Anda di halaman 1dari 50

PIAGET DAN TEORINYA

I. PENDAHULUAN

Teori kognitif dari Jean Piaget ini masih tetap diperbincangkan dan diacu dalam
bidang pendidikan. Teori ini mulai banyak dibicarakan lagi kira-kira permulaan tahun
1960-an. Pengertian kognisi sebenarnya meliputi aspek-aspek struktur intelek yang
digunakan untuk mengetahui sesuatu. Piaget menyatakan bahwa perkembangan kognitif
bukan hanya hasil kematangan organisme, bukan pula pengaruh lingkungan semata,
melainkan hasil interaksi diantara keduanya.

Menurut Piaget, perkembangan kognitif mempunyai empat aspek, yaitu 1)


kematangan, sebagai hasil perkembangan susunan syaraf; 2) pengalaman, yaitu hubungan
timbal balik antara orgnisme dengan dunianya; 3) interaksi social, yaitu pengaruh-
pengaruh yang diperoleh dalam hubungannya dengan lingkungan social, dan 4)
ekullibrasi, yaitu adanya kemampuan atau system mengatur dalam diri organisme agar dia
selalu mempau mempertahankan keseimbangan dan penyesuaian diri terhadap
lingkungannya.

System yang mengatur dari dalam mempunyai dua factor, yaitu skema dan
adaptasi. Skema berhubungan dengan pola tingkah laku yang teratur yang diperhatikan
oleh organisma yang merupakan akumulasi dari tingkah laku yang sederhana hingga yang
kompleks. Sedangkan adaptasi adalah fungsi penyesuaian terhadap lingkungan yang
terdiri atas proses asimilasi dan akomodasi.

Piaget mengemukakan penahapan dalam perkembangan intelektual anak yang


dibagi ke dalam empat periode, yaitu :

Periode sensori-motor ( 0 2,0 tahun )

Periode pra-operasional (2,0 7,0 tahun )

Periode operasional konkret ( 7,0 11,0 tahun )

Periode opersional formal ( 11,0 dewasa )


Piaget memperoleh gelar Ph.D dalam biologi pada umur 21, ia kemudian tertarik pada
psikologi dan mempelajari anak-anak abnormal di salah satu rumah sakit di Paris. Pada
periode hidupnya, Piaget semakin tertarik pada logika anak dan metode berpikir yang
berbeda-beda yang digunakan anak dalam menjawab peertanyaan pada usia yang berbeda
pula. Selanutnya Piaget bekerja melakukan penelitian selama kurang lebih 40 tahun. Studinya
dipusatkan pada persepsi anak dalam pemahamannya mengenai alam/benda, jumlah, waktu,
perpindahan, ruang, dan geometri. Ia menganalisis operasi-operasi mental yang digunakan
oleh anak, cara berpikir simbolis dan logika mereka.

II. PERMASALAHAN

Apa pokok-pokok pikiran teori perkembanggan kognitif menurut Piaget dan bagaimana
implikasi teori Piaget dalam pendidikan ?

III. PEMBAHASAN

A. Pokok-pokok pikiran Piaget mengenai teori kognitif dan perkembangannya

Tujuan teori Piaget adalah untuk menjelaskan mekanisme dan proses perkembangan
intelektual sejak masa bayi dan kemudian masa kanak-kanak yang berkembang menjadi
seorang individu yang dapat bernalar dan berpikir menggunakan hipotesis-hipotesis.

Piaget menyimpulkan dari penelitiannya bahwa organisme bukanlah agen yang


pasif dalam perkembangan genetik. Perubahan genetic bukan peristiwa yang menuju
kelangsungan hidup suatu organisme melainkan adanya adaptasi terhadap lingkungannya
dan adanya interaksi antara organisme dan lingkungannya. Dalam responnya organisme
mengubah kondisi lngkungan, membangun struktur biologi tertentu yang ia perlukan
untuk tetap bisa memoertahankan hidupnya.perkembangan kognitif yang dikembangkan
Piaget banyak dipengaruhi oleh pendidikan awal Piaget dalam bidang biologi. Dari hasil
penelitiannya dalam bidang biologi. Ia sampai pada suatu keyakinan bahwa suatu
organisme hidup dan lahir dengan dua kecenderunngan yang fundamental, yaitu
kecenderunag untuk :

1. beradaptasi

2. organisasi ( tindakan penataan )


untuk memahami proses-proses penataan dan adaptasi terdapat empat konsep dasar, yaitu
sebagai berikut :

1. Skema

istilah skema atau skemata yang diberikan oleh Piaget untuk dapat menjelaskan
mengapa seseorang memberikan respon terhadap suatu stimulus dan untuk menjelaskan
banyak hal yang berhubungan dengan ingatan.

Skema adalah struktur kognitif yang digunakan oleh manusia untuk mengadaptasi
diri terhadap lingkungan dan menata lingkungan ini secara intelektual.

Adaptasi terdiri atas proses yang saling mengisi antara asimilasi dan akomodasi

2. Asimilasi

asimilasi itu suatu proses kognitif, dengan asimilasi seseorang mengintegrasikan bahan-bahan
persepsi atau stimulus ke dalam skema yan ada atau tingkah laku yang ada. Asimilasi
berlangsung setiap saat. Seseorang tidak hanya memperoses satu stimulis saja, melainkan
memproses banyak stimulus. Secara teoritis, asimilasi tidak menghasilkan perubahan
skemata, tetapi asimilasi mempnagruhi pertumbuhan skemata. Dengan demikian asimilasi
adalah bagian dari proses kognitif, denga proses itu individu secara kognitif megadaptsi diri
terhadap lingkungan dan menata lingkungan itu.

3. Akomodasi

Akomodasi dapat diartikan sebagai penciptaan skemata baru atau pengubahan skemata lama.
Asimilasi dan akomodasi terjadi sama-sama saling mengisi pada setiap individu yang
menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Proses ini perlu untuk pertumbuhan dan
perkembangann kognitif. Antara asimilasi dan akomodasi harus ada keserasian dan disebut
oleh Piaget adalah keseimbangan.

Untuk keperluan pegkonseptualisasian pertumbuhan kognitif /perkembangan


intelektual Piaget membagi perkemabngan ini ke dalam 4 periode yaitu :

Periode Sensori motor (0-2,0 tahun)


Pada periode ini tingksh laku anak bersifat motorik dan anak menggunakan system
penginderaan untuk mengenal lingkungannya untu mengenal obyek.

Periode Pra operasional (2,0-7,0 tahun)

Pada periode ini anak bisa melakukan sesuatu sebagai hasil meniru atau mengamati
sesuatu model tingkah laku dan mampu melakukan simbolisasi.

Periode konkret (7,0-11,0 tahun)

Pada periode ini anak sudah mampu menggunakan operasi. Pemikiran anak tidak lagi
didominasi oleh persepsi, sebab anak mampu memecahkan masalah secara logis.

Periode operasi formal (11,0-dewasa)

Periode operasi fomal merupakan tingkat puncak perkembangan struktur kognitif,


anak remaja mampu berpikir logis untuk semua jenis masalah hipotesis, masalah
verbal, dan ia dapat menggunakan penalaran ilmiah dan dapat menerima pandangan
orang lain.

Piaget mengeukakan bahwa ada 4 aspek yang besar yang ada hubungnnya dengan
perkembangan kognitif :

a. Pendewasaaan/kematangan, merupakan pengembanagn dari susunan syaraf.

b. Pengalaman fisis, anak harus mempunyai pengalaman dengan benda-benda dan


stimulus-stimulusdalam lingkungan tempat ia beraksi terhadap benda-benda itu.

c. Interaksi social, adalah pertukaran ide antara individu dengan individu

d. Keseimbangan, adalah suatu system pengaturan sendiri yang bekerja untuk


menyelesaikan peranan pendewasaan, penglaman fisis, dan interksi social.

B. Implikasi teori Piaget dalam pendidikan

Teori Piaget membahas kognitif atau intelektual. Dan perkembangan intelektual erat
hubungannya dengan belajar, sehhingga perkembangan intelektual ini dapat dijadkan
landasan untuk memahami belajar.
Belajar dapat didefinisikan sebagai perubahan tingkah laku yang terjadi akibat
adanya pengalaman dan sifatnya relatif tetap. Teori Piaget mengenai terjadinya belajar
didasari atas 4 konsep dasar, yaitu skema, asimilasi, akomodasi dan keseimbangan. Piaget
memandang belajar itu sebagai tindakan kognitif, yaitu tindakan yang menyangkut
pikiran. Tindakan kognitif menyangkut tindakan penataan dan pengadaptasian terhadap
lingkungan.

Piaget menginterpretasikan perkembangan kognitif dengan menggunakan diagram


berikut :

Berdasarkan diagram tersebut dimulai dengan meninjau anak yang sudah memiliki
pengalaman yang khas, yang berarti anak sudah memiliki sejumlah skemata yang khas. Pada
suatu keadaan seimbang sesaat ketika ia berhadapan dengan stimulus (bisa berupa benda,
peristiwa, gagasan) pada pikiran anak terjadi pemilahan melalalui memorinya. Dalam memori
anak terdapat 2 kemungkuinan yang dapat terjadi yaitu :

Terdapat kesesuaian sempurna antara stimulus dengan skema yang sudah ada
dalam pikiran anak
Terdapat kecocokan yang tidak sempurna, antara stimulus dengan skema yang
ada dalam pikiran anak.

Kedua hal itu merupakan kejadian ssimilasi.

Menurut diagram, kejadian kesesuaian yang sempurna itu merupakan penguatan terhadap
skema yang sudah ada. Stimulus yang baru (datang) tidak sepenuhnya dapat diasimilasikan
ke dalam skemata yang ada. Di sini terjadi semacam gangguan mental atau ketidakpuasan
mental seperti keingintahuan, kepedulian, kebingungan, kekesalan, dsb. Dalam keadaaan
tidak seimbang ini anak mempunyai 2 pilihan :

Melepaskan diri dari proses belajar dan mengabaikan stimulus atau menyerah dan
tidak berbuat aa-apa (jalan buntu)

Memberi tanggapan terhadap stimulus baru itu baik berupa tanggapan secara fisik
maupun mental. Bila ini dilakukan anak mengubah pandangannya atau skemanya
sebagai akibat dari tindakan mental yang dilakukannya terhadap stimulus itu. Peritiwa
ini disebut akomodasi.

IV. KESIMPULAN

Terori Piaget mengenai perkembangan kognitif mendenisikan kembali intelegensi,


pengetahuan, dan hubungan dengan lingkungannya.

Perkembangan kognitif mempunyai 4 aspek yaitu kematangan, pengalaman, interaksi


social, dan ekuilibrasi

Menurut Piaget setiap organisme hidup cenderung untuk melakukan adaptasi dan
organisasi. Dalam proses adaptasi dan organisasi rerdapat 4 konsep dasar yaitu skema,
asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi

Skema adalah struktur kognitif yang digunakan organisme untuk mengadaptasi diri
terhadap lingkungannya dan menata lingkungan itu secara intelektual.

Asimilasi adalh proses yang digunakan seseorang untuk mengintegrasikan bahan


persepsi baru atau stimuklus baru ke dalam skemata atai pola perilaku yang sudah
ada.
Daftar pustaka :

Dahar Ranta Willis Pof. Dr.M.SC.1989. teori-teori belajar.

Jakarta : Erlangga
A. Pendahuluan

Teori belajar Jean Piaget ini masih tetap diperbincangkan dan diacu dalam bidang
pendidikan. Teori ini mulai banyak dibicarakan lagi kira-kira permulaan tahun 1960-an.
Pengertian kognisi sebenarnya meliputi aspek-aspek struktur intelek yang digunakan untuk
mengetahui sesuatu. Piaget menyatakan bahwa perkembangan kognitif bukan hanya hasil
kematangan organisme, bukan pula pengaruh lingkungan semata, melainkan hasil interaksi
diantara keduanya. Menurut Piaget, teori belajar jean piaget, perkembangan kognitif
mempunyai empat aspek, yaitu 1) kematangan, sebagai hasil perkembangan susunan syaraf;
2) pengalaman, yaitu hubungan timbal balik antara orgnisme dengan dunianya; 3) interaksi
sosial, yaitu pengaruh-pengaruh yang diperoleh dalam hubungannya dengan lingkungan
sosial, dan 4) ekullibrasi, yaitu adanya kemampuan atau sistem mengatur dalam diri
organisme agar dia selalu mempu mempertahankan keseimbangan dan penyesuaian diri
terhadap lingkungannya. Sistem yang mengatur dari dalam mempunyai dua faktor, yaitu
skema dan adaptasi. Skema berhubungan dengan pola tingkah laku yang teratur yang
diperhatikan oleh organisme yang merupakan akumulasi dari tingkah laku yang sederhana
hingga yang kompleks. Sedangkan adaptasi adalah fungsi penyesuaian terhadap lingkungan
yang terdiri atas proses asimilasi dan akomodasi. Piaget mengemukakan penahapan dalam
perkembangan intelektual anak yang dibagi ke dalam empat periode, yaitu : Periode sensori-
motor ( 0 2 tahun ) Periode pra-operasional (2 7 tahun ) Periode operasional konkret ( 7
11 tahun ) Periode opersional formal ( 11 dewasa ) B. Pembahasan 1. Biografi Jean Piaget
Jean Piaget dilahirkan di Neuchatel, Swiss, pada tanggal 9 Agustus 1896. Ayahnya, Arthur
Piaget, adalah seorang profesor sastra Abad Pertengahan dan ahli sejarah. Ibunya, Rebecca
Jackson. Awalnya Piaget tertarik pada biologi dan berlanjut pada minatnya di psikologi. Ia
cukup mandiri dan menaruh minat pada alam, pada umur 11 tahun dia mempublikasikan
artikel peninjauan tentang burung gereja albino. Dan pada umur 15 tahun hingga 18 tahun,
dia mempublikasikan artikel tentang kerang-kerangan. Kemudian pada masa remaja, ia
menghadapi sedikit krisis iman: Didorong oleh ibunya untuk menghadiri pelajaran agama, ia
menemukan kekanak-kanakan argumen keagamaan. Mempelajari berbagai filsuf dan
penerapan logika, ia mendedikasikan dirinya untuk menemukan akhirnya, filosofi gagal
untuk membantu dirinya dalam pencarian penjelasan biologis pengetahuan., Jadi ia
berpaling ke psikologi. Setelah SMA, ia melanjutkan ke Universitas Neuchatel. Terus-
menerus belajar dan menulis, ia menjadi sakit-sakitan, dan harus pensiun ke desa selama satu
tahun untuk memulihkan diri. Pada waktu inilah Piaget tertarik pada dunia filsafat umumnya
dan epistemologi pada khususnya. Ketika ia kembali ke Neuchatel, ia menulis tentang
filsafat. Suatu titik fundamental yang menjadi inti untuk pekerjaan seumur hidup-nya: .
Dalam semua bidang kehidupan (organik, mental, sosial). Pada 1918, Piaget mendapat gelar
Doktor dari Universitas Neuchatel pada umur 21 tahun. Ia bekerja selama setahun di
laboratorium psikologi di Zurich dan di klinik yang terkenal psikiatri Bleulers. Selama
periode ini, dia diperkenalkan kepada karya-karya Freud, Jung, dan lain-lain. Pada tahun
1919, ia mengajar psikologi dan filsafat di Sorbonne di Paris. Di sini ia bertemu Simon
(Simon nama tenar Binet) dan melakukan penelitian pada pengujian kecerdasan. Pada tahun
1921, artikel pertamanya tentang psikologi kecerdasan telah diumumkan dalam Journal de
Psychologie. Pada tahun yang sama, ia menerima posisi di Institut JJ Rousseau di Jenewa. Di
sini ia mulai dengan murid-muridnya untuk penelitian penalaran anak SD. Penelitian ini
menjadi pertama lima buku tentang psikologi anak. Meskipun ia dianggap sebagai pekerjaan
ini sangat awal, ia terkejut oleh reaksi publik yang kuat positif terhadap karyanya. Pada tahun
1923, ia menikah dengan salah satu rekan muridnya, Pada tahun 1925, putri pertama mereka
lahir, pada tahun 1927, putri kedua mereka lahir, dan pada 1931, putra tunggal mereka lahir.
Mereka segera menjadi fokus pengamatan intens oleh Piaget dan istrinya. Pada 1929, Piaget
mulai bekerja sebagai direktur Biro Pendidikan Internasional sampai 1967. Ia juga memulai
penelitian berskala besar dengan A. Szeminska, E. Meyer, dan terutama Barbel Inhelder,
yang akan menjadi kolaborator utamanya. Pada tahun 1940, Ia menjadi ketua Eksperimental
Psikologi, Direktur laboratorium psikologi, dan presiden Masyarakat Swiss Psikologi. Pada
tahun 1942, ia memberikan serangkaian kuliah di College de France, selama pendudukan
Nazi di Perancis. Kuliah ini menjadi The Psychology of Intelligence. Pada akhir perang, ia
diangkat Presiden Komisi Swiss UNESCO. Juga selama periode ini, ia menerima sejumlah
gelar kehormatan. Dia menerima satu dari Sorbonne pada tahun 1946, University of Brussels
dan Universitas Brasil pada 1949, di atas salah satu yang sebelumnya dari Harvard pada
tahun 1936. Dan, pada tahun 1949 dan 1950, ia menerbitkan sintesis nya, Pengantar
Epistemologi Genetika. Pada tahun 1952, ia menjadi profesor di Sorbonne. Pada tahun 1955,
dia menciptakan Pusat Internasional untuk Epistemologi Genetika, di mana ia menjabat
sebagai direktur sisa hidupnya. Dan, pada tahun 1956, ia menciptakan School of Sciences di
Universitas Jenewa. Dia terus bekerja di suatu teori umum tentang struktur dan mengikat
kerja psikologis untuk biologi selama bertahun-tahun. Demikian juga, ia melanjutkan
pelayanan publik lewat UNESCO sebagai delegasi Swiss. Pada akhir kariernya, ia telah
menulis lebih dari 60 buku dan ratusan artikel. Dia meninggal di Jenewa, 16 September 1980,
salah satu psikolog yang paling signifikan dari abad kedua puluh.

2. Konsep Teoritis Utama dalam teori belajar jean piaget


a). teori belajar jean piaget, Inteligensi Piaget pernah bekerja bersama di Binet Testing
Laboratory di Paris, dimana ia ikut dalam membantu menyusun standart tes kecerdasaan.
Pendekatan laboratorium Binet dalam melakukan pengetesan adalah menggunakan sejumlah
pernyataan tes, yang kemudian disajikan kepada anak berbagai usia. Nilai kecerdasan anak
dihitung berdasarkan jawaban benar dari anak usia tertentu. Dalam menyusun standar tes
kecerdasan, Pieget mencatat sesuatu yang berpengaruh besar tehadap teori perkembangan
intelektualnya. Dia menemukan bahwa jawaban yang salah untuk pertanyaan tes adalah lebih
informatif ketimbang jawaban yang benar. Dia mengamati bahwa kesalahan yang serupa
dibuat oleh anak yang usianya kira-kira sama dan jenis kesalahan yang dibuat oleh anak usia
tertentu berbeda secara kualitatif dengan jenis kesalahan yang dibuat oleh anak usia yang
berbeda. Pieget mengamati lebih jauh bahwa sifat dasar dari kesalahan ini tidak dapat
dijelasakan secara memadai dalam situasi tes yang sanagat teratur dimana anak menjawab
pertanyaan secara benar dan salah. Piaget mengunakan Clinical Metode (metode klinis) yang
berupa pertanyaan terbuka, dengan menggunakan metode klinis pertanyaan-pertanyaan
Piaget akan menentukan pertanyaan si anak, jika anak mengatakan sesuatu yang menarik,
Piaget akan menyusun sejumlah pertanyaan yang dirancang untuk mengekplorasi pertanyaan
itu secara lebih mendalam. Diatas kita telah menyinggung bahwa Piaget menentang
pendefenisian intelengensi (inteleensi) dalam jumlah item yang dijawab dengan benar yang
dalam tes intelegensi menurut Piaget tindakan yang cerdas adalah tindakan yang
menimbulkan kondisi yang mendekati optimal untuk kelangsungan organisme, dengan kata
lain intelegensi memungkinkan organisme untuk menangani secara efektif lingkungannya,
karena lingkungan dan organisme senantiasa berubah, sebuah interaksi yang cerdas antara
keduanya terus-menerus berubah. Sebuah tindakan yang cerdas selalu cendrung menciptakan
kondisi optimal untuk survival organisme didalam situasi yang sedang dialaminya, jadi
menurut Piaget intelegensi adalah ciri bawaan yang dinamis, sebab tindakan yang cerdas
akan berubah saat organisme itu makin matang secara biologis dan mendapat pengalaman
menurut Piaget bagian integral dari setiap organisme karena semua organisme yang hidup
mencari kondisi yang kondusif untuk kelangsungan hidup mereka, namun bagaimana
kecerdasan memanifestasikan dirinya pada waktu tertentu akan selalu berfariasi sesuai
kondisi yang ada. Teori Piaget sering disebut sebagai Genetik Epistemologi (epistemologi
genetik) karena teori ini berusaha melacak perkembangan kemampuan intelektual. Perlu
dijelskan bahwa disini istilah genetik mengacu pada pertumbuhan developmental bukan
warisan biologis.

b). teori belajar jean piaget, Skemata Seoarang dilahirkan dengan sedikit reflek yang
terorganisir, seperti menyedot, melihat, menggapai, dan memegang. Alih-alih mendiskusikan
kejadian individual dari reflek ini, Piaget lebih memilih berbicara tentang potensi umum
untuk melakukan hal-hal seperti mengusap, menatap, manggapai, atau memegang. Potensi
untuk bertindak dengan cara tertentu disebut sebagai Shcema (Schemata:jamak). Misalnya,
scema memegang adalah kemampuan umum untuk memegang sesuatu scema lebih dari
sekedar manifestasi refleksi memegang saja. Scema memegang dapat dianggap sebagai
struktur kognitif yang membuat semua tindakan memegang bisa memungkinkan. Dengan
kata lain Skema adalah struktur kognitif yang digunakan oleh manusia untuk mengadaptasi
diri terhadap lingkungan dan menata lingkungan ini secara intelektual. Sedangkan adaptasi
terdiri atas proses yang saling mengisi antara asimilasi dan akomodasi. Ketika setiap tindakan
memegang tertentu akan diamati atau dideskripsikan, maka seorang meski berbicara dalam
term respon spesifik terhadap stimuli spesifik. Aspek manifestasi partikular dari scema ini
dinamakan kontek (isi). Sekali lagi, scema adalah potensi umum untuk melakukan suatu
kelompok prilaku, dan isi mendepkripsiakan kondisi-kondisi yang berlaku sama terjadi
manifestasi potensi umum.

c). teori belajar jean piaget, Asimilasi dan Akomodasi Proses merespon lingkungan sesuai
dengan struktur kognitif seseorang dinamakan Assimilalation (asimilasi), yakni jenis
percocokan atau penyesuaian antara strutur kognitif dengan lingkungan fisik. Struktur
kognitif yang eksis pada momen tertentu akan dapat diasimilasikan oleh organisme.
Misalnya, jika scema mengisap, menatap, menggapai dan memegang sudah tersedia bagi
anak, maka segala sesuatu yang dialami anak akan diasimilasikan ke scema itu. Saat struktur
kognitif berubah, maka anak mungkin bisa mengasimilasikan aspek-aspek yang berbeda dari
lingkungan fisik. Asimilasi itu suatu proses kognitif, dengan asimilasi seseorang
mengintegrasikan bahan-bahan persepsi atau stimulus ke dalam skema yan ada atau tingkah
laku yang ada. Asimilasi berlangsung setiap saat. Seseorang tidak hanya memperoses satu
stimulis saja, melainkan memproses banyak stimulus. Secara teoritis, asimilasi tidak
menghasilkan perubahan skemata, tetapi asimilasi mempnagruhi pertumbuhan skemata.
Dengan demikian asimilasi adalah bagian dari proses kognitif, denga proses itu individu
secara kognitif megadaptasi diri terhadap lingkungan dan menata lingkungan itu. Jelas, jika
asimilasi adalah satu-satunya proses kognitif, maka tidak akan ada perkembangan intelektual
sebab organisme hanya akan mengasimilasikan pengalamannya kedalam struktur kognitif.
Namun, proses penting kedua menghasilkan mekanisme untuk perkembangan intelektual:
Accommodation (akomodasi), proses memodifikasi strutur kognitif. Akomodasi dapat
diartikan sebagai penciptaan skemata baru atau pengubahan skemata lama. Asimilasi dan
akomodasi terjadi sama-sama saling mengisi pada setiap individu yang menyesuaikan diri
dengan lingkungannya. Proses ini perlu untuk pertumbuhan dan perkembangann kognitif.
Antara asimilasi dan akomodasi harus ada keserasian dan disebut oleh Piaget adalah
keseimbangan. Setiap pengalaman yang dialami sesesorang akan melibatkan asimilasi dan
akomodasi. Kejadian-kejadian yang berkorespondensi dengan skemata organisme
membutuhkan akomodasi. Jadi, semua pengalaman melibatkan dua proses yang sama-sama
penting: pengenalan , atau pengetahuan yang berhubungan proses asimilasi dan akomodasi,
yang menghasilkan modifikasi struktur kognitif. modifikasi ini dapat disamankan dengan
proses belajar. Dengan kata lain, kita merespon dunia berdasarkan pengalaman kita
sebelumnya (asimilasi), tetapi setiap pengalaman memuat aspek-aspek yang berbeda dengan
pengalaman yang kita alami sebelumnya. Aspek unik dari pengalaman ini menyebabkan
perubahan dalam struktur kognitif kita (akomodasi). Akomodasai karenanya menyediakan
sarana utama bagi perkembangan intelektiual.

d). teori belajar jean piaget, Ekuilibrasi Piaget berasumsi bahwa semua organisme punya
tendensi bawaan untuk menciptakan hubungan harmonis antara dirinya dengan
lingkungannya. Dengan kata lain, semua aspek dari organisme diarahkan menuju adaptasi
yang optimal. Ekuilibrasi (penyeimbangan) adalah tendensi bawaan untuk
mengorganisasikan pengalaman agar mendapatkan adaptasi yang maksimal. Ekuilibrasi
diartikan secara sederhana sebagai dorongan terus-menerus ke arah keseimbangan atau
ekuilibrium. Asimilasi memungkinkan organisme untuk merespon situasi sekarang sesuai
dengan pengetahuan sebelumnya. Karena aspek unik dari situasi ini tidak dapat direspon
berdasarkan pengetahuan sebelumnya, maka aspek unik atau baru dari pengalaman ini akan
menyebabkan sedikit ketidakseimbangan kognitif. Karena ada kebutuhan untuk mencapai
harmoni (ekuilibrium), struktur mental organisme berubah agar dapat memasukkan aspek
unik dari pengalaman ini dan menyebabkan upaya penyeimbangan kognitif kembali. Tetapi
selain usaha memulihkan keseimbangan, penyesuain ini membuka jalan bagi interaksi baru
dan berbeda dengan lingkungan. Akomodasi tersebut menyebabkan perubahan struktur
mental, sehingga jika aspek lingkungan yang sebelumnya unik kemudian dijumpai lagi, aspek
itu tidak akan menimbulkan ketidakseimbanagn; yakni aspek itu akan mudah diasimilasikan
ke dalam strutur kognitif organisme. Selain itu, tatanan kognitif ini membentuk basis untuk
akomodasi yang baru, sebab akomodasi selalu muncul dari ketidakseimbangan, dan yang
menyebabkan ketidakseimbangan itu selalu terkait dengan struktur kognitif organisme saat
ini. Secara bertahap, melalui proses penyesusian diri ini, informasi yang pada satu waktu
tidak bisa diasimilasi, pada akhirnya bisa diasimilasi. Mekanisme asimilasi dan akomodasi,
dan kekuatan penggerak ekuilibrasi, akan menghasilkan pertumbuhan intelektual yang pelan
tapi pasti. Proses ini dapat digambar sebagai berikut: Lingkungan Struktur kognitif Persepsi
Belajar Asimilasi Akomodasi

e). teori belajar jean piaget, Interiorisasi Setelah struktur kognitif makin luas, anak-anak
mampu merespon situasi yang lebih kompleks. Mereka juga tidak lagi terlalu bergantung
pada situasi sekarang. Misalnya mereka mampu memikirkan objek yang sebelumnya tidak
mampu mereka pikirkan. Apa yang kini dialami anak adalah fungsi dari lingkungan fisik dan
struktur kognitifnya, yang merefleksikan akumulasi pengalaman sebelumnya. Penurunan
ketergantungan pada lingkunagan fisik dan meningkatnya penggunaan struktur kognitif ini
dinamakan Interiorization (interiorisasi).

3. Tahap-Tahap Perkembangan pada teori belajar jean piaget

a). Sensorimotor Stage ( Umur 0-2 tahun ) Pada tahap ini, anak berinteraksi aktif dengan
lingkungannya. Masa ini, masa untuk kemampuannya mulai mengartikan dunia yang mereka
lihat. Bagi anak yang berada pada tahap ini, pengalaman diperoleh melalui fisik (gerakan
anggota tubuh) dan sensori (koordinasi alat indra). Pada mulanya pengalaman itu bersatu
dengan diri anak, ini berarti bahwa suatu objek itu dianggap ada bila berada pada
penglihatannya. Perkembangan selanjutnya ia mulai berusaha untuk mencari objek yang
mulanya terlihat kemudian menghilang dari pandangannya, asal perpindahannya terlihat.
Akhir dari tahap ini ia mulai mencari objek yang hilang bila benda tersebut tidak terlihat
perpindahannya. Objek mulai terpisah dari diri sang anak dan bersamaan dengan itu, konsep
objek dalam struktur kognitifnya pun mulai dikatakan matang. Dalam arti Ia mulai mampu
untuk melambungkan objek fisik ke dalam simbol-simbol, misalnya mulai bisa berbicara
meniru suara kendaraan, suara binatang, dll. Intinya, pada masa kanak-kanak ini, anak belum
mempunyai konsepsi tentang objek yang tetap. Ia hanya dapat mengetahui hal-hal yang
ditangkap dengan indranya saja. Piaget (1952) mengatakan, bahwa ada dua proses yang
bertanggungjawab atas cara anak menggunakan dan mengadaptasi skema mereka pada
sensorimotor ini yaitu asimilasi dan akomodasi. Contoh, seorang anak berumur 2 tahun diberi
sebuah pulpen untuk menuliskan sesuatu. Dia belum pernah menggunakan pulpen
sebelumnya. Ia hanya memperhatikan orang lain sebagaimana mestinya menggunakan sebuah
pulpen. Maka ia pun tahu menggunakannya dengan memegang batangnya secara vertikal dan
mengoyang-goyangkan membentuk suatu pola (Asimilasi). Namun, karena baru pertama kali
ia menulis maka yang terbentuk hanyalah coretan-coretan biasa. Disinilah perlu penyesuaian
gerakan pulpen yang tepat mebentuk suatu pola yang berarti. (Akomodasi). Tahap
Sensorimotor stage ini masih terbagai menjadi 6 sub-stages, yaitu:

1) teori belajar jean piaget, Pada tahap ini anak mulai mengembangkan kemampuan
refleksnya (terjadi secara spontan, tidak sengaja dan tidak terbedakan). Anak belum dapat
membedakan jenis-jenis rangsangan, ia akan menggenggam dan mengisap apapun yang dekat
dengannya. Dalam teori perkembangan kognitif Piaget, Dr. paul suparno; pada tahap ini anak
melakukan gerakan menyusu, berarti telah melakukan asimilasi fungsional (melatih diri agar
fungsi mengisapnya berjalan dengan baik.), melakukan asimilasi yang reproduktif, General
Assimilation (skema mengisap diperluas tidak hanya sebatas menghisap susu ibu, tapi
benda-benda lain didekatnya) dan asimilasi rekognitif dimana anak atau bayi mulai
membedakan dan mengenal benda-benda yang diisap. Ciri sub-tahap ini, belum mempunyai
konsep benda, konsep ruang masih bersifat fragmentaris, dan konsep kausalitas anak juga
masih egosentris.

2) teori belajar jean piaget, Pada tahap ini umumnya, anak mulai muncul kebiasaan yang ia
interpretasikan dari apa yang ia perhatikan dari lingkungannya (lewat pendengaran atau
pengelihatan ). Cirri sub-tahap ini adalah : anak mulai meniru (imitasi,suatu ungkapan bayi
untuk mengnal realitas dan berinteraksi dengan dunia secara aktif) konsep benda sudah
mulai berkembang konsep ruang ada, yaitu mengikuti benda-benda yan bergerak atau yang
bersuara Konsep kausalitas belum banyak berkembang

3) teori belajar jean piaget, Tahap ini muncul antara usia empat sampai sembilan bulan dan
berhubungan terutama dengan koordinasi antara penglihatan dan pemaknaan. Ciri pada sub
tahap ini : Konsep benda ada, anak dapat mengantisipasi secara visual letak sebuah benda.
Konsep ruang berkembang, missal dalam kegiatan menyusu eorang bayi telah
mengkoordinasikan ruang gerak mulut dan jamahan tangannya pada putting susu ibu.
Konsep kausalitas ada tapi masih egosentris

4) teori belajar jean piaget, Tahap ini muncul dari usia Sembilan sampai dua belas bulan, saat
berkembangnya kemampuan untuk melihat objek sebagai sesuatu yang permanen walau
kelihatannya berbeda kalau dilihat dari sudut berbeda (permanensi objek). Cirri sub tahap ini
: Konsep benda ada, anak dapat mencari suatu benda yang disembunyikan sepanjang masih
dalam pengelihatannya Konsep ruang berkembang Konsep kausalitas ada, disini anak
sadar untu pertama kalinya bahwa objek lainya dapat menyebabkan aktivitas
tertentu.(wadsworth) (anak digelitik, maka ia akan tertawa)

5)teori belajar jean piaget, Tahap ini muncul dalam usia dua belas sampai delapan belas
bulan dan berhubungan terutama dengan penemuan cara-cara baru untuk mencapai tujuan.
Cirri pada sub tahap ini : Konsep benda mulai maju dan lengkap. Misal anak dapat
memperhitungkan perpindahan berurutan suatu objek. Konsep ruang ada. Misal pada sub
tahap ini anak mulai mengerti ada hubungannya anatara benda-benda dalam suatu ruangan.
Konsep kausalitas semakin berkembang. Anak semakin sadar bahwa orang lain dan juga
benda lain dapat menjadi penyebab suatu tindakan.

6)teori belajar jean piaget, Pada sub tahap ini dimulai sebuah representasi simbolik terutama
tentang wawasan dan kreativitas. Ciri pada sub tahap ini : Konsep benda sudah maju.
Reprenstasi ini mebiarkan anak untuk mencari dan menemukan objek-objek yang sunguh-
sungguh disembunyikan. Konsep ruang ada. Disini anak sadar akan gerakan suatu benda
sehiungga dapat mencarinay secara masuk akal bila bnenda itu tidak kelihatan lagi. Konsep
kausalitas. Anak sadar akan apa yang dialihat tak mampu ia lakukan sehingga mencari jalan
lain untuk menyelsaikannya secara sangat sederhaana. b). Pre-Operational Period (umur 27)
Preoperational Stage adalah tahap kedua dari empat tahap perkembangan intelektual atau
kognitif seorang anak. Berdasarkan dari rangkaian observasi dari Piaget, ia
mendemonstrasikan bahwa diakhir tahun kedua anak terdapat perkembangan fungsi
psikologinya. Pemikiran pra-operasional bisa dibagi lagi menjadi dua subtahap: 1) Fungsi
Simbolis (2-4 tahun) Sub tahap fungsi simbolis terjadi kira-kira antara usia dua sampai empat
tahun. Dalam subtahap ini, anak kecil secara mental mulai bisa merepresentasikan objek yang
tak hadir. Ini memperluas dunia mental anak hingga mencakup dimensi-dimensi baru.
Penggunaan bahasa yang mulai berkembang dan kemunculan sikap bermain adalah contoh
lain dari peningkatan pemikiran simbolis dalam subtahap ini. Contoh, anak kecil mulai
mencoret-coret gambar orang, rumah, mobil, awan, dan banyak benda lain dari dunia ini.
Anak melihat kapal ataukah heli. Dan karena penasaran dan keingintahuannya ia pun meniru
kapal itu dengan merentangkan tangannya. Mungkin karena anak kecil tidak begitu peduli
pada realitas, gambar mereka tampak aneh dan tampak khayal. Fungsi semiotic atau simbolis
ini nampak jelas dalam lima gejala : a. Imitasi tak langsung Kemampuan anak untuk
menirukan suatu objek atau kejadian dari apa yang telah ia alami sebelumnya secara tak
langsung. Misal, anak diajak pergi kepasar. Ia melihat banyak barang dagangan. Hasil
interpretasinya ini ialah ia dapat beramaian pasar-pasaran, berdagang-dagangan dengan
baranga-barang hasil tiruan dari apa yang telah ia perhatikan sebelumnya. b. Permainan
Simbolis Permainan yang berupa symbol-simbol saja dan masih bersifat imitative, yaitu
meniru objek atau kejadian yan pernah dialami. c. Menggambar Mengambar dalam tahap ini
berarti merupakan jembatan antara permainan simbolis dan gamabaran mental. Unsusr
permainan simbolis terletak apada segi kesenangannya, sementara unsure gamabaran mental
terletak pada usaha anak untuk mulai meniru sesuatu yanga real. d. Gambaran Mental
Gambaran mental adalah penggambaran secara pikiran suatu objek atau pengelaman yang
lampau yang sifatnya masih statis. e. Bahasa Ucapan Disini anak menggunakan suara atau
bahasa untuk merepresentasi sebuah benda atau kejadian. Perkembangan bahasa ini sangat
memperlancar perkembangan konseptual anak dan juga kognitif anak tentunya. Pada tahap
ini juga disebutpemikiran prakonseptual (sekitar 2-4 tahun). Selama di salah satu tahap
preoperational thinking ini, anank-anak mulai membentuk konsep sederhana. Mereka mulai
mengklasifikasi benda-benda dalam kelompok tertentu berdasarkan kemiripannya, tetapi
mereka banyak melakukan kesalahan lantaran konsep mereka itu. Jadi, semua lelaki adalah
ayah dan semua perempuan adalah ibu dan semua mainan adalah milikku. Logika mereka
tidak induktif ataupun deduktif , namun transduktif. Contoh dari penalaran transduktif adalah
sapi adalah hewan besar dengan kaki empat. Hewan itu besar dan punya empat kaki, karenya
hewan itu adalah sapi. 2) Pemikiran Intuitif (4-7 tahun) Periode pemikiran intuitif (sekitar 4-7
tahun). Pada tahap kedua dari pemikiran praoperasional ini, anak anak memecahkan
masalah secara intuitif, bukan berdasarkan kaidah-kaidah logika. Ciri paling menonjol dari
pemikiran anak pada tahap ini adalah kegagalannya untuk mengembangkan conservation
(konservasi). Konservasi didefinisikan sebagai kemampuan untuk me nyadari bahwa jumlah,
panjang, substansi atau luas akan tetap sama meski mungkin hal-hal seperti itu
direpreswentasikan kepada anak dalam bentuk yang berbeda-beda. Misalnya, seorang anak
ditunjukkan pada wadah berisi air dalam volume tertentu. kemudian, isi dari salah satu wadah
itu dituang kewadah lain yang lebih tinggi bentuknya. Pada tahap perkembanagan ini, anak
yang melihat bahwa wadah pertama berisi sejumlah cairan, kini akan cendrung mengatakan
bahwa wadaha yang lebih tinggi dari pada wadah pertama. Anak pada tahap ini secara mental
tidak bisa membalikkan operasi kognitif, yang berarti dia tidak dapat melihat bahwa jumlah
cairan itu sebenarnya adalah tetap sama. Menurut Piaget, konservasi adalah kemampuan yang
muncul sebagai hasil dari akumulasi pengalaman anak dengan lingkungan, dan bukan
kemampuan yang dapat diajarkan sampai anak memiliki pengalaman awal ini. Sebagaimana
halnya dengan teori tahapan lainnya, pengajaran adalah isu penting. Apakah berbagai
kemampuan muncul sebagai hasil dari pengalaman tertentu (yaitu belajar) ataukah muncul
sebagai fungsi dari pendewasaan yang ditentukan secara gtenetik? Menurut Piaget
jawabannya adalah dua-duanya. Pendewasaan mengahasilkan struktur otak dan sensoris yang
dibutuhkan, tetapi dibituhkan pengalaman untuk mengembangkannya. 1. Concrete
Operations (sekitar 7-12 tahun). Dalam tahap ini anak mengembangkan kemampuan untuk
mempertahankan (konservasi), kemampuan mengelompokkan secara memadai, melakukan
pengurutan (mengurutkan dari yang terkecil sampai paling besar dan sebaliknya), dan
menangani konsep angka. Tetapi selama tahap ini proses pemikiran diarahkan pada kejadian
riil yang diamati oleh anak. Anak dapat melakukan operasi problem yang agak kompleks
selama problem itu konkret dan tidak abstrak. 2. Formal Operation. (sekitar 11-15 tahun).
Pada tahap inio anak kini bisa menangani situasi hipotetis, dan proses berpikir mereka tidak
lagi tergantung hanya pada hal-hal yang langsung dan riil. Pemikiran pada tahap ini semakain
logis. Jadi, aparatus mental yang dimilikinya makin canggih namun aparatus ini dapat
diarahkan ke solusi berbagai problem kehidupan yang tiada berkesudahan.

4. POSISI JEAN PIAGET

Piaget jelas bukan teoritisi S-R. seperti telah kita ketahui, teoritisi S-R berusaha menentukan
hubungan antara kejadian lingkungan (S) dengan respon terhadap kejadian itu (R).
kebanyakan teori mengasumsikan organisme pasif yang membangun kemampuan respon
dengan mengakumulasi kebiasaan. Kebiasaan yang komplek, menurut perspektif ini,
hanyalah kombinasi dari kebiasaan-kebiasaan sederhana. Hubungan S-R tertentu dicetak
melalui penguatan kontinguitas. Pengetahuan, menurut pendapat ini merepresentasikan
salinan dari kondisi yang eksis dari dunia fisik. Dengan kata lain, melalui belajar,
hubungan yang ada dalam dunia fisik menjadi direprepresentasikan dalam otak organisme.
Piaget menyebut posisi epistemologis ini sebagai teori pengetahuan salinan. Teori Piaget
berbeda secara diametris dengan konsep pengetahuan S-R. seperti telah kita ketuhui, Piaget
menyamakan pengetahuan dengan struktur kognirtif yang memberikan potensi untuk
menghadapi lingkungan dengan cara-cara tertentu. Struktur kognitif menyediakan kerangka
bagi pengalaman: yakni, mereka menentukan apa yang dapat direspon dan bagaimana ia
dapat direspon. Dalam pengertian ini, struktur kognitif diproyeksikan ke lingkungan fisik dan
karenanya dia menciptakannya. dengan cara ini lingkungan dikonstruksi oleh struktur
kognitif tetapi, juga bisa dikatakan bahwa lingkungan memainkan peran besar dalam
menciptakan struktur kognitif. Seperti yang telah kita ketahui interaksi antara liungkungan
dan struktur kognitif melalui proses asimilasai dan akomodasi adalah sangat penting dalam
teori Piaget. Ada perbedaan antara teori Pieget dengan Gestalt,. keduanya menyepakati
bahwa pengetahuan yang lalu akan mempengaruhi pengalaman Semarang. gestalt
berpendapat bahwa saat jejak memori semakin mapan, ia akan semakin berpengaruh terhadap
pengalaman sadar. jadi, jejak memori tentang bentuk lingkaran sudah mapan, suatu gambar
lingkaran yang belum tuntas akan dialami sebagai lingkaran yang utuh. Jejak memori
karenanya, mengkonstruksi pengalaman yang tidak sesuai dengan realitas fisik. kita dapat
mengatakan bahwa pengalaman diasimilasikan kedalam jejak memori yang sudah ada,
sebagaimana mereka diasimilasikan struktur kognitif yang sudah ada. Adapun perbedaan
utama antara teoritisi Piaget dengan Gestalt adalah soal sifat perkembangan organisasional
seseorang. teoritisi gestalt percaya bahwa manusia lahir dengan otak yang mengorganisasikan
pengalaman berdasarkan hokum pragnanz. mereka percaya bahwa data indrawi
diorganisasikan disemua tahap perkembangan. sedangkan Piaget sebaliknya, peracaya bahwa
kemampuan organisasional otak berkembang siring dengan perkembangnya struktur kognitif.
Menurutnya, pengalaman selalu diorganisasikan dalam term struktur kognitif, namun struktur
kognitif selalu berubah baik saat terjadi pendewasaan biologis maupun berkat pengalaman
indrawi. jadi, Piaget, menggunakan istilah Progressive Equilibrium (Ekuilibrium Progresif)
untuk mendeskripsikan fakta bahwa keseimbangan atau organisasi akan optimal dalam situasi
yang ada dan bahwa situasi itu akan selalu berubah-ubah.

5. Pendapat Piaget Tentang Pendidikan

Menurut Piaget, pengalaman pendidikan harus dibangun diseputar struktur kognitif


pembelajar. Anak-anak berusia sama dan dari kultur yang sama cendrung memiliki struktur
kognitif yang sama, tetapi adalah mungkin bagi mereka untuk memiliki struktur kognitif yang
berbeda dan karenanya membutuhkan jenis materi belajar yang berbeda pula. Disatu sisi,
materi pendidikan yang tidak bisa diasimilasikan ke struktur kognitif anak tidak akan
bermakna bagi si anak. jika, disisi lain, materi bisa diasimilasi secara komplet, tidak akan ada
proses belajar yang terjadi. Agar belajar terjadi, materi perlu sebagian sudah diketahui dan
sebagian belum. Bagian sudah diketahui akan diasimilasi, dan bagian yang belum diketahui
akan menimbulkan modifikasi dalam struktur kognitif anak. Modifikasi ini tersebut
akomodasi, yang dapat disamakan dengan belajar. Jadi, menurut Piaget, pendidikan yang
optimal membutuhkan pengalaman yang menantang bagi si pembelajar, sehingga proses
asimilasi dan akomodasi dapat menghasilkan pertumbuhan intelektual. Untuk menciptakan
jenis pengalaman ini, guru harus tahu level fungsi struktur kognitif siswa. Maka kita melihat,
baik itu Piaget (wakil dari kognitif) maupun kaum behavioris, telah mendapat kesimpulan
yang sama mengenai pendidikan: yakni, pendidikan harus diindividualisasikan. Piaget
mendapatkan kesimpulan ini dengan menyadari bahwa kemampuan untuk mengasimilasi
akan bervariasi dari satu anak ke anak yang lain dan bahwa materi pendidikan harus
disesuaikan dengan struktur kognitif anak. Behavioris mencapai kesimpulannya dengan
menyadari bahwa penguatan haruslah kontingen (bergantung) pada prilaku yang tepat, dan
penyaluran penguat yang tepat membutuhkan hubungan tatap muka antara orang guru dan
satu murid atau antara murid dan materi pendidikan.

C. PENUTUP

Menurut Piaget, anak dilahirkan dengan beberapa skemata sensorimotor, yang memberi
kerangka bagi interaksi awal mereka dengan lingkungannya. Pengalaman awal si anak akan
ditentukan oleh skemata sensorimotor ini. Dengan kata lain, hanya keajadian yang dapat
diasimilasikan keskemata itulah yang dapat direspon oleh si anak dan arena kejadian itu akan
menentukan batasan pengalaman anak. Tetapi melalui pengalaman, skemata awal ini
dimodifikasi. Setiap pengalaman mengandung elemen unik yang harus diakomodasi oleh
struktur kognitif anak. Melalui interaksi dengan lingkungan, struktur kognitif akan berubah,
dan memungkin perkembangan terus menerus. Tetapi ini adalah proses yang lambat, karena
skemata baru itu selalu berkembang dari skemata yang sudah ada sebelumnya. Dengan cara
ini, pertumbuhan intelektual yang dimulai dengan respons refleksif anak terhadap lingkungan
akan terus berkembang sampai ke titik dimana anak mampu memikirkan kejadian potensial
dan maupun secara mental mengeksplorasi kemungkinan akibatnya. Interiorisasi
menghasilkan perkembangan operasi yang membebaskan anak dari kebutuhan untuk
berhadapan langsung dengan lingkugan karena dalam hal ini anak sudah mampu melakukan
manipulasi simbolis. Perkembangan operasi (tindakan yang diinteriorisasikan) memberi anak
cara yang kompleks untuk menangani lingkungan, dan mereka karenanya mampu melakukan
tindakan intelektual yang lebih kompleks. Karena struktur kognitif mereka lebih
terartikulasikan, demikian pula lingkungan fisik mereka; jadi dapat dikatakan bahwa struktur
kognitif mereka mengkonstruksi lingkungan fisik. Perlu diingat bahwa istilah intelligent
(cerdas) dipakai oleh Piaget mendeskripsikan semua aktivitas adaptif. Jadi, perilaku anak
yang memegang mainan adalah sama cerdasnya dengan prilaku anak yang lebih tua dalam
memecahkan problem. Perbedaannya adalah dalam struktur kognitif yang tersedia bagi setiap
anak. Menurut Piaget, tindakan yang cerdas selalu cenderung menciptakan keseimbangan
antara organisme dengan lingkungannya dalam situasi saat itu. Dorongan ke arah seimbangan
ini dinamakan ekuilibrasi. Meskipun perkembangan intelektual adalah berkelanjutan selama
masa kanak-kanak, Piaget memilih untuk menyusun tahap perkembangan intelektual. Dia
mendeskripsikan empat tahap utama: (1) sensorimotor, dimana anak berhadapan langsung
dengan lingkungan dengan menggunakan refleks bawaan mereka; (2) pra-operasional,
dimana anak mulai menyusun konsep sederhana; (3) operasi konkret, dimana anak
menggunakan tindakan yang telah diinteriorisasikan atau pemikiran untuk memecahkan
masalah dalam pengalaman mereka; dan (4) operasi formal, dimana anka dapat memikirkan
situasi hipotesis secara penuh. Teori Piaget memberi efek signifikan pada praktek pendidikan.
Banyak pendidik berusaha untuk merumuskan kebijakan spesifik berdasarkan teori Piaget.
Yang lainnya berusaha mengembangkan tes kecerdasan berdasarkan teorinya.

DAFTAR PUSTAKA

Hergenhahn, B.R. dan Matthew H. Olson, Theories Of Learning (Terjemahan), Jakarta:


Kencana, 2010. Dr. C. George Boeree
Pemrosesan Bahasa Menjadi Pikiran
Bahasa adalah salah satu anugerah Tuhan yang memungkinkan manusia untuk
mengelola pikirannya dan mengendalikan pengaruh luar terhadap pikirannya. Manusia seperti
makhluk lainnya berinteraksi dengan lingkungannya dan memproses data dari organ panca
indranya untuk menciptakan suatu representasi utama dari dunia. Representasi di dunia
menjadi sumber pesan yang diolah dalam pikiran.
Pesan-pesan yang disampaikan kepada manusia masuk ke dalam unit pemrosesan
khusus, dan di dalam unit tersebut pesan-pesan tersebut bersaing dengan pesan-pesan lain.
Pesan yang lebih kuat selanjutnya mengaktifasi sel-sel motorik untuk melakukan fungsinya.
Apabila citra sensori sudah berwujud sebagai sebuah predator, maka seperangkat neuron akan
melakukan fungsinya untuk mengolah citra sensori tersebut. Meskipun proses tersebut sangat
panjang namun, kita tidak dapat menghitung dan merasakannya dan berlangsung sangat
singkat.[6]

C. Keterkaitan Bahasa dan Pikiran


Pikiran manusia pada hakikatnya selalu mencari dan berusaha untuk memperoleh
kebenaran. Karena itu pikiran merupakan suatu proses. Dalam proses tersebut haruslah
diperhatikan kebenaran untuk dapat berpikir logis. Kebenaran ini hanya menyatakan serta
mengandalkan adanya jalan, cara, teknik serta hukum-hukum yang perlu diikuti. Semua itu
dirumuskan dalam logika. Selanjutnya terdapat beberapa pengelompokan keterkaitan bahasa
berdasarkan uraian para ahli, yaitu:
1. Bahasa mempengaruhi pikiran
Pemahaman kata mempengaruhi pikirannya terhadap realitas. Pikiran manusia dapat
terkondinisikan oleh kata yang manusia gunakan. Tokoh yang mendukung hubungan ini
adalah Benjamin Lee Whorf ( 1897-1941) dan gurunya Edward Sapir (1884-1939). Whorf
menyatakan bahwa bahasa menentukan pikiran seseorang sampai kadang-kadang bisa
membahayakan dirinya sendiri. Sebagai contoh, Whorf yang bekas anggota pemadam
kebakaran menyatakan kaleng kosong bekas minyak bisa meledak. Kata kosong dengan
pengertian tidak ada minyak di dalamnya. Padahal sebenarnya ada cukup efek pada kaleng
bekas minyak untuk bisa meledak. Jika isi kaleng dibuang, maka kaleng itu akan kosong,
tetapi dalam ilmu kimia hal ini tidak selalu benar. Kaleng minyak yang sudah kosong masih
bisa meledak kalau terkena panas. Di sinilah, menurut Whorf, tampak jalan pikiran seseorang
telah ditentukan oleh bahasanya.
Untuk menunjukkan bahwa bahasa mempengaruhi jalan pikiran manusia, Whorf
menunjukkan contoh lain. Kalimat see that wave dalam bahasa Inggris mempunyai pola yang
sama dengan kalimat see that house. Dalam see that house kita memang bisa melihat sebuah
rumah, tetapi dalam kalimat see that wave menurut Whorf belum ada seorang pun yang
melihat satu ombak. Yang terlihat sebenarnya adalah permukaan air yang terus-menerus
berubah dengan gerak naik-turun, dan bukan apa yang dinamakan satu ombak. Jadi, di sini
kita seolah-olah melihat satu ombak karena bahasa telah menggambarkan begitu kepada kita.
Ini adalah satu kepalsuan fakta yang disuguhkan oleh satu organisasi hidup seperti ini, dan
kita tidak sadar bahwa pandangan hidup kita telah dikungkung oleh ikatan-ikatan yang
sebenarnya dapat ditanggalkan.[7]
2. Pikiran mempengaruhi bahasa
Ada kemungkinan struktur bahasa dipengaruhi oleh pikiran. Sekitar 2.500 tahun yang
lalu Aristoteles beragumen bahwa kategori pikiran menentukan kategori bahasa. Banyak
alasan yang memperkuat argument tersebut, walaupun Aristoteles sendiri tidak bisa
memperlihatkan alasan-alasan tersebut. Adapun alasan yang dapat dikemukakan antara lain,
kemampuan manusia berpikir muncul lebih awal ditinjau dari aspek evolusi dan berlangsung
belakangan dari aspek perkembangannya dibandingkan kemampuan menggunakan bahasa.
Tokoh psikologi kognitif yang tak asing bagi manusia, yaitu Jean Piaget menyatakan
bahwa ada keterkaitan antara pikiran dan bahasa. Bahasa adalah representasi dari pikiran.
Melalui observasi yang dilakuakan oleh Piaget terhadap perkembangan aspek kognitif anak
akan mempengaruhi bahasa yang digunakannya. Semakin tinggi aspek tersebut maka
semakin tinggi bahasa yang digunakannya. Sebelum anak-anak menggunakan bahasanya
secara efektif, anak-anak memperlihatkan kemampuan kognitif yang cukup berarti dan
beragam.
Menurut Piaget ada dua pikiran, yaitu pikiran terarah atau intelligent dan pikiran yang
tidak terarah atau autistic. Pikiran yang terarah adalah pikiran yang menghasilkan tindakan
atau ujaran yang dapat dipertanggungjawabkan dan memiliki landasan kuat, sedangkan
pikiran yang tidak terarah umumnya pikiran yang sering menimbulkan kekeliruan atau
dampak yang tidak terduga. Mungkin itu sebabnya terjadi tergelincir lidah.[8]
3. Bahasa dan pikiran saling mempengaruhi
Hubungan timbal balik antara bahasa dan pikiran dikemukakan oleh Benyamin
Vygotsky, seorang ahli semantic kebangsaan Rusia yang teorinya dikenal sebagai pembaharu
teori. Vygotsky mengatakan bahwa bahasa dan pikiran pada tahap permulaan berkembang
secara terpisah dan tidak saling mempengaruhi. Jadi, mula-mula pikiran berkembang tanpa
bahasa, dan bahasa mula-mula berkembang tanpa pikiran. Lalu pada tahap berikutnya,
keduanya bertemu dan saling bekerja sama, serta saling mempengaruhi.
Pikiran dan bahasa, menurut Vygotsky tidak dipotong dari satu pola. Struktur ucapan
tidak hanya mencerminkan, tetapi juga mengubahnya setelah pikiran berubah menjadi
ucapan. Karena itulah, bahasa tidak dapat dipakai oleh pikiran seperti memakai baju yang
sudah siap. Pikiran tidak hanya mencari ekspresinya dalam ucapan, tetapi juga mendapatkan
realitas dan bentuknya dalam ucapan itu. Pada tahap lebih lanjut, yakni dalam perkembangan
pikiran dan ucapan itu, tata bahasa selalu mendahului logika (pemikiran).[9]
Dari ketiga kategori keterkaitan bahasa dan fikiran di atas, kami penyususn makalah
lebih setuju dengan kategori yang ke tiga, karena keterkaitan tersebut masih bersifat relatif,
kadang manusia berfikir dahulu sebelum mengeluarkan kata-kata atau bahasa, dan kadang
manusia mengungkapkan bahasa dahulu kemudian berfikir.

D. Hipotesis Relativitas Bahasa


Pembicaraan mengenai hubungan bahasa dan pikiran tidak lengkap tanpa menyinggung
hipotesis relativitas bahasa (linguistic relativity). Hipotesis relativitas linguistic beranggapan
bahwa bahasa hanya refleksi dari pikiran yang memunculkan makna. Bahasa mempengaruhi
pikiran, sehingga muncul ungkapan bahwa bahasa mempengaruhi cara berpikir penuturnya.
Relativitas bahasa muncul karena adanya sebuah kenyataan atau fakta bahwa setiap bahasa
memiliki caranya masing-masing dalam mendeskripsikan dunia. Bahasa telah menciptakan
sebuah sistemnya sendiri untuk mendeskripsikan dunia. Sistem tersebut tidak dapat diukur
atau tidak dapat disamakan satu sama lain.
Dalam teori relativitas bahasa (Hipotesis Sapir-Whorf) terungkap bahwa bahasa-bahasa
yang berbeda membedah sistem-sistem konsep tergantung pada bahasa-bahasa beragam yang
digunakan oleh berbagai kelompok masyarakat. Sapir dan Whorf sepakat bahwa bahasa
menentukan pikiran seseorang. Jalan pikiran seseorang sangat ditentukan oleh bahasanya.
Namun banyak studi yang memperlihatkan kurang kuatnya hipotesis Whorf, antara lain
dilakukan oleh Rosh (1973) mengenai focal colors, Heider (1972) merupakan color chips,
dan Carrol dan Casagrande (1958) mengenai bahasa Nahavo. Bahasa memang dapat
mempengaruhi kita, tetapi bukan untuk menentukan jenis-jenis gagasan yang dapat kita
pikirkan.
Kontroversi Hipotesis Sapir-Whorf ditengahi oleh Humbolt, yang meyakini bahwa
manusia pada mulanya memakai pikiran untuk mengategorikan dunia dan mencantumkannya
dalam bahasa, tetapi setelah bahasa terbentuk, manusia menjadi terikat pada apa yang mereka
ciptakan sendiri. Ada ketergantungan pikiran manusia pada bahasa yang digunakan. John B.
Watson meyakini bahwa semua manusia memberikan respon terhadap stimulus yang
diberikan. Watson berpendapat, pikiran hanyalah ujaran subvokal, sehingga ketika mereka
berfikir maka mereka sedang berbicara pada diri mereka sendiri.[10]

III. PENUTUP
Simpulan

1. Bahasa artinya system lambang bunyi yang arbitrer, yang dipergunakan oleh anggota
masyarakat untuk bekerja sama, beriteraksi dan mengidentifikasi diri. Bahasa juga diartikan
sebagai rangkaian bunyi yang mempunyai makna tertentu. Sedangkan pikiran berasal dari
kata dasar pikir. Pikir artinya akal budi, ingatan, angan-angan, kata dalam hati, kemudian
mendapat tambahan -an menjadi kata pikiran.
2. Manusia berinteraksi dengan lingkungannya dan pesan-pesan yang disampaikan kepada
manusia masuk ke dalam unit pemrosesan khusus, dan di dalam unit tersebut pesan-pesan
tersebut bersaing dengan pesan-pesan lain. Pesan yang lebih kuat selanjutnya mengaktifasi
sel-sel motorik untuk melakukan fungsinya. Apabila citra sensori sudah berwujud sebagai
sebuah predator, maka seperangkat neuron akan melakukan fungsinya untuk mengolah citra
sensori tersebut. Meskipun proses tersebut sangat panjang namun, kita tidak dapat
menghitung dan merasakannya. Dan berlangsung sangat singkat.
3. Terdapat beberapa pengelompokan keterkaitan bahasa berdasarkan uraian para ahli, yaitu:
a. Bahasa Mempengaruhi Pikiran
b. Pikiran Mempengaruhi Bahasa
c. Bahasa dan Pikiran Saling Mempengaruhi.
4. Hambolt berpendapat, manusia pada mulanya memakai pikiran untuk mengategorikan dunia
dan mencantumkannya dalam bahasa, tetapi setelah bahasa terbentuk, manusia menjadi
terikat pada apa yang mereka ciptakan sendiri. Ada ketergantungan pikiran manusia pada
bahasa yang digunakan. Watson berpendapat, pikiran hanyalah ujaran subvokal, sehingga
ketika mereka berfikir maka mereka sedang berbicara pada diri mereka sendiri.
Arifuddin. Neuro Psiko Linguistic. Jakarta: Rajawali Press. 2010.
Chaer, Abdul. Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta. 2003.
Mahmudah. Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Makassar: Universitas Negeri Makasar. 2010.
Resmini, Novi,. Iyos A. Rosmana dan Basyuni. Kebahasaan (Fonologi, Morfologi dan Semantik).
Bandung: UPI Press. 2006.
Tricahyo, Agus. Pengantar Linguistik Arab. Ponorogo: STAIN PO Press. 2011.
[1] Agus Tricahyo, Pengantar Linguistik Arab (Ponorogo: STAIN PO Press, 2011),
hal 1-2.
[2] Agus Tricahyo, Pengantar Linguistik Arab, hal 32-33.
[3] Novi Resmini, Iyos A. Rosmana dan Basyuni, Kebahasaan (Fonologi, Morfologi
dan Semantik), (Bandung: UPI Press, 2006), hal 11.
[4] Agus Tricahyo, Pengantar Linguistik Arab, hal 34-39.
[5] Mahmudah, Psikolinguistik: Kajian Teoretik, ( Makassar: Universitas Negeri
Makasar, 2010) hal 35.
[6] Arifuddin, Neuro Psiko Linguistic, (Jakarta: Rajawali Press, 2010) hal 242.
[7] Abdul Chaer, Psikolinguistik: Kajian Teoritik (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hal
52-54.
[8] Arifuddin, Neuro Psiko Linguistic, hal 86-87.
[9] Abdul Chaer, Psikolinguistik: Kajian Teoritik, hal 55-56.
[10]Arifuddin, Neuro Psiko Linguistic, hal 246-250.

METODE PEMBELAJARAN SCAFFOLDING


Posted on April 27, 2013 by rirymardiyan04

Metode scaffolding didasarkan pada teori Vygotsky. Menurut Vygotsky (dalam Trianto,
2010: 76) bahwa pembelajaran terjadi apabila anak bekerja atau belajar menangani tugas-
tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas itu masih berada dalam jangkauan
kemampuannya atau tugas-tugas tersebut berada dalam Zone of Proximal Development
(ZPD) yaitu perkembangan sedikit di atas perkembangan seseorang saat ini. Vygotsky yakin
bahwa fungsi mental yang lebih tinggi pada umumnya muncul dalam percakapan atau
kerjasama antar individu, sebelum fungsi mental yang lebih tinggi itu terserap ke dalam
individu tersebut.

Adinegara (2010) mengemukakan, ide penting lain yang diturunkan dari Vygotsky adalah
scaffolding. Scaffolding berarti memberikan sejumlah besar bantuan kepada seorang anak
selama tahap-tahap awal pembelajaran kemudian anak tersebut mengambil alih tangung
jaawab yang semakin besar segera setelah ia dapat melakukannya. Bantuan tersebut dapat
berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah kedalam langkah-langkah
pembelajaran, memberikan contoh ataupun yang lain sehinggga memungkinkan siswa
tumbuh mandiri.

Vygotsky (dalam Vlamband, 2008) mencari pengertian bagaimana anak-anak berkembang


dengan melalui proses belajar, dimana fungsi-fungsi kognitif belum matang, tetapi masih
dalam proses pematangan. Vygotsky membedakan antara aktual development dan potensial
development pada anak. Aktual development ditentukan apakah seorang anak dapat
melakukan sesuatu tanpa bantuan orang dewasa atau guru. Sedangkan potensial development
membedakan apakah seorang anak dapat melakukan sesuatu, memecahkan masalah di bawah
petunjuk orang dewasa atau kerjasama dengan teman sebaya.

Ada dua konsep penting dalam teori Vygotsky (dalam Adinegara: 2010) yaitu Zone of
Proximal Development (ZPD) dan scaffolding. Menurut teori Vygotsky (dalam Vlamband,
2008), Zona Perkembangan Proksimal merupakan celah antara aktual development dan
potensial development, dimana antara apakah seorang anak dapat melakukan sesuatu tanpa
bantuan orang dewasa dan apakah seorang anak dapat melakukan sesuatu dengan arahan
orang dewasa atau kerjasama dengan teman sebaya.

Menurut Gasong (2004) ada dua implikasi utama teori Vygotsky dalam pendidikan. Pertama,
adalah perlunya tatanan kelas dan bentuk pembelajaran kooperatif antar siswa, sehingga
siswa dapat berinteraksi disekitar tugas-tugas yang sulit dan saling memunculkan strategi-
strategi pemecahan masalah yang efektif di dalam masing-masing ZPD mereka. Kedua,
pendekatan Vygotsky dalam pengajaran menekankan scaffolding, dengan semakin lama
siswa semakin bertanggung jawab terhadap pembelajaran sendiri. Ringkasnya, menurut
Vygotsky, siswa perlu belajar dan bekerja secara berkelompok sehingga siswa dapat saling
berinteraksi dan diperlukan bantuan guru terhadap siswa dalam kegiatan pembelajaran.

Menurut Brunner (dalam Isabella, 2007) scaffolding sebagai suatu proses dimana seorang
siswa dibantu menuntaskan masalah tertentu melampaui kapasitas perkembangannya melalui
bantuan dari seorang guru atau orang lain yang memiliki kemampuan lebih. Sedangkan
menurut Kozulin dan Presseisen (1995) (dalam Drajati, 2007) scafolding yaitu siswa diberi
tugas-tugas kompleks, sulit tetapi sistematik dan selanjutnya siswa diberi bantuan untuk
menyelesaikannya. Bukan sebaliknya, yaitu sistem belajar sebagian-sebagian, sedikit demi
sedikit atau komponen demi komponen dari suatu tugas yang kompleks.

Dari definisi yang telah dijelaskan di atas dapat disimpulkan bahwa scaffolding merupakan
bantuan, dukungan (support) kepada siswa dari orang yang lebih dewasa atau lebih kompeten
khususnya guru yang memungkinkan penggunaan fungsi kognitif yang lebih tinggi dan
memungkinkan berkembangnya kemampuan belajar sehingga terdapat tingkat penguasaan
materi yang lebih tinggi yang ditunjukkan dengan adanya penyelesaian soal-soal yang lebih
rumit.

Adapun keuntungan mempelajari scaffolding adalah :

1. Memotivasi dan mengaitkan minat siswa dengan tugas belajar.


2. Menyederhanakan tugas belajar sehingga bisa lebih terkelola dan bisa dicapai oleh
anak.
3. Memberi petunjuk untuk membantu anak berfokus pada pencapaian tujuan.
4. Secara jelas menunjukkan perbedaan antara pekerjaan anak dan solusi standar atau
yang diharapkan.
5. Mengurangi frustasi atau resiko.
6. Memberi model dan mendefenisikan dengan jelas harapan mengenai aktivitas yang
akan dilakukan.

Secara umum, Gasong (2007) mengemukakan langkah-langkah pembelajaran scaffolding


dapat dilihat pada tabel berikut :
1. Menjelaskan materi pembelajaran.
2. Menentukan Zone Of Proximal Development (ZPD) atau level perkembangan siswa
berdasarkan tingkat kognitifnya dengan melihat nilai hasil belajar sebelumnya.
3. Mengelompokkan siswa menurut ZPD-nya.
4. Memberikan tugas belajar berupa soal-soal berjenjang yang berkaitan dengan materi
pembelajaran.
5. Mendorong siswa untuk bekerja dan belajar menyelesaikan soal-soal secara mandiri
dengan berkelompok.
6. Memberikan bantuan berupa bimbingan, motivasi, pemberian contoh, kata kunci atau
hal lain yang dapat memancing siswa ke arah kemandirian belajar.
7. Mengarahkan siswa yang memiliki ZPD yang tinggi untuk membantu siswa yang
memilki ZPD yang rendah.
8. Menyimpulkan pelajaran dan memberikan tugas-tugas.

Teori Vygotsky dalam pembelajaran, menurut Oakley (2004:48-50) yaitu sebagai berikut:
1. Proses pembelajaran yang diberikan oleh guru harus sesuai dengan tingkat perkembangan
potensial siswa. Siswa seharusnya diberikan tugas yang dapat membantu mereka untuk
mencapai tingkat perkembangan potensialnya.
2. Vygotsky mempromosikan penggunaan pembelajaran kolaboratif dan kooperatif, dimana
siswa dapat saling berinteraksi dan saling memunculkan strategi-strategi pemecahan masalah
yang efektif dalam masing-masing ZPD mereka.

Menurut Ruseffendi (1992:34) menjelaskan implikasi teori Vygotsky dalam pembelajaran


diantaranya adalah guru bertugas menyediakan atau mengatur lingkungan belajar siswa dan
mengatur tugas-tugas yang harus dikerjakan siswa, serta memberikan dukungan dinamis,
sedemikian hingga setiap siswa bisa berkembang secara maksimal dalam zona perkembangan
proksimal.
Pengertian Perkembangan

Dalam kehidupan anak terdapat dua proses yang berjalan secara kontinyu, yaitu
pertumbuhan dan perkembangan. Pertumbuhan dan perkembangan pada dasarnya merupakan
perubahan, yakni perubahan menuju ke tahap yang lebih tinggi.

Thonthowi (Desmita, 2008:5) mengartikan pertumbuhan sebagai perubahan jasad


yang meningkat dalam ukuran (size) sebagai akibat dari adanya perbanyakan sel-sel.
Sedangkan menurut Chaplin (Desmita, 2008:5), pertumbuhan adalah pertambahan atau
kenaikan dalam ukuran bagian-bagian tubuh sebagai suatu keseluruhan.

Senada dengan definisi tersebut, Sunarto dan Hartono (2006:35) menjelaskan bahwa
pertumbuhan berkaitan dengan perubahan kuantitatif yang menyangkut peningkatan ukuran
dan struktur biologis. Lebih jauh dijelaskan pula bahwa pertumbuhan adalah perubahan
secara fisiologis sebagai hasil dari proses pematangan fungsi-fungsi fisik yang berlangsung
secara normal pada anak yang sehat dalam perjalanan waktu tertentu.

Dari beberapa pengertian di atas, dapat dipahami bahwa istilah pertumbuhan dalam
konteks perkembangan merujuk pada perubahan-perubahan yang bersifat kuantitatif, yaitu
peningkatan dalam ukuran dan struktur, seperti pertumbuhan badan, pertumbuhan kaki,
jantung, dan sebagainya. Dengan demikian, tidak tepat apabila dikatakan pertumbuhan
kecerdasan, pertumbuhan moral, pertumbuhan karier, dan lain-lain, sebab aspek-aspek
tersebut merupakan perubahan fungsi-fungsi rohaniah dan jasmaniah.

Adapun penjelasan yang lebih rinci tentang perubahan yang dimaksud sebagai
perkembangan, disebutkan dalam Budiamin, dkk. (2009:2-3) yaitu: (1) perubahan yang
berakar pada unsur biologis; (2) mencakup perubahan struktur maupun fungsi; (3) bersifat
terpola, teratur, terorganisasi, dan dapat diprediksi; (4) meskipun bersifat terpola,
perkembangan juga bisa bersifat unik bagi setiap individu; (5) terjadi secara bertahap dalam
jangka waktu yang relatif lama; dan (6) berlangsung sepanjang hayat mulai dari masa
konsepsi hingga meninggal dunia.

Yusuf (2005:15) mengemukakan pengertian perkembangan, yaitu perubahan yang


progresif dan kontinyu (berkesinambungan) dalam diri individu dari mulai lahir sampai akhir
hayat. Sementara itu, Agustiani (2006:27) berpendapat bahwa dalam perspektif
perkembangan sepanjang rentang kehidupan, perkembangan dilihat sebagai pola-pola ganda
yang meliputi perubahan terhadap tingkah laku dan individu yang berbeda pada kurun waktu
yang berbeda pula.

Selanjutnya masih berkaitan dengan pendidikan, Santrock dan Yussen (Depdikbud,


1999:8) mengatakan bahwa perkembangan adalah pola perubahan individu yang berawal
pada masa konsepsi dan terus berlanjut sepanjang hayat. Namun perlu diingat bahwa tidak
setiap perubahan yang dialami individu itu merupakan perkembangan.

Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa per-kembangan


merupakan pola perubahan yang dialami oleh individu baik dalam struktur maupun fungsi
(fisik maupun psikis) menuju tingkat kematangannya yang berlangsung secara sistematis,
progresif, berkesinambungan, dan ber-langsung sepanjang hayat.

B. Pengertian Peserta Didik

Manusia adalah makhluk yang dapat dipandang dari berbagai sudut pandang. Uraian
tentang manusia dengan kedudukannya sebagai peserta didik, haruslah menempatkan
manusia sebagai pribadi yang utuh. Sunarto dan Hartono (2006:2) beranggapan bahwa dalam
kaitannya dengan kepentingan pendidikan, akan lebih ditekankan hakikat manusia sebagai
kesatuan makhluk sosial, kesatuan jasmani dan rohani, dan makhluk Tuhan dengan
menempatkan hidupnya di dunia sebagai persiapan untuk kehidupan di akhirat.

Menurut kamus Echols dan Shadaly (Sunarto dan Hartono, 2006:2), individu adalah
kata benda dari individual yang berarti orang atau perseorangan. Sedangkan dalam Websters
yang masih dikutip oleh Sunarto dan Hartono (2006:2), individu berarti tidak dapat dibagi,
tidak dapat dipisahkan, serta keberadaannya sebagai makhluk yang tunggal dan khas.

Selanjutnya, dalam www.wikipedia.org dijelaskan lebih spesifik tentang peserta didik:

Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri
melalui proses pembelajaran pada jalur pendidikan baik pendidikan formal maupun
pendidikan nonformal, pada jenjang pendidikan dan jenis pendidikan tertentu.

Sesuai dengan kutipan-kutipan di atas, dapat dinyatakan bahwa peserta didik adalah
individu dalam arti makhluk sosial dan makhluk yang berhubungan dengan Tuhan dalam
kesatuan jasmani dan rohani, serta berada dalam suatu sistem pendidikan guna
mengembangkan potensi dirinya dalam mencapai perkembangan yang diinginkan.

C. Pengertian Pendidikan

Pendidikan pada dasarnya merupakan sesuatu yang mutlak diperoleh oleh setiap
individu sesuai dengan hak asasi manusia untuk keberlangsungan kehidupannya. Pendidikan
merupakan hal yang sangat penting, oleh sebab itu banyak gagasan yang dikemukakan oleh
para ahli tentang pendidikan.

Dewey (Burhanuddin dan Sumiati, 2011:i) menyatakan, education is not a


preparation for life, but education is life itself. Maksudnya, pendidikan bukanlah persiapan
untuk kehidupan, namun pendidikan adalah kehidupan itu sendiri. Demikian Dewey
menegaskan pemikirannya tentang pendidikan. Dengan demikian, menurutnya umur
pendidikan sama dengan keberadaan manusia di muka bumi ini.

Pendapat lain mengatakan bahwa pendidikan adalah usaha orang dewasa dalam
pergaulannya dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan mereka menuju ke arah
kedewasaan agar berguna bagi diri sendiri dan masyarakat (Purwanto, 2006:8).

Sejalan dengan pendapat para ahli tersebut, Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun


2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1 (1) menjelaskan pula definisi
pendidikan, yakni usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya, masyarakat,
bangsa, dan negara. Demikian yang dikutip Syah dalam bukunya Psikologi Pendidikan
dengan Pendekatan Baru (2010:1).

Lebih jauh Syah (2010:10) mengutip pengertian pendidikan menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, yaitu proses pengubahan sikap dan perilaku seseorang atau sekelompok
orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.

Selain defiisi-definisi pendidikan di atas, cobalah untuk berusaha memahami


pandangan Burhanuddin dan Sumiati (2011:68) tentang pilar-pilar pendidikan menurut
UNESCO (United Nation for Education, Scientific, and Cultural Organization), yaitu: (1)
learning to know; (2) learning to do; (3) learning to be; dan (4) learning how to live together.
Empat pilar pendidikan tersebut memberikan implikasi bahwa hasil pendidikan dewasa ini
diarahkan untuk dapat menghasilkan manusia yang sesuai dengan tujuan pendidikan yang
diharapkan.

Berdasarkan pemikiran-pemikiran para ahli dan definisi secara yuridis tentang


pendidikan seperti yang telah dikemukakan, dapat ditarik suatu kesimpulan. Pendidikan
adalah proses perubahan pola perilaku individu guna mengetahui, melaksanakan, dan hidup
bersama dengan manusia lainnya untuk menjadi manusia yang diharapkan, yakni manusia
yang mengembangkan potensi dirinya menuju ke arah kedewasaan dalam kehidupannya.

D. Implikasi Perkembangan Peserta Didik terhadap Pendidikan

Manusia pada umumnya berkembang sesuai dengan tahapan-tahapannya.


Perkembangan tersebut dimulai sejak masa konsepsi hingga akhir hayat. Ketika individu
memasuki usia sekolah, yakni antara tujuh sampai dengan dua belas tahun, individu
dimaksud sudah dapat disebut sebagai peserta didik yang akan berhubungan dengan proses
pembelajaran dalam suatu sistem pendidikan.

Cara pembelajaran yang diharapkan harus sesuai dengan tahapan per-kembangan


anak, yakni memiliki karakteristik sebagai berikut: (1) programnya disusun secara fleksibel
dan tidak kaku serta memperhatikan perbedaan individual anak; (2) tidak dilakukan secara
monoton, tetapi disajikan secara variatif melalui banyak aktivitas; dan (3) melibatkan
penggunaan berbagai media dan sumber belajar sehingga memungkinkan anak terlibat secara
penuh dengan menggunakan berbagai proses perkembangannya (Amin Budiamin, dkk.,
2009:84).

Aspek-aspek perkembangan peserta didik yang berimplikasi terhadap proses


pendidikan akan diuraikan seperti di bawah ini.

1. Implikasi Perkembangan Biologis dan Perseptual

Secara fisik, anak pada usia sekolah dasar memiliki karakteristik tersendiri yang
berbeda dengan kondisi fisik sebelum dan sesudahnya. Karakteristik perkembangan fisik ini
perlu dipelajari dan dipahami karena akan memiliki implikasi tertentu bagi penyelenggaraan
pendidikan.
Menurut Budiamin, dkk. (2009:5) proses perkembangan biologis atau perkembangan
fisik mencakup perubahan-perubahan dalam tubuh individu seperti pertumbuhan otak, otot,
sistem syaraf, struktur tulang, hormon, organ-organ inderawi, dan sejenisnya. Termasuk juga
di dalamnya perubahan dalam kemampuan fisik seperti perubahan dalam penglihatan,
kekuatan otot, dan lain-lain. Pemikiran tersebut menuntut perlunya suatu penyelenggaraan
pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan fisik seperti yang telah
diungkapkan.

Dalam hal ini, Budiamin, dkk. (2009:84) juga berpendapat bahwa diperlukan suatu
cara pembelajaran yang hidup, dalam arti memberikan banyak kesempatan kepada peserta
didik untuk memfungsikan unsur-unsur fisiknya. Dengan kata lain, diperlukan suatu cara
pembelajaran yang bersifat langsung. Cara pembelajaran seperti ini tidak saja akan
memunculkan kegemaran belajar, tetapi juga akan memberikan banyak dampak positif.

Anak usia sekolah dasar sudah lebih mampu mengontrol tubuhnya daripada anak usia
sebelumnya. Kondisi demikian membuat anak SD dapat memberikan perhatian yang lebih
lama terhadap kegiatan pembelajaran yang sedang berlangsung. Namun, perlu diingat bahwa
kondisi fisik tersebut masih jauh dari matang dan masih terus berkembang. Fisik mereka
masih memerlukan banyak gerak untuk peningkatan keterampilan motorik dan memenuhi
kesenangan. Oleh karena itu, suatu prinsip praktek pendidikan yang penting bagi anak usia
sekolah dasar yaitu mereka harus terlibat dalam kegiatan aktif daripada pasif.

Selanjutnya Budiamin, dkk. (2009:78) mengemukakan bahwa perkembangan


perseptual pada dasarnya merupakan proses pengenalan individu terhadap lingkungan. Semua
informasi tentang lingkungan sampai kepada individu melalui alat-alat indera yang kemudian
diteruskan melalui syaraf sensori ke bagian otak. Informasi tentang objek penglihatan
diterima melalui mata, informasi tentang objek pendengaran diketahui melalui telinga, objek
sentuhan melalui kulit, dan objek penciuman melalui hidung. Tanpa adanya alat-alat indera
tersebut, otak manusia akan terasing dari dunia yang ada di sekitarnya.

Kondisi perkembangan perseptual pun masih mengalami penajaman dan penghalusan.


Aspek-aspek perseptual ini akan berkembang dengan baik jika dirangsang dan difungsikan
melalui interaksi dengan lingkungan. Pemenuhan kebutuhan tersebut tentunya tidak bisa
dilakukan hanya melalui pelajaran penjaskes yang mungkin hanya dilaksanakan seminggu
sekali.
Seiring dengan perkembangan motorik anak terhadap kegiatan pendidikan, Yusuf
(2005:105) berpendapat bahwa pada anak sekolah dasar kelas awal tepat sekali diajarkan
tentang hal-hal berikut: (1) dasar-dasar keterampilan menulis dan menggambar; (2)
keterampilan berolahraga; (3) gerakan-gerakan permainan seperti meloncat dan berlari; (4)
baris-berbaris secara sederhana untuk menanamkan kedisiplinan; serta (5) gerakan-gerakan
ibadah shalat.

Selanjutnya masih berkaitan dengan perkembangan biologis dan perseptual anak usia
sekolah dasar, Purwanto (2006:66) memaparkan bahwa suatu keadaan yang berbeda akan
menimbulkan reaksi yang berbeda pula pada diri individu. Misalnya di dalam suatu kelas
terdapat seorang anak yang berambut pirang karena pembawaan dari orang tuanya. Ada
kalanya rambut pirang tersebut menimbulkan perasaan tidak puas atau perasaan rendah diri
pada anak itu karena merasa berbeda dengan teman-temannya. Akan tetapi, mungkin juga
rambut pirang itu akan menjadi suatu kebanggaan karena anak tersebut merasa unik.

Di sinilah kita melihat bahwa perkembangan fisik peserta didik memegang peranan
yang penting terhadap pendidikan. Dengan demikian, jelaslah bahwa perbedaan
perkembangan fisik harus dihadapi dengan cara yang tepat oleh para pendidik.

Meskipun tidak sepesat pada masa usia dini, perkembangan biologis maupun
perseptual anak terus berlangsung. Pemahaman tentang karakteristik per-kembangan
akhirnya membawa beberapa implikasi bagi penyelenggaraan pendidikan di sekolah dasar.
Implikasi-imlikasi dimaksud khususnya berkenaan dengan penyelenggaraan pembelajaran
secara umum, pemeliharaan kesehatan dan nutrisi anak, pendidikan jasmani dan kesehatan,
serta penciptaan lingkungan dan pembiasaan berperilaku sehat.

2. Implikasi Perkembangan Intelektual

Perkembangan intelektual erat kaitannya dengan potensi otak manusia. Menurut


Widiasmadi (2010:55), potensi otak manusia hanya tampak delapan persen sebagai pikiran
sadar, sedangkan sisanya 92 persen disebut alam bawah sadar. Dari penjelasan tersebut dapat
kita ketahui bahwa potensi otak manusia yang berkaitan dengan perkembangan intelektual
hanya memuat delapan persen saja. Untuk itu, perkembangan intelektual pada peserta didik
perlu dikembangkan.
Proses perkembangan intelektual menurut pendapat Budiamin, dkk. (2009:5)
melibatkan perubahan dalam kemampuan dan pola berpikir, kemahiran berbahasa, dan cara
individu memperoleh pengetahuan dari lingkungannya. Aktivitas-aktivitas seperti mengamati
dan mengklasifikasikan benda-benda, menyatukan beberapa kata menjadi satu kalimat,
menghapal doa, memecahkan soal-soal matematika, dan menceritakan pengalaman kepada
orang lain merupakan peran proses intelektual dalam perkembangan anak.

Teori Piaget banyak digunakan dalam praktik pendidikan atau proses pembelajaran,
meski teori ini bukanlah teori mengajar. Piaget (Budiamin, dkk., 2009:108) berpandangan
bahwa: (1) pembelajaran tidak harus berpusat pada guru, tetapi berpusat pada peserta didik;
(2) materi yang dipelajari harus menantang dan menarik minat belajar peserta didik; (3)
pendidik dan peserta didik harus sama-sama terlibat dalam proses pembelajaran; (4) urutan
bahan dan metode pembelajaran harus menjadi perhatian utama, karena akan sulit dipahami
oleh peserta didik jika urutannya loncat-loncat; (5) guru harus memperhatikan tahapan
perkembangan kognitif peserta didik dalam melakukan stimulasi pembelajaran; dan (6)
pembelajaran hendaknya dibantu dengan benda-benda konkret pada anak sekolah dasar kelas
awal.

Pendapat lain mengatakan bahwa model pendidikan yang aktif adalah model yang
tidak menunggu sampai peserta didik siap sendiri. Sekolah yang sebaiknya mengatur
lingkungan belajar sedemikan rupa sehingga dapat memberi kemungkinan maksimal pada
peserta didik untuk berinteraksi dalam proses pembelajaran. Dengan lingkungan yang penuh
rangsangan untuk belajar, proses pembelajaran aktif akan terjadi sehingga mampu membawa
peserta didik untuk maju ke tahap berikutnya. Dalam hal ini, pendidik hendaknya menyadari
bahwa perkembangan intelektual anak berada di tangannya (Pristanto, 2011).

Perkembangan intelektual pada anak usia sekolah dasar sudah cukup untuk menjadi
dasar diberikannya berbagai kecakapan yang dapat mengembangkan pola pikir atau daya
nalarnya. Perkembangan intelektual dan pengalaman belajar anak sangat erat kaitannya.
Perkembangan intelektual peserta didik akan memfasilitasi kemampuan belajarnya. Peserta
didik sudah dapat diberikan dasar-dasar keilmuan, seperti membaca, menulis, dan berhitung.
Dalam mengembangkan daya nalar, caranya dengan melatih peserta didik untuk
mengungkapkan pendapat, gagasan, atau penilaiannya terhadap berbagai hal. Misalnya yang
berkaitan dengan materi pelajaran, tata tertib sekolah, dan sebagainya.
3. Implikasi Perkembangan Bahasa

Bahasa merupakan alat untuk berkomunikasi dengan orang lain. Pada dasarnya bahasa
sebagai alat komunikasi tidak hanya berupa bicara, melainkan juga dapat diwujudkan dengan
tanda isyarat tangan atau anggota tubuh lainnya yang memiliki aturan sendiri.

Sangat luas sekali pengertian bahasa dalam menunjukkan suatu perkem-bangan. Oleh
karena itu, salah satu tokoh psikologi yaitu Wundt (Baradja, 2005:179) mendasarkan teori
bahasanya dengan aksioma paralel, yaitu gerakan-gerakan fisik merupakan pernyataan
gerakan-gerakan psikis. Dengan demikian, terdapat hubungan yang paralel antara gejala batin
dengan gejala luar. Apa yang terlihat dalam raut wajah dan tingkah laku akan menunjukkan
suatu kebutuhan psikologis seseorang.

Menurut Yusuf (2005:118), bahasa sangat erat kaitannya dengan perkem-bangan


berpikir individu. Perkembangan pikiran individu tampak dalam perkembangan bahasanya,
yaitu kemampuan membentuk pengertian, menyusun pendapat, dan menarik kesimpulan.
Yusuf pun menuturkan bahwa anak usia sekolah dasar merupakan masa berkembang
pesatnya kemampuan mengenal dan menguasai perbendaharaan kata. Dengan dikuasainya
keterampilan membaca dan berkomunikasi dengan orang lain, anak sudah gemar membaca
atau mendengarkan cerita yang bersifat kritis (tentang petualangan, riwayat pahlawan, dan
lain-lain). Pada masa ini tingkat berpikir anak sudah lebih maju. Dia banyak menanyakan
soal waktu dan sebab akibat. Misalnya, kata tanya yang semula digunakan hanya apa,
sekarang sudah diikuti dengan pertanyaan di mana, mengapa, bagaimana, dan
sebagainya. Oleh sebab itu, pelajaran bahasa yang sengaja diberikan di sekolah dasar dapat
menambah perbendaharaan kata peserta didik, melatih peserta didik menyusun struktur
kalimat, peribahasa, kesusastraan, dan keterampilan mengarang.

Selanjutnya masih berkaitan dengan bahasa, Budiamin, dkk. (2009:111)


memperkirakan sekitar 50 bahasa isyarat digunakan di seluruh dunia. Penggunaan bahasa
isyarat ini diduga mempengaruhi pemrosesan informasi dan belajar.

Budiamin, dkk. (2009:117) kemudian memaparkan implikasi perkembangan bahasa


pada peserta didik. Lihat pula Depdikbud (1999: 147).

1. Apabila kegiatan pembelajaran yang diciptakan bersifat efektif, maka perkembangan bahasa
peserta didik dapat berjalan secara optimal. Sebaliknya apabila kegiatan pembelajaran
berjalan kurang efektif, maka dapat diprediksi bahwa perkembangan bahasa peserta didik
akan mengalami hambatan.

2. Bahasa adalah alat komunikasi yang paling efektif dalam pergaulan sosial. Jika ingin
menghasilkan pembelajaran yang efektif untuk mendapatkan hasil pendidikan yang optimal,
maka sangat diperlukan bahasa yang komunikatif dan memungkinkan peserta didik yang
terlibat dalam interaksi pembelajaran dapat berperan secara aktif dan produktif.

3. Meskipun umumnya anak SD memiliki kemampuan potensial yang berbeda-beda, namun


pemberian lingkungan yang kondusif bagi perkembangan bahasa sejak dini sangat
diperlukan.

4. Implikasi Perkembangan Kreativitas

Secara umum kreativitas dapat diartikan sebagai kemampuan berpikir dan bersikap
tentang sesuatu dengan cara yang baru dan tidak biasa guna menghasilkan penyelesaian yang
unik terhadap berbagai persoalan.

Menurut pendapat Galdner (Depdikbud, 1999:88), kreativitas merupakan suatu


aktivitas otak yang terorganisasikan, komprehensif, dan imajinatif tinggi untuk menghasilkan
sesuatu yang orisinil. Oleh karena itu, kreativitas lebih dikatakan sebagai suatu yang lebih
inovatif daripada reproduktif.

Desmita dalam bukunya Psikologi Perkembangan (2008:176) memaparkan tentang


perhatian para psikolog dan kalangan dunia pendidikan terhadap kreativitas sebagai salah
satu aspek dari fungsi kognitif yang berperan dalam prestasi anak di sekolah, yang bermula
dari pidato Guilford tahun 1950. Guilford dalam pidatonya menegaskan bahwa kreativitas
perlu dikembangkan melalui jalur pendidikan guna mengembangkan potensi peserta didik
secara utuh dan bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan seni.

Menyadari posisi strategis kreativitas dalam kehidupan peserta didik, perlu


dikemukakan berbagai upaya yang dapat mendukung pengembangan kreativitas terhadap
pendidikan. Namun dalam kenyataannya, kreativitas bukanlah sesuatu yang diajarkan kepada
peserta didik, melainkan hanya memungkinkan untuk dapat dimunculkan.
Oleh sebab itu, Treffinger (Depdikbud, 1999:105) mengemukakan sejumlah
pengalaman belajar yang dapat dikembangkan oleh pendidik agar mampu mendorong
kreativitas peserta didik, khususnya dalam proses pembelajaran. Hal tersebut antara lain guru
diharapkan dapat menyajikan materi pembelajaran, menyiapkan berbagai media,
menggunakan pendekatan pembelajaran yang memungkinkan posisi peserta didik sebagai
subjek daripada objek pembelajaran, serta mengadakan evaluasi yang tepat sehingga mampu
mendukung pengembangan kreativitas peserta didik.

5. Implikasi Perkembangan Sosial

Manusia menurut pembawaannya adalah makhluk sosial. Sejak dilahirkan, bayi sudah
termasuk ke dalam masyarakat kecil yang disebut keluarga. Ketika kecil, mulanya anak-anak
hanya mempunyai hak saja. Di dalam rumah tangga ia mempunyai hak untuk dipelihara dan
dilindungi oleh orang tuanya. Namun, lama-kelamaan keadaan itu berubah. Anak-anak yang
pada mulanya hanya mempunyai hak saja, berangsur-angsur mempunyai kewajiban.

Lingkungan sosial merupakan pengaruh luar yang datang dari orang lain. Selain itu,
yang termasuk lingkungan sosial ialah pendidikan. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan
pendidikan adalah pengaruh-pengaruh yang disengaja dari anggota berbagai golongan
tertentu, seperti pengaruh ayah, nenek, paman, dan guru-guru.

Purwanto (2006:171) mengatakan bahwa tugas dan tujuan pendidikan sosial adalah:
(1) mengajar anak-anak yang hanya mempunyai hak saja, menjadi manusia yang sadar akan
kewajibannya terhadap bermacam-macam golongan dalam masyarakat; dan (2) membiasakan
anak-anak mematuhi dan memenuhi kewajiban sebagai anggota masyarakat.

Dalam menjalani kehidupannya sebagai makhluk sosial, senantiasa selalu tumbuh


dalam diri seorang anak yang dimaksud dengan perkembangan sosial.

Budiamin, dkk. (2009:123) berpandangan bahwa perkembangan sosial merupakan


pencapaian kematangan dalam hubungan sosial yang erat kaitannya dengan pencapaian
kemandirian. Sementara itu, Sunarto dan Hartono (2006:143) berpendapat bahwa
perkembangan sosial adalah berkembangnya tingkat hubungan antarmanusia sehubungan
dengan meningkatnya kebutuhan hidup manusia.
Senada dengan kedua pendapat di atas, Yusuf (2005:122) mengemukakan bahwa
perkembangan sosial merupakan proses belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma-
norma kelompok, moral, tradisi, atau meleburkan diri menjadi satu kesatuan yang saling
berkomunikasi dan bekerja sama. Anak dilahirkan belum memiliki kemampuan untuk
bergaul dengan orang lain. Untuk mencapai kematangan sosial, anak harus belajar tentang
cara-cara menyesuaikan diri dengan orang lain, termasuk dengan teman sebaya.

Berkat perkembangan social, seorang anak dapat menyesuaikan diri dengan kelompok
teman sebaya maupun dengan lingkungan masyarakat sekitar. Dalam proses belajar di
sekolah, kematangan perkembangan sosial ini dapat dimanfaatkan oleh pendidik dengan
memberikan tugas-tugas kelompok, baik yang membutuhkan tenaga fisik maupun pikiran.
Tugas-tugas kelompok ini harus memberikan kesempatan kepada setiap peserta didik untuk
menunjukkan prestasinya, tetapi juga diarahkan untuk mencapai tujuan bersama. Dengan
melaksanakan tugas kelompok, peserta didik dapat belajar tentang kebiasaan dalam bekerja
sama, saling menghormati, dan bertanggung jawab.

Dilihat dari pemahaman terhadap aspek perkembangan sosial pada peserta didik,
terdapat beberapa implikasi menurut Budiamin, dkk. (2009:128), yaitu: (1) untuk
meningkatkan kemampuan peserta didik dalam menyadari dan menghayati pengalaman
sosialnya, dapat dilakukan aktivitas-aktivitas bermain peran yang ditindaklanjuti dengan
pembahasan di antara mereka; (2) keberadaan teman sebaya bagi anak usia sekolah dasar
merupakan hal yang sangat berarti, bukan saja sebagai sumber kesenangan bagi anak
melainkan dapat membantu mengembangkan banyak aspek perkembangan anak. Ini
mengimplikasikan perlunya aktivitas-aktivitas pendidikan yang memberikan banyak
kesempatan kepada peserta didik untuk berdialog dengan sesamanya.

6. Implikasi Perkembangan Emosional

Emosi menurut Sarwono (Yusuf, 2005:115) merupakan keadaan pada diri seseorang
yang disertai warna afektif, baik pada tingkat lemah maupun pada tingkat yang luas. Baradja
(2005:221) kemudian mengemukakan beberapa contoh tentang pengaruh emosi terhadap
perilaku individu dalam pembelajaran, di antaranya: (1) memperkuat dan melemahkan
semangat apabila timbul rasa senang atau kecewa atas hasil belajar yang dicapai; (2)
menghambat konsentrasi belajar apabila sedang mengalami ketegangan emosi; (3)
menggangu penyesuaian sosial apabila terjadi rasa cemburu dan iri hati; dan (4) suasana
emosional yang dialami individu semasa kecilnya akan mempengaruhi sikapnya di kemudian
hari.

Demikian pula Hurlock (1978:211) mengungkapkan secara jelas bahwa emosi


mempengaruhi cara belajar anak, yaitu: (1) menyiapkan tubuh untuk melakukan tindakan; (2)
reaksi emosional apabila diulang-ulang akan berkembang menjadi kebiasaan; (3) emosi
merupakan suatu bentuk komunikasi; (4) emosi mewarnai pandangan anak; dan (5) emosi
dapat menggangu aktivitas mental.

Pendapat lain mengungkapkan bahwa emosi merupakan faktor dominan yang


mempengaruhi tingkah laku individu, dalam hal ini termasuk pula perilaku belajar. Emosi
yang positif seperti perasaan senang, bersemangat, atau rasa ingin tahu akan mempengaruhi
individu untuk berkonsentrasi terhadap aktivitas belajar, seperti memperhatikan penjelasan
guru, aktif dalam berdiskusi, mengerjakan tugas, dan sebagainya (Yusuf, 2005:181).

Berdasarkan pendapat yang dikemukakan Yusuf, dapat diuraikan bahwa jika yang
menyertai proses belajar itu emosi negatif seperti perasaan tidak senang dan kecewa, maka
proses belajar akan mengalami hambatan, dalam arti peserta didik tidak dapat memusatkan
perhatiannya untuk belajar sehingga kemungkinan besar akan mengalami kegagalan dalam
belajarnya.

Begitu pentingnya faktor perkembangan emosional dalam menentukan keberhasilan


belajar peserta didik, Desmita (2008:173) mengutip pernyataan DePorter, Reardon, dan
Singer-Nourie dalam buku mereka yang sangat terkenal Quantum Teaching: Orchestrating
Student Success, yang menyarankan agar para pendidik memahami emosi para siswa.
Memperhatikan dan memahami emosi siswa dapat membantu pendidik mempercepat proses
pembelajaran yang lebih bermakna dan permanen. Memperhatikan dan memahami emosi
siswa berarti membangun ikatan emosional dengan menciptakan kesenangan dalam belajar,
menjalin hubungan, dan menyingkirkan segala ancaman dari suasana belajar. Melalui kondisi
belajar di maksud, para siswa akan lebih ikut serta dalam kegiatan sukarela yang
berhubungan dengan bahan pelajaran.

7. Implikasi Perkembangan Moral


Purwanto (2006:31) berpendapat, moral bukan hanya memiliki arti bertingkah laku
sopan santun, bertindak dengan lemah lembut, dan berbakti kepada orang tua saja, melainkan
lebih luas lagi dari itu. Selalu berkata jujur, bertindak konsekuen, bertanggung jawab, cinta
bangsa dan sesama manusia, mengabdi kepada rakyat dan negara, berkemauan keras,
berperasaan halus, dan sebagainya, termasuk pula ke dalam moral yang perlu dikembangkan
dan ditanamkan dalam hati sanubari anak-anak.

Adapun perkembangan moral menurut Santrock yaitu perkembangan yang berkaitan


dengan aturan mengenai hal yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam interaksinya
dengan orang lain (Desmita, 2008:149).

Perkembangan moral anak dapat berlangsung melalui beberapa cara, salah satunya
melalui pendidikan langsung, seperti diungkapkan oleh Yusuf (2005:134). Pendidikan
langsung yaitu melalui penanaman pengertian tentang tingkah laku yang benar-salah atau
baik-buruk oleh orang tua dan gurunya.

Selanjutnya masih menurut Yusuf (2005:182), pada usia sekolah dasar anak sudah
dapat mengikuti tuntutan dari orang tua atau lingkungan sosialnya. Pada akhir usia ini, anak
dapat memahami alasan yang mendasari suatu bentuk perilaku dengan konsep baik-buruk.
Misalnya, dia memandang bahwa perbuatan nakal, berdusta, dan tidak hormat kepada orang
tua merupakan suatu hal yang buruk. Sedangkan perbuatan jujur, adil, dan sikap hormat
kepada orang tua merupakan suatu hal yang baik.

Selain pemaparan di atas, Piaget (Hurlock, 1980:163) memaparkan bahwa usia antara
lima sampai dengan dua belas tahun konsep anak mengenai moral sudah berubah. Pengertian
yang kaku dan keras tentang benar dan salah yang dipelajari dari orang tua, menjadi berubah
dan anak mulai memperhitungkan keadaan-keadaan khusus di sekitar pelanggaran moral.
Misalnya bagi anak usia lima tahun, berbohong selalu buruk. Sedangkan anak yang lebih
besar sadar bahwa dalam beberapa situasi, berbohong dibenarkan. Oleh karena itu, berbohong
tidak selalu buruk.

Selain lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan juga menjadi wahana yang


kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan moral peserta didik. Untuk itu, sekolah
diharapkan dapat berfungsi sebagai kawasan yang sejuk untuk melakukan sosialisasi bagi
anak-anak dalam pengembangan moral dan segala aspek kepribadiannya. Pelaksanaan
pendidikan moral di kelas hendaknya dihubungkan dengan kehidupan yang ada di luar kelas.
Dengan demikian, pembinaan perkembangan moral peserta didik sangat penting karena
percuma saja jika mendidik anak-anak hanya untuk menjadi orang yang berilmu
pengetahuan, tetapi jiwa dan wataknya tidak dibangun dan dibina.

8. Implikasi Perkembangan Spiritual

Anak-anak sebenarnya telah memiliki dasar-dasar kemampuan spiritual yang


dibawanya sejak lahir. Untuk mengembangkan kemampuan ini, pendidikan mempunyai
peranan yang sangat penting. Oleh karena itu, untuk melahirkan manusia yang ber-SQ tinggi
dibutuhkan pendidikan yang tidak hanya berorientasi pada perkembangan aspek IQ saja,
melainkan EQ dan SQ juga.

Zohar dan Marshall (Desmita, 2008:174) pertama kali meneliti secara ilmiah tentang
kecerdasan spiritual, yaitu kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna
dan nilai, yang menempatkan perilaku dan hidup manusia dalam konteks makna yang lebih
luas dan kaya.

Purwanto (2006:9) mengemukakan bahwa pendidikan yang dilakukan terhadap


manusia berbeda dengan pendidikan yang dilakukan terhadap binatang. Menurutnya,
pendidikan pada manusia tidak terletak pada perkem-bangan biologis saja, yaitu yang
berhubungan dengan perkembangan jasmani. Akan tetapi, pendidikan pada manusia harus
diperhitungkan pula perkembangan rohaninya. Itulah kelebihan manusia yang diberikan oleh
Allah Swt., yaitu dianugerahi fitrah (perasaan dan kemampuan) untuk mengenal penciptanya,
yang membedakan antara manusia dengan binatang. Fitrah ini berkaitan dengan aspek
spiritual.

Berkaitan dengan perkembangan spiritual yang membawa banyak implikasi terhadap


pendidikan, diharapkan muncul manusia yang benar-benar utuh dari lembaga-lembaga
pendidikan. Untuk itu, pendidikan agama nampaknya harus tetap dipertahankan sebagai
bagian penting dari program-program pendidikan yang diberikan di sekolah dasar. Tanpa
melalui pendidikan agama, mustahil SQ dapat berkembang baik dalam diri peserta didik.

9. Implikasi Perkembangan Karier


Salah satu aspek perkembangan anak usia sekolah dasar yang perlu mendapat
perhatian khusus adalah perkembangan karier. Menurut Budiamin, dkk. (2009:154), karier
adalah perjalanan hidup individu yang bermakna melalui serangkaian kesuksesan. Disebutkan
pula bahwa sesuatu bisa disebut karier jika mengimplikasikan adanya: (1) pendidikan yang
diwujudkan dengan keahlian tertentu, (2) keberhasilan, (3) dedikasi atau komitmen, dan (4)
kebermaknaan personal dan finansial.

Mengenai pengembangan karier pada anak usia SD, Parson (Budiamin, dkk.,
2009:154) mengemukakan dua langkah pengambilan keputusan karier. (1) perolehan
pemahaman diri, yaitu pemahaman secara jelas tentang sikap, prestasi, kemampuan, minat,
nilai-nilai, dan kepribadian. Sejak dini anak usia SD dibimbing untuk memahami hal-hal
tersebut. Misalnya, anak usia SD sudah mulai diajak mendiskusikan kelebihan dan
kekurangan diri sendiri dilihat dari prestasi belajarnya, diajak mendiskusikan minat-
minatnya, dan berbagai hal lain yang terkait dengan ciri-ciri dirinya; (2) memperoleh
pengetahuan tentang dunia kerja yang mencakup pengetahuan tentang informasi tipe
lapangan kerja.

Dalam memfasilitasi perkembangan karier anak usia sekolah dasar, orang tua dan guru
hendaknya mengenalkan bidang-bidang karier yang ada, terutama yang dekat dengan
lingkungan anak. Jika stimulasi perkembangan karier dilakukan seperti ini, maka yang perlu
ditekankan adalah agar anak berpikir dan terdorong agar ingin menjadi orang yang berkarier.

Guna menumbuhkan perasaan dan keyakinan mampu berkarya atau berprestasi,


sekolah perlu memberi peluang kepada peserta didik untuk meraih sukses dalam pengalaman
belajarnya, seperti memberikan alternatif pilihan kegiatan yang memungkinkan anak untuk
menunjukkan kelebihan-kelebihan yang dimilikinya (Depdikbud, 1999:192).
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Dalam berkomunikasi, bahasa merupakan alat yang penting bagi setiap orang. Melalui
berbahasa seseorang atau anak akan dapat mengembangkan kemampuan bergaul (social skill)
dengan orang lain. Penguasaan keterampilan bergaul dalam lingkungan sosial dimulai dengan
penguasaan kemampuan berbahasa. Tanpa bahasa seseorang tidak akan dapat berkomunikasi
dengan orang lain. Anak dapat mengekspresikan pikirannya menggunakan bahasa sehingga
orang lain dapat menangkap apa yang dipikirkan oleh anak. Komunikasi antar anak dapat
terjalin dengan baik dengan bahasa sehingga anak dapat membangun hubungan sehingga
tidak mengherankan bahwa bahasa dianggap sebagai salah satu indikator kesuksesan seorang
anak.

Salah satu kemampuan anak yang sedang berkembang saat anak usia dini adalah kemampuan
berbahasa. Penguasaan bahasa sangat erat kaitannya dengan kemampuan kognisi anak. Mulai
dari menyimak, berbicara, membaca dan menulis, termasuk dalam pengembangan bahasa
yang harus dikembangkan melalui bimbingan yang baik dan benar.

B. RUMUSAN MASALAH

Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah bagaimana program-program


pengembangan bahasa dan sosial AUD??

C. TUJUAN MASALAH

Berdasarkan dari pemaparan di atas maka makalah ini bertujuan untuk memberikan
penjelasan tentang program-program pengembangan bahasa dan sosial AUD ditinjau dari
perkembangan bahasa anak dalam hal perkembangan menyimak, berbicara, membaca dan
menulis.

BAB II

PEMBAHASAN

PROGRAM DALAM PENGEMBANGAN BAHASA DAN SOSIAL ANAK USIA DINI

A. Pengertian Program Pengembangan Bahasa Anak Usia Dini

Program adalah suatu rencana yang melibatkan berbagai unit yang berisi kebijakan dan
rangkaian kegiatan yang harus dilakukan dalam kurun waktu tertentu[1].

Perkembangan bahasa adalah meningkatnya kemampuan penguasaan alat berkomunikasi,


baik alat komunikasi dengan cara lisan, tertulis, maupun dengan tanda-tanda dan isyarat[2].

Program perkembangan bahasa anak usia dini adalah suatu unit yang berisi rangkaian
kegiatan yang dilaksanakan oleh pendidik untuk meningkatkan kemampuan berkonunikasi
AUD 4-6 tahun dengan baik dan benar.
Dalam hal ini yang perlu di ingat bahwa untuk mengembangkan bahasa dan sosial AUD,
terdapat unsur-unsur pendidikan. Adapun ungsur-ungsur pendidikan melibatkan banyak hal,
yaitu.

1. Subjek yang dibimbing (Peserta didik)


2. Orang yang Membimbing (pendidik)
3. Interaksi antara peserta didik dengan pendidik (interaksi edukatif)
4. Ke arah mana bimbingan ditujukan (tujuan pendidikan)
5. Pengaruh yang diberikan dalam bimbingan (materi pendidikan)
6. Cara yang digunakan dalam bimbingan (alat dan metode)
7. Tempat di mana peristiwa bimbingan berlangsung (lingkungan pendidikan)[3]

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa proses pendidikan khususnya pada AUD
sangatlah penting dalam hal mengembangkan bahasa dan sosial Anak, maka dari itu sebagai
pendidik harus mampu memberikan konstribusi kepada peserta didik melalu program-
program yang telah disiapkan berdasarkan kondisi lingkungan lenbaga atau sekolah itu
sendiri.

Untuk lebih jelas tentang program atau kegiatan yang harus disiapkan oleh pendidik dalam
mengembangkan bahasa dan sosial AUD maka semoga pemaparan dibawah ini dapat
memberikan tambahan pemahaman bagi kita semua.

B. Rangkaian Kegiatan Pengembangan Bahasa dan Sosial Anak Usia Dini

Rangkaian kegiatan perkembangan bahasa dan sosial anak usia dini jika ditinjau dari
perkembangan bahasa meliputi :

1. Menyimak

Menyimak adalah kegiatan mendengarkan secara aktif dan kreaktif untuk memperoleh
informasi, menangkap isi atau pesan yang disampaikan secara lisan.

Dalam hal menyimak, misalnya dalam pelajaran bahasa asing, kita perlu mengenal dan
memahami (1) bunyi fonemis bahasa yang bersangkutan; (2) urutan bunyi dan
pengelompokannya, panjang jeda, pola tekanan, dan intonasi; (3) kata tugas serta perubahan
bunyi sesuai dengan posisinya di muka kata lain; (4) infleksi sebagai penunjuk jamak, waktu,
milik, dan sebagainya; (5) perubahan bunyi dan pertukaran fungsi yang ditimbulkan oleh
derivasi; (6) pengelompokan struktural seperti frasa verbal dan preposisional; (7) petunjuk
susunan/urutan kata yang menyangkut fungsi makna; (8) makna kata sesuai dengan konteks
atau situasi pembicaraan; (9) makna budaya yang tercakup atau setrsirat dalam suatu
pesan[4].

Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa seorang pendidik khususnya bahasa
asing harus mampu mengenal dan memahami apa-apa yang harus di sampaikan kepada
peserta didik. Setidaknya 9 konsep menyimak diatas dapat dikuasai dengan baik.

.fungsi menyimak

Menurut Bromley bahwa ada dua alasan mengajari anak mendengarkan. Dua alasan tersebut,
yaitu
1. Anak dan orang dewasa sebagaian besar menghabiskan waktunya untuk mendengar.
2. Kemampuan mendengarkan sangat penting tidak hanya belajar di dalam kelas, tetapi
dalam kehidupan sehari-hari[5].

Apa saja fungsi atau peranan menyimak bagi anak? Berdasarkan pendapat Sabarti (1992) dan
Tarigan (2005) dapat disimpulkan keterampilan menyimak dapat berfungsi untuk :

1. Menjadi dasar belajar bahasa, baik bahasa pertama maupun bahasa kedua.
2. Menjadikan dasar pengembangan kemampuan bahasa tulis (membaca dan menulis).
3. Menunjang keterampilan bahasa lainnya.
4. Memperlancar komunikasi lisan.
5. Menambah informasi dan pengetahuan.

Tujuan menyimak

Adapun tujuan dari menyimak menurut Taringan terbagi atas tujuh bagian diantaranya :

1. Untuk belajar
2. Untuk memecahkan masalah
3. Untuk mengevaluasi
4. Untuk mengapresiasi
5. Untuk mengomunikasihkan ide-ide
6. Untuk membedakan bunyi-bunyi
7. Untuk meyakinkan.

Tahapan perkembangan tentang kemampuan anak dalam mendengarkan menurut Milestone


dan Red Flags adalah :

1. Infant (0-1)
1. Mulai mengeluarkan suara-suara bergumam
2. Mengarahkan kepalanya ke asal suara
3. Menanggapi secara berbeda untuk jenis musik lain.
4. Meniru suara musik dan suara lainnya.
5. Melihat pembicara.
6. Mulai untuk memahami kata-kata desertai dengan sikap yang tepat/benar.
7. Satu sampai dua tahun
1. Mengenal namanya sendiri.
2. Menghubungkan kata-kata dengan tingkah laku.
3. Dapat memahami perintah yang sederhana dengan kata kunci yang
dipahami.
4. Mempelajari permainan sederhana, seperti main cilukba.
5. Memahami kata tidak, selamat tinggal.
6. Menunjukan bagian tubuh
7. Mendengarkan dan berusaha terlibat dalam nyanyian.
8. Mendengarkan buku-buku untuk bayi.
9. Menanggapi secara benar pernyataan mendasar.
10. Mampu membedakan kata ganti.
11. Di usia 3-4 tahun
1. Mengingat permainan jari.
2. Memahami konsep sederhana(besar/sedikit, hari ini, waktu
tidur).
3. Menikmati mendengarkan cerita yang sama berulang-ulang.
4. Menggabungkan kata-kata dan kalimat dari awal berdiskusi
kediskusi selanjutnya dengan buku yang sama.
5. Menunjukkan dan memberikan nama pada hewan-hewan yang
berbeda
6. Mampu memahami dua perintah secara langsung (contoh;
pertama, pakai jeketmu, kemudian pakai topimu).
7. Mencocokkan serta tepat suara-suara musik terhadap alat-alat
yang menghasilkan suara tersebut (contoh: piano, gitar, drum)
8. Menanggapi secara tepat pertanyaan-pertanyaan selama
percakapan
9. Menegakkan jari tangan dengan benar dalam menanggapi
pertanyaan berapa usiamu?
10. Memahami dam memberi definisi obyek yang mereka gunakan
(contoh: apa yang kamu butuhkan untuk makan sereal)
11. Memahami perbandingan sederhana (contoh: besar, lebih besar,
paling besar).
12. Memahami pertanyaan kondisi (contoh: jika/lalu karena)
13. Memahami hanya berpura-pura dengan kenyataannya.
14. Mempelajari kata-kata yang berhubungan dengan masa lalu
(contoh: kemarin), saat ini, (contoh: hari ini) dan akan datang
(contoh: besok).
15. Dapat berbicara secara singkat tentang apa yang dilakukan.
16. Berusaha untuk menyamai gaya bicara orang dewasa.
17. Lima sampai enam tahun
1. Dapat mengenali warna dan bentuk dasar.
2. Dapat menunjukan pemahaman mengenai hubungan
tempat (di atas, di bawa, dekat, di samping).
3. Mampu merasakan perbedaan nada (tinggi/rendah) dan
mengerti tangga nada.
4. Dapat melakukan hal yang membutuhkan petunjuk yang
lebih banyak (contoh: ya, kamu boleh pergi, tapi kamu
perlu pakai sepatumu).
5. Mampu menjaga informasi dalam urutan yang benar
(contoh: mampu menceritakan kembali sebuah cerita
secara terpenrinci).
6. Berbicara

Berbicara adalah : Kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk


mengekpresikan, menyatakan serta menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan.

Belajar berbicara dapat dilakukan anak dengan bantuan dari orang dewasa melalui
percakapan. Dengan bercakap-cakap, anak akan menemukan pengalaman dan meningkatkan
pengetahuannya dan mengembangkan bahasanya.

Potensi anak berbicara di dukung oleh beberapa hal :


1. Kematangan alat berbicara. Kemampuan berbicara juga tergantung pada kematangan
alat-alat berbicara. Misalnya tenggorokan, langit-langit, lebar rongga mulut, daln lain-
lain dapat mempengaruhi kematangan berbicara. alat-alat tersebut baru dapat
berfungsi dengan baik setelah sempurna dan dapat membentuk atau memproduksi
suatu kata dengan baik sebagai permulaan berbicara.
2. Kesiapan berbicara. kesiapan mental anak sangat bergantung pada pertumbuhan dan
kematangan otak. Kesiapan dimaksud biasanya dimulai sejak anak berusia antara 12-
18 bulan, dari perkembangan bicara.
3. Adanya model yang baik untuk dicontoh oleh anak. Anak dapat membutuhkan suatu
model tertentu agar dapat malafalkan kata dengan tepat untuk dapat dikombinasikan
dengan kata lain sehingga menjadi suatu kalimat yang berarti.
4. Kesempatan berlatih. Apabila anak kurang mendapatkan latihan keterampilan
berbicara akan timbul frustasi dan bahkan sering kali marah yang tidak dimengerti
penyebabnya oleh orang tua atau lingkungannya.
5. Motivasi untuk belajar dan berlatih. Memberikan motivasi dan melatih anak untuk
berbicara sangat penting bagi anak karena untuk memenuhi kebutuhannya untuk
memanfaatkan potensi anak, orang tua hendaknya selalu berusaha agar memotivasi
anak berbicara jangan terganggu atau tidak mendapatkan pengarahan.
6. Bimbingan. Bimbingan sangat berarti bagi anak untuk mengembangkan potensinya.
Oleh karena itu, hendaknya orang tua suka memberikan contoh atau model bagi anak,
berbicara dengan pelan yang mudah diikuti oleh anak dan orang tua siap memberikan
kritikan atau membetulkan apabila dalam berbicara anak berbuat suatu kesalahan.
Bimbingan tersebut harus dilakukan dengan terus menerus dan konsisten sehingga
anak tidak mengalami ksulitan apabila berbicara dengan orang lain.

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa sebagai pendidik harus mampu memahami
karakteristik peserta didik, karna dengan memahami karakteristik peserta didik maka potensi
anak akan bisa berkembang dengan baik.

Sebagai seorang pendidik harus mampu mengidentifikasih faktor-faktor yang mempengaruhi


perkembangan berbicara anak, agar anak dapat berkembang dengan baik dan benar. Adapun
faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan berbicara anak adalah :

1. Faktor Neurologi (perkembangan kognitif, Strategi memproses informasi,


kemampuan output motor, Perkembangan sosial-emosional dan motivasi)
2. Faktor Struktural dan Fisiologi (kemampuan sensorik, kemampuan oromuscular,
mekanisme transmisi bahasa)
3. Faktor Lingkungan (faktor sosial budaya, pengalaman, konteks fisik)

Vygotsky (1986) menjelaskan tiga tahap perkembangan bicara anak yang berhubungan erat
dengan perkembangan berpikir anak, yaitu tahap eksternal, egosentris, dan internal.

1. Tahap eksternal terjadi ketika anak berbicara secara eksternal ketika sumber berpikir
berasal dari luar diri anak. Sumber berpikir ini sebagian besar berasal dari orang
dewasa yang memberikan pengarahan, informasi, dan melakukan tanya jawab dengan
anak. Sebagai contoh orang dewsa bertanya Kamu sedang apa??? anak menjawab
Sedang makan.
2. Tahap egosentris ketika anak berbicara sesuai dengan jalan pikrannya dan
pembicaraan orang dewasa bukan lagi menjadi persyaratan. Sebagai contoh. Ini nasi,
ini piring, ini sendok.
3. Tahap internal tatkala dalam proses berpikir, anak telah memiliki penghayatan
sepenuhnya. Sebagai contoh, ketika anak akan menggambar sebuah biskuit, anak
menggunakan pemikirannya sendiri Apa yang akan saya gambar?, saya ingin
menggambar biskuit coklat.
4. Membaca

Membaca merupakan keterampilan mengenal dan memahami tulisan dalam bentuk urutan
lambang-lambang grafis dan perubahannya menjadi wicara bermakna dalam bentuk
pemahaman diam-diam atau pengujaran keras-keras.

Tujuan membaca adalalah untuk mendapatkan informasi. Informasi yang dimaksud di sini
mencakup informasi tentang fakta dan kejadian sehari-hari sampai informasi tingkat tinggi
tentang teori-teori serta penemuan dan temuan ilmiah janggih.

Sebagai seorang pendidik harus mampu mengidentifikasih faktor-faktor yang mempengaruhi


perkembangan berbicara anak, agar anak dapat berkembang dengan baik dan benar. Adapun
faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan membaca adalah :

1. Motivasi

Faktor motivasi akan menjadi pendorong semangat anak untuk membaca. Motivasi
merupakan faktor yang cukup besar pengaruhnya terhadap kemampuan membaca.

1. Lingkungan Keluarga

Lingkungan merupakan faktor penting dalam mendidik anak, terutama lingkungan keluarga
sebagai tempat pendidikan yang pertama dan utama. Pendidikan keluarga merupakan
pendidikan yang pertama dan utama dalam membentuk anak agar mempunyai kepribadian
untuk dikembangkan dalam lembaga berikutnya. Point utama yang harus diingat adalah anak
brkembang sesuai lingkungannya. Misalnya anak yang terlahir di lingkungan kelurga yang
religius akan tumbuh menjadi anak yang beragama dan menjunjung tinggi nilai-nilai agama.
Pembentukan dasar anak dalam lingkungan keluarga sangat penting untuk menghindari
pengaruh buruk lingkungan luar yang akan dihadapi anak dalam menempuh pendidikan
berikutnya. Lingkungan keluarga mempunyai pengaruh yang sangat besar.

Tahapan-tahapan dalam membaca pada anak usia dini

1. Tahap membaca gambar


2. Tahap pengenalan bacaan
3. Tahap membaca lancar
4. Menulis

Menulis merupakan salah satu media untuk berkomunikasi, dimana anak dapat
menyampaikan makna, ide, pikiran dan perasaannya melalui untaian kata-kata yang
bermakna. Menurut Poerwadarminta (1982), menulis memiliki batasan sebagai berikut (1)
membuat huruf, angka, dan lainya dengan pena, kapur dan sebagainya. (2) mengekspresikan
pikiran atau perasaan seperti mengarang, membuat surat, dan lainnya dengan tulisan.

Menurut Brewer, ada 4 tahapan dalam kemampuan menulis sebagai berikut;


1. Scribble stage, yaitu tahap mencoret atau membuat goresan.
2. Linear Repetitive stage, yaitu tahap pengulangan linear.
3. Random Letter stage, yaitu tahap menulis random.
4. Letter Name Writing or Phonetic writing, yaitu tahap menulis nama.

Menurut Morrow (1993) membagi kemampuan menulis anak menjadi 6 tahapan sebagai
berikut :

1. Writing via Drawing, yaitu menulis dengan cara menggambar.


2. Writing via Scribbling, yaitu menulis dengan cara menggores.
3. Writing via Making Letter-Like Forms, yaitu menulis dengan cara membuat bentuk
seperti huruf.
4. Writing via Reproducing Well-Learned Unit or Lletter Stings, yaitu menulis dengan
cara menghasilkan huruf-huruf atau unit yang sudah baik.
5. Writing via Invented Spelling, yaitu menulis dengan mencoba mengeja satu persatu.
6. Writing via Conventional Spelling, yaitu menulis dengan cara mengeja langsung.

C. Prinsip-prinsip pengembangan bahasa dan sosial anak usia dini

Dalam mengembangkan bahasa Anak Usia Dini perlu memperhatikan prinsip sebagai
berikut:

1) Pembelajaran harus berorientasi pada kemampuan yang hendak dicapai sesuai potensi
anak. Misalnya anak dapat menyebutkan makanan khas.

2) Tumbuhkan kebebasan dalam mengungkapkan pikiran dan perasaan dikaitkan dengan


spontanitas. Misalnya anak dapat mengungkapkan pengalamannya yang berkaitan dengan
naik kendaraan.

3) Diberikan alternatif pikiran dalam mengungkapkan isi hatinya. Apabila anak sulit untuk
mengungkapkan pikirannnya dengan kata-kata bisa dilakukan melalui tulisan atau gambar.

4) Komunikasi guru dan anak akrab dan menyenangkan

5) Guru menguasai pengembangan bahasa

6) Guru bersikap normatif, model, contoh pengguna bahasa Indonesia yang baik dan benar

7) Bahan pembelajaran membantu pengembangan kemampuan dasar anak

D. Strategi Pembelajaran Dalam Mengembangkan Bahasa Dan Sosial AUD

1. Strategi Pengembangan Kemampuan Menyimak

Berbagai strategi dapat digunakan oleh guru untuk meningkatkan kemampuan menyimak
anak. Paley dalam Bromley mengemukakan bahwa ada beberapa cara yang dapat dilakukan
oleh orang dewasa sebagai contoh pada anak agar menjadi pendengar aktif. Cara-cara
tersebut di antaranya adalah :
1. Tetap diam, artinya penyimak tidak menambahkan kata-kata sewaktu terjadi keragu-
raguan ketika seorang pembicara sedang berhenti. Yang harus dilakukan adalah tetap
diam dan menyerap pesan yang disampaikan. Jadi, di sini guru harus menjadi contoh
penyimak yang baik. Jika anak mengajukan pertannyaan, guru jangan langsung
menjawab sebelum pertannyaan itu selesai diajukan anak.
2. Teori dan penelitian membuktikan bahwa anak akan belajar ebih banyak jika guru
mendengarkan lebih banyak.
3. Mempertahankan kontak mata. Cara yang terbaik untuk membatasi informasi yang
masuk adalah dengan tetap menjaga kontak mata dengan pembicara. Caranya guru
bisa melihat ke sekeliling atau duduk dekat anak.
4. Mengunakan bahasa nonverbal. Seorang pendengar aktif memproses semua informasi
yang disampaikan oleh pembicara. Seorang pendengar aktif akan mencoba mendengar
apa kata anak dan melihat bagaimana itu menjadi sebuah kenyataan. Jadi, untuk
membuat pemahaman anak terhadapa apa yang diperdengarkan, guru bisa
memanfaatkan bahasa nonverbal, seperti gerakan tangan, mimik, atau ekspresi.
5. Menangkap pengertian. Apabila pendengar mendengar suatu ketidaksesuaian antara
apa-apa yang didengar, pendengar dapat menemukan waktu yang tepat untuk
menanyakan sebuah pernyataan atau pertanyaan.
6. Membagi kesan mental. Pendengar terlibat aktif dalam mendengar dan mengolah apa
yang didengar sehingga menjadi lebih mengerti.
7. Mendorong berbicara. bagaimana orang dewasa mendorong anak untuk berani
berbicara dan percaya diri ketika di rumah maupun di sekolah
8. Partisipasi kelompok. Kegiatan yang dapat dilakukan secara berkelompok yang dapat
meningkatkan kemampuan menyimak anak adalah bekerja berpasangan, bermain
peran atau dramatisasi, dll.

2. Strategi Pengembangan Kemampuan Berbicara

Ada beberapa cara orang dewasa mengajarkan berbahasa pada bayi yaitu :

1. Motherese (menyusun ulang) yaitu berbicara pada bayi dengan frekuensi dan
hubungan yang lebih luas dan mengunakan kalimat yang sederhama.
2. Recasting yaitu pengucapan makna suatu kalimat yang sama atau mirip dengan
menggunakan cara yang berbeda. Misalnya dengan mengubahnya menjadi pertanyaan
3. Echoing yaitu mengulangi apa yang dikatakan anak, khususnya ungkapan anak yang
belum sempurna..
4. Expanding yaitu menyatakan ulang apa yan dikatakan anak dalam bahasa yang baik
ditinjau dari segi linguistik.
5. Labelling yaitu mengidentifikasikan nama-nama benda.

Sejalan dengan perkembangan kemampuan serta mematangan jasmani terutama yang


bertalian dengan proses bicara, komunikasi tersebut makin meningkat dan meluas, misalnya
dengan orang di sekitar lingkungannya dan berkembang dengan orang lain yang baru dikenal
dan bersahabat dengannya. Kemampuan bahasa anak akan berkembang lebih cepat, jika:

1. Anak berada di dalam lingkungan yang positif dan bebas dar tekanan.
2. Pandang mata anak saat berbicara.
3. Anak usia dini emosinya masih kuat, karena itu pendidik harus menunjukan minat dan
perhatian tinggi kepada anak. Orang dewasa perlu merespon anak dengan tulus.
4. Menyampaikan pesan verbal diikuti dengan pesan non verbal.
5. Melibatkan anak dalam komunikasi
6. Orang dewasa perlu melibatkan anak untuk ikut membangun komunikasi
7. Gunakan ejaan yang benar. Hindari ejaan yang dibuat-buat, seperti cayang, antik ya
(cantik ya).
8. Bicarakan apa yang benar-benar dilakukan dan dialami anak.
9. Berikan respon yang lebih banyak atas pertanyaan anak.
10. Gunakan tata bahasa yang benar dalam berbicara.
11. Betulkan keslahan berbicara anak dengan lembut, baik dalam pengucapan maupun
susunan.
12. Hindari memaksa anak untuk menghafal kata.

3. Strategi pengembangan Kemampauan Membaca

Strategi yang dapat digunakan dalam mengembangkan kemampuan membaca permulaan di


lembaga PAUD, seperti taman kanak-kanan adalah dengan pendekatan pengalaman
berbahasa. Pendekatan ini diberikan dengan menerapkan konsep DAP (Developmentally
Aproppriate Practice). Selain itu, perlu juga memperhatikan motivasi dan minat anak
sehingga hal itu betul-betul memberikan pengaruh yang besar dalam pengembangan
kemampuan membaca.

Dogde mengemukakan tahap-tahap pengembangan membaca melalui penggunaan buku


sebagai berikut :

1. Mengeksplorasi

Anak meniru orang tua dan anak yang lebih tua untuk bermain membaca, mereka juga
diminta kepada orang tua untuk memiliki buku.

1. Memahami urutan

Anak dapat mengenali tahapan-tahapan cerita dimulai dari awal pertengahan dan akhir cerita.

1. Mengenali bahwa kata-kata adalah simbol

Anak dapat memahami hubungan antara gambar-gambar di buku dengan kata-kata yang
tertulis di halaman buku

1. Mencocokan kata dengan teks

Anak mulai memahami huruf-huruf tertulis mewakili kata-kata tertentu

1. Mengenali kata-kata tertulis.

Anak mulai memiliki rasa keingintahuan mengenai makna kata-kata.

4. Strategi pengembangan Kemampuan Menulis

Menulis merupakan cara anak mengekspresikan pengalaman, perasaan, pikiran, dan pendapat
dengan tulisan. Kemampuan menulis anak pada mulanya ditunjukan melalui menggambar.
Anak usia dua tahun biasanya sudah mulai tertarik dengan alat tulis dan mulai menggambar
dengan bentuk coretan-coretan yang sepertinya tak putus. Bentuk coretan tidak jelas.

Kemampuan menulis dipengaruhi oleh beberapa hal seperti :

1. Perhatian dan pengenalan terhadap huruf


2. Kemampuan motorik terutama motorik halus
3. Kemampuan kordinasi gerakan tangan/jari yang dikordinasikan dengan mata dan
perasaan
4. Kemampuan menenpatkan posisi tubuh dalam ruang atau posisi alat gerak terhadap
tubuh.
5. Kemampuan mengenal kembali apa yang ditulis dan didengar

Ada beberapa pertimbangan yang harus diperhatikan untuk pengunaan strategi pembelajaran
yang digunakan[6]:

1. a. Pertimbangan yang berhubungan dengan tujuan yang ingin dicapai

Apakah tujuan pembelajaran yang ingin dicapai berkenaan dengan aspek kognitif,
afektif, dan psikomotor.
Bagaimana kompleksitas tujuan pembelajaran yang ingin dicapai, apakah tinggi atau
rendah.
Apakah untuk mencapai tujuan itu memerlukan keterampilan akademis

1. b. Pertimbangan yang berhubungan dengan bahan atau materi pembelajaran

Apakah materi pembelajaran itu berupa fakta, konsep, hukum, atau teori tertentu
Apakah untuk mempelajari materi pembelajaran itu memerlukan prasyarat tertentu
atau tidak.
Apakah tersedia buku-buku sumber untuk mempelajari materi itu
c. Pertimbangan dari sudut siswa

Apakah strategi pembelajaran sesuai dengan tingkat kematangan siswa


Apakah strategi pembelajaran itu sesuai dengan ninat, bakat, dan kondisi siswa
Apakah strategi pembelajaran itu sesuai dengan gaya belajar siswa
d. Pertimbangan-pertimbangan lainnya

Apakah untuk mencapai tujuan hanya cukup dengan satu strategi saja
Apakah strategi yang kita tetapkan dianggap sutu-satunya strategi yang dapat
digunakan.
Apakah strategi itu memiliki nilai efektivitas dan efesiensi

BAB III

KESIMPULAN

Program perkembangan bahasa anak usia dini adalah suatu unit yang berisi rangkaian
kegiatan yang dilaksanakan oleh pendidik untuk meningkatkan kemampuan berkonunikasi
AUD 4-6 tahun dengan baik dan benar.
Rangkaian kegiatan perkembangan bahasa dan sosial anak usia dini jika ditinjau dari
perkembangan bahasa meliputi :

1. Menyimak.
2. Berbicara.
3. Membaca.
4. Menulis.

Dalam mengembangkan bahasa Anak Usia Dini perlu memperhatikan prinsip sebagai
berikut:

1) Pembelajaran harus berorientasi pada kemampuan yang hendak dicapai sesuai potensi
anak. Misalnya anak dapat menyebutkan makanan khas.

2) Tumbuhkan kebebasan dalam mengungkapkan pikiran dan perasaan dikaitkan dengan


spontanitas. Misalnya anak dapat mengungkapkan pengalamannya yang berkaitan dengan
naik kendaraan.

3) Diberikan alternatif pikiran dalam mengungkapkan isi hatinya. Apabila anak sulit untuk
mengungkapkan pikirannnya dengan kata-kata bisa dilakukan melalui tulisan atau gambar.

4) Komunikasi guru dan anak akrab dan menyenangkan

5) Guru menguasai pengembangan bahasa

6) Guru bersikap normatif, model, contoh pengguna bahasa Indonesia yang baik dan benar

7) Bahan pembelajaran membantu pengembangan kemampuan dasar anak

Strategi Pembelajaran Dalam Mengembangkan Bahasa Dan Sosial Aud :

1. Strategi Pengembangan Kemampuan Menyimak


2. Strategi Pengembangan Kemampuan Berbicara
3. Strategi pengembangan Kemampauan Membaca
4. Strategi pengembangan Kemampuan Menulis

DAFTAR PUSTAKA

http://wiiien.blogspot.com/2012/11/perkembangan-bahasa.html(Desember 2013).

Nurbiana Dhieni, Metode Pengembangan Bahasa, (Tanggerang Selatan: Universitas


Terbuka, 2013)

Suharsimi Arikunto Evaluasi Program Pendidikan (Jakarta: Bumi Aksiara, 2009).

Seri Pedoman (Buku Praktis Habasa Indonesia) jakarta; Pusat Bahasa, 2003

Umar Tirtarahardja & La Sulo, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005).
Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran (Berorientasi Standar Proses Pendidikan), Jakarta;
kencana, 2008.

[1] Suharsimi Arikunto Evaluasi Program Pendidikan (Jakarta: Bumi Aksiara, 2009), h. 3

[2] http://wiiien.blogspot.com/2012/11/perkembangan-bahasa.html (4 Desember 2013)

[3] Umar Tirtarahardja & La Sulo, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005) h.
51

[4] Seri Pedoman (Buku Praktis Habasa Indonesia) jakarta; Pusat Bahasa, 2003. h 144

[5] Nurbiana Dhieni, Metode Pengembangan Bahasa, (Tanggerang Selatan: Universitas


Terbuka, 2013) h. 4.15

[6] Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran (Berorientasi Standar Proses Pendidikan),


Jakarta; kencana, 2008. h. 130

Anda mungkin juga menyukai