Anda di halaman 1dari 40

Ringkasan

A. Filsafat Marxisme
1. Analisis Filosofis
Identitas pemikirannya masih terdapat dalam corak pemikiran yang dikenal dengan
Marxisme, yakni suatu paham sosialis dalam lingkup ekonomi dan politik yang didasarkan
pada ide Karl Marx & Friedrich Engels. Menurutnya, praktik ekonomi dan politik yang terjadi
dalam realitas sosial ini masih tidak bisa lepas dari kepentingan politik pemilik modal atau
mereka yang berkuasa. Tentu hal ini semakin menegaskan bahwa perbedaan kelas masih
rentan terjadi antara kaum yang berkuasa (pemilik modal / yang dalam pandangan Marx
terkenal dengan kaum borjuis) dan kaum proletar. Dalam struktur ekonomi, kaum borjuis
mengarah pada seseorang atau sekumpulan individu yang memiliki modal melebihi jumlah
yang dimiliki kaum masyarakat sipil (masyarakat biasa). Kekuasaan yang dimilikinya lantas
menjadi modal dalam menyudutkan atau menindas mereka yang masih berada di bawah
kelasnya. Sedangkan kaum proletar merupakan sebutan yang ditujukan kepada individu atau
sekelompok individu miskin, tidak berdaya, dan selalu menjadi korban atas ketidakadilan yang
dilakukan oleh kaum borjuis.

Marx memandang bahwa struktur sosial yang terjadi bukan dilandaskan atas dasar
rasa sosialisme (kemanusiaan), rasa kemanusiaan yang harusnya diterapkan sudah tergusur
oleh kepentingan kapitalisme yang secara implisit memberikan dampak negatif dalam rasa
sosial antar manusia. Kapitalisme tidak hanya menimbulkan ketidakadilan (khususnya dalam
ranah ekonomi), tetapi sistem tersebut juga dapat merenggut hakekat kemanusiaan yang
seharusnya dijaga satu sama lain. Pemikiran Marx masih mendominasi struktur
ekonomi politik, masih berkaitan erat dengan pola hubungan antara pemilik modal dan
kaum pekerja. Menurutnya, antara pemilik modal dan kaum pekerja masih dibatasi oleh jurang
sistem yang normatif dan mengekang mereka (kaum pekerja) dalam praktik pekerjaannya
yang tunduk kepada pemilik modal. Artinya, mereka bekerja bukan lagi didasari atas rasa
minat dan kesenangan terhadap pekerjaan yang ditekuninya, melainkan mereka rela
mengorbankan keringatnya hanya untuk mendapatkan upah untuk bisa hidup. Di samping itu,
kaum pemilik modal tidak peduli terhadap seberapa keras pekerjaan yang dilakukan kaum
proletar, yang ada di pikirannya hanya keuntungan pribadi.

2. Analisis Teori
1
Konsep awal yang paling mendasar menurut karl marx adalah segala perubahan yang
terjadi dalam sosial masyarakat disebabkan oleh struktur ekonomi pada sosial masyarakat
tersebut. Sebuah ekonomi yang unggul dalam masyarakat akan membentuk dan mewarnai
seluruh sosial masyarakat.

Ketika Marx, mempresentasikan teori ini, dia hidup dalam masa Revolusi post-
Industrialisasi. disitu terdapat sosialisasi industri yang tampak jelas yaitu adanya pergolakan
dan pertentangan antar kalangan kelas bawah yang muncul di lingkungan masyarakat tersebut.
Orang-orang kelas bawah (the lower class) di masyarakat menginginkan posisi orang-orang
kelas atas (the upper class). Sedangkan golongan kelas atas menginginkan posisi yang lebih
tinggi lagi berpacu pada pendapatan dan hasil yang lebih tinggi pula.

Marx menentang adanya sistem class struggle yang telah menjamur di masyarakat, dia
menginginkan terbentuknya masyarakat yang tidak harus saling bertentangan diantara tingkatan
yang ada dalam masyarakat tersebut. Marx lebih fokus dan menekankan pada titik sebab
terjadinya penderitaan masyarakat terhadap pembagian tingkatan dan kelas sosial, sedangkan
untuk meminimalis tingkatan sosial dan mengeksploitasi antara manusia dengan manusia
dibutuhkan sebuah pemikiran yang logis dan sistematis demi terwujudnya sebuah perubahan
dalam sosial.

Gagasan dan pemikiran Marx yang paling utama adalah harus mampu memahami asal
dasar dan alasan dalam sosial, mampu mengeleminasi serta dapat mengaplikasikannya pada
ilmu pengetahuan untuk menyerukan classless society sebagai solusi dari class struggle yang
ada dalam masyarakat.

3. Analisis Praksis
Marxisme menjelaskan bahwa ide-ide yang berkuasa adalah ide-idenya kelas yang
berkuasa. Kelas penguasa dan pemilik kapital mengontrol kelas pekerja tidak hanya melalui
kekuatan langsung yang konfrontatif, tetapi juga melalui pembentukan ide-ide. Ide-ide yang
diajarkan lewat institusi-institusi pendidikan membenarkan posisi dominan kelas yang
berkuasa, dan mengarahkan seluruh proses pendidikan ke dalam proses kapital.

Pendidikan yang telah dibangun oleh negara adalah kelanjutan dari sifat opresif
kapitalisme. Pendidikan dipaksa untuk melanggengkan ide-ide kelas yang berkuasa. Pelajaran
sejarah yang pernah diajarkan di sekolah-sekolah dan kampus-kampus di era Orde Baru (Orba),

2
misalnya, adalah pelajaran sejarah yang menyokong “kebenaran” rejim Orba. Pelajaran
ekonomi, politik, teknologi, dsb., dari jaman lalu hingga sekarang, adalah pelajaran yang
diorientasikan untuk mendukung aktivitas produksi yang dikendalikanoleh kelas yang
berkuasa. Dan hasilnya, dalam pandangan Marxis, kurikulum dan sistem pendidikan akan terus
fokus pada nilai-nilai yang melegitimasi eksistensi dan praksis kerja kelas tersebut.

Institusi pendidikan adalah bagian dari aparatus penindas Negara yang berbentuk non-
fisik, yakni represi ideologis. Dan lebih jauh, institusi pendidikan tidak hanya berperan untuk
menyebarkan ideologi kelas yang berkuasa dengan membenarkan dan melegitimasi sistem
kapitalis. Institusi pendidikan juga memproduksi sikap (attitude) dan tingkah laku (behavior);
mempersiapkan para peserta didik—mulai dari SD hingga universitas—agar kelak siap menjadi
pekerja-pekerja di industri-industri kapitalis dan mengajarkan kepada mereka agar menerima
dan taat pada praktek eksploitasi; menyiapkan sebagian dari lulusan perguruan tinggi untuk
menjadi agen eksploitasi dan represi: menjadi manajer, administrator, politisi; mengajari
mereka bagaimana mempergunakan keahlian dan daya kerjanya sebagai agen dari kelas yang
berkuasa.

Tetapi di dalam usahanya untuk menindas kelas buruh, kaum kapitalis juga menyiapkan
penggali kuburnya sendiri. Karena memerlukan tenaga kerja terampil seiring dengan majunya
kekuatan produksi kapitalisme, maka mereka harus membangun institusi-institusi pendidikan.
Mereka juga harus melibatkan kaum buruh dalam politik, kendati politik borjuasi yang sangat
terbatas, dan ini memberikan pendidikan politik kepada kaum buruh. Demikian dipaparkan
Marx dan Engels dalam Manifesto Komunis:

“Di dalam segala perjuangan ini borjuasi merasa terpaksa berseru kepada proletariat,
meminta bantuannya, dan dengan begitu menarik proletariat ke dalam gelanggang politik. Oleh
karena itu, borjuasi itu sendiri membekali proletariat dengan elemen-elemennya sendiri dalam
pendidikan umum dan politik, dengan perkataan lain, ia melengkapi proletariat itu dengan
senjata-senjata untuk melawan borjuasi.” (Marx dan Engels, Manifesto Komunis)

Marx dan Engels menganggap, di bawah rejim borjuis, seluruh aktivitas pendidikan
diorientasikan untuk  mendukung kelas yang berkuasa. Namun, lebih jauh, Marx dan Engels
tidak hanya mengutuk sistem pendidikan yang telah ada. Marx dan Engels memberikan solusi
Komunis, yakni mengganti pendidikan yang bercorak borjuis dengan pendidikan yang bercorak
Komunis.  
3
“Kaum Komunis tidak menciptakan campur tangan masyarakat dalam pendidikan;
mereka hanya berusaha untuk mengubah watak campur tangan itu, dan untuk menyelamatkan
pendidikan dari pengaruh kelas yang berkuasa.” (Marx dan Engels, Manifesto Komunis)

4. Analisis Praktik
Dalam perspektif Marx, ranah pendidikan sangat rentan dijadikan sebagai ladang
kapitalisme dalam memperoleh keuntungan pribadi para pemilik modal atau oleh mereka yang
berkuasa. Sebab lembaga pendidikan masih belum memperhatikan kualitas dan tujuan
pendidikan, para aktor di dalamnya masih mementingkan keuntungan pribadi. Oleh
karena itu Marx menawarkan dasar filosofis “tidak ada perbedaan kelas” dan “sama rata
sama rasa” di dalam dunia pendidikan. Kedua dasar filosofis tersebut menyatakan bahwa
dalam segala proses pendidikan tidak ada jurang yang memisahkan antara pendidik dan peserta
didik. Pendidik yang dianggap disini mereka yang terdiri dari kepala sekolah dan jajaran guru,
sedangkan peserta didik dikhususkan pada para siswa-siswi/mahasiswa-mahasiswi yang belajar
di lembaga pendidikan. Menurutnya, pendidik dilarang merasa bahwa dirinya berada diatas
para peserta didik sehingga melegalkan segala cara dalam memperlakukan peserta didik
secara tidak manusiawi. Mereka seharusnya dapat menciptakan pola pendidikan yang
memandang bahwa peserta didik diajak untuk membuka realitas kesadaran terkait keunikan
pada masing-masing individu dan tidak menjadikan peserta didik sebagai sumber dalam
memperoleh keuntungan pribadi.

Peran peserta didik menurut Marx harus memiliki kesadaran yang dimulai dari
kesadaran pribadi menuju kesadaran kolektik para peserta didik. Sebab, kesadaran
kolektif tersebut dapat membawa mereka ke dalam pola pendidikan yang memanusiakan.
Mereka harus berani mengkritisi segala kebijakan pendidikan yang merugikan,
khususnya sekolah tempat mereka belajar. Mereka juga berhak untuk berpartisipasi dalam
pendidikan dengan cara turut serta dalam memformulasikan proses belajar di kelas.
Artinya, mereka berhak menyuarakan sesuatu yang mereka inginkan dalam proses berjalannya
pembelajaran di kelas.

Berdasarkan sila kelima dari teks pancasila, tipikal pendidikan sosialis seperti yang
ditawarkan oleh Marx sejatinya sangat cocok diterapkan di Indonesia ini. Sebab secara
implisit, penerapan tersebut menjadi impian para tokoh bangsa dalam menciptakan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (Soyomukti, 2017: 259). Hal itu dimulai dari

4
kebijakan pendidikan serta kurikulum yang diterapkan dalam proses pendidikan yang
seharusnya direkonstruksi ulang agar menciptakan pendidikan demokratis dan berkeadilan.
Kurikulum menjadi pembahasan yang sangat sensitif dalam proses pendidikan, namun dalam
perspektif Marx, proses pembentukan kurikulum harus melibatkan peran peserta didik guna
menerapkan metode dialogis dan kritik konstruktif dalam menciptakan suatu revolusi dalam
pendidikan.

B. Filsafat Liberalisme
1. Analisis Filosofis
Sebagai entitas budaya pendidikan dengan sendirinya tidak luput dari keharusan
mengikuti madzhab berfikir liberal, yang berpijak pada sekulerisme, individualisme dan
pragmatisme. Pengaruh tersebut dalam pendidikan di Barat tampak pada mengemukanya
paradigma pendidikan progresifisme, yang memandang setiap individu sebagai pihak yang paling
tahu yang terbaik bagi dirinya sendiri. Sekolah ataupun guru tidak berhak menentukan tata
nilai yang harus dan tidak semestinya bagi siswa-siswanya.

Sekulerisme, dalam arti pemisahan agama dari negara menjadikan masalah nilai,
termasuk nilai tradisi dan keagamaan bergeser menjadi urusan individu. Oleh karenanya.
Individualisme sebenarnya juga tercermin pada otonomi individu untuk menentukan perlu
tidaknya agama dan kepercayaan tertentu. Tidak hanya itu, tata nilai yang sebelumnya
bersifat normatif, berpijak pada nilai-nilai eskatologis tergeser ke arah nilai-nilai profan yang
ditentukan oleh manusia sendiri. Pendidikan semakin jauh melepaskan tanggungjawabnya
terhadap kelangsungan tata nilai keagamaan dan tradisi, dikarenakan setiap individu diberi
kesempatan untuk menentukan tata nilai bagi dirinya sendiri.

Kecenderungan ini paling tampak jelas di Amerika yang secara ekstrem


mengembangkan budaya liberal, the liberal road to culture. Pendidikan diarahkan sebagai
proses hidup yang fleksibel, tidak kaku, tidak menolak perubahan, dan tidak terikat oleh
doktrin tertentu. Pandangan progresifisme memberi jalan lapang bagi rasa keingintahuan
(curiosity), keharusan akan toleransi dan pikiran terbuka (open-minded). Dalam praktiknya
progresifisme pendidikan menolak otoriterisme dan absolutisme dalam segala bentuk, termasuk
yang didasarkan atas agama, politik, etika maupun paradigma epistemologi tertentu.

5
Sebaliknya, progresifisme pendidikan memberikan kepercayaan penuh terhadap
kemampuan alamiah manusia. Pandangan proresifisme pendidikan percaya bahwa manusia
mampu memahami, menguasai serta mengatasi alam, tanpa harus bersandar pada realitas adi-
kodrati. Untuk itu, dimensi moralitas pendidikan bukan diarahkan dalam rangka
pengabdian kepada Tuhan atau hal-hal yang berdimensi eskatologis. Moralitas pendidikan
lebih ditekankan pada kepentingan manusia sebagai individu. Hal ini selaras dengan
berkembangnya pola pikir pragmatis-utilitarianis Amerika sebagaimana dikonstruksikan
Sanders Piers ataupun John Stuart Mill.

Implikasi pandangan ini terhadap pendidikan tentu sangat luas, mulai dari segi tujuan
pendidikan, bahan atau materi yang harus diajar- kan, metode dan pendekatan pembelajaran
serta bagaimana proses pendidikan harus dievaluasi. Singkatnya, pandangan ini mendasari
seluruh aspek dalam penentuan kurikulum pendidikan sebagai implikasi operasionalnya.

Tujuan pendidikan tidak lagi dapat ditekankan pada kepentingan penyelenggara dalam
menebarkan misinya di tengah masyarakat. Sebaliknya, pendidikan dituntut
mempertimbangkan posisi dirinya sebagai fasilitator masyarakat dalam mencapai tujuan dan
memenuhi kebutuhan masyarakat untuk memperkembangkan diri. Pendidikan dituntut
memenuhi “logika pasar”, dengan pertanyaan apa yang dibutuh- kan pasar, dan bukan apa yang
hendak ditebar di tengah masyarakat. Apa yang hendak diberikan kepada masyarakat (siswa)
bukan terletak pada kebutuhan lembaga untuk menyuguhkannya Artinya, materi pe- lajaran
dalam lembaga pendidikan yang mendasarkan diri pada progresifisme harus disesuaikan
dengan kebutuhan masyarakat. Kalaupun sebuah lembaga masih mengemban misi tertentu, hal
itu hanya dapat diporsikan dalam konteks kurikulum tersembunyi (hiden curriculum).

Orientasi pendidikan yang terarah pada otonomi mental indi- vidual menjadikan
metode pengajaran progresifisme pendidikan menuntut penghargaan penuh atas otoritas
individual siswa. Siswa merupan subyek utama dalam belajar, di mana guru hanya
bertindaksebagai fasilitator dan motivator saja. Guru tidak memiliki otoritas untuk mendiktekan
sesuatu, terlebih dalam hal-hal krusial menyangkut nilai. Proses belajar yang demokratis
menjadi elemen penting sebagai strategi pembelajaran, karena pembelajaran model ini
menuntut penekanan pada kemampuan problem solving dibanding pemanfaatan otak sebagai
penyimpan informasi, hafalan.

6
Seiring menguatnya paradigma liberalis-kapitalis, pendidikan yang semula menjadi wahana
pewarisan budaya bergeser menjadi agen kapital. Pendidikan secara simultan beralih posisi
sebagai penopang industri. Keberadaan industri seakan menjadi jalan akhir bagi proses pendidikan
dengan arah, target serta reward yang secara material semakin kongkrit. Situasi ini
menempatkan keterkaitan antara pendidikan dan dunia keilmuan pada umumnya
menemukan sinergi yang kuat dengan kebutuhan akan peningkatan dinamika kapital.
Situasi ini menjadikan dunia pendidikan dapat memperkembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang sebagian menjadi komoditas ekonomi. Di sisi lain, kuatnya modal menstimulasi
siswa, pendidik dan para ilmuwan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Dalam praktinya, memang tidak semua bidang ilmu pengetahuan dan teknologi terkait
langsung dengan komoditas ekonomi. Namun demikian, konstelasi kemanusiaan yang
semakin kompleks dengan dampak-dampak sosial dan politik yang luas telah mengharuskan
industri perlu mengendalikan serta mengarahkan dinamika sosial dan politik dalam rangka
menunjang dinamika perputaran kapital. Kebutuhan akan perlindungan hukum yang baik bagi
setiap kegiatan usaha memerlu- kan ahli di bidang hukum; kebutuhan akan dukungan kebijakan
politik menjadikan ilmu politik tidak dapat diabaikan dalam perikehidupan sosial; dan
demikian halnya dengan aspek-aspek sosial dan humanitis lainnya. Oleh karenanya, ilmu-ilmu
humaniora juga berkembang pesat di Barat di samping ilmu-ilmu eksakta dan rekayasa
teknologi.

Privatisasi sebagai salah satu ciri utama liberalisasi menjadi trend sosial Barat,
termasuk dalam hal pengelolaan lembaga pendidikan. Pelimpahan tanggung jawab hidup
pada otonomi mental individu menjadikan pendidikan juga berkembang pada kapitalisasi.
Kualitas pendidikan sangat ditentukan kekuatan modal penyelenggara maupun masyarakat
yang memanfaatkannya. Nilai-nilai pengabdian yang pada umumnya melekat pada dunia
pendidikan meningkat kepada kontrak sosial. Di satu sisi, hal ini memberi peluang
meningkatnya daya saing lembaga maupun mutu keluarannya, namun di sisi lain, pendidikan
sebagaimana distribusi kapital lebih banyak dapat dinikmati mereka yang memiliki kesiapan
materi dibanding sebaliknya.

2. Analisis Teori
Paham liberalisme merupakan salah satu dari berbagai teori yang ada di studi hubungan
internasional. Paham ini sangat bertolak belakang dengan teori realisme yang sudah menjadi

7
pembahasan sebelumnya. Jika realisme menganggap manusia sebagai makhluk yang jahat karena
keegoisannya terhadap kekuasaan, maka liberalisme sebaliknya mengambil pandangan positif
terhadap sifat manusia. Kaum liberal memiliki keyakinan besar terhadap akal pikiran manusia
dan mereka yakin bahwa prinsip - prinsip rasional dapat dipakai pada masalah - masalah
internasional (Jackson dan Sorensen 2009, 141). Setiap manusia diyakini akan mementingkan
dirinya sendiri dalam segala hal dan paham ini sadar akan sifat manusia seperti itu, namun
mereka yakin bahwa dengan manusia menahan diri akan keegoisannya dan melakukan
perundingan, kerjasama, semua masalah akan terselesaikan dengan hasil yang merata dan
mendapatkan manfaat besar bagi setiap orang. Menurut Dugis (2013) memandang sebuah negara
sebagai sifat manusia, sehingga suatu negara harus menahan diri kemudian memungkinkan untuk
terlibat dalam perundingan serta kerjasama.
Menurut kaum realis perang tidak akan terhindarkan sekalipun ingin menciptakan
perdamaian dunia harus melalui perang, beda halnya dengan liberalis yang menganggap perang
akan terhindarkan ketika manusia menggunakan akal pikiran dan rasionalitasnya dalam
memecahkan masalah doomestik maupun internasional. Asumsi dasar yang dimiliki dari paham
liberalisme yaitu keyakinan terhadap kemajuan. Proses modernisasi merupakan revolusi
intelektual kaum liberal dan hal ini adalah keyakinan kaum liberal akan kemajuan setiap individu.
Karena, perhatian dasar liberalisme merupakan kesenangan individu itu sendiri. Dengan adanya
modernisasi mampu memperluas jangkauan kerjasama lintas batas internasional. Paham
liberalisme secara garis besar dibagi menjadi empat aliran utama yang memberikan kontribusinya
pada aspek – aspek penting dalam hubungan internasional
Kaum liberal sosiologis memiliki pemikiran bahwa hubungan antar manusia lebih
kooperatif daripada hubungan antar pemerintah nasional. Sehingga perdamaian lebih mudah
terwujud. Karena kaum ini berpikir hubungan antar manusia lebih baik maka adanya hubungan
transnasional. Menurut argumen Jackson dan Sorensen (2009), hubungan transnasional yaitu
hubungan antar masyarakat, kelompok – kelompok, dan organisasi – organisasi yang berasal dari
negara yang berbeda. Sehingga dengan kata lain, semakin kecil kapasitas keterlibatan antar
pemerintah sehingga semakin banyak hubungan antar bangsa yang dapat terwujud. Menurut
pandangan Rosenau (1992) seperti yang dikutip oleh Jackson dan Sorensen (2009), adanya peran
individu dalam politik global sangatlah penting. Dapat dijadikan garis besar bahwa penstudi
Hubungan Internasional tidak hanya mempelajari hubungan antar pemerintah nasional saja tetapi
hubungan antar individu serta kelompok juga turut menjadi kajian penstudi Hubungan

8
Internasional. Hubungan kesalingketergantungan antara masyarakat menjadi satu oleh adanya
kooperatif dibanding dengan hubungan antar negara.
Terdapat hubungan antara tingkat interdependensi dengan hubungan transnasional
sehingga mencermikan adanya proses modernisasi. Sejarah sering mengatakan bahwa dengan
menggunakan kekuatan militer serta peluasan wilayah dijadikan alat untuk mendapatkan
kekuasaan. Namun setelah berakhirnya perang, kekuatan militer tidaklah lagi dijadikan alat
mencari kekuasaan. Sebagai contoh negara Jepang dan Jerman berhasil memenangkan perang
karena mereka merupakan negara dagang sehingga ekonomi dijadikan prioritas sebagai alat
kekuasaan.
Dalam liberalisme terdapat beberapa prinsip dasar yang utama yaitu kebebasan,
individualisme, universal dan  kesetaraan, serta pluralisme.
Kebebasan
Liberalisme didefiniskan sebagai isi prinsip-prinsip moral dalam menggunakan kekuasaan
Negara yang sah. Melalui definisi ini, Negara dikatakan liberal hanya jika Negara tersebut
mewajibkan kebebasan yang seluas-luasnya bagi warga negaranya. Pembatasan yang tepat dari
lingkup kebebasan individu akan berbeda antara teori yang satu dengan teori yang lainnya.
Namun, dalam pandangan liberal, kebebasan ini mencakup kebebasan beragama, kebebasan
berbicara, kebebasan berserikat dan berkumpul, hak untuk memilih pasangan, kebebasan
memilih pekerjaan, dan lain sebagainya.
Universal dan kesetaraan
Prinsip selanjutnya adalah kesetaraan yang terkait dengan tidak melakukan diskriminasi
pada kelompok tertentu. Dalam pandangan liberal, Negara wajib untuk tidak melakukan
diskriminasi  terhadap individu berdasarkan jenis kelamin, warna kulit, pandangan politik,
agama, dan lain-lain. Liberalisme juga seringkali dikaitkan dengan hak yang sama bagi setiap
warga Negara untuk berpartisipasi secara demokratis dalam kekuasaan legislatif dan eksekutif.
Individualisme
Liberalisme memandang individu memiliki hak dasar sebagai manusia yang tidak dapat
diganggu gugat. Dalam pandangan liberalisme klasik, Negara tidak berhak untuk melanggar hak-
hak tersebut dan Negara harus mengakomodasi hak-hak tersebut. Hak seorang individu dibatasi
oleh hak individu lainnya. Kewajiban Negara adalah melindungi setiap hak yang dimiliki oleh
masing-masing individu.
Pluralisme

9
Manusia diciptakan dengan latar belakang yang berbeda satu sama lain, seperti suku,
agama, ras masing-masing. Keberagaman adalah sebuah keniscayaan dan manusia tidak dapat
mengabaikan hal tersebut. Perbedaan yang ada hendaknya tidak menjadi alasan untuk melakukan
kejahatan kepada manusia lainnya. Masing-masing akan memiliki keyakinan, pola pikir,
pandangan politik yang berbeda dan itu harus dihormati dan dihargai serta berusaha hidup dalam
damai. Pemaksaan kehendak atau ancaman kekerasan yang terjadi akibat adanya keberagaman
tersebut sedapat mungkin dihindari dan dilawan.

3. Analisis Praksis
Sebagai entitas budaya pendidikan dengan sendirinya tidak luput dari keharusan mengikuti
madzhab berfikir liberal, yang berpijak pada sekulerisme, individualisme dan pragmatisme.
Pengaruh tersebut dalam pendidikan di Barat tampak pada mengemukanya paradigma pendidikan
progresifisme, yang memandang setiap individu sebagai pihak yang paling tahu yang terbaik bagi
dirinya sendiri. Sekolah ataupun guru tidak berhak menentukan tata nilai yang harus dan
tidak semestinya bagi siswa-siswanya.
Sekulerisme, dalam arti pemisahan agama dari negara menjadikan masalah nilai, termasuk
nilai tradisi dan keagamaan bergeser menjadi urusan individu. Oleh karenanya.
Individualisme sebenarnya juga tercermin pada otonomi individu untuk menentukan perlu
tidaknya agama dan kepercayaan tertentu. Tidak hanya itu, tata nilai yang sebelumnya
bersifat normatif, berpijak pada nilai-nilai eskatologis tergeser ke arah nilai-nilai profan yang
ditentukan oleh manusia sendiri. Pendidikan semakin jauh melepaskan tanggungjawabnya
terhadap kelangsungan tata nilai keagamaan dan tradisi, dikarenakan setiap individu diberi
kesempatan untuk menentukan tata nilai bagi dirinya sendiri.
Kecenderungan ini paling tampak jelas di Amerika yang secara ekstrem
mengembangkan budaya liberal, the liberal road to culture. Pendidikan diarahkan sebagai proses
hidup yang fleksibel, tidak kaku, tidak menolak perubahan, dan tidak terikat oleh doktrin
tertentu. Pandangan progresifisme memberi jalan lapang bagi rasa keingintahuan (curiosity),
keharusan akan toleransi dan pikiran terbuka (open-minded). Dalam praktiknya progresifisme
pendidikan menolak otoriterisme dan absolutisme dalam segala bentuk, termasuk yang didasarkan
atas agama, politik, etika maupun paradigma epistemologi tertentu.
Sebaliknya, progresifisme pendidikan memberikan kepercayaan penuh terhadap
kemampuan alamiah manusia. Pandangan proresifisme pendidikan percaya bahwa manusia mampu
10
memahami, menguasai serta mengatasi alam, tanpa harus bersandar pada realitas adi-kodrati.
Untuk itu, dimensi moralitas pendidikan bukan diarahkan dalam rangka pengabdian kepada
Tuhan atau hal-hal yang berdimensi eskatologis. Moralitas pendidikan lebih ditekankan pada
kepentingan manusia sebagai individu. Hal ini selaras dengan berkembangnya pola pikir
pragmatis-utilitarianis Amerika sebagaimana dikonstruksikan Sanders Piers ataupun John Stuart
Mill.
4. Analisis Praktik
a. Liberalisme metodis
Kaum liberalism metodis adalah mereka yang bersikap bahwa metode-metode pengajaran
harus disesuaikan dengan jaman, namun tujuan pendidikan,isi tradisionalnya secara
fundamental tidak memerlukan penyesuaian yang penting Maria Montesori –sebagai
tokoh liberalism metodis- mengusulkan tentang cara mengajar yang baru tetapi sasaran-
sasaran atau isi pendidikan tetap dipertahankan. Oleh karena itu definisi liberal metodis
adalah seseorang yang mengusulkan sebuah cara baru dalam mengajar tetapi ia tidak
bersikap kritis terhadap tujuan-tujuan dan isi pendidikanyang sudah ada.
b. Liberalisme Direktif
Aliran ini menginginkan perubahan yang mendasar dalam hal tujuan sekaligus dalam hal
cara kerja sekolah-sekolah sebagaimana adanya. Penganut aliran ini menganggap wajib
belajar adalah perlu dan memilih untuk mempertahankan beberapa keperluan dasar serta
mengajukan penetapan tentang isi pelajaran yang akan diberikan kepada siswa. Disisi lain
mereka bersikap bahwa cara tradisional (baik sasaran, isi, dan metode memerlukan
perombakan secara radikal dari orientasi awal –yakni cara otoritartian tradisional kearah
yang lebih tepat yaitu mengajar setiap anak untuk berpikir secara efektif bagi dirinya
sendiri.
c. Liberalisme Non Direktif
Kaum liberalism non direktif akan sepakat terhadap pandangan bahwa tujuan dan cara
pelaksanaan pendidikan perlu diarahkan pada pendidikan yang mengajar siswa untuk
memecahkan masalah-masalahnya secara efektif. Namun mereka ingin mengurangi
seluruh batasan dengan cara melenyapkan hal-hala seperti wajib belajar dan pengajaran
mata pelajaran wajib, kemudian menggantikan wewenang lembaga dengan kebebasan
para siswa untuk memilih apakan mereka ingin belajar atau tidak, apa yang ingin
dipelajari dan member mereka kebebesan untuk memilih pengalaman-pengalamnan
pendidikan apapun yang mereka anggap paling relevan dengan kebutuhan-kebuthan
11
personeal mereka. Dengan kata lain siswa sendirilah yang menentukan apakah mereka
ingin belajar sesuatu atau tidak menetapkan kapan, dimana, dan sejauh mana mereka
ingin belajar.

Pembahasan

A. Marxisme
Ada tiga hal yang bisa menjadi komponen dasar dari Marxisme, yaitu: Untuk poen
pertama yang disebut sebagai materialisme dialektik, dan  materialisme historis. Disebut
sebagi materialism dialektik karena peristiwa kehidupan yang didominasi oleh keadaan
ekonomis yang materil itu berjalan melalui proses dialektik. Menurut metode tersebut,
perubahan-perubahan dalam pemikiran, sifat dan bahkan perubahan masyarakat itu sendiri
berlangsung melalui tiga tahap, yaitu tesis (affirmation), antitesis (negation), dan sintesisis
(unification). Mula-mula manusia hidup dalam keadaan komunistis aslis tanpa pertentangan
kelas, dimana alat-alat produksi menjadi milik bersama (tesis), kemudian timbul milik pribadi
yang menyebabkan adanya kelas pemilik (kaum kapitalis) dan kelas tanpa milik (kaum
proletar) yang selalu bertentangan (anti tesis). Jurang perbedaan antara kaum kaya (kapitalis)
dan kaum miskin (proletar) semakin dalam, maka timbullah krisis yang besar. Akhirnya kaum
proletar bersatu mengadakan revolusi perebutan kekuasaan, maka timbullah dictator
proletariat dan terwujudlah masyarakat tanpa kelas dimana alat-alat produksi menjadi milik
masyarakat atau Negara (sintesis).
Adapun Marxisme disebut materialism historis, karna menurut teorinya bahwa arah
yang ditempuh sejarah sepenuhnya ditentukan oleh sarana-sarana produksi yang materil.
Disinai Marx berkeyakinan bahwa seluruh sejarah manusia akan menuju kesuatu keadaan
ekonomis tertentu yaitu komunisme, dimana milik pribadi akan diganti menjadi milik

12
bersama dan barulah kebahagiaan bangsa manusia akan tercapai. Dengan kata lain bahwa
perjuangan kelas yang dilakukan Marx secara muthlak untuk mencapai masyarakat komunis.
 Marx mencoba menjelaskan keadaan secara riil di lapangan infrastruktur
dimana basis ekonomi dikuasai oleh segelintir orang yang disebut sebagai borjuis dan
yang ditindas adalah proletar. Marx menganalisis dari segi basis ekonomi yang biasa
disebut determinasi ekonomi sehingga begitu jelasnya terlihat bahwa kaum borjuis
menguasai alat produksi ekonomi masyarakat luas dan mereka sengaja diperas
keringatnya untuk memperkaya kaum borjuis. Antonio Gramsci sebagai orang yang
berpaham neo-marxis mencoba melakukan inovasi dalam melakukan pengamatan
terhadap penindasan tersebut, Gramsci menganalisis komponen suprastruktur
masyarakat dan berhasil mengeluarkan teori hegemoni. Istilah hegemoni berasal dari
bahasa Yunani, yaitu hegeishtai. Istilah tersebut erarti yang berarti memimpin,
kepemimpinan, atau kekuasaan yang melebihi kekuasaan yang lain. Konsep
hegemoni menjadi ngetrend setelah digunakan sebagai penyebutan atas pemikiran
Gramsci yang dipahami sebagai ide yang mendukung kekuasaan kelompok sosial tertentu.
Adapun teori hegemoni yang dicetuskan Gramsci adalah sebuah pandangan hidup dan
cara berpikir yang dominan, yang di dalamnya sebuah konsep tentang kenyataan
disebarluaskan dalam masyarakat baik secara institusional maupun perorangan;
(ideologi) mendiktekan seluruh cita rasa, kebiasaan moral, prinsip-prinsip religius
dan politik, serta seluruh hubungan-hubungan sosial, khususnya dalam makna
intelektual dan moral.
Gramsci menjelaskan bahwa hegemoni merupakan sebuah proses
penguasaan kelas dominan kepada kelas bawah, dan kelas bawah juga aktif
mendukung ide-ide kelas dominan. Di sini penguasaan dilakukan tidak dengan kekerasan,
melainkan melalui bentuk-bentuk persetujuan masyarakat yang dikuasai. Bentuk-
bentuk persetujuan masyarakat atas nilai-nilai masyarakat dominan dilakukan
dengan penguasaan basis-basis pikiran, kemampuan kritis, dan kemampuan-kemampuan
afektif masyarakat melalui konsensus yang menggiring kesadaran masyarakat tentang
masalah-masalah sosial ke dalam pola kerangka yang ditentukan lewat birokrasi
(masyarakat dominan). Di sini terlihat adanya usaha untuk menaturalkan suatu bentuk
dan makna kelompok yang berkuasa .
Dengan demikian mekanisme penguasaan masyarakat dominan dapat
dijelaskan sebagai berikut: Kelas dominan melakukan penguasaan kepada kelas
13
bawah menggunakan ideologi. Masyarakat kelas dominan merekayasa kesadaran
masyarakat kelas bawah sehingga tanpa disadari, mereka rela dan mendukung
kekuasaan kelas dominan. Sebagai contoh dalam situasi kenegaraan, upaya kelas
dominan (pemerintah) untuk merekayasa kesadaran kelas bawah (masyarakat)
adalah dengan melibatkan para intelektual dalam birokrasi pemerintah serta intervensi
melalui lembaga-lembaga pendidikan dan seni.
Atas dasar landasan neo-marxis Paulo Freire mencoba menganalisis
masyarakat di Brazil dan bergerak langsung melawan penindasan lewat praktik suprastruktur,
yaitu dalam bidang pendidikan. Paulo Freire berpendapat bahwa hegemoni yang dilakukan
oleh kaum borjuis haruslah dilawan dengan Counter Hegemoni. Jika Gramsci
merumuskan intelektual organik di dalam masyarakat yang mencoba mempropaganda
balik dan membongkar kebusukan the dominant ideology, maka jangkauan dari praksis
Paulo Freire lebih luas, yakni memberikan proses penyadaran kepada publik lewat
pendidikan. Kaum Borjuis yang menggunakan instrumen pendidikan sebagai arena
perjuangan politik terselubung mereka coba dibongkar oleh Freire dan dia balik
menggunakannya sebagai instrumen penyadaran dari kesadaran palsu yang selama ini
dibentuk oleh kaum borjuis. Pendidikan kaum borjuis disebut sebagai proses
produksi, yakni memproduksi pengetahuan, manusia yang bisa mereka gunakan dalam
kehidupan kapitalisme, seperti logika link and match dan sekolah menengah kejuruan yang
mengarah langsung sebagai tenaga kerja yang akan dipekerjakan dalam sistem kapitalisme.
Pendidikan Freire dikenal sebagai pendidikan reproduksi dimana praktek pendidikan
berusaha melepaskan kesadaran palsu para pesertanya dan mencoba mendirikan mereka
di dalam eksistensi manusia, antar manusia dan global sehingga terbentuk manusia
yang mampu mengerti eksistensinya sebagai manusia. Pendidikan haruslah berorientasi
kepada pengenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri. Pengenalan itu tidak
cukup hanya bersifat obyektif atau subyektif, tapi harus kedua-duanya. Kebutuhan
obyektif untuk merubah keadaan yang tidak manusiawi selalu memerlukan
kemampuan subyektif (kesadaran subyektif) untuk mengenali terlebih dahulu keadaan
yang tidak manusiawi, yang terjadi senyatanya, yang obyektif. Obyektivitas dan
subyektivitas dalam pengertian ini menjadi dua hal yang tidak saling
bertentangan, bukan suatu dikotomi dalam pengertian psikologis. Kesadaran
subyektif dan kemampuan obyektif adalah suatu fungsi dialektis yang ajeg (constant)
dalam diri manusia dalam hubungannya dengan kenyataan yang saling bertentangan yang
14
harus dipahaminya. Memandang kedua fungsi ini tanpa dialektika semacam itu bisa
menjebak kita ke dalam kerancuan berfikir. Obyektivitas pada pengertian si
penindas bisa saja berarti subyektivitas pada pengertian si tertindas, dan
sebaliknya. Jadi hubungan dialektis tersebut tidak berarti persoalan mana yang lebih
benar atau yang lebih salah. Oleh karena itu, pendidikan harus melibatkan tiga unsur
sekaligus dalam hubungan dialektisnya yang ajeg, yakni:
1. Pengajar
2. Pelajar atau anak didik
3. Realitas dunia.

Freire percaya bahwa tugas utama pendidikan sistematis adalah reproduksi


ideologi kelas dominan, reproduksi kondisi-kondisi untuk memelihara kekuasaan
mereka, namun tepatnya karena hubungan antara pendidikan sistematis, sebagai¬
suatu subsistem dengan sistem sosial, merupakan hubungan pertentangan dan
kontradiksi timbal balik. Anak didik pun lantas diperlakukan sebagai”bejana kosong”
yang akan diisi, sebagai sarana tabungan atau penanaman “modal ilmu pengetahuan”
yang akan dipetik hasilnya kelak. Jadi guru adalah subyek aktif, sedang anak didik
adalah obyek pasif yang penurut, dan diperlakukan tidak berbeda atau menjadi bagian
dari realitas dunia yang diajarkan kepada mereka, sebagai obyek ilmu pengetahuan
teoritis yang tidak berkesadaran. Pendidikan akhirnya bersifat negatif di mana guru
memberi informasi yang harus ditelan murid, yang wajib diingat dan dihafalkan.
Oleh karena guru yang menjadi pusat segalanya, maka merupakan hal yang
lumrah saja jika murid-murid kemudian mengidentifikasikan diri seperti gurunya
sebagai prototip manusia ideal yang harus ditiru dan digugu, harus diteladani
dalam semua hal. Freire menyebut pendidikan semacam itu menciptakan
“nekrofili” dan bukannya melahirkan “biofili”. Implikasinya lebih jauh adalah bahwa
pada saatnya nanti murid-murid akan benar-benar menjadikan diri mereka sebagai
duplikasi guru mereka dulu, dan pada saat itulah akan lahir lagi generasi baru
manusia-manusia penindas. Jika di antara mereka ada yang menjadi guru atau
pendidik, daur penindasan segera dimulai dalam dunia pendidikan, dan demikian
terjadi seterusnya. Sistem pendidikan, karena itu, menjadi sarana terbaik untuk
memelihara keberlangsungan status-quo sepanjang masa, bukan menjadi kekuatan
penggugah (subversive force) ke arah perubahan dan pembaruan. Bagi Freire, sistem
15
pendidikan justru harus menjadi kekuatan penyadar dan pembebas umat manusia.
Sistem pendidikan mapan selama ini telah menjadikan anak didik sebagai manusia-
manusia yang terasing dan tercerabut (disinherited masses) dari realitas dirinya sendiri
dan realitas dunia sekitarnya, karena ia telah mendidik mereka menjadi ada dalam
artian menjadi seperti orang lain, bukan menjadi dirinya sendiri.
Pola pendidikan seperti itu paling jauh hanya akan mampu merubah
“penafsiran” seseorang terhadap situasi yang dihadapinya, namun tidak akan
mampu merubah “realitas” dirinya sendiri. Manusia menjadi penonton dan peniru, bukan
pencipta, sehingga mudah dipahami mengapa suatu revolusi yang paling revolusioner
sekalipun pada awal mulanya, tetapi digerakkan oleh orang-orang yang dihasilkan oleh
sistem pendidikan mapan seperti itu, pada akhirnya hanyalah menggantikan simbol-
simbol dan mitos-mitos lama dengan simbol-simbol dan mitos-mitos baru yang
sebenarnya setali tiga uang alias sama saja, bahkan terkadang jauh lebih buruk.
Akhirnya Freire sampai pada formulasi filsafat pendidikannya sendiri,
yang dinamakannya sebagai “pendidikan kaum tertindas”, sebuah sistem
pendidikan yang ditempa dan dibangun kembali bersama dengan, dan bukan diperuntukkan
bagi, kaum tertindas. Sistem pendidikan pembaharu ini, kata Freire, adalah
pendidikan untuk pembebasan – bukan untuk penguasaaan (dominasi). Pendidikan
harus menjadi proses pemerdekaan, bukan penjinakan sosial-budaya (social and
cultural domestication). Pendidikan bertujuan menggarap realitas manusia dan,
karena itu secara metodologis bertumpu di atas prinsip-prinsip aksi dan refleksi total,
yakni prinsip bertindak untuk merubah kenyataan yang menindas dan pada sisi simultan
lainnya secara terus-menerus menumbuhkan kesadaran akan realitas dan hasrat untuk
merubah kenyataan yang menindas. Inilah makna dan hakekat praxis itu.
Dengan kata lain, “praxis” adalah “manunggal karsa, kata dan karya”, karena
manusia pada dasarnya adalah kesatuan dari fungsi berpikir, berbicara dan berbuat.
Pada saat bertindak dan berpikir itulah, seseorang menyatakan hasil
tindakan dan buah pikirannya melalui kata-kata. Dengan daur belajar seperti ini, setiap
anak didik secara langsung dilibatkan dalam permasalahan-permasalahan realitas dunia
dan keberadaan diri mereka di dalamnya. Karena itu, Freire juga menyebut model
pendidikannya sebagai “pendidikan hadap masalah” (problem posing education).
Anak didik menjadi subyek yang belajar, subyek yang bertindak dan berpikir,

16
dan pada saat bersamaan berbicara menyatakan hasil tindakan dan buah pikirannya.
Begitu juga sang guru.
Jadi, keduanya (murid dan guru) saling belajar satu sama lain, saling
memanusiakan. Dalam proses ini, guru mengajukan bahan untuk dipertimbangkan oleh
murid dan pertimbangan sang guru sendiri diuji kembali setelah dipertemukan
dengan pertimbangan murid-murid, dan sebaliknya. Hubungan keduanya pun
menjadi subyek-subyek, bukan subyek-obyek. Obyek mereka adalah realita. Maka
terciptalah suasana dialogis yang bersifat inter subyek untuk memahami suatu obyek
bersama.
Freire menggolongkan kesadaran manusia menjadi kesadaran magis
(magical consciousness), kesadaran naïf (naival consciousness), dan kesadaran kritis
(critical consciousness). Dengan aktif bertindak dan berpikir sebagai pelaku,
dengan terlibat langsung dalam permasalahan yang nyata, dan dalam suasana
dialogis, maka kaum tertindasnya Freire dengan segera menumbuhkan kesadaran yang
menjauhkan seseorang dari “rasa takut akan kemerdekaan” (fear of freedom). Dengan
cara menolak penguasaan, penjinakan dan penindasan, maka pendidikan kaum
tertindasnya Freire secara langsung dan gamblang tiba pada pengakuan akan pentingnya
peran proses penyadaran (konsientisasi). Pembebasan dan pemanusiaan manusia hanya
bisa dilakukan dalam artian yang sesungguhnya jika seseorang memang benar-benar
telah menyadari realitas dirinya sendiri dan dunia sekitarnya, tidak pernah mampu
mengenali apa yang sesungguhnya ia ingin lakukan, tidak akan pernah dapat
memahami apa yang sesungguhnya ingin ia capai. Jadi, sangatlah mustahil
memahamkan seseorang bahwa ia harus mampu, dan pada hakekatnya memang
mampu, memahami realitas dirinya dan dunia sekitarnya sebelum ia sendiri benar-
benar sadar bahwa kemampuan itu adalah fitrah kemanusiaan dan bahwa pemahaman
itu sendiri adalah penting dan memang mungkin baginya.
Maka, pendidikan harus memberi keleluasaan bagi setiap orang untuk mengatakan
kata-katanya sendiri, bukan kata-kata orang lain. Murid harus diberi kesempatan untuk
mengatakan dengan kata-katanya sendiri, bukan kata-kata sang guru. Atas dasar itulah,
Freire menyatakan bahwa proses pengaksaraan dan keterbacaan (alfabetisasi dan
literasi) pada tingkat yang paling awal sekali dari semua proses pendidikan haruslah
benar-benar merupakan suatu proses yang fungsional, bukan sekedar suatu kegiatan
teknis mengajarkan huruf-huruf dan angka-angka serta merangkaikan menjadi kata-kata
17
dalam kalimat-kalimat yang telah tersusun secara mekanis. Berdasarkan pengalaman dan
dialognya dengan kaum petani miskin dan buta huruf (terutama di Brasil dan
Chile), Freire kemudian menyusun suatu konsep pendidikan melek huruf
fungsional menggunakan perbendaharaan kata-kata yang digali dari berbagai “tema
pokok” (generative theme) pembicaraan sehari-hari masyarakat petani itu sendiri. Dalam
pelaksanaannya, konsep pendidikan melek huruf fungsional Freire ini terdiri dari tiga
tahapan utama:
1. Tahap Kodifikasi dan Dekodifikasi: merupakan tahap pendidikan melek
huruf elementer dalam “konteks konkret” dan “konteks teoritis” (melalui
gambar-gambar, cerita rakyat, dan sebagainya).
2. Tahap Diskusi Kultural: merupakan tahap lanjutan dalam satuan
kelompok-kelompok kerja kecil yang sifatnya problematis dengan menggunakan
“kata-kata kunci” (generative words).
3. Tahap Aksi Kultural: merupakan tahap “praxis” yang sesungguhnya di mana
setiap orang atau kelompok menjadi bagian langsung dari realitas. Dampak riil
dari gagasan Freire ini adalah upayanya yang ingin
memperhadapkan pendidikan dengan realitas yang tengah bergumul di sekitarnya.
Kenyataan yang nampak hingga hari ini justru proses dan reproduksi pendidikan sangat
jauh dari keinginan untuk mampu menbaca realitas secara kritis dan cerdas. “Pendidikan
kritis” (sebuah gagasan yang memang banyak dipengaruhi
oleh Freire) merupakan suatu bentuk “kritisisme sosial”. Semua pengetahuan pada
dasarnya dimediasi oleh linguistik yang tidak bisa dihindari secara sosial dan
historis; individu-individu secara syechochical berhubungan dengan masyarakat yang
lebih luas melalui tradisi mediasi (yaitu bagaimana lingkup keluarga, teman, agama,
sekolah formal, budaya pop, dan sebagainya). Pendidikan mempunyai hubungan
dialogis dengan konteks sosial yang melingkupinya. Sehingga, pendidikan harus
kritis terhadap berbagai fenomena yang ada dengan menggunakan pola pembahasaan
yang bernuansa sosio-historis.
Lebih lanjut, dimaknai bahwa pendidikan kritis yang disertai adanya
kedudukan wilayah-wilayah pedagogis dalam bentuk universitas, sekolah negeri, museum,
galeri seni, atau tempat-tempat lain, maka ia harus memiliki visi dengan tidak hanya
berisi individu-individu yang adaptif terhadap dunia hubungan sosial yang menindas,
tapi juga didedikasikan untuk mentransformasikan kondisi semacam itu. Artinya,
18
pendidikan tidak berhenti pada bagaimana produk yang akan dihasilkannya untuk
mencetak individu-individu yang hanya diam manakala mereka harus berhubungan
dengan sistem sosial yang menindas. Harus ada kesadaran untuk melakukan
pembebasan. Pendidikan adalah momen kesadaran kritis kita terhadap berbagai problem
sosial yang ada dalam masyarakat.
Upaya menggerakkan kesadaran ini bisa menggeser dinamika dari

pendidikan kritis menuju pendidikan yang revolusioner. Keduanya berasal dari rahim
pemikiran Freire juga. Menurutnya, pendidikan revolusioner adalah sistem kesadaran untuk
melawan sistem borjuis karena tugas utama pendidikan (selama ini) adalah
mereproduksi ideologi borjuis. Artinya, pendidikan telah menjadi kekuatan kaum
borjuis untuk menjadi saluran kepentingannya. Maka, revolusi yang nanti berkuasa
akan membalikkan tugas pendidikan yang pada awalnya telah dikuasai oleh kaum borjuis
kini menjadi jalan untuk menciptakan ideologi baru dengan terlebih dahulu membentuk
“masyarakat baru”. Masyarakat baru adalah tatanan struktur sosial yang tak berkelas
dengan memberikan ruang kebebasan penuh atas masyarakat keseluruhan.
Pendidikan pembebasan akan dicapai dengan menumbangkan realitas penindasan,
yaitu dengan mengisi konsep pedagogis yang memberikan kekuatan pembebasan yang baru.
Di sinilah kita perlu memperbincangkan soal kurikulum pendidikan yang membebaskan.
Tapi, terlebih dahulu kita perlu mengkritik konsep pengetahuan selama ini. Dan
sebenarnya pengetahuan yang ingin didorong oleh Freire adalah pengetahuan melalui
transformasi dan subversi terhadap pengetahuan itu sendiri, yaitu pengetahuan yang
“didepositokan” dalam buku- buku teks sehingga apa yang dihasilkan dari
pola pendidikan dan pengetahuan ini akan terpisah dengan realitas kontekstual.
Kebebasan tentu ada batasnya. Kebebasan memiliki batasan-batasan
tersendiri, tergantung persoalan yang dihadapi oleh “kaum tertindas” tersebut.
Karena jika kebebasan tidak diiringi dengan batasan-batasan tertentu, justru akan
berbenturan dengan hak-hak orang lain, yang pada ahirnya akan menimbulkan anarkhisme.
Oleh sebab itu, kesadaran kritis menjadi titik tolak pemikiran pembebasan Freire. Tanpa
kesadaran kritis rakyat bahwa mereka sedang ditindas oleh kekuasaan, tak mungkin
pembebasan itu dapat dilakukan. Karena itu, konsep pendidikan Freire ditujukan untuk
membuka kesadaran kritis rakyat itu melalui pemberantasan buta huruf dan
pendampingan langsung dikalangan rakyat tertindas. Upaya membuka kesadaran kritis
19
rakyat itu, dimata kekuasaan rupanya lebih dipandang sebagai suatu “gerakan politik”
ketimbang suatu gerakan yang mencerdaskan rakyat. Karena itu, pada tahun 1964 Freire
diusir oleh pemerintah untuk meninggalkan Brazil. Pendidikan pembebasan, menurut
Freire adalah pendidikan yang membawa masyarakat dari kondisi “masyarakat
kerucut” (submerged society) kepada masyarakat terbuka (open society).

B. Liberalisme
Liberal memiliki arti bersifat bebas; berpandangan bebas (luas dan terbuka) (KBBI
2001). Golongan liberal berangkat dari keyakinan bahwa memang ada masalah di
masyarakat tetapi bagi mereka pendidikan tidak ada kaitannya dengan persoalan politik dan
ekonomi masyarakat, sehingga tugas pendidikan tidak ada kaitannya dengan persoalan politik
dan ekonomi masyarakat. Meskipun demikian, kaum liberal selalu berusaha untuk
menyesuaikan pendidikan dengan keadaan ekonomi dan politik di luar dunia pendidikan
dengan cara memecahkan masalah-masalah yang ada dalam dunia pendidikan (Fakih 2008:
xiii-xiv).
Paradigma ideologi pendidikan liberal dapat diartikan sebagai model dalam teori ilmu
pengetahuan yaitu usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat yang sesuai dengan paham, teori dan
tujuan yang merupakan satu program sosial politik yang bebas berpandangan luas dan
terbuka. Paradigma Liberal, berangkat dari keyakinan bahwa tidak ada masalah dalam sistem
yang berlaku ditengah masyarakat, masalahnya terletak pada mentalitas, kreativitas, motivasi,
ketrampilan teknis, serta kecerdasan anak didik. Paradigma pendidikan liberal kemudian
menimbulkan suatu kesadaran, yang dengan meminjam istilah Freire (1970) disebut sebagai
kesadaran naïf. Keadaan yang dikategorikan dalam kesadaran ini adalah lebih melihat `aspek
manusia` menjadi akar penyebab masalah masyarakat. Dalam kesadaran ini 'masalah etika,
kreativitas, 'need for achevement' dianggap sebagai penentu perubahan sosial. Kaum liberal
menganalisa, mengapa suatu masyarakat miskin, dikarenakan kesalahan masyarakat itu
sendiri, yakni mereka tidak memiliki jiwa kewiraswastaan atau tidak memiliki budaya
membangun. Oleh karena itu, man power development adalah sesuatu yang diharapkan akan
menjadi pemicu perubahan (Fakih 2008: vii).

20
Prinsip-prinsip dasar ideologi pendidikan liberal menurut O’neill (2008: 355-356)
meliputi:
1. Seluruh hasil kegiatan belajar adalah pengetahuan personal melalui pengalaman personal
(relatifisme psikologis).
2. Seluruh hasil kegiatan belajar bersifat subyektif dan selektif (subyektifisme).
3. Seluruh hasil kegiatan belajar berakar pada keterlibatan pengertian inderawi (empirisme,
behaviorisme, materialisme dan empirisme biologis).
4. Seluruh hasil kegiatan belajar didasari proses pemecahan masalah secara aktif dalam pola
coba dan salah (trial and error) (pragmatisme dan instrumentalisme).
5. Cara belajar terbaik diatur oleh penyelidikan kritis yang diarahkan oleh perintah-perintah
eksperimental yang mencirikan metoda ilmiah, dan pengetahuan terbaik adalah yang
paling selaras dengan (atau yang paling mungkin berdasarkan) pembuktian ilmiah yang
sudah dianggap sahih sebelumnya (eksperimentalisme filosofis dan eksperimentalisme
ilmiah).
6. Pengalaman paling dini adalah yang paling berpengaruh terhadap perkembangan
selanjutnya dan karena itu juga paling penting artinya (psikologis developmentalistis).
7. Kegiatan belajar diarahkan dan dikendalikan oleh konsekuensi-konsekuensi emosional dari
perilaku (hedonisme psikologis).
8. Sifat-sifat hakiki dan isi pengalaman sosial mengarahkan dan mengendalikan sifat-sifat
hakiki dan isi pengalaman personal, dan dengan begitu juga mengarahkan dan
mengendalikan pengetahuan personal (relatifisme budaya).
9. Penyelidikan kritis dari jenis yang punya arti penting hanya bisa berlangsung dalam
masyarakat yang terbuka dan demokratis yang memiliki komitmen terhadap ungkapan
umum pemikiran dan perasaan individual (demokrasi sosial).
10. Jika dalam kondisi-kondisi yang optimal, anak yang berpotensi rata-rata bisa menjadi
efektif secara personal dan bertanggungjawab secara sosial.

Prinsip-prinsip dasar tersebut diatas, secara ringkas, dapat dikatakan bahwa manusia
dalam mencari kesenangan/kenikmatan dan kebahagiaan menuntut adanya perilaku efektif.
Perilaku efektif menuntut adanya pemikiran efektif, dengan menggunakan kecerdasan terlatih
yang didasarkan pada ilmu pengetahuan serta nalar. Ilmu dan nalar menuntut adanya
kebudayaan yang mendukung. Sedangkan budaya yang mendukung harus disertai nilai-nilai
moral kemanusiaan (kebebasan berbicara, kebebasan beragama, kebebasan berserikat, dan
21
semacamnya). Semua itu akan menimbulkan kenikmatan dan kebahagiaan dalam sebuah pola
sinergisme positif (O’neill 2008: 352).
Liberalisasi pendidikan merupakan salah satu aliran dalam pendidikan dewasa ini yang
mulai menjadi mainset berfikir dalam memahami makna dari pendidikan itu sendiri baik
dikaji dari makna filosofosnya maupun makna normatifnya. Berkaitan dengan pendidikan,
kaum liberal beranggapan bahwa persoalan pendidikan terlepas dari persoalan politik dan
ekonomi masyarakat. Meskipun demikian, kaum liberal berusaha menyesuaikan pendidikan
dengan keadaan ekonomi dan politik di luar pendidikan yaitu dengan menyelesaikan masalah
yang diarahkan pada penyesuaian atas sistem dan struktur sosial yang berjalan. Yang lebih
diperhatikan adalah bagaimana meningkatkan kualitas dari proses belajar mengajar sendiri,
fasilitas dan kelas yang baru, modernisasi peralatan sekolah, penyeimbangan rasio guru-
murid. Selain itu juga berbagai investasi untuk meningkatkan metodologi pengajaran dan
pelatihan yang lebih efisien dan partisipatif, seperti kelompok dinamik (group dynamics)
'learning by doing', 'experimental learning', bahkan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA)
sebagainya (Fakih 2008: xiv).
Kaum Liberal sama-sama berpendirian bahwa pendidikan adalah politik, dan
‘excellence’ haruslah merupakan target utama pendidikan. Kaum Liberal beranggapan bahwa
masalah masyarakat dan pendidikan adalah dua masalah yang berbeda. Mereka tidak melihat
hubungan pendidikan dalam struktur kelas dan dominasi politik dan budaya serta diskriminasi
gender dimasyarakat luas. Bahkan pendidikan bagi salah satu aliran liberal yakni ‘structural
functionalisme’ justru dimaksud sebagai sarana untuk menstabilkan norma dan nilai
masyarakat. Pendidikan justru dimaksudkan sebagai media untuk mensosialisasikan dan
mereproduksi nilai-nilai tata susila keyakinan dan nilai-nilai dasar agar masyarakat luas
berfungsi secara baik (Fakih 2008: xiv). Pendekatan liberal inilah yang mendominasi segenap
pemikiran tentang pendidikan yang berarti berbagai macam pelatihan. Akar dan pendidikan
ini adalah Liberalisme, yakni suatu pandangan yang menekankan pengembangan
kemampuan, melindungi hak, dan kebebasan (freedom), serta mengidentifikasi problem dan
upaya perubahan sosial secara inskrimental demi menjaga stabilitas jangka panjang.
Ideologi pendidikan liberal bertujuan untuk melestarikan dan memperbaiki tatanan
sosial yang ada, dengan cara membelajarkan setiap siswa sebagaimana caranya menghadapi
persoalan-persoalan dalam kehidupannya sendiri secara efektif. Ideologi pendidikan liberal
ini berbeda-beda dalam hal intensitasnya, dari yang relatif lunak, yakni liberalisme metodik
yang diajukan oleh teoretisi seperti Maria Montessorimo, ke liberalisme direktif (lebih
22
mengarahkan) yang sarat dengan muatan filosofi John Dewey hingga ke liberalisme non
direktif atau liberalism laissez faire, yang merupakan sudut pandang A.S. Neill atau Carl
Rogers (O’Neill, 2008: 444).
Ideologi pendidikan liberasionisme, menganggap bahwa manusia mesti mengusahakan
pembaruan/perombakan segera dalam ruang lingkup besar atas tatanan politis yang ada,
sebagai jalan menuju perluasan kebebasan individual serta untuk mempromosikan
perwujudan potensi-potensi personal sepenuhnya. Ideologi pendidikan liberasionisme
mencakup spektrum pandangan yang luas, dari liberasionisme pembaruan yang relative
konservatif, yang tercermin dalam gerakan-gerakan menuntut hak-hak warganegara (di AS
era 60-an) hingga ke komitmen yang mendesak dan bernafsu terhadap liberasionisme
revolusioner, yang kerapkali bernuansa Marxis, dengan seruannya agar sistem pendidikan
segera mengambil peran aktif dalam menggulingkan tatanan politik yang ada. Bagi kaum
ideologi pendidikan liberasionisme, sekolah haruslah objektif (rasional-ilmiah), namun tidak
sentralistik. Sekolah memiliki fungsi ideologis: ia ada bukan hanya untuk mengajar anak-
anak tentang bagaimana cara berpikir efektif (rasional-ilmiah), melainkan juga untuk
membantu mereka mengenali kebijakan yang sifatnya lebih tinggi (superior) yang tak
terceraikan dari pemecahan-pemecahan masalah secara intelektual yang paling meyakinkan,
sehubungan dengan problem-problem manusia. Dengan kata lain ideologi pendidikan
liberasionisme didirikan di atas landasan sistem kebenaran yang terbuka, yang pada
puncaknya merupakan sebuah orientasi yang berpusat pada problema sosial. Sekolah
memiliki kewajiban moral untuk mengenali dan mempromosikan program-program sosial
yang konstruktif. Sekolah mesti berusaha memajukan pola tindakan yang paling meyakinkan
yang didukung oleh analisis objektif terhadap fakta-fakta yang ada (O’Neill, 2008: 470-471).
Anarkisme yang bersudut pandang pembel penghapusan/pemusnahan/pelenyapan
seluruh kekangan terlembaga atas kebebasan manusia. Penghapusan kekangan ini diyakini
sebagai jalan untuk menyediakan peluang penuh atas potensi-potensi manusia yang
dibebaskan. Dalam pendidikan, sikap anarkis paling terwakili dalam tulisan-tulisan tokoh
terkenal Ivan Illich dan Paul Goodman (O’Neill, 2002:113). Sudut pandang ini meliputi
wilayah pandangan yang cukup luas, dari anarkisme taktis, yang ingin melebur sekolah demi
mendramatisasikan kebutuhan akan adanya sistem sosial yang baru hingga ke anarkis utopis
yang membayangkan terciptanya sebuah masyarakat bebas tak terbatas dari seluruh kekangan
kelembagaan apapun. Kaum yang berideologi pendidikan anarkisme, sebagaimana yang
liberalis dan liberasionis, pada umumnya menaati sebuah sistem penyelidikan eksperimental
23
yang terbuka (ilmiah-rasional). Kaum yang berideologi pendidikan anarkisme lebih
menekankan pada kebutuhan untuk meminimalkan dan/atau melenyapkan batasan-batasan
terlembaga atas perilaku personal, dan berusaha sejauh mungkin membebaskan masyarakat
dari lembaga-lembaga (deinstitusionalisasi masyarakat). Sejalan dengan itu, diyakini bahwa
pendekatan terbaik terhadap pendidikan adalah yang mengusahakan untuk mempercepat
pembaharuan-pembaharuan humanistis yang segera dan berskala besar di dalam masyarakat,
dengan cara menghapuskan sistem sekolah secara keseluruhan (O’Neill 2008: 485).
Konsep pendidikan dalam tradisi liberal berakar pada cita-cita Barat tentang
individualisme. Ide politik liberalisme sejarahnya berkait erat dengan bangkitnya kelas
liberalisme dalam pendidikan dapat dianalisa dengan melihat komponen-komponennya.
Komponen pertama, adalah komponen pengaruh filsafat Barat tentang model manusia
universal yaitu manusia yang rational liberal. Ada beberapa asumsi yang mendukung konsep
manusia rational liberal yaitu: semua manusia memiliki potensi sama dalam intelektual, baik
tatanan alam maupun norma sosial dapat ditangkap oleh akal, individualis yakni adanya
anggapan bahwa manusia adalah atomistik dan otonom (Bay 1988). Menempatkan individu
secara atomistik, membawa pada keyakinan bahwa hubungan sosial sebagai kebetulan, dan
masyarakat dianggap tidak stabil karena interest anggotanya yang tidak stabil Pengaruh
liberal ini kelihatan dalam pendidikan yang mengutamakan prestasi melalui proses persaingan
antar murid. Perankingan untuk menentukan murid terbaik, adalah implikasi dari paham
pendidikan ini. Pengaruh pendidikan liberal juga dapat dilihat dalam berbagai pendekatan
andragogy seperti dalam training management, kewiraswastaan, dan training-training yang
lain. Berbagai pelatihan pengembangan masyarakat (community Development) seperti usaha
bersama, pertanian umumnya berpijak pada paradigma pendidikan liberal ini (Fakih 2008:
xiv-xv).
Komponen kedua adalah Positivisme. Positivisme sebagai suatu paradigma ilmu
sosial yang dominan sewasa ini juga menjadi dasar bagi model pendidikan Liberal.
Positivisme pada dasarnya adalah ilmu sosial yang dipinjam dari pandangan, metode dan
teknik ilmu alam yang memahami realitas. Positivisme sebagai suatu aliran filsafat berakar
pada tradisi ilmu-ilmu sosial yang dikembangkan dengan mengambil cara ilmu alam
menguasai benda, yakni dengan kepercayaan adanya universalisme and generalisasi, melalui
metode determinasi, fixed law atau kumpulan hukum teori (Schoyer 1973). Positivisme
berasumsi bahwa penjelasan tunggal dianggap appropriate untuk semua fenomena.

24
Oleh karena itu riset sosial ataupun pendidikan dan pelatihan harus didekati dengan
positivisme yang melibatkan unsur-unsur seperti obyektivitas, empiris, tidak memihak,
rasional dan bebas nilai. Pengetahuan selalu menganut hukum ilmiah yang bersifat universal,
prosedur harus dikuantifisir dan diverifikasi dengan metode scientific. Dengan kata lain,
positivisme mensaratkan pemisahan fakta dan nilai dalam rangka menuju pada pemahaman
obyektif atas realitas sosial. Pendidikan dan pelatihan dalam positivistik bersifat fabrikasi dan
mekanisasi untuk memproduksi keluaran pendidikan yang harus sesuai dengan pasar kerja.
Dalam pola pemikiran positivistik, murid dididik untuk tunduk pada struktur yang ada.
Paradigma liberal pendidikan biasanya lebih melanggengkan sistem yang ada dengan
melahirkan anak-anak didik yang berperan dalam mempertahankan sistem tersebut.
Tradisi liberal telah mendominasi konsep pendidikan hingga saat ini. Pendidikan
liberal menjadi bagian dari globalisasi ekonomi liberal kapitalisme. Dalam konteks lokal,
paradigma pendidikan liberal telah menjadi bagian dari sistem developmentalisme, dimana
sistem tersebut ditegakkan pada suatu asumsi bahwa akar underdevelopment karena rakyat
tidak mampu terlibat dalam sistem kapitalisme. Pendidikan harus membantu peserta didik
untuk masuk dalam sistem developmentalisme tersebut, sehingga masyarakat memiliki
kemampuan dalam kompetisi didalam sistem kapitalis.
Ciri utama pendidikan yang berideologi liberal adalah selalu berusaha menyesuaikan
pendidikan dengan keadaan ekonomi dan politik di luar dunia pendidikan. Hal ini terlihat
pada benang merah kebijakan Mendiknas beberapa tahun terakhir. Oleh karenanya
kompetensi yang harus dikuasai peserta didik merupakan upaya untuk memenuhi dan
menyesuaikan tuntutan dunia kerja sebagaimana dikemukakan dalam setiap pergantian
kurikulum baru kita (Fakih, 2002). Kenyataan lainnya dari liberalisme ini adalah mahalnya
sekolah dan kuliah. UGM yang dulu dikenal kampus rakyat sekarang tidak lagi. Rencana
menjadikan universitas negeri sebagai PTBHP sebagai langkah awal privatisasi pendidikan
juga nyata sebagai langkah liberalisasi. Di level sekolah, elitisme pendidikan mengancam
kesempatan rakyat miskin untuk mengenyam pendidikan memadai.
Materialisme yang melingkupi liberalisme menjadikan reformasi yang dilakukan pun
sebatas fisik saja seperti pemenuhan fasilitas baru dan gedung baru; kapitalisme pun
mengarahkan bagaimana agar pembelajaran dapat lebih efektif-efisien, dan dihitung dalam
bentuk untung rugi serta balikan investasinya karena mengandaikan Education as human
investment. Liberalisme yang diagung-agungkan dan diacu oleh sistem pendidikan kita telah
merusakkan sendi-sendi negara bangsa Indonesia. Pendidikan kita rusak-rusakan, dan
25
Depdiknas merupakan satu dari dua Departemen terkorup di Indonesia satunya lagi Depag.
Mulai afair buku paket, korupsi seragam sekolah, penyelewengan dana Beasiswa dan BOS,
carut marutnya pelaksanaan ujian Nasional, sampai kekerasan dan tindak cabul guru pada
siswinya; di kalangan siswa pun merebak mulai dari sekadar bolos sekolah, nyabu, sampai
bunuh diri dan seks bebas. Ini efek negatif yang luar biasa besarnya, dan tentu tidak dapat
diabaikan begitu saja.

Tanggapan

Umumnya orang memahami pendidikan sebagai suatu kegiatan mulya yang


selalu mengandung kebajikan dan senantiasa berwatak netral. Dunia pendidikan
terkejut, ketika asumsi bahwa setiap usaha pendidikan itu selalu dimulyakan dan
diasumsikan mengandung kebajikan tersebut mendapat kritik mendasar oleh
almarhum Paulo Freire awal tahun 70 an, serta Ivan Illich pada dekade yang sama. Pada
saat yang sama kegairahan pendidikan juga tumbuh bagi penganut pemikiran liberal
yang mendominasi. Hal itu ditandai dengan munculnya berbagai proses model
pendidikan dan pelatihan yang pada dasarnya berpijak pada paradigma liberal
dalam berbagai bentuk dan pendekatannya. Itulah misalnya mengapa pada tahun 70an
dunia pendidikan disemarakan oleh berkembangnya model model pelatihan untuk
menjadi Kapitalis sejati, seperti AMT atau Achievement Motivation Training.
Sementara itu di lapangan pembangunan, berbagai proyek besar besaran tengah
diperkenalkan, dan pendidikan juga memainka peran sentral, yakni dengan
dikembangkannya berbagai model pendidikan Non Formal Education yang
diimpelementasikan dalam berbagai bentuk proyek pengembangan masyarakat. Di
didunia bisnis, saat itu tengah bergairahnya munculnya berbagai bentuk pelatihan
manajemen dan kewiraswastaan untuk menumbuhkan kelas pengusaha
baru.
Pendidikan formal juga mengalami kegoncangan karena dampak dari
pertikaian ideologi dan perspektif pendidikan tersebut. Tanpa disadari, pendidikan formal
tengah mengalami transisi dari model pendidikan yang sama sekali tidak menghiraukan
perubahan masyarakat sekelilingnya, menuju model pendidikan pembangunan, dimana
pendidikan harus diabdikan untuk memperkuat pembangunan, tanpa dipersoalkan
apa hakekat ideologi yang menjadi dasar bagi pembangunan itu sendiri.
26
Dewasa ini arus ini semakin berkembang, dengan fenomena munculnya gagasan
‘sekolah unggulan’ dan sering terdengar gagasan ‘link and match’ dalam aspek
pendidikan. Yang dimaksud sesungguhnya adalah bagaimana pendidikan harus
memiliki kaitan dan relevansi dengan dunia Industri. Konon gagasan ini juga tengah
bergejolak dalam sistim pendidikan pesantren.
Kritik terhadap dunia pendidikan gelombang selanjutnya, datang dari
pengaruh pikiran kritis terhadap Kapitalisme di Amerika Serikat pada masa setelah
tahun tujuh puluhan. Samuel Bowels, melakukan analisis politik ekonomi terhadap
pendidikan. Paling tidak di Amerika baginya, pendidikan merupakan reproduksi terhadap
sistim kapitalisme belaka. Pandangan yang sangat pesimistik ini melahirkan aliran
reproduksi dalam pendidikan. Tentu saja pandangan ini bertentanga dengan pandangan
Freire, dimana pendidikan penyadaran kritis justru akan memproduksi reistensi dan kritik
terhadap proses de-humanisasi akibat Kapitalisme.
Paradigma Liberal. Golongan ini berangkat dari keyakinan bahwa
memang ada masalah di masyarakat tetapi bagi mereka pendidikan tidak ada kaitannya
dengan persoalan politik dan ekonomi masyarakat. Dengan keyakinan seperti itu tugas
pendidikan juga tidak ada sangkut pautnya dengan persoalan politik dan ekonomi.
Sungguhpun demikian, kaum liberal selalu berusaha untuk menyesuaikan pendidikan dengan
keadaan ekonomi dan politik di luar dunia pendidikan, dengan jalan memecahkan
berbagai masalah yang ada dalam pendidikan dengan usaha reformasi ‘kosmetik’.
Umumnya yang dilakukan adalah seperti: perlunya membangun kelas dan fasilitas
baru, memoderenkan peralatan sekolah dengan pengadaan komputer yang lebih canggih
dan laboratorium, serta berbagai usaha untuk menyehatkan rasio murid-guru. Selain itu
juga berbagai investasi untuk meningkatkan metodologi pengajaran dan pelatihan yang
lebih effisien dan partisipatif, seperti kelompok dinamik (group dynamics) ‘learning by
doing’, ‘experimental learning’, ataupun bahkan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA)
sebagainya.
Usaha peningkatan tersebut terisolasi dengan sistem dan struktur ketidak adilan
kelas dan gender, dominasi budaya dan represi politik yang ada dalam masyarakat. Kaum
Liberal dan Konservatif sama sama berpendirian bahwa pendidikan adalah a-politik,
dan “exce lence” haruslah merupakan target utama pendidikan. Kaum Liberal
beranggapan bahwa masalah mayarakat dan pendidikan adalah dua masalah yang
berbeda. Mereka tidak melihat kaitan pendidikan dalam struktur kelas dan dominasi
27
politik dan budaya serta diskriminasi gender dimasyarakat luas. Bahkan
pendidikan bagi salah satu aliran liberal yakni
‘structural functionalisme’ justu dimaksud sebagai sarana untuk menstabilkan norma
dan nilai masyarakat. Pendidikan justru dimaskudkan sebagai media untuk
mensosialisasikan dan mereproduksi nilai nilai tata susila keyakinan dan nilai nilai dasar
agar masyarakat luas berfungsi secara baik. Pendekatan liberal inilah yang mendominasi
segenap pemikiran tentang pendidikan baik pendidikan formal seperti sekolah,
maupun pendidikan non- formal seperti berbagai macam pelatihan. Akar dari
pendidikan ini adalah Liberalisme, yakni suatu pandangan yang menekankan
pengembangan kemampuan, melindungi hak, dan kebebasan (freedoms), serta
mengidentifikasi problem dan upaya perubahan sosial secara inskrimental demi menjaga
stabilitas jangka panjang. Konsep pendidikan dalam tradisi liberal berakar pada cita cita
Barat tentang individualisme. Ide politik liberalisme sejarahnya berkait erat dengan
bangkitnya kelas menengah yang diuntungkan oleh kapitalisme. Pengaruh liberalisme dalam
pendidikan dapat dianalisa dengan melihat komponen komponennya.
Komponen pertama, adalah komponen pengaruh filsafat Barat tentang model
manusia universal yakni model manusia Amerika dan Europa. Model tipe ideal mereka
adalah manusia “rationalis liberal”, seperti: pertama bahwa semua manusia memiliki
potensi sama dalam intelektual, kedua baik tatanan alam maupun norma sosial
dapat ditangkap oleh akal. Ketiga adalah “individualis” yakni adanya angapan bahwa
manusia adalah atomistik dan otonom.
Menempatkan individu secara atomistic, membawa pada keyakinan bahwa
hubungan sosial sebagai kebetulan, dan masyarakat dianggap tidak stabil karena interest
anggotanya yang tidak stabil.
Pengaruh liberal ini kelihatan dalam pendidikan yang mengutamakan
prestasi melalui proses persaingan antar murid. Perengkingan untuk menentukan murid
terbaik, adalah implikasi dari paham pendidikan ini. Pengaruh pendidikan liberal juga
dapat dilihat dalam berbagai pendekatan “andragogy” seperti dalam training
management, kewiraswastaan, menejemen lainnya. Achievement Motivation
Training (AMT) yang diciptakan oleh David McClelland adalah contoh terbaik
pendekatan liberal. McClelland berpendapat bahwa akar masalah keterbelakangan dunia
ketiga karena mereka tidak memiliki apa yang dinamakannya N Ach. Oleh karena
sarat pembangunan bagi rakyat dunia ketiga adalah perlu virus “N ach” yang membuat
28
individu agresif dan rasional. Berbagai pelatihan pengembangan masyarakat
(Community Development) seperti usaha bersama, pertanian dan lain sebagainya,
umumnya berpijak pada paradigma pendidikan liberal ini.
Positivisme sebagai suatu paradigma ilmu sosial yang dominan ini juga menjadi
dasar bagi model pendidikan Liberal. Positivisme pada dasarnya adalah ilmu sosial
yang dipinjam dari pandangan, metode dan teknik ilmu alam memahami realitas.
Positivisme sebagai suatu aliran filsafat berakar pada tradisi ilmu ilmu sosial yang
dikembangkan dengan mengambil cara ilmu alam menguasai benda, yakni
dengan kepercayaan adanya universalisme and generalisasi, melalui metode
determinasi, ‘fixed law’ atau kumpulan hukum teori. Positivisme berasumsi bahwa
penjelasan tungal dianggap ‘appropriate’ untuk semua fenomena. Oleh karena itu
mereka percaya bahwa riset sosial ataupun pendidikan dan pelatihan harus didekati
dengan metode ilmiah yakni obyektif dan bebas nilai. Pengetahuan selalu menganut
hukum ilmiah yang bersifat universal, prosedur harus dikuantifisir dan
diverifikasi dengan metode “scientific”.
Dengan kata lain, positivisme mensaratkan pemisahan fakta dan values
dalam rangka menuju pada pemahaman obyektif atas realitas sosial. Habermas, seorang
penganut teori Kritik melakukan kritik terjadap positivisme dengan menjelaskan
berbagai katagori pengetahuan sebagai berikut. Pertama, adalah apa yang disebutnya
sebagai ‘instrumental knowledge’ atau positivisme dimana tujuan pengetahuan adalah
untuk mengontrol, memprediksi, memanipulasi dan eksploitasi terhadap
obyeknya. Kedua, ‘hermeneutic knowledge‘ atau interpretative knowledge,
dimana tugas ilmu pengetahuan hanyalah untuk memahami. Ketiga adalah ‘critical
knowledge’ atau ‘emancipatory knowledge’ yakni suatu pendekatan yang dengan kedua
pendekatan sebelumnya. Pendekatan ini menempatkan ilmu pengetahuan sebagai katalys
untuk membebaskan potensi manusia. Paradigma pendidikan liberal pada dasarnya
sangatlah positivistik.
Kita semua tahu ada yang salah dengan dunia pendidikan Indonesia, hanya saja
kita kurang cermat dalam mengamati sehingga cenderung menyalahkan komponen
di dalam pendidikan itu sendiri, seperti kurikulum yang memberatkan, guru kurang
profesional, murid kurang berkarakter dsb. Iya klaim atas kesalahan

29
itu memang benar adanya, namun perlu dicermati hal yang disebutkan
diatas adalah komponen nomor sekian di dalam pendidikan, itu hanyalah
sebuah efek domino dari sebuah “Grand Narrative” kesalahan yang memiliki
sumber utama. Pertama, yang harus di ubah adalah mindset yang cenderung
menyalahkan korban (blame the victim) sehingga kita melakukan pengamatan
yang lebih dalam tentang sebuah kesalahan yang terjadi, mengkaitkan
faktor-struktur yang bisa menyebabkan itu terjadi. Kedua, konsep
pendidikan tidak bisa dipisahkan dengan konteks sosial, ekonomi, politik
budaya dan lainnya (kompleks). Semisal sebuah kecelakaan truk akibat rem
blong dan sopir mengantuk. Mari kita gunakan mindset non-blame the
victim, memang terjadi sebuah human error pada sopir, terjadi kesalahan
teknis pada mekanisme pengereman namun bagaimana bisa rem tidak
berfungsi? Bukankah selalu ada pengecekan sebelum keberangkatan truk, kita
bisa berasumsi bahwa pengecekan tidak dilakukan dengan benar atau bahkan
mungkin karena proses pengecekan keberangkatan cenderung berbelit-belit
maka ada oknum yang bermain di dalamnya, bukankah oknum tersebut juga bisa
mengakibatkan kecelakaan truk, sudah menjadi rahasia umum bahwa
oknum bermain pada hal tersebut, berarti pengawasan pemerintah kurang
terhadap lembaga yang bertanggung jawab atas kelayakan jalan sebuah
kendaraan seperti KIR-DLLAJR. Sehingga kita mendapat kesimpulan bahwa
kecelakaan truk bukan semata-mata kesalahan sopir ataupun takdir kecelakaan,
hal tersebut terjadi akibat akumulasi kesalahan (efek domino) dari sebuah
pangkal kesalahan yang berujung pada kecelakaan. Seorang intelektual tak
pantas berpikiran magis dengan mengatakan itu takdir, harus mampu
mencermati.
Mari kita gunakan mindset non-blame the victim dan kompleksitas
dalam
melihat carut marutnya pendidikan dengan salah satu permasalahan,
yaitu
Perguruan Tinggi sebagai pabrik sub-unit produksi tenaga kerja, benarkah
itu?
Di dalam ekonomi, kita tahu betul hubungan produsen-
konsumen, produsen selalu menjual barang yang diminati oleh konsumen,

30
produsen selalu menganalisis apa yang menjadi kebutuhan konsumen atau
menciptakan kebutuhan konsumen. Dari perspektif ekonomistik mari kita lihat
apa hubungannya dengan pendidikan, bagaimana jika logika produsen-
konsumen diterapkan di dalam

31
pendidikan. Tidak mungkin sebuah produsen akan memproduksi barang
yang nilai jualnya rendah di mata konsumen, Pendidikan sebagai produsen
mendesain kurikulum dan semua komponennya agar nanti ketika menjadi
output bisa match dengan apa yang dibutuhkan oleh konsumen, dalam hal ini
konsumen adalah lembaga/perusahaan yang membutuhkan tenaga kerja
dengan spesifikasi tertentu (bidang keilmuan tertentu). Realita berbicara,
bahwa kita setelah lulus kuliah pasti akan dibutuhkan oleh instansi/lembaga
tertentu, di dalam perkuliahan kita di bagi menjadi bidang keilmuan tertentu
agar nanti bisa ditempatkan pada suatu profesi, logika link and match inilah
yang jelas terbaca dalam pendidikan kita. Maka ini menjelaskan keadaan yang
kita hadapi, sekarang jelas sudah kenapa orang tua kita selalu bertanya, “kalo
kamu sekolah/kuliah jurusan itu kerjanya dimana?”. Dari perspektif ekonomi
kita bisa mengamati bahwa Pendidikan bukan lagi Pendidikan.
Dari perspektif Politik, mari kita cermati bahwa penguasa (elit
politik-
pemerintah-birokrat) memang memiliki kepentingan mengarahkan
pendidikan kita ke arah ekonomistik. Lihatlah lembaga pendidikan sekarang
harus berstandar ISO dan sebagainya layaknya sebuah perusahaan dangan
alih-alih otonomi kampus dan kebebasan akademik. Pergulatan yang terjadi
adalah pertarungan ideologi kita (Pancasila) dengan globalisasi-liberalisasi.
Kampus dipaksa agar memiliki otonomi, agar pemerintah tidak bisa
intervensi sehingga arus investasi bergerak bebas diperjual-belikan. Disini
terjadi kekalahan telak pada pertarungan ideologi, landasan falsafah kita,
Pancasila menghendaki agar pendidikan harus mencerdaskan kehidupan bangsa
namun yang hari ini terjadi adalah eksploitasi dunia pendidikan untuk
kepentingan ekonomi. Para penguasa bukan lagi berpegang teguh pada
Pancasila, namun malah mengkhianati perjuangan para pendiri bangsa ini
lewat argumentasi-rasionalisasi yang seakan-akan membela bangsa ini, di
sinilah awal dari “Grand Narrative” itu bermula. Sebuah Negara harus
berdaulat terlebih dahulu lewat ekonomi dan politik, karena ekonomi
merupakan basis yang menentukan suprastruktur (penguasa). Negara yang
ekonominya kuat adalah penguasa atas negara-negara lain. Orang
yang ekonominya kuat adalah penguasa atas negerinya.
32
Lewat 2 perspektif ini saja kita bisa membongkar realita yang
sedang terjadi, apa yang sebenarnya terjadi dibalik realita ini. Kita
sebagai calon pendidik/tenaga kependidikan ternyata direduksi dengan
hanya menjadi tenaga kerja yang dibutuhkan oleh konsumen. Katakan
saja jika kita adalah orang yang brillian dalam memikirkan hal ini,
namun ketika keluar nanti tetap saja terkekang oleh sistem yang telah
dibuat sedemikian rupa agar kita tetap tertidur lelap, memadamkan semua
asa kita. Sebagai intelektual yang masih muda, pemuda, kita harus selalu
berkobar-kobar melakukan perlawanan pada ketidakadilan. Seorang
intelektual haruslah adil sejak dalam berpikir, apalagi dalam perbuatan.
Artinya kita harus melakukan keberpihakan pada yang lemah,
menguatkan yang lemah , yang minoritas, agar tidak diperkosa oleh
realita. Mengapa? Karena inilah cita- cita bangsa kita yang telah digali
oleh para pendiri bangsa ini, yaitu mewujudkan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Kita sebagai kaum intelektual haruslah
bergerak sebagai organik, gerakan pemikiran yang merubah dan
mempersiapkan tatanan sosial, menyadarkan kepada sesama bahwa kita
tertindas, bukan tertindas fisik, tapi pikiran. Sesungguhnya menjajah
pemikiran itu lebih sadis daripada penjajahan fisik, karena menipu
kesadaran dan membentuk kesadaran palsu.
Paradigma pendidikan liberal, fokus utama terletak pada bagaimana
membuat anak didik memiliki kemampuan sehingga mereka bisa bersaing di
tengah sistem yang berlaku pada masyarakat. Pendidikan liberal tidak melihat
masalah yang berkembang dalam masyarakat karena sistem sosial masyarakat
tersebut, tetapi karena ketidaksiapan manusia dalam menghadapi sistem.
Sehingga ini akan mengakibatkan pembelajaran yang bersifat memberikan
pengetahuan dan keterampilan yang berguna sebanyak-banyaknya kepada
anak didik, pengetahuan bersifat doktriner dan menilai sesuatu hanya dengan
melihat kecerdasan intelektual yang dimiliki oleh anak didik. Menariknya
ideologi pendidikan liberal inilah yang sekarang sedang berkembang ditengah-
tengah masyarakat global.
33
Tujuan utama pendidikan adalah untuk mempromosikan perilaku
personal yang efektif. Pendidikan di mata para liberalis adalah untuk
melestarikan dan meningkatkan mutu tatanan social yang ada sekarang dengan
cara mengajar setiap anak bagaimana mengatasi masalah-masalah
kehidupannya sendiri secara efektif. Sehingga sebuah sekolah –menurut
liberalis- harus berupaya untuk ; menyediakan informasi dan keterampilan
yang diperlukan siswa untuk belajar secara efektif dan mandiri, kemudian para
pendidik mengajarkan siswa tentang bagaimana memecahkan persoalan
praktis melalui penerapan proses penyelesaian secara ilmiah.
Dalam pandangan aliran liberalism bahwa manusia memiliki
kebebasan untuk mengatur mengurus dan mengarahkan hidupnya. Mereka
juga bebas dalm hidup etisnya. Oleh karena itu jangan ada ketentuan dan
pembatasan yang dikenakan padanya baik itu dari masyarakat, Negara, dan
agama. Aliran ini berkeyakinan bahwa karena manusia itu baik maka dia juga
akan condong pada kebaikan, mencari, mengahyati dan melaknsanakannya.
Berdasarkan kemampuannya manusia dapat melihat dan menentukan sendiri
apa yang baik dan jahat dapat menetapkan sendiri patokan atau norma untuk
memilih yang baik dan buruk. Karena itu manusia dapat menentukan cita-cita
hidupnya memilih cara, gaya, perilaku dan tindakan untuk membawa hidup
ketujuannya. Mereka mengetahui kearah mana harus berkembang dan
bagaimana caranya.
Kaum liberalis menganggap bahwa perbedaan-perbedaan individual
lebih penting daripada persamaan-persamaan. Namun masing-masing individu
memiliki kesempatan yang sama untuk mengejar cita-cita dan tujuan
hidupnya.
Seorang pendidik dalam melaksanakan aktifitas belajarnya dikelas
seharusnya menggunakan metode belajar secara individu maupun secara
kelompok. Persoalan-persoalan yang diajukan dalam kelas haruslah dikenali
oleh siswa, dan dikaji secara eksperimental. Kegiatan belajar yang
berlangsung boleh saja melakukan penilaian melalui kedisiplinan dan jumlah
materi yang mampu diserap, jika hal tersebut bertujuan untuk menangani suatu
34
permasalahn secara efektif. Namun kegiatan belajar yang sesungguhnya
adalah hasil dari sebuah kegiatan yang memiliki makna, dimana proses
perkembangan anak menjadi tolak ukurnya. Sehingga kedisiplinan, dan nilai-
nilai hafalan dapat ditekankan seminimal mungkin. Kegiatan belajar memiliki
arti yang besar jika pendidikan tersebut diarahkan oleh siswa, dan guru
sebagai fasilitator yang siap sedia untuk membantu penyelesaian masalah yang
dihadapi.Hal ini akan menjadi lebih baik dibandingkan dengan pembelajarn
yang diarahkan oleh pendidik saja. Pendidik dalam hal ini diposisikan sebagai
pengorganisisr dan penuntun kegiatan dan pengalaman belajar.
Pelaksanaan ujian yang bersifat praktek secara langsung dalam
kehiduan nyata memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan dengan ujian
biasa –paper and pencils test- yang banyak dilakukan di Indonesia. Selain itu
persaingan antar siswa yang bersifat personal tersebut seminim mungkin
dihindari, hal ini dikarenakan sikap tersebut cenderung melemahkan motivasi
pada diri siswa.
Penekanan dalam pembelajaran yang dilaksanakan banyak diarahkan
pada afektifnya –dalam hal ini motivasi dari- yang nantinya mampu
membentuk kemampuan kognitif anak. Psikomotorik juga termasuk bagian
yang memiliki arti penting dalam kegiatan belajar. Dalam hal penekanan
psikomotorik ini perlu adanya penyesuaian dengan pronsip-prinsip yang sudah
ada dengan sesuatu yang lebih baik.
Bimbingan dan penyuluhan adalah aspek pusat bagi sebuah sekolah,
alasanya bahwa kondisi emosional seorang anak akan mempengaruhi kegiatan
belajar yang efektif.

35
Penutup

Segala konsep pemikiran manusia lahir dari situasi


kontekstual yang di anggap keluar dari idealisnya. Begitu juga dengan
lahirnya konsep marxisme yang di ambil dari ide pemikiran Karl
Marx yang muncul karena arogansi knsep kapitalis yang merugikan
kaum miskin atau proletariat.
Karl marx berusaha merumuskan suatu konsep pemerintahan dan
sistem ekonmi yang baik dan berpihak keada kaum iskin karena
rakyat merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam konsep
demokratis yang mejadi landasan fikir filsuf pada masa itu. Akan
36
tetapi dalam realitanya hal tersebut dilupakan oleh konseptor kapitalis
yaitu Weber. Sebelum Marx, Hegel juga sudah mengkritisi sistem ini
namun cuma dalam teori idealis yang mana menurut Marx hal ini
kurang bermaka karena hanya berkutat pada dunia ide. Oleh sebab
itu Marx melakukan kritik terhadap teori-teori Hegel, dengan
metode materialis dialektisnya Marx menulis sebuah karya besar yang di
sebut dengan manifesto communist sebagai bentuk nyata solusi terhadap
arogansi kapitalis.
Dari konteks ekonomi marx yang memang menentang hegemonitas
terus mengkoreksi kapitalis dan melahirkan sebuah karya yang disebut
das kapitalis. Marx menyatakan bahwa kaum elit sangat di
untungkan dengan konsep ini sehingga perlu sebuah revolusi
pemikiran untuk melawan hegemoni elitis.
Kefilsafatan Marx tidak perlu di ragukan lagi karena
dari buah pemikiranya sangat bermanfaat terhadap perkembangan
kehidupan manusia masa kini. Sehingga kita tidaklah bijak jika
menghakimi marxisme merupakan ajaran yang terlarang dak sesat
karena pada dasarnya pendapat manusia itu tidak ada yang salah
karena kebenaran sendiri sifatnya relatif kontekstual.
Tujuan Pendidikan menurut Freire adalah membebaskan
manusia dari kondisi-kondisi penindasan yang telah membawa
kehidupan manusia pada sikap “tidak manusiawi”, baik itu korban
penindasan maupun pelaku penindasan. Freire menganggap bahwa
situasi penindasan bukanlah keharusan sejarah, tetapi lebih karena
diciptakan, maka pendidikan berfungsi untuk merubah itu semua.

Dalam melawan segala situasi penindasan ini, terlebih


dahulu manusia haruslah memiliki kesadaran bahwa telah terjadi
penindasan dan memiliki perasaan bahwa ia mampu untuk merubah itu
semua.
Freire menggolongkan kesadaran manusia menjadi
kesadaran magis

37
(magical consciousness), kesadaran naïf (naival consciousness), dan
kesadaran kritis (critical consciousness)
Kesadaran magis yakni suatu kesadaran masyarakat yang
tidak mampu melihat kaitan antara satu faktor dengan faktor
lainnya. Misalnya masyarakat miskin yang tidak mampu melihat kaitan
antara kemiskinan mereka dengan sistem politik dan kebudayaan.
Kesadaran magis lebih melihat faktor di luar manusia (natural
maupun supranatural) sebagai penyebab dan ketidakberdayaan.
Kesadaran naïf, keadaan yang dikatagorikan dalam kesadaran
ini adalah lebih melihat aspek manusia menjadi akar penyebab
masalah masyarakat. Kesadaran kritis, kesadaran ini lebih melihat
aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Pendekatan
struktural menghindari “blaming the victims” dan lebih menganalisis.
Untuk secara kritis menyadari struktur dan sistem sosial, politik,
ekonomi budaya dan akibatnya pada keadaan masyarakat.
Untuk membangun kesadaran ini, metode pendidikan tidak bisa
dilakukan secara searah, harus dilakukan secara dua arah, di mana guru
dan murid harus berada dalam kondisi sejajar agar murid tidak berperan
sebagai obyek yang hanya berperan sebagai wadah yang harus diisi oleh ilmu
pengetahuan yang hanya berasal dari sang guru (pendidikan gaya bank”,
tetapi guru dan murid harus bisa berperan ganda (guru bisa menjadi murid,
murid pun bisa menjadi guru), karena dalam menghadapi permasalahan
sehari-hari pengalaman setiap orang berbeda- beda dan berbeda pula cara
mengatasi permasalahan yang dihadapi sehingga tidak ada orang yang lebih
pandai dari orang lain begitu juga sebaliknya.

38
Daftar Pustaka

Bertens, K, Sejarah Filsafat Yunani dari Thales ke Aristoteles, Yogyakarta: Kanisius, 1990.

Budiman, Arief, Ilmu Negara; Negara, Kekuasaan dan Ideologi, Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Dahidi, Ahmad & Amri, Miftachul. 2003. Potret Pendidikan di Jepang, Sebuah
Refleksi. Utama,2002.

Eagleton, Terry, 1991..Ideology: An Introduction, London: Verso.

Fakih, Mansour dan Toko Raharjo. 2002. Pendidikan yang membebaskan . Yogyakarta.

-----------.2008. Ideologi Dalam Pendidikan: Sebuah Pengantar Ideologi-Ideologi


Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar.

O’neill, William F. 2008. Ideologi-ideologi Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit Pustaka


Pelajar.

Kellner, D. (2003). Teori Sosial Radikal. Yogyakarta: Syarikat

Soyomukti, N. (2017). Metode Pendidikan Marxis Sosialis: Antara Teori dan Praktik.
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media

Suseno, F. M. (2013). Dari Mao ke Marcuse: Percikan Filsafat Pasca-Lenin. Jakarta:


Gramedia Pustaka Utama

Schroyer. T. 1973. The Critique of Domination: The Origins and Development of Critical
Theory. Boston: Beacon Press.

39
40

Anda mungkin juga menyukai