Ringkasan
Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah pengembangan teori
dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini
menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik
dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu
yang pasif. Respons atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan
semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan menghilang
bila dikenai hukuman.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal
seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas
pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik
memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah
terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar
adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar.
Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yang sudah ada melalui
proses berpikir yang dapat dianalisis, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti
ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Pebelajar diharapkan akan
memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang
dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.
Demikian halnya dalam pembelajaran, pebelajar dianggap sebagai objek pasif yang selalu
membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik
mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu dalam
proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para pebelajar. Begitu juga dalam proses evaluasi
belajar pebelajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang
bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi.
Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang
memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan
mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-
mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respons sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau
robot. Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada
diri mereka.
Karena teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi dan
teratur, maka pebelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas
dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam
belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau
ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu
dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang
pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan
belajar. Pebelajar atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga
kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri pebelajar.
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan
pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut pebelajar untuk
mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes.
Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada keterampian yang terisolasi atau akumulasi
fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum
secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan
penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut.
Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.
Evaluasi menekankan pada respons pasif, keterampilan secara terpisah, dan biasanya
menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar.
Maksudnya bila pebelajar menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini
menunjukkan bahwa pebelajar telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang
sebagai bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai
kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan pebelajar secara
individual.
Telah cukup banyak dibicarakan hal-ikhwal tentang pendidikan, baik kaitannya dengan
hakikat kehidupan manusi, maupun kaitannya dengan kebudayaan sebagai produk dari proses
pendidikan. Pada saat manusia mengalami tahap perkembangan, naik secara fisik maupun
rohaninya dalam proses pendidikan, muncullah pertanyaan mendasar tentang faktor yang paling
berpengaruh terhaap perkembangan itu. Apakah faktor bakat dan kemampuan diri manusia itu
sendiri, atau faktor dari luar diri manusia, ataukah kedua-dunya itu secara bersama-sama. Dari
faktor pertamalah timbul teori yang disebut sebagai teori nativisme. Nativisme berasal dari kata
“nativus” artinya pembawaan.
Teori nativisme dikenal juga dengan teori naturalisme atau teori pesimisme. Teori ini
berpendapat bahwa manusia itu mengalami pertumbuhkembangan bukan karena faktor pendidikan
dan intervensi lain diluar manusia itu, melainkan ditentukan oleh bakat dan pembawaannya. Teori
ini berpendapat bahwa upaya pendidikan itu tidak ada gunanya san tidak ada hasilnya. Bahkan
menurut teori ini pendidikan it upaya itu justru akan merusak perkembangan anak.
Pertumbuhkembangan anak tidak perlu diintervensi dengan upaya pendidikan, agar
pertumbuhkembangan anak terjadi secara wajar, alamiah, sesuai dengan kodratnya.
Telah dibahas pada sebelumnya bahwa teori nativisme berpendapat tentang perkembangan
individu ditentukan oleh faktor bawan sejak lahir, serta faktor lingkungan kurang berpengaruh
terhadap pendidikan dan perkembangan anak. Menganalisis dari pendapat tersebut, anak yang
dilahirkan dengan bawaan yang baik akan mempunyai bakat yang baik juga begitu juga
sebaliknya. Faktor bawaan sangat dominan dalam menentukan keberhasilan belajar atau
pendidikan,. Faktor-faktor yang lainnya seperti lingkungan tidak berpengaruh sama sekali dan hal
itu juga tidak bisa diubah oleh kekuatan pendidikan. Pendidikan yang diselenggarakan merupakan
suatu usaha yang tidak berdaya menurut teori tersebut, karena anak akan menetukan keberhasilan
dengan sendirinya bukan melalui sebuah usaha pendidikan. Walaupun dalam pendidikan tersebut
diterapkan dengan keras maupun secara lembut, anak akan tetap kembali kesifat atau bakat dari
bawaannya. Begitu juga dengan faktor lingkungan, sebab lingkungan itu tidak akan berdaya
mempengaruhi perkembangan anak.
Dalam teori nativisme telah ditegaskan bahwa sifat-sifat yang dibawa dari lahir akan
menentukan keadaannya. Hal ini dapat diklaim bahwa unsur yang paling mempengaruhi
perkembangan anak adalah unsure genetic individu yang diturunkan dari orang tuanya. Dalam
perkembangannya tersebut anak akan berkembang dalam cara yang terpola sebagai contoh anak
akan tumbuh cepat pada masa bayi, berkurang pada masa anak, kemudian berkembang fisiknya
dengan maksimum pada masa remaja dan seterusnya.
Sebelumnya telah disinggung mengenai teori nativisme tersebut, pendidikan tidak bisa
mengubah atau mempengaruhi perkembangan anak dan dengan adanya pendidikan akan merusak
perkembangan anak tersebut. Melihat hal tersebut muncul pandangan dengan demikian dalam
praktek atau aplikasi dari teori tersebut tidaklah memerlukan suatu pendidikan baik itu pendidikan
yang bersifat keras maupun lembut, dan walaupun diberikan pendidikan maka akan
menjadikannya suatu hal yang sia-sia.
Pendidikan sangatlah diperlukan oleh setiap manusia, karena tanpa pendidikan tidak akan
bisa berkembang walaupun dari bawaan sejak lahir sudah memiliki potensi. Fungsi pendidikan
yaitu memberikan dorongan atau menggandeng manusia untuk menjadi lebih naik serta dengan
adanya pendidikan dapat lebih lagi memaksimalkan, mengembangkan segala potensi, bakat dan
kemampuan yang dimiliki. Selain dari itu juga pendidikan tidak hanya harus kepada akademik saja
melainkan harus memperhatikan kegiatan-kegiatan yang bisa juga untuk menjadi wadah dalam
mengembangkan dan menyalurkan bakat anak diluar akademik.
Telah cukup banyak dibicarakan hal-ikhwal tentang pendidikan, baik kaitannya dengan
hakikat kehidupan manusi, maupun kaitannya dengan kebudayaan sebagai produk dari proses
pendidikan. Pada saat manusia mengalami tahap perkembangan, naik secara fisik maupun
rohaninya dalam proses pendidikan, muncullah pertanyaan mendasar tentang faktor yang paling
berpengaruh terhaap perkembangan itu. Apakah faktor bakat dan kemampuan diri manusia itu
sendiri, atau faktor dari luar diri manusia, ataukah kedua-dunya itu secara bersama-sama. Dari
faktor pertamalah timbul teori yang disebut sebagai teori nativisme. Nativisme berasal dari kata
“nativus” artinya pembawaan.
Teori nativisme dikenal juga dengan teori naturalisme atau teori pesimisme. Teori ini
berpendapat bahwa manusia itu mengalami pertumbuhkembangan bukan karena faktor pendidikan
dan intervensi lain diluar manusia itu, melainkan ditentukan oleh bakat dan pembawaannya. Teori
ini berpendapat bahwa upaya pendidikan itu tidak ada gunanya san tidak ada hasilnya. Bahkan
menurut teori ini pendidikan it upaya itu justru akan merusak perkembangan anak.
Pertumbuhkembangan anak tidak perlu diintervensi dengan upaya pendidikan, agar
pertumbuhkembangan anak terjadi secara wajar, alamiah, sesuai dengan kodratnya.
Telah dibahas pada sebelumnya bahwa teori nativisme berpendapat tentang perkembangan
individu ditentukan oleh faktor bawan sejak lahir, serta faktor lingkungan kurang berpengaruh
terhadap pendidikan dan perkembangan anak. Menganalisis dari pendapat tersebut, anak yang
dilahirkan dengan bawaan yang baik akan mempunyai bakat yang baik juga begitu juga
sebaliknya. Faktor bawaan sangat dominan dalam menentukan keberhasilan belajar atau
pendidikan,. Faktor-faktor yang lainnya seperti lingkungan tidak berpengaruh sama sekali dan hal
itu juga tidak bisa diubah oleh kekuatan pendidikan. Pendidikan yang diselenggarakan merupakan
suatu usaha yang tidak berdaya menurut teori tersebut, karena anak akan menetukan keberhasilan
dengan sendirinya bukan melalui sebuah usaha pendidikan. Walaupun dalam pendidikan tersebut
diterapkan dengan keras maupun secara lembut, anak akan tetap kembali kesifat atau bakat dari
bawaannya. Begitu juga dengan faktor lingkungan, sebab lingkungan itu tidak akan berdaya
mempengaruhi perkembangan anak.
Dalam teori nativisme telah ditegaskan bahwa sifat-sifat yang dibawa dari lahir akan
menentukan keadaannya. Hal ini dapat diklaim bahwa unsur yang paling mempengaruhi
perkembangan anak adalah unsure genetic individu yang diturunkan dari orang tuanya. Dalam
perkembangannya tersebut anak akan berkembang dalam cara yang terpola sebagai contoh anak
akan tumbuh cepat pada masa bayi, berkurang pada masa anak, kemudian berkembang fisiknya
dengan maksimum pada masa remaja dan seterusnya.
Sebelumnya telah disinggung mengenai teori nativisme tersebut, pendidikan tidak bisa
mengubah atau mempengaruhi perkembangan anak dan dengan adanya pendidikan akan merusak
perkembangan anak tersebut. Melihat hal tersebut muncul pandangan dengan demikian dalam
praktek atau aplikasi dari teori tersebut tidaklah memerlukan suatu pendidikan baik itu pendidikan
yang bersifat keras maupun lembut, dan walaupun diberikan pendidikan maka akan
menjadikannya suatu hal yang sia-sia.
Pendidikan sangatlah diperlukan oleh setiap manusia, karena tanpa pendidikan tidak akan
bisa berkembang walaupun dari bawaan sejak lahir sudah memiliki potensi. Fungsi pendidikan
yaitu memberikan dorongan atau menggandeng manusia untuk menjadi lebih naik serta dengan
adanya pendidikan dapat lebih lagi memaksimalkan, mengembangkan segala potensi, bakat dan
kemampuan yang dimiliki. Selain dari itu juga pendidikan tidak hanya harus kepada akademik saja
melainkan harus memperhatikan kegiatan-kegiatan yang bisa juga untuk menjadi wadah dalam
mengembangkan dan menyalurkan bakat anak diluar akademik.
Aliran filsafat naturalisme lahir sebagai reaksi terhadap aliran filasafat pendidikan
Aristotalian-Thomistik. Naturalisme lahir pada abad ke 17 dan mengalami perkembangan pada
abad ke 18. Naturalisme berkembang dengan cepat di bidang sains. Ia berpandangan bahwa
"Learned heavily on the knowledge reported by man's sense". Naturalisme memaknai dunia
material saja, tidak ada fisik seperti “supranatural.” Tetapi dalam realita, alam terdiri atas alam
material dan alam spiritual, masing-masing dengan hukumnya sendiri. Era Pencerahan, misalnya,
memahami alam bukan sebagai keberadaan benda-benda fisik tetapi sebagai asal dan fondasi
kebenaran, tidak memperlawankan material dengan spiritual, mencakup alam fisik, alam
intelektual dan moral.
Salah satu ciri yang paling menakjubkan dari alam semesta adalah keteraturan. Benak
manusia sejak dulu menangkap keteraturan ini. Terbit dan tenggelamnya Matahari, peredaran
planet-planet dan susunan bintang-bintang yang bergeser teratur dari malam ke malam sejak
pertama kali manusia menyadari keberadaannya di dalam alam semesta, hanya merupakan contoh-
contoh sederhana. Ilmu pengetahuan hanya menjadi mungkin karena keteraturan tersebut yang
kemudian dibahasakan lewat hukum-hukum matematika. Naturalisme merupakan teori yang
menerima alam sebagai keseluruhan realitas, yang telah dipakai dalam filsafat dengan bermacam-
macam arti, mulai dari dunia fisik yang dapat dilihat oleh manusia, sampai kepada sistem total dari
fenomena ruang dan waktu. Natura, adalah dunia yang diungkapkan kepada kita oleh sains alam.
Istilah naturalisme adalah sebaliknya dari istilah supernaturalisme yang mengandung pandangan
dualistik terhadap alam dengan adanya kekuatan yang ada, wujud di atas atau di luar alam.
Filsafat yang dijadikan dasar pandangan bagi pelaksanaan pendidikan. Pengertian filsafat
sebagai ilmu yang komprehensif, dan pengertian pendidikan sebagai ilmu dan lembaga pembinaan
keperibadian manusia yang sedemikian luas lingkup dan permasalahannya. Pandangan hidup yang
telah diyakini kebenarannya oleh suatu bangsa diwariskan kepada generasi berikutnya,
dimaksudkan untuk menjaga kelestarian kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Sarana yang paling praktis dan efektif untuk mewariskan ide-ide filsafat kepada generasi penerus
bangsa adalah melalui pendidikan. Dalam hal ini tiap filsafat negara berarti pula dasar filsafat
pendidikan bangsa itu. Karena pendidikan adalah lembaga yang melaksanakan pembinaan
manusia baik sebagai warga negara maupun sebagai pribadi. Pendidikan harus mampu
melaksanakan tugas mengamankan dan mewariskan secara konsekuen nilai-nilai filsafat bangsa
dan negara demi kelangsungan hidup dan eksistensi bangsa itu . setiap bangsa yang melaksanakan
aktivitas pendidikan secara prinsipal adalah untuk membina nilai-nilai filosofis bangsa itu , setelah
itu barulah dimaksudkan untuk membina aspek-aspek pengetahuan dan kecakapan-kecakapan
yang lain.
Bidang ilmu pendidikan dengan segala cabangnya merupakan landasan ilmiah bagi
pelaksanaan pendidikan yang terus berkembang secara dinamis dan terus menerus. Filsafat
pendidikan sesuai dengan peranannya merupakan landasan filosofis yang menjiwai seluruh
kebijaksanaan dan pelaksanaan pendidikan. Kedua hal tersebut harus menjadi pengetahuan dasar
bagi setiap pelaksana pendidikan. Aktivitas pendidikan pada hakekatnya adalah membantu
manusia untuk mencapai kedewasaan dan kematangan. Potensi manusia yang paling alamiah,
adalah tumbuh dan berkembang untuk menuju kedua hal itu. Akan tetapi kenyataan bahwa tidak
semua manusia dapat berkembang sebagaimana yang diharapkan. Timbullah berbagai pemikiran
tentang hal-hal yang mempengaruhi proses kedewasaan dan kematangan, seperti perkembangan
manusia mutlak ditentukan oleh faktor nativis, sebaliknya ada yang menyatakan bahwa pengaruh
mutlak berasal dari lingkungan, dan pendapat yang mengabungkan antara bakat dan pendidikan.
Pembicaraan di atas, dalam filsafat pendidikan terkandung nilai-nilai, cita-cita, gambaran tentang
tingkah laku individu yang diharapkan. Sehingga dampak bagi pendidik sebagai pelaksana
pendidikan, pendidik harus memiliki “Filsafat” yang sistematis, logis, dan menyakini nilai-nilai
yang menjadi pandangan hidup bangsa. Cara berpikir, berperasaan, bersikap, dan bertingkah laku
harus mencerminkan dan merupakan manifestasi gambaran tentang masyarakat yang diharapkan
terwujud. Hal itu disebabkan tugas pendidik yang harus membantu mengarahkan anak-anak untuk
membentuk filsafat hidupnya yang sehat dan yang mencerminkan isi filsafat pendidikan, yaitu
Pancasila.
Materi adalah badan, karena badan material itu manusia harus mati, yang memberikan
bentuk kepada materi adalah jiwa. Jiwa manusia mempunyai beberapa fungsi yaitu memberikan
hidup vegetatif (seperti jiwa tumbuh-tumbuhan), lalu memberikan hidup sensitif (seperti jiwa
binatang) akhirnya membentuk hidup intelektif. Oleh karena itu jiwa intelektif manusia
mempunyai hubungan baik dengan dunia materi maupun dengan dunia rohani, maka Aristoteles
membedakan antara bagian akal budi yang pasif dan bagian akal budi yang aktif. Bagian akal budi
yang pasif berhubungan dengan materi, dan bagian akal budi yang yang aktif berhubungan dengan
rohani.
Bagian akal budi yang aktif itu adalah bersifat murni dan Illahi. Akal budi yang aktif
menjalankan dua tugas. Tugas yang pertama adalah memandanf yang Illahi untuk mencari
pengertian tentang mahluk-mahluk menurut bentuknya masing-masing. Tugas yang kedua dari
akal budi manusia yang aktif adalah memberikan bimbingan kepada hidup praktis. Disini
diperlukan sifat keberanian, keadilan dan kesederhanaan. Beberapa pandangan pandangannya
naturalisme menyatakan bahwa kejadian dianggap sebagai ketegori pokok, hakekat terdalam dari
kenyataan, artinya apapun yang bersifat nyata pasti termasuk dalam kategori alam. Yang nyata ada
pasti bereksistensi, sesuatu yang dianggap terdapat diluar ruang dan waktu tidak mungkin
merupakan kenyataan dan apapun yang dianggap tidak mungkin ditangani dengan menggunakan
metode-metode yang digunakan dalam ilmu-ilmu alam tidak mungkin merupakan kenyataan
Analisa terhadap kejadian-kejadian, bahwa faktor-faktor penyusun seganap kejadian ialah
proses, kualitas, dan relasi masalah hakekat terdalam merupakan masalah ilmu, bahwa segenap
kejadian baik kerohanian, kepribadian, dan sebagainya dapat dilukiskan berdasarkan kategori-
kategori proses, kualitas dan relasi. Pengetahuan ialah memahami kejadian-kejadian yang saling
berhubungan, pemahaman suatu kejadian, atau bahkan kenyataan, manakala telah mengetahui
kualitasnya, seginya, susunanya, satuan penyusunnya, sebabnya, serta akibat-akibatnya.
Kemudian muncul asumsi bahwa realitas dapat dikembangkan pada sifat-sifat yang sedang
mengalami perubahan gerak dalam ruang. Asumsi tersebut menunjukkan bahwa semua sains
seperti biologi, kimia, psikologi, fisika, sosiologi, ekonomi, dan yang lainnya ditinjau dari dasar
fenomena materi yang berhubungan secara kausal merupakan cabang sains mekanika. Apa yang
dikatakan jiwa (mind) dan segala kegiatannya (berpikir, memahami) merupakan suatu gerakan
yang kompleks dari otak, system urat saraf, atau organ-organ jasmani yang lain. Apa yang disebut
dengan nilai dan cita-cita, makna dan tujuan hidup, keindahan dan kesenangan, hanyalah sekedar
nama-nama atau semboyan, symbol subjektif manusia untuk situasi atau hubungan fisik yang
berbeda.
Kesimpulan
Secara pragmatis, teori belajar dapat dipahami sebagai prinsip umum atau kumpulan
prinsip yang saling berhubungan dan merupakan penjelasan atas sejumlah fakta dan penemuan
yang berkaitan dengan peristiwa belajar. Behaviorisme merupakan salah satu aliran psikologi yang
memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek-aspek mental.
Dalam konsep Behavior, perilaku manusia merupakan hasil belajar, sehingga dapat di ubah dengan
memanipulasi dan mengkreasi kondisi-kondisi belajar.
Dapat kita simpulkan bahwa isi dari teori nativime adalah perkembangan individu
ditentukan oleh faktor bawaan sejak lahir. Faktor lingkungan baik itu didalamnya suatu pendidikan
kurang berpengaruh terhadap perkembangan dan pendidikan anak. Kemudian pendidikan
dianggap suatu hal yang sia-sia karena pendidikan tidak akan dapat merubah kodrat bawaan
tersebut.
Selain dari iru terdapat beberapa faktor dan tujuan yang dicapai dari teori nativisme
tersebut dan saling terkait sehingga menghasilkan masyarakat yang baik. Selain itu pendidikan
tidak diperlukan dalam pembentukan kepribadian seseorang, sehingga antara pendidikan dan teori
tersebut tidak berhubungan.
Naturalisme menjadi landasan berpikir positivisme. Menurut positivism, kalau sesuatu itu
memang ada, maka adanya itu adalah jumlahnya, dapat diukur. Segala yang ada dapat diamati dan
dapat diukur. Sebaliknya segala yang tidak dapat diamati atau diukur secara ilmiah berarti tidak
dapat dipelajari secara positif. Kemudian membatasi pengetahuan pada bidang gejala-gejala, yang
dapat dipelajari, dan mendasarkan kepada fakta-fakta. Di samping itu naturalisme berpendapat
bahwa pengalaman merupakan awal dari segala pengetahuan, awal pengetahuan tentang asas-asas
yang diperoleh dan dikukuhkan oleh pengalaman.
Naturalisme pada dasarnya belum menyusun konsep pendidikan, lebih cendrung menganalisis
hubungan faktor-faktor yang mempengaruhi upaya dan hasil pendidikan secara faktual. Baliran
posistivisme mengutamakan sains pendidikan. Sains pendidikan yang dipergunakan dalam
mempelajari pendidikan, khususnya proses belajar-mengajar, ialah bearu pada filsuf berikutnya
melahirkan aliran positivisme dan kemudian muncul kajian ilmiah tentang perilaku, yang dikenal
dengan psikologi behaviorisme.
Aliran filsafat naturalisme memandang bahwa manusia diciptakan agar dapat belajar dan
berpikir untuk kembali kepada alam dan materi, dalam hal ini implikasi di dunia nyata bahwa
proses pendidikan dilakukan dengan berafiliasi kepada prinsip alam dan materi.
Implikasi di bidang pendidikan terhadap aliran filsafat naturalisme memandang bahwa
sekolah merupakan hal utama yang akan mengembangkan proses belajar tiap peserta didik untuk
dapat menemukan dan mengembangkan kepribadiannya dengan memperhatikan karakteristik dan
perkembangan alam yang ada.
Gagasan mengenai adanya suatu kejadian yang terdapat diluar ruang dan waktu, seperti
yang diajarkan oleh para filsuf nataralis, bukanlah suatu kenyataan, sedangkan manusia sebagai
mahluk yang terdapat dalam ruang dan waktu yang senantiasa berada dalam proses perubahan.
Makna naturalisme, sesuatu bersifat alam dan materi merupakan hukum alam fisik dan terjadi
menurut kodrat dan wataknya. Mahluk-mahluk hidup di dunia ini terdiri atas dua prinsip, yaitu
pertama, prinsip formal, yakni bentuk atau hakekat adalah apa yang mewujudkan mahluk hidup
tertentu dan menentukan tujuannya, dan kedua, prinsip material, yakni materi adalah apa yang
merupakan dasar semua mahluk.
Daftar Pustaka
Barnadib, Imam. 1992. Filsafat Pendidikan (Pengantar Mengenai Sistem dan Metode),
Yogyakarta: Andi Offset.
B.Uno, Hamzah. (2008). Orientasi baru dalam psikologi pembelajaran. Jakarta: PT bumi aksara.
Budiningsih, C., Asri , Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005
Riyanto, Yatim, Paradigma Baru Pembelajaran, Jakarta : Pranada Media Group, 2009
Soekarno dan Ahmad Supardi. 1985. Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Angkasa.
Syam, Mohammad Noor. 1986. Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Kependidikan
Pancasila. Surabaya: Usaha Nasonal.
Yamin, Martinis, Paradigma Baru Pembelajaran, Jakarta : Gaung Persada Press, 2011
ANALISIS PARADIGMA (FILSAFAT, TEORI, PRAKSIS DAN PRAKTIK)
PENDIDIKAN BEHAVIORISME, NATIVISME, NATURALISME
Oleh:
Novrianti