Anda di halaman 1dari 14

Teori Belajar Skempt

Richard Skemp adalah pelopor utama dalam Pendidikan Matematika yang pertama kali
mengintegrasikan disiplin matematika, pendidikan dan psikologi. Dia lahir di Bristol pada
tanggal 10 Maret 1919, anak Profesor AR Skemp dari University of Bristol, terdidik sebagai
sarjana Foundation di Wellington College, Berkshire (1932-7), dengan Beasiswa Matematika
di Hertford College, Oxford, (1937-1939, 1945-1947). Perang campur tangan dan dia
bergabung di Royal Sinyal di India, mencapai pangkat Kapten. Setelah menyelesaikan gelar
di Hertford College, ia menjadi seorang guru matematika, selama dua tahun di Oundle
Sekolah dan dua tahun di Rye St Antony, Oxford. Nya pada bagaimana meningkatkan minat
anakanak belajar menyebabkan dia kembali ke Hertford College sekali lagi pada tahun 1952,
pada usia 33, untuk belajar untuk mendapatkan gelar sarjana kedua di psikologi. Ia
menyelesaikan PhD di Psikologi di Manchester University pada tahun 1959 di mana ia
pertama Dosen di Psikologi (1955-1962) dan kemudian Senior Dosen (1962-1973),
memimpin Unit Studi Anak. Pada tahun 1973, pada usia 54, ia menjadi Profesor Pendidikan
Teori di University of Warwick, di mana ia tetap hingga pensiun pada tahun 1986. Ia terpilih
menjadi Presiden Grup Internasional untuk Psikologi Pendidikan Matematika (PME) pada
tahun 1980 dan, dalam memori nya, Skemp Memorial Fund diciptakan untuk memberikan
dukungan untuk hadir pada konferensi PME.

Richard Skemp percaya bahwa anak bisa belajar secara cerdas sejak usia dini, menghasilkan
kerangka kurikulum lengkap untuk usia 5-11 yang dikenal sebagai Belajar Cerdas melalui
Kegiatan terstruktur. Menurut Richard Skemp, belajar terpisah menjadi dua tahap. Tahap
pertama dengan memanipulasi benda-benda akan memberikan basis bagi siswa untuk belajar
lebih lanjut dan menghayati ide-ide. Richard Skemp mendukung interaksi siswa dengan
objek-objek fisik selama tahap-tahap awal mempelajari konsep. Pengalaman awal ini akan
membentuk dasar bagi belajar berikutnya yaitu pada tingkat yang abstrak atau disebut tahap
kedua. Richard Skemp juga meyakini bahwa belajar menjadi berguna bagi seseorang.
Sifatsifat umum dari pengalaman harus dipadukan untuk membentuk suatu struktur
konseptual atau suatu skema. Bagi guru, ini berarti bahwa struktur matematika harus disusun
agar jelas bagi siswa sebelum mereka dapat menggunakan pengetahuan awal sebagai dasar
untuk belajar pada tahap berikutnya. Skemp membedakan antara pemahaman relasional dan
pemahaman instrumental. Dimisalkan ada seorang siswa yang dapat menyelesaikan sebuah
soal matematika. Apakah siswa tersebut sudah memiliki pemahaman relasional ataukah
hanya memiliki pemahaman instrumental.

Skemp menyatakan bahwa pemahaman instrumental belum termasuk pada kategori


pemahaman, sedangkan pemahaman relasional memang benar sudah termasuk pada kategori
pemahaman. Menurut Skemp yang disebut dengan pemahaman relasional memahami dua hal
secara bersama-sama, yaitu apa dan mengapanya, sedangkan pemahaman instrumental hanya
terbatas pada apa. Pemahaman instrumental sampai saat ini belum dimasukkan pada
pemahaman secara keseluruhan.
Berdasarkan pendapat Skemp tersebut, kemampuan siswa dalam menyelesaikan sebuah soal
matematika dapat dikategorikan sebagai pemahaman relasional dan dapat juga dikategorikan
sebagai pemahaman instrumental dengan alasan berikut :

1. Dapat dikategorikan sebagai pemahaman relasional jika si siswa di samping ia sudah


dapat menentukan hasil namun ia juga harus dapat menjelaskan mengapa hasilnya adalah
seperti itu.

2. Dapat dikategorikan hanya sebagai pemahaman instrumental jika si siswa hanya dapat
menentukan hasil namun ia tidak dapat menjelaskan mengapa hasilnya adalah seperti itu.

Karenanya, kemampuan yang seperti ini oleh Skemp belum dikategorikan sebagai
pemahaman. Sedangkan pemahaman relasional oleh Skemp sudah dikategorikan sebagai
pemahaman.

Siswa yang memiliki pemahaman relasional memiliki fondasi atau dasar yang lebih kokoh
dalam pemahamannya tersebut. Jikalau siswa lupa dengan rumus, maka ia masih punya
peluang menyelesaikan soal dengan cara coba-coba. Sebagai tambahan, siswa dapat
mengecek kebenaran hasil yang ia dapatkan dengan membalikkan rumus.

Contoh, untuk soal integral dapat dicek hasilnya benar atau salah dengan mendifferensialkan
hasilnya. Bagi siswa yang hanya memiliki pemahaman instrumental, ia hanya bisa
menghafalkan rumus dan tidak faham dengan konsep : integral adalah anti differensial.
Ketika ia lupa dengan rumus, maka ia tak punya peluang untuk mencoba-coba. Jelaslah
bahwa siswa yang memiliki pemahaman relasional akan memiliki keuntungan bagi dirinya.
Berdasar pada penjelasan di atas, selama proses pembelajaran di kelas, para guru matematika
diharapkan dapat memfasilitasi siswanya sedemikian sehingga para siswa memiliki
pemahaman relasional. Ada dua prinsip untuk matematika sekolah (principles for school
mathematics) yaitu: Prinsip pengajaran dan prinsip pembelajaran. Prinsip pengajaran
menyatakan bahwa pengajaran matematika yang efektif membutuhkan pemahaman terhadap
pengetahuan siswa dan membutuhkanproses belajar, dan setelah itu, menantang dan
membantunya agar dapat belajar dengan baik. Sedangkan prinsip pembelajaran menyatakan
bahwa siswa harus belajar matematika dengan pemahaman, secara aktif membangun
pengetahuan baru berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang sudah dimilikinya.
Berdasarkan apa yang dijelaskan Skemp, inti belajar matematika adalah agar siswa memiliki
pemahaman relasional di mana para siswa harus dapat melakukan sesuatu (apanya) namun ia
juga harus dapat menjelaskan mengapa ia harus melakukan sesuatu seperti itu (mengapanya).

Aplikasi dalam Pembelajaran Matematika

Misalkan kita akan mengenalkan salah satu sifat perkalian, yaitu 2 x 3 = 3 x 2. Kita dapat
menggunakan benda-benda konkret berupa bola bola sebagai berikut : Di sini terdapat dua
baris dan pada setiap baris terdapat 3 bola. Dalam matematika, model seperti ini dapat
dinyatakan sebagai 2 x 3. Karena banyaknya bola seluruhnya ada 6, maka 2 x 3 = 6.Sekarang
kita dapat meminta siswa untuk menyusun 6 bola yang lain menjadi 3 baris dan pada tiap
baris terdapat 2 bola. Siswa diharapkan dapat menunjukkan model yang mereka hasilkan
mirip seperti model berikut : Model ini menunjukkan 3 x 2 yang dihasilkan adalah 6.

Teori belajar Ausubel


David Ausubel (1963) merupakan seorang psikolog pendidikan, melakukan beberapa
penelitian rintisan menarik di waktu yang hampir sama dengan Burner, Ia sangat tertarik
dengan cara mengorganisasikan berbagai ide. Ia menjelaskan bahwa dalam diri seorang
pelajar sudah ada organisasi dan kejalasan tentang pengetahuan dibidang subjek tertentu. Ia
menyebut organisasi ini sebagai struktur kognitif dan percaya bahwa struktur ini menentukan
kemampuan pelajar untuk menangani berbagai ide dan hubungan baru. Makna dapat muncul
dari materi baru hanya bila materi itu terkait dengan struktur kognitif dari pembelajaran
sebelumnya.

Belajar Menurut Ausebel


Ausubel mengklasifikasikan belajar kedalam dua demensi sebagai berikut:
1) Demensi-1, tentang cara penyajian informasi atau materi kepada siswa.Demensi ini meliputi
belajar penerimaan yang menyajikan informasi itu dalambentuk final dan belajar penemuan
yang mengharuskan siswa untukmenemukan sendiri sebagian atau seluruh materi yang
diajarkan.
2) Demensi-2, tentang cara siswa mengkaitkan materi yang diberikan denganstruktur kognitif
yang telah dimilikinya. Jika siswa dapat menghubungkan ataumengkaitkan informasi itu pada
pengetahuan yang telah dimilikinya makadikatakan terjadi belajar bermakna.Tetapi jika siswa
menghafalkan informasibaru tanpa menghubungkan pada konsep yang telah ada dalam
strukturkognitifnya maka dikatakan terjadi belajar hafalan.
Sepanjang kontinum mendaftar terdapat dari kiri ke kanan berkurangnya
belajarpenerimaan dan bertambahnya belajar penemuan, sedangkan sepanjang kontinum
vertical terdapat dari bawah ke atas berkurangnya belajar hafalan dan bertambahnya belajar
bermakna
          Dari gambar diatas dapat dikatakan bahwa belajar penerimaan yang bermakna
dapatdilakukan dengan cara menjelaskan hubungan antara konsep-konsep, sedangkan belajar
penemuan yang masih berupa hafalan apabila belajar dilakukan dengan pemecahan masalah
secara coba-coba. Belajar penemuan yang bermakna hanyalah terjadi pada penelitian ilmiah.
               Dalam teori belajar terdapat 2 aliran yaitu aliran psikologi tingkah laku dan aliran
psikologi kognitif.Teori Ausubel termasuk kedalam aliran psikologi tingkah laku.Teori ini
terkenal dengan belajar bermaknanya dan pentingnya pengulangan sebelum belajar dimulai.
         Belajar Bermakna (Meaningfull Learning)
           Belajar dikatakan bermakna bila informasi yang akan dipelajari peserta didik
disusun sesuai dengan struktur kognitif yang dimiliki peserta didik itu sehingga peserta didik
itu dapat mengaitkan informasi barunya dengan struktur kognitif yang dimilikinya. Sehingga
peserta didik menjadi kuat ingatannya dan transfer belajarnya mudah dicapai. Struktur
kognitif dapat berupa fakta-fakta, konsep-konsep maupun generalisasi yang telah diperoleh
atau bahkan dipahami sebelumnya oleh siswa.
                            
         Belajar Menghafal (Rote Learning)
           Bila struktur kognitif  yang cocok dengan fenomena baru itu belum ada maka
informasi baru tersebut harus dipelajari secara menghafal. Belajar menghafal ini perlu bila
seseorang memperoleh informasi baru dalam dunia pengetahuan yang sama sekali tidak
berhubungan dengan apa yang ia ketahui sebelumnya.

          Pada belajar menghafal, siswa menghafal materi yang sudah diterimanya, tetapi pada
belajar bermakna materi yang diperoleh itu dikembangkan dengan keadaan lain sehingga
belajar lebih dimengerti. Selanjutnya bahwa Ausubel mengemukan bahwa metode ekspositori
adalah metode mengajar yang baik dan bermakna.Hal ini dikemukan berdasarkan hasil
penelitiannya.Belajar menerima maupun menemukan sama-sama dapat berupa belajar
menghafal atau bermakna. Misalnya dalam mempelajari konsep Phytagoras tentang segitiga
siku-siku, mungkin bentuk akhir c2= b2+ a2 sudah disajikan, tetapi jika siswa memahami
rumus itu selalu dikaitkan dengan sisi-sisi sebuah segitiga siku-siku akan lebih bermakna.
          Menurut Ausubel, seseorang belajar dengan mengasosiasikan fenomena baru ke dalam
skema yang telah ia punya. Dalam proses itu seseorang dapat memperkembangkan skema
yang ada atau dapat mengubahnya. Dalam proses belajar ini siswa mengonstruksi apa yang ia
pelajari sendiri. Teori Belajar bermakna Ausuble ini sangat dekat dengan
Konstruktivesme.Keduanya menekankan pentingnya pelajar mengasosiasikan pengalaman,
fenomena, dan fakta-fakta baru kedalam sistem pengertian yang telah dimilikinya.Keduanya
menekankan pentingnya asimilasi pengalaman baru kedalam konsep atau pengertian yang
sudah dipunyai siswa. Keduanya mengandaikan bahwa dalam proses belajar itu siswa aktif.

Empat Tipe Belajar Ausubel

1.        Belajar dengan penemuan yang bermakna


Informasi yang dipelajari, ditentukan secara bebas oleh peserta didik.Peserta didik itu
kemudian menghubungkan pengetahuan yang baru itu dengan struktur kognitif yang
dimiliki.Misalnya peserta didik diminta menemukan sifat-sifat suatu bujur sangkar.Dengan
mengaitkan pengetahuan yang sudah dimiliki, seperti sifat-sifat persegi panjang, peserta didik
dapat menemukan sendiri sifat-sifat bujur sangkar tersebut.
2.                       Belajar dengan penemuan tidak bermakna
Informasi yang dipelajari, ditentukan secara bebas oleh peserta didik, kemudian ia
menghafalnya. Misalnya, peserta didik menemukan sifat-sifat bujur sangkar tanpa bekal
pengetahuan sifat-sifat geometri yang berkaitan dengan segiempat dengan sifat-sifatnya, yaitu
dengan penggaris dan jangka.Dengan alat-alat ini diketemukan sifat-sifat bujur sangkar dan
kemudian dihafalkan.
3.                       Belajar menerima yang bermakna

Informasi yang telah tersusun secara logis di sajikan kepada peserta didik dalam bentuk
final/ akhir, peserta didik kemudian menghubungkan pengetahuan yang baru itu dengan
struktur kognitif yang dimiliki. Misalnya peserta didik akan mempelajari akar-akar
persamaan kuadrat. Pengajar mempersiapkan bahan-bahan yang akan diberikan yang
susunannya diatur sedemikian rupa sehingga materi persamaan  kuadrat tersebut dengan
mudah tertanam ke dalam konsep persamaan yang sudah dimiliki peserta didik. Karena
pengertian persamaan lebih inklusif dari pada persamaan kuadrat, materi persamaan tersebut
dapat dipelajari peserta didik secara bermakna.

4.                       Belajar menerima yang tidak bermakna


               Dari setiap tipe bahan yang disajikan kepada peserta didik dalam bentuk final.Peserta
didik tersebut kemudian menghafalkannya.Bahan yang disajikan tadi tanpa memperhatikan
pengetahuan yang dimiliki peserta didik.

Prasyarat Belajar Bermakna

a. Kondisi dan sikap peserta didik terhadap tugas, hendaknya bersesuaian dengan intensi
peserta didik. Apabila peserta didik melaksanakan tugas dengan sikap bahwa ia ingin
memahami bahan pelajaran dan mengaplikasikan bahan baru serta menghubungkan
bahan pelajaran yang terdahulu, dikatakan peserta didik itu belajar bahan baru dengan
cara yang bermakna. Sebaliknya bila peserta didik itu tidak berkehendak mengaitkan
bahan yang dipelajari dengan informasi yang dimiliki, maka belajar itu tidak
bermakna. Demikianlah banyak peserta didik yang tidak berusaha mengerti
matematika, cenderung mengalami kegagalan dan akhirnya membenci matematika.
b. Tugas-tugas yang diberikan kepada peserta didik harus sesuai dengan struktur kognitif
peserta didik sehingga peserta didik tersebut dapat mengasimilasi bahan baru secara
bermakna. Belajar bermakna pada tahap mula-mula memberikan pengertian kepada
bahan baru sehingga bahan baru itu akan terserap dan kemudian diingat peserta didik.
Ia tidak menghafal asosiasi stimulus-respon yang terpisah-pisah.
c. Tugas-tugas yang diberikan haruslah sesuai dengan tahap perkembangan intelektual
peserta didik. Peserta didik yang masih di dalam periode operasi konkrit, bila diberi
bahan materi matematika yang abstrak tanpa contoh-contoh konkrit dari materi
tersebut, akan mengakibatkan peserta didik itu tidak mempunyai keinginan materi
tersebut secara bermakna. Dengan demikian peserta hanya menghafal pelajaran tadi
tanpa pengertian sehingga peserta didik mempelajari matematika dengan pernyataan-
pernyataan herbal yang tidak cermat dan tepat.
Faktor-faktor utama yang mempengaruhi belajar bermakna menurut Ausubel adalah
struktur kognitif yang ada, stabilitas, dan kejelasan pengetahuan dalam suatu bidang studi
tertentu dan pada waktu tertentu. Sifat-sifat struktur kognitif menentukan validitas dan
kejelasan arti-arti yang timbul waktu informasi baru masuk ke dalam struktur kognitif itu;
demikian pula sifat proses interaksi yang terjadi. 
Jika struktur kognitif itu stabil, dan diatur dengan baik, maka arti-arti yang sahih dan
jelas atau tidak meragukan akan timbul dan cenderung bertahan. Tetapi sebaliknya jika
struktur kognitif itu tidak stabil, meragukan, dan tidak teratur, maka struktur kognitif itu
cenderung menghambat belajar dan retensi.

Beberapa Prinsip dalam teori belajar Ausubel

1.                       Advance Organizer
Advance Organizer mengarahkan para siswa ke materi yang akan dipelajari dan
mengingatkan siswa pada materi sebelumnya yang dapat digunakan dalam membantu
menanamkan pengetahuan baru. Advance Organizer dapat dianggap merupakan suatu
pertolongan mental dan disajikan sebelum materi baru (Dahar, 1988: 144)
2.                       Diferensiasi Progresif
Selama belajar bermakna berlangsung perlu terjadi pengembangan konsep dari umum ke
khusus.Dengan strategi ini guru mengajarkan konsep mulai dari konsep yang paling inklusif,
kemudian kurang inklusif dan selanjutnya hal-hal yang khusus seperti contoh-contoh setiap
konsep. Sehubungan dengan ini dikatakan Sulaiman (1988:203) bahwa diferensiasi progresif
adalah cara mengembangkan pokok bahasan melalui penguraian bahan secara heirarkis
sehingga setiap bagian dapat dipelajari secara terpisah dari satu kesatuan yang besar
3.                       Belajar Superordinat
Belajar superordinat dapat terjadi apabila konsep-konsep yang telah dipelajari
sebelumnya dikenal sebagai unsur-unsur dari suatu konsep yang lebih luas. Dinyatakan
Dahar, (1988:148) bahwa belajar superorninat tidak dapat terjadi disekolah, sebab sebagian
besar guru-guru dan buku-buku teks mulai dengan konsep-konsep yang lebih inklusif
4.                       Penyesuaian Integratif (Rekonsiliasi Integratif)
Menurut Ausubel (Dahar, 1988: 148), selain urutan menurut diferensiasi progresif yang
harus diperhatikan dalam mengajar, juga harus diperlihatkan bagaimana konsep-konsep baru
dihubungkan dengan konsep-konsep yang superordinat. Guru harus memperlihatkan secara
eksplisit bagaimana arti-arti baru dibandingkan dan dipertentangkan dengan artiarti
sebelumnya yang lebih sempit dan bagaimana konsep-konsep yang tingkatannya lebih tinggi
mengambil arti baru. Untuk mencapai penyesuaian integratif, materi pelajaran hendaknya
disusun sedemikian rupa hingga dapat digerakkan hierarki-heirarki konseptual ke atas dan ke
bawah selama informasi disajikan. Guru dapat mulai dengan konsepkonsep yang paling
umum, tetapi perlu diperlihatkan keterkaitan konsep-konsep subordinat dan kemudian
bergerak kembali melalui contoh-contoh ke arti-arti baru bagi konsep-konsep yang
tingkatannya lebih tinggi.

Cara Menerapkan Teori Belajar Ausubel

Untuk menerapkan teori belajar Ausubel, Dadang Sulaiman menyarankan agar menggunakan
dua fase yaitu fase perencanan dan fase pelaksanaan. Sesuai pendapat Ausubel, faktor penting
yang memengaruhi belajar adalah apa yang sudah diketahui siswa. Jadi agar terjadi belajar
bermakna, konsep atau informasi batu harus dikaitkan dengan konsep-konsep yang sudah
ada dalam struktur kognitif siswa.

Di dalam menerapkan teori Ausubel dalam belajar, terdapat prinsip-prinsip yang harus


diperhatikan, sebagai berikut.

1. Pengaturan awal (advance organizer)

Pengaturan awal mengarahkan siswa ke materi yang akan dipelajari dan mengingatkan siswa
pada materi sebelumnya yang dapat digunakan untuk membantu guru dalam menanamkan
konsep baru.

2. Diferensiasi progresif

Pengembangan kosep berlangsung paling baik jika unsur-unsur yang paling umum, paling
inklusif dari suatu konsep diperkenalkan terlebih dahul, baru kemudian diberikan hal-hal
yang lebih spesifik dan khusus dari konsep tersebut.

3. Belajar superordinat

Selama informasi diterima dan diasosiasikan dengan konsep dalam struktur kogniif
(subsumsi), maka konsep tersebut tumbuh dan mengalami diferensiasi.

Belajar superordinat dapat terjadi apabila konsep-konsep yang telah dpelajari sebelumnya
dikenal sebagai unsur-unsur dari sebuah konsep yang lebih luas dan lebih inklusif.

4. Penyesuaian integratif (rekonsiliasi integratif)

Guru harus mampu memperlihatkan secara eksplisit bagaimana arti-arti baru dibandingkan
dan dipertentangkan dengan arti-arti sebelumnya yang lebih sempit, dan bagaimana konsep-
konsep yang tingkatannya lebih tinggi selanjutnya mengambil arti baru.

Di dalam menerapkan teori Ausubel dalam pembelajaran, maka perlu digunakan dua fase,
yaitu fase perencanaan dan fase pelaksanaan.
Fase perencanaan terdiri dari menetapkan tujuan pembelajaran, mendiagnosis latar belakang
pengetahuan siswa, membuat struktur materi dan memformulasikan pengetahuan awal.

Sedangkan fase pelaksanaan, dalam pembelajaran terdiri dari pengaturan awal, diferensiasi
progresif, dan rekonsiliasi integratif.

Kelebihan dan Kelemahan Belajar Bermakna


            Ada tiga kelebihan dari belajar bermakna yaitu :
1. Informasi yang dipelajari secara bermakna lebih lama diingat.
2. Informasi yang dipelajari secara bermakna memudahkan proses belajar berikutnya untuk
materi pelajaran yang mirip.
3. Informasi yang dipelajari secara bermakna mempermudah belajar hal-hal yang mirip
walaupun telah terjadi lupa.
 Kelemahan Belajar Bermakna :
1.        Informasi yang dipelajari secara hafalan tidak lama diingat.
2.        Jika peserta didik berkeinginan untuk mempelajari sesuatu tanpa mengaitkan hal yang
satu dengan hal yang lain yang sudah diketahuinya maka baik proses maupun hasil
pembelajarannya dapat dinyatakan sebagai hafalan dan tidak akan bermakna sama sekali
baginya.
Teori Belajar Vygotsky
Perkembangan manusia adalah sesuatu yang tidak terpisahkan dari kegiatan-kegiatan sosial
dan budaya, yang merupakan suatu proses-proses perkembangan mental seperti ingatan,
perhatian, dan penalaran yang melibatkan pembelajaran dengan menggunakan temuan-
temuan masyarakat. Perkembangan kognitif sosial anak merupakan hal penting untuk
diperhatikan, karena merupakan kawasan yang membutuhkan pemrosesan yang sangat serius
dalam membentuk karakter dalam rangka meningkatkan potensi ingatan dan penalaran yang
lebih baik. Untuk memaksimalkan perkembangan, seharusnya anak bekerja dengan teman
yang lebih terampil (lebih dewasa) yang dapat memimpin secara sistematis dalam
memecahkan masalah yang lebih kompleks.

Lev Vygotsky adalah tokoh pendidikan yang melihat bagaimana pembelajaran itu terjadi
dipandang dari sisi sosial. Perkembangan kognitif dan bahasa anak-anak tidak berkembang
dalam suatu situasi sosial yang hampa. Lev Vygotsky (1896-1934), seorang psikolog
berkebangsaan Rusia, mengenal poin penting tentang pikiran anak ini lebih dari setengah
abad yang lalu. Teori Vygotsky mendapat perhatian yang makin besar ketika memasuki akhir
abad ke-20.

Sezaman dengan Piaget, Vygotsky menulis di Uni Soviet selama 1920-an dan 1930-an.
Namun, karyanya baru dipublikasikan di dunia Barat pada tahun 1960-an. Sejak saat itulah,
tulisan-tulisannya menjadi sangat berpengaruh. Vygotsky adalah pengagum Piaget.
Walaupun setuju dengan Piaget bahwa perkembangan kognitif terjadi secara bertahap dan
dicirikan dengan gaya berpikir yang berbeda-beda, tetapi Vygotsky tidak setuju dengan
pandangan Piaget bahwa anak menjelajahi dunianya sendirian dan membentuk gambaran
realitas batinnya sendiri.

Teori Belajar Vygotsky

Teori Vygotsky menawarkan suatu potret perkembangan manusia sebagai sesuatu yang tidak
terpisahkan dari kegiatan-kegiatan sosial dan budaya. Vygotsky menekankan bagaimana
proses-proses perkembangan mental seperti ingatan, perhatian, dan penalaran melibatkan
pembelajaran menggunakan temuan-temuan masyarakat seperti bahasa, sistem matematika,
dan alat-alat ingatan. Ia juga menekankan bagaimana anak-anak dibantu berkembang dengan
bimbingan dari orang-orang yang sudah terampil di dalam bidang-bidang tersebut. Vygotsky
lebih banyak menekankan peranan orang dewasa dan anak-anak lain dalam memudahkan
perkembangan si anak. Menurut Vygotsky, anak-anak lahir dengan fungsi mental yang relatif
dasar seperti kemampuan untuk memahami dunia luar dan memusatkan perhatian. Namun,
anak-anak tak banyak memiliki fungsi mental yang lebih tinggi seperti ingatan, berfikir dan
menyelesaikan masalah. Fungsi-fungsi mental yang lebih tinggi ini dianggap sebagai ”alat
kebudayaan” tempat individu hidup dan  alat-alat itu berasal dari budaya. Alat-alat itu
diwariskan pada anak-anak oleh anggota-anggota kebudayaan yang lebih tua  selama
pengalaman pembelajaran yang dipandu. Pengalaman dengan orang lain secara berangsur
menjadi semakin mendalam dan membentuk gambaran batin anak tentang dunia. Karena
itulah berpikir setiap anak dengan cara yang sama dengan anggota lain dalam
kebudayaannya.

Menurut vygotsky (1962), keterampilan-keterampilan dalam keberfungsian mental


berkembang melalui interaksi sosial langsung. Informasi tentang alat-alat, keterampilan-
keterampilan dan hubungan-hubungan interpersonal kognitif dipancarkan melalui interaksi
langsung dengan manusia. Melalui pengorganisasian pengalaman-pengalaman interaksi sosial
yang berada di dalam suatu latar belakang kebudayaan ini, perkembangan mental anak-anak
menjadi matang.

Meskipun pada akhirnya anak-anak akan mempelajari sendiri beberapa konsep melalui
pengalaman sehari-hari, Vygotsky percaya bahwa anak akan jauh lebih berkembang jika
berinteraksi dengan orang lain. Anak-anak tidak akan pernah mengembangkan pemikiran
operasional formal tanpa bantuan orang lain.

Vygotsky mencari pengertian bagaimana anak-anak berkembang dengan melalui proses


belajar, dimana fungsi-fungsi kognitif belum matang, tetapi masih dalam proses
pematangan. Vygotsky membedakan antara aktual development dan potensial development
pada anak. Actual development ditentukan apakah seorang anak dapat melakukan sesuatu
tanpa bantuan orang dewasa atau guru. Sedangkan potensial development membedakan
apakah seorang anak dapat melakukan sesuatu, memecahkan masalah di bawah petunjuk
orang dewasa atau kerjasama dengan teman sebaya.

Menurut teori Vygotsky, Zone of proximal developmnet merupakan celah antara actual
development dan potensial development, dimana antara apakah seorang anak dapat
melakukan sesuatu tanpa bantuan orang dewasa dan apakah seorang anak dapat melakukan
sesuatu dengan arahan orang dewasa atau kerjasama dengan teman sebaya.

Maksud dari ZPD adalah menitikberatkan ZPD pada interaksi sosial akan dapat memudahkan
perkembangan anak. Ketika siswa mengerjakan pekerjaanya di sekolah sendiri,
perkembangan mereka kemungkinan akan berjalan lambat. Untuk memaksimalkan
perkembangan, siswa seharusnya bekerja dengan teman yang lebih terampil yang dapat
memimpin secara sistematis dalam memecahkan masalah yang lebih kompleks.

Teori Vygotsky yang lain adalah “scaffolding“. Scaffolding merupakan suatu istilah pada
proses yang digunakan orang dewasa untuk menuntun anak-anak melalui Zone of proximal
developmentnya.

Scaffolding adalah memberikan kepada seseorang anak sejumlah besar bantuan selama tahap
- tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan
kesempatan kepada anak tersebut mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera
setelah ia mampu mengerjakan sendiri. Bantuan yang diberikan guru dapat berupa petunjuk,
peringatan, dorongan menguraikan masalah ke dalam bentuk lain yang memungkinkan siswa
dapat mandiri
Penerapan Teori Belajar Vygotsky Dalam Interaksi Belajar Mengajar
Penerapan teori belajar Vygotsky dalam interaksi belajar mengajar mungkin dapat dijabarkan
sebagai berikut :

1.   Walaupun anak tetap dilibatkan dalam pembelajaran aktif, guru harus secara aktif
mendampingi setiap kegiatan anak-anak. Dalam istilah teoritis, ini berarti anak-anak bekerja
dalam Zone of proximal developmnet dan guru menyediakan scaffolding bagi anak selama
melalui  ZPD.

2.   Secara khusus Vygotsky mengemukakan bahwa disamping guru, teman sebaya juga
berpengaruh penting pada perkembangan kognitif anak, kerja kelompok secara kooperatif
tampaknya mempercepat perkembangan anak.

3.   Gagasan tentang kelompok kerja kreatif ini diperluas menjadi pengajaran pribadi oleh
teman sebaya (peer tutoring), yaitu seorang anak mengajari anak lainnya yang agak tertinggal
dalam pelajaran. Satu anak bisa lebih efektif membimbing anak lainnya melewati ZPD
karena mereka sendiri baru saja melewati tahap itu sehingga bisa dengan mudah melihat
kesulitan-kesulitan yang dihadapi anak lain dan menyediakan scaffolding yang sesuai.

Pembelajaran Kooperatif

Metode Pembelajaran Kooperatif adalah suatu metode pembelajaran yang menekankan pada
sikap atau perilaku bersama dalam bekerja atau membantu di antara sesama dalam struktur
kerjasama yang teratur dalam kelompok, yang terdiri dari dua orang atau lebih. Pembelajaran
kooperatif adalah salah satu bentuk pembelajaran yang berdasarkan faham sosial.
Pembelajaran kooperatif merupakan metode pembelajaran dengan sejumlah siswa sebagai
anggota kelompok kecil yang tingkat kemampuannya berbeda. Dalam menyelesaikan tugas
kelompoknya, setiap siswa anggota kelompok harus saling bekerja sama dan saling
membantu untuk memahami materi pelajaran. Dalam pembelajaran kooperatif, belajar
dikatakan belum selesai jika salah satu teman dalam kelompok belum menguasai bahan
pelajaran.

Menurut Anita Lie dalam bukunya “Cooperative Learning”, bahwa metode pembelajaran
kooperatif tidak sama dengan sekadar belajar kelompok, tetapi ada unsur-unsur dasar yang
membedakannya dengan pembagian kelompok yang dilakukan asal-asalan, untuk itu harus
diterapkan lima unsur metode pembelajaran kooperatif yaitu :

1. Saling ketergantungan positif.

Keberhasilan suatu karya sangat bergantung pada usaha setiap anggotanya. Untuk
menciptakan kelompok kerja yang efektif, pengajar perlu menyusun tugas sedemikian rupa
sehingga setiap anggota kelompok harus menyelesaikan tugasnya sendiri agar yang lain dapat
mencapai tujuan mereka.

2. Tanggung jawab perseorangan.


Pengajar yang efektif dalam metode pembelajaran kooperatif membuat persiapan dan
menyusun tugas sedemikian rupa sehingga masing-masing anggota kelompok harus
melaksanakan tanggung jawabnya sendiri agar tugas selanjutnya dalam kelompok bisa
dilaksanakan.

3. Tatap muka.

Dalam metode pembelajaran kooperatif setiap kelompok harus diberikan kesempatan untuk
bertatap muka dan berdiskusi. Kegiatan interaksi ini akan memberikan para pembelajar untuk
membentuk sinergi yang menguntungkan semua anggota. Inti dari sinergi ini adalah
menghargai perbedaan, memanfaatkan kelebihan, dan mengisi kekurangan.

4. Komunikasi antar anggota.

Unsur ini menghendaki agar para pembelajar dibekali dengan berbagai keterampilan
berkomunikasi, karena keberhasilan suatu kelompok juga bergantung pada kesediaan para
anggotanya untuk saling mendengarkan dan kemampuan mereka untuk mengutarakan
pendapat mereka. Keterampilan berkomunikasi dalam kelompok juga merupakan proses
panjang. Namun, proses ini merupakan proses yang sangat bermanfaat dan perlu ditempuh
untuk memperkaya pengalaman belajar dan pembinaan perkembangan mental dan emosional
para siswa.

5. Evaluasi proses kelompok.

Pengajar perlu menjadwalkan waktu khusus bagi kelompok untuk mengevaluasi proses kerja
kelompok dan hasil kerja sama mereka agar selanjutnya bisa bekerja sama dengan lebih
efektif.

Tujuan pembelajaran kooperatif adalah menciptakan situasi di mana keberhasilan individu


ditentukan atau dipengaruhi oleh keberhasilan kelompoknya (Slavin, 1994).

Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai setidak-tidaknya tiga tujuan


pembelajaran penting yang dirangkum oleh Ibrahim, et al. (2000), yaitu:

1. Hasil belajar akademik

Dalam belajar kooperatif meskipun mencakup beragam tujuan sosial, juga memperbaiki
prestasi siswa atau tugas-tugas akademis penting lainnya. Beberapa ahli berpendapat bahwa
metode ini unggul dalam membantu siswa memahami konsep-konsep sulit.

2. Penerimaan terhadap perbedaan individu

Tujuan lain metode pembelajaran kooperatif adalah penerimaan secara luas dari orang-orang
yang berbeda berdasarkan ras, budaya, kelas sosial, kemampuan, dan ketidakmampuannya.
Pembelajaran kooperatif memberi peluang bagi siswa dari berbagai latar belakang dan
kondisi untuk bekerja dengan saling bergantung pada tugas-tugas akademik dan melalui
struktur penghargaan kooperatif akan belajar saling menghargai satu sama lain.
3. Pengembangan keterampilan sosial

Tujuan penting ketiga dari metode pembelajaran kooperatif adalah, mengajarkan kepada
siswa keterampilan bekerja sama dan kolaborasi. Keterampilan-keterampilan sosial, penting
dimiliki oleh siswa sebab saat ini banyak anak muda masih kurang dalam keterampilan sosial.

Pembelajaran Matematika Berdasarkan Teori Vygotsky

Contoh dalam pembelajaran, jika seseorang siswa membuat suatu kesalahan dalam
mengerjakan sebuah soal, sebaiknya guru tidak langsung memberitahukan di mana letak
kesalahan tersebut. Sebagai contoh, jika seseorang siswa menyatakan bahwa untuk sebarang
bilangan real x dan y berlaku (x-y) 2 = x 2 - y 2 . Guru tidak perlu langsung menyatakan
bahwa itu salah. Lebih baik guru memberi pernyataan yang sifatnya menuntun, misalnya:
“apakah (3-2) 2 = 3 2 - 2 2 ?” Dengan menjawab pertanyaan, siswa akan bisa menemukan
sendiri letak kesalahannya yang ia buat pada pernyataan semula. Dari contoh ini kiranya jelas
bahwa guru bisa membantu siswa dengan cara memilih pendekatan pembelajaran yang
sesuai, agar proses konstruksi pengetahuan dalam pikiran siswa bisa berlangsung secara
optimal. Pertanyaan yang diajukan guru tersebut untuk menuntun siswa supaya pada akhirnya
siswa bisa menemukan sendiri letak kesalahan yang ia buat, merupakan contoh scaffolding
(tuntunan atau dukungan yang dinamis) dari guru pada siswa.

Peer Tutoring (Tutor Sebaya)

Peer Tutoring atau dalam bahasa Indonesia lebih dikenal dengan istilah tutor sebaya, ada
beberapa  ahli ada yang meneliti masalah ini diantaranya, adalah Edward L. Dejnozken dan
David E. Kopel dalam American Education Encyclopedia menyebutkan  pengertian tutor
sebaya adalah sebuah prosedur siswa mengajar siswa lainnya. Tipe pertama adalah pengajar
dan pembelajar dari usia yang sama. Tipe kedua adalah pengajar yang lebih tua usianya dari
pembelajar. Tipe yang lain kadang  dimunculkan pertukaran usia pengajar.

Pembelajaran dengan tutor sebaya dilakukan atas dasar bahwa ada sekelompok siswa yang
lebih mudah bertanya, lebih terbuka dengan teman sendiri dibandingkan dengan gurunya.
Dengan adanya tutor sebaya siswa yang kurang aktif menjadi aktf karena tidak malu lagi
untuk bertanya dan mengeluarkan pendapat secara bebas, sebagaimana diungkapkan oleh M.
Saleh Muntasir bahwa dengan pergaulan  antara para tutor dengan siswa-siswanya mereka
dapat mewujudkan apa yang terpendam dalam hatinya, dan khayalannya. Pembelajaran
dengan tutor sebaya tampaknya memudahkan siswa untuk mengeluarkan pendapat atau
pikiran  dan kesulitan kepada temannya sendiri ketimbang kepada guru, siswa lebih sungkan
dan malu. Hal tersebut dimungkinkan karena diantara siswa telah terbentuk bahasa mereka
sendiri, tingkah laku, dan juga  pertanyaan perasaaan yang dapat diterima oleh semua siswa.

Jadi, pembelajaran dengan tutor  sebaya akan membantu siswa yang kurang mampu atau
kurang cepat menerima pelajaran dari gurunya. Kegiatan tutor sebaya bagi siswa merupakan
kegiatan yang kaya akan pengalaman yang sebenarnya merupakan kebutuhan siswa itu
sendiri. Tutor maupun yang ditutori sama-sama diuntungkan, bagi tutor akan mendapat 
pengalaman, sedang yang ditutori akan lebih kreatif dalam menerima pelajaran.
Kelebihan pembelajaran dengan tutor sebaya dapat meminimalisir kesenjangan yang
terjadi antara siswa yang prestasinya rendah dengan siswa yang prestasinya lebih tinggi
dalam suatu kelas. Selanjutnya siswa termotivasi dalam menyelesaikan tugas dan motivasi itu
diharapkan tumbuh dari terciptanya hubungan yang saling menentukan dan membutuhkan
antara guru, siswa yang prestasinya tergolong tinggi dan siswa yang prestasinya rendah.
Dampak semuanya ini, seorang guru dituntut untuk mempersiapkan, memaksimalkan
kemampuannya tanpa harus menjadi informatory (pemberi informasi) saja tetapi guru juga
berfungsi sebagai mediator, komunikator, dan fasilitator sehingga guru mampu memberikan
tugas yang sesuai dengan tingkat kematangan siswa yang pada akhirnya dapat memotivasi
siswa dalam peningkatan prestasi belajar.

Anda mungkin juga menyukai