A. Filsafat Islamisme
Ontology
Konsep dasar pendidikan Islam bertumpu pada unsur-unsur utama
yang disebut tauhid. Semua harus merujuk pada tauhid. Tauhid dalam pandangan
Islam, merupakan landasan seluruh konsep dan aturan hidup ini dibangun. Adapun
sumber pokok pembangunan tauhid adalah wahyu yang dinukilkan dalam Al-Qur’an
dan al- sunnah.
Pendidikan Islam yang bercorak dikotomik, pada hakekatnya
bertentangan dengan Islam itu sendiri yang fundamental visinya adalah
tauhid, yang tidak mengenal adanya pemisahan antara pendidikan umum
dan pendidikan agama, keduanya merupakan kesatuan pendidikan Islam,
yaitu penguasaan ilmu dunia untuk tujuan akhirat.
Epistimologi
Dalam proses pemeliharaan, Allah mengurus, memelihara dan
menumbuhkembangkan alam secara bertahap dan berangsur-angsur. Dalam
konteks yang terakhir ini Allah tidak lain adalah pendidik yang sebenarnya.
Dalam konsep epistimologi Islam yang berdimensi tauhid, tercermin pada pandangan
bahwa ilmu-ilmu pada hakekatnya merupakan perpanjangan dari ayat- ayat Allah
yang terkandung dalam semua ciptaan-Nya, serta ayat-ayat Allah yang tersurat
dalam Al-Qur’an. Ayat-ayat Allah dalam alam besar, termasuk manusia dalam
dimensi fisiknya dikembangkan menjadi prinsp-prinsip kebenaran dalam kajian
ilmu alam, ilmu pasti termasuk teknologi. Ayat-ayat Allah dalam diri manusia dan
sejarah dikembangkan dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Sedangkan ayat-
ayat Allah dalam Al-Qur’an dikembangkan dalam ilmu agama.
Berbicara mengenai epistimologi ilmu pendidikan Islam akan timbul
pertanyaan, bagaimana cara mengembangkan ilmu pendidikan? Cara
mengembangkan teori dalam pendidikan Islam sangat tergantung pada
karakteristik materinya, apakah materi itu berada dalam pengalaman yang
empiris, rasional, hermeneutis. Cara pengembangan ilmu pendidikan Islam
bisa menggunakan metode penelitian ilmiah, metode penelitian filosofis, dan
menggunakan metode penelitian sufistik. Pada bagian-bagian tertentu memerlukan
teori-teori filosofis, sehingga pengembangannya menggunakan metode penelitian
filosofis. Kadang-kadang juga memerlukan teori-teori yang non-empirik atau
tidak terjangkau oleh logika, sehingga perlu menggunakan metode penelitian
mistik atau sufitistik.
Dalam mengembangkan ilmu pendidikan Islam diperlukan beberapa
hal, antara lain: Pertama, landasan atau basis filsafat yang akan dijadikan dasar
pengembangan ilmu pendidikan Islam. Kedua, paradigma bagi penyusunan
metodologi pengembangan ilmu pendidikan Islam. Paradigma yang dimaksud di
sini ialah kerangka logika pengembangan ilmu pendidikan Islam. Ketiga,
metodologi pengembangan ilmu pendidikan Islam. Metodologi tersebut
merupakan cara membangun dan mengembangkan ilmu pendidikan Islam. Empat,
model-model penelitian untuk digunakan dalam penelitian pendidikan Islam.
Aksiologi
119).
B. Filsafat Budhisme
ontologi
Filsafat Buddha mengacu kepada pandangan atau penerapan
ajaran Buddha terhadap nilai-nilai kehidupan, eksistensi, pengetahuan, akal
budi, materi, serta moralitas manusia. Semasa hidupnya, Buddha Gautama secara
personal tidak pernah mendokumentasikan apa yang ia ajarkan dalam bentuk tulisan,
sehingga filsafat Buddha dibangun berdasarkan rekonstruksi yang dilakukan terhadap
ajaran-ajaran Buddha yang berkembang dalam aliran-aliran Buddha pasca kematian
beliau.
Pembahasan
A. Filsafat Islamisme
1. Filosofi
Untuk mengungkap pentingnya pendidikan, dalam pendidikan islam
memulai melalui pandangan metafisika yang dilanjutkan dengan ilmu
pengetahuan dan mengetahui. Metafisika dalam islam adalah tasawuf filosofis,
yang merupakan suatu system yang terpadu yang secara positif menerangkan
hakikat realitas yang sebenarnya melalui penggabungan akal dan pengalaman
dengan tingkatan yang lebih tinggi, yang terdapat dalam dimensi suprarasional
dan transempirikal kesadaran manusia. Tidak ada formulasi filsafat islam
mengenai pendidikan dan ilmu pengetahuan yang mengabaikan kontribusi
ulama-ulama sufi dalam pengembangannya yang berkaitan dengan hakikat
realitas sejati. Pandangan dasar teologi dan metafisika tasawuf berakar pada
prinsip pokok sufi mengenai eksistensi (wujud). Dan hal yang bertolak
belakang dengan quiditas (mahiyah). Sedangkan ilmu adalah sesuatu yang
sangat prinsipil khususnya dalam dunia pendidikan.
Tujuan pendidikan menurut islam yaitu untuk menghasilkan manusia
yang baik bukan warga Negara dan pekerja yang baik. Tujuan pendidikan
adalah untuk memunculkan manusia yang peripurna atau insan kamil. Warga
Negara dan pekerja yang baik dalam sebuah Negara yang sekuler tidaklah
sama dengan manusia yang baik; sebaliknya manusia yang baik sudah pasti
seorang pekerja dan warga Negara yang baik.
Persoalan pendidikan adalah persoalan yang menyangkut hidup
dan kehidupan manusia yang senantiasa terus berproses dalam
perkembangan kehidupannya. Di antara persoalan pendidikan yang cukup
penting dan mendasar adalah mengenai tujuan pendidikan. Tujuan
pendidikan termasuk masalah sentral dalam pendidikan, sebab tanpa
perumusan tujuan pendidikan yang baik, maka perbuatan mendidik bisa
menjadi tidak jelas tanpa arah dan bahkan bisa tersesat atau salah langkah.
Oleh karena itu, tujuan pendidikan merupakan problem inti dalam aktivitas
pendidikan. Dengan demikian, tujuan pendidikan merupakan faktor yang
sangat penting dan menentukan jalannya aktivitas pendidikan.
Tujuan pendidikan pada dasarnya adalah tujuan tertinggi atau
terakhir yaitu tujuan yang tidak ada lagi tujuan di atasnya. Omar Mohammad
al-Toumy al-Syaibani menjelaskan, kalau kita pandang tentang bentuk yang
digambarkan oleh ungkapan tentang tujuan terakhir pendidikan dengan
pandangan Islam, maka kita dapatkan tidak ada pertentangan dalam makna
dan tidak didapati di dalamnya apa yang bertentangan dengan jiwa Islam.
Pandangan ini akan mengajak kita mengembalikan semua kepada tujuan
terakhir, yaitu persiapan untuk kehidupan dunia dan akhirat. Tujuan terakhir
dengan pengertian ini tidak terbatas pelaksanaannya pada institusi-institusi
pendidikan, tetapi wajib dilaksanakan oleh semua institusi yang ada di
masyarakat.
Muhammad ‘Athiyah al-Abrasyi yang dikutip Omar Mohammad al-
Toumy al- Syaibani, telah merumuskan tujuan pendidikan Islam secara
umum ke dalam lima tujuan, yaitu : (1) Untuk membentuk akhlak mulia.
Kaum muslimin dari dulu sepakat bahwa pendidikan akhlak yang sempurna
adalah tujuan pendidikan yang sebenarnya; (2) persiapan untuk kehidupan
dunia dan akhirat. Pendidikan Islam bukan hanya menitikberatkan pada
keagamaan atau keduniaan saja, melainkan pada keduanya dan memandang
kesiapan keduanya sebagai tujuan yang asasi; (3) persiapan untuk
mencari rezeki dan pemeliharaan segi kemanfaatan. Pendidikan Islam tidak
saja segi agama, akhlak dan spiritual semata, tetapi juga menyeluruh bagi
kesempurnaan kehidupan atau yang lebih dikenal sekarang ini
dengan nama tujuan-tujuan vokasional dan profesional; (4) menumbuhkan
semangat ilmiah (scientific spirit) pada para pelajar, dan memuaskan rasa
ingin tahu (curiosity), serta memungkinkan mereka mengkaji ilmu demi
ilmu itu sendiri; dan (5) menyiapkan pelajar dari segi profesi, tehnik dan
perusahaan supaya dapat menguasai profesi tertentu dan keterampilan
pekerjaan tertentu, agar dapat mencari rezeki dalam hidup, di samping
memelihara dari segi kerohanian atau keagamaan.30
Di sini terlihat jelas, bahwa tujuan pendidikan Islam merupakan
usaha dalam membangun manusia yang utuh dalam rangka pembentukan
kepribadian moralitas, sikap ilmiah dan keilmuan, kemampuan berkarya,
profesionalisasi sehingga mampu menunjukkan iman dan amal saleh
sesuai dengan nilai-nilai keagamaan dan kehidupan.
Menurut Muhaimin dan Abdullah Mujib bahwa perumusan
tujuan pendidikan Islam itu harus berorientasi pada hakekat pendidikan
yang meliputi beberapa aspek seperti : (1) Tujuan dan tugas hidup
manusia, yakni manusia tidak diciptakan secara kebetulan melainkan
mempunyai tujuan dan tugas hidup tertentu; (2) memperhatikan sifat dasar
(nature) manusia yaitu konsep penciptaan manusia dengan bermacam
fitrah, mempunyai kemampuan untuk beribadah dan mentaati khalifah di
bumi; (3) tuntutan masyarakat baik berupa pelestarian nilai budaya,
pemenuhan kebutuhan hidup maupun antisipasi perkembangan dan
tuntutan modern; (4) dimensi-deminsi kehidupan ideal Islam. Dalam hal
ini terkandung nilai dalam mengelola kehidupan bagi kesejahteraan di
dunia dan akhirat, keseimbangan dan keserasian keduanya.31
Dengan demikian, jelas sekali perumusan tujuan pendidikan
Islam harus sesuai dengan hakekat kemanusiaan dan tugas-tugas kehidupan,
sesuai dengan sifat- sifat dasar manusia yang tumbuh dan berkembang dalam
kehidupan dan sesuai pula dengan tuntutan masyarakat yang harus
mengalami kemajuan serta sesuai dengan nilai-nilai ideal ajaran Islam bagi
kehidupan manusia.
Menurut Abuddin Nata, tujuan pendidikan Islam itu memiliki ciri-ciri
sebagai berikut: (1) Mengarahkan manusia agar menjadi khalifah Tuhan di
muka bumi dengan sebaik-baiknya, yaitu melaksanakan tugas-tugas
kemakmuran dan mengolah bumi sesuai kehendak Tuhan; (2) mengarahkan
manusia agar seluruh tugas kekhalifahannya di muka bumi dilaksanakan
dalam rangka beribadah kepada Allah, sehingga tugas tersebut terasa
ringan dilaksanakan; (3) mengarahkan manusia agar berakhlak mulia,
sehingga ia tidak menyalah gunakan fungsi kekhalifahnya; (4) membina dan
mengarahkan potensi akal, jiwa dan jasmaninya, sehingga ia memiliki
ilmu, akhlak, dan keterampilan. Semua ini dapat digunakan guna
mendukung tugas pengabdian dan kekhalifahannya, dan (5) mengarahkan
manusia agar dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Ciri-ciri tujuan pendidikan yang dikemukakan Abuddin
Nata, telah memberikan gambaran bahwa arah pendidikan Islam
dalam rangka menjadikan manusia sebagai khalifah yang mampu
menjalankan tugas kehidupan di permukaan bumi, mampu beribadah sebagai
hamba Allah, mampu berakhlak mulia, dan mampu mengembangkan segenap
potensinya serta mampu mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Dengan
demikian, telah jelas tujuan pendidikan pada dasarnya menjadikan
manusia muslim mampu menjalankan tugas dengan baik di permukaan dunia
ini, baik dalam kerangka kehidupan individu maupun masyarakat.
Semakin jelas bahwa tujuan pendidikan Islam bukan saja diarahkan
menjadi manusia dalam bentuk mengamalkan ajaran beragama dan
berakhlak mulia, melainkan juga mampu mengembangkan seluruh potensi
yang dimilikinya terutama aspek fisik, psikis, intelektual, kepribadian,
dan sosial sesuai dengan tuntutan kehidupan, perkembangan masyarakat
dan harapan ajaran Islam itu sendiri, terutama dalam menjadikannya mampu
menunaikan tugas sebagai khalifah dan insan yang mengabdi kepada Allah
Swt.
Karena tujuan yang telah dikemukakan itu, dapat dikatakan bahwa
tujuan pendidikan Islam mengarah kepada tujuan hidup manusia ialah
beribadah kepada Allah. Abdul Fatah Jalal menjelaskan, ibadah itu
mencakup segala amal, pikiran atau perasaan manusia, selama semua itu
dihadapkan kepada Allah Swt. Dia menambahkan, bahwa ibadah adalah
jalan hidup yang mencakup seluruh aspek kehidupan serta segala yang
dilakukan manusia berupa perkataan, perbuatan, perasaan bahkan seluruh
perilaku yang dikaitkan dengan Allah Swt.
Ibadah kepada Allah dalam arti luas mempunyai dampak
edukatif yang sangat signifikansi dalam membetuk insan yang
bertaqwa (muttaqin). Dampak edukatif dari ibadah diantaranya: (1) Ibadah
mendidik diri untuk selalu berkesadaran berpikir; (2) ibadah menanamkan
hubungan jamaah muslim; (3) menanamkan kemulian diri; (4)
mendidik keutuhan selaku umat Islam yang berserah diri kepada Allah; (5)
keutamaan mendidik; (6) membekali manusia dengan kekuatan rohaniah;
dan (7) memperbaharui dengan taubat. Sampai di sini dapat dilihat bahwa
para ahli pendidikan Islam sepakat bahwa tujuan umum (sebagian
menyebutkan tujuan akhir) pendidikan Islam ialah manusia yang baik itu
adalah manusia yang beribadah kepada Allah.
Untuk mencapai pendidikan adalah penyemaian dan penanaman ada
dalam diri seseorang yang selanjutnya disebut ta’dib. Karena manusia yang
baik maksudnya adalah manusia yang memiliki adab. Al-Attas mengajukan
agar istilah pendidikan dalam islam tidak lagi tarbiyah atau ta’lim melainkan
ta’dib. Ia menolak istilah tarbiyah karena hanya menyinggung aspek fisikal
dan istilah ta’lim karena hanya terbatas pada pengajaran dan pendidikan
kognitif.
2. Teori
Dalam pandangan Islam, terdapat teori yang menjelaskan mengenai
perkembangan individu dalam proses belajar (pendidikan) teori ini disebut
teori fitrah. Teori ini merujuk potensi yang terdapat dari diri manusia yang
memiliki unsur jasmaniah (fisiologis) dan unsur ruhaniah (psikologis). Dalam
unsur yang terkandung tersebut Allah memberikan seperangkat kemampuan
dasar yang memiliki kecenderungan berkembang (disposisi/potensialitas) atau
dalam aliran psikologi behaviorisme disebut dengan kemampuan dasar
yang otomatis berkembang (prepotence reflexes).
Kata fitrah secara etimologi berasal dari Bahasa Arab “Fathara”
yang berarti pecah atau belah. Sedangkan menurut istilah
fitrah sebagaimana didefinisikan Muhamad Arifin yaitu kemampuan dasar
atau potensi dasar manusia yang dibawa sejak Al-Jurjani mendefinisikan
fitrah sebagai potensi yang siap menerima agama.
Dalam kandungan ayat Al-Qur‟an surat al-Ruum/30: 30 dan hadits
yang diriwayatkan Bukhori tersebut, mengandung pengertian, pertama fitrah
dalam ayat tersebut mengandung makna potensi dasar beragama yang benar
dan lurus dan ini ketetapan dari Allah, maka dalam ayat tersebut
mengandung implikasi yang berkonotasi dengan aliran pendidikan nativisme.
Kedua dalam hadits tersebut terdapat faktor bawaan yang dipengaruhi
potensi atau factor
luar, karena setiap individu juga sudah dibekali dengan pendengaran,
penglihatan dan hati.
Darwis Hude menjelaskan bahwa potensi fitrah yang terdapat dalam
Al- qur‟an dan hadits adalah potensi sejak lahir dan diaktualisasikan
dalam kehidupan baik dengan kehidupan personal, alam dan sosial. Dengan
interaksi melalui lingkungan menjadikan peluang potensi manusia menjadi
berkembang karena adanya konektivitas dan intensitas antara potensi bawaan
dan potensi lingkungan.
Potensi (fitrah) yang dijelaskan Al- Qur‟an berbeda dengan teori Jhon
Luck yaitu teori Tabularasa. Dalam teori tersebut setiap anak yang terlahir
bagaikan kertas kosong, lingkungan yang akan mengisi potensi tersebut.
Sedangkan Al-Qur‟an menjelaskan bahwa setiap anak yang terlahir telah
membawa potensi (fitrah) tauhid atau agama, kemudian lingkungan keluarga,
sekolah dan masyarakat yang melengkapi dan membentuk lebih lanjut potensi
tersebut.
Menurut Mohamed pemahaman mengenai fitrah manusia dan
bagaimana kemampuannya untuk berkembang dapat dikelompokkan
menjadi empat. Pertama, fatalis-pasif pelopornya adalah Ibn Mubarok,
Abdul Qadir Jailani, dan al- Azhari menjelaskan bahwa setiap individu
melalui ketetapan Allah adalah baik atau buruk secara asal, baik ketetapan
ini terjadi sebagian atau keseluruhan. Kedua netral-pasif tokoh aliran ini
adalah ibnu Abd al-Baar menjelaskan bahwa setiap individu lahir dalam
keadaan suci, utuh dan sempurna suatu keadaan kosong sebagaimana adanya,
tanpa kesadaran akan iman atau kufur atau jahat. Teori ini sama dengan teori
tabularasa. Ketiga, Positif-aktif, tokoh aliran ini adalah Ibnu Taimiyah, Ibnu
Qayyim al-Jauziyah, aliran ini menjelaskan bahwa bawaan setiap individu
adalah baik adapun kejahatan adalah Aksidental. Keempat Dualis aktif tokoh
aliran ini adalah Sayyid Qutb al- Jamaly dan „Ali Shari‟ati aliran ini
menjelaskan bahwa potensi setiap individu disatu sisi cenderung kepada
kejahatan dan cenderung kepada kebaikan, sifat dualis ini sama-sama aktif
dalam keadaan setara.
3. Praksis
Adapun yang membedakan pendidikan secara umum dengan
pendidikan Islam terletak pada salah satu pengertian pendidikan secara umum
yakni proses pemindahan nilai-nilai budaya dari suatu generasi ke generasi
berikutnya. Perbedaan mendasarnya adalah menyangkut nilai-nilai yang
diinternalisasikan kepada generasi-ke generasi berikutnya tersebut. Dalam
pendidikan Islam nilai-nilai yang diinternalisasikan itu berasal dari sumber-
sumber nilai-nilai dan norma-norma Islam yakni Alquran, Sunnah, dan
Ijtihad. Nilai-nilai itulah yang diusahakan pendidikan Islam untuk
diinternalisasikan dari satu generasi ke generasi selanjutnya, sehingga terjadi
kesinambungan ajaran-ajaran Islam di tengah masyarakat.
Dengan demikian pendidikan tidak hanya sekedar transfer ilmu akan
tetapi juga internalisasi nilai-nilai berdasarkan ajaran Islam, sehingga terwujud
manusia yang bahagia di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, pendidikan Islam
adalah suatu proses pembentukan individu berdasarkan ajaran dan nilai-nilai
Islam yang diwahyukan Allah Swt ke pada Muhammad Saw. Melalui proses
pendidikan seperti itu individu dibentuk agar dapat mencapai derajat yang
tinggi supaya ia mampu menunaikan fungsinya sebagai khalifah di muka
bumi, dan berhasil mewujudkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Perlunya keseimbangan dalam pendidikan Islam, terutama dalam kurikulum
pendidikan Islam, baik ilmu-ilmu qur‟aniyyah maupun ilmu-ilmu kauniyyah.
Terdapat perbedaan-perbedaan antara pendidikan pada umumnya
dengan pendidikan Islam. Perbedaan utama yang paling menonjol adalah,
bahwa pendidikan Islam, bukan hanya mementingkan pembentukan pribadi
untuk kebahagiaan dunia, tetapi juga untuk kebahagiaan akhirat. Lebih dari
itu, menurutnya bahwa pendidikan Islam berusaha membentuk pribadi yang
bernafaskan ajaran- ajaran Islam, sehingga pribadi-pribadi yang terbentuk itu
tidak terlepas dari nilai-nilai agama.
4. Praktik
Pendidikan Islam bersifat dinamis, tidak monoton dan tetap relevan
sepanjang sejarah dan zaman. Ia tidak terkait pada setting ruang dan waktu,
tetapi dapat beradaptasi pada sosiokultural di mana pun dan kapan pun
(shalihul likulli zaman wa makan). Selama berpegang teguh pada prinsip-
prinsip berikut.
Pertama. Tidak esktrim dalam bersikap ketika menemukan hal-hal
yang baru dari dunia luar, terutama produk non Islam, yang dalam hal ini
Barat. Dalam artian, tidak menolak mentah-mentah tanpa melakukan
klarifikasi (tabayyun). Sebagai contoh, pembaruan pendidikan yang dibawa
oleh Barat ketika melakukan kolonialisme dalam dunia muslim, beberapa hal,
khususnya dalam metode pengajaran dalam bentuk klasikal sangat relevan
diterapkan padan pendidikan Islam sebagaimana telah disinggung pada
Pendidikan Islam di Indonesia. Di sini, para pendidik mengambil yang sesuai
dengan ajaran Islam dan membuang yang bertentangan, terutama yang berbau
sekuler yang selalau menyingkirkan Tuhan dalam segenap aspek kehidupan.
Yang menolak mentah-mentah teori pendidikan ala Barat, biasanya berasal
dari golongan penganut tarekat yang kolot, atau golongan tasawuf yang
cenderung menutup diri dari dunia luar.
Kedua. Tidak menelan mentah-mentah segenap apa yang dibawa oleh
Barat. Sebagaimana yang dikampanyekan para pengusung teori liberalisme
pendidikan, yang menganggap bawah pendidikan itu bebas nilai. Out put dari
sistem macam ini akan melahirkan sekularisme, yang intinya akan
menyingkirkan Tuhan dalam setiap aspek kehidupannya, tak terkecuali dalam
dunia pendidikan. Golongan ini tak lebih baik dari yang pertama, karena
mereka silau dari Barat yang dianggap lebih maju dalam berbagai aspek.
Padahal, pendidikan Barat, walaupun berhasil melahirkan ilmuan sekular,
namun tidak berhasil melahirkan manusia paripurna. Akibatnya, dekadensi
moral juga kian marak. Sikap kedua ini juga dianggap terlalu liberal dan tidak
moderat.
Ketiga. Memilih dan memilah. Mana yang cocok atau relevan dengan
ajaran Islam akan diambil selama itu memiliki maslahat. Menyaring lalu
mengambil sarinya. Beginilah yang dicontohkan oleh para pendiri bangsa ini,
seperti Muhammad Nasir, yang dikenal juga sebagai tokoh pendidikan
Nasional. Golongan ini, juga disebut sebagai golongan moderat, berada pada
pertengahan, tidak terlalu ortodoks seperti golongan pertama, dan tidak terlalu
terbuka dan liberal seperti golongan kedua. Dalam bahasa Al- Qur’an disebut
ummatan wasathan, umat pertengahan yang moderat. Teori ini sesuai dengan
kaidah, Al- Muhafadhah ‘ala al-qadím as-sháleh wal al-akhdzu bi al-jadíd al-
ashlah.
Menjaga warisan yang baik sekaligus mengambil hal-hal baru yang
lebih baik. Pendidikan Islam menghadapi masalah serius berkaitan dengan
perubahan masyarakat yang terus menerus semakin cepat, lebih-lebih
perkembangan ilmu pengetahuan yang hampir-hampir tidak memperdulikan
lagi sistem suatu agama.
B. Filsafat Budhisme
1. Analisis filosofi
Theravada secara harafiah berarti, "Ajaran Sesepuh" atau
"Pengajaran Dahulu". Theravada merupakan ajaran yang konservatif, dan
secara menyeluruh merupakan ajaran terdekat dengan ajaran Buddha pada
awalnya. Ajaran Theravada berakar pada ontologi yang realistis terhadap alam
semesta. Dalam definisi ini, pemikir, pikiran dan objek yang dipikirkan
merupakan entitas yang keadaannya tidak saling berkaitan, sehingga objek
merupakan hal yang nyata dan bukanlah produk pemikiran dari subjek
pemikir.
Namun menurut pandangan Theravada, objek dan dunia ini tidak
memiliki keadaan yang mutlak. Setiap objek dalam kajian Theravada memiliki
ketergantungan dengan objek yang lainnya. Seperti contoh pasir berasal dari
kerikil, kerikil berasal dari batu, batu berasal dari magma dan seterusnya,
sehingga dunia ini, secara keseluruhan dalam pandangan Theravada hanya
memiliki realitas yang relatif dan bukan absolut. Keadaan dunia yang
memiliki realitas saling bergantung ini dinamakan Paticcasamuppada atau
hukum sebab musabab. Tujuan spiritual dari pengertian ini adalah untuk
menyadari bahwa dunia ini hanyalah aliran semu dari berbagai objek terhadap
waktu. Dengan kesadaran ini manusia diharapkan dapat terbebas dari nafsu
dan kemudian terbebas dari dukkha dan penderitaan, sehingga kemudian
mencapai nibbana.
Dalam bahasan metafisika lainnya, kajian-kajian yang berkaitan
dengan Theravada membedakan jenis kebenaran menjadi dua; yakni
kebenaran konvensional dan kebenaran akhir (ultimate). Kebenaran
konvensional menurut kajian Theravada merupakan kebenaran yang membuat
kita berhasil melakukan suatu tindakan, sedangkan kebenaran akhir
merupakan kebenaran yang berkaitan dengan cara alam semesta bekerja atau
ilmu alam.
Pada pandangan metafisika yang berkaitan dengan eksistensi, telah
disebutkan bahwa kajian Theravada memandang suatu objek, fenomena, dan
subjek pemikir merupakan entitas yang terpisahkan atau independen.
Berkaitan dengan eksistensi objek, fenomena dan subjek pemikir tersebut,
kajian Theravada juga mengelompokan objek yang ada di dunia menjadi dua
jenis; Objek yang nyata secara konvensional (conventionally-real) dan Objek
nyata primer (ultimate-real). Objek yang nyata secara konvensional objek
yang memiliki penyusun seperti tubuh manusia, rumah, pesawat dan lain
sebagainya, sementara objek yang nyata primer (ultimate-real) terdiri dari
empat unsur yakni: air, tanah, udara, dan api. Terdapat pula objek nyata primer
yang tidak berbentuk fisis dalam definisi kajian Theravada seperti perasaan,
kemauan, dan kesadaran.
Mahayana sering dikaitkan dengan ontologi idealis. Ontologi
idealistis menyatakan objek dalam realita merupakan produk kesadaran.
Sehingga dapat dikatakan objek-objek di dunia ini merupakan objek semu
karena bergantung pada kesadaran terhadap setiap individu atau subjek
pemikir. Dalam kajiannya secara umum, ajaran Buddha Mahayana memiliki
dua aliran yakni: Madhyamaka dan Yogacara.
Pemikir awal dan sering juga disebut sebagai pencetus dari aliran
Madhyamaka adalah Nagarjuna. Nagarjuna menulis banyak risalah tentang
kajian filsafat dalam ajaran Buddha. Salah satunya adalah Mula-madhyamaka-
karika yang merupakan literatur kunci dari bahasan Madhyamaka.Pokok dari
bahasan filsafat ajaran Madhyamaka adalah gagasan dalam ajaran Buddha
bahwa, setiap individu dan kejadian yang terjadi di dunia ini sejatinya tanpa
esensi (svabaha dan sunyata). Nagarjuna menggambarkan pemikirannya
sebagai jalan tengah diantara dua kajian ekstrim. Nagarjuna menolak
pandangan eternalisme yakni pandangan yang menyatakan bahwasannya suatu
realitas yang tidak bergantung waktu ; masa lalu masih ada dan masih
berjalan, masa kini sedang berjalan, masa depan telah ada dan telah berjalan.
Nagarjuna juga menolak gagasan nihilisme berkaitan dengan kekosongan
(sunyata) mutlak bahwa setiap fenomena yang terjadi didunia tidak memiliki
inti dan merupakan sesuatu yang semu.
Menurut Nagarjuna kesemua entitas dan fenomena yang ada dan
terjadi di dunia ini nyata namun bersifat sementara. Pandangan inilah
kemudian disebut sebagai jalan tengah. Sementara pandangan Yogacara
menolak gagasan realisme dari Theravada dan kesementaraan fenomena-objek
yang ditawarkan Mahayana. Ajaran Yogacara menekankan pembahasan suatu
fenomena-objek di alam semesta harus melalui pikiran(citta) dan
kesadaran(vijnana) manusia. Dalam ajaran Yogacara, realitas termasuk
didalamnya yaitu, objek dan fenomena yang dapat dirasakan manusia,
bukanlah sesuatu yang nyata, karena hal tersebut dihasilkan oleh kesadaran
manusia; kesadaran manusia merupakan hal yang nyata dan juga sementara
dalam ajaran ini. Selain kesadaran manusia, hal lain yang dipandang sebagai
sesuati yang nyata dalam ajaran Yogacara adalah kekosongan (sunyata).
Ajaran Buddha di Tibet merupakan perkembangan lebih lanjut dari
ajaran Mahayana; aliran Madhamaka dan Yogacara. Juga dalam
perkembangannya terdapat pengaruh dari kepercayaan lokal Bön. Ajaran
Buddha mulai berpengaruh di Tibet pada masa pemerintahan Raja Songtsän
Gampo sekitar tahun 641 M. Lebih lanjut, ajaran Buddha di Tibet berkembang
menjadi empat aliran yang dikenal secara umum yakni:
1. Nyingma: Nyingma merupakakan aliran Buddha tertua di Tibet.
Menurut ajaran Nyingma inti atau esensi dari setiap makhluk adalah
kesadaran.
2. Sakya: Sakya memiliki bahasan yang erat kaitannya dengan literatur-
literatur Tantra. Sakya menekankan anti-realisme dalam pembahasan
fenomena-objek di dunia.
3. Kagyu: Kagyu memiliki doktrin utama yang dinamakan Mahamudra.
Mahamudra merupakan gabungan teknik meditasi dan Yoga yang
dipercaya dapat memberikan kita persepektif terhadap kehampaan
(sunyata).
4. Gelug: Gelug merupakan aliran yang erat kaitannya dengan Dalai
lama.Di antara aliran lainnya, Gelug merupakan aliran yang paling
menekankan pembelajaran filsafat. Bahasan filsafat yang ditekankan
terkait ajaran Buddha di antaranya: Prajnaparamita, Madhyamaka,
Pramana, Abhidharma dan Vinapa.
Ajaran Buddha di Tibet merupakan perkembangan lebih lanjut dari
aliran Mahayana. Sehingga, dalam menjawab pertanyaan yang berkaitan
dengan bahasan filsafat, ajaran Buddha di Tibet menggunakan persepektif
yang serupa dengan aliran Mahayana; Menekankan aspek kesadaran individu
dalam setiap pembahasan fenomena-objek yang terjadi di dunia. Selain itu
Vajrayana yang merupakan aliran Buddha yang erat kaitannya dengan literatur
Tantra, juga memberikan pengaruh yang besar terhadap perkembangan ajaran
Buddha di Tibet, baik dari bahasan filsafat maupun praktik seperti yoga dan
meditasi.
Serupa dengan perkembangan di Tibet, perkembangan ajaran Buddha
di Asia Timur (Tiongkok, Jepang, dan Korea) merupakan kelanjutan dari
mazhab Mahayana dan erat kaitannya dengan literatur-literatur
Tantra.Sehingga bahasan yang berkaitan dengan filsafat pada umumnya
memiliki inti yang serupa dengan ajaran Buddha Mahayana, meskipun dalam
kelanjutannya terdapat berbagai variasi. Variasi ini berkaitan dengan pengaruh
kepercayaan atau ajaran lokal yang telah berkembang seperti Konfusianisme
dan Taoisme.
Mazhab filsafat Buddha di Asia Timur juga nantinya akan
berkembang menjadi beberapa aliran; di antaranya yang dikenal secara luas:
aliran Huayan, aliran Zen atau Chan, dan aliran Tiantai.
2. Analisis teori
Ajaran Buddha dalam perkembangannya memiliki cakupan yang
sangat luas. Dalam tinjauannya, ajaran Buddha pada masa-masa awal dapat
direduksi menjadi beberapa fondasi dasar yakni: empat kebenaran mulia, jalan
mulia berunsur delapan (jalan tengah), kamma, dan kelahiran berulang atau
punnabhawa.
Kamma
Kamma atau karma (dalam bahasa Sanskerta) secara harfiah berarti
perbuatan atau suatu aksi. Istilah ini merujuk fenomena bahwa setiap aksi atau
perbuatan pastilah membawa konsekuensi. Ajaran Buddha memberikan
perhatian bahwa setiap perbuatan yang patut atau tidak patut dan kebiasaan
yang bermanfaat atau merugikan akan membawa kita kepada suatu
konsekuensi yang sesuai. Kamma menempatkan individu sebagai
penanggunnya. Suatu individu akan menerima baik-buruknya konsekuensi
dari perbuatannya entah saat ini, di masa depan atau dikehidupan berikutnya.
Kelahiran kembali (punabhava)
3. Analisis praksis
Saat ini secara global, isu lingkungan merupakan salah satu isu yang
paling hangat diperbincangkan. Tidak dapat dipungkiri bahwa lingkungan
yang di dalamnya terdapat berbagai jenis sumber daya telah memberi manusia
banyak manfaat untuk hidup dan memenuhi kebutuhan ekonomi. Namun
dalam kenyataannya, seringkali dilakukan eksploitasi secara berlebih dan
tanpa kontrol terhadap suatu sumber daya, sehingga menimbulkan polusi dan
kerusakan yang berujung pada kerugian bagi manusia dan makhluk hidup
lainnya. Karenanya, etika dan moralitas dalam pemanfaatan lingkungan
menjadi salah satu subjek perdebatan dalam ilmu filsafat.
Ajaran Buddha secara umum merupakan tuntunan kehidupan yang
didesain untuk menghapus penderitaan manusia. Permasalahan lingkungan
seperti polusi, perubahan iklim, pemanasan global dan lain sebagainya,
merupakan suatu permasalahan di kehidupan modern. Masalah yang berkaitan
hal ini tidak terdengar pada zaman hidup Sang Buddha, sehingga sangat sulit
untuk memperoleh literatur atau ceramah dari Sang Buddha yang secara
spesifik berkaitan dengan topik lingkungan. Namun, karena ajaran Buddha
merupakan ajaran yang menjanjikan persepektif yang luas dan universal untuk
segala aspek kehidupan, kajian lebih lanjut terhadap ayat-ayat dalam kitab Pali
atau Tripitaka dapat menggambarkan bagaimana sebenarnya pandangan
Buddha terhadap lingkungan.
Seperti contoh, kajian lebih lanjut terhadap istilah tanha dan
penjabarannya, mengindikasikan manusia tidak boleh serakah dan harus
memiliki kontrol dalam mempergunakan atau mengkonsumsi sesuatu,
termasuk sumber daya alam. Konsep ahimsa yang terdapat dalam ajaran
Buddha yang berarti "tidak menyakiti" mengajarkan setiap manusia untuk
tidak menyakiti hewan (termasuk manusia) dan tumbuhan, mengindikasikan
perilaku hidup sebagai vegetarian yang harus di jalani umat Buddha. Namun
demikian terdapat perbedaan tentang konsep ini sehingga tidak semua umat
dan pemuka agama Buddha menjalani hidup sebagai vegetarian.
4. Analisis praktek
Pendidikan, dalam Pali tradisi, diperoleh dari terminologi 'sikkha',
secara umum menyiratkan bahwa pendidikan merupakan proses belajar,
pelatihan pelajaran, mempelajari, pengembangan, dan pencapaian
penerangan . Secara natural termasuk latihan moral yang tinggi (síla),
konsentrasi (samadhi), dan kebijaksanaan atau pengetahuan (paññä) dan
dikombinasikan dengan kata itu 'pada' dalam 'sikkhapada,' yaitu aturan bidang
pendidikan, yang mana secara normal dikenal sebagai 'sekhapatipada', yaitu
suatu pelatihan bagi pelajar.
Proses perhatian berkesinambungan bidang pendidikan mempunyai
karakter fungsional dalam pelatihan atau instruksi, pencapaian atau praktek
dan kemajuan secara bertahap (anupubbasikkha anupubbakiriyä
anupubbapaëipadä) memberikan suatu yang benar kepada peserta didik,
petunjuk awal yang mulia dalam berbagai lapisan hidup dan pengertian yang
mendalam ke dalam usaha, mengajarkannya bagaimana cara berbuat yang
benar, hidup sukses, bahagia, dan mempimpinnya ke arah kemajuan yang
menguasai semuanya, sejahtera dan makmur, mengembangan kepribadian
yang baik dengan perilaku dan pengetahuan sempurna, dan mengakhiri
penderitaan, selamat.
Pendidikan memerlukan kematangan dan suksesnya tiga faktor atau
model komplementer, yaitu: model utama dari belajar literatur secara
akademis atau berkaitan dengan ajaran Buddha (pariyatti, kemampuan,
performansi), kemudian model praktis dari apa yang secara akademis
diajarkan dan diingat dengan berusaha dan meletakkan ajaran ke dalam
praktek (paëipatti, praktek, pencapaian), dan akhirnya terampil dalam bentuk
penetrasi, penguasaan, dan mewujudkan kebenaran (paëivedha). Tiga sumber
tersebut akan dijelaskan dalam sudut pandang: (1) Mengajarkan agar menjadi
baik, peserta didik akan memahami, menyimpan, mengingat, memecahkan,
membiasakan diri, mempertimbangkan dalam pikirannya dan merealisir teori
(ditthiya) ajaran guru adalah menyenangkan pada awal dan akhir,. (2) Ia
memeriksa dan meneliti arti dari pelajaran yang diajar dan diingat; kemudian
berhubungan dengan diri sendiri dan diharapkan untuk ditumbuhnya.
Kemudian melakukannya, menumbuhkan dalam aktivitas, berusaha keras;
mengujinya, mencoba, dan akhirnya ia merealisir sadari dengan pancaindera
menembus kebenaran secara komprehensip. (3) Peserta didik, setelah diajar
dengan baik dan dipandu dengan baik, mengenali teks menyangkut doktrin
dengan maksud dan tujuan, menerapkan pikirannya kearah apa yang didengar
ketika mendengar dan di pelajari (yathäsutaç yathäpariyattaç), melaksanakan
meditasi secara terus-menerus dan menjadi terbiasa kontemplasi dalam
pikiran, menyerap beberapa obyek konsentrasi dengan baik, pemusatan pikiran
dengan baik, secara penuh memusatkan pikiran dan menembusnya dengan
kebijaksanaan.
Selama empat puluh lima tahun Buddha membabarkan jalan
pembebasan. Beliau dikenal sebagai guru para dewa dan manusia (sattha
devamanussanaç) dan pernbimbing manusia. Disiplin moral (síla), meditasi
(samädhi) dan kebijaksanaan (pañña) yang dicapai berdasarkan perealisasian
keadaan sebenarnya dan kehidupan merupakan dasar dan Jalan yang diajarkan
Beliau. Hal ini dihubungkan belajar seumur hidup dan meditasi yang ditujukan
pada latihan dan mengendalikan pikiran (batin).
Landasan Filosofi pendidikan dalam agama Buddha mengacu pada
empat kebenaran Mulia (cattari ariya saccani), yaitu mengidentifikasi dukkha,
asal mula dukkha, lenyapnya dukkha dan jalan mengakhiri dukkha. Melalui
formulasi ini Buddha memberi petunjuk bagaimana sebaiknya mengatasi
masalah secara sistematis. Berdasar rumusan Empat Kebenaran Mulia Kowit
Vorapipatana mengembangkan konsep Khit-Pen yang artinya ‘berpikir,
mengada’ (to think, to be) atau ‘mampu berpikir’ (to be able to think) untuk
menggambarkan strategi pengajaran yang mencakup berpikir secara kritis dan
kecakapan memecahkan masalah.
Masalah sentral dalam pandangan Buddha adalah penderitaan ma-
nusia. Penderitaan bersumber pada keinginan yang rendah (tanha). Keinginan
sendiri timbul tergantung pada faktor lain yang mendahuluinya. Dalam
merumuskan rangkaian sebab musabab yang saling bergantungan (paticcasa-
muppada), Buddha menempatkan di urutan pertama kebodohan (avijja).
“Yang lebih buruk dari semua noda itu adalah kebodohan. Kebodohan
merupakan noda yang paling buruk. Para Bhikkhu, singkirkan noda ini dan
jadilah orang yang tak bernoda”.
TANGGAPAN
A. FIlsafat Islamisme
Setiap manusia mempunyai potensi sejak dalam kandungan, potensi itu
bernama tauhid, kemudian akan berkembang dan bertambah seiring dengan
lingkungan dan pola pendidikan yang diterima oleh setiap orang. Untuk itu orang
tua (keluarga), sekolah dan masyarakat menjadi lembaga yang sangat
berpengaruh terhadap perkembangan dan perubahan setiap potensi.
Dengan potensi dan kecerdasan yang dianugerahkan kepada manusia
memberikan peluang manusia untuk menjadi Ulul al-Albab. Manusia ulul
albab adalah manusia dengan kecerdasan dan kemampuan paripurna yang Allah
S.W.T. berikan, karena potesi dan tekad pribadi manusia untuk menjadi makhluk
terbaik, isyarat ini Allah S.W.T. jelaskan dalam Al-qur‟an Surat Ali-Imran/3: 190-
191 yang mengadung makna tentang potensi dalam diri manusia.
Quraisy Shihab menjelaskan bahwa “Ûlu al-Albâb” dapat dipahami
sebagai seseorang yang memiliki kecerdasan paripurna, yang tidak ada
kerancuan berpikir di dalamnya, karena senantiasa mendapat hidayah langsung
dari Allah S.W.T. Sehingga, apapun kemampuan dan kecerdasan juga ilmu yang
dimilikinya, dapat dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat manusia dan alam
raya, bukan untuk merusaknya.
B. Filsafat Budhisme
Tujuan Pendidikan Buddhis
Pendidikan adalah penerusan nilai, pengetahuan, kemampuan, sikap dan tingkah
laku; yang dalam arti luas pendidikan merupakan hidup itu sendiri (dan belajar itu
seumur hidup), sebagai proses menyingkirkan kebodohan dan mendewasakan diri
menuju kesempurnaan. Pendefinisian ini mendekati pandangan sosiologis,
antropologis dan psikologis. Disiplin keilmuan lain mungkin saja memiliki rumus-
an yang lebih khusus. Pendidikan merupakan usaha yang disengaja dan terencana
untuk menolong seseorang belajar dan bertanggungjawab, mengembangkan diri
atau mengubah perilaku, sehingga bermanfaat bagi kepentingan individu dan
masyarakat. Dengan memiliki pengetahuan, seseorang memiliki bekal untuk
bekerja, dan membantu atau melayani orang lain dengan baik.
Tujuan umum pendidikan tak berbeda dengan tujuan pembabaran agama
sebagaimana yang diamanatkan oleh Buddha kepada enam puluh orang Arahat.
Mereka mengemban misi atas dasar kasih sayang, demi kebaikan, membawa
kesejahteraan, keselamatan dan kebahagiaan bagi orang banyak. Karena men-
datangkan kebaikan ini, memiliki pengetahuan dan keterampilan merupakan
berkah utama (Mangala-sutta).
Pendidikan agama jelas menolong untuk menghentikan segala bentuk kejahatan.
“Aku telah berhenti. Engkau pun berhentilah,” seru Buddha kepada Angulimala.
”Melihat kejahatan sebagai kejahatan, inilah ajaran Dharma yang pertama. Setelah
melihat kejahatan sebagai kejahatan, jauhilah itu, singkirkan itu hingga bersih,
bebaskan diri dari hal itu, inilah ajaran Dharma yang kedua.”.
Idealnya, pendidikan adalah prinsip sarana bagi pertumbuhan manusia, penting
unutk tranformasi kematangan peserta didik menjadi orang dewasa yang
bertanggung jawab. Namun demikian saat ini, keduanya perkembangan dan
pengembangan dunia, dapat dilihat pada pendidikan formal sebagai permasalahan
yang serius. Pembelajaran klasikal telah menjadi bagian yang bersifat rutin dan
sering mempertimbangkan sekolah sebagai latihan kesabaran dibanding
pembelajaran.
Kensepsi tujuan pendidikan adalah berbeda secara konsisten dengan prinsip
Buddha. Efisiensi praktis mempunyai kedudukan dalam pendidikan Buddha,
Buddhism mengemukakan jalan tengah sebagai aspirasi spiritual mulia
tergantung kesehatan fisik dan jaminan materiil bagi masyarakat. Tetapi untuk
Buddhism dari sisi praktek pendidikan harus terintegrasi (terpadu); didesain sesuai
kebutuhan untuk membawa potensi alami manusia menjadi matang sesuai dengan
apa yang diharapakan oleh Buddha. Di atas Semua, kebijakan bidang pendidikan
yang dipandu oleh prinsip Buddha bertujuan mesukkan nilai-nilai sebagi
imformasi penting. Hal itu diarahkan, tidak hanya ke arah mengembangkan sosial
dan ketrampilan komersil, tetapi ke arah pemeliharaan spiritual peserta didik.
Dalam masyarakat sekuler saat ini, pendidikan secara kelembagaan adalah di
fokuskan untuk menyiapakan arah karier peserta didik, di negara Buddhis seperti
Sri Lanka tanggung jawab utama untuk menyampaikan prinsip Dhamma kepada
siswa secara alami berada pada sekolah Dhamma. Pendidikan Buddhis dalam
sekolah Dhamma harus terkait di atas semua, dengan tranformasi karakter pribadi.
Karakter pribadi dibentuk oleh nilai-nilai, dan menumbuhkan semangat nilai-nilai
inspirasi yang ideal, tugas pertama untuk membentuk pendidik Buddhis adalah
menentukan sistem ideal bidang pendidikan mereka. Jika kearah ditemukan ajaran
Buddha ideal, ada lima kualitas yang Buddha sering sampaikan berhubungan
karakter peserta didik, apakah bhikkhu atau perumah tangga. Lima kualitas adalah
keyakinan (saddhä), kemoralan (síla), kedermawanan (cäga), belajar (mendengan)
(suta), dan kebijaksanaan (paññä) (A.III.80) (Bodhi, 1997).
DAFTAR PUSTAKA
Hude Darwis. 2015. Logika Al- qur‟an, Jakarta: Eurobia. Al-Jurjani, Ali ibn
Muhammad ibn Ali az-Zain asy-Syarif, at-Ta‟rifat. Tt.
Mahmud Yunus. 2008. Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Mahmud Yunus
Wadzurriyah.
Mulyasana Dedi. 2012 . Pendidikan Bermutu dan Berdaya Saing, Bandung: PT.
Remaja Rosda Karya.