Anda di halaman 1dari 44

Ringkasan

A. Kritisisme
Epistemologi Immanuel Kant tidak pernah dapat dilepaskan dari
keberadaan dua aliran besar tentang pengetahuan yaiturasionalisme
dan empirisme. Teori pengetahuan yang dikembangkan oleh Plato dan
Descartes yang disebut dengan “rasionalisme” menegaskan bahwa
pengetahuan hanya akan ditemukan dengan menggunakan akal.
Rasionalisme memiliki asumsi bahwa pengetahuan yang pasti secara
mutlak tidak akan pernah dicapai melalui pengalaman inderawi melainkan
harus dicari dalam alam pikiran (in the realm of the mind) (Richard H.
Popkin dalam Taryadi, 1989:19).
Epistemologi Immanuel Kant dapat diposisikan sebagai jembatan
antara rasionalisme dan empirisme. Baik rasionalisme maupun empirisme
mencoba untuk menjawab persoalan : “nilai apa yang ada dalam
pengetahuan yang saya peroleh mengenai dunia fisik (material) dan
kaitannya dengan apa yang harus saya lakukan?” Pandangan
rasionalisme memulainya dengan asumsi bahwa
kepastian/pengetahuan hanya dapat diperoleh melalui kerja pikiran karena
dalam pikiran manusia telah ada ide-ide bawaan yang bersifat universal.
Sifat universal ini dibutuhkan dalam pengetahuan ilmiah maupun filsafat,
tetapi sayangnya rasionalisme gagal untuk menjelaskan keabsahan
pengetahuan tersebut dalam rujukannya kepada dunia alam tanpa terjatuh
pada panteisme.
Sementara itu empirisme dalam menjawab pertanyaan yang sama
tersebut di atas, memulainya dengan proses persepsi inderawi. Empirisme
mengklaim bahwa melalui persepsi inderawi akan diperoleh gambaran atas
objek sebagaimana adanya. Namun empirisme melupakan bahwa dalam
setiap persepsi inderawi tetap saja bersifat partikular bukan universal.
Kegagalan rasionalisme maupun empirisme inilah yang menjadi latar

1
belakang utama epistemologi Immanuel Kant. Beliau dengan
kritisismenya mencoba untuk menjembatani pertentangan antara
rasionalisme dan empirisme dan menjadi “fenomenalisme baru”.
Pemikiran epistemologi Kant pada karyanya yang berjudul
Critique of Pure Reason dimulai dengan penjelasan atas perbedaan sifat
pengetahuan yang bercorak analisis-sintesis dan apriori-aposteriori.Kant
menyatakan bahwa rasionalisme memiliki sifat analitik-apriori
(mendahului pengalaman). Adapun ciri putusan yang bersifat analitik
apriori adalah mengkonstruksi sebuah sistem pengetahuan yang
dilengkapi dengan dimensi universalitas atau keniscayaan. Hanya saja,
jenis pengetahuan yang semacam ini bersifat tautologis, hanya
pengulangan dan kurang andal, karena tidak menyajikan sesuatu yang
baru. Sedangkan empirisme memiliki sifat sintesis- aposteriori.
Kebenaran sintetik adalah kebenaran bersyarat, tergantung pada
bagaimana dunia sebagaimana adanya (aposteriori – setelah pengalaman).
Keunggulan dari jenis putusan yang bersifat sintesis-aposteriori adalah
mampu memberikan pengetahuan baru. Namun kelemahannya adalah
predikat tidak lebih dari fakta pengalaman, sehingga model putusan yang
semacam ini akan kehilangan aspek universalitasnya.
Menurut Kant, ada satu lagi jenis putusan yaitu sintesis-
apriori. Jenis putusan ini akan memiliki ciri universalitas dengan tanpa
bersifat tautologis. Adapun syarat pembentukan putusan sintesis
apriori adalah harus memiliki forma dan materi. “Forma” diperoleh dari
intelek yang bersifat independen dari semua pengalaman, bersifat
apriori, menandakan fungsi-cara-dan-hukum mengetahui dan bertindak
yang eksistensinya mendahului pengalaman. Sedangkan “materi” adalah
sensasi subjektif yang diterima dari luar. Forma dalam hal ini mewakili
aspek universalitas dan niscaya, sedangkan materi mewakili data empiris.
Sehingga jenis putusan yang sintesis- apriori akan bersifat universal dan
niscaya dengan tetap absah dalam dunia empiris.

2
B. Modernisme
Masa modern menjadi identitas di dalam filsafat Modern. Pada
masa ini rasionalisme semakin dipikirkan. Tidak gampang untuk
menentukan mulai dari kapan Abad Pertengahan berhenti. Namun, dapat
dikatakan bahwa Abad Pertengahan itu berakhir pada abad 15 dan 16 atau
pada akhir masa Renaisans. Masa setelah Abad Pertengahan adalah masa
Modern. Sekalipun, memang tidak jelas kapan berakhirnya Abad
Pertengahan itu. Akan tetapi, ada hal-hal yang jelas menandai masa
Modern ini, yaitu berkembang pesat berbagai kehidupan manusia Barat,
khususnya dalam bidang kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan ekonomi.
Usaha untuk menghidupkan kembali kebudayaan klasik Yunani-Romawi.
Kebudayaan ini pulalah yang diresapi oleh suasana kristiani. Di bidang
Filsafat, terdapat aliran yang terus mempertahankan masa Klasik. Aliran-
aliran dari Kungfu dan mazhab Stoa menjadi aliran-aliran yang terus
dipertahankan. Pada masa Renaissance ini tidak menghasilkan karya-karya
yang penting.
Satu hal yang yang menjadi perhatian pada masa Renaissance ini
adalah ketika kita melihat perkembangan pemikirannya. Perkembangan
pada masa ini menimbulkan sebuah masa yang amat berperan di dalam
dunia filsafat. Inilah yang menjadi awal dari masa modern. Timbulnya
ilmu pengetahuan yang modern, berdasarkan metode eksperimental dan
matematis. Segala sesuatunya, khususnya di dalam bidang ilmu
pengetahuan mengutamakan logika dan empirisme. Aristotelian
menguasai seluruh Abad Pertengahan ini melalui hal-hal tersebut.
Pada masa Modern terjadi perkembangan yang pesat pada bidang
ekonomi. Hal ini terlihat dari kota-kota yang berkembang menjadi pusat
perdagangan, pertukaran barang, kegiatan ekonomi monoter, dan
perbankan. Kaum kelas menengah melakukan upaya untuk bangkit dari
keterpurukan dengan mengembangkan suatu kebebasan tertentu.

3
Kebebasan ini berkaitan dengan syarat-syarat dasar kehidupan. Segala
macam barang kebutuhan bisa dibeli dengan uang. Makanisme pasar pun
sudah mulai mengambil peranan penting untuk menuntut manusia untuk
rajin, cerdik, dan cerdas. Dari sudut pandang sosio-ekonomi menjelaskan
bahwa individu berhadapan dengan tuntutan-tuntutan baru dan praktis
yang harus dijawab berdasarkan kemampuan akal budi yang mereka
miliki. Kemampuan ini tanpa harus mengacu kepada otoritas lain, entah itu
dari kekuasaan gereja, tuntutan tuan tanah feodal, maupun ajaran muluk-
muluk dari para filsuf.
Dari sudut pandang sejarah Filsafat Barat melihat bahwa masa
modern merupakan periode dimana berbagai aliran pemikiran baru mulai
bermunculan dan beradu dalam kancah pemikiran filosofis Barat. Filsafat
Barat menjadi penggung perdebatan antar filsuf terkemuka. Setiap filsuf
tampil dengan gaya dan argumentasinya yang khas. Argumentasi mereka
pun tidak jarang yang bersifat kasar dan sini, kadang tajam dan pragmatis,
ada juga yang sentimental. Sejarah filsafat pada masa modern ini dibagi ke
dalam tiga zaman atau periode, yaitu: zaman Renaissans (Renaissance),
zaman Pencerahan Budi (Aufklarung), dan zaman Romantik, khususnya
periode Idealisme Jerman.
Ada beberapa tokoh yang menjadi perintis yang membuka jalan
baru menuju perkembangan ilmiah yang modern. Mereka adalah Leonardo
da Vinci (1452-1519), Nicolaus Coperticus (1473-1543), Johannes Kepler
(1571-1630) dan Galileo Galilei (1564-1643). Sedangkan Francis Bacon
(1561-1623) merupakan filsuf yang meletakkan dasar filosofisnya untuk
perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Dia merupakan
bangsawan Inggris yang terkenal dengan karyanya yang bermaksud untuk
menggantikan teori Aristoteleles tentang ilmu pengetahuan dengan teori
baru.

4
Pembahasan

A. Kritisisme
1. Analisis Filisofis
Kant memandang rasionalisme dan empirisme senantiasa berat
sebelah dalam menilai akal dan pengalaman sebagai sumber pengetahuan.
Ia mengatakan bahwa pengenalan manusia merupakan sintesis antara
unsur-unsur apriori dan unsur-unsur aposteriori.
Kebenaran merupakan sensasi-sensasi yang masuk melalui alat
indra kemudian masuk ke dalam otak, lalu objek itu diperhatikan,
kemudian disadari. Sensasi-sensasi itu masuk ke otak melalui saluran-
saluran tertentu, yaitu hukum-hukum. Karena hukum-hukum itulah, tidak
semua stimulus yang menerpa alat indra dapat masuk ke otak.
Penangkapan itu telah diatur oleh persepsi sesuai dengan tujuan. Tujuan
inilah hukum-hukum itu. Kebenaran apriori diperoleh melalui struktur
jiwa yang kemudian masuk dalam idea. Oleh karena itu, pengenalan
berpusat pada subjek, bukan pada objek.
Gagasan utama kritisisme adalah tentang teori pengetahuan, etika,
dan estetika. Gagasan ini muncul karena adanya pertanyaan-pertanyaan
mendasar, seperti: 1) apa yang dapat saya ketahui?; 2) apa yang harus
saya lakukan?; 3) apa yang boleh saya harapkan?.
Epistemologi Immanuel Kant dapat diposisikan sebagai jembatan
antara rasionalisme dan empirisme. Baik rasionalisme maupun empirisme
mencoba untuk menjawab persoalan : “nilai apa yang ada dalam
pengetahuan yang saya peroleh mengenai dunia fisik (material) dan
kaitannya dengan apa yang harus saya lakukan?” Pandangan
rasionalisme memulainya dengan asumsi bahwa
kepastian/pengetahuan hanya dapat diperoleh melalui kerja pikiran karena

5
dalam pikiran manusia telah ada ide-ide bawaan yang bersifat universal.
Sifat universal ini dibutuhkan dalam pengetahuan ilmiah maupun filsafat,
tetapi sayangnya rasionalisme gagal untuk menjelaskan keabsahan
pengetahuan tersebut dalam rujukannya kepada dunia alam tanpa terjatuh
pada panteisme.
Sementara itu empirisme dalam menjawab pertanyaan yang sama
tersebut di atas, memulainya dengan proses persepsi inderawi. Empirisme
mengklaim bahwa melalui persepsi inderawi akan diperoleh gambaran atas
objek sebagaimana adanya. Namun empirisme melupakan bahwa dalam
setiap persepsi inderawi tetap saja bersifat partikular bukan universal.
Kegagalan rasionalisme maupun empirisme inilah yang menjadi latar
belakang utama epistemologi Immanuel Kant. Beliau dengan
kritisismenya mencoba untuk menjembatani pertentangan antara
rasionalisme dan empirisme dan menjadi “fenomenalisme baru”.
Pemikiran epistemologi Kant pada karyanya yang berjudul
Critique of Pure Reason dimulai dengan penjelasan atas perbedaan sifat
pengetahuan yang bercorak analisis-sintesis dan apriori-aposteriori. Kant
menyatakan bahwa rasionalisme memiliki sifat analitik- apriori
(mendahului pengalaman). Adapun ciri putusan yang bersifat analitik
apriori adalah mengkonstruksi sebuah sistem pengetahuan yang
dilengkapi dengan dimensi universalitas atau keniscayaan. Hanya saja,
jenis pengetahuan yang semacam ini bersifat tautologis, hanya
pengulangan dan kurang andal, karena tidak menyajikan sesuatu yang
baru. Sedangkan empirisme memiliki sifat sintesis- aposteriori.
Kebenaran sintetik adalah kebenaran bersyarat, tergantung pada
bagaimana dunia sebagaimana adanya (aposteriori – setelah pengalaman).
Keunggulan dari jenis putusan yang bersifat sintesis-aposteriori adalah
mampu memberikan pengetahuan baru. Namun kelemahannya adalah
predikat tidak lebih dari fakta pengalaman, sehingga model putusan yang
semacam ini akan kehilangan aspek universalitasnya.

6
Menurut Kant, ada satu lagi jenis putusan yaitu sintesis-
apriori. Jenis putusan ini akan memiliki ciri universalitas dengan tanpa
bersifat tautologis. Adapun syarat pembentukan putusan sintesis
apriori adalah harus memiliki forma dan materi. “Forma” diperoleh dari
intelek yang bersifat independen dari semua pengalaman, bersifat
apriori, menandakan fungsi-cara-dan-hukum mengetahui dan bertindak
yang eksistensinya mendahului pengalaman. Sedangkan “materi” adalah
sensasi subjektif yang diterima dari luar. Forma dalam hal ini mewakili
aspek universalitas dan niscaya, sedangkan materi mewakili data empiris.
Sehingga jenis putusan yang sintesis- apriori akan bersifat universal dan
niscaya dengan tetap absah dalam dunia empiris.

2. Analisis Teori
Karakteristik kritisisme dapat disimpulkan dalam tiga hal:
a. Menganggap bahwa objek pengenalan itu berpusat pada subjek dan
bukan pada objek;
b. Penegasan tentang keterbatasan kemampuan rasio manusia untuk
mengetahui realitas atau hakikat sesuatu; rasio hanya mampu
menjangkau gejalanya;
c. Menjelaskan bahwa pengenalan manusia atas sesuatu itu diperoleh
atas perpaduan antara peranan unsur apriori yang berasal dari rasio
serta berupa ruang dan waktu dan peranan unsur aposteriori yang
berasal dari pengalaman yang berupa materi.

3. Analisis Praksis
Immanuel Kant mengkritik melalui tiga buah karyanya yang
terkenal dan menampakkan kritisismenya ialah :
1. Kritik atas Rasio Murni
Kritisisme Kant dapat dianggap sebagai suatu usaha raksasa untuk
mendamaikan rasionalisme dengan empirisme. Rasionalisme
mementingkan unsur a priori dalam pengenalan, berarti unsur-unsur yang

7
terlepas dari segala pengalaman (seperti misalnya “ide-ide bawaan” ala
Descrates). Empirisme menekankan unsur-unsur aposteriori, berarti unsur-
unsur yang berasal dari pengalaman ( seperti Locke yang menganggap
rasio sebagai “lembaran putih” (as a white paper). Menurut Kant, baik
rasionalisme maupun empirisme, kedua-duanya berat sebelah. Ia berusaha
menjelaskan bahwa pengenalan manusia merupakan paduan antara sintesis
unsur-unsur a priori dengan unsur-unsur aposteriori.
Menurut Niko Syukur bahwa kebenaran apriori diperoleh melalui
struktur jiwa kita yang inheren. Secara aktif, jiwa mengoordinasi sensasi-
sensasi yang masuk dalam idea. Oleh karena itu, pengenalan berpusat pada
subjek, bukan pada objek. Ada tiga tahap pengenalan sebagai sintesis antara
unsur-unsur apriori dan aposteriori:
a. Pada taraf indra
Unsur a priori memainkan peranan bentuk dan unsur aposteriori
memainkan peranan materi. Menurut Kant, unsur apriori itu sudah
terdapat pada taraf indra. Ia berpendapat bahwa dalam pengetahuan
indrawi selalu ada dua bentuk a priori, yaitu ruang dan waktu. Jadi,
ruang tidak merupakan ruang kosong, dimana benda-benda diletakkan;
ruang tidak merupakan “ruang dalam dirinya” (ruang an sich). Waktu
bukan merupakan suatu arus tetap, dimana pengindraan-pengidraan bisa
ditempatkan. Kedua-duanya merupakan bentuk apriori sensibilitas.
Dengan kata lain, kedua-duanya berakar dalam struktur subjek sendiri.
b. Pada taraf akal budi
Kant membedakan akal budi (Verstand) dengan rasio (Vernunff). Tugas
akal budi ialah menciptakan orde antara data-data indrawi. Dengan kata
lain, akal budi mengucapkan putusan-putusan. Pengenalan akal budi
juga merupakan sintesis antara bentuk dengan materi. Materi adalah
data-data indrawi dan bentuk adalah a priori, yang terdapat pada akal
budi. Bentuk a priori ini dinamakan Kant dengan istilah “Kategori”.
c. Pada taraf rasio

8
Tugas rasio ialah menarik kesimpulan dari keputusan - keputusan.
Dengan kata lain, rasio mengadakan argumentasi-argumentasi. Seperti
akal budi menggabungkan data-data indrawi dengan mengadakan
keputusan - keputusan, demikian pula rasio menggabungkan putusan -
putusan. Kant memperlihatkan bahwa rasio membentuk argumentasi itu
dipimpin tiga ide, yaitu: jiwa, dunia dan Allah.
2. Kritik atas Rasio Praktis
Rasio murni yang dimaksudkan oleh Kant adalah rasio yang dapat
menjalankan roda pengetahuan. Akan tetapi, disamping rasio murni
terdapat rasio praktis, yaitu rasio yang mengatakan apa yang harus kita
lakukan; atau kata lain, rasio yang memberikan perintah kepada kehendak
kita. Kant memperlihatkan bahwa rasio praktis memberikan perintah yang
mutlak yang disebutnya sebagai imperatif kategori. Kant beranggapan
bahwa tiga hal yang harus disadari sebaik-baiknya bahwa ketiga hal itu
dibuktikan, hanya dituntut. Itulah sebabnya, kant menyebutnya ketiga
postulat dari rasio praktis. Ketiga postulat dimaksud itu ialah:
a. Kebebasan kehendak,
b. Inmoralitas jiwa, dan
c. Adanya Allah.
3. Kritik atas Daya Pertimbangan
Kritik ketiga dari Kant atas rasionalisme dan empirisme adalah
sebagaimana dalam karyanya critique of judgement. Sebagai konsekuensi
dari “kritik atas rasio umum” dan “kritik atas rasio praktis” ialah
munculnya dua lapangan tersendiri, yaitu lapangan keperluan mutlak di
bidang alam dan lapangan kebebasan di bidang tingkah laku manusia.
Maksud kritik der urteilskraft ialah mengerti kedua persesuaian kedua
lapangan ini. Hak ini terjadi dengan menggunakan konsep finalitas (tujuan).
Kita dapat simpulkan bahwa semua kritik Immanuel Kant
memberikan fungsi tersendiri agar hubungan antara rasio dan empiris
menjadi harmonis dan baik. Buku pertama Kant kritik atas rasio murni atau
kritik der reinen vernunft reason biasa disebut critique of pure reason yang

9
membicarakan tentang proses pengetahuan. Kedua, atas rasio praktis atau
kritik der practischen vernunft (1781) atau critique of practical reason
yang menjelaskan filsafat moral. Ketiga buku kritik der urteilskraft (1790)
atau critique of Judgment alias kritik atas daya pertimbangan.

4. Analisis Praktek
Dari pemikiran Kant yang muncul pada Critique of Pure
Reason, ada persoalan yang tersisa yaitu masalah metafisika (Amin,
2003:243). Hal ini dikarenakan sejak awal epistemologi Kant
meletakkan kategori-kategori formal akal dalam jangkauan ruang
waktu. Kategori harus digunakan dalam pengalaman inderawi.
Berkaitan dengan pemikiran Kant bahwa yang dapat dijangkau
oleh indra hanyalah fenomena dan bukan noumena, maka pertanyaan
lebih lanjut, dapatkah kepastian diperoleh dari padanya? Pada pokok
persoalan ini adopsi atas pemikiran Kant ini akan memberikan
peluang bagi kita untuk mengadopsi gagasan-gagasan tentang prinsip
pertama. Jawaban atas semua keraguan filosofis atas prinsip-prinsip
pertama akan didasarkan pada kodrat absolut dari ide mengenai “ada”.
Sehingga pada tataran ini perbedaan antara kesan dan kenyataan,
ataupun fenomena dan noumena dapat diatasi. Karena apapun yang
dimaksud dengan kenyataan noumena pastilah di dalam dirinya
sendiri dapat diterapkan ide mengenai “ada”.
Masih terkait dengan pokok soal kepastian, bahwa untuk
memperoleh kepastian maka diperlukan evidensi. Adapun bentuk
evidensi dapat bermacam-macam. Pikiran akan mengalami diri secara
esensial tunduk pada evidensi ini. Evidensi ini yang akan menjamin
tanggapan kognitif, entah berupa kepastian ataupun pendapat.
Namun adakah kepastian absolut? Apabila digunakan perspektif
Kant maka hal itu sesungguhnya merupakan permintaan yang tidak
masuk akal, kepastian hanya bisa diperoleh dalam matematika

10
maupun fisika klasik sebagai sebuah ilmu yang sempurna, sementara
problem metafisika tidak akan pernah terjangkau.
Apabila dianalisis lebih lanjut hal tersebut di atas tidak saja
disebabkan karena keterbatasan rasio, tetapi juga sifat pengetahuan
yang analog. Pengetahuan yang ada sesungguhnya lebih bersifat
perspektival, sehingga kepastian sebagai dukungan
atas pengetahuanpun akan hadir dalam berbagai macam bentuk.
Kepastian pada ilmu-ilmu alam tentu berbeda dengan ilmu sosial.
Persoalannya adalah umumnya pemahaman atas kepastian
ditempatkan pada kepastian fisik semata. Tetapi bukanlah kepastian
fisik ini akan bermasalah ketika ditempatkan dalam relasi problem-
problem kemanusiaan misalnya. Pada hubungan sosial kemanusiaan,
mungkin yang lebih banyak digunakan adalah kepastian moral, atau
bahkan sesungguhnya tidak ada yang disebut dengan kepastian itu
sendiri. Mengapa, karena hidup manusia tidak dapat dijalani seperti
hal nya rumus bangun. Hidup manusia lebih banyak dihabiskan
dengan berbagai tindakan yang didasarkan pada probabilitas. Ketika
kita hanya menunggu untuk sampai pada sebuah kondisi kepastian
maka banyak hal akan lumpuh, dan manusia tidak akan melakukan
apapun. Tindakan tidak mensyaratkan kepastian, karena hidup kita
cukup dipuaskan dengan probabilitas saja. Justru dalam tindakan-
tindakan akan semakin ditemukan kepastian tersebut.
Pada titik tertentu Immanuel Kant sepakat dengan David
Hume bahwa ilmu pengetahuan tidak akan mampu mencapai
kepastian. Meskipun Kant tidak menolak prinsip kausalitas
sebagaimana halnya Hume. Yang menarik justru ketika Kant
menemukan ada masalah dengan “metafisika” sebagai bentuk
keterbatasan rasio. Melalui Rasio Murni manusia tidak mampu
menjangkau pengetahuan metafisik. Oleh karena itu Kant mencoba
untuk mengantisipasi persoalan tersebut dalam karyanya yaitu
Critique of Practical Reason dan Critique of Judgment.

11
Pada Critique of Practical Reason dijelaskan bahwa begitu
subjek telah melampaui pengindraan melalui rasio praktis, Kant
kemudian memunculkan postulat yang membangun moralitas
(Baskara, 2003:264). Postulat inilah yang menurut Kant membuat
moralitas menjadi mungkin. Tiga postulat yang dimunculkan oleh
Kant adalah kebebasan, keabadian jiwa, dan Allah. Penjelasannya
adalah : (1) Kehendak bagi Kant bersifat melampaui dunia fenomenal,
karena kehendak bersifat otonom. (2) kebajikan adalah kebahagiaan
yang tertinggi. Dalam dunia fenomenal hal ini tidak selalu atau
bahkan mustahil terjadi. Jika dalam dunia fenomenal mustahil
mencapai kebahagiaan melalui kebajikan, maka kebahagiaan itu ada
diluar dunia fenomenal. Akibat dari hal ini adalah munculkan
keyakinan akan keabadian jiwa. (3) karena ada keyakinan bahwa
kebajikan akan membawa pada kebahagiaan maka muncullah
keyakinan tentang Allah. Melalui rasio praktis inilah maka manusia
akan mampu mencapai metafisika.
Immanuel Kant mempertahankan pandangannya tersebut di
atas dengan mengatakan bahwa sistesis apriori seperti yang telah
dilakukannya di atas adalah mungkin melalui putusan atas perasaan
(judgement of sentiment). Hal inilah yang disajikan oleh kant dalam
Critique of Judgment. Putusan atas perasaan berbeda dengan putusan
sintesis apriori, seperti yang telah Kant sebutkan pada Critique of Pure
Reason. Putusan atas perasaan mengandaikan ada satu forma kosong
intelek yang ditentukan oleh elemen tertentu yang diperoleh melalui
proses pengindraan. Jika putusan yang diperoleh melalui sintesis-
apriori disebut dengan putusan penting (determining judgement) maka
putusan atas perasaan itu disebut dengan putusan hasil refleksi
(reflecting judgement), meliputi putusan teleologis dan putusan
estetis. Putusan atas perasaan ini berasal dari luar bentuk apriori
intelek, yaitu berasal dari kekuatan afektif kehendak subjek. Oleh
karena itu menurut Kant, putusan yang semacam ini tidak akan

12
memberikan putusan yang tepat, melainkan hanya memanifestasikan
kemendesakkan.
Pemikiran Kant tersebut di atas sangat menarik karena Kant
membuka peluang ke arah metafisika dan pengetahuan yang lebih
esensial. Jika pada pemikiran Kant dalam Kritik atas rasio murni
ditegaskan bahwa kita hanya dapat mengetahui objek sejauh dalam
fenomen melalui persepsi inderawi, maka memang akan menjadi
pertanyaan besar terkait dengan objek-objek yang tidak berfenomen.
Konsep Cinta, Keabadian, Tuhan misalnya, tidak dapat dipenuhi
dengan pengalaman inderawi. Jika kemudian atas dasar rasio murni
disimpulkan bahwa karena tidak dapat ditangkap indra maka
konsep-konsep tersebut tidak memadai, tentu ini kesimpulan yang
tidak tepat. Hal ini dikarenakan tetap ada insight pengetahuan untuk
hal-hal yang semacam itu.
Barangkali pengetahuan yang semacam ini memang belum
lengkap atau belum sempurna, namun bukankah pikiran manusia
senantiasa terbuka dan terus berkembang secara kreatif. Pengetahuan
adalah bagian dari hidup dan kehidupan manusia yang didalamnya
terdapat dimensi historisitas dan sosialitas. Oleh karena itu interaksi
dengan waktu, lingkungan, dan sesamanya akan memacu tumbuhnya
pengetahuan secara terus menerus.

B. Modernisme
1. Analisis filosofis
1. Rasionalisme
Rasionalisme adalah paham filsafat yang mengatakan bahwa akal
adalah alat terpenting dalam memperoleh pengetahuan dan mengetes
pengetahuan. JIka empirisme mengatakan bahwa pengetahuan diperoleh
denagn alam mengalami objek empiris, maka rasionalisme mengajarkan
pengetahuan diperoleh denagna cara berpikir. Alat dalma berpikir itu
adalah kaidah kaidah logis atau kaidah kaidah logika. Rasionalisme ada

13
dua macam : dalam bidang agama, dan dalam bidang filsafat.
Rasionalisme dalam bidang agama biasanya digunakan untuk mengkritik
ajaran agama, rasionalisme dalam bidang filsafat terutama berguna sebagai
teori pengetahuan.
2. Emperisme
Tokohnya adalah Thomas Hobbes, Jhon Locke dan David Hume.
IImu  pengetahuan besar sekali manfaatnya bagi kehidupan, kemudian
beranggapan bahwa ilmu yang bermanfaat pasti dan benar adanya hanya di
peroleh lewat indra (empiri) dan empirilah satu-satunya sumoer
pengetahuan. Pemikiran tersebut lahir dengan nama
Empirisme.Pandangannya yang terkenal adalah konsep manusia dari sudut
pandang empirisme-materialisme, serta pandangan tentang hubungan
manusia dengan sistem negara. Hobbes memiliki pengaruh terhadap
seluruh bidang kajian moral di Inggris serta filsafat politik, khususnya
melalui bukunya yang amat terkenal "Leviathan". Hobbes tidak hanya
terkenal di Inggris tetapi juga di Eropa Daratan. Selain dikenal sebagai
filsuf, Hobbes juga terkenal sebagai ahli matematika dan sarjana klasik. Ia
pernah menjadi guru matematika Charles II serta menerbitkan terjemahan
Illiad dan Oddysey karya Homeros. Inti pemikiran Hobbes berakar pada
empirisme (berasal dari bahasa Yunani empeiria yang berarti
'berpengalaman dalam, berkenalan dengan'). Empirisme menyatakan
bahwa pengalaman adalah asal dari segala pengetahuan. Menurut Hobbes,
filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan tentang efek-efek atau akibat-akibat
berupa fakta yang dapat diamati. Segala yang ada ditentukan oleh sebab
tertentu, yang mengikuti hukum ilmu pasti dan ilmu alam. Yang nyata
adalah yang dapat diamati oleh indra manusia, dan sama sekali tidak
tergantung pada rasio manusia (bertentangan denga rasionalisme).Dengan
menyatakan yang benar hanyalah yang inderawi, Hobbes mendapatkan
jaminan atas kebenaran.
Pendapatnya bahwa ilmu filsafat adalah satu ilmu pengetahuan
yang sifatnya urnurn, dan juga ilmu pengetahuan tentang akibat atau gejala

14
yang di peroleh dari sebabnya, sasaran filsafat adalah fakta, yaitu untuk
mencari sebabnya. Segala yang di tentukan oleh sebab sedangkan
prosesnya sesuai dengan hukum ilmu pasti atau ilmu alam.
3. Kritisme
Sebagai latar belakangnya manusia melihat adanya kemajuan ilmu
pengetahuan  telah mencapai hasil yang mengembirakan. Disisi lain
jalannya filsafat tersendat-sendat. Untuk itu di perlukan upaya agar filsafat
dapat   berkembang sejajar dengan ilmu pengetahuan alam. Seorang ahli
fikir  jerman.  Imanuel kant (1724-1804) mencoba menyelesaikan
persoalan di Kritisme. Kant mengakui peranan akal dan keharusan empiri,
kemudian dicobanya mengadakan sintesis walaupun sama pengetahuan
bersumber   pada akal (Rasionalisme) tetapi adanya pengertian timbul dari
benda (empirisme)    ibarat burung terbang narus mempunyai sayap
(Rasio) dan udara (empiri). Jadi metode  pemikirannya disebut metode
kritis.
4. Idealisme
Georg Wilhelm Friedrich Hegel adalah seorang filsuf idealis
Jerman. Pengaruhnya sangat luas terhadap para penulis dari berbagai
posisi, termasuk para pengagumnya (F. H. Bradley, Sartre, Hans Küng,
Bruno Bauer, Max Stirner, Karl Marx), dan mereka yang menentangnya
(Kierkegaard, Schopenhauer, Nietzsche, Heidegger, Schelling). Tokoh
idealisme Jerman terbesar pasca Kant adalah Hegel dengan idealisme
absolutnya, satu generasi lebih muda dari Kant. Hegel dikenal dengan
idealisme absolut yang dengannya dia mencoba merehabilitasi metafisika.
Tokoh idealisme Jerman terbesar pasca Kant adalah Hegel dengan
idealisme absolutnya, satu generasi lebih muda dari Kant. Hegel dikenal
dengan idealisme absolut yang dengannya dia mencoba merehabilitasi
metafisika. Penjelasan Istilah Menurut sebuah kamus filsafat, idealisme
adalah aliran filsafat yang berpendapat bahwa objek pengetahuan yang
sebenarnya adalah ide (idea); bahwa ide-ide ada sebelum keberadaan
sesuatu yang lain; bahwa ide-ide merupakan dasar dari ke-ada-an sesuatu.

15
Dalam kamus lain dijelaskan bahwa idealisme adalah sistem atau doktrin
yang dasar penafsirannya yang fundamental adalah ideal. Berlawanan
dengan materialisme yang menekankan ruang, sensibilitas, fakta, dan hal
yang bersifat mekanistik, idealisme menekankan supra-ruang, non-
sensibilitas, penilaian, dan ideologis. Dalam tataran epistemologis,
idealisme berpendapat bahwa dunia eksternal hanya dapat dipahami hanya
dengan merujuk pada ide-ide dan bahwa pandangan kita tentang alam
eksternal selalu dimediasi oleh tindakan pikiran. Rintisan ini mencapai
puncak pada   masa Hegel menurut pendapatnya segala peristiwa di dunia
ini hanya bisa di mengerti jika satu syarat di penuhi, yang jika peristiwa itu
secara otomatis mengandung penjelasan. Ide yang berfikir itu adalah
sebenarnya gerak yang menimbulkan gerak lain, artinya gerak yang
menimbulkan tesis, kemudian menimbulkan anti tesis kemudian timbul
sintetis yang merupakan tesis baru, yang nantinya menimbulkan sintesis
dan seterusnya,  inilah yang disebut dialektika.  
5. Positisme
Yang di rnaksud dengan positif adalah segala gejala yang tampak
seperti apa   adanya, sebatas pengalaman objektif. Beberapa tokoh: August
Comte (1798-1857)    Jhon S. Mill (1806-1873) Herbert Spencer (1820-
1903).
Auguste Comte lahir pada (1798-1857) di Kota Monpellier di
Perancis Selatan, Kedua orang tuanya adalah pegawai kerajaan dan
penganut Agama Katholik yang shaleh. Pada usia 16 tahun Comte pindah
ke Paris masuk ke sekolah politeknik studi keinsinyuran.
Menurut pendapatnya, perkembangan pemikiran manusia
berlangsung dalam tiga tahap: Tahap teologis, Tahap imetafisis, Tahap
ilmiah. Positivisme itu sangat membantu dalam proses keilmua khususnya
dalam bidang yang bersifat fisik, (fakta) karena dengan positivisme ilmu
dapat memiliki peranya dan menemui keaktualan suatu ilmu, dan ilmu itu
bersifat behavioral., operasional dan kuantitatif.
6.  Evolusionisme

16
Dalam pemikirannya ia mengajukan konsepnya tentang
perkembangan segala sesuatu termasuk manusia yang diatur oleh hukuim-
hukum mekanik. 
7. Matearilisme
 Julien de tamenrle (1709-1751) mengemukakan pemikirannya
banwa binatang dan manusia tidak ada bedanya, karena semuanya di
anggap sebagai mesin. Dari matreansme historis atau diaktetis yaitu Karl
Marx (1818-1883) nama lengkapnya Karl Heinrich Mark. Menurut
pendapatnya tugas seorang filosof adalah bukan unuk menerangkan dunia
tetapi untuk mengubahnya.
8. Neo-Kantianisme
Tokohnya: Wilhem Windelband (1848-1915) Herman Cohen
(1842-1918) Paul  Natrop (1854-1928) Heinrich Reckhart (1863-1939).
Herman mengemukakan bahwa keyakinannya kepada otoritas
akaImanusia untuk mencipta.
9. Pragmatisme
Tokohnya Wiliam James (1842-1910). Ia beranggapan banwa
rnasalah kebenaran tentang asal atau tujuan dan hakikat bagi orang
amerika tertentu teoritis, yang ia inginkan adalah hasil-hasil yang konkret,
dengan demikian untuk mengetahui kebenaran dari ide atau konsep
haruslah di selidiki  konsekuensi konsekuensinya
10. Filsafat hidup
Tokoh Aotan Henry Bergson (1859-1941). Pemikirannya Alam
semesta semesta ini merupakan suatu organisme yang kreatif, tetap
perkembangannyalidak sesuai dengan implikasi logis.
11. Fenomenologi
Tokoh Edmind Hussert (1839-1939) dan pengikut-pengikutnya
Max Scheler (1874-1928) pemikirannya bahwa objeklbenda harus diberi
kesempatan untuk berbicara yaitu dengan cara deskriptif fenomenologis
yang didukung oleh metode deduktif. Tujuannya adatan untuk melihat
hakekat  gejala secara intuitif.

17
12. Eksistensialisme 
Tokohnya Soren Kierkegaard 91813-1855) Martin  Heidegger. J.P.
Sartre. Karl Jaspers. Gabriel Marcel pemikiran saren mengemukakan
bahwa suatu kebenaran itu tidak berada pada suatu sistem yang umum
tetapi berada pada eksistensi yang individu dan konkret.
13. Neo-Thomisme
Paham Thomisme yaitu aliran yang mengikuti paham Thomas
Aquinas. Pada mulanya di kalangan gereja terdapat keharusan untuk
mempelajari ajaran tersebut, kemudian pada akhirnya menjadi paham
Thomisme. 
14. Filsafat Politik
Politik (dari bahasa Yunani: politikos, yang berarti dari, untuk,
atau yang berkaitan dengan warga negara), adalah proses pembentukan
dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud
proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian ini
merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda
mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik. Politik adalah
seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun
nonkonstitusional.

2. Analisis Teori
Teori modernisasi menjelaskan tentang proses transformasi dari
masyarakat tradisional atau terbelakang ke
asyarakat modern. Modernisasi merupakan proses perubahan terhadap
sistem ekonomi, sosial dan politik yang berkembang di Eropa
Barat dan Amerika Utara dari abad ke-17 sampai ke-19 yang kemudian
menyebar ke negara-negara Eropa lainnya. Perubahan tersebut juga terjadi
di Amerika Selatan, Asia dan Afrika pada abad ke-19 dan ke-20. Teori
modernisasi fokus pada cara masyarakat pramodern menjadi modern
melalui proses pertumbuhan ekonomi dan perubahan struktur sosial,
politik dan budaya. Masyarakat modern adalah masyarakat industri. Oleh

18
karena itu, hal pertama yang harus dilakukan untuk memodernkan
masyarakat adalah dengan industrialisasi.
Teori modernisasi berkembang dalam tiga fase. Fase pertama
(1950-an dan 1960-an), fase kedua (1970-an dan 1980-an), fase ketiga
(1990-an). Teori modernisasi lahir sebagai sejarah tiga peristiwa penting
dunia setelah Perang Dunia II, yaitu munculnya Amerika Serikat sebagai
kekuatan dominan dunia, perluasan gerakan komunis sedunia dimana Uni
Soviet mampu memperluas pengaruh politiknya ke Eropa
Timur dan Asia serta lahirnya negara-negara merdeka baru di Asia
(Afrika dan Amerika Latin). Terdapat dua teori yang melatarbelakangi
lahirnya teori modernisasi, yaitu teori evolusi dan teori fungsionalisme.
Teori evolusi menggambarkan perkembangan masyarakat dalam
dua hal. Pertama, teori evolusi menganggap bahwa perubahan sosial
merupakan gerakan searah, seperti garis lurus. Masyarakat berkembang
dari masyarakat primitif menuju masyarakat maju. Kedua, teori evolusi
membaurkan antara pandangan subjektifnya tentang nilai dan tujuan akhir
perubahan sosial. Perubahan menuju bentuk masyarakat modern
merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari.
Teori fungsionalisme tidak lepas dari pemikiran Talcott
Parsons yang memandang masyarakat seperi organ tubuh
manusia Pertama, struktur tubuh manusia memiliki bagian yang saling
terhubung satu sama lain. Oleh karena itu, masyarakat mempunyai
berbagai kelembagaan yang saling terkait satu sama lain. Kedua, setiap
bagian tubuh manusia memiliki fungsi yang jelas dan khas, demikian pula
setiap bentuk kelembagaan dalam masyarakat.
Terdapat tiga pemikir klasik teori modernisasi untuk
menggambarkan bagaimana seorang sosiolog, ekonom dan ahli politik
menguji persoalan pembangunan di Negara Dunia Ketiga.
 Menurut Neil Smelser, modernisasi akan selalu melibatkan konsep
diferensiasi struktural. Dengan adanya proses modernisasi,
ketidakteraturan struktur masyarakat yang menjalankan berbagai

19
fungsi sekaligus akan dibagi dalam substruktur untuk menjalankan satu
fungsi yang lebih khusus.
 Walt Whitman Rostow menyatakan bahwa ada lima tahapan
pembangunan ekonomi, yaitu masyarakat tradisional, persiapan tinggal
landas, tinggal landas, menuju kematangan dan konsumsi massa.
Namun, masalah yang dihadapi Negara Dunia Ketiga adalah
bagaimana memperoleh sumber daya yang diperlukan, khususnya
sumber daya modal untuk mencapai tingkat investasi produktif yang
tinggi. Menurut Rostow, masalah dana investasi dapat diselesikan
dengan beberapa cara, yaitu pemindahan sumber dana secara radikal
atau melalui berbagai kebijakan pajak, investasi yang berasal dari
lembaga-lembaga keuangan, perdagangan internasional dan investasi
langsung modal asing.
 Menurut James S. Coleman, modernisasi politik merujuk pada proses
diferensiasi struktur politik dan sekularisasi budaya politik yang
mengarah pada etos keadilan. Terdapat tiga hal pokok yang dinyatakan
oleh Coleman, yaitu diferensiasi politik dapat dikatakan sebagai salah
satu kecenderungan sejarah perkembangan sistem politik modern,
prinsip kesamaan dan keadilan merupakan etos masyarakat modern
serta usaha pembangunan politik yang berkeadilan akan membawa
akibat pada perkembangan kapasitas sistem politik.
Walt Whitman Rostow mengidentifikasi bahwa ada lima tahapan
dalam modernisasi, yaitu.

20
1. Masyarakat tradisional: tahapan ini ditandai dengan kegiatan bertani
dan barter.
2. Persiapan untuk tinggal landas: tahapan ini ditandai dengan adanya
spesialisasi, produksi barang dan perdagangan.  Selain itu,
infrastruktur transportasi dikembangkan untuk mendukung
perdagangan . Tahapan ini pada akhirnya mendorong
adanya investasi.
3. Tinggal landas: pada tahapan ini terjadi peningkatan industrialisasi
dan ekonomi beralih dari pertanian ke manufaktur.
4. Menuju kematangan: pada tahap ini terjadi diversifikasi ekonomi ke
daerah baru dan sedikit ketergantungan pada impor.
5. Konsumsi massa: pada tahap ini ekonomi menuju konsumsi massa
dan pelayanan di sektor jasa semakin mendominasi.

Terdapat dua asumsi dalam teori modernisasi. Pertama, teori


modernisasi berasal dari konsep-konsep metafora yang diturunkan dari
teori evolusi. Kedua, teori modernisasi berasal dari pola pikir teori
fungsionalisme. Berdasarkan teori evolusi, modernisasi merupakan proses
bertahap, proses homogenisasi, terbentuk sebagai
proses Eropanisasi atau Amerikanisasi, proses yang tidak bergerak
mundur, perubahan progresif dan memerlukan waktu panjang. Sementara
itu, berdasarkan teori fungsionalisme modernisasi merupakan proses
sistematik, proses transformasi dan proses yang terus-menerus.
Teori modernisasi mampu menurunkan berbagai implikasi
kebijakan pembangunan yang perlu diikuti negara Dunia Ketiga dalam
memodernkan dirinya. Pertama, teori modernisasi secara implisit
memberikan pembenaran hubungan kekuatan yang bertolak belakang
antara masyarakat tradisional dan modern. Dalam hal ini Amerika Serikat
dan Eropa Barat sebagai negara maju dan Negara Dunia Ketiga sebagai
masyarakat tradisional dan terbelakang. Kedua, teori modernisasi menilai
ideologi komunisme sebagai ancaman pembangunan Negara Dunia

21
Ketiga. Oleh karena itu, jika Negara Dunia Ketiga ingin melakukan
modernisasi, mereka perlu menempuh arah yang telah dijalani Amerika
Serikat dan Eropa Barat. Ketiga, teori modernisasi mampu memberikan
legitimasi tentang perlunya bantuan asing, khususnya dari Amerika
Serikat.
Daniel Lerner menyatakan bahwa teori modernisasi melupakan
sejarah yang terjadi pada Negara Dunia Ketiga. Dalam sejarahnya, Negara
Dunia Ketiga mengalami masa penjajahan oleh bangsa Eropa sehingga
membuat negara tersebut tertinggal. Selain itu, teori ini menyatakan bahwa
untuk menjadi modern, Negara Dunia Ketiga harus mengikuti proses yang
terjadi di Negara Dunia Pertama (negara Barat). Akan tetapi, proses
Negara Dunia Pertama menjadi modern membutuhkan waktu yang sangat
panjang.

3. Analisis Praksis
1. Modernisasi sebagai Proses Pembebasan.
Corak kesadaran modern, modernisasi aldalah westerninsasi, perubahan besar
pada bidang sosail, ekonomi, kultural, politis dan ideologi yang diperdengar
sebagai modernisasi, dari hal ini kita akan membahas dari sudut pandangn filsafat
dan kebudayaan. Interpretasi perubahan perilaku sosial manusia dengan
membaginya yakni : kebudayaan mitis, kebudayaan ontologis dan kebudayaan
fungsionalis.
Pemetaan kebudayaan yang ingin menempatkan fenomena modernisasi dalam
rangka yang ideal pada pengaruh modernisasi di mulai dari barat dimana
padangan modernisasi dimulai dan di pengaruhi dunia barat termasuk juga dalam
filsafat yang memepengaruhi pandangannya, terutama dimulai pada zaman
Renaisans kemudian di perkuat pada zaman Aufkalrung’. Dari alam pikir
metafisik dunia barat membebaskan diri da menempatkan dunia empirik yang
tercecap. Perubahan sikap terhadap dunia, seberapa jauh proses pembebasan
eksterior ini dimasukkan kedalam dunia non barat, karena modernisasai
merupakan sintesis dari faktor barat dan non barat.

22
Studi komparatif pada umunya memuat 3 pokok kajian yang berkaitan dengan
sikap individu dalam pengemban filsafat terhadap dunia, yaitu : manusia
dipergunakan dalam mengkaji realitas, fokus pada kajian filsafat, dan kaitan
antara fokus kajian dan praksis sikap hidup pengemban filsafat. Namun dalam
pengembangan dan pembebasannya terjadi ketegangan.
2. Kesadaran yang Tak Bersarang.
Pembahasan modernisasi tak kunjung habis dibahas dalam semua lini
pembahasan karena hal ini bersifat objektif. Modernisasi sebagai pembangun
alam artifisial, manusia dianggap hewan yang sama dengan mahluk hidup lainnya
namun terspesialisasi karena manusia tidak ditentukan oleh lingkungannya
berbeda dengan hewan yang lain mereka sangat peka terhadap lingkugannya,
berbeda dengan manusia mereka kadang mengambil jarak anatar dirinya dengan
lingkungannya. Kemudian muncul momen eksternalisasi yang memunculkan
kesadaran modern dan aspek-aspeknya. Dari zaman kezaman aka nada perbedaan
namun ada pula kesamaannya yakni kesadaran modern yang menjadi topik
pembahasannya, dan dijelaskan bahwa kesadaran modern muncul di Eropa dan
penemuan subjektivitas dan gerakan rasionalisme dan dianggap empirisme.
Momen objektivitas merupakan kesadaran lebih berada pada lingkup batiniah.
Ada banyak macam pranata modern sebagai ganti pranata dalam masyarakay pra-
modern. Momen internalisasi dalam Triad Berger adalah tahap pembatinan
kembali hasil objektivitas denga mengubah struktur lahiriah itu menjadi struktur
batiniah yakni kesadaran subjektif. Reaksi atas hasil objekvitas itu dimungkinkan
karena kesadaran bukan hanyabisa megadaptasi, melainkan juga bisa
‘mentransendir dir’ , dua bentuk reaksi yang mungkin adalah memberontak atau
menarik diri.
3. Kritik, Krisis, dan Tradisi.
Gambaran dari puis tersebut menggambarkan bahwa zaman edan adalah
zaman krisis. Sketsa kritik bahwa kritik dan krisis saling bertautan. Dengan
tulisan tersebut penulis mencoba mengana;ogikan dan menafsirkan kritik dan
krisis dengan sejumlah bidang yang ada dalam aspek kehidupan. Lewat
pembangunan masyarakat dalam puis tesbut menyeratkan yakni masyarakat yang
stabil sudah lama ditinggalkan, dan telah terjadi transformasi namun hal ini
bukan merupakan suatu hal yang negative, melainkan sesuatu yang dikehendaki

23
dan dibuat. Dan hal ini menimbulkan kebingungan dimasyarakat terkhusus
masyarakat awam.
Kritik, autoritas dan tradisi terlukiaksan bahwa setip orang mengalami
kebingungan, mengalami disorientasi normative, maka ngedan adalah cara
adaptasi untuk bertahan hidup. Tradisi, autoritas. Dan pseudo-komunikasi, zaman
edan ini dihubungkan dengan pergeseran dari pemeliharaan warisan tradisi
merupakan sebuah kondisi dari zaman waras. Tradisi yang dimaksudkan adalah
tradisi kultural mencakup praktek-praktek komunikasi sosial. Kritik dan elemen-
elemen tradisi yang berkelit, kalua keedanan dapat didefinisikan sebagai
hilangnya kontrol kesadaran diri yang diperluas secara bermasyarakat.
4. Kaum Intelektual dan modernitas.
Lapisan sosial yang berkembang dan berpengaruh sekarang dikenal sebagai
kaum intelektual atau kaum cendekia yang perlu dilihat dan di perhatikan dalam
rangka modernitas. Ada kesejajaran tertentu di antara kondisi-kondisi dalam
masyarakat barat tradisional dan dalam masyarakat tradisional kita yang
membuat subur pertumbuhan lapisan ini, yakni kondisi ketergantungan infantil
pada suatu dominasi, yakni feodalisme (Barat) dan kolonialisme (Indonesia).
Pertama : Modern itu seharunya mengutamakan kesadaran diri sebagai objek,
dalam hal ini orang modern memperhatikan soal hak, hak asasi, fungsi ilmu
pengetahuan, otonomi pribadi, dan demokrasi. Kedua : modern itu harus kritis,
ketiga : m odern hatusnya progresif, peran kritis kaum intelektual pra-
kemerdekaan adalah sebuah peran revolusioner dalam mebentuk subjektivitas
bangsa dengan cara disilusionasi autoritas tradisi kolonialistik.
Sesudah penemuan dan penciptaan subjektivitas bangsa, tahap selanjutny
adalah progresif, progres dengan orientasi pada pembentukan sistemsistem
objektif, seperti sistem birokrasi dan sistem ekonomi sebagai upaya pemecahan
masalah. Didalan masa dewasa ini kita ditugaskan menggalang solidarittas sosial
adalah tugas menginterpretasikan konstelasi tiga unsur : agama, tradisi, dan
modernitas. Tugas ini semakin kompleks pada era pembangunan karena
modernitas tidak hanya menampilkan sisi emansipasi tetapi juga sisi
eliminasinya. Memasuki kondisi kultural masyarakat, kaum intelektual memang
hidup dalam horizon politik tertentu. Hal ini turut mempengaruhi pandangan
yang mereka hasilkan. Dalam pluralisme nilai, kreativitas, keterbukaan dan
kodrat pengembara kaum intelektual direalisasikan, karena itu sebuah kelompok

24
intelektual multietnis, multireligi, dan multidisipliner sehingga memungkinkan
untuk menghancurkan Batasan yang ada. Kadang karena kekuatan-kekuatan
objektif seperti modal dan kekuasaan mampu membuat masyarakat merasakan
amnesia sejarah. Bukankah tugas kaum intelektual membuat anamnesis secara
kreatif dan konstruktif demi masa depan yang bermakna ?
5. Mengenang Gerakan Kiri Baru.
Mengenang suatu gerakan sosio-kultural yang telah memudar juga
merupakan proses belajar secara kolektif dalam sejarah. Dalam tulisan ini,
penulis akan memaparkan gerakan kiri baru dan nilai-nilai yang diperjuangkan
sebagai contoh gerakan sosio-kultural masyarakat modern.gerakan ini menarik
untuk dikenang karena di prakarsai oleh para mahasiswa dan kelompok terpelajar
ada masa modern. Gerakan kiri baru perlu di pahami dalam konteksnya yaitu
masyarakat modern (khusunya) di Barat, pada masa itu bangkit kesadaran
manusia akan subjektivitas dan individualitas.
Kritik dari gerakan kiri baru sangat antibirokrasi dan teknologi, bentuk
ktitiknya bermacam-macam seperti menentang komsurisme, borjuis dan
demokrasi dipandang semu. Apa yang merka lawan adalah saintisme,
positivisme, netralitas, dan objektivisme. Gerakan bermula dengan gerakan jak-
hak sipil, gerakan ini berkembang dan memunculkan dua gerakan yakni gerakan
memabngkitkan kesadaran akan hak-hak asasi manusia di getto afrika sehingga
menimbukna gerakan hitam. Gerakan hitam ini merupakan gerakan hak-hak sipil
yang ingin melakukan gerakan kebebasan berbicara atau mimbar, gerakan anti
perang (gerakan anti milisi), gerakan anti nuklir (gerakan feminisme).
Gerakan kiri baru sebagai gerakan radikal tampak pada cita-cita dasariah
meraka, yaitu mengadakan perubahan-perubahan sosio-historis secara struktural
maupun kultural, dan didalamnya terdapat berbagai mahzab yang bermunculan
anatara lain Kalr Marx, Frankfurt, dll. Ciri-ciri gerakan kiri yang radikal dapat
dilihat dari 5 tema sentral yang mereka perjuangkan dalam praksis, yakni :
a. Tema pertama mengubah sistem universitas yang dalam padangannya terkait
dengan system kapitalisme.
b. Tema kedua yakni pembebasan rakyat kecil yang menjadi korban struktur
sosial yang tidak adil (grassroot movement).
c. Tema ketiga adalah usaha pengadaan proyek aksi demi gerakan universal bagi
kaum miskin, tanpa batas spesifik ras, dan kelompok minoritas.

25
d. Tema keempat, kontra terhadap perang Indocina.
e. Tema kelima terkait dengan gerakan-gerakan bawah tanah untuk mewujudkan
masyarakat alternatife dengan menghapus struktur masyarakat yang kapitalis
modern yang ada.
Basis nilai yang diperjuangkan gerakan kiri baru secara implisit nilai-
nilai yang menjadi kerangka acuan atau orientasi mereka, Sargent membaginya
kedalam 7 nilai dasar yakni : praksis, jatidiri, komunitas, persamaan, kebebasan,
demokrasi partisipatoris, dan revolusi.
Memudarnya gerekan kiri baru di mulai pada tahun 1960-an ini
membuktikan kokohnya establishment siatem kapitalis kontemporer. Nilai
kebebasan yang di perjuangkan sesungguhnya merupakan nilai yang ambigu
ketika ditabrakkan dengan nilai persamaan. Pemutlakan nilai persamaan aakan
menekan nilai kebebasan dan bahkan lenyap. Akhirnya, revolusi emansipatoris
yang dilakukan oleh kiri baru merupakan gerakan yang sangat beresiko, suatu
gerakan yang mengadaikan jebolnya seluruh bangunan lama dan meletakkan
bangunana baru diatasnya sehingga tidak mungkin menghilangkan pranata yang
telah ada sebelumnya atau yang sudah lama, karena mekanisme sistem yang lama
masih berjalan meskipun sudah ada mekanisne sistem yang baru dan dengan
menggunakan cara kekerasan sehingga semakin menekan kebebasan dan juga
mencerminkan sikap-sikap opersif, karena penindasan yang satu akan diganti
dengan penindasan yang lain.

4. Analisis Praktek
Gerak modernisasi mempengaruhi kebijakan pembangunan di
negara ketiga yang menginginkan gerakan modernisasi. Berikut
beberapa implikasi kebijakan dari pemenuhan modernisasi di negara
ketiga:
a. adanya klaim yang menyatakan bila tradisonalisme bertolak belakang
dengan modernisme, maka harus melihat Amerika dan Eropa sebagai
contoh kongkrit dari gerak pembangunan
b. adanya klaim yang menyatakan bila ideologi komunisme merupakan
sebuah ancaman dalam proses modernisme di negara
ketiga;modernisme minus komunisme

26
c. melegitimasi bantuan asing terhadap proses pembangunan di negara
ketiga, dengan kata lain melegalkan campur tangan asing ke
dalam keseluruhan proses pembangunan.

Tanggapan

A. Kritisisme
Kritisisme dan Kehidupan Bersama Apa yang menyebabkan kehidupan
bersama itu ada? atau dengan pertanyaan lain, apakah dasar dari hidup bersama?
Pertanyaan- pertanyaan tersebut perlu dijawab agar kita memiliki dasar untuk
hidup bersama. Dengan memiliki pendasaran atas hidup bersama, maka kita akan
melihat hidup bersama sebagai sesuatu yang senantiasa harus diperjuangkan untuk
menjadi lebih baik. Jawaban secara filosofis atas pertanyaan tersebut muncul dari

27
seorang filsuf Yunani yang bernama Aristoteles. Aristoteles berpendapat bahwa
manusia pada hakekatnya merupakan makhluk sosial (zoon politicon). Zoon
politicon dapat diartikan bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa orang lain.
Dengan kata lain, di dalam hidupnya manusia selalu membutuhkan orang lain.
Inilah jawaban Aristoteles yang dapat memberikan dasar untuk adanya hidup
bersama. Selain Aristoteles, ada juga filsuf lain yang dapat memberi jawaban atas
pertanyaan tersebut secara fenomenologis. Filsuf tersebut bernama Martin
Heidegger. Pertama-tama Heidegger berusaha mencari jawab darimanakah
manusia? Secara fenomenologis, Heidegger menjawab bahwa adanya manusia
disebabkan karena manusia mengalami keterlemparan ke dunia. Dalam
keterlemparannya, manusia ada bersama- sama dengan manusia yang lain. Maka,
mau tak mau;suka tak suka, manusia ada di dunia bersama-sama dengan manusia
yang lain. Inilah jawaban Heidegger yang dapat menjadi dasar filosofis adanya
kehidupan bersama. Tak dapat dipungkiri bahwa adanya manusia di dunia
memiliki berbagai dimensi yang kompleks (dimensi sosial-politik, budaya,
spiritual, dsb). Maka, kehidupan bersama pun mengait berbagai dimensi
kehidupan manusia. Manusia yang satu dengan yang lain saling berinteraksi di
dalam dimensi-dimensinya. Dimensi-dimensi yang saling terkait tersebut
membentuk pola dialektika yang dinamis. Dialektika yang dinamis dalam arti,
setiap dimensi mengalami interaksi antara tesis-antitesis yang mengarah pada
pembentukan sintesis (perkembangan tiap dimensi ke tahap yang lebih tinggi).
Dalam pola dialektik, tesis selalu bertemu antithesis dan kemudian menjadi
sintesis. Sintesis yang dihasilkan menjadi tesis baru dan segera akan mendapat
antitesis baru. Tesis baru dan antithesis baru tersebut keduanya melebur kembali
menjadi sebuah sintesis baru. Begitu pula seterusnya, antara tesis dan antithesis
senantiasa berjalan dengan dinamis membentuk sintesis-sintesis baru. Proses
dialektik tersebut terjadi secara terus-menerus dalam berbagai dimensi kehidupan
manusia. Guna lebih mendaratkan teori tersebut, berikut penulis akan memberikan
contoh konkrit dari pola perkembangan dimensi-dimensi kehidupan manusia yang
terkait hidup bersama yang terjadi secara dialektis. Dalam sejarah terbentuknya
negara Indonesia tak lepas dari adanya pola tesis-antitesis. Penulis mengawalinya

28
dengan masa penjajahan. Masa penjajahan kita anggap sebagai tesis. Bangsa
Indonesia yang merasa terjajah melancarkan pertempuran-pertempuran terhadap
kaum penjajah guna memperoleh kemerdekaannya. Dengan kata lain, bangsa
Indonesia berjuang untuk merebut kemerdekaannya dari tangan penjajah. Di
sinilah perjuangan bangsa Indonesia tersebut kita anggap sebagai antithesis
terhadap penjajahan. Perjuangan bangsa Indonesia untuk memperoleh
kemerdekaannya memuncak pada proklamasi kemerdekaan negara Indonesia.
Proklamasi kemerdekaan Indonesia merupakan sintesis atas adanya penjajahan
(tesis) dan perjuangan bangsa Indonesia (antithesis). Dalam perkembangannya,
negara Indonesia pun terus mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Dan
proses dialektika pun senantiasa terjadi. Orde Baru sebagai tesis baru mendapat
antithesis dari rakyat Indonesia yang tidak setuju dengan sistem yang totaliter.
Sintesis baru lalu muncul dengan adanya sistem pemerintahan yang lebih
demokratis. Namun demikian, proses dialektika belum berhenti sampai di sini.
Bangsa Indonesia akan tetap mengadakan proses dialektika untuk menuju
pada cita-cita negara demokrasi yang ideal. Proses dialektika dalam
memperjuangkan kemerdekaan tersebut tidak hanya di Indonesia. Proses
dialektika untuk memperoleh kemerdekaan juga terjadi di berbagai penjuru dunia.
Revolusi di Perancis, Perjuangan rakyat Afrika Selatan melawan politik
Apartheid, lalu perjuangan rakyat di negara-negara Timur Tengah baru-baru ini
yang melawan rezim totaliter pemimpinnya sendiri, dsb, menunjukkan adanya
proses dialektika dalam sejarah kehidupan seluruh umat manusia. Dengan
demikian, proses dialektika merupakan proses sejarah yang terjadi dialektis di
berbagai penjuru dunia. Proses dialektika tidak hanya terjadi dalam dimensi
sosial-politis suatu bangsa dalam memperjuangkan kemerdekaannya. Proses
dialektika pun juga terjadi dalam dimensi sejarah pemikiran manusia (tradisi
filsafat). Tradisi berfilsafat mulai dikenal sejak masa Yunani kuno (abad 4 SM).
Saat itu, muncullah pemikir-pemikir yang berusaha memahami hakekat terdalam
dari realitas dengan menggunakan akal budi. Para pemikir tersebut melahirkan
karya-karya yang kemudian hari menjadi dasar dalam pemikiran filsafat.
Munculnya tradisi berfilsafat di Yunani dapat kita anggap sebagai tesis. Seiring

29
berjalannya waktu (abad 4-13 M), tradisi filsafat Yunani digunakan untuk
menjelaskan ajaran iman dalam tradisi Kristen. Di sinilah kita tempatkan unsur
iman sebagai antithesis. Pada masa itu, para tokoh Gereja berusaha memadukan
antara ajaran iman dengan filsafat. Dengan kata lain, filsafat dipergunakan untuk
menjelaskan ajaran iman Kristen. Salah satu tokoh Gereja yang berhasil
memadukan ajaran iman dan filsafat adalah Thomas Aquinas. Ia menghasilkan
karya yang termasyur yang berjudul Summa Theologiae. Karya Thomas Aquinas
(Summa Theologiae) yang berusaha memadukan antara ajaran iman dan filsafat
merupakan sebuah contoh sintesis atas filsafat (tesis) dan iman (antithesis).
Dalam perkembangannya, tradisi kekristenan yang begitu mendominasi
pada abad pertengahan (kita tempatkan sebagai tesis baru) pun segera mendapat
antithesis pada abad abad modern (abad 17). Dimana para pemikir abad modern
menggugat tradisi kekristenan yang dianggap telah membelenggu kemampuan
akal budi. Pada masa ini, muncul banyak karya yang menentang ajaran Gereja.
Konflik yang terjadi antara Gereja dan para pemikir yang memperjuangkan
kebebasan akal budi memuncak pada sebuah masa yang dikenal dengan masa
pencerahan (Aufklarung). Masa pencerahan budi kita tempatkan sebagai sintesis
antara Tradisi Gereja (sebagai tesis) dan perjuangan para pemikir kebebasan budi
(antithesis) yang mengalami dialektika. Di sinilah kita melihat bahwa sejarah
pemikiran pun tak lepas dari adanya proses dialektika. Dari contoh-contoh konkrit
yang dikemukakan oleh penulis nampak bahwa segala dimensi hidup manusia
mengalami suatu proses dialektika. Demikian halnya dengan dimensi hidup
bersama (dimensi sosial-politis). Adanya perubahan tatanan masyarakat dariwaktu
ke waktu menunjukkan adanya proses dialektika dalam hidup bersama. Dalam hal
ini penulis melihat adanya unsur penting yang harus ada untuk suatu perubahan
sosial, yaitu unsur antithesis. Tanpa adanya antithesis niscaya tidak akan terjadi
proses dialektika dalam kehidupan bersama. Jika tidak ada dialektika maka segala
sesuatu hanya akan stagnan dan tidak terjadi suatu perubahan dalam masyarakat.
Dengan kata lain, antithesis merupakan unsur yang harus ada untuk suatu
perubahan. Dalam sejarah kehidupan manusia, antithesis sering berupa kesadaran
atas adanya penindasan dan ketidakadilan. Munculnya kesadaran atas penindasan

30
dan ketidakadilan menjadi mudah ketika penindasan dan ketidakadilan terjadi
secara kasat mata. Sebagaimana terjadi pada masa-masa penjajahan. Jika
demikian adanya, maka jelas perlu suatu perubahan.
Namun, munculnya kesadaran atas penindasan dan ketidakadilan menjadi
begitu sulit ketika penindasan dan ketidakadilan terjadi secara tidak kasat mata.
Dengan kata lain, penindasan dan ketidakadilan terjadi secara halus dan
terselubung. Inilah realitas yang terjadi pada zaman modern ini. Penindasan
memang tidak lagi menampakkan dirinya secara kasat mata, melainkan secara
halus dan terselubung. Inilah yang sesungguhnya sangat berbahaya. Seringkali
masyarakat modern cenderung tidak melihat (baca: tidak sadar) akan adanya
bentuk penindasan yang terselubung tersebut. Kebanyakan orang malah tenang-
tenang saja, seakan-akan hidup ini aman-aman saja dan tidak ada masalah sama
sekali. Padahal dibalik itu, terjadi penindasan-penindasan yang sungguh sangat
halus dan terselubung yang semakin mengasingkan manusia dari dirinya.
Penindasan dan ketidakadilan dalam masyarakat modern muncul dalam bentuk
hegemoni dan ideologi yang ‘meninabobokkan’ masyarakat. Usaha kritis sebagai
bentuk antithesis dalam zaman ini jarang sekali ditemukan. Malahan masyarakat
cenderung kehilangan daya kritisnya dan terhegemoni dalam penindasan-
penindasan yang terselubung. Merasa bahwa seakan-akan semuanya baik-baik
saja. Maka dari itu, diperlukan suatu bentuk antithesis baru yang mampu
menjawabi permasalahan masyarakat dewasa ini. Suatu bentuk antithesis yang
super kritis untuk membuka selubung-selubung penindasan tersebut. Dengan
demikian, proses dialektika akan terus berlangsung guna mewujudkan suatu
tatanan hidup bersama yang lebih baik. Guna membongkar bentuk penindasan
baru (penindasan yang terlubung) yang terjadi pada zaman ini, dituntut pula suatu
bentuk antithesis dengan cara yang baru. Dalam tulisan ini, penulis menawarkan
suatu bentuk antithesis baru yang dapat digunakan secara efektif guna memerangi
penindasan terselubung yang terjadi dewasa ini. Antithesis baru tersebut adalah
dengan berpikir kritis terhadap segala hal yang terkait modernitas. Dengan
berpikir kritis, kita tidak mudah terjebak dalam penindasan yang terselubung

31
(hegemoni). Melainkan mampu menemukan antithesis atas segala realitas yang
terjadi sekarang ini.
Para pemikir kritis mampu menjadi antithesis terhadap modernitas
tergabung dalam sebuah Mazhab, yang dikenal dengan nama Mazhab Frankfurt.
Orang-orang yang tergabung dalam Mazhab ini berusaha membongkar selubung-
selubung penindasan dan ketidakadilan yang terjadi secara tidak kasat mata.
Selubung-selubung yang dimaksud adalah selubung ideologi yang selama ini
menindas masyarakat secara begitu halus. Dengan ‘menelanjangi’ ideologi-
ideologi yang pada praxisnya telah merampas kebebasan manusia sampai ke
dasar-dasarnya, Mazhab Frankfurt mampu menjadi antithesis aktual atas situasi
zaman ini. Dengan menjadi antithesis, maka Mazhab Frankfurt dapat mendorong
perubahan- perubahan dalam dimensi hidup bersama dalam masyarakat.
Perubahan tersebut diawali dengan membuka kesadaran masyarakat akan adanya
penindasan yang begitu halus tersebut. Dengan munculnya kesadaran dalam
masyarakat maka diharapkan terjadinya gerakan perubahan tatanan masyarakat ke
arah yang lebih baik. Dengan demikian, pemikiran kritis Mazhab Frankfurt
mampu menjadi antithesis yang aktual pada zaman ini. Mazhab Frankfurt sendiri
muncul sebagai gerakan antithesis terhadap cara berpikir positivitis yang lahir dari
semangat pencerahan. Pemikiran-pemikiran kritis Mazhab Frankfurt memang
banyak diarahkan untuk membongar selubung ideologi-ideologi. Maka dari itu
kritik yang mereka lontarkan sering disebut juga sebagai kritik ideologi.
Pemikiran- pemikiran Mazhab Frankfurt yang akan dipaparkan dalam tulisan ini
adalah pemikiran tokoh-tokoh generasi pertama Mazhab Frankfurt. Mereka adalah
orang-orang super kritis yang berusaha membuka kedok penindasan dan
ketidakadilan secara terselubung. Berikutnya penulis akan memaparkan pemikiran
dari Mazhab Frankfurt yang menjadi antithesis atas cara pandang positivistis yang
lahir dari semangat pencerahan.
Mazhab Frankfurt telah mampu menjadi antithesis yang aktual dalam
proses dialektika dalam konteks hidup bersama zaman ini. Melalui pemikirannya,
mereka berusaha membuka selubung-selubung ideologi yang pada level praxis
sangatlah meresahkan bagi pembentukan hidup bersama yang lebih manusiawi.

32
Sekali lagi penulis menegaskan bahwa diperlukan suatu bentuk antithesis
baru agar proses dialektika tetap dapat berjalan di zaman modern ini. Antithesis
tersebut merupakan berpikir kritis sebagaimana ditunjukkan oleh para tokoh yang
tergabung dalam Mazhab Frankfurt. Antithesis baru (berpikir kritis) diperlukan
karena penindasan-penindasan yang terjadi sekarang ini menunjukkan dirinya
dalam wujud yang lebih halus dan tak kasat mata. Dibutuhkan usaha super kritis
untuk membongkar penindasan jenis ini. Maka dari itu, berpikir kritis merupakan
antithesis yang tepat untuk mengadakan proses dialektika pada zaman ini. Pada
bagian berikutnya, penulis akan menunjukkan bahwa dengan berpikir kritis, kita
mampu untuk mewujudkan kehidupan bersama yang lebih manusiawi. Fungsi dan
Tujuan Berpikir Kritis dalam Hidup Bersama
Pertama-tama, penulis akan terlebih dahulu membagi berpikir kritis ke
dalam dua dimensi hidup manusia. Dimensi kritis pertama adalah kritis terhadap
segala sesuatu di luar diri. Dimensi kritis kedua adalah kritis terhadap diri sendiri.
Pembagian berpikir kritis ke dalam dua dimensi tersebut terinspirasi dari
mempelajari/membaca pemikiran dari para tokoh Mazhab Frankfut. Dimensi
pertama adalah kritis terhadap segala sesuatu di luar diri. Dengan berpikir kritis
terhadap segala sesuatu di luar diri, kita tidak akan mudah terjebak dalam
hegemoni (berbagai bentuk penindasan yang tampak) yang terjadi dalam zaman
ini. Dengan adanya sikap kritis keluar diri, kita mampu menjadi antithesis yang
relevan dalam perkembangan zaman ini. Dengan demikian, mampu mendorong
terjadinya sintesis- sintesis baru, yaitu pembentukan tata kehidupan bersama yang
lebih manusiawi melalui kritik. Dimensi kedua merupakan berpikir kritis terhadap
diri sendiri. Inilah dimensi berpikir kritis manusia dalam arti yang sesungguhnya.
Dengan kritis terhadap diri sendiri, kita tidak akan mudah jatuh pada eksterm-
ekstrem pemikiran yang kemudian memenjarakan kita dalam ideologi. Selain itu,
berpikir kritis terhadap diri sendiri merupakan suatu bentuk proses dialektika
untuk menemukan kebenaran. Dengan kata lain, kritis terhadap diri sendiri
mengarahkan kita untuk menjadi manusia yang bijaksana melalui proses refleksi
terus-menerus. Kesimpulan: Kehidupan bersama yang ada sekarang belum
merupakan sebuah bentuk tatanan yang ideal. Kehidupan bersama yang ideal

33
mengandaikan tidak adanya penindasan dan ketidakadilan dalam seluruh dimensi
kehidupan manusia. Namun kedengarannya hal tersebut terkesan bersifat utopis
(khayal). Selama manusia ada di dunia maka penindasan dan ketidakadilan juga
akan selalu ada. Maka yang diperlukan adalah sikap- sikap kritis terhadap
kehidupan bersama yang menyangkut berbagai dimensi kehidupan manusia.
Suatu hal yang perlu diwaspadai adalah penindasan yang terjadi sekarang
ini seringkali muncul sebagai ‘tuhan’ yang menentramkan jiwa manusia. Suatu
bentuk penindasan yang mendamaikan hati. Sampai- sampai manusia terlena dan
merasa bahwa semuanya baik-baik saja dan tidak ada masalah. Sikap super kritis
adalah antithesis yang aktual dan mujarab atas situasi zaman ini. Dengan sikap
kritis, kita mampu mengadakan dialektika yang aktual terhadap situasi zaman ini.
Dengan demikian, mendorong untuk terwujudnya suatu tata kehidupan yang lebih
baik dari hari ke hari

B. Modernisme
Pendidikan modern pada zaman renaissance mempunyai kelebihan yaitu
sudah menggunakan akal (pikiran) sebagai dasar filsafat. Dengan menggunakan
pikiran (akal) sebagai dasar filsafat maka masalah-masalah yang terjadi dapat juga
diselesaikan dengan menggunakan akal (pikiran) untuk menyelesaikannya.
Dengan diselesaikannya masalah maka kegiatan akan berjalan dengan lancar.
Contoh pemakaian akal (pikiran) untuk berfilsafat di sekolah misalnya ada
suatu masalah yaitu banyak guru yang datang terlambat ke sekolah. Lalu kepala
sekolah lalu berfilsafat dengan menggunakan akal (pikiran) untuk menyelesaikan
masalah tersebut. Setelah dengan berpikir (berfilsafat) maka kepala sekolah lalu
berencana akan memanggil guru yang sering terlambat ke sekolah dan dilakukan
wawancara untuk mengetahui mengapa mereka datang ke sekolah terlambat.
Setelah itu kepala sekolah harus menganalisis jawaban-jawaban yang telah
diberikan oleh guru tersebut untuk dipikirkan dan membuat solusi untuk
menyelesaikan masalah tersebut. Dengan selesainya masalah di sekolah dan tidak
ada lagi guru yang sering terlambat maka siswa pun akan dapat belajar dengan

34
baik di sekolah. Jadi sungguh bagus menggunakan pikiran sebagai landasan untuk
berfilsafat dalam upaya menyelesaikan masalah.
Namun ada juga kekurangan dari aliran filsafat renaissance,
kekurangannya ada yaitu untuk pelajaran pendidikan agama maka dasar filsafat
juga bisa berlandaskan iman. Contoh pelajaran di sekolah tentang Tuhan maka
ketika ada siswa yang bertanya apakah Tuhan ada? maka kita harus mengatakan
kepada siswa bahwa Tuhan itu ada, kita harus mempercayainya, kemudian kita
juga dapat mengatakan bahwa nabi telah memberitahu kita bahwa Tuhan itu ada
dan kita harus beriman kepadanya. Dengan menjadikan iman sebagai landasan
dalam berfilsafat maka ini membuktikan bahwa kita telah beriman kepada Tuhan
yang Maha Esa.
Berdasarkan penjelasan di atas maka dasar filsafat bisa berdasarkan iman
dan akal (pikiran). Kedua-duanya benar tergantung pada konteksnya. Ketika di
bidang ilmu pengetahuan maka seorang ilmuwan dapat melandaskan pemikiran
sebagai landasan dalam berfilsafat untuk menemukan sesuatu yang baru dan yang
berguna bagi banyak orang. Kemudian ketika di pelajaran Pendidikan Agama
maka dasar filsafat lebih banyak berdasarkan iman kita kepada Sang Pencipta
yaitu Tuhan yang Maha Esa.
Tanggapan selanjutnya yang dapat diberikan pada aliran rasionalisme
adalah pemikiran filosofi dari aliran rasionalisme mempunyai kelebihan yaitu
menggunakan pemikiran untuk berfilsafat. Contohnya di kelas ada siswa yang
suka membuat keributan maka untuk menyelesaikan masalah siswa tersebut, guru
dapat berpikir untuk menyelesaikan permasalahan dari siswa tersebut. Setelah
guru berpikir maka guru mendapatkan cara untuk menyelesaikan permasalahan
siswa tersebut dengan melakukan wawancara dengan cara memanggil siswa
tersebut untuk menemukan penyebab siswa tersebut melakukan keributan.
Ternyata setelah dilakukan wawancara maka didapatkan penyebab siswa tersebut
melakukan keributan karena siswa ini ingin mendapatkan perhatian. Setelah guru
sudah mengetahui bahwa siswa tersebut melakukan keributan karena kurang
mendapatkan perhatian maka guru mulai untuk memberikan perhatian kepada

35
siswa tersebut dan ternyata setelah dilakukan hal tersebut maka siswa tersebut
tidak melakukan keributan lagi di kelas.
Dengan menggunakan pemikiran untuk berfilsafat dengan tujuan ingin
menyelesaikan masalah maka hal ini akan membawa manfaat bagi orang yang
ingin menyelesaikan masalah dengan menggunakan pemikiran untuk berfilsafat.
Dengan selesainya masalah maka kegiatan akan berjalan dengan lancar. Jika di
kelas muncul masalah dari siswa maka guru dapat menggunakan pemikiran untuk
menyelesaikan masalah tersebut. Masalah yang dapat diselesaikan oleh guru maka
akan membawa manfaat bagi guru dan siswa. Manfaat bagi guru adalah dengan
selesainya masalah siswa maka guru akan dapat mengajar siswanya dengan baik.
Kemudian manfaat bagi siswa jika masalahnya diselesaikan oleh guru adalah
siswa akan dapat belajar dengan nyaman dan senang di sekolah sehingga siswa
juga akan dapat memperoleh keberhasilan dalam belajar di sekolah.
Kelemahan dari aliran rasionalisme adalah tidak selama dengan masalah
yang muncul dapat diselesaikan dengan akal pikiran. Hal ini disebabkan adanya
keterbatasan dalam pemikiran manusia. Misalnya di sekolah ada suatu masalah
yaitu banyak guru yang malas dalam berkreativitas membuat rancangan
pembelajaran di sekolah yang kreatif. Berbagai upaya sudah diupayakan oleh
kepala sekolah untuk berpikir dan memecahkan masalah tersebut. Akhirnya
kepala sekolah menyerah karena pemikirannya tidak berhasil dalam
menyelesaikan masalah guru-gurunya.
Kelemahan selanjutnya dari menjadikan filsafat sebagai landasan berpikir
adalah tidak semua masalah dengan cepat diselesaikan oleh guru mengggunakan
pemikiran yang masih terbatas. Contohnya guru ingin menyelesaikan masalah
banyaknya siswa yang tidak konsentrasi dalam belajar. Lalu guru dengan cepat
mengambil inisiatif untuk menyelesaikan masalah siswanya dengan sering
memberikan pujian kepada siswa-siswanya dan diharapkan dengan pujian tersebut
para siswanya dapat konsentrasi dalam belajar. Namun setelah dilakukannya hal
tersebut masih banyak siswanya yang belum konsentrasi dalam belajar. Dari
contoh tersebut maka ini menunjukkan bahwa pemikiran seseorang juga memiliki
keterbatasan. Setelah diteliti oleh guru lain ternyata hal yang menyebabkan

36
banyaknya siswa tidak konsentrasi dalam belajar adalah siswa belum mengetahui
pentingnya untuk konsentrasi saat belajar. Dengan dijelaskannya pentingnya
konsentrasi dalam belajar maka ini menyebabkan siswanya bisa berkonsentrasi
dalam belajar agar mereka lebih memahami materi pelajaran yang dipelajarinya di
sekolah.
Tanggapan yang ingin diberikan pada aliran empirisme dimulai dari
kelebihannya yaitu dengan adanya pandangan dari empirisme maka pendidikan di
sekolah dapat diarahkan untuk membentuk siswa menjadi apa yang diinginkan
oleh sekolah tersebut. Kemudian dengan adanya paham empirisme maka orang
tua juga bisa meminta bantuan kepada sekolah untuk mendidik anak mereka
menjadi apa yang diinginkan oleh orang tua mereka. Inilah kelebihan dari aliran
empirisme ini jika diimplikasikan dalam bidang pendidikan. Jika sekolah ingin
siswanya kelak bisa menjadi arsitek maka sekolah akan memasukkan semua
pembelajaran yang kelak berhubungan dengan pekerjaan siswa sebagai arsitek.
Contoh untuk penerapan paham aliran empirisme dalam bidang
Pendidikan. Misalnya Sekolah Tinggi Pendidikan Matematika di Kota X, lalu ada
mahasiswa bernama Rudi masuk ke sekolah tinggi tersebut maka pihak institusi
akan berusaha untuk membimbing Rudi agar kelak bisa menjadi guru matematika.
Semua mata kuliah yang diajarkan kepada Rudi adalah mata kuliah yang
berhubungan dengan Keperluan Rudi untuk menjadi guru matenatika setelah lulus
dari sekolah tinggi tersebut.
Kelemahan teori empirisme adalah tidak semua siswa yang masuk ke
sekolah lalu di didik sesuai dengan kehendak sekolah untuk menjadikan siswa
tersebut sesuai dengan keinginan dari sekolah. Hal ini disebabkan bakat seseorang
juga mempunyai pengaruh dalam menentukan pekerjaan seseorang. Contoh di
SMK, ada siswa masuk jurusan Akuntansi, lalu ternyata siswa tersebut tidak
mempunyai bakat di bidang akuntansi dan siswa tersebut setelah lulus dari SMK
tersebut dan tidak menjadi akuntan, tetapi siswa tersebut memiliki bakat di bidang
pendidikan yaitu menjadi pendidik. Dari contoh tersebut maka hal ini
menunjukkan bahwa tidak selama sekolah bisa mendidik siswanya untuk menjadi

37
seperti apa yang diinginkan oleh sekolah tersebut. Hal ini disebabkan siswa
memiliki bakat yang bervariasi di dalam suatu sekolah.
Tanggapan selanjutnya akan diberikan kepada Aliran Nativisme-
Pesimisme. Untuk memulai tanggapannya maka kami akan menanggapi kelebihan
dari aliran Nativisme-pesimisme. Kelebihannya adalah dari pandangan nativisme
ini adalah dengan diketahuinya bahwa di dalam diri siswa ada unsur-unsur yang
baiknya maka kurikulum di sekolah dapat diarahkan untuk mengembangkan
potensi yang dimiliki oleh siswanya yakni dapat menjadi orang yang baik. Dengan
banyak orang yang baik maka dunia ini akan tentram dan damai. Jadi sekolah
harus bisa memanfaatkan potensi yang dimiliki oleh siswanya untuk menjadi
orang yang baik.
Kemudian kelemahan dari aliran nativisme ini adalah dia tidak terlalu
memerhatikan faktor lingkungan dalam menentukan tingkah laku, bakat, dan
minat siswa. Sebagai contoh siswa yang tinggal di suatu desa yang orang di sana
tidak suka bersekolah maka siswa tersebut tidak akan suka bersekolah walaupun
di sana ada sekolah yang gratis dan siswa itu memiliki bakat untuk belajar dan
menjadi pintar. Dari contoh tersebut maka hal ini menunjukkan bahwa faktor
lingkungan juga ikut memengaruhi tingkah laku anak-anak.
Tanggapan selanjutnya diberikan kepada aliran
pragmatisme,tanggapannya adalah aliran pragmatisme memiliki kelebihan yaitu
sekolah yang mengikuti aliran ini akan maju karena sekolah tersebut akan terus
berusaha untuk berubah sesuai dengan tuntutan zaman. Contoh SMK jurusan
Akuntansi maka SMK tersebut akan berusaha untuk mengetahui apa yan
diperlukan oleh dunia kerja yang berhubungan dengan akuntansi. Dengan
mengikuti perubahan yang ada di dunia kerja maka setelah siswa lulus dari SMK
maka siswa tersebut akan siap dipakai oleh dunia kerjanya.
Namun selain kelebihan dari aliran pragmatisme, aliran ini juga memiliki
kelemahan yaitu tidak semua pelajaran di sekolah yang semua harus selalu
berubah terus sesuai dengan berkembangan teknologi dan informasi. Contoh pada
pendidikan Agama yaitu pada perkataan atau sabda nabi, sabda nabi tersebut tidak
boleh diubah sesuai dengan tuntutan zaman. Hal ini disebabkan dari sabda nabi

38
tersebut adalah kata-kata yang sesuai dengan keinginan dan kehendak Tuhan. Jadi
sekolah yang menganut aliran pragmatisme juga memiliki kelemahan pada
pelajaran tertentu.
Tanggapan selanjutnya diberikan kepada aliran konvergensi, Kelebihan
dari aliran konvergensi adalah teori ini menggabungkan faktor bawaan dari lahir
seperti bakat dan intelegensi kemudian didukung oleh lingkungan maka hal ini
akan menyebabkan seseorang bisa memperoleh kesuksesan. Contoh di sebuah
perguruan tinggi ada mahasiswa yang memiliki bakat di bidang Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia, lalu mahasiswa ini masuk ke suatu perguruan tinggi
yang memiliki lingkungan dan dosen yang mendukung terhadap perkembangan
bakat mahasiswa tersebut. Setelah mahasiswa ini lulus dari perguruan tinggi
tersebut maka mahasiswa ini akan menjadi guru Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia yang hebat dan kompeten.
Teori ini juga memiliki kelemahan yaitu jika lingkungan tidak mendukung
bakat yang dimiliki oleh seseorang maka bakat yang dimiliki oleh seseorang tidak
akan dapat berkembang dengan optimal. Contoh jika ada seorang mahasiswa yang
memiliki bakat di bidang musik. Kemudian mahasiswa ini masuk ke sebuah
perguruan tinggi dan mengambil jurusan Pendidikan Seni Musik, namun di
perguruan tinggi tersebut tidak memiliki peralatan yang lengkap untuk
mendukung bakat yang dimiliki oleh siswa tersebut. Hal ini akan menyebabkan
bakat yang dimiliki oleh siswa tersebut tidak akan dapat berkembang dengan
optimal.
Tanggapan pada aliran essensialisme adalah pertama-tama dimulai
kelebihan aliran essensialisme. Dengan adanya sekolah yang menganut aliran
essensialisme maka sekolah tersebut akan dapat mengajarkan siswanya sikap cinta
tanah air dan pendidikan karakter. Contoh di sebuah sekolah SMK sering
diajarkan nilai-nilai sikap cinta tanah air dan pendidikan karakter. Dengan
diajarkan nilai-nilai sikap cinta tanah air dan pendidikan karakter tersebut maka
setelah siswa sudah tamat dari sekolah tersebut akan menjadi warga negara yang
mencintai tanah airnya dan memiliki karakter yang baik.

39
Selanjutnya kelemahan dari aliran essensialisme ini adalah Dengan hanya
difokuskan pada pengajaran nilai-nilai yang ada pada zaman dahulu maka siswa
akan ketinggalan dengan informasi dan pengetahuan yang berkembang sangat
cepat. Contoh di sebuah sekolah hanya berfokus atau lebih banyak mengajarkan
siswanya nilai-nilai sikap cinta tanah air dan aspek kebudayaan lama dari
negaranya. Sedangkan perkembangan teknologi dan informasi semakin
berkembang pesat dari hari ke hari. Jika sekolah ketinggalan dengan
perkembangan teknologi dan informasi maka ketika siswa tamat dari suatu
institusi maka siswanya akan kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan.
Tanggapan pada aliran eksistensialisme adalah aliran ini memiliki
kelebihan yaitu dengan adanya aliran ini maka seseorang akan mempunyai
keyakinan bahwa dia mampu untuk bereksistensi di dunia ini. Contoh di sebuah
sekolah ada kepala sekolah maka kepala sekolah ini ingin menunjukkan
eksistensinya dalam membangun sekolah ke arah yang baik. Dengan inginnya
kepala sekolah bereksistensi dengan membangun sekolah ke arah yang baik maka
sekolah yang dipimpin oleh kepala sekolah tersebut akan mengalami kemajuan.
Selain kelebihannya, aliran eksistensialisme ini juga memiliki kelemahan
yaitu jika tidak ada lingkungan yang mampu untuk menyalurkan eksistensi
seseorang maka keinginan seseorang untuk menunjukkan eksistensi dirinya tidak
ada dapat dilaksanakannya dengan baik. Contoh seorang guru yang sudah lama
mengajar di sekolah lalu dia ingin menunjukkan eksistensinya menjadi kepala
sekolah dan membangun sekolah tersebut. Namun tidak ada tempat atau peluang
bagi guru tersebut untuk menjadi kepala sekolah maka ini menunjukkan bahwa
seseorang yang ingin bereksistensi dan tidak ada tempat bagi orang ini untuk
bereksistensi maka keinginan tersebut tidak akan dapat dilaksanakan dengan baik.
Tanggapan pada aliran progressivisme adalah aliran tersebut memiliki
kelebihan yaitu lembaga yang menganut aliran ini akan berpikir untuk mencapai
kualitas yang baik yang sesuai dengan tuntutan zaman. Contoh sekolah yang
menganut aliran progressivisme akan selalu melakukan studi banding untuk
membuat sekolahnya menghasilkan lulusan yang berkualitas. Dengan lulusan
yang berkualitas maka kelak mereka akan mudah untuk mencari kerja. Dengan

40
mudahnya mencari kerja maka tidak akan ada lagi pengangguran dari sekolah
yang terus menyesuaikan mutu lulusannya agar berkualitas dan sesuai dengan
tuntutan zaman.
Aliran progressivisme juga memiliki kelemahan yaitu Sekolah yang
menganut aliran ini akan terus menyesuaikan kurikulumnya dengan tuntutan
zaman namun kurang memerhatikan pada aspek kebudayaan pada zaman dahulu
seperti kebudayaan. Dengan begitu maka siswa yang lulus dari sekolah tidak akan
menghargai kebudayaan yang ada di daerahnya. Kemudian nilai-nilai yang ada di
dalam pancasila juga akan kurang dihargai oleh sekolah yang menganut aliran
progressivisme dan jika hal itu terjadi maka suatu negara akan kehilangan jati diri
dirinya sebagai bangsa.
Tanggapan pada aliran perennialisme dimulai dengan mengungkapkan
kelebihan dari aliran perennialisme. Kelebihan dari aliran ini dengan diajarkan
kebudayaan atau hasil pemikiran yang bagus dan telah teruji maka siswa ketika
siswa sudah lulus dari sekolahnya akan dapat menjadi orang yang baik dan
memiliki karakter. Dengan begitu karakter dan ciri khas dari suatu bangsa tidak
akan hilang. Jika lulusan dari suatu sekolah memiliki karakter yang baik maka
kelak lulusan tersebut akan dipakai oleh dunia kerjanya. Jadi sekolah perlu
mengajarkan nilai-nilai kebudayaan yang lama yang tergolong bagus agar mutu
lulusan dapat baik dan bagus.
Selain kelebihannya aliran perennialisme juga memiliki kelemahan yaitu
tidak adanya alat ukur untuk menentukan kebudayaan lama yang manakah yang
bagus untuk diajarkan kepada siswa. Kemudian dengan fokus pada pengajaran
kebudayaan lama maka siswa hanya akan mengenal kebudayaan lama dan dia
tidak akan mengenal kebudayaan baru yang sesuai dengan tuntutan zaman. Jika
siswa tidak belajar sesuatu kebudayaan yang sesuai dengan tuntutan zaman maka
kelak dia akan ketinggalan dan siswa tersebut tidak akan dapat bersaing secara
global di dalam dunia kerja.

Tanggapan kepada aliran rekonstruksionalisme dimulai dari kelebihan


aliran rekonstruksionalisme yaitu dengan disesuaikan kebudayaan yang lama

41
sesuai dengan tuntutan zaman sehingga menjadi kebudayaan yang modern maka
suatu bangsa tidak akan ketinggalan zaman. Contoh kalau di kelas guru dulunya
hanya mengajar menggunakan metode ceramah maka sekarang guru dapat
mengajar muridnya dengan menggunakan berbagai macam metode seperti metode
jigsaw, metode diskusi, metode CTL, dan lain sebagainya. Dengan menggunakan
berbagai macam metode pembelajaran maka efektivitas pembelajaran akan dapat
tercapai dengan baik.
Namun selain kelebihan dari aliran rekonstruksionalisme, aliran tersebut
juga memiliki kelemahan yaitu dengan mengubah kebudayaan yang lama menjadi
baru maka ciri khas dari suatu bangsa tidak akan terlihat lagi. Contoh kebudayaan
suatu bangsa yaitu misalnya rumah gadang yang menjadi ciri khas rumah adat
Sumatera Barat kalau dirubah menjadi rumah yang lain maka ciri khas dari suatu
daerah menjadi tidak terlihat lagi. Seharus kebudayaan lama yang menjadi ciri
khas dari suatu bangsa harus tetap dipertahankan agar ciri khas bangsa tersebut
tetap terjaga sehingga bangsa lain juga akan menghargai bangsa kita.

Penutup

42
Kritisisme muncul berawal dari pendirian rasionalisme dengan empirirsme
yang saling bertolak belakang. Kritisisme adalah aliran pemikiran yang beralasan
dan reflektif berdasarkan batas-batas kemampuan rasio sebagai sumber
pengetahuan manusia.
Tokoh kritisime adalah Emmanuel Kant (1724-1804 M). Pemikiran kant
mempertegas bahwa rasio tidak mutlak dalam menemukan kebenaran, begitu pula
pengalaman. Suatu kebenaran didapatkan oleh manusia dari sintesis antara unsur-
unsur apriori dan unsur-unsur aposteriori. Karakteristik kritisisme ada tiga yaitu:
1) Menganggap bahwa objek pengenalan itu berpusat pada subjek; 2)
Kemampuan rasio manusia terbatas hanya mampu menjangkau gejalanya dalam
mengetahui realitas; 3) Rasio Menjelaskan bahwa pengenalan manusia atas
sesuatu itu diperoleh atas perpaduan antara peranan unsur apriori (ruang dan
waktu) dan aposteriori (materi).
Filsafat Modern sendiri adalah pembagian dalam sejarah Filsafat Barat
yang menjadi tanda berakhirnya era skolatisisme. Waktu munculnya filsafat
modern adalah abad ke-17 hingga awal abad ke 20 di Eropa Barat dan Amerika
Utara. Filsafat Modern ini un dimulai sejak munculnya rasionalisme lewat
pemikiran Descrates, seorang filsuf terkemuka pada zaman Modern.
Pemikiran filosofi/filsafat pendidikan modern dikenal beberapa aliran
yaitu renaissance, rasionalisme, empirisme, naturalisme, nativisme-pesimisme,
pragmatisme, konvergensi, essensialisme, eksistensialisme, progressivisme,
perennialisme, dan rekonstruksionalisme. Setiap aliran tersebut memiliki
kelebihan dan kelemahan. Guru perlu untuk mengetahui kelebihan dan kelemahan
dari setiap aliran tersebut.
Jika guru sudah mengetahui tentang kelebihan dari setiap aliran dalam
filsafat modern maka guru akan dapat menggunakan filsafat tersebut untuk
menyelesaikan berbagai macam persoalan yang ada sewaktu dia menjalankan
tugas-tugasnya di sekolah. Dengan diselesaikannya berbagai macam masalah yang
ada di sekolah maka proses belajar dan pembelajaran di sekolah akan berjalan
dengan lancar dan siswa akan dapat meraih prestasi di sekolah.
DAFTAR PUSTAKA

43
Atdjeh. 1970. Sejarah Filsafat Islam. Semarang : Ramadhani.

Bertens, Kees.1976. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta : Kanisius.

Baird. 2008. Upper Sadel River. New Jersey : Preason Prentie Hall.

Gie, The Liang. 2010. Pengantar Filsafat Ilmu. Cetakan Kedelapan. Yogyakarta:
Liberty Yogyakarta.

Hakim, Atang Abdul dan Beni Ahmad Saebani. 2008. Filsafat Umum: Dari
Mitologi sampai Teofilosofi. Cetakan Pertama. Bandung: CV Pustaka
Setia.

Ihsan, Fuad. 2010. Filsafat Ilmu. Cetakan Pertama. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Jalaluddin dan Abdullah Idi. 2012. Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat, dan
Pendidikan. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Kaufman, Walter. 1976. Extensialism Religion and Death. New York: The New
American Library.

Thahjadi, Simon Petrus. 2004. Petualangan Intelektual : Konfrontasi dengan


para filsuf dari jaman Yunani hingga jaman Modern. Yogyakarta :
Pustaka Filsafat.

Tafsir, Ahmad. 2013. Filsafat Umum. Bandung : Remaja Rosdakarya.

44

Anda mungkin juga menyukai