Anda di halaman 1dari 7

PERKEMBANGAN MORAL

Masyarakat tidak dapat berfungsi tanpa aturan yang memberitahukan mengenai bagaimana
berkomunikasi satu sama lain, bagaimana menghindari untuk menyakiti orang-orang lain, dan
bagaimana bergaul dalam kehidupan pada umunya. Anak-anak dengan remaja memiliki
pemahaman berbeda mengenai peraturan. Begitu juga remaja memiliki pandangan yang
berbeda dengan orang tua dan sebaliknya. Hal ini menunjukkan adanya perkembangan dalam
penalaran dan moral dari individu. Pada makalah ini akan dibahas mengenai pengertian
perkembangan moral, tahap-tahap perkembangan moral, karakteristik perkembangan moral,
faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan moral, perbedaan individual, ciri-ciri
perkembangan moral, dan upaya pengembangan moral pada remaja.
PENGERTIAN PERKEMBANGAN MORAL
Sebelum memahami pengertian perkembangan moral maka terlebih dahulu perlu dipahami
pengertian moral. Menurut Purwadarminto (dalam Sunarto, 2008) moral adalah ajaran tentang
baik buruk perbuatan dan kelakuan, akhlak, kewajiban, dan sebagainya. Moral berkaitan
dengan kemampuan untuk membedakan antara perbuatan yang benar dan yang salah. Dengan
demikian, moral merupakan kendali dalam bertingkah laku.
Santrock mengemukakan pengertian moralitas yaitu perilaku proporsional ditambah beberapa
sifat seperti kejujuran, keadilan, dan penghormatan terhadap hak-hak dan kebutuhankebutuhan orang lain. Kolhberg (dalam Santrock, 2002:370) menekankan bahwa
perkembangan moral didasarkan terutama pada penalaran moral dan berkembang secara
bertahap.
Perkembangan moral (moral development) berkaitan dengan aturan dan konvensi tentang apa
yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam interaksinya dengan orang lain. Dalam
mempelajari aturan-aturan ini para pakar perkembangan akan menguji tiga bidang yang
berbeda yaitu: (1) Bagaimana anak-anak bernalar atau berpikir tentang aturan-aturan untuk
perilaku etis; (2) Bagaimana anak-anak sesungguhnya berperilaku dalam keadaan bermoral; (3)
Bagaimana anak merasakan hal-hal moral itu.
Perkembangan moral (moral development) melibatkan perubahan seiring usia pada pikiran,
perasaan, dan perilaku berdasarkan prinsip dan nilai yang mengarahkan bagaimana seseorang
seharusnya bertindak. Perkembangan moral memiliki dimensi intrapersonal (nilai dasar dalam
diri seseorang dan makna diri) dan dimensi interpersonal (apa yang seharusnya dilakukan
orang dalam interaksinya dengan orang orang lain) (King, 2006).
TAHAP PERKEMBANGAN MORAL
Menurut Piaget (dalam Slavin, 2008:69)
Sebagaimana kemampuan kognitif, Piaget berpendapat bahwa perkembangan moral
berlangsung dalam tahap-tahap yang dapat diprediksi, yakni dari tipe penalaran moral yang
sangat egosentris ke tipe penalaran moral yang didasarkan pada sistem keadilan berdasarkan
kerjasama dan ketimbalbalikan. Piaget menamai tahap pertama perkembangan moral sebagai
moralitas heteronom; hal ini juga disebut tahap realisme moral atau moralitas paksaan.
Heteronom berarti tunduk pada aturan yang diberlakukan oleh orang-orang lain. Selama
periode ini, anak-anak yang masih muda terus menerus diberitahu tentang apa yang harus

dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Pelanggaran aturan diyakini membawa
hukuman otomatis. Keadilan dilihat sebagai sesuatu yang otomatis, dan orang-orang yang jahat
pada akhirnya akan dihukum. Piaget juga menggambarkan anak-anak pada tahap ini menilai
moralitas perilaku berdasarkan konsekuensi-konsekuensi berikutnya. Mereka menilai perilaku
sebagai sesuatu yang jahat kalau hal itu menghasilkan konsekuensi negatif sekalipun maksud
semula pelakunya adalah baik.
Piaget menemukan bahwa anak-anak usia 10 atau 12 tahun cenderung mendasarkan penilaian
moral pada maksud pelakunya alih-alih konsekuensi tindakan tersebut. Tahap kedua ini
dinamakan aturan moralitas otonomi atau moralitas kerja sama. Moralitas tersebut muncul
ketika dunia sosial anak itu berkembang hingga meliputi makin banyak teman. Dengan terusmenerus berinteraksi dan bekerja sama dengan anak-anak lain, gagasan anak tersebut tentang
aturan dan kerena itu juga moralitas mulai berubah. Kini aturan adalah apa yang kita buat
sebagai aturan. Hukuman atas pelanggaran tidak lagi otomatis tetapi harus diberikan dengan
pertimbangan maksud pelanggar dan lingkungan yang meringankan. Anak mengalami
kemajuan dari tahap moralitas heteronom ke tahap moralitas otonom dengan perkembangan
struktur kognitif tetapi juga karena interaksi dengan teman-teman yang mempunyai status yang
sama. Dia percaya bahwa menyelesaikan konflik dengan teman-teman memperlemah sikap
anak-anak mengandalkan otoritas orang dewasa dan meningkatkan kesadaran mereka bahwa
aturan padat diubah dan seharusnya ada hanya sebagai hasil persetujuan bersama.
Menurut Kohlberg (dalam Ormord, 2000:371)
Kohlberg mengemukakan ada tiga tingkat perkembangan moral, yaitu tingkat prakonvensional,
konvensional dan post-konvensional. Masing-masing tingkat terdiri dari dua tahap, sehingga
keseluruhan ada enam tahapan (stadium) yang berkembang secara bertingkat dengan urutan
yang tetap.
1. Tingkat Penalaran Prakonvensional
Pada penalaran prakonvensional anak tidak memperhatikan internalisasi nilai-nilai moralpenalaran moral dikendalikan oleh imbalan (hadiah) dan hukuman eksternal. Pada tingkat ini
terdapat dua tahap.
a. Tahap satu yaitu orientasi hukuman dan ketaatan (punihsment and obedience orientation)
ialah tahap penalaran moral didasarkan atas hukuman. Anak-anak taat karena orang-orang
dewasa menuntut mereka untuk taat.
b. Tahap dua ialah individualisme dan tujuan (individualism and purpose) ialah tahap
penalaran moral didasarkan atas imbalan (hadiah) dan kepentingan sendiri. Anak-anak taat bila
mereka ingin dan butuh untuk taat. Apa yang benar adalah apa yang dirasakan baik dan apa
yang dianggap menghasilkan hadiah.
2. Tingkat Penalaran Konvensional
Pada tingkat ini, internalisasi indivdual ialah menengah. Seseorang menaati standar-standar
(internal) tertentu, tetapi mereka tidak menaati standar-standar orang lain (eksternal), seperti
orang tua atau aturan-atuaran masyarakat.
c. Tahap tiga ialah norma-norma interpersonal (interpersonal norms). Pada tahap ini,
seseorang menghargai kebenaran, kepedulian, dan kesetiaan kepada orang lain sebagai
landasan pertimbangan moral. Anak-anak sering mengadopsi standar-standar moral orang
tuanya pada tahap ini, sambil mengharapkan dihargai oleh orang tuanya sebagai seorang
perempuan yang baik atau seorang laki-laki yang baik.

d. Tahap empat yaitu moralitas sistem sosial (social system morality). Pada tahap ini
pertimbangan-pertimbangan didasarkan atas pemahaman aturan sosial, hukum-hukum, dan
kewajiban.
3. Tingkat Penalaran Pascakonvensional
Tingkat ini ialah tingkat tertinggi dalam teori perkembangan moral kohlberg. Pada tingkat ini
moralitas benar-benar diinternalisasikan dan tidak didasarkan pada standar-standar orang lain.
Seseorang mengenal tindakan-tindakan moral alternatif, menjajaki pilihan-pilihan, dan
kemudian memutuskan berdasarkan suatu kode moral pribadi.
e. Tahap lima ialah hak-hak masyarakat Vs hak-hak individual (community rights Vs
individual rights). Pada tahap ini, seseorang memahami bahwa nilai-nilai dan aturan-aturan
adalah bersifat relatif dan bahwa standar dapat berbeda dari satu orang ke orang lain. Seseorang
menyadari bahwa hukum penting bagi masyarakat, tetapi juga mengetahui bahwa hukum dapat
diubah. Seseorang percaya bahwa beberapa nilai, seperti kebebasan, lebih penting dari pada
hukum.
f. Tahap keenam ialah prinsip-prinsip etis universal (universal ethical principles). Pada tahap
ini seseorang telah mengembangan suatu standar moral yang didasarkan pada hak-hak manusia
yang manusia yang universal. Bila menghadapi konflik antara hukum dan suara hati, seseorang
akan mengikuti suara hati, walaupun keputusan itu mungkin melibatkan resiko pribadi.

KARAKTERISTIK PERKEMBANGAN MORAL REMAJA


Tabel Tren Perkembangan Moral (Ormord, 2000:134)
Janjang/ Usia (Th) Karakteristik yang sesuai usia
X-2 Kemampuan membedakan antara perilaku yang melanggar hak dan harkat manusia
dan perilaku yang melanggar kaidah sosial.
Tumbuhnya kesadaran bahwa perilaku yang menimbulakan bahaya fisik dan psikologis
secara moral salah.
Perasaan bersalah atas penyimpangan-penyimpanagn perilaku yang menimbulkan bahaya
fisik dan psikologis secara moral salah.
Tumbuhnya empati dan munculnya usaha untuk menghibur orang-orang yang sedang
berkesusahan, terurtama orang yang dikenal baik.
Perhatian yang lebih besar pada kebutuhan-kebutuhan diri sendiri dibandingkan pada
kebutuhan orang lain.
3-5 Pengetahuan tentang kaidah-kaidah sosial mengenai perilaku yang tapat.
Perasaan malu dan bersalah bila melakukan pelanggran moral.
Meningkatnya empati terhadap individu-individu yang belum dikenal, yang menderita atau
kekurangan.
Pemahaman bahwa seseorang seharusnya berusaha sungguh-sungguh memenuhi kebutuhan
orang lain sekaligus juga kebutuhannya sendiri.
Meningkatnya hasrat untuk menolong orang lain semata-mata karena perbuatan itu baik
dalam dirinya sendiri (bukan memdapatkan balasan atau semacamnya).
6-8 Kecenderungan menganggap peraturan-peraturan dan kaidah-kaidah sebagai standar
yang harus didikuti demi kewajiban terhadap pereturan itu sendiri, dengan kata lain, diikuti
karena peraturan mewajibkannya.
Minat untuk menyenangkan dan menolong orang lain, namun dengan tendensi terlalu

menyederhanakan apa itu menolong orang lain.


Kecenderungan untuk meyakini bahwa kesusahan yang dialami para individu (misalnya para
tunawisma) sepenuhnya merupakan tanggung jawab mereka sendiri.
9-12 Pemahaman bahwa peraturan-peraturan dan kaidah-kaidah sosial membantu
masyarakat berkembang secar lebih baik.
Meningkatnya kepedulian untuk melaksanakan tugasnya sendiri dan tuduk pada peraturanperaturan masyarakat secara utuh alih-alih sekadar menyenangkan figur-figur yang memiliki
otoritas
Empati yang murni terdap mereka yang berkesusahan
Keyakinan bahwa masyarakat bertanggung jawab menolong orang lain yang membutuhkan.
Michel meringkas lima perubahan dasar dalam moral yang harus dilakukan oleh remaja
(Hurlock, 1980:225) sebagai berikut:
1) Pandangan moral individu makin lama makin menjadi lebih abstrak.
2) Keyakinan moral lebih terpusat pada apa yang benar dan kurang pada apa yang salah.
Keadilan muncul sebagai kekuatan moral yang dominan.
3) Penilaian moral menjadi semakin kognitif. Hal ini mendorong remaja lebih berani
mengambil keputusan terhadap berbagai masalah moral yang dihadapinya.
4) Penilaian moral menjadi kurang egosentris.
5) Penilaian moral secara psikologis menjadi lebih mahal dalam arti bahwa penilaian moral
merupakan bahan emosi dan menimbulkan ketegangan emosi.
Kehidupan moral merupakan problematika yang pokok dalam masa remaja. Maka perlu kiranya
untuk meninjau perkembangan moralitas ini mulai dari waktu anak dilahirkan, untuk dapat
memahami mengapa justru pada masa remaja hal tersebut menduduki tempat yang sangat
penting.
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERKEMBANGAN MORAL
Para peneliti perkembangan telah mengidentifikasi sejumlah faktor yang berhubungan
dengan perkembangan penalaran dan perilaku moral:
Perkembangan Kognitif Umum
Penalaran moral yang tinggi yaitu penalaran yang dalam mengenai hukum moral dan nilai-nilai
luhur seperti kesetaraan, keadilan, hak-hak asasi manusia dan memerlukan refleksi yang
mendalam mengenai ide-ide abstrak. Dengan demikian dalam batas-batas tertentu,
perkembangan moral tergantung pada perkembangan kognitif. (Kohlberg dalam Ormord,
2000:139).
Contoh: anak-anak secara intelektual berbakat umumnya lebih sering berpikir entang isu moral
dan bekerja keras mengatasi ketidakadilan di masyarakat lokan ataupun dunia secara umum
ketimbang teman-teman sebayanya (Silverman dalam Ormord, 200:139). Meski demikian,
perkembangan kognitif tidak menjamin perkembangan moral.
Penggunaan Rasio dan Rationale
Anak-anak lebih cenderung memperoleh manfaat dalam perkembangan moral ketika mereka
memikirkan kerugian fisik dan emosional yang ditimbulkan perilaku-perilaku tertentu terhadap
orang lain. Menjelaskan kepada anak-anak alasan perilaku-perilaku tertentu tidak dapat

diterima, dengan focus pada perspektif orang lain, dikenal sebagai induksi (Hoffman dalam
Ormord, 2000:140).
Contoh: induksi berpusat pada korban induksi membantu siswa berfokus pada kesusahan orang
lain dan membantu siswa memahami bahwa mereka sendirilah penyebab kesesahan-kesusahan
tersebut. Penggunaan konduksi secara konsisten dalam mendisiplinkan anak-anak, terutama
ketika disertai hukuman ringan bagi perilaku yang menyimpang misalnya menegaskan bahwa
mereka harus meminta maaf atas perilaku yang keliru.

Isu dan Dilema Moral


Kolhberg dalam teorinya mengenai teori perkembangan moral menyatakan bahwa
disekuilibrium adalah anak-anak berkembang secara moral ketika mereka menghadapi suatu
dilemma moral yang idak dapat ditangani secara memadai dengan menggunakan tingkat
penalaran moralnya saat itu. Dalam upaya membantu anak-anak yang mengahdapi dilema
semacam itu Kulhborg menyarankan agar guru menawarkan penalaran moral satu tahap di atas
tahap yang dimilik anak pada saat itu.
Contoh: bayangkanlah seorang remaja laki-laki yang sangat mementingkan penerimaan oleh
teman-teman sebayanya, dia rela membiarkan temannya menyali pekerjaan rumahnya.
Gurunya mungkin menekankan logika hokum dan keteraturann dengan menyarankan agar
semua siswa seharusnya menyelesaikan pekerjaan rumahnya tanpa bantuan orang lain karena
tugas-tugas pekerjaan rumah dirancang untuk membantu siswa belajar lebih efektif.
Perasaan Diri
Anak-anak lebih cenderung terlibat dalam perilaku moral ketika mereka berfikir bahwa mereka
sesungguhnya mampu menolong orang lain dengan kata lain ketika mereka memiliki efikasi diri
yang tinggi mengenai kemampuan mereka membuat suatu perbedaan (Narvaez dalam Ormrod,
200:140).
Contoh: pada masa remaja beberapa anak muda mulai mengintegrasikan komitmen terhadap
nilai-nilai moral kedalam identitas mereka secara keseluruhan. Mereka menganggap diri
mereka sebagai pribadi bermoral dan penuh perhatian, yang peduli pada hak-hak dan kebaikan
orang lain. Tindakan belarasa yang mereka lakukan tidak terbatasa hanya pada teman-teman
dan orang yang mereka kenal saja, melainkan juga meluas ke masyarakat.
PERBEDAAN INDIVIDUAL DALAM PERKEMBANGAN MORAL
Bayi tidak memiliki hierarki nilai dan suara hati. Bayi tergolong nonmoral, tidak bermoral
maupun tidak amoral, dalam artian bahwa perilakunya tidak dibimbing norma-norma moral.
Lambat laun ia akan mempelajari kode moral dari orang tua dan kemudian dari guru-guru dan
teman bermain dan juga ia belajar pentingnya mengikuti kode-kode moral ini.
Belajar berperilaku moral yang diterima oleh sekitarnya merupakan proses yang lama dan
lambat. Tetapi dasar-dasarnya diletakkan dalam masa bayi dan berdasarkan dasar-dasar inilah
bayi membangun kode-kode moral yang membimbing perilaku bila telah menjadi besar
nantinya. Karena keterbatasan kecerdasannya, bayi menilai benar atau salahnya suatu tindakan
menurut kesenangan atau kesakitan yang ditimbulkannya dan bukan menurut baik atau
buruknya efek suatu tindakan terhadap orang-orang lain.

Pada masa remaja sesorang mampu mempertimbangkan semua kemungkinan untuk


menyelesaikan suatu masalah dan mempertanggung-jawabkannya berdasarkan suatu hipotesis
atau proposisi. Jadi seseorang telah dapat memandang masalahnya dari beberapa sudut
pandang dan menyelesaikannya dengan mengambil banyak faktor sebagai bahan pertimbangan.
Pengertian moral pada anak-anak umur sepuluh atau sebelas tahun berbeda dengan anak-anak
yang lebih tua. Pada anak-anak terdapat anggapan bahwa aturan-aturan adalah pasti dan
mutlak oleh karena diberikan oleh orang dewasa atau Tuhan yang tidak bisa diubah lagi
(Kohlberg, 1963).
Untuk sebagian remaja serta orang dewasa yang penalarannya terhambat atau kurang
berkembang, tahap perkembangan moralnya ada pada tahap prakonvensional. Pada tahap ini
seseorang belum benar-benar mengenal apalagi menerima aturan dan harapan masyarakat.
Pedoman meraka hanyalah menghindari hukuman. Sedangkan bagi mereka yang dapat
mencapai tingkat kedua sudah ada pengertian bahwa untuk memenuhi kebutuhan sendiri
seseorang juga harus memikirkan kepentingan orang lain.
UPAYA MENGEMBANGKAN MORAL REMAJA
Tidak semua individu mencapai tingkat perkembangan moral seperti yang diharapkan, maka
kita dihadapkan dengan masalah pembinaan. Adapun upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam
mengembangkan moral remaja adalah:

Menciptakan Komunikasi
Dalam komunikasi didahului dengan pemberian informasi tentang moral. Anak-anak harus
dirangsang supaya lebih aktif. Hendaknya ada upaya untuk mengikutsertakan remaja dalam
beberapa pembicaraan dan dalam pengambilan keputusan keluarga, sedangkan dalam
kelompok sebaya, remaja turut serta secara aktif dalam tanggung jawab dan penentuan maupun
keputusan kelompok.
Menciptakan Iklim Lingkungan yang Serasi
Lingkungan merupakan faktor yang cukup luas dan sangat bervariasi, maka tampaknya yang
perlu diperhatikan adalah lingkungan sosial terdekat yang terutama terdiri dari mereka yang
berfungsi sebagai pendidik dan pembina, yaitu orang tua dan guru.
Untuk remaja, moral merupakan suatu kebutuhan tersendiri oleh karena mereka sedang dalam
keadaan membutuhkan pedoman atau petunjuk dalam rangka mencari jalannya sendiri.
Pedoman ini juga untuk menumbuhkan identitas dirinya, menuju kepribadian yang matang dan
menghindarkan diri dari konflik-konflik peran yang selalu terjadi dalam masa transisi ini.
Nilai-nilai keagamaan perlu mendapat perhatian, karena agama juga mengajarkan tingkah laku
yang baik dan buruk, sehingga secara psikologis berpedoman kepada agama termasuk dalam
final.
Mendorong perilaku dan perkembangan moral di dalam kelas
Beberapa individu yang beritikad baik menyatakan bahwa mesyarakat sedang mengalami
kemerosotan moral yang drastis dan mendesak para orang tua dan para pendidik untuk
menanamkan nilai-nilai moral yang baik (kejujuran, kesetiaan, tanggungjawab, dan lain-lain)
melalui pelajaran di rumah dan di sekolah, serta melalui kontrol yang tegas terhadap perilaku

anak-anak. Kenyataannya tidak ada bukti generasi anak muda sekarang berada pada pada
tingkat moral atau proposional yang rendah dibandingkan dengan generasi terdahulu (Turiel
dalam Jeanne, 2000:141). Selain itu, mengajari siswa mengenai perilaku yang tepat secara
moral dan menerapkan kontrol yang tegas terhadap tindakan mereka dalam rangka
menanamkan serangkaian moral tertentu hanya memiliki sedikit dampak terhadap mereka. Hal
yang sama juga berlaku untuk kebiasaan membacakan cerita yang mengandung pesan-pesan
moral (Narvaez dalam Jaenne, 2002:143). Meski demikian beberapa strategi dapat membuat
perbedaan. Berikut ini adalah beberapa saran umum:
1. Jelaskan mengapa beberapa perilaku tidak dapat diterima
2. Doronglah sikap selalu prespektif orang lain, empati, dan perilaku prososial
3. Perlihatkan kepada siswa berbagai contoh perilaku moral
4. Libatkan para siswa dalam diskusi-diskusi mengenai isu-isu moral yang berhubungan
dengan materi pokok akademis
5. Ajaklah siswa untuk terlibat aktif dalam pelayanan masyarakat.

DAFTAR RUJUKAN
Sunarto, Hartono Agung. 2008. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Rineka Cipta.
Slavin, Robert E. 2008. Psikologi Pendidikan: Teori dan Praktik. Jakarta: PT. Indeks.
Ormord, Jeanne Ellis. 2000. Psikologi Pendidikan Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang.
Bandung: Media Sasana.
Santrock, John. W. 2002. Life-Span Development Perkembangan Masa Hidup. Jakarta:
Erlangga.
King, Laura A. 2006. Psikologi umum: sebuah pandangan apresiatif. Salemba: Salemba
Humanika
Hurlock, Elizabeth B. 1980. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang
Kehidupan. Jakarta: Erlangga.

Anda mungkin juga menyukai