Anda di halaman 1dari 27

ANALISIS PARADIGMA (FILSAFAT, TEORI, PRAKSIS DAN PRAKTIK)

PENDIDIKAN BEHAVIORISME, NATIVISME, NATURALISME


Tugas / Minggu 3 / 5 (LIMA)
Tanggal 23 September 2019
Topik Analisis paradigma (Filsafat, Teori, praksis dan praktik)
pendidikan behaviorisme, nativisme, naturalisme
Dosen Pembina Prof. Dr. Jamaris Jamna, M.Pd.
Mahasiswa/Nim Novrianti/19169041

Ringkasan

1. Analisis Paradigma Pendidikan Behaaviorisme


Behaviorisme adalah teori perkembangan perilaku, yang dapat diukur, diamati dan
dihasilkan oleh respons pelajar terhadap rangsangan.Falasafah behavioristik yang biasa juga
disebut S-R stimulus-respon mencakup tiga teori yaitu S-R Bond, Conditioning, dan
Reinforcement. Kelompok teori ini berasumsi bahwa anak atau individu tidak
memiliki/membawa potensi apa-apa dari kelahirannya. Perkembangan anak ditentukan oleh
factor-faktor yang berasal dari lingkungan, apakah lingkungan keluarga, sekolah atau
masyarakat. Lingkungan manusia, alam, budaya, religi yang membentuknya. Kelompok teori
ini tidak mengakui sesuatu yang bersifat mental.
Teori S-R Bond (Stimulus-Response) bersumber dari psikologi koneksionisme atau
teori asosiasi dan merupakan teori pertama dari rumpun behaviorisme. Tokoh utama teori ini
adalah Edward L. Thorndike ada tiga hukum belajar yang sangat terkenal dari Thorndike, yaitu
law of readness, law of exercise or repetition dan law of effect (Bigge dan thurst, 1980:273).
Menurut hukum kesiapan, hubungan dengan stimulus dan respons akan terbentuk atau mudah
terbentuk apabila telah ada kesiapan pada sistem syaraf individu. Selanjutnya, hukum latihan
atau pengulangan, hubungan dengan stimulus dan respons akan terbentuk apabila sering dilatih
atau diulang-ulang. Menurut hukum akibat (law of effect), hubungan stimulus dan respons
akan terjadi apabila ada akibat yang menyenangkan.
Teori kedua dari rumpun behaviorisme adalah conditioning dan stimulus response with
conditioning. Tokoh utama teori ini Watson, terkenal dengan percobaan conditioning pada
anjing. Belajar atau pembentukan hubungan dengan stimulus dan respons perlu dibantu dengan
kondisi tertentu. Sebelum anak-anak masuk kelas dibunyikan bel, demikian terjadi setiap hari
dan setiap saat pertukaran jam pelajaran. Bunyi bel menjadi kondisi bagi anak sebagai tanda
memulai pelajaran di sekolah. Demikian juga dengan waktu makan pagi, siang, dan makan
malam dikondisikan oleh bunyi jam atau jarum jam.
Teori ketiga adalah reinforcement dengan tokoh utamanya C.L. Hull. Teori ini
berkembang dari teori psikologi, reinforcement, merupakan pekembangan lebih lanjut dari
teori S-R Bond dan Conditioning. Kalau pada teori conditioning kondisi diberikan pada
respons karena anak belajar sungguh-sungguh (stimulus) selain ia menguasai apa yang
dipelajarinya (respons) maka guru member angka tinggi, pujian, mungkin juga hadiah
merupakan reinforcement, supaya pada kegiatan belajarnya akan lebih giat dan sungguh-
sungguh.

2. Analisis Paradigma Pendidikan Nativisme


Aliran Nativisme adalah aliran yang lebih menekankan kemampuan dalam diri anak,
sehingga faktor lingkungan dianggap kurang berpengaruh terhadap perkembangan anak.
Tokoh aliran Nativisme adalah Schopenhaur (filsuf Jerman 1788-1860) berpendapat bahwa
bayi lahir itu sudah dengan bawaan baik dan buruk. Istilah Nativisme dari asal kata natie yang
artinya adalah terlahir. Bagi nativisme, lingkungan sekitar tidak ada artinya sebab lingkungan
tidak akan berdaya dalam mempengaruhi perkembangan anak. Aliran ini berpandangan bahwa
perkembangan individu ditentukan oleh faktor bawaan sejak lahir. Oleh karena itu, hasil
pendidikan ditentukan oleh bakat yang dibawa sejak lahir. Dengan demikian, menurut aliran
ini, keberhasilan belajar ditentukan oleh individu itu sendiri. Pendidikan anak yang tidak sesuai
dengan bakat yang dibawa tidak akan berguna bagi perkembangan anak itu sendiri.
Tetapi pembawaan bukanlah satu-satunya faktor yang menentukan perkembangan,
masih banyak faktor lain yang mampengaruhinya. Pandangan konvergensi akan memberikan
penjelasan tentang kedua faktor yaitu pambawaan (hereditas) dan dan lingkungan dalam
perkembangan anak. Terdapat suatu pokok pendapat aliran nativisme yang berpengaruh luas
yakni bahwa dalam diri individu terdapat suatu “inti“ pribadi (G.Leibnitz;Monad) yang
mendorong manusia untuk mewujudkan diri, menentukan pilihan kemauan sendiri, dan
menempatkan manusia sebagai makhluk aktif yang mempunyai kemauan bebas. Pandanga-
pandangan tersebut tampak antara lain humanistic psychologi (Carl R.Rogers) ataupun
phenomenologi/ humanistik lainnya.
Pendapat dari pendekatan phenomenologi/humanistik (Milhollan dan Forisha):
a. Pendekatan aktualisasi diri atau non-direktif (client centered) dari Cart R.Rogers dan
Abraham Maslow.
b. Pendekatan ’’Pendekatan Constructs’’ (George A.Kelly) yang menekankan memahami
hubungan ’’transaksional’’ antara manusia dan lingkungannya sebagai bekal
memahami perilakunya.
c. Pendekatan ’’Search for Meaning’’ dengan aplikasinya sebagai Logoterapy dari Victor
Franki yang mengungkapkan batapa pentingnya semangat (human spirit) untuk
mengatasi berbagai tantangan/masalah yang dihadapi.

3. Analisis Paradigma Pendidikan Naturalisme


Titus (1984: 293) mengatakan bahwa naturalisme, adalah teori yang menerima
“nature” (alam) sebagai keseluruhan realitas. Istilah “nature” telah dipakai dalam filsafat
dengan bermacam-macam arti, mulai dari dunia fisik yang dapat dilihat oleh manusia, sampai
kepada sistem total dari fenomena ruang dan waktu. Istilah naturalisme, adalah
supernaturalisme yang mengandung pandangan dualistik terhadap alam dengan adanya
kekuatan yang ada (wujud) di atas atau di luar alam. Hoeking dalam Titus (1984: 293),
menyatakan bahwa kata-kata “alam” yang dipakai dalam filsafat bukan hanya alamnya hutan,
gunung dan kehidupan liar. Alam tersebut juga alamnya astronomi yang mencakup bagian-
bagian yang luas dari bagian ruang dan waktu, dari fisika dan kimia serta analisisnya yang
bersifat atom dan sub atom. Dalam perspektif ini, kehidupan manusia mungkin nampak
sebagai suatu perincian, akan tetapi kata “alam” tidak merupakan kebalikan dari manusia,
karya-karyanya serta kebudayaannya; alam mencakup semua itu dalam suatu sistem fenomena
yang satu dan tidak terbagi-bagi.
Naturalisme merupakan aliran filsafat yang tertua (Barnadib, 1992: 22), dan
berpandangan bahwa kenyataan yang sebenarnya adalah alam semesta. Maka naturalisme
dapat menjadi materialisme. Filsafat naturalisme, adalah filsafat dunia ini, dan tiada
sesuatupun yang ada ini di baliknya. Atas dasar prinsip ini naturalisme modern cenderung
untuk menjadi pluralisme; sesuatu paham yang berpendirian, bahwa kenyataan itu terdiri dari
banyak tipe benda-benda alamiah.
Naturalisme dalam filsafat pendidikan mengajarkan bahwa guru yang paling
alamiah dari seorang anak adalah kedua orang tuanya. Tokoh filsafat pendidikan naturalisme
adalah John Dewey, disusul oleh Morgan Cohen yang banyak mengkritik karya-karya Dewey.
Baru kemudian muncul tokoh-tokoh seperti Herman Harrell Horne, dan Herbert Spencer yang
menulis buku berjudul Education: Intelectual, Moral, and Physical. Herbert menyatakan bahwa
sekolah merupakan dasar dalam keberadaan naturalisme. Sebab, belajar merupakan sesuatu
yang natural, oleh karena itu fakta bahwa hal itu memerlukan pengajaran juga merupakan
sesuatu yang natural . Paham naturalisme memandang guru tidak mengajar subjek, melainkan
mengajar murid. Terdapat lima tujuan pendidikan paham naturalisme yang sangat terkenal
yang diperkenalkan Herbert Spencer yang terkenal berjudul “Ilmu Pengetahuan Apa yang
Paling Berharga?”. Kelima tujuan itu adalah (1) Pemeliharaan diri; (2) Mengamankan
kebutuhan hidup; (3) Meningkatkan anak didik; (4) Memelihara hubungan sosial dan politik;
(5) Menikmati waktu luang.
Delapan prinsip dalam proses pendidikan beraliran naturalisme. Delapa (1)
Pendidikan harus menyesuaikan diri dengan alam; (2) Proses pendidikan harus menyenangkan
bagi anak didik; (3) Pendidikan harus berdasarkan spontanitas dari aktivitas anak; (4)
Memperbanyak ilmu pengetahuan merupakan bagian penting dalam pendidikan; (5)
Pendidikan dimaksudkan untuk membantu perkembangan fisik, sekaligus otak; (6) Praktik
mengajar adalah seni merenda; (7) Metode instruksi dalam mendidik menggunakan cara
induktif; (8) Hukuman dijatuhkan sebagai konsekuensi alam akibat melakukan kesalahan.
Kalaupun dilakukan hukuman, hal itu harus dilakukan secara simpatik. (J. Donald Butler :tt).
Pembahasan

1. Analisis Paradigma Pendidikan Behaaviorisme


Secara etimologi, Behaviorisme berasal dati kata behavior yang artinya tingkah laku
dan isme yang berarti paham atau aliran. Sedangkan secara terminologi, dimaksud
Behaviorisme adalah salah satu aliran dalam psikologi yang memandang individu dari sisi
fenomena jasmaniah atau perilaku nyata (overt behavior) yang ditampilkannya. Menurut teori
Behaviorisme, manusia sangat dipengaruhi oleh kejadian-kejadian di dalam lingkungannya
yang akan membérikan pengalaman-pengalaman belajar.
Ciri dari teori ini adalah mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil, bersifat
mekanistis, menekankan peranan lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau
respon, menekankan pentingnya latihan, mementingkan mekanisme hasil
belajar,mementingkan peranan kemampuan dan hasil belajar yang diperoleh adalah
munculnya perilaku yang diinginkan. Pada teori belajar ini sering disebut S-R psikologis
artinya bahwa tingkah laku manusia dikendalikan oleh ganjaran atau reward dan penguatan
atau reinforcement dari lingkungan. Dengan demikian dalam tingkah laku belajar terdapat
jalinan yang erat antara reaksi-reaksi behavioural dengan stimulusnya. Guru yang menganut
pandangan ini berpandapat bahwa tingkahlaku siswa merupakan reaksi terhadap lingkungan
dan tingkah laku adalah hasil belajar.
Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah
laku dimana reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk merangsang pebelajar
dalam berperilaku. Pendidik yang masih menggunakan kerangka behavioristik biasanya
merencanakan kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil
yang ditandai dengan suatu keterampilan tertentu. Kemudian, bagian-bagian tersebut disusun
secara hirarki, dari yang sederhana sampai yang komplek.
Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Namun dari
semua teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap
perkembangan teori belajar behavioristik. Program-program pembelajaran seperti Teaching
Machine, Pembelajaran berprogram, modul dan program-program pembelajaran lain yang
berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor penguat
(reinforcement), merupakan program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang
dikemukakan Skiner.
Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan
(reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan
semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka
responpun akan semakin kuat.
Prinsip-prinsip teori belajar Behaviorisme yang banyak diterapkan di dunia
pendidikan meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Proses belajar dapat terjadi dengan baik, bila peserta didik ikut terlibat aktif di dalam nya:
2. Materi pelajaran disusun dalam urutan yang logis supaya peserta didik mudah
mempelajarinya dan dapat memberikan respon tertentu;
3. Tiap-tiap respons harus diberi umpan balik secara langsung supaya peserta didik dapat
mengetahui apakah respons yang diberikannya telah benar;
4. Setiap kali peserta didik memberikan respons yang benar perlu diberi penguatan (Hartley
dan Davies, 1978 dalam Toeti Soekamto, 1992:23).
Prinsip-prlnsip teori belajar behaviorisme ini telah banyak digunakan dan
diterapkan dalam berbagai program pembelajaran. Misalnya mesin pengajaran, matematik
atau program-program pembelajaran lain yang rnenggunakan konsep stimulasi, respon, dan
fakror penguatan. Hal seperti ini biasa diterapkan dalam pembelajaran terprogram dan pnnsip
belajar tuntas. Dalam pembeiajaran terprogram, materi pelajaran disajikan bentuk unit - unit
terkecil yang mudah dipelajari peserta didik, bila setiap unit selesai peserta didik akan
mendapatkan umpan balik secara langsung.Sedangkan dalam belajar tuntas, materi dipecah
per unit, peserta didik tidak dapat pindah ke unit berikutnya bila belum mengusai unit yang
sebelumnya. Prinsip-prinsip bahaviorisme ini hingga sekarang masih dipakai dalam
mengembangkan program pembelajaran berbantuan komputer atau computer assisted
instruction, program multimedia interaktif dan sebagainya.
Dalam aplikasinya teori behaviorisme tergantung kepada beberapa seperti sifat
materi pelajaran, karakterlstik siswa, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Namun
secara umum aplikasi teori belajar Behaviorisme dalam pembelajaran meliputi beberapa
langkah:
1. Menentukan tujuan-tujuan instruksional;
2. menganalisis lingkungan kelas yang ada saat ini termasuk meng identifikasi entry behavior
siswa (pengetahuan awal siswa);
3. Menentukan materi pelajaran (pokok bahasan, topik, dan sebagainya);
4. memecah materi pelajaran menjadi bagian kecil-kecil (sub pokok bahasan, sub topik dan
sebagainya);
5. Menyajikan materi pelajaran;
6. Mengamati dan mengkaji respons yang diberikan;
7. Memberikan penguatan (mungkin penguatan positif atau penguatan negatif
8. Memberikan stimulus baru;
9. Mengamati dan mengkaji respons yang diberikan (mengevaluasi hasil be1ajar);
10. Memberikan penguatan;
11. Evluasi hasil belajar

Kaum behaviorisme menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan


tingkah laku dimana reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk merangsang
pebelajar dalam berperilaku. Pendidik yang masih menggunakan kerangka behaviorisme
biasanya merencanakan kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian
kecil yang ditandai dengan suatu keterampilan tertentu. Kemudian, bagian-bagian tersebut
disusun secara hirarki, dari yang sederhana sampai yang kompleks (Paul, 1997).
Pandangan teori behaviorisme telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Namun dari
semua teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap
perkembangan teori belajar behaviorisme. Program-program pembelajaran seperti Teaching
Machine, Pembelajaran berprogram, modul dan program-program pembelajaran lain yang
berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor penguat
(reinforcement), merupakan program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang
dikemukakan Skiner.
Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan situasi
belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan
dan/atau belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respons. Teori ini
tidak mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan
stimulus dan respon.
Pandangan behavioristme juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi
pebelajar, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan ini tidak
dapat menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan pengalaman
penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga
dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan behaviorisme hanya
mengakui adanya stimulus dan respons yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan
adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati
tersebut.
Teori behaviorisme juga cenderung mengarahkan pebelajar untuk berfikir linier,
konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan
proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa pebelajar menuju atau mencapai target
tertentu, sehingga menjadikan peserta didik tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal
banyak faktor yang memengaruhi proses belajar, proses belajar tidak sekedar pembentukan
atau shaping.
Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behaviorisme memang tidak
menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan pembelajaran. Namun apa yang
mereka sebut dengan penguat negatif (negative reinforcement) cenderung membatasi
pebelajar untuk berpikir dan berimajinasi.
Kelebihan Teori Behaviorisme
a. Teori ini cocok diterapkan untuk melatih anak anak yang masih membutuhkan dominasi
peran orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru dan senang
dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung seperti diberi permen atau pujian.
b. Membiasakan guru untuk bersikap jeli dan peka pada situasi dan kondisi belajar
Sedangkan kelemahan teori behaviorisme adalah sebagai berikut.
c. Pembelajaran siswa yang berpusat pada guru (teacher centered learning), bersifat
mekanistik, dan hanya berorientasi pada hasil yang diamati dan diukur.
d. Murid hanya mendengarkan dengan tertib penjelasan guru dan menghafalkan apa yang
didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif. Penggunaan hukuman sebagai
salah satu cara untuk mendisiplinkan siswa (teori skinner) baik hukuman verbal maupun
fisik seperti kata-kata kasar, ejekan, jeweran yang justru berakibat buruk pada siswa.
2. Analisis Paradigma Pendidikan Nativisme
Nativisme adalah pandangan bahwa keterampilan-keterampilan atau kemampuan-
kemampuan tertentu bersifat alamiah atau sudah tertanam dalam otak sejak lahir. Pandangan
ini berlawanan dengan empirisme, teori tabula rasa, yang menyatakan bahwa otak hanya
mempunyai sedikit kemampuan bawaan dan hampir segala sesuatu dipelajari melalui interaksi
dengan lingkungan. Aliran ini bertolak dari Leibnitzian Tradition, atau kemampuan dari diri
anak. Sehingga faktor lingkungan tidak berpengaruh dalam faktor pengembangan pendidikan
anak. Hasil pendidikan tergantung pembawaan, Schopenhouer (filsuf Jerman 1788-1860)
berpendapat bahwa bayi lahir dalam pembawaan baik dan buruk, maka keberhasilan
pendidikan ditentukan oleh anak itu sendiri. Nativisme berasal dari “nati” artinya terlahir, dan
bagi nativisme lingkungan sekitar tidak ada artinya sebab lingkungan tidak akan berdaya
dalam mempengaruhi perkembangan anak. Konvergensi menjelaskan dua faktor:
a) Pembawaan ( hereditas ).
b) Lingkungan dalam perkembangan anak.
Maka banyak didapati dalam aliran Nativisme itu anak mirip dengan orang tuanya baik
secara fisik dan non fisik (sifat). Di dalam diri individu terdapat “inti” (G. Leibnitz: Monad)
yang mendorong manusia yaitu kemauan aktif sendiri, dan manusia adalah makhluk yang
mempunyai kemauan bebas. Dalam pandangan humanistic psycology dari Carl R. Rogers
ataupun phenomenology atau humanistik lainnya. Apa yang dialami atau pengalaman pelajar
ditentukan “internal frame of reference” yang dimilikinya. Terdapat beberapa variasi
pendekatan yaitu:
a. Pendekatan aktualisasi atau non direktif (client centered) dari Carl R. Rogers dan Abraham
Maslow.
b. Pendekatan “Personal Constructs” dari George A. Kelly yang menekankan memahami
hubungan “transaksional” manusia dan lingkungan awalnya memahami perilakunya.
c. Pendekatan “Gestalt” baik yang klasik (Max Wertheimer dan Wolgang Kphler) maupun
pengembangan selanjutnya (K. Lewin dan F. Perls)
d. Pendekatan “Search for Meaning” dengan aplikasi “Logotherapy” dari Viktor Franki yang
mengungkapkan pentingnya semangat (human spirit) sebagai tantangan masalah.
Pendekatan-pendekatan tersebut di atas tetap menekankan pentingnya “inti” privasi
atau jati diri manusia. Sebelumnya telah disinggung mengenai teori nativisme tersebut,
pendidikan tidak bisa mengubah atau mempengaruhi perkembangan anak dan dengan adanya
pendidikan akan merusak perkembangan anak tersebut. Melihat hal tersebut muncul
pandangan dengan demikian dalam praktek atau aplikasi dari teori tersebut tidaklah
memerlukan suatu pendidikan baik itu pendidikan yang bersifat keras maupun lembut, dan
walaupun diberikan pendidikan maka akan menjadikannya suatu hal yang sia-sia.
Pendidikan sangatlah diperlukan oleh setiap manusia, karena tanpa pendidikan tidak
akan bisa berkembang walaupun dari bawaan sejak lahir sudah memiliki potensi. Fungsi
pendidikan yaitu memberikan dorongan atau menggandeng manusia untuk menjadi lebih naik
serta dengan adanya pendidikan dapat lebih lagi memaksimalkan, mengembangkan segala
potensi, bakat dan kemampuan yang dimiliki. Selain dari itu juga pendidikan tidak hanya
harus kepada akademik saja melainkan harus memperhatikan kegiatan-kegiatan yang bisa
juga untuk menjadi wadah dalam mengembangkan dan menyalurkan bakat anak diluar
akademik.
Menurut teori nativisme ada beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi
perkembangan manusia yaitu :
a) Faktor genetik
Orang tua sangat berperan penting dalam faktor tersebut dengan bertemunya atau
menyatunya gen dari ayah dan ibu akan mewariskan keturunan yang akan memiliki bakat
seperti orang tuanya. Banyak contoh yang kita jumpai seperti orang tunya seorang artis dan
anaknya juga memiliki bakat seperti orang tuanya sebagai artis.
b) Faktor kemampuan anak
Dalam faktor tersebut anak dituntut untuk menemukan bakat yang dimilikinya, dengan
menemukannya itu anak dapat mengembangkan bakatnya tersebut serta lebih menggali
kemampuannya. Jika anak tidak dituntut untuk menemukannya bakatnya, maka anak tersebut
akan sulit untuk mengembangkan bakatnya dan bahkan sulit untuk mengetahui apa
sebenarnya bakat yang dimilikinya.
c) Faktor pertumbuhan anak
Faktor tersebut tidak jauh berbeda dengan faktor kemampuan anak, bedanya yaitu
disetiap pertumbuhan dan perkembangannya anak selalu didorong untuk mengetahui bakat
dan minatnya. Dengan begitu anak akan bersikap responsiv atau bersikap positif terhadap
kemampuannya.
Dari ketiga faktor tersebut berpengaruh dalam perkembangan serta kematangan
pendidikan anak. Dengan faktor ini juga akan menimbulkan suatu pendapat bahwa dapat
mencipatakan masyarakat yang baik.
Dengan ketiga faktor tersebut, memunculkan beberapa tujuan dalam teori nativisme,
dimana dengan faktor-faktor yang telah disampaikan dapat menjadikan seseorang yang
mantap dan mempunyai kematangan yang bagus.
Adapun tujuannya adalah sebagai berikut :
a) Dapat memunculkan bakat yang dimiliki.
Dengan faktor yang kedua tadi, diharapkan setelah menemukan bakat yang dimiliki,
dapat dikembangkan dan akan menjadikan suatu kemajuan yang besar baginya.
b) . Menjadikan diri yang berkompetensi.
Hal ini berkaitan dengan faktor ketiga, dengan begitu dapat lebih kreatif dan inovatif
dalam mengembangkan bakatnya sehingga mempunyai potensi dan bisa berkompetensi
dengan orang lain.
c) Mendorong manusia dalam menetukan pilihan.
Berkaitan dengan faktor ketiga juga, diharpkan manusia bersikap bijaksana terhadap
apa yang akan dipilih serta mempunyai suatu komitmen dan bertanggung jawab terhadap apa
yang telah dipilihnya.
d) Mendorong manusia untuk mengembangkan potensi dari dalam diri seseorang.
Artinya dalam mengembangkan bakat atau potensi yang dimiliki, diharapkan terus
selalu dikembangkan dengan istilah lain terus berperan aktif dalam mengembangkannya,
jangan sampai potensi yang dimiliki tidak dikembangkan secara aktif.
e) Mendorong manusia mengenali bakat minat yang dimiliki.
Banyak orang bisa memaksimalkan bakatnya, karena dari dirinya sudah mengetahui
bakat-bakat yang ada pada dirinya dan dikembangkan dengan maksimal.
Melihat dari tujuan-tujuan itu memang bersifat positif. Tetapi dalam penerapan di
praktek pendidikan, teori tersebut kurang mengenai atau kurang tepat tanpa adanya pengaruh
dari luar seperti pendidikan. Dalam praktek pendidikan suatu kematangan atau keberhasilan
tidak hanya dari bawaan sejak lahir. Akan tetapi banyak faktor-faktor yang dapat
mempengaruhinya seperti lingkungan. Dapat diambil contoh lagi yaitu orang tua yang tidak
mampu dan kurang cerdas melahirkan anak yang cerdas daripada orang tuanya. Hal tersebut
tidak hanya terpaut masalah gen, tetapi ada dorongan-dorongan dari luar yang mempengaruhi
anak tersebut.
Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, sekarang ini yang ada dalam praktek
pendididkan tidak lagi memperhatikan apakah manusia memiliki bakat dari lahir atau tidak,
melainkan kemauan atau usaha yang dilakukan oleh manusia tersebut untuk kemajuan yang
besar bagi dirinya. Memang secara teoritis pendidikan tidaklah berpengaruh atau tidak
berdaya dalam membentuk atau mengubah sifat dan bakat yang dibawa sejak lahir. Kemudian
potensi kodrat menjadi cirri khas pribadi anak dan bukan dari hasil pendidikan. Terlihat jelas
bahwa anatara teori nativisme dan pendidikan tidak mempunyai hubungan serta tidak saling
terkait antara yang satu dengan lainnya. Oleh sebab itulah aliran atau teori nativisme ini
dianggap aliran pesimistis, karena menerima kepribadian anak sebagaimana adanya tanpa
kepercayaan adanya nilai-nilai pendidikan yang dapat ditanamkan intuk merubah
kepribadiannya.

3. Analisis Paradigma Pendidikan Naturalisme


Titus (1984: 293) mengatakan bahwa naturalisme, adalah teori yang menerima
“nature” (alam) sebagai keseluruhan realitas. Istilah “nature” telah dipakai dalam filsafat
dengan bermacam-macam arti, mulai dari dunia fisik yang dapat dilihat oleh manusia, sampai
kepada sistem total dari fenomena ruang dan waktu. Istilah naturalisme, adalah
supernaturalisme yang mengandung pandangan dualistik terhadap alam dengan adanya
kekuatan yang ada (wujud) di atas atau di luar alam. Hoeking dalam Titus (1984: 293),
menyatakan bahwa kata-kata “alam” yang dipakai dalam filsafat bukan hanya alamnya hutan,
gunung dan kehidupan liar. Alam tersebut juga alamnya astronomi yang mencakup bagian-
bagian yang luas dari bagian ruang dan waktu, dari fisika dan kimia serta analisisnya yang
bersifat atom dan sub atom. Dalam perspektif ini, kehidupan manusia mungkin nampak
sebagai suatu perincian, akan tetapi kata “alam” tidak merupakan kebalikan dari manusia,
karya-karyanya serta kebudayaannya; alam mencakup semua itu dalam suatu sistem fenomena
yang satu dan tidak terbagi-bagi.
Naturalisme merupakan aliran filsafat yang tertua (Barnadib, 1992: 22), dan
berpandangan bahwa kenyataan yang sebenarnya adalah alam semesta. Maka naturalisme
dapat menjadi materialisme. Filsafat naturalisme, adalah filsafat dunia ini, dan tiada
sesuatupun yang ada ini di baliknya. Atas dasar prinsip ini naturalisme modern cenderung
untuk menjadi pluralisme; sesuatu paham yang berpendirian, bahwa kenyataan itu terdiri dari
banyak tipe benda-benda alamiah.
Naturalisme dalam filsafat pendidikan mengajarkan bahwa guru yang paling
alamiah dari seorang anak adalah kedua orang tuanya. Tokoh filsafat pendidikan naturalisme
adalah John Dewey, disusul oleh Morgan Cohen yang banyak mengkritik karya-karya Dewey.
Baru kemudian muncul tokoh-tokoh seperti Herman Harrell Horne, dan Herbert Spencer yang
menulis buku berjudul Education: Intelectual, Moral, and Physical. Herbert menyatakan
bahwa sekolah merupakan dasar dalam keberadaan naturalisme. Sebab, belajar merupakan
sesuatu yang natural, oleh karena itu fakta bahwa hal itu memerlukan pengajaran juga
merupakan sesuatu yang natural . Paham naturalisme memandang guru tidak mengajar subjek,
melainkan mengajar murid. Terdapat lima tujuan pendidikan paham naturalisme yang sangat
terkenal yang diperkenalkan Herbert Spencer yang terkenal berjudul “Ilmu Pengetahuan Apa
yang Paling Berharga?”. Kelima tujuan itu adalah (1) Pemeliharaan diri; (2) Mengamankan
kebutuhan hidup; (3) Meningkatkan anak didik; (4) Memelihara hubungan sosial dan politik;
(5) Menikmati waktu luang.
Delapan prinsip dalam proses pendidikan beraliran naturalisme. Delapa (1)
Pendidikan harus menyesuaikan diri dengan alam; (2) Proses pendidikan harus menyenangkan
bagi anak didik; (3) Pendidikan harus berdasarkan spontanitas dari aktivitas anak; (4)
Memperbanyak ilmu pengetahuan merupakan bagian penting dalam pendidikan; (5)
Pendidikan dimaksudkan untuk membantu perkembangan fisik, sekaligus otak; (6) Praktik
mengajar adalah seni merenda; (7) Metode instruksi dalam mendidik menggunakan cara
induktif; (8) Hukuman dijatuhkan sebagai konsekuensi alam akibat melakukan kesalahan.
Kalaupun dilakukan hukuman, hal itu harus dilakukan secara simpatik. (J. Donald Butler :tt).
Titus (1984: 293-294) materialisme adalah istilah yang sempit dan merupakan bentuk
naturalisme yang lebih terbatas, aliran fisafat ini mengatakan bahwa di dunia ini tak ada selain
materi, dan dunia fisik adalah satu. Teori yang mengatakan bahwa atom materi yang berada
sendiri dan bergerak merupakan unsur-unsur yang membentuk alam, akal dan kesadaran
termasuk di dalamnya segala proses psikal merupakan mode materi dan dapat disederhanakan
menjadi unsur-unsur fisik. Teori ini menjadi doktrin, sebagai “energism” yang
mengembalikan segala sesuatu kepada energi, atau sebagai “positivisme” yang memberi
tekanan untuk sains dan meninggalkan “ultimate nature of reality” (realita yang paling tinggi).
Seely dalam Titus (1984: 294) mengatakan bahwa dalam pandangan materialisme
modern, alam itu merupakan kesatuan material yang tak terbatas; termasuk di dalamnya segala
materi dan energi (gerak atau tenaga) selalu ada dan akan tetap ada, dan alam (world). Dalam
arti lain, materialisme, adalah teori yang mengatakan bahwa semua bentuk dapat diterangkan
menurut hukum yang mangatur materi dan gerak. Benda-benda organik dan bentuk-bentuk
yang lebih tinggi dalam alam hanya merupakan bentuk yang lebih kompleks daripada bentuk
anorganik atau bentuk yang lebih rendah. Bentuk yang lebih tinggi tidak mengandung materi
atau energi baru dan prinsif sains fisik adalah cukup untuk menerangkan segala yang terjadi
atau yang ada. Semua proses alam, baik anorganik atau organik telah dipastikan dan dapat
diramalkan jika segala fakta tentang kondisi sebelumnya dapat diketahui.
Pendapat, teori, dan ajaran materialisme di atas, sangat berbeda dengan warisan dari
Yunani Kuno, yaitu Pythagoras, Plato, dan Aristoteles, yang menyatakan bahwa keteraturan
dan keberesan dunia disebabkan karena adanya akal atau maksud. Pendapat materialisme di
atas sejalan dengan pendapat filsuf kuno Yunani Democritus, yang menyatakan bahwa alam
ini dapat dijelaskan sebagai gerak. Oleh karena itu Titus (1984: 296) mengatakan bahwa
atomisme kuantitatif dari Democritus, yang merupakan penyajian pertama yang sistematik
dari aliran filsafat mekanik.
Titus (1984: 293—314), menyatakan bahwa bentuk-bentuk naturalisme, adalah
materialisme mekanik, dialektik dan sejarah. Filsuf-filsuf penting naturalisme ini,
dikelompokkan oleh Titus ke dalam aliran filsafat di atas, dan sebagai filsuf materialisme
mekanik, adalah Democritus (460 – 370 SM) (dalam beberapa literatur tertulis Demokritus),
Rene Descartes (1595 – 1650), Thomas Hobbes (1588 – 1679). Filsuf-filsuf materialisme
dialektik, adalah Karl Marx (1818 – 1883), Friedrich Engels (1820 – 1895), George Hegel
(1770 – 1831).
Bertens, (1988), mengatakan bahwa pemikiran aliran filsafat naturalisme di bidang
pendidikan. adalah pentingnya pendidikan itu sesuai dengan perkembangan alam. Manusia
diciptakan dan ditempatkan di atas semua makhluk, karena kemampuannya dalam berfikir.
Peserta didik harus dipersiapkan kepada dan untuk Tuhan. Untuk itu pendidikan yang
signifikan dengan pandangannya adalah pendidikan ketuhanan, budi pekerti dan intelek.
Pendidikan tidak hanya sebatas untuk menjadikan seseorang mau belajar, melainkan juga
untuk menjadikan seseorang lebih arif dan bijaksana.
Naturalisme, mengajarkan bahwa guru paling alamiah dari seorang anak adalah kedua
orang tuanya. Oleh karena itu, pendidikan bagi penganut paham naturalis perlu dimulai
sebelum proses pendidikan dilaksanakan. Sekolah merupakan dasar utama dalam keberadaan
aliran filsafat naturalisme karena belajar merupakan sesuatu yang natural, pengajaran juga
merupakan sesuatu yang natural juga. Paham naturalisme memandang guru tidak mengajar
subjek, melainkan mengajar murid.
Tanggapan

Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah pengembangan teori
dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini
menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik
dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu
yang pasif. Respons atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan
semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan menghilang
bila dikenai hukuman.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal
seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas
pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik
memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah
terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar
adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar.
Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yang sudah ada melalui
proses berpikir yang dapat dianalisis, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti
ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Pebelajar diharapkan akan
memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang
dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.
Demikian halnya dalam pembelajaran, pebelajar dianggap sebagai objek pasif yang selalu
membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik
mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu dalam
proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para pebelajar. Begitu juga dalam proses evaluasi
belajar pebelajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang
bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi.
Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang
memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan
mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-
mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respons sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau
robot. Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada
diri mereka.
Karena teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi dan
teratur, maka pebelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas
dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam
belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau
ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu
dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang
pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan
belajar. Pebelajar atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga
kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri pebelajar.
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan
pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut pebelajar untuk
mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes.
Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada keterampian yang terisolasi atau akumulasi
fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum
secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan
penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut.
Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.
Evaluasi menekankan pada respons pasif, keterampilan secara terpisah, dan biasanya
menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar.
Maksudnya bila pebelajar menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini
menunjukkan bahwa pebelajar telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang
sebagai bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai
kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan pebelajar secara
individual.
Telah cukup banyak dibicarakan hal-ikhwal tentang pendidikan, baik kaitannya dengan
hakikat kehidupan manusi, maupun kaitannya dengan kebudayaan sebagai produk dari proses
pendidikan. Pada saat manusia mengalami tahap perkembangan, naik secara fisik maupun
rohaninya dalam proses pendidikan, muncullah pertanyaan mendasar tentang faktor yang paling
berpengaruh terhaap perkembangan itu. Apakah faktor bakat dan kemampuan diri manusia itu
sendiri, atau faktor dari luar diri manusia, ataukah kedua-dunya itu secara bersama-sama. Dari
faktor pertamalah timbul teori yang disebut sebagai teori nativisme. Nativisme berasal dari kata
“nativus” artinya pembawaan.
Teori nativisme dikenal juga dengan teori naturalisme atau teori pesimisme. Teori ini
berpendapat bahwa manusia itu mengalami pertumbuhkembangan bukan karena faktor pendidikan
dan intervensi lain diluar manusia itu, melainkan ditentukan oleh bakat dan pembawaannya. Teori
ini berpendapat bahwa upaya pendidikan itu tidak ada gunanya san tidak ada hasilnya. Bahkan
menurut teori ini pendidikan it upaya itu justru akan merusak perkembangan anak.
Pertumbuhkembangan anak tidak perlu diintervensi dengan upaya pendidikan, agar
pertumbuhkembangan anak terjadi secara wajar, alamiah, sesuai dengan kodratnya.
Telah dibahas pada sebelumnya bahwa teori nativisme berpendapat tentang perkembangan
individu ditentukan oleh faktor bawan sejak lahir, serta faktor lingkungan kurang berpengaruh
terhadap pendidikan dan perkembangan anak. Menganalisis dari pendapat tersebut, anak yang
dilahirkan dengan bawaan yang baik akan mempunyai bakat yang baik juga begitu juga
sebaliknya. Faktor bawaan sangat dominan dalam menentukan keberhasilan belajar atau
pendidikan,. Faktor-faktor yang lainnya seperti lingkungan tidak berpengaruh sama sekali dan hal
itu juga tidak bisa diubah oleh kekuatan pendidikan. Pendidikan yang diselenggarakan merupakan
suatu usaha yang tidak berdaya menurut teori tersebut, karena anak akan menetukan keberhasilan
dengan sendirinya bukan melalui sebuah usaha pendidikan. Walaupun dalam pendidikan tersebut
diterapkan dengan keras maupun secara lembut, anak akan tetap kembali kesifat atau bakat dari
bawaannya. Begitu juga dengan faktor lingkungan, sebab lingkungan itu tidak akan berdaya
mempengaruhi perkembangan anak.
Dalam teori nativisme telah ditegaskan bahwa sifat-sifat yang dibawa dari lahir akan
menentukan keadaannya. Hal ini dapat diklaim bahwa unsur yang paling mempengaruhi
perkembangan anak adalah unsure genetic individu yang diturunkan dari orang tuanya. Dalam
perkembangannya tersebut anak akan berkembang dalam cara yang terpola sebagai contoh anak
akan tumbuh cepat pada masa bayi, berkurang pada masa anak, kemudian berkembang fisiknya
dengan maksimum pada masa remaja dan seterusnya.

Sebelumnya telah disinggung mengenai teori nativisme tersebut, pendidikan tidak bisa
mengubah atau mempengaruhi perkembangan anak dan dengan adanya pendidikan akan merusak
perkembangan anak tersebut. Melihat hal tersebut muncul pandangan dengan demikian dalam
praktek atau aplikasi dari teori tersebut tidaklah memerlukan suatu pendidikan baik itu pendidikan
yang bersifat keras maupun lembut, dan walaupun diberikan pendidikan maka akan
menjadikannya suatu hal yang sia-sia.
Pendidikan sangatlah diperlukan oleh setiap manusia, karena tanpa pendidikan tidak akan
bisa berkembang walaupun dari bawaan sejak lahir sudah memiliki potensi. Fungsi pendidikan
yaitu memberikan dorongan atau menggandeng manusia untuk menjadi lebih naik serta dengan
adanya pendidikan dapat lebih lagi memaksimalkan, mengembangkan segala potensi, bakat dan
kemampuan yang dimiliki. Selain dari itu juga pendidikan tidak hanya harus kepada akademik saja
melainkan harus memperhatikan kegiatan-kegiatan yang bisa juga untuk menjadi wadah dalam
mengembangkan dan menyalurkan bakat anak diluar akademik.
Telah cukup banyak dibicarakan hal-ikhwal tentang pendidikan, baik kaitannya dengan
hakikat kehidupan manusi, maupun kaitannya dengan kebudayaan sebagai produk dari proses
pendidikan. Pada saat manusia mengalami tahap perkembangan, naik secara fisik maupun
rohaninya dalam proses pendidikan, muncullah pertanyaan mendasar tentang faktor yang paling
berpengaruh terhaap perkembangan itu. Apakah faktor bakat dan kemampuan diri manusia itu
sendiri, atau faktor dari luar diri manusia, ataukah kedua-dunya itu secara bersama-sama. Dari
faktor pertamalah timbul teori yang disebut sebagai teori nativisme. Nativisme berasal dari kata
“nativus” artinya pembawaan.
Teori nativisme dikenal juga dengan teori naturalisme atau teori pesimisme. Teori ini
berpendapat bahwa manusia itu mengalami pertumbuhkembangan bukan karena faktor pendidikan
dan intervensi lain diluar manusia itu, melainkan ditentukan oleh bakat dan pembawaannya. Teori
ini berpendapat bahwa upaya pendidikan itu tidak ada gunanya san tidak ada hasilnya. Bahkan
menurut teori ini pendidikan it upaya itu justru akan merusak perkembangan anak.
Pertumbuhkembangan anak tidak perlu diintervensi dengan upaya pendidikan, agar
pertumbuhkembangan anak terjadi secara wajar, alamiah, sesuai dengan kodratnya.
Telah dibahas pada sebelumnya bahwa teori nativisme berpendapat tentang perkembangan
individu ditentukan oleh faktor bawan sejak lahir, serta faktor lingkungan kurang berpengaruh
terhadap pendidikan dan perkembangan anak. Menganalisis dari pendapat tersebut, anak yang
dilahirkan dengan bawaan yang baik akan mempunyai bakat yang baik juga begitu juga
sebaliknya. Faktor bawaan sangat dominan dalam menentukan keberhasilan belajar atau
pendidikan,. Faktor-faktor yang lainnya seperti lingkungan tidak berpengaruh sama sekali dan hal
itu juga tidak bisa diubah oleh kekuatan pendidikan. Pendidikan yang diselenggarakan merupakan
suatu usaha yang tidak berdaya menurut teori tersebut, karena anak akan menetukan keberhasilan
dengan sendirinya bukan melalui sebuah usaha pendidikan. Walaupun dalam pendidikan tersebut
diterapkan dengan keras maupun secara lembut, anak akan tetap kembali kesifat atau bakat dari
bawaannya. Begitu juga dengan faktor lingkungan, sebab lingkungan itu tidak akan berdaya
mempengaruhi perkembangan anak.
Dalam teori nativisme telah ditegaskan bahwa sifat-sifat yang dibawa dari lahir akan
menentukan keadaannya. Hal ini dapat diklaim bahwa unsur yang paling mempengaruhi
perkembangan anak adalah unsure genetic individu yang diturunkan dari orang tuanya. Dalam
perkembangannya tersebut anak akan berkembang dalam cara yang terpola sebagai contoh anak
akan tumbuh cepat pada masa bayi, berkurang pada masa anak, kemudian berkembang fisiknya
dengan maksimum pada masa remaja dan seterusnya.
Sebelumnya telah disinggung mengenai teori nativisme tersebut, pendidikan tidak bisa
mengubah atau mempengaruhi perkembangan anak dan dengan adanya pendidikan akan merusak
perkembangan anak tersebut. Melihat hal tersebut muncul pandangan dengan demikian dalam
praktek atau aplikasi dari teori tersebut tidaklah memerlukan suatu pendidikan baik itu pendidikan
yang bersifat keras maupun lembut, dan walaupun diberikan pendidikan maka akan
menjadikannya suatu hal yang sia-sia.
Pendidikan sangatlah diperlukan oleh setiap manusia, karena tanpa pendidikan tidak akan
bisa berkembang walaupun dari bawaan sejak lahir sudah memiliki potensi. Fungsi pendidikan
yaitu memberikan dorongan atau menggandeng manusia untuk menjadi lebih naik serta dengan
adanya pendidikan dapat lebih lagi memaksimalkan, mengembangkan segala potensi, bakat dan
kemampuan yang dimiliki. Selain dari itu juga pendidikan tidak hanya harus kepada akademik saja
melainkan harus memperhatikan kegiatan-kegiatan yang bisa juga untuk menjadi wadah dalam
mengembangkan dan menyalurkan bakat anak diluar akademik.
Aliran filsafat naturalisme lahir sebagai reaksi terhadap aliran filasafat pendidikan
Aristotalian-Thomistik. Naturalisme lahir pada abad ke 17 dan mengalami perkembangan pada
abad ke 18. Naturalisme berkembang dengan cepat di bidang sains. Ia berpandangan bahwa
"Learned heavily on the knowledge reported by man's sense". Naturalisme memaknai dunia
material saja, tidak ada fisik seperti “supranatural.” Tetapi dalam realita, alam terdiri atas alam
material dan alam spiritual, masing-masing dengan hukumnya sendiri. Era Pencerahan, misalnya,
memahami alam bukan sebagai keberadaan benda-benda fisik tetapi sebagai asal dan fondasi
kebenaran, tidak memperlawankan material dengan spiritual, mencakup alam fisik, alam
intelektual dan moral.
Salah satu ciri yang paling menakjubkan dari alam semesta adalah keteraturan. Benak
manusia sejak dulu menangkap keteraturan ini. Terbit dan tenggelamnya Matahari, peredaran
planet-planet dan susunan bintang-bintang yang bergeser teratur dari malam ke malam sejak
pertama kali manusia menyadari keberadaannya di dalam alam semesta, hanya merupakan contoh-
contoh sederhana. Ilmu pengetahuan hanya menjadi mungkin karena keteraturan tersebut yang
kemudian dibahasakan lewat hukum-hukum matematika. Naturalisme merupakan teori yang
menerima alam sebagai keseluruhan realitas, yang telah dipakai dalam filsafat dengan bermacam-
macam arti, mulai dari dunia fisik yang dapat dilihat oleh manusia, sampai kepada sistem total dari
fenomena ruang dan waktu. Natura, adalah dunia yang diungkapkan kepada kita oleh sains alam.
Istilah naturalisme adalah sebaliknya dari istilah supernaturalisme yang mengandung pandangan
dualistik terhadap alam dengan adanya kekuatan yang ada, wujud di atas atau di luar alam.
Filsafat yang dijadikan dasar pandangan bagi pelaksanaan pendidikan. Pengertian filsafat
sebagai ilmu yang komprehensif, dan pengertian pendidikan sebagai ilmu dan lembaga pembinaan
keperibadian manusia yang sedemikian luas lingkup dan permasalahannya. Pandangan hidup yang
telah diyakini kebenarannya oleh suatu bangsa diwariskan kepada generasi berikutnya,
dimaksudkan untuk menjaga kelestarian kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Sarana yang paling praktis dan efektif untuk mewariskan ide-ide filsafat kepada generasi penerus
bangsa adalah melalui pendidikan. Dalam hal ini tiap filsafat negara berarti pula dasar filsafat
pendidikan bangsa itu. Karena pendidikan adalah lembaga yang melaksanakan pembinaan
manusia baik sebagai warga negara maupun sebagai pribadi. Pendidikan harus mampu
melaksanakan tugas mengamankan dan mewariskan secara konsekuen nilai-nilai filsafat bangsa
dan negara demi kelangsungan hidup dan eksistensi bangsa itu . setiap bangsa yang melaksanakan
aktivitas pendidikan secara prinsipal adalah untuk membina nilai-nilai filosofis bangsa itu , setelah
itu barulah dimaksudkan untuk membina aspek-aspek pengetahuan dan kecakapan-kecakapan
yang lain.
Bidang ilmu pendidikan dengan segala cabangnya merupakan landasan ilmiah bagi
pelaksanaan pendidikan yang terus berkembang secara dinamis dan terus menerus. Filsafat
pendidikan sesuai dengan peranannya merupakan landasan filosofis yang menjiwai seluruh
kebijaksanaan dan pelaksanaan pendidikan. Kedua hal tersebut harus menjadi pengetahuan dasar
bagi setiap pelaksana pendidikan. Aktivitas pendidikan pada hakekatnya adalah membantu
manusia untuk mencapai kedewasaan dan kematangan. Potensi manusia yang paling alamiah,
adalah tumbuh dan berkembang untuk menuju kedua hal itu. Akan tetapi kenyataan bahwa tidak
semua manusia dapat berkembang sebagaimana yang diharapkan. Timbullah berbagai pemikiran
tentang hal-hal yang mempengaruhi proses kedewasaan dan kematangan, seperti perkembangan
manusia mutlak ditentukan oleh faktor nativis, sebaliknya ada yang menyatakan bahwa pengaruh
mutlak berasal dari lingkungan, dan pendapat yang mengabungkan antara bakat dan pendidikan.
Pembicaraan di atas, dalam filsafat pendidikan terkandung nilai-nilai, cita-cita, gambaran tentang
tingkah laku individu yang diharapkan. Sehingga dampak bagi pendidik sebagai pelaksana
pendidikan, pendidik harus memiliki “Filsafat” yang sistematis, logis, dan menyakini nilai-nilai
yang menjadi pandangan hidup bangsa. Cara berpikir, berperasaan, bersikap, dan bertingkah laku
harus mencerminkan dan merupakan manifestasi gambaran tentang masyarakat yang diharapkan
terwujud. Hal itu disebabkan tugas pendidik yang harus membantu mengarahkan anak-anak untuk
membentuk filsafat hidupnya yang sehat dan yang mencerminkan isi filsafat pendidikan, yaitu
Pancasila.
Materi adalah badan, karena badan material itu manusia harus mati, yang memberikan
bentuk kepada materi adalah jiwa. Jiwa manusia mempunyai beberapa fungsi yaitu memberikan
hidup vegetatif (seperti jiwa tumbuh-tumbuhan), lalu memberikan hidup sensitif (seperti jiwa
binatang) akhirnya membentuk hidup intelektif. Oleh karena itu jiwa intelektif manusia
mempunyai hubungan baik dengan dunia materi maupun dengan dunia rohani, maka Aristoteles
membedakan antara bagian akal budi yang pasif dan bagian akal budi yang aktif. Bagian akal budi
yang pasif berhubungan dengan materi, dan bagian akal budi yang yang aktif berhubungan dengan
rohani.
Bagian akal budi yang aktif itu adalah bersifat murni dan Illahi. Akal budi yang aktif
menjalankan dua tugas. Tugas yang pertama adalah memandanf yang Illahi untuk mencari
pengertian tentang mahluk-mahluk menurut bentuknya masing-masing. Tugas yang kedua dari
akal budi manusia yang aktif adalah memberikan bimbingan kepada hidup praktis. Disini
diperlukan sifat keberanian, keadilan dan kesederhanaan. Beberapa pandangan pandangannya
naturalisme menyatakan bahwa kejadian dianggap sebagai ketegori pokok, hakekat terdalam dari
kenyataan, artinya apapun yang bersifat nyata pasti termasuk dalam kategori alam. Yang nyata ada
pasti bereksistensi, sesuatu yang dianggap terdapat diluar ruang dan waktu tidak mungkin
merupakan kenyataan dan apapun yang dianggap tidak mungkin ditangani dengan menggunakan
metode-metode yang digunakan dalam ilmu-ilmu alam tidak mungkin merupakan kenyataan
Analisa terhadap kejadian-kejadian, bahwa faktor-faktor penyusun seganap kejadian ialah
proses, kualitas, dan relasi masalah hakekat terdalam merupakan masalah ilmu, bahwa segenap
kejadian baik kerohanian, kepribadian, dan sebagainya dapat dilukiskan berdasarkan kategori-
kategori proses, kualitas dan relasi. Pengetahuan ialah memahami kejadian-kejadian yang saling
berhubungan, pemahaman suatu kejadian, atau bahkan kenyataan, manakala telah mengetahui
kualitasnya, seginya, susunanya, satuan penyusunnya, sebabnya, serta akibat-akibatnya.
Kemudian muncul asumsi bahwa realitas dapat dikembangkan pada sifat-sifat yang sedang
mengalami perubahan gerak dalam ruang. Asumsi tersebut menunjukkan bahwa semua sains
seperti biologi, kimia, psikologi, fisika, sosiologi, ekonomi, dan yang lainnya ditinjau dari dasar
fenomena materi yang berhubungan secara kausal merupakan cabang sains mekanika. Apa yang
dikatakan jiwa (mind) dan segala kegiatannya (berpikir, memahami) merupakan suatu gerakan
yang kompleks dari otak, system urat saraf, atau organ-organ jasmani yang lain. Apa yang disebut
dengan nilai dan cita-cita, makna dan tujuan hidup, keindahan dan kesenangan, hanyalah sekedar
nama-nama atau semboyan, symbol subjektif manusia untuk situasi atau hubungan fisik yang
berbeda.
Kesimpulan

Secara pragmatis, teori belajar dapat dipahami sebagai prinsip umum atau kumpulan
prinsip yang saling berhubungan dan merupakan penjelasan atas sejumlah fakta dan penemuan
yang berkaitan dengan peristiwa belajar. Behaviorisme merupakan salah satu aliran psikologi yang
memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek-aspek mental.
Dalam konsep Behavior, perilaku manusia merupakan hasil belajar, sehingga dapat di ubah dengan
memanipulasi dan mengkreasi kondisi-kondisi belajar.
Dapat kita simpulkan bahwa isi dari teori nativime adalah perkembangan individu
ditentukan oleh faktor bawaan sejak lahir. Faktor lingkungan baik itu didalamnya suatu pendidikan
kurang berpengaruh terhadap perkembangan dan pendidikan anak. Kemudian pendidikan
dianggap suatu hal yang sia-sia karena pendidikan tidak akan dapat merubah kodrat bawaan
tersebut.
Selain dari iru terdapat beberapa faktor dan tujuan yang dicapai dari teori nativisme
tersebut dan saling terkait sehingga menghasilkan masyarakat yang baik. Selain itu pendidikan
tidak diperlukan dalam pembentukan kepribadian seseorang, sehingga antara pendidikan dan teori
tersebut tidak berhubungan.
Naturalisme menjadi landasan berpikir positivisme. Menurut positivism, kalau sesuatu itu
memang ada, maka adanya itu adalah jumlahnya, dapat diukur. Segala yang ada dapat diamati dan
dapat diukur. Sebaliknya segala yang tidak dapat diamati atau diukur secara ilmiah berarti tidak
dapat dipelajari secara positif. Kemudian membatasi pengetahuan pada bidang gejala-gejala, yang
dapat dipelajari, dan mendasarkan kepada fakta-fakta. Di samping itu naturalisme berpendapat
bahwa pengalaman merupakan awal dari segala pengetahuan, awal pengetahuan tentang asas-asas
yang diperoleh dan dikukuhkan oleh pengalaman.

Naturalisme pada dasarnya belum menyusun konsep pendidikan, lebih cendrung menganalisis
hubungan faktor-faktor yang mempengaruhi upaya dan hasil pendidikan secara faktual. Baliran
posistivisme mengutamakan sains pendidikan. Sains pendidikan yang dipergunakan dalam
mempelajari pendidikan, khususnya proses belajar-mengajar, ialah bearu pada filsuf berikutnya
melahirkan aliran positivisme dan kemudian muncul kajian ilmiah tentang perilaku, yang dikenal
dengan psikologi behaviorisme.
Aliran filsafat naturalisme memandang bahwa manusia diciptakan agar dapat belajar dan
berpikir untuk kembali kepada alam dan materi, dalam hal ini implikasi di dunia nyata bahwa
proses pendidikan dilakukan dengan berafiliasi kepada prinsip alam dan materi.
Implikasi di bidang pendidikan terhadap aliran filsafat naturalisme memandang bahwa
sekolah merupakan hal utama yang akan mengembangkan proses belajar tiap peserta didik untuk
dapat menemukan dan mengembangkan kepribadiannya dengan memperhatikan karakteristik dan
perkembangan alam yang ada.
Gagasan mengenai adanya suatu kejadian yang terdapat diluar ruang dan waktu, seperti
yang diajarkan oleh para filsuf nataralis, bukanlah suatu kenyataan, sedangkan manusia sebagai
mahluk yang terdapat dalam ruang dan waktu yang senantiasa berada dalam proses perubahan.
Makna naturalisme, sesuatu bersifat alam dan materi merupakan hukum alam fisik dan terjadi
menurut kodrat dan wataknya. Mahluk-mahluk hidup di dunia ini terdiri atas dua prinsip, yaitu
pertama, prinsip formal, yakni bentuk atau hakekat adalah apa yang mewujudkan mahluk hidup
tertentu dan menentukan tujuannya, dan kedua, prinsip material, yakni materi adalah apa yang
merupakan dasar semua mahluk.
Daftar Pustaka

Ali, Hamdani. 1990. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Kota Kembang.


Ali, Saifullah. H.A. 1403. Antara Filsafat dan Pendidikan: Pengantar Filsafat Pendidikan,
Surabaya: Usaha Nasional.

Bertens, k. 1990. Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Kanisius.

Barnadib, Imam. 1992. Filsafat Pendidikan (Pengantar Mengenai Sistem dan Metode),
Yogyakarta: Andi Offset.

B.Uno, Hamzah. (2008). Orientasi baru dalam psikologi pembelajaran. Jakarta: PT bumi aksara.

Budiningsih, C., Asri , Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005

Desmita. (2012). Psikologi perkembangan peserta didik. Bandung: PT remaja rosdakarya.

Gage, N.L., & Berliner, D. Educational Psychology, 1979.


Gazalba, Sidi. 1981. Sistematika Filsafat. Jakarta: Bulan Bintang.
Hall S. Calvin & Lindzey, Gardner, Psikology kebribadian 3, Teori-Teori sifat dan
behavioristik(diterjemahkan dari bukuTheories of personality, New york, Santa barbara
Toronto, 1978) , yogyakarta: Kanisius, 1993.

Hamersma, Harry. 1984. Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern, Jakarta: Gramedia.


Hanafi, Ahmad. 1991. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Peodjawijatna, I. R. 1994. Pembimbing ke Arah Alam Filsafat. Jakarta: Rhineka Cipta.
Peodjawijatna, I. R. 1998. Tahu dan Pengetahuan: Pengantar ke Ilmu dan Filsafat, Jakarta: Rineka
Cipta.

Riyanto, Yatim, Paradigma Baru Pembelajaran, Jakarta : Pranada Media Group, 2009

Salam, H. Burhanuddin. 1985. Filsafat Manusia, Bandung: Salman Jaya.

Soekarno dan Ahmad Supardi. 1985. Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Angkasa.

Syam, Mohammad Noor. 1986. Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Kependidikan
Pancasila. Surabaya: Usaha Nasonal.

Titus, Harold H.dkk., 1984. Persoalan-persoalan Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang.

Yamin, Martinis, Paradigma Baru Pembelajaran, Jakarta : Gaung Persada Press, 2011
ANALISIS PARADIGMA (FILSAFAT, TEORI, PRAKSIS DAN PRAKTIK)
PENDIDIKAN BEHAVIORISME, NATIVISME, NATURALISME

Oleh:
Novrianti

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2019

Anda mungkin juga menyukai