression,
yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan. (3) Sosio-political life, yaitu
kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat sosial politik.

Dari definisi-definisi aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan utama
adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk
melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam
filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika. Etika menilai perbuatan manusia,
maka lebih tepat kalau dikatakan bahwa objek formal etika adalah norma-norma kesusilaan
manusia, dan dapat dikatakan pula bahwa etika mempelajari tingkah laku manusia ditinjau
dari segi baik dan tidak baik di dalam suatu kondisi yang normative, yaitu suatu kondisi yang
melibatkan norma-norma. Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman
keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena di
sekelilingnya. Aksiologi adalah bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan
buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan
(means and and). Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk perilaku
etis.
Kattsoff (2004: 323) menyatakan bahwa pertanyaan mengenai hakekat nilai dapat dijawab
dengan tiga macam cara yaitu: (1)Subyektivitas yatu nilai sepenuhnya berhakekat subyektif.
Ditinjau dari sudut pandang ini, nilai merupakan reaksi yang diberikan manusia sebagai
pelaku dan keberadaannya tergantung dari pengalaman. (2)Obyektivisme logis yaitu nilai
merupakan kenyataan ditinjau dari segi ontologi, namun tidak terdapat dalam ruang dan
waktu.Nilai-nilai tersebut merupakan esensi logis dan dapat diketahui melalui akal.
(3)Obyektivisme metafisik yaitu nilai merupakan unsur obyektif yang menyusun kenyataan.

Fungsi Aksiologi,Aksiologi ilmu pengetahuan sebagai strategi untuk mengantisipasi


perkembangan dan teknologi (IPTEK) tetap berjalan pada jalur kemanusiaan. Oleh karena itu
daya kerja aksiologi antara lain : (1) Menjaga dan memberi arah agar proses keilmuan
menemukan kebenaran yang hakiki. (2) Dalam pemilihan objek penelaahan dapat dilakukan
secara etis, tidak mengubah kodrat manusia, dan tidak merendahkan martabat
manusia.(3) Pengembangan ilmu pengetahuan diarahkan untuk dapat meningkatkan taraf
hidup yang memperhatikan kodrat dan martabat manusia serta memberikan keseimbangan
alam lewat pemanfaatan ilmu.
Pendekatan-Pendekatan dalam Aksiologi, Pendekatan-pendekatan dalam aksiologi dapat
dijawab dengan tiga macam cara, yaitu (1) Nilai sepenuhnya berhakekat subyektif. Ditinjau
dari sudut pandang ini, nilai-nilai merupaka reaksi-reaksi yang diberkan oleh manusia sebagai
pelaku dan keberadaannya tergantung pada pengalaman-pengalaman mereka.(2) Nilai-Nilai
merupakan kenyataan-kenyataan yang ditinjau dari segi ontologi namun tidak terdapat dalam
ruang dan waktu.(3) Nilai-Nilai merupakan unsur-unsur obyektif yang menyusun kenyataan.
PENUTUP

Filsafat Immanuel kant yakni kritisisme adalah penggabungan antara aliran filsafat
sebelumnya yakni Rasionalisme yang dipelopori oleh Rene Descartes dan empirisme yang
dipelopori oleh David Hume. Kant mempunyai tiga karya yang sangat penting yakni kritik
atas rasio murni, kritik atas rasio praktis, kritik atas pertimbangan. Ketiga karyanya inilah
yang sangat mempengaruhi pemikiran filosof sesudahnya, yang mau tak mau menggunakan
pemikiran kant. Karena pemikiran kritisisme mengandung patokan-patokan berfikir yang
rasional dan empiris.Kritisme Immanuel Kant, Sebenarnya telah memadukan dua pendekatan
dalam pencarian keberadaan sesuatu yang juga tentang kebenaran substansial dari sesuatu itu.
Kant seolah-olah mempertegas bahwa rasio tidak mutlak dapat menemukan kebenaran karna
rasio tidak membuktikan begitu juga pengalaman tidak dapat dijadikan tolak ukur secara
terus-menerus, karena tidak semua pengalaman benar-benar nyata. Melalui pemahaman
tersebut, rasionalisme dan empirisme harusnya bergabung agar melahirkan suatu paradigma
baru, bahwa kebenaran empiris harus rasional sebagaimana kebenaran rasional empiris.

Dalam penyusunan makalah ini memang masih kurang dari kata sempurna. Oleh karena
itu, saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar dalam penulisan karya ilmiah
yang akan datang menjadi lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad.2004.filsafat ilmu modern.bandung.

Muttoharoh, Laily. 2011.Dimensi aksiologi. Jakarta Blogspot.diakses pada 12 oktober


2018. Dihttp://laily-muttoharoh.blogspot.com/2011/12/dimensi-aksiologi

Ganjury, El.2010. Aksiologi ilmu pengetahuan, Jakarta Blogspot.diakses pada 17 oktober


2018. Di
http://ganjureducation.wordpress.com/2010/12/28/aksiologi-ilmu-pengetahuan

Louis o. Kattsoff. 2004. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara wacana yogya

Vindriani, Astrid. 2013. Aliran filsafat kritisme dan pls, Yogyakarta Blogspot. diakses pada
17 oktober 2018. Di http://astrid45vindiari.wordpress.com/2013/12/16/aliran-filsafat-
kritisisme-dan-pls

Pusatakawan, Adi. 2013. Kritisme Immanuel Kant tokoh filsafat.Jakarta


Blogspot.diaksespada 28 oktober 2018.
Dihttp://adipustakawan01.blogspot.com/2013/06/kritisisme-imanuel-kant-tokoh-
filsafat.html

The Liang Gie. 2004. Pengantar filsafat ilmu. Yogyakarta

Asmoro,Ahmadi. 2004.Filsafat Umum, Jakarta: Raja Wali Pres

Anda mungkin juga menyukai