Anda di halaman 1dari 34

Tugas / Minggu 1 / 3 (tiga)

Tanggal 2 September 2019


Topik Filsafat, Teori, Praksis Pendidikan
Dosen Pembina Prof. Dr. Jamaris Jamna, M.Pd.
Mahasiswa Novrianti

Ringkasan

Pendidik di sekolah harus memahami tentang filsafat pendidikan. Hal ini


disebabkan dengan memahami tentang filsafat pendidikan maka pendidik dan
tenaga kependidikan akan memiliki ilmu dalam menyelesaikan masalah yang
berhubungan pekerjaannya. Jika pendidik dan tenaga kependidikan mampu untuk
menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan pendidik dan tenaga
kependidikan maka pendidikan yang dilaksanakan di sekolah akan maju dan
berkembang ke arah yang baik.
Filsafat pendidikan adalah ilmu yang menerapkan konsep filsafat dalam
bidang pendidikan yang berguna untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi oleh
orang-orang yang bekerja dalam bidang pendidikan seperti pendidik dan tenaga
kependidikan.
Manfaat mempelajari filsafat pendidikan adalah
1. Membiasakan kita berpikir kritis dan reflektif terhadap problema-problema
kehidupan dan penghidupan manusia.
2. Memberikan pengertian yang mendalam akan problema-problema esensial
dan dasar-dasar pertimbangan mana yang harus kita gunakan dalam
menyelesaikan problema pendidikan.
3. Memberi kesempatan pada pendidik/guru untuk meninjau kembali
pandangan filsafat pendidikan yang selama ini diyakininya.
4. Berdasarkan kenyataan keragaman aliran-aliran filsafat pendidikan dalam
pengertian maka betapa banyaknya aliran tentang dasar-dasar dan tujuan
pendidikan yang menuntut kepada kaum pendidik untuk meninjau kembali
segala macam perbedaan itu, secara bebas, kritis, dan reflektif.
Teori pendidikan adalah suatu pedoman yang dapat dipakai untuk
menjalankan usaha dalam rangka mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya.
Teori pendidikan akan memberikan manfaat sebagai berikut
1. Teori pendidikan dapat dijadikan sebagai pedoman untuk mengetahui arah
dan tujuan yang akan dicapai.
2. Teori pendidikan berfungsi untuk mengurangi kesalahan-kesalahan dalam
praktik pendidikan. Dengan memahami teori, kita akan mengetahui mana
yang boleh dan mana yang tidak boleh dilakukan.
3. Teori pendidikan dapat dijadikan sebagai tolok ukur sampai di mana kita
telah berhasil melaksanakan tugas dalam pendidikan.
Praksis pendidikan adalah kegiatan dalam mengaplikasikan teori ke dalam
praktiknya. Contoh di bidang pendidikan orang yang membuat kurikulum harus
mempelajari dan melaksanakan teori yang dibuat oleh ahli kurikulum dalam
bukunya dan dia mengaplikasikan teori kurikulum untuk dibuat menjadi kurikulum
yang akan dipakai di sekolah-sekolah.
Silabus dan RPS bisa berposisi sebagai praksis dan bisa sebagai praktek.
Silabus dan RPS berposisi sebagai praksis ketika merancang silabus dan RPS
tersebut. Dan ketika silabus dan RPS itu diimplementasikan dia menjadi praktek
dan berguna yang mengatur pelaksanaan pembelajaran sehingga tujuan dan
efektivitas pembelajaran bisa tercapai.
Praktik pendidikan yaitu pelaksanaan secara nyata untuk menjalankan
usaha dalam rangka mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya.
Dalam praktik pendidikan guru perlu mengembangkan pendekatan mereka
sendiri dan praktik kependidikan dengan memperhatikan saran-saran berikut
1. Pertimbangan tujuan pendidikan dan nilai-nilai yang mendukung
pengajaran.
2. Pengetahuan tentang teori belajar.
3. Pengetahuan tentang konsep-konsep yang berbeda dari mengajar.
4. Pengetahuan tentang model pengajaran dan pembelajaran dan interaksi
dinamis karakteristik lingkungan belajar, tuntutan tugas, proses pengajaran
dan pembelajaran, dan berbagai jenis pembelajaran.
5. Memahami bagaimana pedagogi dapat dioperasionalkan di dalam kelas.
6. Pengetahuan dan keterampilan untuk mengevaluasi praktik, penelitian, dan
teori yang berkaitan dengan pendidikan.
Pembahasan

A. Filsafat Pendidikan
Al-Syaibani (1979 : 36) menyatakan bahwa Filsafat Pendidikan adalah
aktivitas pikiran yang teratur, yang menjadikan filsafat sebagai jalan untuk
mengatur, menyelaraskan dan memadukan proses pendidikan. Artinya, filsafat
pendidikan dapat menjelaskan nilai-nilai dan maklumat-maklumat yang diupayakan
untuk pengalaman kemanusiaan merupakan faktor yang integral.
Dewey (dalam Arifin : 1996 : 2) menyatakan bahwa Tugas filsafat dan
pendidikan adalah seiring yaitu sama-sama memajukan hidup manusia. Komar
(2006 : 146) menyatakan bahwa Filsafat Pendidikan adalah serangkaian pandangan
komprehensif dengan makna yang paling dalam atau kebenaran puncak/tinggi.
Jalaluddin dan Idi (2012 : 9) menyatakan bahwa Filsafat Pendidikan adalah
ilmu pengetahuan normatif dalam bidang pendidikan, merumuskan kadiah-kaidah,
norma-norma dan / atau ukuran tingkah laku perbuatan yang sebenarnya
dilaksanakan oleh manusia dalam hidup dan kehidupannya.
Barnadib (1982 : 20) menyatakan bahwa Filsafat Pendidikan adalah ilmu
yang pada hakikatnya merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dalam
bidang pendidikan. Baginya filsafat pendidikan merupakan aplikasi sesuatu analisis
filosofis terhadap bidang pendidikan.
Brubacher (dalam Arifin : 1996 : 3) menyatakan bahwa Filsafat Pendidikan
adalah Filsafat pendidikan itu berdiri secara bebas dengan memperoleh keuntungan
karena punya kaitan dengan filsafat umum. Kendati kaitan ini tidak penting, tapi
yang terjadi ialah suatu keterpaduan antara pandangan filosofis dengan filsafat
pendidikan, karena filsafat sering diartikan sebagai teori pendidikan dalam segala
tahap.
Usiono (2006 : 90-91) menyatakan bahwa Filsafat pendidikan adalah
aplikasi konsep filsafat atau kaidah filsafat dalam bidang pendidikan. Aplikasi
konsep filsafat tersebut diarahkan untuk menjawab persoalan substansial
pendidikan, dan memecahkan masalah-masalah praktis filosofis pendidikan yang
dihadapi oleh para pendidik dan masyarakat.
Kuswana (2013 : 27) menyatakan bahwa Filsafat pendidikan merupakan
studi filosofis mengenai tujuan dan proses dalam mencapai tujuan cita-cita
pendidikan. Hal yang sangat mendasar, seperti pola pengasuhan dalam mendidik,
nilai-nilai dan norma yang dinyatakan melalui proses pendidikan, batas-batas dan
legitimasi pendidikan sebagai disiplin akademis serta hubungan antara teori dengan
praktik pendidikan.
Berdasarkan teori di atas maka dapat disimpulkan bahwa Filsafat pendidikan
adalah ilmu yang menerapkan konsep filsafat dalam bidang pendidikan yang
berguna untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi oleh orang-orang yang
bekerja dalam bidang pendidikan seperti pendidik dan tenaga kependidikan.

Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan


Tim Dosen IKIP Malang (dalam Jalaluddin dan Idi : 2012 : 12) menyatakan
bahwa Secara makro, apa yang menjadi objek pemikiran filsafat, yaitu
permasalahan kehidupan manusia, alam semesta, dan alam sekitarnya, juga
merupakan objek pemikiran filsafat pendidikan. Namun secara mikro, ruang
lingkup filsafat pendidikan meliputi:
1. Merumuskan secara tegas sifat hakikat pendidikan (the nature of education).
2. Merumuskan sifat hakikat manusia, sebagai subjek dan objek pendidikan
(the nature of man).
3. Merumuskan secara tegas hubungan antara filsafat, filsafat pendidikan,
agama, dan kebudayaan.
4. Merumuskan hubungan antara filsafat, filsafat pendidikan, dan teori
pendidikan.
5. Merumuskan hubungan antara filsafat negara (ideologi), filsafat pendidikan
dan politik pendidikan (sistem pendidikan).
6. Merumuskan sistem nilai norma agama atau isi moral pendidikan yang
merupakan tujuan pendidikan.
Jalaluddin dan Idi (2012 : 12) menyatakan bahwa Ruang lingkup filsafat
pendidikan itu ialah semua aspek yang berhubungan dengan upaya manusia untuk
mengerti dan memahami hakikat pendidikan itu sendiri, yang berhubungan dengan
bagaimana pelaksanaan pendidikan yang baik dan bagaimana tujuan pendidikan itu
dapat dicapai seperti yang dicita-citakan.

Manfaat Filsafat Pendidikan


Salam (2002 : 3) menyatakan bahwa Manfaat mempelajari filsafat
pendidikan adalah
1. Membiasakan kita berpikir kritis dan reflektif terhadap problema-problema
kehidupan dan penghidupan manusia.
2. Memberikan pengertian yang mendalam akan problema-problema esensial
dan dasar-dasar pertimbangan mana yang harus kita gunakan dalam
menyelesaikan problema pendidikan.
3. Memberi kesempatan kepada kita membiasakan diri untuk mengadakan
perenungan mendalam, atau berteori, betapa pun kurang atau belum
sempurnanya teori tersebut.
4. Memberi kesempatan pada pendidik/guru untuk meninjau kembali
pandangan filsafat pendidikan yang selama ini diyakininya.
5. Bahwa berdasar kenyataan keragaman aliran-aliran filsafat pendidikan
dalam pengertian betapa banyaknya aliran tentang dasar-dasar dan tujuan
pendidikan yang menuntut kepada kaum pendidik untuk meninjau kembali
segala macam perbedaan itu, secara bebas, kritis, dan reflektif.

Aliran-Aliran Filsafat Pendidikan


Berikut ini akan dijelaskan tentang aliran-aliran filsafat pendidikan yaitu (1)
Aliran Empirisme, (2) Aliran Naturalisme, (3) Aliran Nativisme-Pesimisme, (4)
Aliran Pragmatisme, (5) Aliran Konvergensi, (6) Aliran Essensialisme, (7) Aliran
Eksistensialisme.
Aliran Empirisme, John Lock (1632-1704M)
Ia dilahirkan tahun 1632 M di Inggris, anak seorang ahli hukum dan belajar
kedokteran di Oxford, serta ilmu alam dan filsafat (Kuswana (2013 : 28)).
Prinsip:
Manusia dilahirkan dengan jiwa yang kosong dari kemampuan (potensi)
dasar apapun, dan jiwanya dipersamakan sebagai lilin yang putih bersih dari
pengaruh apapun (Tabulae Rasae). Manusia dapat dibentuk dan dilukis menurut
kehendak pendidik, tanpa kemampuan mengadakan respons terhadap pengaruh dari
luar jiwanya (Kuswana (2013 : 28)).
Pandangan:
Pertumbuhan dan perkembangan hidup manusia ditentukan oleh faktor dari
luar dirinya yaitu oleh pengalaman baik yang sengaja maupun tidak. Paham empiris
memandang bahwa pengaruh pendidikan dapat menentukan jalan hidup manusia,
adapun faktor internal berupa kemampuan dasar, bakat, keturunan tidak
memberikan pengaruh apa-apa. (Kuswana (2013 : 28)).
Paham empirisme sangat berkembang di Amerika Serikat, dan dikemudian
harus menjadi akar “Behaviorisme” yang dipelopori oleh John Dewey, William
James, Lange, Watson, dan Skinner. Paham ini, berpengaruh pada filsafat pragmatis
yang mengutamakan pada kemanfaatan, sebagai kriteria dari sistem nilai kebutuhan
manusia. Paham pragmatis selain berkembang di Amerika Serikat, juga di Eropa
seperti German dan Itali dengan penamaan Nativisme (Kuswana (2013 : 28)).

Aliran Naturalisme, Jean Jacques Rousseau


Kuswana (2013 : 28) menyatakan bahwa Jean Jacques Rousseau adalah
seorang filsuf Perancis mempunyai pandangan yang menitikberatkan pada sesuatu
kemampuan dipengaruhi oleh pembawaan secara alamiah yang telah membentuk
pada setiap pribadi manusia.
Prinsip:
Kuswana (2013 : 29) menyatakan Manusia dilahirkan telah membawa
potensi yang berkecenderungan ke arah baik, dan tidak ada unsur-unsur pembawaan
yang cenderung ke arah yang buruk atau jahat. Pertumbuhan dan perkembangan
akan mengalami penyimpangan, apabila faktor luar memberikan yang tidak sesuai
dengan potensinya. Oleh karena itu, anak tidak perlu dididik oleh orang lain, namun
biarkan anak belajar oleh kemampuannya secara alamiah, bebas dan merdeka
selaras dengan aturan alamiah.
Pandangan:
Kuswana (2013 : 29) menyatakan bahwa Jean Jacques Rousseau merupakan
pemikir romantik kontemporer dengan corak tradisional yang lahir dalam zaman
abad pencerahan. Paham ini, mengetengahkan tiga prinsip terkait dengan proses
belajar mengajar yaitu,
1. Anak didik, belajar didasarkan pada pengalamannya sendiri dan berproses
secara interaktif antara pengalaman dengan kemampuan tumbuh dan
berkembang dari dalam dirinya secara alamiah.
2. Pendidikan, bersifat memfasilitasi dan menyediakan lingkungan belajar
yang kondusif. Tanggung jawab belajar terletak pada diri pembelajar,
pendidik mendorong keberanian anak didik dan berorientasi pada sikap
positif dan tanggap terhadap kebutuhan untuk memperoleh bimbingan dan
motivasi dari pendidik,
3. Sekolah harus menyediakan perangkat sistem yang sesuai dengan minat dan
bakat anak didik, dengan tersedianya lingkungan yang berorientasi pada
pola belajarnya. Oleh karena itu, sekolah harus memberikan rasa nyaman,
gembira, dan anak didik secara bebas memanfaatkan lingkungan belajar
sendiri selaras dengan potensinya.

Kuswana (2013 : 29) menyatakan bahwa Naturalisme menitikberatkan pada


strategi belajar yang bersifat paedosentris (belajar terpusat pada anak), faktor
kemampuan anak didik menjadi pusat perhatian dalam pembelajaran.
konsekuensinya, pola pendidikan cenderung mengembangkan individualisasi dan
mendorong aktivitas kemandirian sesuai dengan minat dan bakatnya.

Aliran Nativisme-Pesimisme, Arthur Schopenhauer


Kuswana (2013 : 30) menyatakan bahwa Arthur Schopenhauer lahir di
Frankfurt tanggal 22 Februari 1788 M, seorang filsug German dikenal karena
nativisme-pesimisme dan kejelasan filsafat.
Prinsip:
Kuswana (2013 : 30) menyatakan bahwa Anak dilahirkan dengan
pembawaan baik dan buruk. Pembawaan merupakan kemampuan psikologis dengan
berbagai kecenderungan, seperti minat, bakat, keturunan, dan yang lainnya. Secara
keseluruhan, merupakan faktor penentu dari perkembangan dan pertumbuhan.
Pandangan:
Kuswana (2013 : 30) menyatakan bahwa Dunia pada dasarnya apa yang kita
kenali dalam diri kita sendiri. Hasil analisisnya akan membawanya pada kesimpulan
bahwa keinganan emosional dan fisik tidak dapat terpenuhi. Oleh karena itu, faktor
pembawaan dipandang paling dominan untuk membentuk dirinya sendiri,
dibandingkan dengan hal-hal yang datang dari luar. Kemudian Schopenhauer
percaya bahwa manusia termotivasi hanya oleh keinganan dasar mereka sendiri,
atau yang mengarahkan semua umat manusia.

Aliran Pragmatisme,
Kuswana (2013 : 31) menyatakan bahwa Pragmatisme merupakan
perkembangan dari Realisme, tumbuh dan berasimilasi dengan inti pemikiran
Yunani Kuno dari Heraclitos (544-484 SM). Pandangan Hearclitos, sifat utama dari
kenyataan hidup adalah perubahan. Tidak ada sesuatu kenyataan yang tetap di muka
bumi ini, semuanya akan mengalir terus dan berubah, kecuali perubahan itu sendiri.
Protagoras (480-410 SM), yang berpandangan bahwa kebenaran, nilai dan norma
tidak bersifat mutlak, melainkan bersifat relatif tergantung waktu dan tempat.
Kuswana (2013 : 31) menyatakan bahwa Orang yang memiliki pandangan
Pragmatisme adalah John Dewey. John Dewey adalah seorang filsuf, psikolog, dan
penggagas pembaharuan pendidikan yang telah berpengaruh dalam pendidikan dan
reformasi sosial di Amerika Serikat. Dia adalah salah satu pendiri Aliran
Pragmatisme.
Kuswana (2013 : 36) menyatakan bahwa Dewey memandang bahwa Tujuan
pendidikan tidak harus berputar pengadaan praketerampilan yang ditentukan,
melainkan realisasi potensi penuh seseorang dan kemampuan untuk menggunakan
keterampilan itu untuk kebaikan yang lebih besar. Catatan pentingnya adalah untuk
mempersiapkan diri anak didik untuk kehidupan masa depannya, mengandung
makna memberinya pembelajaran dari dirinya sendiri, artinya melatih untuk
memiliki pemanfaatan semua kapasitasnya secara optimal.
Kuswana (2013 : 36) menyatakan bahwa Selain membantu anak didik
menyadari potensi optimal mereka, Dewey mengakui bahwa pendidikan dan
sekolah adalah instrumental dalam menciptakan perubahan sosial dan reformasi.
Dia mencatat bahwa pendidikan merupakan peraturan dari proses yang akan datang
untuk berbagi dalam kesadaran sosial, dan penyesuaian kegiatan individu atas dasar
kesadaran sosial ini adalah satu-satunya metode yang diyakini sebagai rekonstruksi
sosial.

Aliran Konvergensi,
Kuswana (2013 : 38) menyatakan bahwa Teori konvergensi dipelopori oleh
William Stern. Inti dari pandangan teori konvergensi adalah mengenai pertumbuhan
dan perkembangan secara sintesis dan dialektis, yaitu adanya perpaduan antara
kemampuan dasar yang dibawanya sejak lahir dengan faktor lingkungan dari luar
dirinya.
Kuswana (2013 : 38) menyatakan bahwa Stern mengemukakan bahwa
Pertumbuhan dan perkembangan berjalan secara dialektis atau saling berpengaruh
antara faktor internal dan eksternal seseorang. Faktor pendidikan yang secara
sengaja dirancang secara sistematis, dapat memberikan makna terhadap faktor
bawaannya.
Kuswana (2013 : 30) menyatakan bahwa Faktor bawaan, kurang bermakna
apabila tidak terjadi dukungan faktor luar, oleh karena itu untuk pencapaian tujuan
pertumbuhan dan perkembangan secara optimal dibutuhkan salin berinteraksi.
Intelegensi anak didik, dapat dikembangkan melalui proses interaksi dengan faktor
pembentuk dari luar. Walaupun, paham ini mengakui bahwa kekuatan kecerdasan
sebagian besar sangat dipengaruhi oleh keturunan.

Aliran Essensialisme,
Kuswana (2013 : 39) menyatakan bahwa Esensialisme adalah generalisasi
yang menyatakan bahwa sifat-sifat tertentu yang dimiliki oleh suatu kelompok
(orang misalnya, hal-hal, ide-ide) bersifat universal, dan tidak tergantung pada
konteks. Misalnya, pernyataan esensialis “semua manusia fana’.
Kuswana (2013 : 39) menyatakan bahwa Menurut esensialisme, anggota
kelompok tertentu mungkin memiliki karakteristik lain yang tidak diperlukan untuk
membuat keanggotaannya tidak menghalangi keanggotaan yang lainnya, tetapi
esensi tidak hanya mencerminkan cara pengelompokan objek, menghasilkan sifat
dari objek.
Kuswana (2013 : 40-41) menyatakan bahwa Plato sebagai satu salah
ensensialists pertama percaya bahwa Ide-ide adalah kekal dan jauh lebih unggul
untuk membentuk manifestasi materi ideal di dunia. Plato dianggap sebagai
patriachs untuk dogma esensialis yang terfokus pada intrinsik dan kontekstual
objek dan sifat abstrak.
Kuswana (2013 : 44) menyatakan bahwa Essentialists bertujuan untuk
menanamkan hal yang penting kepada peserta didik dengan pengetahuan akademik,
patriotisme, dan pengembangan karakter. Pendekatan tradisional ini dimaksudkan
untuk melatih pikiran, mempromosikan penalaran, dan budaya.
Kuswana (2013 : 43) menyatakan bahwa Filsafat pendidikan esensialisme
merupakan suatu filsafat pendidikan yang pengikutnya percaya bahwa anak-anak
harus belajar mata pelajaran dasar tradisional, yang harus dipelajari secara
menyeluruh dan disiplin. Program esensialis biasanya mengajar anak-anak secara
progresif, dari keterampilan kurang kompleks sampai lebih kompleks. Penganut
esensialis biasanya akan mengajar beberapa mata pelajaran diatur seperti; membaca,
menulis, sastra, bahasa asing, sejarah, matematika, sains, seni, dan musik.
Kuswana (2013 : 43) menyatakan bahwa Peran pengajar adalah untuk
menanamkan rasa hormat terhadap otoritas, ketekunan, tugas, pertimbangan, dan
kepraktisan. Esensialisme berupaya untuk mengajar peserta didik, atas dasar
akumulasi pengetahuan peradaban melalui mata pelajaran inti dalam disiplin
akademis tradisional.

Aliran Eksistensialisme,
Kuswana (2013 : 44) menyatakan bahwa Eksistensialisme merupakan aliran
yang mempunyai prinsip bahwa segala gejala bertolak dari eksistensi yaitu suatu
cara pandang keberadaan dunia dan manusia berada yang membedakan dengan
makhluk lain.
Kuswana (2013 : 44) menyatakan bahwa Manusia dengan kesadaran
akalnya berada, secara totalitas dan selalu terkait dengan kemanusiaan. Suatu arti
yang diberikan manusia dalam menentukan perbuatannya sendiri. Manusia
eksistensi mendahului ensensi atau hakikat, sebaliknya benda-benda lain esensi
mendahulukan eksistensi. Manusia berada selanjutnya, menentukan diri sendiri
menurut projeksinya sendiri, hidupnya tidak ditentukan lebih dahulu, sedangkan
benda-benda lain bertindak menurut ensensinya atau kodrat yang tidak dapat
dielakkan.
Kuswana (2013 : 44) menyatakan bahwa Eksistensialisme adalah istilah
yang diterapkan pada hasil sejumlah filsuf ke 19 dan abad ke 20 yang meskipun ada
perbedaan doktrin yang mendalam, umumnya dipertahankan bahwa fokus
pemikiran filosofis harus berurusan dengan kondisi adanya seseorang atau individu
dan emosinya, tindakan, tanggung jawab, dan pikiran.
Kuswana (2013 : 44) menyatakan bahwa Filsuf eksistensialis selanjutnya
mempertahankan penekanan pada individu, tetapi berbeda, dalam berbagai derajat,
tentang bagaimana seseorang mencapai dan apa yang merupakan kehidupan yang
memuaskan, apa hambatan yang harus diatasi, dan apa faktor-faktor eksternal dan
internal yang terlibat, termasuk konsekuensi potensial dari keberadaan atau non
keberadaan Tuhan, dari para eksistensialis. Eksistensialis dianggap filsafat
sistematis atau sangat akademis tradisional, baik dalam gaya dan isi, karena abstrak
dan jauh dari pengalaman berpikir manusia. Eksistensialisme menjadi populer di
tahun-tahun pasca-perang dunia sebagai cara untuk menegaskan kembali
pentingnya individualitas manusia dan kebebasan.
Kuswana (2013 : 51) menyatakan bahwa Fokus pada keberadaan pemikir
eksistensialis adalah pada pertanyaan eksistensi manusia dan kondisi keberadaan ini
daripada hipotesa esensi manusia, menekankan bahwa esensi manusia ditentukan
oleh pilihan hidup. Namun, meskipun adanya prinsip dalam eksistensialisme adalah
kondisi tertentu umumnya dianggap endemik untuk eksistensi manusia.

Aliran-Aliran Filsafat Pendidikan Modern


Jaluluddin dan Idi (2011 : 78) menyatakan bahwa Dalam filsafat
pendidikan modern dikenal beberapa aliran, antara lain progressivisme,
essensialisme, perennialisme, dan rekonstruksionalisme.
1. Aliran progressivisme,
Syam (dalam Jaluluddin dan Idi : 2011 : 78) menyatakan bahwa Aliran
progressivisme mengakui dan berusaha mengembangkan asas progressivisme
dalam semua realita kehidupan, agar manusia bisa survive menghadapi semua
tantangan hidup. Aliran proggressivisme memiliki kemajuan yaitu dalam bidang
ilmu pengetahuan meliputi : ilmu hayat, bahwa manusia mengetahui semua
masalah kehidupan; antropologi, bahwa manusia mempunyai pengalaman,
pencipta budaya. Dengan demikian, dapat mencari hal baru; psikologi, bahwa
manusia akan berpikir tentang dirinya sendiri, lingkungan, pengalaman, sifat-
sifat alam, dapat menguasai dan mengatur alam. Lebih lanjut Jaluluddin dan Idi
(2011 : 79) menyatakan bahwa Adapun tokoh-tokoh aliran progressivisme ini
antara lain adalah William James, John Dewey, dan Hans Vaihinger.
Filsafat progressivisme bermaksud menjadikan anak didik memiliki
kualitas dan terus maju (progress) sebagai generasi yang akan menjawab
tantangan zaman peradaban baru.
a. Asas belajar
Jaluluddin dan Idi (2011 : 89) menyatakan bahwa Asas
progressivisme dalam belajar bertitik tolak dari asumsi bahwa anak didik
bukan manusia kecil, melainkan manusia seutuhnya yang mempunyai
potensi untuk berkembang, yang berbeda kemampuannya, aktif, kreatif, dan
dinamis serta punya motivasi untuk memenuhi kebutuhannya.
b. Pandangan kurikulum progressivisme
Filsafat progressivisme menunjukkan dengan konsep dasarnya
sejenis kurikulum yang program pengajarannya dapat memengaruhi anak
belajar secara edukatif, baik di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah.
Dalam hal ini, tentunya dibutuhkan sekolah yang baik dan kurikulum yang
baik pula (Barnadib (dalam Jaluluddin dan Idi : 2011 : 90)).

Jaluluddin dan Idi (2011 : 93) menyatakan bahwa Melalui proses pendidikan
dengan menggunakan kurikulum yang bersifat integrated kurikulum (masalah-
masalah dalam masyarakat disusun terintegrasi) dengan metode pendidikan belajar
sambil berbuat (learning by doing) dan metode problem solving (pemecahan
masalah) diharapkan anak didik menjadi maju (progress) mempunyai kecakapan
praktis dan dapat memecahkan problem sosial sehari-hari dengan baik.

2. Aliran essensialisme,
Zuhairini (1991 : 21) menyatakan bahwa Aliran essensialisme
merupakan aliran pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai kebudayaan yang
telah ada sejak awal peradaban umat manusia. Essensialisme muncul pada zaman
Renaissance dengan ciri-cirinya yang berbeda dengan progressivisme. Dasar
pijakan aliran pendidikan ini lebih fleksibel dan terbuka untuk perubahan,
toleran, dan tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu. Essensialisme
memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki
kejelasan dan tahan lama, yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih
yang mempunyai tata nilai yang jelas.
Jaluluddin dan Idi (2011 : 95) menyatakan bahwa Idealisme dan
realisme adalah aliran yang membentuk corak essensialisme. Dua aliran ini
bertemu sebagai pendukung essensialisme, namun tidak melebur menjadi satu
dan tidak melepaskan karakteristiknya masing-masing.
Jaluluddin dan Idi (2011 : 97) menyatakan bahwa Tujuan umum aliran
essensialisme adalah membentuk pribadi bahagia di dunia dan akhirat. Isi
pendidikannya mencakup ilmu pengetahuan, kesenian, dan segala hal yang
mampu menggerakkan kehendak manusia. Kurikulum sekolah bagi
essensialisme semacam miniatur dunia yang bisa dijadikan sebagai ukuran
kenyataan, kebenaran, dan keagungan. Dalam sejarah perkembangannya,
kurikulum essensialisme menerapkan berbagai pola idealisme dan realisme.
Jaluluddin dan Idi (2011 : 93) menyatakan bahwa Manusia pada
umumnya menerima apa saja yang telah ditentukan dan diatur alam sosial.
Kemudian beberapa tokoh idealisme memandang bahwa kurikulum itu
hendaknya berpangkal pada landasan idiil dan organisasi yang kuat. Bersumber
pada pandangan inilah kegiatan pendidikan dilakukan.

3. Aliran perennialisme,
Jaluluddin dan Idi (2011 : 106) menyatakan bahwa Di zaman modern
ini, banyak bermunculan krisis di berbagai bidang kehidupan manusia, terutama
dalam bidang pendidikan. Untuk mengembalikan keadaan krisis ini,
perennialisme memberikan jalan keluar yaitu dengan mengembalikan pada
kebudayaan masa lampau yang dianggap cukup ideal dan teruji ketangguhannya.
Untuk itu pendidikan harus lebih banyak mengarahkan perhatiannya pada
kebudayaan ideal yang telah teruji dan tangguh.
Syam (dalam Jaluluddin dan Idi : 2011 : 107) menyatakan bahwa
Perennialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses
mengembalikan keadaan sekarang. Perennialisme memberikan sumbangan yang
berpengaruh baik teori maupun praktik bagi kebudayaan dan pendidikan zaman
sekarang.
Jaluluddin dan Idi (2011 : 107) menyatakan bahwa Perennialisme
merupakan hasil pemikiran yang memberikan kemungkinan bagi seseorang
untuk bersikap tegas dan lurus. Karena itulah, perennialisme berpendapat bahwa
mencari dan menemukan arah tujuan yang jelas merupakan tugas yang utama
dari filsafat, khususnya filsafat pendidikan.
Jaluluddin dan Idi (2011 : 115) menyatakan bahwa Tujuan pendidikan
yang hendak dicapai oleh para ahli tersebut di atas adalah untuk mewujudkan
anak didik dapat hidup bahagia demi kebaikan hidupnya sendiri. Jadi, dengan
mengembangkan akalnya maka akan dapat mempertinggi kemampuan akalnya.
Dari prinsip-prinsip pendidikan perennialisme tersebut, maka dapat diketahui
bahwa perkembangan pendidikan perennialisme telah memengaruhi sistem
pendidikan modern, seperti pembagian kurikulum untuk sekolah dasar,
menengah, perguruan tinggi, dan pendidikan orang dewasa.

4. Aliran rekonstruksionalisme.
Jaluluddin dan Idi (2011 : 116) menyatakan bahwa Kata
rekonstruksionisme berasal dari bahasa Inggris rekonstruct, yang berarti
menyusun kembali. Dalam konteks filsafat pendidikan, aliran
rekonstruksionisme merupakan suatu aliran yang berusaha merombak tata
susunan lam dengan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak
modern. Aliran rekonstruksionisme pada prinsipnya sepaham dengan aliran
perrennialisme, yaitu berawal dari krisis kebudayaan modern.
Jaluluddin dan Idi (2011 : 116) menyatakan bahwa Rekonstruksionisme
berupaya mencari kesepakatan antarsesama manusia agar dapat mengatur tata
kehidupan manusia dalam suatu tatanan dan seluruh lingkungannya. Maka,
proses dan lembaga pendidikan dalam pandangan rekonstruksionisme perlu
merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan
yang baru. Untuk tujuan tersebut, diperlukan kerja sama antar umat manusia.
Jaluluddin dan Idi (2011 : 116) menyatakan bahwa Aliran
rekonstruksionisme berkeyakinan bahwa tugas penyelamatan dunia merupakan
tugas semua umat manusia. karenanya, pembinaan kembali daya intelektual dan
spritual yang sehat melalui pendidikan yang tepat akan membina kembali
manusia dengan nilai dan norma yang benar pula demi generasi sekarang dan
generasi yang akan datang, sehingga terbentuk dunia baru dalam pengawasan
umat manusia.

B. Teori Pendidikan
Berikut ini akan dijelaskan tentang pengertian teori dan pendidikan.
Setelah itu akan digabungkan pengertian teori dan pendidikan untuk membentuk
arti teori pendidikan. Berikut ini disajikan pengertian teori menurut beberapa
sumber.
Pusat Bahasa (2008 : 1444) menyatakan bahwa Teori adalah
1. Pendapat yang didasarkan pada penelitian dan penemuan, didukung
oleh data dan argumentasi.
2. Penyelidikan eksperimental yang mampu menghasilkan fakta
berdasarkan ilmu pasti, logika, metodologi, argumentasi.
Endarmoko (2009 : 660) menyatakan bahwa Teori adalah asumsi,
hipotesis, premis, presumsi, preposisi, dan spekulasi.
Runes (1963 : 317) menyatakan bahwa Ada tiga pengertian teori yaitu
1. Teori merupakan suatu hipotesis tentang segala masalah, dapat diuji, tetapi
tidak perlu diuji.
2. Teori merupakan lawan dari praktik, merupakan pengetahuan yang disusun
secara sistematis dari kesimpulan umum relatif.
3. Teori diartikan sebagai lawan dari hukum-hukum dan observasi, suatu
deduksi dari aksioma-aksioma dan teorema-teorema suatu sistem yang pasti
(tidak perlu diuji), secara relatif kurang problematis dan lebih banyak
diterima dan diyakini.
Kneller (dalam Sadulloh : 2006 : 2) menyatakan bahwa Teori memiliki dua
pengertian yaitu
1. Teori itu empiris, dalam arti sebagai suatu hasil pengujian terhadap hipotesis
dengan melalui observasi dan eksperimen. Cara berpikir yang digunakan
dalam kegiatan ini adalah metode induktif. Teori secara empiris ini sama
dengan makna teori dalam arti sains.
2. Teori dapat diperoleh melalui berpikir sistematis spekulatif, dengan metode
deduktif. Dalam hal ini teori adalah seperangkat berpikir koheren, yang
sesuai dengan teori koherensi tentang kebenaran.
Setelah sudah dijelaskan tentang teori maka sekarang akan disajikan
tentang pengertian pendidikan. Berikut ini penjelasannya tentang arti pendidikan
menurut beberapa sumber.
Ahmadi dan Uhbiyati (2003 : 70) menyatakan bahwa Pendidikan pada
hakikatnya suatu kegiatan yang secara sadar dan disengaja, serta penuh tanggung
jawab yang dilakukan oleh orang dewasa kepada anak sehingga timbul interaksi
dari keduanya agar anak tersebut mencapai kedewasaan yang dicita-citakan dan
berlangsung terus menerus.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa Pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara.
Pusat Bahasa (2008 : 326) menyatakan bahwa Pendidikan adalah proses
pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
Langeveld (dalam Salam : 2002 : 3) menyatakan bahwa Pendidikan adalah
suatu bimbingan yang diberikan oleh orang dewasa kepada anak yang belum
dewasa untuk mencapai tujuan, yaitu kedewasaan.
Danim (2010 : 2-3) menyatakan bahwa Pendidikan adalah proses
membimbing, melatih, dan memandu manusia terhindar atau keluar dari
kebodohan dan pembodohan. Pendidikan adalah metamorfosis perilaku menuju
kedewasaan sejati. Pendidikan juga dapat didefinisikan sebagai proses elevasi
yang dilakukan secara nondiskriminasi, dinamis, dan intensif menuju
kedewasaan individu, di mana prosesnya dilakukan secara kontinyu dengan sifat
yang adaptif dan nirlimit atau tiada akhir.
Hadi (2005 : 18) menyatakan bahwa Pendidikan adalah pengaruh, bantuan
atau tuntunan yang diberikan oleh orang yang bertanggung jawab kepada anak
didik.
Setelah sudah dijelaskan tentang arti teori dan pendidikan maka akan
digabung arti teori pendidikan menjadi suatu sintesis sehingga arti teori
pendidikan adalah suatu pedoman yang dapat dipakai untuk menjalankan usaha
dalam rangka mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya.
Kemudian Sadulloh (2006 : 2) menambahkan bahwa Teori pendidikan
perlu dipelajari karena yang dihadapi dalam pendidikan adalah manusia.
Berbicara tentang manusia akan menyangkut harkat, derajat, martabat, dan hak
asasinya. Perbuatan mendidik bukan suatu perbuatan sembarangan, melainkan
suatu perbuatan yang harus betul-betul didasari, dan disadari dalam rangka
membimbing manusia pada suatu tujuan yang akan dicapai.
Selanjutnya tentang teori pendidikan juga ditambahkan oleh Danim (2010 :
96) yang menyatakan bahwa Teori pendidikan berkaitan dengan cita-cita, tujuan,
dan metode pendidikan, serta sesuai dengan apa yang disebut filsafat pendidikan.
Teori ini memiliki “kesepakatan” dengan pendidikan sebagai fenomena atau
secara objektif dapat diamati, yang disebut sebagai ilmu pendidikan.
Manfaat Teori Pendidikan
Sadulloh (2006 : 2) menyatakan bahwa Pendidikan memerlukan teori,
karena teori pendidikan akan memberikan manfaat sebagai berikut
1. Teori pendidikan dapat dijadikan sebagai pedoman untuk mengetahui arah
dan tujuan yang akan dicapai.
2. Teori pendidikan berfungsi untuk mengurangi kesalahan-kesalahan dalam
praktik pendidikan. Dengan memahami teori, kita akan mengetahui mana
yang boleh dan mana yang tidak boleh dilakukan.
3. Teori pendidikan dapat dijadikan sebagai tolok ukur sampai di mana kita
telah berhasil melaksanakan tugas dalam pendidikan.

Pendekatan-Pendekatan dalam Teori Pendidikan


Pendekatan-pendekatan dalam menyusun teori pendidikan terdiri dari
pendekatan sains, pendekatan filosofi, pendekatan religi, dan pendekatan multi
disiplin.
1. Pendekatan sains
Sadulloh (2006 : 5) menyatakan bahwa Pendekatan sains terhadap
pendidikan, yaitu suatu pengkajian dengan menggunakan sains untuk
mempelajari, menelaah, dan memecahkan masalah-masalah pendidikan. Teori
pendidikan dengan pendekatan sains disebut sains pendidikan. Cara kerja yang
dipergunakan sebagaimana prinsip-prinsip dan metode kerja sains. Sains
pendidikan menghasilkan ilmu pendidikan sebagai terapan dari sains dasarnya.
Kemudian Sadulloh (2006 : 6) menyatakan bahwa Karakteristik
pendekatan sains dapat dilihat dari tiga sesi, yaitu objek pengkajian, tujuan
pengkajian, dan metode kerja pengkajian. Objek pengkajian dalam sains
pendidikan sangat terbatas, karena objeknya merupakan salah satu aspek dari
pendidikan. Tujuan pengkajian sains pendidikan adalah untuk menggambarkan
peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam pendidikan. Kemudian metode kerja
pengkajian sains dalam pendidikan, ialah menggunakan metode sains (yang lebih
dikenal dengan metode ilmiah) yaitu dengan cara induktif.

Jenis-Jenis sains pendidikan


Sadulloh (2006 : 7-8) menyatakan bahwa Sebagai hasil pendekatan sains
terhadap pendidikan, terdapat beberapa jenis sains pendidikan yang dihasilkan
diantaranya:
1. Sosiologi Pendidikan. Merupakan cabang sains pendidikan sebagai aplikasi
dari sosiologi dalam kajian pendidikan, aplikasi dari hasil-hasil penelitian
dalam sosiologi.
2. Psikologi pendidikan, merupakan cabang sains pendidikan, sebagai aplikasi
dari psikologi dalam kajian pendidikan, sangat dipengaruhi oleh
perkembangan dan hasil-hasil penelitian dalam psikologi.
3. Administrasi Pendidikan. Merupakan cabang sains pendidikan, sebagai
aplikasi dari ilmu manajemen, dipengaruhi dan bersumber dari hasil
penelitian dalam bidang manajemen.
4. Teknologi pendidikan. Merupakan cabang sains pendidikan, sebagai aplikasi
dari sains dan teknologi, sangat dipengaruhi oleh perkembangan dan hasil
penelitian dalam bidang teknologi.
5. Evaluasi pendidikan. Merupakan cabang sains pendidikan, sebagai aplikasi
dari psikologi pendidikan dan statistik.
6. Cabang-cabang lain yang termasuk sains pendidikan adalah ekonomi
pendidikan, pendidikan kependudukan, ekologi pendidikan, bimbingan dan
penyuluhan pendidikan, pengembangan kurikulum, perencanaan pendidikan,
dan evaluasi sistem pendidikan.
2. Pendekatan filosofis
Sadulloh (2006 : 8) menyatakan bahwa Pendekatan filosofis terhadap
pendidikan adalah suatu pendekatan untuk menelaah dan memecahkan masalah-
masalah pendidikan dengan menggunakan metode filsafat. Pengetahuan atau
teori pendidikan yang dihasilkan dengan pendekatan filosofi disebut filsafat
pendidikan. Cara kerja dan hasil-hasil filsafat dapat dipergunakan untuk
membantu memecahkan masalah dalam hidup dan kehidupan, di mana
pendidikan merupakan salah satu kebutuhan penting dari kehidupan manusia.

Karakteristik pendekatan filosofi


Sadulloh (2006 : 9) menyatakan bahwa Karakteristik pendekatan filosofi
dapat dilihat dari objek pengkajian, tujuan pengkajian, dan metode kerja
pengkajian. Objek pengkajian pendidikan dengan menggunakan pendekatan
filosofi, adalah semua aspek pendidikan tidak terbatas pada salah satu aspek saja.
Kemudian tujuan akhir suatu pengkajian filosofi pendidikan adalah merumuskan
apa dan bagaimana seharusnya tentang pendidikan. Selanjutnya metode
pengkajian filosofi adalah melalui kajian rasional yang mendalam tentang
pendidikan dan dengan menggunakan semua pengalaman manusia dan
kemanusiaannya.

3. Pendekatan religi
Sadulloh (2006 : 10-11) menyatakan bahwa Pendekatan religi terhadap
pendidikan, berarti bahwa suatu ajaran religi dijadikan sumber inspirasi untuk
menyusun teori atau konsep-konsep pendidikan yang dapat dijadikan landasan
untuk melaksanakan pendidikan. Ajaran religi yang berisikan kepercayaan dan
nilai-nilai dalam kehidupan, dapat dijadikan sumber dalam menentukan tujuan
pendidikan, materi pendidikan, metode, bahkan sampai pada jenis-jenis
pendidikan. Teori pendidikan dengan pendekatan religi, hanya akan diikuti oleh
kelompoknya, atau para penganutnya yang sudah menyakini dan mengimani
kebenaran ajaran religi tersebut.

4. Pendekatan multidisiplin
Sadulloh (2006 : 11-12) menyatakan bahwa Untuk menghasilkan suatu
konsep yang komprehensif dan menyeluruh dalam mempelajari pendidikan tidak
bisa hanya dengan menggunakan salah satu pendekatan atau disiplin saja. Jadi,
pendekatan yang perlu kita lakukan adalah pendekatan yang menyeluruh
(pendekatan holistik), pendekatan multidisiplin yang terpadu. Pendekatan
filosofi, pendekatan sains, pendekatan religi, dan mungkin pendekatan seni, kita
pergunakan secara terpadu tidak berdiri masing-masing secara terpisah.

Empat Teori Utama Bidang Pendidikan


Danim (2010 : 97) menyatakan bahwa Empat teori utama bidang
pendidikan yaitu teori fungsionalis, teori konflik, teori interaksionis, dan teori
rekonstruksionis.
1. Teori Fungsionalis
Danim (2010 : 97) menyatakan bahwa Teori fungsionalis berfokus pada
cara-cara pendidikan melayani kebutuhan masyarakat secara universal,
khususnya peserta didik atau siswa. Durkheim adalah tokoh fungsionalis pertama
yang melihat pendidikan dalam mewujudkan peran: penyampaian pengetahuan
dan keterampilan dasar ke generasi berikutnya. Titik tekan lain dari fungsionalis
adalah peran laten pendidikan seperti transmisi nilai-nilai inti (core values) dan
kontrol sosial. Nilai-nilai inti dalam pendidikan mencerminkan karakteristik
yang utamanya mendukung dan mendukung sistem ekonomi dan politik.
2. Teori Konflik
Danim (2010 : 99) menyatakan bahwa Teori konflik melihat tujuan
pendidikan sebagai upaya menjaga kesenjangan sosial dan melestarikan
kekuasaan orang-orang yang mendominasi masyarakat. Teori konflik melihat
sistem pendidikan sebagai mengekalkan status quo dengan cara menumpulkan
kelas bawah menjadi pekerja yang patuh.
Danim (2010 : 99) menyatakan bahwa Teori konflik memposisikan
anak dari kelas pekerja menerima posisi mereka sebagai kelas yang lebih
rendah” dari anggota masyarakat. Teori konflik menyebut peran pendidikan
dengan kurikulum tersembunyi.

3. Teori Interaksionis Simbolis


Danim (2010 : 100) menyatakan bahwa Fokus teori interaksionis simbolis
membatasi analisis pendidikan dengan secara langsung mengamati apa yang terjadi
di dalam kelas. Mereka berfokus pada bagaimana ekspektasi guru memengaruhi
kinerja, persepsi, dan sikap siswa. Rist melakukan penelitian dengan pendekatan
interaksionis simbolis dan mendapatkan hasil yaitu para siswa yang duduk lebih
dekat dengan guru menerima perhatian dan diperlakukan lebih baik. Semakin jauh
tempat duduk siswa dari gurunya, aktivitas yang dilakukan gurunya menjadi makin
lemah pula.
4. Teori Rekonstruksionis
Danim (2010 : 101) menyatakan bahwa Teori rekonstruksionis
dikemukakan oleh Count dan Brameld. Mereka kemudian membentuk
rekonstruksionis sosial sebagai reaksi terhadap realitas Perang Dunia II. Kemudian
Count mengakui bahwa penddikan adalah cara paling tepat untuk mempersiapkan
orang menciptakan tatanan sosial baru. Inilah esensi teori rekonstruksionis sosial.
Danim (2010 : 102) menyatakan bahwa Teori rekonstruksionisme sosial
juga disebut teori kritis. Teori ini merupakan pemikiran filosofis yang menekankan
pada esensi masalah sosial dan upaya menciptakan masyarakat yang lebih baik dan
demokratis di seluruh dunia. Pendidik rekonstruksionis berfokus pada kurikulum
yang menekankan reformasi sosial sebagai tujuan pendidikan. Teoretisi kritis,
seperti halnya rekonstruktionis sosial, percaya bahwa sistem harus diubah untuk
mengatasi penindasan dan memperbaiki kondisi manusia.
Danim (2010 : 103) menyatakan bahwa Dalam kerangka rekonstruksionis
sosial dan teori kritis, kurikulum berfokus pada pengalaman siswa dan mengambil
tindakan sosial terhadap masalah nyata, seperti kekerasan, kelaparan, terorisme
internasional, inflasi, dan kesenjangan sosial-ekonomi. Strategi untuk menangani
masalah-masalah kontroversial (khususnya di bidang sosial, seni, atau kerajinan),
penyelidikan, dialog, dan berbagai perspektif harus menjadi fokus. Strategi
pembelajaran harus berbasis masyarakat dan mampu membawa dunia ke dalam
kelas.

C. Praksis Pendidikan
Pusat Bahasa (2008 : 1098) menyatakan bahwa Praksis adalah praktik
(dalam bidang kehidupan dan kegiatan praktis manusia). lebih lanjut Pusat Bahasa
(2008 : 1098) menyatakan bahwa Praktik adalah pelaksanaan secara nyata apa yang
disebut dalam teori.
Bagus (2002 : 880) menyatakan bahwa Praksis adalah perbuatan, kegiatan,
tindakan, aksi, dan praktek. Kemudian beberapa pengertian lain menyatakan bahwa
Praksis biasanya mengacu pada perilaku manusia yang praktis, termasuk kegiatan
etis dan politis. Kemudian Marx menggunakan praksis untuk menunjuk pada
sintesis teori dan praktik.
Guralnik (1986 : 1060) menyatakan bahwa Praksis adalah
1. Praktek yang dibedakan dari teori, seni, ilmu dan lain sebagainya.
2. Praktek yang sudah diterapkan, yang sudah dibudayakan
3. Satu set contoh atau latihan, seperti tata bahasa (Guralnik, 1986:1060).
Crowther (1995 : 906) menyatakan bahwa Praksis adalah sebuah cara untuk
melakukan. Kemudian menurut Wikipedia, Praksis merupakan proses sebuah teori,
perencanaan, keterampilan yang diterapkan, dipraktekkan, diwujudkan atau
direalisasikan. Praksis terdiri dari tindakan melibatkan, mengaplikasikan,
melatihkan, merealisasikan dan ide-ide mempraktekkan. Pembahasan ini
merupakan topik yang diulang-ulang dalam kawasan filsafat, didiskusikan dalam
tulisan-tulisan Plato, Aristotle, Augustine, Immanuel Kant, Karl Marx, Martin
Heidegger, Hannah Arendt, Paulo Freire, Ludwig von Mises dan banyak lainnya.
Hal tersebut dimaknai dalam politik, pendidikan dan realisme keagamaan.
Dalam Yunani Kuno kata praksis terdiri dari aktivitas yang melibatkan
manusia yang bebas. Aristotle mengemukakan bahwa ada tiga teori dasar aktivitas
manusia: theoria, poiesis dan praxis. Hubungan ketiga jenis aktivitas tipe
pengetahuan dan praktik yang tujuan akhirnya kebenaran, poetical, tujuan akhir
produktifitas dan praktik, tujuan akhir seperti tindakan. Aristotle kemudian
membagi praktik pengetahuan ke dalam etnik, ekonomi dan politik. Dia juga
membedakan antara eupraxia (praksis yang baik) dan dyspraxia (praksis yang
buruk/misfortune).
Pada abad 19, sosialis Antonio Labriola yang disebut Marxisme Filsafat
Praksis. Marx menyinggung konsep ini dalam tesisnya (Feuerbach) yang
mengungkapkan bahwa “para filosofi hanya menginterpretasikan dunia dalam
berbagai cara: poinnya adalah untuk merubahnya”. Sederhananya, Marx merasa
bahwa validitas filsafat adalah bagaimana tindakan diinformasikan. Sedangkan
Georg Lukacs mengemukakan bahwa tugas organisasi politikal adalah membangun
disiplin profesional praksis politikal setiap hari, secara sadar merancang bentuk
mediasi terbaik untuk interaksi antara teori dan praktik.
Dalam The Human Conditionnya, Hannah Arendt berpendapat bahwa
filsafat Barat terlalu sering memfokuskan pada hidup yang kontemplatif dan
mengabaikan kehidupan yang aktif. Hal ini yang menyebabkan manusia banyak
kehilangan kehidupan yang relevan dari ide-ide filosofis di kehidupan ril. Arendt
menyebut praksis level paling tinggi dan paling penting dari kehidupan yang aktif.
Kemudian, dia berpendapat bahwa banyak filosof perlu terlibat dalam aktivitas
politik atau praksis setiap hari, dia melihat sebagai realisasi sesungguhnya dari
kebebasan manusia. Menurut Arendt, kapasitas kita untuk merealisasikan ide-ide,
bergulat dengan ide-ide tersebut dan melibatkan dalam praksis yang aktif, dapat
menjadikan kita sebagai manusia yang unik.
Teori aktivitas Arendt dan kemunculan kembali gagasan kuno dari praksis
merupakan salah satu kontribusi paling original pada abad dua puluh melalui
political. Selain itu, dalam menampilkan tindakan sebagai kebersamaan manusia,
Arendt mampu mengembangkan konsepsi demokrasi partisipasi yang kontras bagi
birokrat dan para elitis politik, sehingga menjadi karakterisitik zaman modern.
Praksis digunakan oleh pendidik untuk mendeskripsikan bagian yang
berulang melalui sebuah proses siklus pengalaman belajar seperti mendeskripsikan
dan dipopulerkan oleh David A, Kolb. Paulo Freire mendefenisikan praksis dalam
Pedagogy of the Oppressed sebagai refleksi dan tindakan pada dunia untuk
mengubahnya. Melalui praksis, orang tertekan bisa memperoleh kesadaran kritis
mengenai situasi mereka dan dengan kelompok mereka berjuang untuk kebebasan.
Dalam dokumentasi televisi BBC “New Order: Play at Home”, rekaman Tony
Wilson mendeskripsikan praksis sebagai “melakukan sesuatu dan kemudian
menemukan mengapa melakukan hal tersebut”. Selain itu, praksis juga digunakan
dalam sekolah pendidikan komunitas, dasar, praktik dan refleksi.
Praksis adalah kunci dalam meditasi dan spiritual, dimana penekanan
ditempatkan dalam mendapatkan pengalaman tangan pertama dari konsep dan
daerah-daerah tertentu, seperti penyatuan diri dengan Tuhan yang hanya bisa
dijelaskan melalui praksis karena ketidakmampuan dari pikiran yang terbatas untuk
memahami atau mengekspresikan yang tak terbatas. Dalam wawancara dari majalah
YES!, Matthew Fox menjelaskan bahwa kebijaksanaan adalah rasa yang senantiasa
dan melihat bahwa Tuhan itu baik, The Psalm mengatakan bahwa kebijaksanaan itu
adalah mencicipi kehidupan. Tidak seorang pun bisa melakukan itu untuk kita.
Tradisi mistik adalah sangat tradisi Sophia. Itu tentang mencicipi dan pengalaman
kepercayaan sebelum institusi atau dogma.
Dalam organisasi, praksis biasanya terdiri dari proses menempatkan
pengetahuan yang bersifat teorikal ke dalam praktek. Penggunaan strategi dan
organisasi menekankan pada kebutuhan pada proses konstan dari konsep makna
apakah bisa menjadi pembelajar dari pengalaman dalam proses membuat kerangka
ulang strategi dan model operasional
Dalam Social work, praksis adalah hubungan refleksi antara teori dan
tindakan. Hal ini menggambarkan proses interaksi kerja sosial dalam
mengembangkan teori baru dan menyempurnakan teori yang lama.
Selanjutnya Danim (2010 : 96) menyatakan bahwa Praksis pendidikan atau
unifikasi pendidikan adalah Penggabungan antara teori ilmiah dan standar ke-
Tuhanan dalam praktik kependidikan.
Langeveld dalam Danim (2010 : 96) menyatakan bahwa Teori dengan
praktik hanya untuk orang-orang jenius. Lebih lanjut Danim (2010 : 96)
menyatakan bahwa Sebaiknya pendidikan tidak dilakukan kecuali oleh orang-orang
yang mampu bertanggungjawab secara rasional, sosial, dan moral. Sebaliknya, jika
praktik pendidikan dipaksakan tanpa teori dan alasan yang memadai, hasilnya
adalah semua guru dan siswa akan merugi.
Praksis berhubungan dengan bagaimana mengaplikasikan teori ke dalam
praktiknya. Hubungan antara teori dan praktik lalu dijelaskan oleh Dalton (dalam
Danim : 2010 : 129) menyatakan bahwa Keterhubungan antara ilmu atau teori dan
seni atau praktik kependidikan juga dapat dibangun melalui kerangka kebijakan
yang mengkodifikasi pengetahuan kependidikan dan cabang ilmu lain yang dimiliki
oleh guru. Standar profesional yang menjadi persyaratan yang harus dipenuhi oleh
guru, pemahaman dimensi pedagogik dan kepribadian siswa, bagaimanapun telah
mengintegral dengan persyaratan profesionalnya.
Lebih lanjut Danim (2010 : 129) menyatakan bahwa Standar kerangka kerja
guru masih dan akan terus dibangun sesuai dengan kemajuan kontekstualnya. Studi
sistematik praktik kependidikan erat kaitannya dengan penerapan pedagogi. Untuk
membangun dan memperkuat keterhubungan itu perlu menelaah kaitan antara
pedagogi praktis dan ilmiah serta antara pedagogi dan standar profesional guru.

Masalah-Masalah dalam Praksis Pendidikan


Berbagai teori dari buku-buku teks asing banyak diadopsi, dikumandangkan
dan dipampangkan materi analisis, diskusi, seminar, lokakarya dan penataran
tentang pendidikan, namun di lapangan praktik pendidikan yang berlangsung adalah
sekedar “intruksi-intruksi dari pendidik (guru) kepada peserta didik (siswa)”.
Banyak istilah quantum learning, active learning, learning revolution, sebagai teori
dan praksis pembelajaran kepada (calon) pendidik dan pendidik. Namun yang
terjadi di lapangan pada umumnya baru sekedar “lima h”: hiasan, hafalan,
keharusan, hardikan dan kehampaan. Apa yang indah di dalam buku-buku teks itu
belum menjadi roh dan arah dalam praktik pendidikan yang seharusnya
memperkembangkan dan membesarkan peserta didik (Prayitno, 2009).
Kebanyakan guru mempraktikkan praktis saja dalam proses pembelajaran,
bukan mempraktikkan teori. Pada umumnya kata O’neill (2001 : 38) bahwa Guru
berperilaku berdasarkan kebiasaan, tatacara, atau dorongan hati (impuls) bukan
dengan melandaskan perilaku pada keyakinan-keyakinan intelektual yang matang.
Merujuk pada pendapat O’neill, pembelajaran harus berimplikasi dengan landasan
dan teori pembelajaran yang membangun kegiatan belajar itu terjadi. Apakah itu
landasan filosofis, landasan historis, landasan yuridis, landasan psikologi atau teori-
teori belajar, teori sistem dan teori komunikasi. Ketika pembelajaran berlandaskan
pada landasan dan teori pembelajaran maka pembelajaran dapat diwujudkan sesuai
dengan bakat, minat, perkembangan fisik dan psikologis siswa.
Dalam literatur barat pembahasan tentang pendidikan biasanya dimulai dari
pembahasan materi tentang human learning. Teori dan praksis tentang bagaimana
manusia belajar untuk mencapai atau menguasai sesuatu ini menjadi dasar
pemahaman tentang pendidikan yang selanjutnya dijabarkan ke dalam berbagai
pendekatan, metoda, dan teknik kegiatan belajar dan pembelajaran. Ketika cara
pandang ini diadopsi oleh “agen teori pembelajaran” di tanah air dan selanjutnya
ditransfer kepada para (calon) pendidik di lapangan (terutama guru), maka berbagai
pendekatan, metode dan teknik human learning itu dipratikkan “apa adanya”.
Praktik semacam itu sering kali mengurangi esensi ataupun asas-asas pokok yang
seharusnya mendasari kegiatan belajar yang seharusnya. Dalam hal ini terjadi salah
sambung, out of contact, antara berbagai aspek yang semestinya berkaitan dan
saling menunjang dalam proses pembelajaran; atau terjadi disorientasi antar
berbagai aspek pembelajaran. Semuanya itu mendorong terjadinya berbagai
hambatan, ketidakefektifan dan keefisienan, bahkan kecelakaan pendidikan.
Kaidah-kaidah dasar keilmuan pendidikan serta arahan praksis demi
berlangsungnya upaya pendidikan melibatkan peserta didik, pendidik, lingkungan
belajar dan proses pembelajaran. Kaidah keilmuan pendidikan beserta arahan
praksis itu dapat dimanfaatkan; pertama, menyusun rencana proses pembelajaran
beserta praktik pelaksanaannya, dan kedua, untuk menelaah apakah perencanaan,
pelaksanaan dan hasil-hasil proses pembelajaran yang telah dibuat dan/atau
dilaksanakan sesuai dengan kaidah-kaidah dan arahan praksis keilmuan pendidikan
itu. Dengan demikian, kaidah-kaidah keilmuan dan arah praksis pendidikan yang
dimaksudkan itu menjadi “titik berangkat” bagi perancangan upaya pendidikan
serta “titik tuju dan arah kembali” bagi penelusuran tentang validitas rencana dan
atau kegiatan yang akan atau telah diupayakan.
Dalam kehidupan bangsa Indonesia kearifan budaya nasional dapat diangkat
menjadi kaidah penting dalam teori, praksis dan perwujudan proses pembelajaran.
Istilah “ing ngarso sung tulodo, ing madyo bangun karso, tut wuri handayani”
Di dalam situasi pendidikan, sebagai peta konsep yang solid dalam keilmuan
pendidikan, terkandung kaidah-kaidah mendasar tentang teori untuk diturunkan
yang secara langsung memberikan arahan untuk diselenggarakannya praktik
pendidikan. Peta konsep ini dapat dipelajari dan lebih lanjut dilaksanakan dalam
wujud praktik pendidikan dengan kerangka keilmuan. Dengan peta konsep ini
praktik pendidikan dapat dirancang, dan sebaliknya praktik pendidikan dapat
dirujuk kembali kesesuaiannya terhadap kaidah-kaidah keilmuan pendidikan
(Prayitno, 2009 : 60).
Pedagogik mikro merupakan sosok keilmuan pendidikan yang dapat
dijadikan peta konsep untuk menyusun arahan praksis dan praktik pendidikan, serta
dapat digunakan sebagai acuan untuk mencek apakah rancangan dan praktik
pendidikan sesuai dengan teori-teori yang ada di dalam pedagogik mikro makro
tersebut. Pedagogik makro memperluas kajian tentang kaidah-kaidah keilmuan
pendidikan yang lebih menyentuh aspek-aspek filosofis dan pragmatik upaya
pendidikan secara menyeluruh.
Dari kilas balik tentang komponen sosok keilmuan pendidikan, hal itu
memberikan pemahaman bahwa energi pendidik bersumber dari penguasaannya
tentang ilmu pendidikan, dari segi teori dan praksisnya, semuanya itu terarah pada
praktik pendidikan. Tentang pendekatan dan teknologi, pengelolaan dan evaluasi
pelayanan pembelajaran, pendidik wajib menguasai berbagai acuan operasional
teknis berlandaskan kajian teori dan praksis, standar prosedur operasional, serta
implementasinya dalam praktik pembelajaran. Pendekatan dan teknologi,
pengelolaan dan evaluasi pelayanan itu perlu didukung oleh kaidah-kaidah
keilmuan dan teknologi seperti psikologi, sosiologi, teknologi informasi-
komunikasi sebagai “alat” untuk lebih menepatgunakan dan mendayagunakan
pelayanan pendidikan dalam bentuk proses pembelajaran.

D. Praktik Pendidikan
Berikut ini akan dijelaskan tentang arti praktik menurut Pusat Bahasa dan
Endarmoko yaitu:
Pusat Bahasa (2008 : 1098) menyatakan bahwa Praktik adalah pelaksanaan
secara nyata apa yang disebut dalam teori.
Endarmoko (2009 : 485) menyatakan bahwa Praktik adalah aksi, aplikasi,
implementasi, manifestasi, operasi, pelaksanaan, penerapan, pengamalan,
pengerjaan, dan realisasi.
Setelah sudah dijelaskan tentang praktik maka sekarang akan dijelaskan
tentang pendidikan. Berikut ini penjelasan tentang pendidikan dari beberapa
sumber:
Ahmadi dan Uhbiyati (2003 : 70) menyatakan bahwa Pendidikan pada
hakikatnya suatu kegiatan yang secara sadar dan disengaja, serta penuh tanggung
jawab yang dilakukan oleh orang dewasa kepada anak sehingga timbul interaksi
dari keduanya agar anak tersebut mencapai kedewasaan yang dicita-citakan dan
berlangsung terus menerus.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa Pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara.
Pusat Bahasa (2008 : 326) menyatakan bahwa Pendidikan adalah proses
pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
Setelah sudah disajikan tentang arti praktik dan pendidikan maka akan
digabungkan arti praktik dan pendidikan menjadi praktik pendidikan. Dari
penjelasan yang disampaikan oleh beberapa ahli di atas maka dapat diambil sintesis
tentang arti praktik pendidikan yaitu pelaksanaan secara nyata untuk menjalankan
usaha dalam rangka mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya.
Pengertian tentang praktik pendidikan juga disampaikan oleh Redja M.
(dalam Sadulloh : 2006 : 1-2) yang menyatakan bahwa Praktik pendidikan adalah
seperangkat kegiatan bersama yang bertujuan membantu pihak lain agar mengalami
perubahan tingkah laku yang diharapkan. Praktik pendidikan dapat dilihat dari tiga
aspek, yaitu
1. Aspek tujuan
Tujuan praktik pendidikan adalah membantu pihak lain mengalami
perubahan tingkah laku fundamental yang diharapkan.
2. Aspek proses kegiatan
Proses kegiatan seperangkat kegiatan sosial/bersama, usaha menciptakan
peristiwa pendidikan dan mengarahkannya, serta merupakan usaha secara
sadar atau tidak sadar melaksanakan prinsip-prinsip pendidikan.
3. Aspek dorongan (motivasi)
Dorongan atau motivasi untuk melaksanakan praktik pendidikan muncul
karena dirasakan adanya kewajiban untuk menolong orang lain.
Sadulloh, dkk., (2010 : 16) menyatakan bahwa Pendidikan dalam
pelaksanaannya berbentuk pertemuan antara pendidik dan anak didik, namun tentu
saja suatu pergaulan yang tertuju kepada tujuan pendidikan, yaitu manusia mandiri,
memahami nilai, norma-norma susila dan sekaligus mampu berperilaku sesuai
dengan nilai-nilai norma-norma tersebut.
Berdasarkan pendapat Sadulloh, dkk., maka dalam praktik pendidikan,
guru harus berusaha untuk melaksanakan tujuan pendidikan agar peserta didik
setelah berhasil dari pengajaran guru maka siswa dapat menjadi insan yang mandiri,
memahami nilai, norma-norma susila dan sekaligus mampu berperilaku sesuai
dengan nilai-nilai dalam norma-norma tersebut.
Berhubungan dengan praktik pendidikan maka Pidarta (2007 : 25)
menyatakan bahwa Teori-teori pendidikan yang dipraktikkan sekarang adalah
diambil atau bersumber dari teori-teori pendidikan negara asing, terutama Dunia
Barat yang sudah maju. Teori-teori itu diimpor, bila perlu dimodifikasi sedikit lalu
dipraktikkan.
Dari pendapat yang disampaikan oleh Pidarta maka teori-teori yang
dipelajari oleh seseorang yang terutama berasal dari negara asing harus dimodifikasi
terlebih dahulu sebelum dipraktikkan. Hal ini disebabkan dengan adanya modifikasi
terhadap teori yang ada maka setelah teori tersebut dipraktikkan maka akan
mendatangkan hasil yang bermanfaat.
Pidarta (2007 : 308-309) menyatakan bahwa Perilaku pendidik yang bisa
dipilih satu atau beberapa di antaranya ketika melaksanakan pendidikan di lapangan
adalah
a. Menjadi mitra peserta didik.
b. Melaksanakan disiplin yang permisif.
c. Memberi kebebasan dalam mengaktualisasi diri.
d. Mengembangkan cita-cita riil peserta didik.
e. Melayani pengembangan bakat.
f. Berdialog agar peserta didik berpikir kritis.
g. Menghargai agama dalam dunia modern yang penuh dengan rasionalitas.
h. Melakukan dialektika nilai budaya lama dengan yang modern dengan
peserta didik.
i. Mempelajari dan ikut memecahkan masalah-masalah masyarakat dalam
proses pendidikan.
j. Mengantisipasi perubahan lingkungan dan masyarakat dalam proses
pendidikan.
k. Memberi kesempatan kreatif.
l. Menggunakan metode penemuan, pemecahan masalah, pembuktian, dan
eksperimen.
m. Membiasakan peserta didik memproduksi barang-barang nyata.
n. Membina perilaku sehari-hari agar positif.
Hallam dan Ireson (dalam Danim : 2010 : 129) menyatakan bahwa Dalam
praktik pendidikan guru perlu mengembangkan pendekatan mereka sendiri untuk
praktik kependidikan dengan memperhatikan saran-saran berikut
1. Pertimbangan tujuan pendidikan dan nilai-nilai yang mendukung
pengajaran.
2. Pengetahuan tentang teori belajar.
3. Pengetahuan tentang konsep-konsep yang berbeda dari mengajar.
4. Pengetahuan tentang model pengajaran dan pembelajaran dan interaksi
dinamis karakteristik lingkungan belajar, tuntutan tugas, proses pengajaran
dan pembelajaran, dan berbagai jenis pembelajaran.
5. Memahami bagaimana pedagogi dapat dioperasionalkan di dalam kelas.
6. Pengetahuan dan keterampilan untuk mengevaluasi praktik, penelitian, dan
teori yang berkaitan dengan pendidikan.
Danim (2010 : 130) menyatakan bahwa Masing-masing faktor diduga
berinterelasi satu dengan lainnya. Kemampuan dan keterampilan praktis di bidang
kependidikan yang bersinergi dengan penguasaan standar profesional akan
memunculkan penampilan guru sejati. Kemudian Hallam dan Ireson (dalam
Danim : 2010 : 130) menyatakan bahwa Yang perlu diprioritaskan menjadi
perhatian adalah kebutuhan mendesak untuk bergerak ke arah ini yaitu studi
sistematis dan penerapan ilmu pendidikan. Ini berarti, bahwa penelitian
kependidikan harus menjadi aturan emas bagi pengambil keputusan.
Praktik Pendidikan Harus Sesuai dengan Fungsi Pendidikan
Untuk dapat melaksanakan praktik pendidikan maka pendidik harus
mengetahui tentang fungsi pendidikan. Berikut ini akan disajikan fungsi pendidikan
dari berbagai sumber.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.
Ihsan (1996 : 11) menyatakan bahwa Fungsi pendidikan dalam arti mikro
(sempit) ialah membantu (secara sadar) perkembangan jasmani dan rohani peserta
didik. Fungsi pendidikan secara makro (luas) adalah sebagai alat :
a. Pengembangan pribadi
b. Pengembangan warga negara
c. Pengembangan kebudayaan
d. Pengembangan bangsa.
Danim (2010 : 45-46) menyatakan bahwa Fungsi pendidikan adalah
membangun manusia yang beriman, cerdas, kompetitif, dan bermartabat. Beriman,
mengandung makna bahwa manusia mengakui adanya eksistensi Tuhan dan
mengikuti ajaran dan menjauhi larangannya. Kecerdasan spritual yang dimiliki
siswa tercermin dari keimanan, ketakwaan, akhlak mulia, budi pekerti luhur, altruis
(semangat membantu orang lain secara cuma-cuma), motivasi tinggi, optimis, dan
kepribadian unggul. Kecerdasan emosional dan spritual tercermin dari sensivitas
dan apresiasi akan kehalusan dan keindahan seni budaya; beraktualisasi diri melalui
interaksi sosial yang: membina dan memupuk hubungan timbal balik, demokratis,
empatik, simpatik, menjunjung tinggi HAM, ceria dan percaya diri, menghargai
kebhinekaan, berwawasan kebangsaan, serta kesadaran akan hak dan kewajiban.
Kecerdasan intelektual tercermin dari kompetensi dan kemandirian dalam bidang
IPTEKS, serta ihsan intelektual yang kritis, kreatif, dan imajinatif. Cerdas secara
kinestetik berkaitan dengan sosok pribadi sebagai insan yang sehat, bugar, berdaya
tahan, sigap, terampil, dan trengginas atau cekatan, serta insan adiraga.
Danim (2010 : 46) menyatakan bahwa Kemampuan berkompetisi
tercermin dari kepribadian unggul dan gandrung keunggulan, bersemangat juang
tinggi, mandiri, dan pantang menyerah, pembangun dan pembina jejaring,
bersahabat dengan perubahan, inovatif dan menjadi agen perubahan, produktif dan
sadar mutu, berorientasi global, dan pembelajar sepanjang hayat. Bermartabat
mengandung makna memiliki harga diri, jati diri, dan integritas sebagai bangsa.
Berdasarkan beberapa sumber yang menjelaskan tentang fungsi pendidikan
maka untuk melaksanakan praktik pendidikan yang sesuai dengan fungsi
pendidikan maka pendidik harus dapat mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Jika pendidik dapat melaksanakan apa yang tertulis dalam fungsi
pendidikan maka peserta didik akan dapat berhasil di sekolah. Peserta didik yang
berhasil dalam proses belajar di sekolah maka akan menjadi manusia yang baik
yang mempunyai iman dan takwa kepada Tuhan dan memiliki kepribadian yang
baik. Jika hal tersebut terjadi maka pendidikan yang telah dilaksanakan di Indonesia
akan maju dan berkembang ke arah yang baik.
BAB III
Penutup

A. Kesimpulan
Kesimpulan dalam makalah ini adalah
1. Filsafat pendidikan adalah ilmu yang menerapkan konsep filsafat dalam
bidang pendidikan yang berguna untuk menyelesaikan persoalan yang
dihadapi oleh orang-orang yang bekerja dalam bidang pendidikan seperti
pendidik dan tenaga kependidikan.
2. Teori pendidikan adalah suatu pedoman yang dapat dipakai untuk
menjalankan usaha dalam rangka mewujudkan suasana belajar dan
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya.
3. Praksis pendidikan adalah penggabungan antara teori dan praktik dalam
pendidikan. Dengan pengabungan tersebut maka hasil pelaksanaan
pendidikan akan lebih berkualitas.
4. Praktik pendidikan yaitu pelaksanaan secara nyata untuk menjalankan usaha
dalam rangka mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya.

B. Saran
Saran yang dapat saya berikan dalam makalah ini adalah
1. Pendidik dan tenaga kependidikan harus mempelajari tentang filsafat
pendidikan.
2. Guru harus mempelajari tentang teori pendidikan dengan baik.
3. Guru harus memahami tentang praksis pendidikan.
4. Guru harus melaksanakan praktik pendidikan.
Daftar Bacaan

Ahmadi, Abu dan Nur Uhbiyati. 2003. Ilmu Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Al-Syaibani, Omar Muhammad al-Toumy. 1979. Filsafat Pendidikan Islam. Alih


Bahasa Hasan Langgulung. Jakarta : Bulan Bintang.

Arifin, Muzayyin. 1996. Filsafat Pendidikan Islam. Edisi Kelima. Jakarta : Bina
Aksara.

Bagus, Lorens. 2002. Kamus Filsafat. Edisi Ketiga. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.

Barnadib, Sutari Imam. 1994. Filsafat Pendidikan Sistem dan Metode. Yogyakarta :
Andi Offset.

Crowther, Jonathan. 1995. Oxford; advanced learner’s Dictionary. New York:


Oxford University.

Danim, Sudarwan. 2010. Pengantar Kependidikan. Cetakan Pertama. Bandung :


CV. Alfabeta.

Endarmoko, Eko. 2009. Tesaurus Bahasa Indonesia. Cetakan Ketiga. Jakarta: PT


Gramedia Pustaka Utama.

Guralnik, David B. 1986. Webmaster’s New World Dictionary. New York:


Simon&Schuster, Inc.

Hadi, A. Soedomo. 2005. Pendidikan : Suatu Pengantar. Surakarta : Lembaga


Pengembangan Pendidikan UNS dan UPT Penerbitan dan Percetakan UNS.

Jalaluddin dan Abdullah Idi. 2012. Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat, dan
Pendidikan. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Komar, Oong. 2006. Filsafat Pendidikan Nonformal. Bandung : Pustaka Setia.

Kuswana, Wowo Sunaryo. 2013. Filsafat: Pendidikan Teknologi, Vokasi, dan


Kejuruan. Cetakan Pertama. Bandung: Alfabeta.

Ihsan, Fuad. 1996. Dasar-Dasar Kependidikan. Jakarta : PT Rineka Cipta.

Mulyasa, E. 2013. Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013. Bandung :


PT. Remaja Rosdakarya.

O’neill, William F. 2001. Ideologi-ideologi Pendidikan. Terj: Omi Intan Naomi.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pidarta, Made. 2007. Landasan Kependidikan. Cetakan Kedua. Jakarta: Rineka
Cipta.

Prayitno. 2009. Dasar Teori dan Praksis Pendidikan. Jakarta: Grasindo.

Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Keempat. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama.

Runes, Dagobert D. 1963. Dictionary of Philosophy. New Jersey : Litlefield Adams


& Co Ltd.

Sadulloh, Uyoh. 2006. Pengantar Filsafat Pendidikan. Cetakan Ketiga. Bandung:


Alfabeta.

Sadulloh, Uyoh, dkk. 2010. Pedagogik (Ilmu Mendidik). Cetakan Kesatu. Bandung:
Alfabeta.

Salam, Burhanuddin. 2002. Pengantar Pedagogik : Dasar-Dasar Ilmu Mendidik.


Jakarta : PT. Rineka Cipta.

Usiono. 2006. Pengantar Filsafat Pendidikan. Jakarta : Hijri Pustaka Utama.

Zuhairini. 1991. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bina Aksara.

Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Wikipedia.com. 2013. Praxis. Diakses 6 November 2013

Anda mungkin juga menyukai