Anda di halaman 1dari 47

1.

Teori Konstruktivisme
Teori konstruktivisme bermula dari gagasan Piaget dan Vigotsky, Piaget
dan Vigotsky berpendapat bahwa perubahan kognitif hanya terjadi jika
konsepsi-konsepsi yang telah dipahami sebelumnya diolah melalui suatu
proses ketidakseimbangan dalam upaya memahami informasi-informasi
baru. Keduanya menekankan adanya hakekat sosial dari belajar.
Pembelajaran kooperatif, berbasis kegiatan dan penemuan merupakan
pilihan yang sesuai untuk pembelajaran.
Hakekat dari teori konstuktivis adalah bahwa siswa harus secara individu
menemukan dan menerapkan informasi-informasi kompleks ke dalam
situasi lain apabila mereka harus menjadikan informasi itu miliknya
sendiri.
Siswa berperan aktif dalam pembelajaran, sedangkan guru adalah
membantu membuat kondisi yang memungkinkan siswa untuk secara
mandiri menemukan fakta, konsep atau prinsip. Sejalan dengan Wina
Sanjaya (2008:264) bahwa konstruktivisme adalah proses membangun
atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa
berdasarkan pengalaman. Guru bukanlah pemberi informasi, dan jawaban
atas semua masalah yang terjadi di kelas.
Pendekatan konstruktivis dalam pembelajaran lebih menekankan pada
pembelajaran top-down dari pada bottom-up. Top down mempunyai arti
bahwa siswa mulai dengan masalah-masalah yang kompleks untuk
dipecahkan dan selanjutnya memecahkan atau menemukan (dengan
bantuan guru seminimal mungkin) keterampilan-keterampilan dasar yang
diperlukan. Pendekatan top down berlawanan dengan strategi bottom-up
dimana keterampilan-keterampilan dasar secara bertahap dilatihkan untuk
mewujudkan keterampilan-keterampilan yang lebih kompleks. Sejalan
dengan teori ini Blanchard (2001) dalam Depdiknas (2005) memandang
pembelajaran kontekstual sebagai suatu konsepsi yang membantu guru
menghubungkan isi materi pelajaran dengan situasi dunia nyata yang
berguna untuk memotivasi peserta didik dalam membuat hubunganhubungan antara pengetahuan dan aplikasinya dengan kehidupan sebagai
anggota keluarga, masyarakat dan lingkungan kerja.
Sebuah komponen penting dalam pendekatan konstruktivis adalah proses
untuk menemukan secara mandiri. Siswa didorong untuk belajar
sebagian besar melalui keterlibatan aktif mereka sendiri dengan konsepkonsep dan prinsip-prinsip, dan guru mendorong siswa untuk memiliki
pengalaman dan melakukan kegiatan yang memungkinkan mereka
menemukan sendiri. Menurut Syaiful Sagalah (2007), esensi dari teori
konstruktivisme adalah ide bahwa siswa harus menemukan dan
mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan apabila
dihendaki informasi itu menjadi milik mereka sendiri.
http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2074843-teorikonstruktivisme-dalam-pembelajaran-matematika/

BAB I
PENDAHULUAN
Kontruktivisme merupakan aliran filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan
kita merupakan hasil konstruksi kita sendiri (von Glaserfeld dalam Pannen dkk, 2001:3).
Konstruktivisme sebagai aliran filsafat, banyak mempengaruhi konsep ilmu pengetahuan,
teori belajar dan pembelajaran. Konstruktivisme menawarkan paradigma baru dalam dunia
pembelajaran. Sebagai landasan paradigma pembelajaaran, konstruktivisme menyerukan
perlunya partisipasi aktif siswa dalam proses pembelajaran, perlunya pengembagan siswa
belajar mandiri, dan perlunya siswa memiliki kemampun untuk mengembangkan
pengetahuannya sendiri.
Seruan tersebut memberi dampak terhadap landasan teori belajar dalam dunia pendidikan di
Indonesia. Semula teori belajar dalam pendidikan Indonesia, lebih didominasi aliran
psikologi behaviorisme. Akan tetapi saat ini, para pakar pendidikan di Indonesia banyak yang
menyerukan agar landasan teori belajar mengaju pada aliran konstruktivisme.
Akibatnya, oreintasi pembelajaran di kelas mengalami pergeseran. Orentasi pembelajaran
bergeser dari berpusat pada guru mengajar ke pembelajaran berpusat pada siswa.
Siswa tidak lagi diposisikan bagaikan bejana kosong yang siap diisi. Dengan sikap pasrah
siswa disiapkan untuk dijejali informasi oleh gurunya. Atau siswa dikondisikan sedemikian
rupa untuk menerima pengatahuan dari gurunya. Siswa kini diposisikan sebagai mitra belajar
guru. Guru bukan satu-satunya pusat informasi dan yang paling tahu. Guru hanya salah satu
sumber belajar atau sumber informasi. Sedangkan sumber belajar yang lain bisa teman
sebaya, perpustakaan, alam, laboratorium, televisi, koran dan internet.
Bagi aliran konstruktivisme, guru tidak lagi menduduki tempat sebagai pemberi ilmu. Tidak
lagi sebagai satu-satunya sumber belajar. Namun guru lebih diposisikan sebagai fasiltator
yang memfasilitasi siswa untuk dapat belajar dan mengkonstruksi pengetahuannya sendiri
(Hudojo, 1998:5-6). Aliran ini lebih menekankan bagaimana siswa belajar bukan bagaimana
guru mengajar.
Sebagai fasilitator guru bertanggung jawab terhadap kegiatan pembelajaran di kelas. Diantara
tanggung jawab guru dalam pembelajaran adalah menstimulasi dan memotivasi siswa.
Mendiagnosis dan mengatasi kesulitan siswa serta menyediakan pengalaman untuk
menumbuhkan pemahaman siswa (Suherman dkk, 2001:76).
Oleh karena itu, guru harus menyediakan dan memberikan kesempatan sebanyak mungkin
kepada siswa untuk belajar secara aktif. Sedemikian rupa sehingga para siswa dapat
menciptakan, membangun, mendiskusikan, membandingkan, bekerja sama, dan melakukan
eksperimentasi dalam kegiatan belajarnya (Setyosari, 1997: 53).
Memperhatikan uraian diatas, nampanya pembelajaran dengan pendekatan problem posing
sejalan dengan prinsip pembelajaran berparadigma konstruktivisme. Melalui pembelajaran
dengan pendekatan problem posing, siswa bisa belajar aktif dan mandiri. Ia akan membagun
pengetahuannya dari yang sederhana menuju pengetahuan yang kompleks. Dan dengan

bantuan guru, siswa bisa diarahkan untuk mengaitkan suatu informasi dengan informasi yang
lainnya sehingga terbentuk suatu pemahaman baru.

BAB II
PEMBAHASAN

1. A.

Pengertian dan Tujuan Konstruktivisme

Menurut faham konstruktivis pengetahuan merupakan konstruksi (bentukan) dari orang yang
mengenal sesuatu (skemata). Pengetahuan tidak bisa ditransfer dari guru kepada orang lain,
karena setiap orang mempunyai skema sendiri tentang apa yang diketahuinya. Pembentukan
pengetahuan merupakan proses kognitif di mana terjadi proses asimilasi dan akomodasi
untuk mencapai suatu keseimbangan sehingga terbentuk suatu skema (jamak: skemata) yang
baru. Seseorang yang belajar itu berarti membentuk pengertian atau pengetahuan secara
aktif dan terus-menerus (Suparno, 1997).
Kontruksi berarti bersifat membangun, dalam konteks filsafat pendidikan, Konstruktivisme
adalah suatu upaya membangun tata susunan hidup yang berbudaya modern. Konstruktivisme
merupakan landasan berfikir (filosofi) pembelajaran konstektual yaitu bahwa pengetahuan
dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang
terbatas dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta,
konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkontruksi
pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.
Sedangkan menurut Tran Vui Konstruktivisme adalah suatu filsafat belajar yang dibangun
atas anggapan bahwa dengan memfreksikan pengalaman-pengalaman sendiri.sedangkan teori
Konstruktivisme adalah sebuah teori yang memberikan kebebasan terhadap manusia yang
ingin belajar atau mencari kebutuhannya dengan kemampuan untuk menemukan keinginan
atau kebutuhannya tersebut denga bantuan fasilitasi orang lain.
Dari keterangan diatas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa teori ini memberikan keaktifan
terhadap manusia untuk belajar menemukan sendiri kompetensi, pengetahuan atau teknologi,
dan hal lain yang diperlukan guna mengembangkan dirinya sendiri.
Adapun tujuan dari teori ini dalah sebagai berikut:

1. Adanya motivasi untuk siswa bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa itu sendiri.
Mengembangkan kemampuan siswa untuk mengejukan pertanyaan dan mencari
sendiri pertanyaannya.
2. Membantu siswa untuk mengembangkan pengertian dan pemahaman konsep secara
lengkap.
3. Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri.
4. Lebih menekankan pada proses belajar bagaimana belajar itu.
Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar
konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa juga disebut teori
perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori belajar tersebut berkenaan
dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual
dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi
dengan ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap
sensori motor anak berpikir melalui gerakan atau perbuatan (Ruseffendi, 1988: 132).
Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159)
menegaskan bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi dan
akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan,
akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru,
sehingga informasi tersebut mempunyai tempat (Ruseffendi 1988: 133). Pengertian tentang
akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi pembentukan skema baru yang
cocok dengan ransangan baru atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok
dengan rangsangan itu (Suparno, 1996: 7).
Konstruktivis ini dikritik oleh Vygotsky, yang menyatakan bahwa siswa dalam
mengkonstruksi suatu konsep perlu memperhatikan lingkungan sosial. Konstruktivisme ini
oleh Vygotsky disebut konstruktivisme sosial (Taylor, 1993; Wilson, Teslow dan Taylor,1993;
Atwel, Bleicher & Cooper, 1998).
B. Langkah-Langkah Pembelajaran Kontrutivisme
1. Identifikasi tujuan. Tujuan dalam pembelajaran akan memberi arah dalam merancang
program, implementasi program dan evaluasi.
2. Menetapkan Isi Produk Belajar. Pada tahap ini, ditetapkan konsep-konsep dan prinsipprinsip fisika yang mana yang harus dikuasai siswa.
3. Identifikasi dan Klarifikasi Pengetahuan Awal Siswa. Identifikasi pengetahuan awal siswa
dilakukan melalui tes awal, interview klinis dan peta konsep.
4. Identifikasi dan Klarifikasi Miskonsepsi Siswa. Pengetahuan awal siswa yang telah
diidentifikasi dan diklarifikasi perlu dianalisa lebih lanjut untuk menetapkan mana
diantaranya yang telah sesuai dengan konsepsi ilmiah, mana yang salah dan mana yang
miskonsepsi.

5. Perencanaan Program Pembelajaran dan Strategi Pengubahan Konsep. Program


pembelajaran dijabarkan dalam bentuk satuan pelajaran. Sedangkan strategi pengubahan
konsepsi siswa diwujudkan dalam bentuk modul.
6. Implementasi Program Pembelajaran dan Strategi Pengubahan Konsepsi. Tahapan ini
merupakan kegiatan aktual dalam ruang kelas. Tahapan ini terdiri dari tiga langkah yaitu : (a)
orientasi dan penyajian pengalaman belajar, (b)menggali ide-ide siswa, (c) restrukturisasi ideide.
7. Evaluasi. Setelah berakhirnya kegiatan implementasi program pembelajaran, maka
dilakukan evaluasi terhadap efektivitas model belajar yang telah diterapkan.
8. Klarifikasi dan analisis miskonsepsi siswa yang resisten. Berdasarkan hasil evaluasi
perubahan miskonsepsi maka dilakukaan klarifikasi dan analisis terhadap miskonsepsi siswa,
baik yang dapat diubah secara tuntas maupun yang resisten.
9. Revisi strategi pengubahan miskonsepsi. Hasil analisis miskonsepsi yang resisten
digunakan sebagai pertimbangan dalam merevisi strategi pengubahan konsepsi siswa dalam
bentuk modul.
C. Ciri-Ciri Pembelajaran Secara Konstuktivisme
1.
Memberi peluang kepada murid membina pengetahuan baru melalui penglibatan dalam
dunia sebenar
2.
Menggalakkan soalan/idea yang dimul akan oleh murid dan menggunakannya sebagai
panduan merancang pengajaran.
3.

Menyokong pembelajaran secara koperatif Mengambilkira sikap dan pembawaan murid

4.

Mengambilkira dapatan kajian bagaimana murid belajar sesuatu ide

5.

Menggalakkan & menerima daya usaha & autonomi murid

6.

Menggalakkan murid bertanya dan berdialog dengan murid & guru

7.
Menganggap pembelajaran sebagai suatu proses yang sama penting dengan hasil
pembelajaran.
8.

Menggalakkan proses inkuiri murid mel alui kajian dan eksperimen.

D. Prinsip-Prinsip Konstruktivisme
Secara garis besar, prinsip-prinsip Konstruktivisme yang diterapkan dalam belajar mengajar
adalah:
1.

Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri

2.
Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru kemurid, kecuali hanya dengan
keaktifan murid sendiri untuk menalar

3.
Murid aktif megkontruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan
konsep ilmiah
4.
Guru sekedar membantu menyediakan saran dan situasi agar proses kontruksi berjalan
lancar.
5.

Menghadapi masalah yang relevan dengan siswa

6.

Struktur pembalajaran seputar konsep utama pentingnya sebuah pertanyaan

7.

Mmencari dan menilai pendapat siswa

8.

Menyesuaikan kurikulum untuk menanggapi anggapan siswa.

E.

Keunggulan dan Kelemahan Model Konstrutivisme

Keunggulan Model kontruktivisme

1. Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberikan kesempatan kepada siswa


untuk mengungkapkan gagasan secara eksplisit dengan menggunakan bahasa siswa
sendiri, berbagi gagasan dengan temannya, dan mendorong siswa memberikan
penjelasan tentang gagasannya.
2. pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberi pengalaman yang berhubungan
dengan gagasan yang telah dimiliki siswa atau rancangan kegiatan disesuaikan dengan
gagasan awal siswa agar siswa memperluas pengetahuan mereka tentang fenomena dan
memiliki kesempatan untuk merangkai fenomena, sehingga siswa terdorong untuk
membedakan dan memadukan gagasan tentang fenomena yang menantang siswa.
1. Pembelajaran konstruktivisme memberi siswa kesempatan untuk berpikir tentang
pengalamannya. Ini dapat mendorong siswa berpikir kreatif, imajinatif, mendorong
refleksi tentang model dan teori, mengenalkan gagasan-gagasanpada saat yang tepat.
4. pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberi kesempatan kepada siswa untuk
mencoba gagasan baru agar siswa terdorong untuk memperoleh kepercayaan diri dengan
menggunakan berbagai konteks, baik yang telah dikenal maupun yang baru dan akhirnya
memotivasi siswa untuk menggunakan berbagai strategi belajar.
5. Pembelajaran Konstruktivisme mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan
merka setelah menyadari kemajuan mereka serta memberi kesempatan siswa untuk
mengidentifikasi perubahan gagasan mereka.
6. Pembelajaran Konstruktivisme memberikan lingkungan belajar yang kondusif yang
mendukung siswa mengungkapkan gagasan, saling menyimak, dan menghindari kesan selalu
ada satu jawaban yang benar.

Kelemahan Model Konstruktivisme

Dalam bahasan kekurangan atau kelemahan ini mungkin bisa kita lihat dalam proses
belajarnya dimana peran guru sebagai pendidik itu sepertinya kurang begitu mendukung.

BAB III
PENUTUP
1. A.

Kesimpulan

Kontruksi berarti bersifat membangun, dalam konteks filsafat pendidikan, Konstruktivisme


adalah suatu upaya membangun tata susunan hidup yang berbudaya modern. Konstruktivisme
merupakan landasan berfikir (filosofi) pembelajaran konstektual yaitu bahwa pengetahuan
dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang
terbatas dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta,
konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkontruksi
pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.

1. B.

Saran

Dalam upaya menumbuhkan dan mengembangkan situasi yang kondusif dalam pembelajaran
guru hendaknya mengambil posisi sebagai pasilitator dan mediator pembelajaran. Peran
sebagai pasilitator dan mediator pembelajaran akan memberikan kesempatan yang luas
kepada siswa untuk mengemukakan gagasan dan argumentasinya sehingga proses negosiasi
makna dapat dilaksanakan. Melalui nogosiasi makna, siswa akan terhindar dari cara belajar
menghafal.

DAFTAR PUSTAKA

Berg, Euwe Van Den (Ed). (1991). Salah konsep Fisika dan Remidiasi. UKSW: Salatiga
Bodner, G.M. (1986). Constructivism: A theory of knowledge. Journal of Chemical
Education, 63 (10)
Departemen Pendidikan Nasional. (2002). Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta
:Depdiknas
Direktorat PLP. (2002). Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Leraning (CTL)).
Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional.

Driver, R. (1988). Changing conceptions. Centre for Student in Science and Mathematics
Education,
University of Lees
Fosnot, C.T. (1989). Equiring Teacher Equiring Learners. A Constructivist Approach for
Teaching.
New York: Teachers Colloge Press
Hudoyo, H. 1998. Mengajar belajar Matematika. Jakarta: Direktorat Pendidikan Tinggi.
Novak, J.D. & Gowin, B. ( 1985). Learning how to Learn. Cambridge University Press.
Sadia, dkk. (1996). Pengaruh Prior Knowledge dan Strategi Conseptual Change Dalam
Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di sekolah Menengah Pertama (SMP). Laporan
Penelitian Basic Science.
University of Washington. (2002). Indonesian Teaching Training Proyect, The Washington
State
Consortium For Contextual Teaching And Learning.
Wheatly, Grayson H. (1991). Constructivist perspectives on Science and Mathematics
Learning.
http://dirinyachapunk.wordpress.com/2011/12/22/model-pembelajarankonstruktivisme/

Pengertian
Model pembelajaran konstruktivisme adalah salah satu pandangan tentang proses
pembelajaran yang menyatakan bahwa dalam proses belajar (perolehan pengetahuan) diawali
dengan terjadinya konflik kognitif. Konflik kognitif ini hanya dapat diatasi melalui
pengetahuan akan dibangun sendiri oleh anak melalui pengalamannya dari hasil interaksi
dengan lingkungannya. Konstruktivisme merupakan pandangan filsafat yang pertama kali
dikemukakan oleh Giambatista Vico tahun 1710, ia adalah seorang sejarawan Italia yang
mengungkapkan filsafatnya dengan berkata Tuhan adalah pencipta alam semesta dan
manusia adalah tuan dari ciptaan. Dia menjelaskan bahwa mengetahui berarti
mengetahui bagaimana membuat sesuatu. Ini berarti bahwa seseorang baru mengetahui
sesuatu jika ia dapat menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun sesuatu itu (Suparno,
1997:24).
Filsafat konstruktivisme beranggapan bahwa pengetahuan adalah hasil konstruksi
manusia melalui interaksi dengan objek, fenomena pengalaman dan lingkungan mereka. Hal
ini sesuai dengan pendapat Poedjiadi (2005 :70) bahwa konstruktivisme bertitik tolak dari
pembentukan pengetahuan, dan rekonstruksi pengetahuan adalah mengubah pengetahuan
yang dimiliki seseorang yang telah dibangun atau dikonstruk sebelumnya dan perubahan itu
sebagai akibat dari interaksi dengan lingkungannya. Menegaskan pendapat tersebut, Karli
(2003:2) menyatakan konstruktivisme adalah salah satu pandangan tentang proses
pembelajaran yang menyatakan bahwa dalam proses belajar (perolehan pengetahuan) diawali
dengan terjadinya konflik kognitif yang hanya dapat diatasi melalui pengetahuan diri dan
pada akhir proses belajar pengetahuan akan dibangun oleh anak melalui pengalamannya dari
hasil interkasi dengan lingkungannya. Konflik kognitif tersebut terjadi saat interaksi antara
konsepsi awal yang telah dimiliki siswa dengan fenomena baru yang dapat diintegrasikan
begitu saja, sehingga diperlukan perubahan/modifikasi struktur kognitif untuk mencapai
keseimbangan, peristiwa ini akan terjadi secara berkelanjutan, selama siswa menerima
pengetahuan baru.
Perolehan pengetahuan siswa diawali dengan diadopsinya hal baru sebagai hasil
interaksi dengan lingkungannya, kemudian hal baru tersebut dibandingkan dengan konsepsi
awal yang telah dimiliki sebelumnya. Jika hal baru tersebut tidak sesuai dengan konsepsi
awal siswa, maka akan terjadi konflik kognitif yang mengakibatkan adanya
ketidakseimbangan dalam struktur kognisinya. Pada kondisi ini diperlukan alternatif strategi
lain untuk mengatasinya.
Berdasarkan pandangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa model konstruktivisme
dalam pembelajaran adalah suatu proses belajar mengajar dimana siswa sendiri aktif secara
mental, membangun pengetahuannya, yang dilandasi oleh struktur kognitif yang dimilikinya.
Guru lebih berperan sebagai fasilitator dan mediator pembelajaran. Penekanan tentang belajar
dan mengajar lebih berfokus terhadap suksesnya siswa mengorganisasi pengalaman
mereka. Menurut Werrington (dalam Suherman, 2003:75), menyatakan bahwa dalam kelas
konstruktivis seorang guru tidak mengajarkan kepada anak bagaimana menyelesaikan
persoalan, namun mempresentasikan masalah dan mendorong siswa untuk menemukan cara
mereka sendiri dalam menyelesaikan permasalahan. Ketika siswa memberikan jawaban, guru
mencoba untuk tidak mengatakan bahwa jawabannya benar atau tidak benar. Namun guru

mendorong siswa untuk setuju atau tidak setuju kepada ide seseorang dan saling tukar
menukar ide sampai persetujuan dicapai tentang apa yang dapat masuk akal siswa.
Di dalam kelas konstruktivis, para siswa diberdayakan oleh pengetahuannya yang
berada dalam diri mereka. Mereka berbagi strategi dan penyelesaian, debat antara satu
dengan lainnya, berfikir secara kritis tentang cara terbaik untuk menyelesaikan setiap
masalah. Beberapa prinsip pembelajaran dengan pendekatan konstruktivis diantaranya bahwa
observasi dan mendengar aktivitas dan pembicaraan matematika siswa adalah sumber yang
kuat dan petunjuk untuk mengajar, untuk kurikulum, untuk cara-cara dimana pertumbuhan
pengetahuan siswa dapat dievaluasi.
Lebih jauh dikatakan bahwa dalam konstruktivis aktivitas matematika mungkin
diwujudkan melalui tantangan masalah, kerja dalam kelompok kecil, dan diskusi kelas
menggunakan apa yang biasa muncul dalam materi kurikulum kelas biasa. Dalam
konstruktivis proses pembelajaran senantiasa problem centered approach dimana guru dan
siswa terikat dalam pembicaraan yang memiliki makna matematika. Beberapa ciri itulah yang
akan mendasari pembelajaran dengan pendekatan konstruktivis.
De Vries dan Kohlberg (Suparno,1997:70) mengikhtisarkan beberapa prinsip
konstruktivisme Piaget yang perlu diperhatikan dalam mengajar.
1. Struktur psikologis harus dikembangkan dulu sebelum persoalan bilangan
diperkenalkan. Bila siswa mencoba menalarkan bilangan sebelum mereka menerima
struktur logika matematis yang cocok dengan persoalannya, tidak akan jalan.
2. Struktur psikologis (skemata) harus dikembangkan dulu sebelum simbol formal
diajarkan. Simbol adalah bahasa matematis, suatu bilangan tetulis yang merupakan
represenatasi suatu konsep, tapi bukan konsepnya sendiri.
3. Murid harus mendapat kesempatan untuk menemukan (membentuk) relasi matematis
sendiri, jangan hanya selalu dihadapkan kepada pemikiran orang dewasa yang sudah
jadi.
B.

Ciri-ciri Pembelajaran Konstruktivisme

Menurut Suparno (1997:49) secara garis besar prinsip-prinsip konstruktivisme yang


diambil adalah (1) pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri, baik secara personal maupun
secara sosial; (2) pengetahuan tidak dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali dengan keaktifan
siswa sendiri untuk bernalar; (3) siswa aktif mengkonstruksi secara terus menerus, sehingga
terjadi perubahan konsep menuju ke konsep yang lebih rinci, lengkap, serta sesuai dengan
konsep ilmiah; (4) guru berperan membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses
konstruksi siswa berjalan mulus.
Berikut ini akan dikemukakan ciri-ciri pembelajaran yang konstruktivis menurut
beberapa literatur yaitu sebagai berikut.
1. Pengetahuan dibangun berdasarkan pengalaman atau pengetahuan yang telah ada
sebelumnya.
2. Belajar adalah merupakan penafsiran personal tentang dunia.
3. Belajar merupakan proses yang aktif dimana makna dikembangkan berdasarkan
pengalaman.

4. Pengetahuan tumbuh karena adanya perundingan (negosiasi) makna melalui berbagai


informasi atau menyepakati suatu pandangan dalam berinteraksi atau bekerja sama
dengan orang lain.
Sedangkan menurut Mahisa Alit dalam bukunya menuliskan bahwa ciri-ciri
pembelajaran yang konstruktivis adalah sebagai berikut:
menyediakan pengalaman belajar dengan mengkaitkan pengetahuan yang telah
dimiliki siswa sedemikian rupa sehingga belajar melalui proses pembentukan
pengetahuan,
menyediakan berbagai alternatif pengalaman belajar, tidak semua mengerjakan tugas
yang sama, misalnya suatu masalah dapat diselesaikan dengan berbagai cara,

C.

mengintegrasikan pembelajaran dengan situasi yang realistik dan relevan dengan


melibatkan pengalaman konkrit, misalnya untuk memahami suatu konsep melalui
kenyataan kehidupan sehari-hari,

mengintegrasikan pembelajaran sehingga memungkinkan terjadinya transmisi sosial


yaitu terjadinya interaksi dan kerja sama seseorang dengan orang lain atau dengan
lingkungannya, misalnya interaksi dan kerjasama antara siswa, guru, dan siswa-siswa,

memanfaatkan berbagai media termasuk komunikasi lisan dan tertulis sehingga


pembelajaran menjadi lebih efektif.

Melibatkan siswa secara emosional dan sosial sehingga menjadi menarik dan siswa
mau belajar (2004:37).
Macam-Macam Konstruktivisme

Konstruktivisme dibedakan dalam dua tradisi besar yaitu konstruktivisme psikologis


(personal) dan sosial. Konstruktivisme psikologis bercabang dua, yaitu yang lebih personal
(Piaget,1981:43) dan yang lebih sosial (Vygotsky); sedangkan konstruktivisme sosial berdiri
sendiri (Kukla, 2003: 11-14).
1.

Konstruktivisme Personal

Piaget (Fosnot (ed), 1996: 13-14) menyoroti bagaimana anak-anak pelan-pelan


membentuk skema pengetahuan, pengembangan skema dan mengubah skema. Ia
menekankan bagaimana anak secara individual mengkonstruksi pengetahuan dari berinteraksi
dengan pengalaman dan objek yang dihadapinya. Ia menekankan bagaimana seorang anak
mengadakan abstraksi, baik secara sederhana maupun secara refleksif, dalam membentuk
pengetahuannya. Tampak bahwa tekanan perhatian Piaget lebih keaktifan individu dalam
membentuk pengetahuan. Bagi Piaget, pengetahuan lebih dibentuk oleh si anak itu sendiri
yang sedang belajar daripada diajarkan oleh orang tua.
Konstruktivisme psikologis bercabang dua: (1) yang lebih personal, individual, dan
subjektif seperti Piaget dan para pengikutnya; (2) yang lebih sosial seperti Vigotsky. Piaget
menekankan aktivitas individual, lewat asimilasi dan akomodasi (Suparno, 1997: 31-32)
dalam pembentukan pengetahuan; sedangkan Vygotsky menekankan pentingnya masyarakat
dalam mengkonstruksi pengetahuan ilmiah (Mattews,1994:235-138).

Dalam pandangan Piaget, pengetahuan dibentuk oleh anak lewat asimilasi dan
akomodasi dalam proses yang terus menerus sampai ketika dewasa. Asimilasi adalah proses
kognitif yang dengannya seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep, nilai-nilai ataupun
pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada di dalam pikirannya. Asimilasi
dapat dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan
kejadian atau rangsangan yang baru dalam skema yang telah ada. Setiap orang selalu secara
terus menerus mengembangkan proses asimiliasi. Proses asimilasi bersifat individual dalam
mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru sehingga pengertian
orang berkembang.
Dalam proses pembentukan pengetahuan dapat terjadi seseorang tidak dapat
mengasimilasikan pengalaman baru dengan skema yang telah dipunyai. Dalam keadaan
seperti ini orang akan mengadakan akomodasi, yaitu (1) membentuk skema baru yang cocok
dengan rangsangan yang baru, atau (2) memodifikasi skema yang ada sehingga cocok dengan
rangsangan itu. Misalnya, seorang anak mempunyai skema bahwa semua binatang harus
berkaki dua atau empat. Skema ini didapat dari abstraksinya terhadap binatang-binatang yang
pernah dijumpainya. Pada suatu hari ia datang ke kebun binatang, di mana ada puluhan
bahkan ratusan binatang yang jumlah kakinya ada yang lebih dari empat atau bahkan tanpa
kaki. Anak tadi mengalami bahwa skema lamanya tidak cocok dengan pengalaman yang
baru, maka dia mengadakan akomodasi dengan membentuk skema baru bahwa binatang
dapat berkaki dua, empat atau ledih bahkan ada yang tanpa kaki namun semua disebut
binatang.
Skema itu hasil suatu konstruksi yang terus menerus diperbaharui, dan bukan tiruan
dari kenyataan dunia yang ada. Menurut Piaget, proses asimilasi dan akomodasi ini terus
berjalan dalam diri seseorang, sampai pada pengetahuan yang mendekati para ilmuwan.
Pendekatan Piaget dalam proses pembentukan pengetahuan memang lebih personal dan
individual, kendati dia juga bicara soal pengaruh lingkungan sosial terhadap perkembangan
pemikiran anak, tetapi tidak secara jelas memberikan model bagaimana hal itu tejadi pada diri
anak. Bagi Piaget, dalam taraf-taraf perkembangan kognitif yang lebih rendah (sensori-motor,
dan pra-operasional), pengaruh lingkungan sosial lebih dipahami oleh anak sebagai sama
dengan objek-objek yang sedang diamati anak. Anak belum dapat menangkap ide-ide dari
masyarakatnya. Baru pada taraf perkembangan yang lebih tinggi (operasional konkret,
terlebih operasional formal), pengaruh lingkungan sosial menjadi lebih jelas. Dalam taraf ini,
bertukar gagasan dengan teman-teman, mendiskusikan bersama pendirian masing-masing,
dan mengambil konsensus sosial sudah lebih dimungkinkan.
Pandangan konstruktivisme personal sebenarnya mengandung kelemahan. Menurut
Glasersfeld (Suparno, 1997: 42) salah satu tokoh konstruktivisme personal, pengetahuan
hanya ada di dalam kepala seseorang di mana ia harus membangun pengetahuan
berdasarkan pengalaman pribadinya. Menurut pendapat ini ilmu pengetahuan bersifat pribadi,
hal ini berarti realitas bagi seseorang dibangun berdasarkan pengalaman pribadinya. Inilah
salah satu sumber kritik terhadap konstruktivisme personal, dan karena pandangan yang
demikian konstruktivisme personal sering dianggap menganut faham solipsisme. Faham
solipsisme berpendapat bahwa segala sesuatu hanya ada bila ada dalam pikiran atau
dipikirkan (Sarkim, 2005: 155). Selain itu, solipsisme juga mengatakan bahwa ilmu
pengetahuan itu dibangun secara individual. Pandangan ini memang sulit untuk menjelaskan
bagaimana kita bisa memiliki pengetahuan bersama tentang sesuatu hal.

Persoalan lain yang juga mengundang kritik adalah pandangannya tentang ilmu
pengetahuan yang berlawanan dengan pandangan tentang kebenaran yang bersifat
korespondensi atau dikenal sebagai faham realisme (Kukla, 2003: 75-80). Aliran
korespondensi berpandangan bahwa ilmu pengetahuan merupakan representasi independen
mengenai dunia, dan berkeyakinan bahwa kalimat-kalimat atau pernyataan-pernyataan yang
kita buat dikatakan benar bila dan hanya bila berkorespondensi dengan kenyataan (Sonny
Keraf dkk, 2001: 66-67). Faham demikian tidak diakui oleh konstruktivisme personal.
Sebaliknya konstruktivisme personal berpendapat bahwa pengetahuan itu apa yang dapat kita
lakukan dengan dunia pengalaman kita, ilmu pengetahuan itu merupakan sarana untuk
mendeskripsikan alam ini.
2.

Konstruktivisme Sosial

Teori konstruktivisme di dalam bidang pendidikan terdiri dari dua aliran besar yaitu
konstruktivisme sosial dan konstruktivisme personal. Konstruktivisme sosial dan
konstruktivisme personal sama-sama berpendapat bahwa ilmu pengetahuan adalah hasil
rekayasa manusia sebagai individu. Akan tetapi keduanya memiliki perbedaan pandangan
mengenai peranan individu dan masyarakat dalam proses pembentukan ilmu pengetahuan itu.
Pendukung konstruktivisme sosial berpendapat bahwa di samping individu,
kelompok di mana individu berada, sangat menentukan proses pembentukan pengetahuan
pada diri seseorang. Melalui komunikasi dengan komunitasnya, pengetahuan seseorang
dinyatakan kepada orang lain sehingga pengetahuan itu mengalami verifikasi, dan
penyempurnaan. Selain itu, melalui komunikasi seseorang memperoleh informasi atau
pengetahuan baru dari masyarakatnya. Vygotsky menandaskan bahwa kematangan fungsi
mental anak justru terjadi lewat proses kerjasama dengan orang lain, seperti dinyatakan oleh
Newman (1993: 62) sebagai berikut: The maturation of the childs higher mental functions
occurs in this cooperative process, that is, it occurs through the adults assistance and
participation .
Pandangan yang dianut oleh konstruktivisme sosial seperti dipaparkan di atas sangat
berbeda dengan pandangan yang dianut oleh para pendukung konstruktivisme personal.
Konstruktivisme personal kadang kala dikenal sebagai konstruktivisme psikologis, yang
memandang bahwa pembentukan pengetahuan adalah sepenuhnya persoalan individu.
Konstruktivisme personal sangat menekankan pentingnya peranan individu dalam proses
pembentukan ilmu pengetahuan (Suparno, 1997: 44).
Dalam tulisan ini penulis akan menggunakan kedua jenis konstruktivisme (personal
dan sosial) sebagai acuan dalam pembahasan karena bidang studi yang dikaji memang
termasuk ilmu-ilmu sosial yang harus dikaji secara personal dan secara sosial. Harus diakui
bahwa ilmu sosial lebih merupakan hasil konstruksi bersama dari pada konstruksi personal, di
samping itu penulis memandang konstruksi sosial lebih cocok dengan karakter masyarakat
Indonesia yang memberi makna tinggi pada relasi antar pribadi dan memandang
keharmonisan dalam relasi antar sesama sebagai hal yang penting. Alasan lain mengapa lebih
condong ke konstruksi sosial adalah masih terdapatnya beberapa kritik terhadap KP yang
hingga kini belum mendapat jawaban yang memuaskan.
Konstruktivisme sosial menekankan bahwa pembentukan ilmu pengetahuan
merupakan hasil pembentukan individu bersama-sama dengan masyarakat sekitarnya.
Bahkan Piaget menulis sebagai berikut (Fosnot (ed), 1996: 18): there is no longer any need

to choose between the primacy of the social or that of the intellect; the collective intellect is
the social equilibrium resulting from the interplay of the operations that enter into all
cooperation .
Konstruktivisme sosial mengakui peranan komunitas ilmiah di mana ilmu
pengetahuan dibangun dan dimonitori oleh lembaga keilmuan. Maka pengetahuan personal
tidak lepas dari sumbangan pengetahuan kolektif atau komunal. Ilmu pengetahuan pada
dasarnya merupakan hasil kolektif umat manusia. Pandangan yang berkembang adalah bahwa
ilmu pengetahuan merupakan hasil rekayasa manusia, teori konstruktivisme meyakini bahwa
di dalam proses pembelajaran para peserta didik yang harus aktif membangun pengetahuan di
dalam pikirannya. Para peserta didik yang pasif tidak mungkin membangun pengetahuannya
sekalipun diberi informasi oleh para pendidik (Sarkim, 2005: 155). Agar informasi yang
diterima berubah menjadi pengetahuan, seorang peserta didik harus aktif mengupayakan
sendiri agar informasi itu menjadi bagian dari struktur pengetahuannya. Pandangan demikian
diperkirakan bersumber dari karya awal Jean Piaget yang berjudul The Childs Conception
of The World (Sarkim, 2005: 156). Gagasan dasar konstruktivisme tentang belajar tersebut
diterima oleh kedua aliran konstruktivisme.
Mengingat ilmu pengetahuan harus dibangun secara aktif oleh peserta didik di dalam
pikirannya, hal itu berarti bahwa belajar adalah tanggungjawab subjek didik yang sedang
belajar. Maka menjadi sangat penting motivasi instrinsik yang mendorong peserta didik
memiliki keinginan untuk belajar. Dalam hal ini pendidik sebagai pengelola kegiatan
pembelajaran dapat memberikan sumbangan yang berarti dalam memotivasi para peserta
didik.
Karena keyakinannya bahwa pengetahuan seseorang dibangun secara pribadi dalam
interaksinya dengan masyarakat dan lingkungannya, maka pengetahuan yang dibawa oleh
peserta didik ke dalam kelas dinilai sebagai sumber penting untuk membangun pengetahuan
baru. Dengan menganut pandangan ini, konstruksivisme sosial menghargai pandangan bahwa
pengetahuan peserta didik yang dibawa ke dalam kelas sekalipun berbeda dengan keyakinan
yang dianut oleh para ilmuwan, amatlah penting. Sekalipun pengetahuan para peserta didik
itu berbeda dengan yang diakui di dalam khasanah ilmu pengetahuan, konsepsi mereka tidak
pertama-tama dilihat sebagai sebuah konsep yang salah, melainkan diakui sebagai sebuah
konsep alternatif (Sarkim, 2005: 156).
Pengakuan terhadap konsepsi awal yang dibawa oleh peserta didik ketika masuk ke
dalam kelas juga berarti keterbukaan terhadap beragamnya hasil belajar. Hasil belajar tidak
hanya dipengaruhi oleh aktivitas di dalam kelas tetapi juga oleh konsepsi awal yang dibawa
oleh peserta didik ketika memulai belajarnya. Di dalam kerangka berpikir demikian proses
pembelajaran ilmu-ilmu sosial di sekolah lebih dipandang sebagai proses pembudayaan
daripada proses penemuan. Maksudnya, kegiatan pembelajaran lebih dipandang sebagai
aktivitas pendampingan para peserta didik agar mereka memasuki dunia ilmu pengetahuan
daripada membimbing para peserta didik menemukan ilmu pengetahuan. Di dalam proses
ini motivasi dan peran aktif dari peserta didik memegang peranan yang penting.
Pembelajaran ilmu-ilmu sosial bertugas memberi pengalaman belajar kepada para
peserta didik agar memiliki pengalaman pribadi mengenai bagaimana ilmu pengetahuan
diverifikasi dan divalidasi. Oleh sebab itu pengalaman belajar merupakan hal yang sangat
penting, dan peranan pendidik di dalam menentukan pengalaman belajar itu bukanlah hal

yang ringan. Pendidik bertugas membimbing para peserta didik ke arah ilmu pengetahuan
yang sudah diakui kebenarannya oleh masyarakat keilmuan.
Dengan mengamati, atau mengalami langsung sebuah fenomena alam, konsepsi
peserta didik yang tidak sejalan dengan konsepsi yang diakui oleh komunitas ilmiah dapat
ditantang. Konfrontasi konsepsi alternatif dengan peristiwa konkret tersebut dapat
mengakibatkan goyahnya struktur pengetahuan yang sudah dimiliki oleh peserta didik.
Goyahnya struktur pengetahuan ini sering pula disebut sebagai keadaan disequilibrium. Hal
demikian akan memaksa peserta didik untuk membangun konsepsi yang lebih baik.
Demikianlah konsepsi baru akan dibangun dan menjadi bagian dari struktur pengetahuan
yang baru melalui aktivitas, komunikasi dan refleksi pribadi peserta didik. Konsepsi dan
struktur pengetahuan yang baru terbentuk tersebut akan semakin dikokohkan apabila peserta
didik memperoleh kesempatan untuk mengaplikasikannya ke dalam situasi yang baru.
D.

Konstruktivisme dan Pengetahuan

Konstruktivisme adalah aliran filsafat pengetahuan yang berpendapat bahwa


pengetahuan (knowledge) merupakan hasil konstruksi (bentukan) dari orang yang sedang
belajar. Maksudnya setiap orang membentuk pengetahuannya sendiri. Kukla (2003: 39)
secara tegas menyatakan bahwa sesungguhnya setiap orang adalah konstruktivis.
Pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah ada di sana dan tinggal mengambilnya tetapi
merupakan suatu bentukan terus menerus dari orang yang belajar dengan setiap kali
mengadakan reorganisasi karena adanya pemahaman yang baru (Fosnot (ed), 1996: 14).
Kaum konstruktivis berpendapat bahwa pengetahuan bukan suatu yang sudah jadi,
tetapi merupakan suatu proses menjadi (Suparno, 1997: 20). Misalnya, pengetahuan kita
tentang ayam, mula-mula dibentuk sejak kita masih kecil ketemu pertama kali dengan
ayam. Pengetahuan tentang ayam waktu kecil belum lengkap, tetapi lambat laun makin
lengkap di saat kita makin banyak berinteraksi dengan ayam yang ternyata ada bermacammacam jenisnya, tetapi semua disebut ayam. Pengetahuan bukan suatu barang yang dapat
dipindahkan begitu saja dari pikiran seseorang (dalam kasus ini pendidik) kepada orang lain
atau peserta didik. Bahkan ketika pendidik bermaksud memindahkan konsep, ide, nilai,
norma, keterampilan dan pengertian kepada peserta didik, pemindahan itu harus
diinterpretasikan dan dibentuk oleh peserta didik sendiri. Tanpa keaktivan peserta didik
dalam membentuk pengetahuan, pengetahuan seseorang tidak akan terjadi.
Dalam proses itu, menurut Glasersfeld (Suparno, 1997: 20), diperlukan beberapa
kemampuan sebagai berikut: (1) kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali
pengalaman, (2) kemampuan membandingkan, mengambil keputusan mengenai persamaan
dan perbedaan, dan (3) kemampuan untuk lebih menyukai pengalaman yang satu daripada
yang lain. Menurut konstruktivisme (Suparno, 1997: 18) pengetahuan bukanlah suatu tiruan
dari kenyataan (realitas). Pengetahuan bukanlah gambaran dari dunia kenyataan yang ada.
Pengetahuan selalu akibat dari suatu konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan
seseorang. Seseorang membentuk skema, konsep, nilai dan struktur pengetahuan yang
diperlukan untuk pengetahuan. Maka pengetahuan bukanlah tentang dunia lepas dari
pengamatan tetapi merupakan ciptaan manusia yang mengkonstruksi pengalaman atau dunia
sejauh dialaminya. Proses pembentukan ini berjalan terus menerus dengan setiap kali
mengadakan reorganisasi karena adanya suatu pemahaman yang baru. Pengetahuan entah itu
berupa konsep, norma, nilai, dibentuk oleh akal budi dengan mengabstraksi fakta-fakta,
pengalaman, kenyataan yang ada di sekitar manusia (Kukla, 2003: 12-24).

Piaget membedakan adanya tiga macam pengetahuan, yaitu pengetahuan fisis,


matematis-logis, dan sosial (Suparno, 1997: 39-40). Pengetahuan fisis adalah pengetahuan
akan sifat-sifat fisis suatu objek, seperti bentuk, besar, berat dan bagaimana benda-benda itu
berinteraksi. Pengetahuan fisis ini didapatkan dari abstraksi langsung atas suatu objek.
Pengetahuan matematis-logis adalah pengetahuan yang dibentuk dengan berpikir tentang
pengalaman dengan suatu objek atau kejadian tertentu. Pengetahuan didapatkan dari abstraksi
berdasarkan koordinasi, relasi ataupun penggunaan objek. Pengetahuan itu harus dibentuk
dari perbuatan berpikir seseorang terhadap benda itu. Jadi pengetahuannya tidak didapat
langsung dari abstraksi bendanya. Misalnya konsep bilangan. Pengetahuan sosial adalah
pengetahuan yang didapat dari kelompok budaya dan sosial yang secara bersama menyetujui
sesuatu, misalnya konsep, norma, nilai, dll (Kukla, 2003: 11-12). Menurut Piaget,
pengetahuan itu dibentuk dari interaksi seseorang dengan orang lain (Piaget, 1981: 160;
Suparno, 1997: 20). Pengetahuan ini muncul dalam kebudayaan tertentu maka pengetahuan
dapat berbeda antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain. Secara ringkas
gagasan konsruktivisme mengenai pengetahuan dapat dirangkum sebagai berikut.
1. Pengetahuan bukan merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, tetapi selalu
merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek.
2. Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep dan struktur yang perlu untuk
pengetahuan.
3. Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi
membentuk pengetahuan bila konsepsi itu berhadapan dengan pengalamanpengalaman seseorang (Suparno, 1997:21).
E.

Teori Belajar yang Mendukung Pendekatan Konstruktivisme

Teori belajar pada dasarnya merupakan suatu teori yang menjelaskan bagaimana
siswa-siswa belajar, meliputi kesiapan belajar, proses mental, dan apa yang dilakukan siswa
pada usia tertentu. Menurut paham konstruktivisme, pengetahuan merupakan hasil bentukan
sendiri, oleh karenanya tidak ada transfer pengetahuan dari seorang ke orang lain, sebab
setiap orang membangun pengetahuannya sendiri. Bahkan bila guru ingin memberikan
pengetahuan kepada siswa, maka pemberian itu diinterpretasikan dan dikonstruksikan oleh
siswa sendiri melalui pengalamannya. Untuk terjadinya konstruksi pengetahuan ada beberapa
kemampuan yang harus dimiliki siswa antara lain; kemampuan mengingat dan
mengungkapkan kembali pengalaman, kemampuan membandingkan, mengambil keputusan
mengenai persamaan dan perbedaan, dan kemampuan untuk lebih menyukai pengalaman
yang satu dari pada yang lainnya.
Inti dari konstruktivisme di atas berkaitan erat dengan beberapa teori belajar, yaitu;
teori perubahan konsep, teori belajar bermakna Ausubel, dan teori Skemata (Suparno, 1997 :
49). Namun menurut peneliti pembelajaran konstruktivisme juga berkaitan dengan teori
belajar Bruner. Penjelasan dari masing-masing teori tersebut adalah sebagai berikut.
1.

Teori Perubahan Konsep

Teori belajar perubahan konsep merupakan suatu teori belajar yang menjelaskan
adanya proses evolusi pemahaman konsep siswa dari siswa yang sedang belajar. Pada
mulanya siswa memahami sesuatu melalui konsep secara spontan. Pengertian spontan
merupakan pengertian yang tidak sempurna, bahkan belum sesuai dengan konsep ilmiah, dan
harus mengalami perubahan menuju pengertian yang logis dan sistematis, yaitu pengertian

ilmiah. Proses penyempurnaan pemahaman itu berlangsung melalui dua bentuk yaitu tanpa
melalui perubahan yang besar dari pengertian spontan tadi (asimilasi), atau sangat perlu
adanya perubahan yang radikal dari pengertian yang spontan menuju pengertian yang ilmiah
(akomodasi).
Menurut pendukung teori perubahan konsep, dalam proses belajar ada proses
perubahan konsep yang mencakup dua tahap, yaitu tahap asimilasi dan akomodasi (Suparno,
1997: 50). Dengan asimilasi peserta didik menggunakan konsep-konsep yang telah mereka
punyai untuk berhadapan dengan fenomena yang baru. Dengan akomodasi peserta didik
mengubah konsepnya yang tidak cocok lagi dengan fenomena baru yang mereka hadapi.
Proses dalam akomodasi oleh kaum konstruktivis disebut sebagai perubahan konsep secara
radikal.
Agar terjadi perubahan konsep secara radikal/ akomodatif maka dibutuhkan keadaan
dan syarat sebagai berikut:
Harus ada ketidakpuasan terhadap konsep yang telah ada. Peserta didik mengubah
konsepnya jika mereka yakin bahwa konsep mereka yang lama tidak dapat digunakan
lagi untuk menelaah situasi, pengalaman, dan gejala yang baru.
Konsep yang baru harus dimengerti, rasional, dan dapat memecahkan persoalan atau
fenomena yang baru.

Konsep yang baru harus masuk akal, dapat memecahkan dan menjawab persoalan
yang terdahulu, dan juga konsisten dengan teori-teori atau pengetahuan yang sudah
ada sebelumnya.

Konsep baru harus berdaya guna bagi perkembangan penelitian dan penemuan yang
baru (Suparno, 1997: 50-51).

Menurut kaum konstruktivis, salah satu penyebab terbesar ketidakpuasan terhadap


konsep lama adalah adanya peristiwa anomali. Suatu peristiwa yang bertentangan dengan
yang dipikirkan peserta didik. Suatu peristiwa di mana peserta didik tidak dapat
mengasimilasikan pengetahuannya untuk memahami fenomena yang baru. Misalnya, bagi
peserta didik yang berpikir bahwa kejujuran bersifat mutlak (berlaku objektif dan
universal), akan menjadi bingung ketika melihat seorang dokter berbohong kepada
pasiennya dengan mengatakan bahwa penyakitnya agak serius, kendati kenyataannya sang
pasien menderita sakit kangker sudah stadium 4 (kritis sekali), sudah amat kritis. Seorang
dokter bohong (tidak jujur) merupakan peristiwa anomali bagi peserta didik tertentu.
Peristiwa-peristiwa lain seperti itu akan menantang peserta didik untuk lebih berpikir dan
mempersoalkan mengapa pikiran awal mereka tidak benar.
Banyak pendidik budi pekerti, moral, nilai ataupun agama menggunakan data
anomali untuk memacu perubahan konsep pada peserta didik. Mereka menyediakan datadata, fakta-fakta dan peristiwa yang memberikan data berbeda dengan keyakinan anak atau
prediksi anak. Harus diakui bahwa data anomali kadang kala gagal mendorong perubahan
konsep karena para ilmuan dan peserta didik kadang menemukan cara untuk mengabaikan
data-data atau fakta-fakta yang berlawanan tersebut. Ada beberapa orang bereaksi terhadap
data anomali : (1) mengabaikan dan menolaknya, (2) mengecualikan data itu dari teori yang
telah ada, (3) mengartikan kembali data itu, (4) mengartikan kembali data itu dengan sedikit
perubahan, dan (5) menerima data itu serta mengubah teori atau konsep sebelumnya.

Teori perubahan konsep membedakan dua macam perubahan yaitu: restrukturisasi


kuat (perubahan yang kuat) dan restrukturisasi lemah (perubahan yang lemah). Perubahan
yang kuat terjadi bila seseorang mengadakan akomodasi terhadap konsep yang telah ia
punyai ketika berhadapan dengan fenomena yang baru. Perubahan yang lemah bila orang
tersebut hanya mengadakan asimilasi skema yang lama ketika berhadapan dengan fenomena
yang baru. Dengan dua perubahan itu pengetahuan manusia berkembang dan berubah. Untuk
memungkinkan perubahan tersebut, diperlukan situasi anomali, yakni suatu keadaan yang
menciptakan ketidakseimbangan dalam pikiran manusia atau yang menantang seseorang
berpikir.
Vygotsky (Kukla, 2003: 6-10; Fosnot (ed), 1996: 18) membedakan dua macam
konsep: konsep spontan dan konsep ilmiah. Konsep spontan diperoleh peserta didik dari
kehidupan sehari-hari dan konsep ilmiah diperoleh dari pelajaran di sekolah. Kedua konsep
tersebut saling berhubungan terus-menerus. Apa yang dipelajari peserta didik di sekolah
mempengaruhi perkembangan konsep yang diperoleh dalam kehidupan sehari-hari dan
sebaliknya. Perbedaan yang mencolok dari kedua konsep itu adalah ada atau tidak adanya
sistem. Konsep spontan didasarkan pada kejadian khusus dan tidak merupakan bagian yang
bertalian secara logis dari suatu sistem pemikiran, sedangkan konsep ilmiah disajikan sebagai
bagian dari suatu sistem. Sehubungan dengan adanya dua konsep tersebut, dianjurkan agar
pendidik tidak menolak konsep spontan peserta didik, tetapi membantunya agar konsep itu
diintegrasikan dengan konsep yang ilmiah. Hal ini harus semakin disadari oleh pendidik
bahwa konsep (spontan ataupun ilmiah) dalam diri seseorang terus berkembang untuk
semakin mendekati pemahaman para ilmuan.
Teori perubahan konsep cukup senada dengan teori konstruktivisme dalam arti
bahwa dalam proses pengetahuan seseorang mengalami perubahan konsep. Pengetahuan
seseorang itu tidak sekali jadi, melainkan merupakan proses berkembang yang terus menerus.
Dalam perkembangan itu ada yang mengalami perubahan besar dengan mengubah konsep
lama melalui akomodasi, ada pula yang hanya mengembangkan dan memperluas konsep
yang sudah ada melalui asimilasi. Proses perubahan terjadi bila si peserta didik aktif
berinteraksi dengan lingkungannya.
Konstruktivisme, yang menekankan bahwa pengetahuan dibentuk oleh peserta didik
yang sedang belajar, dan teori perubahan konsep, yang menjelaskan bahwa peserta didik
mengalami perubahan konsep terus menerus, sangat berperanan dalam menjelaskan mengapa
seorang peserta didik bisa salah mengerti dalam menangkap suatu konsep yang ia pelajari.
Konstruktivisme dapat membantu untuk mengerti bagaimana peserta didik membentuk
pengetahuan yang tidak tepat. Dengan demikian, seorang pendidik dibantu untuk
mengarahkan peserta didik dalam pembentukan pengetahuan mereka yang lebih tepat. Teori
perubahan konsep sangat membantu karena mendorong pendidik untuk menciptakan suasana
dan keadaan yang memungkinkan perubahan konsep yang kuat pada peserta didik sehingga
pemahaman mereka lebih sesuai dengan pengertian ilmuan.
2.

Teori Skema

Jonassen menjelaskan bahwa skema adalah abstraksi mental seseorang yang


digunakan untuk mengerti sesuatu hal, menemukan jalan keluar, atau memecahkan
persoalan (galam Suparno, 1997:55) . Menurut teori skema, pengetahuan itu disimpan dalam
suatu paket informasi atau skema yang terdiri atas suatu set atribut yang menjelaskan objek
tersebut, maka dari itu membantu kita untuk mengenal objek atau kejadian itu. Hubungan

skema yang satu dengan yang lain memberikan makna dan arti kepada gagasan kita. Belajar
menurut teori skema adalah mengubah skema (Suparno, 1997:55). Lebih jauh ia
menyatakan :
Orang dapat membentuk skema baru dari suatu pengalaman baru. Orang dapat menambah
atribut baru dalam skemanya yang lama. Orang dapat melengkapi dan memperluas skema
yang telah dimilikinya dalam berhadapan dengan pengalaman, persoalan, dan juga pemikiran
yang baru. Biasanya seseorang bila menghadapi pengalaman baru yang tidak cocok dengan
skema yang dimilikinya, ia akan mengubah skema lamanya. Dalam proses belajar siswa
mengadakan perubahan skemanya, baik dengan menambah atribut, memperluas,
memperhalus, ataupun mengubah sama sekali skema lama
Teori skema berpendapat bahwa pengetahuan itu disimpan dalam suatu paket
informasi, atau skema, yang terdiri dari konstruksi mental gagasan kita. Skema adalah
abstraksi mental seseorang yang digunakan untuk mengerti sesuatu hal, menemukan jalan
keluar, ataupun memecahkan persoalan. Orang harus mengisi atribut skemanya dengan
informasi yang benar agar dapat membentuk kerangka pemikiran yang benar. Kerangka
pemikiran inilah yang menurut Jonassen dkk.( Suparno,1997: 55), membentuk pengetahuan
struktural seseorang, di mana pengetahuan struktural tersebut terdiri dari skema-skema yang
dipunyai dan hubungan antara skema-skema itu.
Bagaimana seseorang membentuk dan mengubah skema, hal itu merupakan proses
belajar. Orang dapat membentuk skema baru dari suatu pengalaman baru. Orang dapat
melengkapi dan memperluas skema yang telah dipunyainya dalam berhadapan dengan
pengalaman, persoalan dan juga pemikiran yang baru. Dalam proses belajar seseorang
mengadakan perubahan-perubahan skemanya baik dengan menambah atribut, memperhalus,
memperluas, ataupun mengubah sama sekali skema lama.
Skemata adalah suatu jaringan hubungan konsep-konsep. Jaringan itu menguraikan
apa yang diketahui seseorang dan menyediakan dasar untuk mempelajari konsep-konsep
baru, serta memperkembangkan dan mengubah jaringan yang telah ada. Sementara itu
pengetahuan struktural seseorang, yang terdiri dari macam-macam skemata dan hubungan
antar skemata itu, didasarkan pada teori skema. Pengetahuan struktural adalah pengetahuan
akan bagaimana konsep-konsep dalam suatu domain saling terkait. Pengetahuan struktural
menjembatani perubahan dari pengetahuan deklaratif ke prosedural. Pengetahuan deklaratif
adalah pengetahuan yang mengungkapkan suatu pengertian atau kesadaran akan objek,
kejadian atau ide. Dalam pengetahuan ini seseorang dapat menjelaskan apa yang ia ketahui
tetapi ia tidak menggunakan apa yang ia ketahui itu.
Menurut teori skema, seseorang belajar dengan mengadakan restrukturisasi atas
skema yang ada, baik dengan menambah maupun dengan mengganti skema itu. Ini mirip
dengan konstruktivisme Piaget yang menggunakan asimilasi dan akomodasi. Perbedaannya
adalah bahwa teori skema tidak menjelaskan proses pengetahuan, tetapi lebih bagaimana
pengetahuan manusia itu tersimpan dan tersusun.
Hal lain yang terkait dengan konstruktivisme dan layak untuk diketahui, bahwa
konstruktivisme sangat berbeda dan bahkan bertentangan dengan teori belajar behaviorisme.
Perbedaan antara kaum behavioris dan konstruktivis dalam hal pengetahuan, belajar dan
mengajar sebagai berikut.

Menurut kaum behavioris, pengetahuan itu hasil pengumpulan pasif dari subjek dan
objek yang diperkuat oleh lingkungannya, sedangkan bagi kaum konstruktivis,
pengetahuan itu adalah hasil kegiatan aktif peserta didik yang meneliti
lingkungannya. Bagi kaum behavioris, pengetahuan itu statis dan sudah jadi, sedang
kagi kaum konstruktivis, pengetahuan itu suatu proses menjadi.
Mengajar, bagi kaum behavioris, adalah mengatur lingkungan agar dapat membantu
peserta didik. Bagi kaum konstruktivis, mengajar berarti partisipasi dengan peserta
didik dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mempertanyakan kejelasan,
bersikap kritis, mengadakan justifiksi. Jadi mengajar adalah suatu bentuk belajar
sendiri, di mana teachers begin to construct an understanding of how knowledge
develops (Fosnot, 1989: 85).
Belajar menurut kaum behavioris adalah menerima pengetahuan, keterampilan dan
sikap dari pendidik tanpa mengadakan perubahan apa-apa. Setiap peserta didik
mempunyai cara yang sama dalam menerima pengetahuan, keterampilan dan sikap
tertentu. Pendidik cukup menciptakan satu cara pembelajaran untuk semua peserta
didik. Menurut kaum konstruktivis, peserta didik mempunyai cara sendiri untuk
mengerti, masing-masing mempunyai cara yang cocok untuk mengkonstruksi
pengetahuannya yang kadang sangat berbeda dengan teman dan pendidiknya. Maka
pendidik perlu menciptakan berbagai cara pembelajaran untuk membantu peserta
didik yang cara belajarnya memang berbeda-beda pula (Suparno, 1997: 62-63).

Kaum behavioris memandang bahwa belajar merupakan sistem respon tingkah laku
terhadap rangsangan fisik. Penganut aliran ini berpendapat bahwa mendengarkan dengan baik
penjelasan pendidik atau terlibat dalam suatu pengalaman akan berakibat peserta didik dapat
mempunyai keterampilan tertentu sesuai dengan apa yang didengarkannya. Keterampilan
merupakan tujuan dari suatu tujuan pembelajaran. Peserta didik dipandang sebagai subjek
yang pasif, membutuhkan motivasi luar dan dipengaruhi oleh suatu penguatan. Oleh sebab itu
para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur baik dan menentukan bagaimana
peserta didik harus dimotivasi, dirangsang dan dievaluasi. Kemajuan belajar peserta didik
diukur dengan hasil yang dapat diamati.
3.

Teori Belajar Bermakna Ausubel

David Ausubel (Dahar, 1989:112) terkenal dengan teori belajar bermakna


(meaningful learning). Belajar bermakna adalah suatu proses belajar dimana informasi baru
dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dipunyai seseorang yang sedang belajar.
Belajar bermakna terjadi bila pelajar mencoba menghubungkan fenomena baru kedalam
struktur pengetahuan mereka. Ini terjadi melalui belajar konsep, dan perubahan konsep yang
telah ada, yang akan mengakibatkan pertumbuhan dan perubahan struktur konsep yang telah
dipunyai si pelajar (Suparno, 1997: 54).
Kedekatan teori belajar bermakna Ausubel dengan konstruktivisme adalah keduanya
menekankan pentingnya mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan fakta-fakta baru
kedalam sistem pengertian yang telah dimiliki, keduanya menekankan pentingnya asimilasi
pengalaman baru ke dalam konsep atau pengertian yang sudah dimiliki siswa, dan keduanya
mengasumsikan adanya keaktifan siswa dalam belajar.
4.

Teori Belajar Bruner

Menurut Bruner, pembelajaran adalah proses yang aktif dimana pelajar membina
ide baru berasaskan pengetahuan yang lampau. Selanjutnya Bruner (Nur, 2000:10)
menyatakan bahwa mengajarkan suatu bahan kajian kepada siswa adalah untuk membuat
siswa berfikir untuk diri mereka sendiri, dan turut mengambil bagian dalam proses
mendapatkan pengetahuan. Mengetahui adalah suatu proses bukan suatu produk. Masih
menurut Bruner (Dahar, 1997:98) bahwa dalam membangun pengetahuan di dasarkan kepada
dua asumsi yaitu :asumsi pertama adalah perolehan pengetahuan merupakan suatu proses
interaktif yaitu orang yang belajar akan berinteraksi dengan lingkungannya secara aktif,
perubahan tidak hanya terjadi dilingkungan tatapi juga dalam diri orang itu sendiri.
Asumsi kedua adalah orang yang mengkonstruksi pengetahuannya dengan
menghubungkan informasi yang masuk dengan informasi yang tersimpan yang diperoleh
sebelumnya. Menurut Bruner, dalam proses belajar terdapat tiga episode yang harus dilalui
anak, yakni (1) informasi, (2) transformasi, (3) evaluasi. Ketiga episode itu dapat dijelaskan
sebagai berikut.
Informasi. Dalam tiap pelajaran siswa akan memperoleh sejumlah informasi, ada yang
menambah pengetahuan yang telah dimiliki, ada yang memperhalus dan
memperdalamnya, ada pula informasi yang bertentangan dengan apa yang telah
diketahui sebelumnya.
Transformasi. Informasi harus dianalis, diubah atau ditransformasi kedalam bentuk
yang lebih abstrak atau konseptual agar dapat digunakan untuk hal-hal yang lebih
luas. Dalam hal ini bantuan guru sangat diperlukan.

Evaluasi. Informasi yang diperoleh tersebut dinilai untuk dapat dimanfaatkan untuk
memahami gejala-gejala lain. (Nasution, 1987:9).

Dalam memandang proses belajar, Bruner menekankan adanya pengaruh


kebudayaan terhadap tingkah laku seseorang. Cara belajar yang terbaik menurut Bruner
adalah memahami konsep, arti, dan hubungan dan sampai pada suatu kesimpulan. Dengan
teorinya free discovery learning, Bruner mengatakan bahwa proses belajar akan berjalan
dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan
suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh yang dijumpai dalam
kehidupannya (Budiningsih, 2005:43).
F.

Hal-hal yang Membatasi Konstruksi Pengetahuan

Yang membatasi proses konstruksi pengetahuan manusia antara lain: (1) konstruksi
kita yang lama, (2) domain pengalaman kita, (3) jaringan struktur kognitif kita (Suparno,
1997: 22). Hasil dan proses konstruksi pengetahuan kita yang lampau dapat menjadi
pembatas konstruksi pengetahuan kita berikutnya. Cara kita mengabstraksi, mengorganisir
konsep-konsep, nilai, norma dipengaruhi pengetahuan kita yang sudah ada. Misalnya
pengetahuan kita akan nilai kehidupan yang sudah ada akan membatasi bagaimana kita
menganalisa nilai-nilai baru yang kita hadapi. Pengetahuan kita tentang ayam akan
membatasi analisa kita akan binatang yang mirip dengan ayam, meskipun binatang itu bukan
ayam.
Menurut konstruktivisme, pengalaman atas fenomena yang baru akan menjadi unsur
yang sangat penting dalam pengembangan pengetahuan kita; dan kekurangan dalam hal ini
akan membatasi pengetahuan kita pula. Misalnya, dalam bidang ilmu sosial, pengalaman kita

berinteraksi dengan macam-macam masyarakat, budaya, nilai, norma, akan semakin


mengembangkan ilmu tersebut; sedangkan keterbatasan dalam hal ini akan lebih merugikan.
G.

Hubungan Konstruktivisme dengan Teori Belajar

Garis besar pemikiran filsafat konstruktivisme (Suparno, 1997: 49) yang diambil
manfaatnya untuk proses belajar peserta didik adalah sebagai berikut.
1. Pengetahuan dibangun oleh peserta didik sendiri, baik secara personal maupun secara
sosial;
2. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari pendidik ke peserta didik, kecuali hanya
dengan keaktifan peserta didik sendiri untuk menalar,
3. Peserta didik aktif mengkontruksi terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan
konsep menuju ke konsep yang lebih rinci, lengkap, serta sesuai dengan konsep
ilmiah,
4. Pendidik sekadar membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi
peserta didik berjalan mulus.
H.

Pengaruh Konstruktivisme terhadap Proses Belajar

Bagi konstruktivisme, kegiatan belajar adalah kegiatan yang aktif, di mana peserta
didik membangun sendiri pengetahuan, keterampilan dan tingkah lakunya. Peserta didik
mencari arti sendiri dari yang mereka pelajari. Peserta didik sendiri lah yang bertanggung
jawab terhadap hasil belajarnya. Mereka sendiri yang membuat penalaran dengan apa yang
dipelajarinya, dengan cara mencari makna, membandingkan dengan apa yang telah ia ketahui
dengan pengalaman dan situasi baru.
Belajar adalah lebih merupakan suatu proses untuk menemukan sesuatu, daripada
suatu proses untuk mengumpulkan sesuatu (Fosnot, 1989: 20). Belajar bukanlah suatu
kegiatan mengumpulkan fakta-fakta, tetapi suatu proses pemikiran yang berkembang dengan
membuat kerangka pengertian yang baru. Peserta didik harus mempunyai pengalaman
dengan membuat hipotesis, prediksi, mengetes hipotesis, memanipulasi objek, memecahkan
persoalan, mencari jawaban, meneliti, berdialog, mengadakan refleksi, mengungkapkan
pertanyaan, mengekspresikan gagasan, dan lain sebagainya untuk membentuk konstruksi
pengetahuan yang baru. roses belajar itu antara lain bercirikan sebagai berikut.
1. Belajar berarti membentuk makna. Proses pembentukan makna ini berdasarkan
pengetahuan yang sudah dimiliki sebelumnya melalui interaksi langsung dengan
objek. Makna diciptakan oleh peserta didik dari apa yang mereka lihat, dengar,
rasakan, dan alami. Konstruksi arti itu dipengaruhi oleh pengertian yang telah ia
punyai.
2. Konstruksi terjadi lewat asimilasi dan atau akomodasi. Setiap kali berhadapan dengan
fenomena atau persoalan yang baru, diadakan asimilasi dan atau akomodasi.
3. Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, melainkan lebih suatu
pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian (konsep) yang baru. Proses
belajar adalah proses pengembangan pemahaman atau pemikiran dengan membuat
pemahaman yang baru. Belajar itu meredifinisi pengetahuan, konsep lama menjadi
pengertian ataupun konsep yang baru. Belajar bukanlah hasil perkembangan,
melainkan merupakan perkembangan itu sendiri, suatu perkembangan yang menuntut
penemuan dan pengaturan kembali pemikiran seseorang.

4. Hasil belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skema seseorang dalam keraguan
yang merangsang pemikirannya lebih lanjut. Situasi ketidak seimbangan
(disequilibrium) adalah situasi yang baik untuk memacu belajar.
5. Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman peserta didik dengan dunia fisik dan
lingkungannya.
6. Belajar akan bermakna jika terjadi melalui refleksi dan memecahkan konflik kognitif
dan menggugat pengetahuan lamanya yang kurang sempurna.
7. Hasil belajar seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui si peserta didik:
konsep-konsep, nilai-nilai, tujuan, sikap dan motivasi yang mempengaruhi interaksi
dengan bahan yang dipelajari (Fosnot, 1989: 19-20;34-40).
Setiap peserta didik mempunyai cara untuk mengerti sendiri. Maka penting bahwa
setiap peserta didik mengerti kekhasan, keunggulan dan kelemahannya dalam mengerti
sesuatu. Mereka perlu menemukan cara belajar yang tepat bagi diri sendiri. Setiap peserta
didik mempunyai cara yang cocok untuk mengkonstruksi pengetahuannya yang kadangkadang sangat berbeda dengan teman-temannya yang lain. Dalam kerangka ini, sangat
penting bahwa peserta didik dimungkinan untuk mencoba bermacam-macam cara belajar
yang cocok bagi dirinya, begitu juga penting bagi pendidik menciptakan bermacam-macam
cara belajar yang cocok untuk peserta didiknya. Pendidik juga perlu menciptakan bermacammacam situasi dan metode pembelajaran yang membantu peserta didik. Satu model belajar
dan mengajar tidak akan membantu banyak bagi peserta didik yang begitu majemuk.
Di dalam kelas, sering kali peserta didik sudah membawa konsep yang bermacammacam sebelum pelajaran formal dimulai. Inilah pengetahuan dasar mereka untuk dapat
dikembangkan menjadi pengetahuan yang baru. Mereka juga membawa perbedaan tingkat
intelektual, personal, sosial, emosional, kultural ketika masuk ruang pelajaran. Ini semua
mempengaruhi pemahaman mereka. Latar belakang dan pengertian awal yang dibawa peserta
didik sangat penting dimengerti oleh pendidik agar dapat membantu memajukan dan
memperkembangkannya sesuai dengan pengetahuan yang lebih sempurna.
Karena pengetahuan dibentuk baik secara individual maupun sosial, maka
kesempatan untuk belajar kelompok, diskusi, cooperative learning dapat dikembangkan.
Menurut Glasersfeld, dalam belajar kelompok (Suparno,1997:63), peserta didik yang
mengerjakan suatu persoalan secara bersama-sama, harus mengungkapkan bagaimana
melihat persoalan tersebut dan apa yang ingin mereka buat dengan persoalan itu. Inilah salah
satu cara menciptakan refleksi, yang menuntut kesadaran akan apa yang sedang dipikirkan
dan sedang dibuat. Selanjutnya hal tersebut akan memberikan kesempatan kepada seseorang
untuk secara aktif membuat abstraksi. Bagi peserta didik, menjelaskan sesuatu kepada
kawan-kawan dapat membantu untuk melihat sesuatu lebih jelas terutama inkonsistensi
pandangan mereka sendiri. Seseorang yang diberi kesempatan untuk menjelaskan bahan pada
seluruh kelas, biasanya terpacu untuk belajar lebih sungguh-sungguh.
Konstruktivisme sosial menekankan bahwa belajar menyangkut dimasukkannya
seseorang dalam suatu dunia simbolik atau konsep. Pengetahuan dikonstruksi bila seseorang
terlibat secara sosial dalam dialog dan aktif dengan percobaan, diskusi kelompok dan tukar
pengalaman. Belajar juga merupakan proses di mana seseorang dimasukan dalam suatu kultur
orang-orang terdidik. Dalam hal ini peserta didik tidak hanya perlu akses ke pengalaman
fisik, tetapi juga pada konsep-konsep dan model dari ilmu pengetahuan yang telah ada. Maka

peran pendidik di sini penting, karena mereka menyediakan kesempatan yang cocok dan juga
prasarana masyarakat ilmiah bagi peserta didik. Dalam konteks ini, kegiatan-kegiatan yang
memungkinkan para peserta didik berdialog dan berinteraksi dengan para ahli, dengan
lembaga-lembaga penelitian, dengan sejarah penemuan ilmiah, dengan masyarakat pengguna
hasil ilmiah akan sangat membantu dan merangsang untuk mengkonstruksi pengetahuan
mereka.
I.

Implikasi Konstruktivisme terhadap Proses Pembelajaran

Ada sejumlah implikasi yang relevan terhadap proses pembelajaran berdasarkan


pemikiran konstruktivisme personal dan sosial. Implikasi itu antara lain sebagai berikut.
1. Kaum konstruktivis personal berpendapat bahwa pengetahuan diperoleh melalui
konstruksi individual dengan melakukan pemaknaan terhadap realitas yang dihadapi
dan bukan lewat akumulasi informasi. Implikasinya dalam proses pembelajaran
adalah bahwa pendidik tidak dapat secara langsung memberikan informasi, melainkan
proses belajar hanya akan terjadi bila peserta didik berhadapan langsung dengan
realitas atau objek tertentu. Pengetahuan diperoleh oleh peserta didik atas dasar proses
transformasi struktur kognitif tersebut. Dengan demikian tugas pendidik dalam proses
pembelajaran adalah menyediakan objek pengetahuan secara konkret, mengajukan
pertanyaan-pertanyaan sesuai dengan pengalaman peserta didik atau memberikan
pengalaman-pengalaman hidup konkret (nilai-nilai, tingkah laku, sikap, dll) untuk
dijadikan objek pemaknaan.
2. Kaum konstruktivis berpendapat bahwa pengetahuan dibentuk dalam diri individu
atas dasar struktur kognitif yang telah dimilikinya, hal ini berimplikasi pada proses
belajar yang menekankan aktivitas personal peserta didik. Agar proses belajar dapat
berjalan lancar maka pendidik dituntut untuk mengenali secara cermat tingkat
perkembangan kognitif peserta didik. Atas dasar pemahamannya pendidik merancang
pengalaman belajar yang dapat merangsang struktur kognitif anak untuk berpikir,
berinteraksi membentuk pengetahuan yang baru. Pengalaman yang disajikan tidak
boleh terlalu jauh dari pengetahuan peserta didik tetapi juga jangan sama seperti yang
telah dimilikinya. Pengalaman sedapat mungkin berada di ambang batas antara
pengetahuan yang sudah diketahui dan pengetahuan yang belum diketahui
(Mukminan,dkk., 1998: 44; Fosnot (ed), 1996: 18-20) sebagai zone of proximal
development of knowledge.
3. Terkait dengan kedua hal di atas, maka dalam proses pembelajaran seorang pendidik
harus menciptakan pengalaman yang autentik dan alami secara sosial kultural untuk
para peserta didiknya. Materi pembelajaran sungguh harus kontekstual, relevan dan
diambil dari pengalaman sosio budaya setempat. Pendidik tidak dapat memaksakan
suatu materi yang tidak terkait dengan kehidupan nyata peserta didik. Pemaksaan
hanya akan menimbulkan penolakan atau menimbulkan kebosanan atau akan
menghambat proses perkembangan pengetahuan peserta didik.
4. Dalam proses pembelajaran pendidik harus memberi otonomi, kebebasan peserta
didik untuk melakukan eksplorasi masalah dan pemecahannya secara individual dan
kolektif, sehingga daya pikirnya dirangsang untuk secara optimal dapat aktif
membentuk pengetahuan dan pemaknaan yang baru.
5. Pendidik dalam proses pembelajaran harus mendorong terjadinya kegiatan kognitif
tingkat tinggi seperti mengklasifikasi, menganalisis, menginterpretasikan,
memprediksi dan menyimpulkan, dll.

6. Pendidik merancang tugas yang mendorong peserta didik untuk mencari pemecahan
masalah secara individual dan kolektif sehingga meningkatkan kepercayaan diri yang
tinggi dalam mengembangkan pengetahuan dan rasa tanggungjaawab pribadi.
7. Dalam proses pembelajaran, pendidik harus memberi peluang seluas-luasnya agar
terjadi proses dialogis antara sesama peserta didik, dan antara peserta didik dengan
pendidik, sehingga semua pihak merasa bertanggung jawab bahwa pembentukan
pengetahuan adalah tanggungjawab bersama. Caranya dengan memberi pertanyaanpertanyaan, tugas-tugas yang terkait dengan topik tertentu, yang harus dipecahkan,
didalami secara individual ataupun kolektif, kemudian diskusi kelompok, menulis ,
dialog dan presentasi di depan teman yang lain (Suparno, 1997: 61-69).
J.

Pengaruh Konstruktivisme rerhadap Proses Mengajar

Mengajar bukanlah memindahkan pengetahuan dari pendidik ke peserta didik, tetapi


suatu kegiatan yang memungkinkan peserta didik membangun sendiri pengetahuannya.
Mengajar berarti berpartisipasi dengan peserta didik dalam membentuk pengetahuan,
membuat makna, mempertanyakan kejelasan, bersikap kritis, mengadakan justifikasi. Jadi
mengajar adalah suatu bentuk belajar sendiri. Menurut prinsip konstruktivisme, seorang
pendidik mempunyai peran sebagai mediator dan fasilitator yang membantu agar proses
belajar peserta didik berjalan dengan baik. Maka tekanan diletakkan pada peserta didik yang
belajar dan bukan pada pendidik yang mengajar. Fungsi sebagai mediator dan fasilitator ini
dapat dijabarkan dalam beberapa tugas antara lain sebagai berikut.
1. Menyediakan pengalaman belajar, yang memungkinkan pesera didik ikut
bertanggungjawab dalam membuat design, proses dan penelitian. Maka menjadi jelas
bahwa mengajar model ceramah bukanlah tugas utama seorang pendidik.
2. Pendidik menyediakan pertanyaan-pertanyaan atau memberikan kegiatan-kegiatan
yang merangsang keingintahuan peserta didik, membantu mereka untuk mencari,
membentuk pengetahuan, mengekspresikan gagasan, pendapat, sikap mereka dan
mengkomunikasikan ide ilmiahnya. Menyediakan sarana yang merangsang berpikir
peserta didik secara produktif. Menyediakan kesempatan dan pengalaman yang
mendukung belajar peserta didik. Pendidik hendaknya menyemangati peserta didik
dan bukannya sebaliknya. Pendidik perlu menyediakan pengalaman konflik.
Pengalaman konflik ini dapat berwujud pengalaman anomali yang bertentangan
dengan pemikiran atau pengalaman awal peserta didik. Pengalaman seperti ini akan
menantang peserta didik untuk berpikir mendalam.
3. Memonitor, mengevaluasi dan menunjukkan apakah pemikiran peserta didik itu jalan
atau tidak. Pendidik menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan peserta
didik berlaku untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan dengannya. Pendidik
membantu dalam mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan peserta didik (Suparno,
1997: 65-66).
Seorang pendidik hendaknya tidak melihat peserta didik sebagai tidak tahu apa-apa.
Peserta didik sudah membawa konsep-konsep, norma-norma, nilai-nilai, sikap dan pola
tingkah laku tertentu ketika mengikuti pelajaran pertama kali. Itulah pengetahuan awal yang
mereka punyai yang menjadi dasar untuk membangun pengetahuan selanjutnya. Di sini
pendidik perlu mengerti mereka sudah pada taraf mana pengetahuan mereka ( konsep, nilai,
norma, tingah laku, sikap,dll).

Pendidik perlu belajar mengerti cara berpikir peserta didik, sehingga dapat
membantu memodifikasikannya. Tanyakan kepada mereka bagaimana mereka mendapatkan
jawaban, ini cara yang baik untuk menemukan pemikiran mereka dan membuka jalan untuk
menjelaskan mengapa suatu jawaban tidak tepat untuk keadaan tertentu. Pendidik perlu
mengerti sifat kesalahan peserta didik. Perkembangan ilmu pengetahuan adalah penuh
dengan kesalahan atau error. Error adalah suatu bagian dan konstruksi semua bidang yang
tidak bisa dihindarkan. Error kerapkali menunjukkan penalaran peserta didik yang digunakan
untuk memecahkan persoalan. Pendidik perlu melihat error (Piaget,1981: 94) sebagai suatu
sumber informasi tentang penalaran mereka dan untuk mengerti sifat dari skema peserta
didik.
Kaum konstruktivis berpendapat bahwa pendidik perlu membiarkan peserta didik
menemukan cara yang paling cocok dalam memecahkan persoalan. Peserta didik kadang suka
mengambil jalan yang tidak konvensional untuk memecahkan suatu soal. Bila seorang
pendidik tidak menghargai cara penemuan mereka, ini berarti menyalahi sejarah
perkembangan ilmu, yang dimulai juga dari kesalahan. Sangat penting bahwa pendidik tidak
mengajukan jawaban satu-satunya sebagai yang benar, terlebih dalam persoalan yang
berdasarkan suatu pengalaman, seperti norma dan nilai sebagai dasar bertingkah laku. Dalam
sejarah ilmu terlihat bahwa teori-teori yang lama tidaklah salah dalam perkembangannya,
tetapi lebih dikatakan sebagai tidak dapat menjawab persoalan-persoalan baru yang muncul.
Teori-teori itu tetap dapat menjawab persoalan lama yang dihadapi waktu menemukannya.
Misalnya, teori Newton tentang gerak tidaklah salah, tetapi tidak mencukupi lagi untuk
menjawab gerak dalam dimensi mikro. Maka ditemukan teori baru yang dapat menjawabnya.
Namun sampai sekarangpun, teori Newton tetap dapat digunakan untuk menjawab persoalanpersoalan dalam dunia makro.
Dalam sistem konstruktivisme, pendidik dituntut penguasaan bahan yang luas dan
mendalam. Pendidik perlu mempunyai pandangan yang sangat luas mengenai pengetahuan
dari bahan yang mau diajarkan. Pengetahuan yang luas dan mendalam akan memungkinkan
seorang pendidik menerima pandangan dan gagasan peserta didik yang berbeda dan juga
memungkinkan untuk menunjukkan apakah gagasan peserta didik itu benar atau tidak.
Penguasaan bahan memungkinkan seorang pendidik mengerti macam-macam jalan dan
model untuk sampai kepada suatu pemecahan persoalan dan tidak terpaku kepada satu model.
Kecuali menguasai bahan, pendidik sangat perlu mengerti konteks dari bahan itu,
sehingga sangat penting untuk seorang pendidik, misalnya dosen pendidikan Pancasila,
kecuali mengerti tentang isinya juga tahu bagaimana isi itu dalam perkembangan ilmu
pengetahuan berperan. Pendidik juga perlu mengerti bagaimana pendidikan Pancasila itu
berpengaruh terhadap teknologi dan masyarakat.
Tugas pendidik adalah membantu agar peserta didik lebih dapat mengkonstruksi
pengetahuannya sesuai dengan situasinya yang konkret, maka strategi mengajar perlu
disesuaikan dengan kebutuhan dan situasi peserta didik. Bagi kaum konstruktivis, tidak ada
suatu strategi mengajar satu-satunya dan dapat digunakan di manapun dalam situasi apapun.
Strategi yang disusun, selalu hanya menjadi tawaran dan saran, tetapi bukan suatu menu yang
sudah jadi. Setiap pendidik yang baik akan mengembangkan caranya sendiri. Mengajar
adalah suatu seni yang menuntut bukan hanya penguasaan teknik, tetapi juga intuisi.

K.

Konstruktivisme dalam Pembelajaran

Salah satu prinsip paling penting dari psikologi pendidikan adalah guru tidak hanya
semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun pengetahuan
di dalam benaknya sendiri. Guru dapat membantu proses ini dengan memberikan kesempatan
kepada siswa untuk menemukan dan menerapkan ide-ide mereka untuk belajar (Nur,2000: 2).
Paradigma konstruktivisme memandang siswa sebagai pribadi yang sudah memiliki
kemampuan awal sebelum mempelajari sesuatu. Kemampuan awal tersebut akan menjadi
dasar dalam mengkonstruksi pengetahuan yang baru (Budiningsih, 2005:59).
Pendekatan konstruktivisme menghendakai siswa harus membangun pengetahuan di
dalam benaknya sendiri. Guru dapat membantu proses ini dengan cara mengajar yang
membuat informasi lebih bermakna dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk
menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide mereka. Guru dapat memberi siswa tangga yang
dapat membantu siswa mencapai tingkat pemahaman yang lebih tinggi, namun harus
diupayakan agar siswa sendiri yang memanjat tangga tersebut. Oleh karena itu agar
pembelajaran lebih bermakna bagi siswa dan pendidik maka pendekatan konstruktivisme
merupakan solusi yang baik untuk dapat diterapkan. Berikut akan dipaparkan perbedaan
pembelajaran tradisional (behavioristik) dengan pembelajaran yang konstruktivistik.
Perbedaan pembelajaran behavioristik (tradisional) dengan konstruktivistik menurut
Aqib, (2002:120), Budiningsih, (2005:63) adalah sebagai berikut.
No
Pembelajaran Tradisional
Pembelajaran Konstruktivistik
1 Kurikulum disajikan dari bagianKurikulum disajikan mulai dari
bagian menuju keseluruhan dengan keseluruhan menuju kebagian-bagian
menekankan pada keterampilan dasar dan lebih mendekatkan kepada
konsep-konsep yang lebih luas
2

Pembelajaran sangat taat pada


kurikulum yang telah ditetapkan

Pembelajaran lebih menghargai pada


pemunculan pertanyaan dan ide-ide
siswa
Kegiatan kurikuler lebih banyak
mengandalkan pada sumber-sumber
data primer dan manipulasi bahan

Kegiatan kurikuler lebih banyak


mengandalkan pada buku teks dan
buku kerja

Siswa dipandang sebagai kertas


kosong yang dapat digoresi
informasi oleh guru, dan guru
menggunakan cara didaktik dalam
menyampaikan informasi kepada
siswa

Penilian hasil belajar atau


Pengukuran proses dan hasil belajar
pengetahuan siswa dipandang sebagai siswa terjalin di dalam kesatuan
bagian dari pembelajaran dan
kegiatan pembelajaran, dengan cara
biasanya dilakukan pada akhir
guru mengamati hal-hal yang sedang
pelajaran dengan cara testing
dilakukan siswa, serta melalui tugastugas pekerjaan

Siswa dipandang sebagai pemikirpemikir yang dapat memunculkan


teori-teori tentang dirinya

Siswa-siswa biasanya bekerja sendiri- Siswa-siswa banyak belajar


sendiri, tanpa ada group proses dalam dan bekerja di dalam group proses
belajar

Memandang pengetahuan adalah


objektif, pasti, tetap, dan tidak
berubah. Pengetahuan telah
terstruktur dengan rapi
Belajar adalah perolehan
pengetahuan, sedangkan mengajar
adalah memindahkan pengetahuan

Memandang pengetahuan adalah non


objektif, bersifat temporer, selalu
berubah, dan tidak menentu

Kegagalan dalam menambah


pengetahuan dikategorikan sebagai
kesalahan yang perlu dihukum

Kegagalan merupakan interpretasi


yang berbeda yang perlu dihargai

10 Evaluasi menuntut satu jawaban


benar. Jawaban benar menunjukkan
bahwa siswa telah menyelesaikan
tugas belajar
11 Evaluasi dipandang sebagai bagian
terpisah dari kegiatan pembelajaran,
biasanya dilakukan setelah selesai
kegiatan belajar dengan menekankan
pada evaluasi individu

Belajar adalah penyusunan


pengetahuan, sedangkan mengajar
adalah menata lingkungan agar siswa
termotivasi dalam menggali makna

Evaluasi menggali munculnya berfikir


divergent, pemecahan ganda, dan
bukan hanya satu jawaban benar
Evaluasi merupakan bagian utuh dari
pembelajaran dengan cara
memberikan tugas-tugas yang
bermakna serta menerapkan apa yang
dipelajari yang menekankan pada
keterampilan proses

Alasan lain perlunya pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran adalah


pengetahuan yang akan dimiliki siswa bermula dari keaktifan siswa untuk mencari dan
menemukan. Pengetahuan tidak akan diperoleh dari siswa yang pasif. Untuk membangun
suatu pengetahuan baru, siswa akan menyesuaikan suatu pengetahuan baru dengan
pengetahuan lama yng telah dimilikinya melalaui berinterksi sosial dengan siswa yang lain.
Hal ini berbeda dengan behavioristik yang menekankan pada pola prilaku yang diulang-ulang
menjadi otomatis. Perilaku seseorang dapat dikuatkan atau dihentikan melalui ganjaran atau
hukuman. Begitu pula dengan kognitivistik yang menyatakan bahwa pengetahuan akan
diwakili oleh skema, jika informasi sesuai dengan skema akan diterima, jika tidak akan
disesuaikan atau skema yang akan disesuaikan. Jadi kognitivistik menekankan penataan
kembali struktur kognitif dimana seseorang menyimpan informasi.
Konstruktivisme berawal dari pandangan kognitivisme. Kognitivisme lebih
mementingkan proses belajar dari pada hasil belajarnya. Kognitivisme mengatakan bahwa
tingkah laku seseorang ditentukan oleh pemahamannya tentang situasi yang berhubungan
dengan tujuan belajarnya. Belajar merupakan perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak
selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku yang nampak. Pandangan kognitivisme menyatakan
bahwa belajar merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, pengolahan
informasi, emosi, dan aspek kejiwaan lainnya dimana pengetahuan yanag diterima
disesuaikan dengan struktur kognitif yang sudah dimiliki seseorang berdasarkan pengetahuan
yang sudah ada sebelumnya.

L.

Konstruktivisme dalam Pembelajaran

Kegiatan belajar adalah kegiatan yang aktif, dimana siswa membangun sendiri
pengetahuannya. Siswa mencari arti sendiri dari yang mereka pelajari, ini merupakan proses
menyesuaikan konsep-konsep dan ide-ide baru dengan kerangka berfikir yang telah ada
dalam pikiran mereka. Dalam hal ini siswa membentuk pengetahuan mereka sendiri dan guru
membantu sebagai mediator dalam proses pembentukan itu.
Proses perolehan pengetahuan akan terjadi apabila guru dapat menciptakan kondisi
pembelajaran yang ideal yang dimaksud disini adalah suatu proses belajar mengajar yang
sesuai dengan karakteristik IPA dan memperhatikan perspektif siswa sekolah dasar.
Pembelajaran yang dimaksud diatas adalah pembelajaran yang mengutamakan keaktifan
siswa, menerangkan pada kemampuan minds-on dan hands-on serta terjadi interaksi dan
mengakui adanya konsepsi awal yang dimiliki siswa melalui pengalaman sebelumnya.
Dalam pelaksanaan teori belajar konstruktivisme ada beberapa saran yang berkaitan
dengan rancangan pembelajaran yaitu sebagai berikut :
Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan pendapatnya dengan
bahasa sendiri.
Memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga
lebih kreatif dan imajinatif.

Memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru.

Memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa.

Mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka.

Menciptakan lingkungan yang kondusif.

Dari berbagai pandangan di atas, bahwa pembelajaran yang mengacu pada


pandangan konstruktivisme lebih memfokuskan pada kesuksesan siswa dalam
mengorganisasikan pengalaman mereka dengan kata lain siswa lebih berpengalaman untuk
mengonstruksikan sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi.
M.

Metode Mengajar Guru dalam Pendekatan Konstruktivisme

Pada hakikatnya pembelajaran merupakan kegiatan yang dilakukan untuk


menciptakan suasana atau memberikan pelayanan agar peserta didik belajar. Dalam
menciptakan suasana atau pelayanan, hal yang esensial bagi guru adalah memahami
bagaimana murid-muridnya memperoleh pengetahuan dari kegiatan belajarnya. Jika guru
dapat memahami proses pemerolehan pengetahuan, maka ia dapat menentukan strategi atau
metode-metode pembelajaran yang tepat bagi murid-muridnya. Terjadinya proses belajar
pada murid yang sedang belajar memang sulit untuk diketahui secara kasat mata, karena
proses belajar berlangsung secara mental. Namun, dari berbagai hasil penelitian atau
percobaan, para ahli psikologi dapat menggambarkan bagaimana proses tersebut berlangsung.
Ahli psikologi konstruktivis berpendapat bahwa proses pemerolehan pengetahuan adalah
melalui penstrukturan kembali struktur kognitif yang telah dimiliki agar bersesuaian dengan
pengetahuan yang akan diperoleh sehingga pengetahuan itu dapat diadaptasi.

Dalam proses belajar mengajar diperlukan suatu cara atau metode untuk mencapai
tujuan belajar. Menurut Hamalik (2003:2) metode mengajar adalah suatu cara, teknik atau
langkah-langkah yang akan ditempuh dalam proses belajar mengajar. Sedangkan Roestiyah
(2001:1) Metode mengajar adalah teknik penyajian yang dikuasai guru untuk mengajar atau
menyajikan bahan pelajaran kepada siswa di dalam kelas agar pelajaran tersebut dapat
ditangkap, dipahami dan digunakan oleh siswa dengan baik.
Ada berbagai metode yang dapat digunakan guru dalam kegiatan pembelajaran,
diantaranya; ceramah bervariasi, tanya jawab, diskusi, pemberian tugas, bermain peran,
karyawisata, inquiry, kerja kelompok, discovery, demonstrasi. Karena keterbatasan
kemampuan dan waktu maka tidak akan semua metode dapat digunakan. Namun yang
terpenting adalah penggunaan metode harus dikaitkan dengan situasi dan tujuan belajar yang
hendak dicapai dan ditekankan kepada keaktifan siswa dalam membangun pengetahuan.
Penerapkan pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran pada tulisan ini akan
lebih banyak menggunakan metode inquiry (menemukan) dan akan dibantu metode-metode
lain yang akan dilaksanakan secara integratif dan diperkirakan mampu dilaksanakan oleh
guru mitra peneliti dan siswa di lapangan. Penjelasan metode-metode tersebut adalah sebagai
berikut.
1.

Tanya Jawab (questioning)

Bertanya (questioning) merupakan strategi atau metode utama lainya dalam


pendekatan konstruktivisme untuk mengukur sejauh mana siswa dapat mengenali konsepkonsep pada topik pelajaran yang akan dipelajari. Bertanya dalam sebuah pembelajaran
dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan
berpikir siswa. Dalam pembelajaran yang berbasis inquiry, kegiatan bertanya merupakan
bagian yang sangat penting untuk menggali informasi, mengkonfirmasikan hal-hal yang
sudah diketahui, serta mengarahkan perhatian pada hal-hal yang belum diketahuinya.
Kegiatan bertanya sangat berguna dalam pembelajaran yang produktif seperti
dikemukakan Nurhadi (2003: 14) adalah : a) menggali informasi, baik administrasi maupun
akademis, b) mengecek pemahaman siswa, c) membangkitkan respon kepada siswa, d.
mengetahui sejauh mana keinginan siswa, e) mengetahui hal-hal yang sudah diketahui
siswa, f) memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru, g)
membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa, dan h) menyegarkan kembali
pengetahuan siswa.
2.

Penyelidikan/Menemukan (Inquiry)

Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan sebagai hasil


penyelidikan sampai kepada menemukan sendiri bukan hasil mengingat seperangkat fakta,
guru harus berusaha selalu merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan
untuk berbagai materi yang diajarkan. Metode inkuiri dalam proses pembelajaran lebih
bersifat student centered. Dalam pembelajaran seorang guru hendaknya dapat mengajarkan
bagaimana siswa dapat membelajarkan dirinya, karena siswa yang lebih banyak melakukan
kegiatan pembelajaran. Belajar dengan metode inkuiri pada dasarnya adalah cara siswa untuk
menemukan sendiri pengetahuannya.

Penggunaan metode inkuiri oleh guru akan mengurangi aktivitas guru di kelas dalam
arti tidak terlalu banyak bicara, karena aktivitas lebih banyak dilakukan oleh siswa. Guru
tidak lagi berperan sebagai pemberi pengetahuan melainkan menyiapkan situasi yang
menggiring siswa untuk bertanya, mengamati, menemukan fakta, konsep, menganalisis data
dan mengusahakan kemungkinan-kemungkinan jawaban dari suatu masalah.
Inkuiri memberikan perhatian dalam mendorong, siswa menyelidiki secara
independen, dalam suatu cara yang teratur. Melalui Inkuiri, siswa bertanya memperoleh dan
mengolah data secara logis sehingga mereka dapat mengembangkan strategi intelektual
secara umum yang mereka gunakan untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan itu. Belajar
dengan melakukan inkuiri pada dasarnya adalah cara siswa untuk menemukan sendiri, dan
karena itu Bruner menyebutnya sebagai discovery. Strategi mengajar dengan model inkuiri ini
menempatkan siswa tidak hanya dalam posisi mendengarkan, akan tetapi siswa
melibatkannya dalam pencarian intelektual yang aktif, pencarian dengan memanipulasi data
yang dikumpulkan berdasarkan pengamatan dan pengamalannya sendiri, atau oleh orang lain,
untuk dipahami dan dibermaknakan (Wiriaatmadja, 2002:137).
Metode inkuiri menekankan pada permasalahan bagaimana siswa menggunakan
sumber belajar. Sumber belajar dipakai sebagai upaya untuk mengidentifikasi masalah dan
merumuskan masalah. Peranan siswa dalam pembelajaran inkuiri adalah sebagai pengambil
inisiatif atau prakarsa dalam menemukan sesuatu untuk mereka sendiri. Dalam hal ini siswa
harus aktif menggunakan cara belajarnya sendiri, sehingga mengarah pada pengembangan
kemampuan berpikir melalui bimbingan yang diberikan oleh guru. Permasalahan dalam
inkuiri berkaitan dengan sumber belajar adalah bukan pada dari mana sumbernya, tetapi lebih
menekankan pada bagaimana siswa dan guru memanfaatkan sumber tersebut dalam proses
pembelajaran. Jadi sumber belajar harus dimanfaatkan sebagai upaya untuk mengembangkan
kemampuan mengidentifikasi masalah melalui pertanyaan-pertanyaan yang terarah pada
penjelasan masalah.
Langkah-langkah inkuiri menurut beberapa ahli diantaranya adalah; Hasan, Said
Hamid (1996 :14) : langkah-langkah inkuiri adalah :1) Perumusan masalah, 2) pengembangan
hipotesis, 3) pengumpulan data, 4) pengolahan data, 5) pengujian hipotesis, dan 6) penarikan
kesimpulan. Menurut Dahlan (1990:169) langkah-langkah inkuiri adalah 1) orientasi, 2)
hipotesis, 3) definisi, 4) eksplorasi, 5) pembuktian, 6) generalisasi. Sedangkan menurut Joyce
& Weil (2000:473-475) mengemukakan langkah-langkah inkuiri sebagai berikut :1)
penyajian masalah, 2) pengumpulan data dan verifikasi data, 3) mengadakan eksperimen dan
pengumpulan data, 4) merumuskan penjelasan, 5) mengadakan analisis tentang proses
inkuiri. Menurut Nurhadi (2003:13): adalah 1) Merumuskan masalah, 2) Mengamati dan
melakukan observasi, 3) Menganalisis dan meyajikan hasil tulisan, gambar, laporan, bagan,
tabel, dan karya lainnya, 4) Mengkomunikasikannya atau menyajikan hasil karya pada
pembaca, teman sekelas, guru, atau audien yang lain.
Sebenarnya tidak ada perbedaan yang sangat prinsipil menurut ahli tersebut tentang
langkah-langkah inkuiri. Pada intinya hampir sama, yaitu dimulai dari perumusan masalah
dan terakhir membuat kesimpulan. Dalam penelitian ini peneliti memberi makna metode
inkuiri sebagai strategi pembelajaran yang berusaha memecahkan suatu permasalahan
melalui langkah-langkah yang sistematis dan logis.
3.

Komunitas Belajar (Learning Community)

Komunitas belajar atau belajar kelompok adalah pembelajaran dengan bekerjanya


sejumlah siswa yang sudah terbagi kedalam kelompok-kelompok kecil untuk mencapai
tujuan tertentu secara bersama-sama (Moejiono,1991/1992:60). Pengembangan pembelajaran
dalam kelompok dapat menumbuhkan suasana memelihara disiplin diri, dan kesepakatan
berperilaku. Melalui kegiatan kelompok terjadi kerja sama antar siswa, juga dengan guru
yang bersifat terbuka. Belajar berkelompok dapat dijadikan arena persaingan sehat, dan dapat
pula meningkatkan motivasi belajar para anggota kelompok. Dengan pendekatan
konstruktivisme, guru melaksanakan pembelajaran dalam kelompok-kelompok belajar. Siswa
dibagi menjadi beberapa kelompok yang anggotanya heterogen. Kelompok siswa bisa sangat
bervariasi bentuknya, baik anggotanya maupun jumlahnya. Menurut Slavin (1995:4-5)
kelompok yang efektif terdiri dari empat sampai enam orang, dengan struktur kelompok
yang bersifat heterogen.
Pembelajaran dengan konsep komunitas belajar dapat berlangsung apabila ada
komunikasi dua arah. Siswa yang terlibat dalam kegiatan komunitas belajar memberi
informasi yang diperlukan oleh teman bicaranya dan sekaligus meminta informasi juga yang
diperlukan teman belajarnya. Kegiatan beIajar ini dapat terjadi apabila tidak ada pihak yang
dominan dalam berkomunikasi, tidak ada pihak yang merasa segan untuk bertanya, tidak ada
pihak yang menganggap paling tahu, semua pihak mau saling mendengarkan, pembelajaran
dengan teknik komunitas belajar ini sangat membantu pembelajaran di kelas.
Untuk pelaksanaan metode-metode tersebut berpedoman kepada langkah-langkah
yang ditentukan dalam waktu perencanaan. Langkah-langkah pelaksanaannya dapat
dilakukan sebagai berikut.
Langkah pertama, siswa didorong dan diberi motivasi agar mengemukakan
pengetahuan awalnya tentang konsep dari pokok bahasan atau sub pokok bahasan
yang akan dibahas. Guru memancing dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan
problematik tentang fenomena-fenomena yang sering ditemui sehari-hari dengan
mengaitkan konsep yang akan dibahas. Siswa di beri kesempatan untuk
mengkomunikasikan, mengilustrasikan pemahamannya tentang konsep itu. Pada
langkah ini penggunaan metode tanya jawab sangat diperlukan antara siswa dengan
guru, siswa dengan siswa yang difasilitasi oleh guru.
Langkah kedua, siswa diberi kesempatan untuk menyelidiki dan menemukan konsepkonsep dan permasalahan-permasalahan melalui pengumpulan dan pengorganisasian
dan penginterpretasian data dalam suatu kegiatan yang telah dirancang guru. Pada
tahap ini guru menggunakan metode inquiry. Secara bekerja kelompok siswa
membahas kemudian mendiskusikan temuannya dengan kelompok-kelompok lain.
Secara keseluruhan tahap ini akan memenuhi rasa keingintahuan siswa tentang topik
pelajaran yang dibahas pada saat itu.

Langkah ketiga, Siswa memberikan penjelasan dan solusi yang didasarkan pada
observasinya ditambah dengan penjelasan-penjelasan guru untuk menguatkan
pengetehuan siswa yang telah mereka bangun, maka siswa membangun pengetahuan
dan pemahaman baru tentang konsep yang sedang dipelajari. Hal ini menjadikan
siswa tidak ragu-ragu lagi tentang konsepsinya.

Langkah terakhir, guru berusaha menciptkan iklim pembelajaran yang


memungkinkan siswa dapat mengaplikasikan pemahaman konsepnya tentang topik
pelajaran saat itu.

N. Keuntungan dan Kelemahan dalam Menggunakan Model Konstruktivisme


Dalam penggunaan model konstruktivisme terdapat beberapa kelebihan dan
kekurangan. Keuntungan yang terdapat dalam penggunaan model konstruktivisme yaitu :
Dapat memberikan kemudahan kepada siswa dalam mempelajari konsep
pembelajaran.
Melatih siswa berpikir kritis dan kreatif.
Di samping memiliki beberapa keuntungan seperti yang telah diswbutkan di atas,
pembelajaran konstruktivisme juga memiliki beberapa kelemahan. Adapun kelemahan
pembelajaran konstruktivisme adalah :
Siswa mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, tidak jarang bahwa hasil konstruksi
siswa tidak cocok dengan hasil konstruksi para ilmuan sehingga menyebabkan
miskonsepsi.
Konstruktivisme menanamkan agar siswa membangun pengetahuannya sendiri, hal
ini pasti membutuhkan waktu yang lama dan setiap siswa memerlukan penanganan
yang berbeda-beda.

Situasi dan kondisi tiap sekolah tidak sama, karena tidak semua sekolah memiliki
sarana prasarana yang dapat membantu keaktifan dan kreatifitas siswa.

Banyak guru menekankan perhitungan dan bukan penalaran sehingga banyak siswa
menghafal belaka. Menurut Glasserfeld (Suparno,1997) mengajar adalah membantu
seseorang berpikir secara benar dengan membiarkannya berpikir sendiri. Jadi guru berperan
sebagai mediator dan fasilitator yang membantu agar proses belajar siswa berjalan dengan
baik. Sedangkan fungsi mediator dan fasilitator itu sendiri dapat dijabarkan dalam beberapa
tugas sebagai berikut.
Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa bertanggungjawab
dalam membuat rancangan, proses, dan penelitian.
Menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan
siswa dan membantu mereka untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya dan
mengkomunikasikan ide ilmiah mereka.

Memonitor, mengevaluasi dan menunjukkan apakah pemikiran siswa berjalan atau


tidak. Guru juga membantu mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan siswa.

Julian dan Duckworth (Suparno,1997:68) telah merangkum hal-hal penting yang


harus dilakukan seorang guru konstruktivis sebagai berikut.
Guru perlu mendengarkan secara sungguh-sungguh interpretasi murid terhadap data
yang ditemukan sambil menaruh perhatian khusus kepada keraguan, kesulitan dan
kebingungan setiap murid.
Guru perlu memperhatikan perbedaan pendapat dalam kelas dan juga memberikan
penghargaan kepada siswa.

Guru perlu menyadari bahwa ketidaktahuan siswa bukanlah suatu hal yang jelek
dalam proses belajar, karena tidak mengerti merupakan langkah awal untuk
memulai.

Peran guru dalam pembelajaran konstruktivis sangat menuntut penguasaan bahan


yang luas dan mendalam tentang bahan yang diajarkan. Pengetahuan yang luas dan
mendalam memungkinkan seorang guru menerima pandangan dan gagasan yang berbeda dari

murid dan juga memungkinkan untuk menunjukkan apakah gagasan itu jalan atau tidak.
Penguasaan bahan memungkinkan seorang guru mengerti macam-macam jalan dan model
untuk sampai pada suatu pemecahan persoalan tanpa terpaku pada satu model.
Referensi
Alit, Mahisa. 2004. Pembelajaran Konstruktivisme, Apa dan Badaimana Penerapannya di
Dalam Kelas. Cirebon: SD Negeri 2 Bungko Lor UPT Pendidikan Kecamatan Kapetakan.
Aqib, Z. 2002. Profesionalisme Guru Dalam Pembelajaran. Surabaya : Insan Cendikia.
Arsyad, Azhar. 2004. Media Pembelajaran. Jakarta: PT RajaGafindo Persada
Azwar, Saifuddin. 1999. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Yogyakarta
Blakey, Joseph. 1966. Macmillan Student Editions : Intermediate Pure Mathematics (Fourth
Edition). London: Macmillan & Co. Ltd incorporating Cleaver-Hume Press Ltd
Budiningsih, C.A. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Rineka Cipta.
Creswell, J.W,. 1998. Qualitatif Inquiry and Research Design; Chosing Among Five
Traditions : London, New Delhi : Sage Publications, Inc.
Depdiknas. 2003. Kurikulum 2004, Standar Kompetensi Mata Pelajaran Sejarah untuk
Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah. Jakarta : Depdiknas.
Esti Wuryani, Sri. 2002. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia
(Grasindo)
Esti Wuryani, Sri. 2003. Standar Kompetensi Kurikulum 2004 MataPelajaran Matematika.
Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
Hudojo, H. 1988. Mengajar Belajar Matematika. Jakarta: Depdikbud
Johanes,dkk. 2004. Kompetensi Matematika Kelas 1 SMA Semester Kedua. Jakarta:
Yudhistira
Meier, Dave. 2002. The Accelerated Learning Handbook. Bandung: Kaifa
Nurhadi,dkk. 2003. Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK. Malang:
Universitas Negeri Malang
Silberman, Mel. 1998. Active Learning (Second Edition). New Jersey: A Willey Company
Sudjana. 2002. Metode Statistika. Bandung: Tarsito Sugiyono. 2005. Statistika untuk
Penelitian. Bandung: CV Alfabeta
Suherman, Erman dkk. 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung:
JICA-Universitas Pendidikan Indonesia

Sunardi,dkk. 2004. Matematika 1B Kurikulum 2004 Kelas 1 SMA. Jakarta: Bumi Aksara
Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Jogjakarta: Kanisius
Tri Anni, Catharina. 2004. Psikologi Belajar. Semarang: UPT MKK UNNES
Tri Rahayu, Iin dkk. 2004. Observasi dan Wawancara. Malang: Bayumedia Publishing
Winataputra, Udin Saripudin. 1994. Materi Pokok Belajar dan Pembelajaran. Jakarta:
Universitas Terbuka Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
http://bagawanabiyasa.wordpress.com/2013/05/10/pembelajarankonstruktivisme/

MAKALAH
INOVASI PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Dosen Pengampu : Muhammad Prayito

Disusun Oleh :
Kelompok 1
1. Bangkit Pambudi 11310055
2. Anisa Amalia
11310083
3. Nita Apriliyani
11310089
3B

FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN


ILMU PENGETAHUAN ALAM
IKIP PGRI SEMARANG
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat serta hidayahnya , sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah tentang model pembelajaran konstruktivisme.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, diharapkan agar pembaca menberi saran dan kritik yang membangun
demi perbaikan pada penyusunan makalah yang berikutnya. Dan penulis
berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis sendiri maupun kepada
para pembaca.

Semarang, 20 September 2012


ii

DAFTAR ISI
Halaman Judul .........................................................................................
Kata Pengantar ........................................................................................
Daftar Isi ..................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................................
B. Rumusan Masalah ...................................................................................
C. Tujuan Masalah .......................................................................................

i
ii
iii
1
2
2

BAB II PEMBAHASAN
A. Perkembangan dan Definisi Konstruktivisme .........................................
B. Prinsip dan Karakteristik Konstruktivisme .............................................
C. Langkah Langkah Konstruktivisme .....................................................

3
5
10

BAB III PENUTUP


A. Simpulan .................................................................................................
B. Saran ........................................................................................................

11
11

DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada abad ke XXI ini dunia terus mengalami perubahan terus menerus. Perubahan terus
menerus terjadi untuk membentuk dunia ke arah yang lebih baik. Perubahan sangat
dibutuhkan sekali. Semua yang ada didunia ini saling memiliki keterkaitan sehingga karena
perubahan kecil dapat memberikan pengaruh yang besar bagi hal lain. Tidak heran ada
pepetah mengatakan Sedikit perubahan dapat memberikan pengaruh yang besar. Pesatnya
perkembangan zaman sampai sekarang terjadi karena setiap hari, setiap jam, sertiap detik
terjadi berbagai perubahan. Perubahan yang terjadi dalam berbagai bidang menyebabkan
dunia ini sangat bervariasi dan terdapat hal-hal yang menarik untuk diketahui. Berbaggia
bidaai bidang yang mengalaimi perkembangan misalnya, bidang IPTEK, Bidang Penelitian,
Bidang Kepemerintahan, Bidang Pendidikan dan berbagai bidang-bidang lainya.
Adanya berbagai perubahan ini bermuara pada suatu hal yaitu pada bidang Pendidikan.
Bidang Pendidikn merupakan faktor mendasar dalam berbagai hal, tidak terkecuali pada
perubahan yang terjadi di dunia ini. Terlihat sepele memang tapi semua bidang tidak akan
menngalami perubahan jika pada bidang Pendidikan sebagai hal yang paling mendasar dan
paling pokok tidak mengalami perubahan. Perubahan yang terjadi dalam Bidang Pendidikan
sangat beraneka ragam sekali. Misal, Perubahan peningkatan kualitas guru sebagai tenaga
pendidik, Perubahan Sistem Pengelolahan Administrasi Pendidikan, Perubahan pada bidang

Kurikulum. Kurikulum merupakan pokok terselenggaranya Pendidikan di Indonesia.


Perubahan Kurikulum terjadi seiring dengan Tuntutan perkembangan zaman. Dalam
Kurikulum sendiri terkandung berbagai hal yang terus mengalami inovasi yaitu Sistem
Pengajaran atau Metode Pembelajaran. Dalam Makalah ini akan dibahas secara lebih spesifik
mengenai Metode Pembelajaran dalam dunia Pendidikan.

1
2

A.
1.
2.
3.
B.
1.
2.

Rumusan Masalah
Bagaimana Perkembangan dan definisi Konstruktivisme?
Prinsip dan Karakteristik konstruktivisme?
Bagaimana proses dalam penerapan Konstruktivisme?
Tujuan Masalah
Untuk mengetahui Perkembangan dan definisi Konstruktivisme
Untuk mengetahui Prinsip dan karakteristik Konstruktivisme
Sebagai langkah menerapkan sistem konstruktivisme
BAB II
PEMBAHASAN

A. Perkembangan dan Definisi Konstruktivisme


Pendidikan berasal dari bahasa Yunani yaitu pedagogus (paedagogia), dan dalam
bahasa Latin paedogogus yang berasal dari kata paedos yaitu berarti anak dan agoge yang
berarti saya membimbing atau memimpin. Dari paedagogues, pedagoga, paedagogogus
kemudian muncul istilah pedagog yang berarti pendidikan. Pedagog yang berarti mendidik,
pedagogia yang berati yang berarti perbutan mendidik, dan paedagogiek yang berarti ilmu
pendidikan. Pendidikan dalam bahasa Inggris adalah pedagog yaitu the study of
educational goals and proceses (study tentang tujuan dan proses pendidikan). Mendidik
dalam bahasa Latin educare yang berasal dari kata e-ducare yang artinya menggiring keluar,
yang dimaksud disini adalah permuliaan manusia (Drost 2000: 1).
Dari asal kata yang terkait dengan pendidikan diatas dapat dikelompokan ke dalam
dua kategori (Komar, 2006: 45), yaitu: konsep pedagogic yang memiliki arti cara untuk
mempengaruhi anak agar mencapai tingkat kedewasaan yaitu melalui pendidikan informal
dan yang kedua adalah konsep education yang berarti cara memperoleh pengetahuan
disekolah yaitu dengan pendidikan formal seperti pengajaran. Pendidikan fungsionalis
menurut Poerbakawatja dan Harahap (1982: 115) adalah suatu usaha untuk menentukan
struktur dari pendidikan atas dasar fungsi-fungsi hidup dimasa sekarang dan masa depan.
Dalam UUSPN No.20 tahun 2003 menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Pendidikan selama ini terus mengalami pembaharuan untuk menciptakan berbagai


metode yang berguna bagi perkembangan zaman untuk memenuhi tuntutan manusia yang
semakin hari semakin bermacam dengan berbagai tipe. Tingkat kebutuhan ini menjadikan
masyarakat melakukan perubahan kearah yang lebih baik. Pada bidang Pendidikan sendiri
mengandung berbagai bidang yang terus mengalami kemajuan, misalnya dalam bidang
Pendidikan mengandung Kurikulum yang terus berganti mengikuti tuntutan perkembangan
zaman sehingga sistem Pendidikan mengalami Kemajuan, bidang lain misalnya Kualitas
seorang Pengajar. Kurikulum yang berlaku sekarang ini merupakan bentuk terbaru dari
pengembangan kurikulum Berbasis Kompetensi yang menekankan pada guru untuk semakin
gencar berupaya menggairahkam kembali dunia Pendidikan khususnya yang berkaitan
dengan proses pembelajaran. Berbagai penelitian diadakan untuk memajukan dunia
Pendidikan. Dalam Penelitian itu digunakan berbagai metode pendekatan misalnya metode
Konstruktivisme.

3
4
Paradigama baru lebih menekankan pada peserta didik sebagai manusia yang
memiliki potensi untuk belajar dan berkembang. Siswa harus aktif dalam mencari dan
pengembangan pengetahuan. Kebenaran ilmu tidak terbatas pada apa yang disampaikan oleh
guru. Guru harus mengubah peranannya, tidak lagi sebagai pemegang otoritas tertinggi
keilmuan dan indoktriner, tetapi menjadi fasilitator yang membimbing siswa kearah
pembentukan pengetahuan oleh diri mereka sendiri (Zamroni: 2000).
Piaget (1973) dengan Teori Konstrktivismenya menyatakan bahwa setiap individu
menciptakan makna dan pengertian baru, berdasarkan interkasi antara apa yang telah
dimiliki, diketahui,dan dipercayai dengan fenomena, pendapat, atau informasi baru yang
dipelajari. Menurutnya, setiap peserta didik membawa pengertian dan pengetahuan awal yang
sudah dimiliki kedalam proses belajar yang harus ditambahkan, dimodifikasi, diperbarui,
direvisi, dan diubah oleh informasi baru yang dijumpai dalam proses belajar. Secara umum
konstrktivisme yaitu mendorong kolaborasi, kegiatan pendahuluan dan eksplorasi, dan
menekankan pemecahan masalah otentik (Gupta, 2008).
Menurut Glasersfeld (1987) konstruktivisme sebagai teori pengetahuan dengan akar
dalam filosofi, psychology, dan cybernetics. Von Glasersfeld mendefinisikan
konstruktivisme radikal selalu membentuk konsepsi Pengetahuan. Ia melihat Pengetahuan
sebagai sesuatu hal yang dengan aktif menerima apapun melalui pemikiran sehat atau melalui
komunikasi. Hal ini secara aktif terutama membangun pengetahuan. Sedangkan menurut
Murpy(1997: 7) kontruktivisme terdiri dari suatu jaringan sesuatu hal dan berhubungan
bahwa kita hidup bersandar pada hidup kita, and yang lain pun sama terhadapnya, kita
percaya, orang lain juga bersandar juga. Dalam hal ini siswa menginterpretasikan dan
membangun suatu kenytaan berdasarkan pada interaksi dan pengalamannya dengan
lingkungannya.
Dari keterangan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa teori ini memberikan keaktifan
terhadap seseorang untuk belajar menemukan sendiri kompetensi, pengetahuan atau
teknologi, dan hal lain yang diperlukan guna mengembangkan dirinya sendiri.
Adapun tujuan dari teori ini adalah:
a. Adanya motivasi untuk seseorang bahwa belajar adalah tanggung jawab seseorang itu
sendiri.

b. Mengembangkan kemampuan seseorang untuk mengejukan pertanyaan dan mencari sendiri


pertanyaannya.
c. Membantu seseorang untuk mengembangkan pengertian dan pemahaman konsep secara
lengkap.
d. Mengembangkan kemampuan seseorang untuk menjadi pemikir yang mandiri.
Lebih menekankan pada proses belajar bagaimana belajar itu.
5

A. Prinsip dan Karakteristik Konstruktivisme

1.

2.
3.

4.

5.

6.

Belajar merupakan proses konstruksi pengetahuan melalui keterlibatan fisik dan


mental seseorang secara aktif, dan juga merupakan proses asimilasi dan menghubungkan
bahan yang dipelajari dengan pengalaman-pengalaman yang dimiliki seseorang sehingga
pengetahuannya mengenai objek tertentu menjadi lebih kokoh. Semua pelajar benar-benar
mengkonstruksikan pengetahuan untuk dirinya sendiri, dan bukan pengetahuan yang datang
dari guru diserap oleh murid. Ini berarti bahwa setiap murid akan mempelajari sesuatu yang
sedikit berbeda dengan pelajaran yang diberikan (Muijs dan Reynolds, 2008:97).
Selanjutnya Muijs dan Reynolds (2008:97) mengemukakan bahwa murid adalah
konstruktor pengetahuan aktif yang memiliki sejumlah konsekuensi yaitu :
Belajar selalu merupakan sebuah proses aktif.
Pelajar secara aktif mengkonstrusikan belajarnya daru berbagai macam input yang
diterimanya. Ini menyiratkan bahwa belajar harus bersikap aktif agar dapat belajar secara
efektif. belajar adalah tentang membantu murid untuk mengkonstruksikan makna mereka
sendiri, bukan tentang mendapatkan jawaban yang benar karena dengan cara seperti ini
murid dilatih untuk mendapatkan jawaban yang benar tanpa benar-benar memahami
konsepnya.
Anak-anak belajar paling baik dengan menyelesaikan berbagai konflik kognitif (konflik
dengan berbagai ide dan prakonsepsi lain) melalui pengalaman, refleksi dan metakognisi
(Beyer, 1985)
Bagi konstruktivis, belajar adalah pencarian makna. murid secara aktif berusaha
mengkonstruksikan makna. Dengan demikian, guru mestinya berusaha mengkonstruksi
berbagai kegiatan belajar di seputar ide-ide besar eksplorasi yang memungkinkan murid
untuk mengkonstruksi makna
Konstruksi pengetahuan bukan sesuatu yang bersifat individual semata. Belajar juga
dikonstruksikan secara sosial, melalui interaksi dengan teman sebaya, guru, orang tua, dan
sebagainya. Dengan demikian yang terbaik adalah mengkonstruksikan siatuasi belajar secara
sosial, dengan mendorong kerja dan diskusi kelompok
Elemen lain yang berakar pada fakta bahwa murid secara individual dan kolektif
mengkonstruksikan pengetahuan. Agar efektif guru harus memiliki pengetahuan yang baik
tentang perkembangan anak dan teori belajar, sehinggga mereka dapat menilai secara akurat
belajar seperti apa yang dapat terjadi
Belajar selalu dikonseptualisasikan. Kita tidak mempelajari fakta-fakta secara abstrak, tetapi
sealalu dalam hubungannya dengan apa yang telah kita ketahui.
6

1.

2.

a.
b.
c.

Belajar secara betul-betul mendalam berarti mengkonstruksikan pengetahuan secara


menyeluruh, dengan mengeksplorasi dan menengok kembali materi yang kita pelajari dan
bukan dengan cepat pindah satu topik ke topik lain. Murid hanya dapat mengkonstruksikan
makna bila mereka dapat melihat keseluruhannya, bukan hanya bagian-bagiannya
Mengajar adalah tentang memberdayakan pelajar, dan memungkinkan pelajar untuk
menemukakan dan melakukan refleksi terhadap pengalaman-pengelaman realistis. Ini akan
menghasilkan pembelajaran yang otentik/asli dan pemahaman yang lebih dalam
dibandingkan dengan memorisasi permukaan yang sering menjadi ciri pendekatanpendekatan mengajar lainnya (Von Glaserfelt, 1989). Ini juga membuat kaum konstruktivis
percaya bahwa lebih baik menggunakan bahan-bahan hands-on daripada tekxbook
Suparno (1997) mengidentifikasi 3 prinsip kontruktivisme dalam belajar yakni sebagai
berikut:
pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri baik secara personal maupun sosial,
pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari pengajar kepada pebelajar, kecuali dengan
keaktifan siswa itu sendiri untuk menalar,
pengajar sekedar membantu pebelajar dengan menyediakan sarana dan situasi agar proses
konstruksi pebelajar berlangsung secara efektif dan efisien.

Sedangkan Jacqueline Grennon Brooks dan Martin G. Brooks dalam The case for
constructivist classrooms. (1993) menawarkan lima prinsip kunci konstruktivist teori belajar.
Menurutnya terdapat lima panduan prinsip konstruktivisme:
Prinsip 1: Permasalahan yang muncul sebagai hal yang relevan dengan siswa.
Dalam banyak contoh, masalah style Anda mengajar mungkin akan menjadi relevan dengan
selera untuk para siswa, dan mereka akan mendekatinya, merasakan keterkaitannya kepada
kehidupan mereka.
Prinsip 2: Struktur belajar di sekitar konsep-konsep utama
Mendorong para siswa untuk membuat makna dari bagian-bagian yang menyeluruh/utuh ke
dalam bagian-bagian yang terpisah-pisah. Hindari mulai dengan bagian-bagian dahulu untuk
membangun kemudian sesuatu yang "menyeluruh/utuh."
7
Prinsip 3: Carikan dan hargai poin-poin pandangan siswa sebagai jendela memberi alasan
mereka.
Tantangan gagasan dan pencarian elaborasi yang tepat ditangkap siswa, sering mengancam
banyak siswa. Maksudnya adalah bahwa sering para siswa di dalam kelas yang secara
tradisional mereka tidak bisa menduga serta menghubungkan apa yang guru maksudkan
untuk jawaban yang benar dan cepat, agar ia tidak berada di luar topik dari diskusi kelas yang
diadakan. Mereka harus betul-betul "masuk" dan sibuk ikut mengkaji tugas-tugas dalam
belajar sebagai konstruktivis lingkungan melalui petanyaan-peranyaan, sanggahan, ataupun
jawaban yang diajukan.
Prinsip 4. Sesuaikan pembelajaran dengan perkiraan menuju pengembangan siswa.
Memperkenalkan topik kajian pengembangan dengan tepat atau sesuai, adalah suatu awal
yang baik untuk dapat dipahami pengembangan konsep berikutnya
Prinsip 5; Nilai hasil belajar siswa dalam konteks pembelajaran.
Geser atau ubah peniaian itu harus benar-benar sedang menilai apa yang benar-benar sedang
terjadi saat penilaian itu. Berlangsung, dan jangan sekali-kai menilai itu dalam kebiasaan skor

yang diperoleh seseorang dari waktu ke waktu. Ekspresi Anda bisa bervariasi, kadang-kadang
optimis, periang, namun sesekali bisa pesimis, sedih, maupun marah. Namun peru diingat
marahnya seorang guru dalam kerangka sedang mendidik, dalam konteks pembelajaran,
bukan marah mengekspresikan kekesalan.
Ketiga prinsip di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara aktif
dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui
lingkungannya. Dalam hal ini, Funston (1996) lebih spesifik mengatakan bahwa seseorang
akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari kepada apa yang telah
diketahui orang lain. Oleh karena itu, untuk mempelajari suatu materi yang baru, pengalaman
belajar yang lalu dari seseorang akan mempengaruhi proses belajar tersebut.

1.
2.
3.
4.

Berdasarkan uraian diatas maka secara umum ada empat prinsip dasar konstruktivisme
dalam pembelajaran :
Pengetahuan terdiri atas konstruksi masa silam
Pengkonstruksian pengetahuan terjadi melalui proses asimilasi dan akomodasi.
Belajar merupakan suatu proses organic penemuan lebih dari proses mekanik yang
akumulatif.
Mengacu pada mekanisme yang memungkinkan terjadinya perkembangan struktur kognitif.
Belajar bermakna, akan terjadi melalui proses refleksi dan resolusi konflik.

1.

2.

Implikasi prinsip-prinsip belajar tersebut dalam proses pembelajaran diantaranya


bahwa mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari pembelajar kepada
pebelajar, melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan pembelajar membangun sendiri
pengetahuannya sendiri, mengajar berarti berpartisipasi dengan pelajar dalam membentuk
pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan
justifikasi. Dasar pemikiran seperti ini menjadikan teori konstruktivistik sebagai landasan
teori-teori belajar yang pernah ada, seperti teoru perubahan konsep, teori belajar bermakna
dan teori skema. Dari penjelasan ini tergambar bahwa konstruktivisme merupakan teori yang
berlandaskan pada pembelajaran siswa dalam membentuk pengetahuannya sendiri dan guru
sebagai mediator dan fasilitator yang relevan.
Oleh karena itu, paradigma konstruktivistik memandang siswa sebagai pribadi yang
sudah memiliki kemampuan awal sebelum mempelajari sesuatu. Kemampuam awal tersebut
akan menjadi dasar dalam mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Untuk itu, guru dituntut
untuk memahami jalan pikiran atau cara pandang siswa dalam belajar. guru tidak dapat
mengklaim bahwa satu-satunya cara yang tepat adalah yang sama dan sesuai dengan
kemampuannya
Karakteristik belajar dengan pendekatan konstruktivisme menurut Slavin (1997) ada
4 yaitu:
Proses Top-Down, yang berarti bahwa siswa mulai dengan masalah-masalah yang kompleks
untuk dipecahkan dan selanjutnya memecahkan atau menemukan (dengan bantuan guru)
ketrampilan-ketrampilan dasar yang diperlukan. Sebagai contoh siswa dapat diminta untuk
menuliskan suatu susunan kalimat, dan baru kemudian belajar tentang mengeja, tata bahasa,
dan tanda baca.
Pembelajaran kooperatif yaitu siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsepkonsep yang sulit jika mereka saling mendiskusikan masalah tersebut dengan temanya.

3.
4.

Generative learning (pembelajaran generatif) yaitu belajar itu ditemukan meskipun apabila
kita menyampaikan sesuatu kepada siswa, mereka harus melakukan operasi mental dengan
informasi itu untuk membuat informasi masuk kedalam pemahaman mereka.
Pembelajaran dengan penemuan yaitu, siswa didorong untuk belajar sebagian besar melalui
keterlibatan aktif mereka sendiri dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, dan guru
mendorong siswa untuk memiliki pengalaman dan melakukan percobaan yang mmungkinkan
mereka menemukan prinsip-prinsip untuk diri mereka sendiri.

9
CIRI-CIRI PEMBELAJARAN SECARA KONSTUKTIVISME
Adapun ciri ciri pembelajaran secara kontruktivisme adalah
1. Memberi peluang kepada murid untuk mendapatkan pengetahuan baru melalui proses
terlibat secara langsung
2. Menggunakan idea yang dimiliki setiap siswa untuk bisa mengembangkan dirinya
sendiri
3. Pembelajaran dilakukan sesuai dengan minat siswa
4. Idea siwa merupakan proses belajar siswa untuk mencapai tujuan
5. Mengembangkan potensi dan kreatifitas siswa
6. Dalam proses pembelajaran siwa berinteraksi aktif dengan guru
7. Menganggap pembelajaran sebagai suatu proses yang penting sehingga sesuai dengan
hasil pembelajaran.
8. Menggalakkan proses inkuiri murid melalui kajian dan eksperimen.
KELEBIHAN DAN KELEMAHAN TEORI KONSTRUTIVISME
1. Kelebihan
a.
b.
c.
d.
e.

Menjadikan siswa berfikir tentang pengetahuan baru, bias menyeesaikan masalah, dan bias
berfikir dan membuat keputusan
Menjadikan siswa paham dengan materi yang disampaikan
Siswa mempunyai nilai tambah yang lebih yaitu bisa mengingat materi yang disampaikan
karena siswa sendiri yang aktif
Meletih untuk berinteraksi social seperti dengan teman kelompok, dan guru
Karena siswa terlibat secara terus, mereka akan paham, ingat, yakin dan berinteraksi dengan
lingkungannya, maka mereka akan berasa meningkatkan belajar untuk membina pengetahuan
baru.
2. Kelemahan
Kekurangan atau kelemahan dalam suatu penerapan metode pembelajaran tergantung
pada guru sebagai pelaksana metode. Pada metode kontruktivisme guru berperan hanya
sebagai pendukung bukan sebagai hal utama. Fokus konstruktivisme hanya ketika proses
pembelajaran itu terjadi.

10

A. Langkah-langkah Konstruktivisme
Pada bagian ini akan dibahas proses belajar dari pandangan kontruktifistik dan dari
aspek-aspek siswa, peranan guru, sarana belajar, dan evaluasi belajar.
1.

2.

3.

4.

5.

Proses belajar kontruktivistik secara konseptual proses belajar jika dipandang dari
pendekatan kognitif, bukan sebagai perolehan informasi yang berlangsung satu arah dari luar
kedalam diri siswa kepada pengalamannya melalui proses asimilasi dan akomodasi yang
bermuara pada pemuktahiran struktur kognitifnya. Kegiatan belajar lebih dipandang dari segi
rosesnya dari pada segi perolehan pengetahuan dari pada fakta-fakta yang terlepas-lepas.
Peranan siswa. Menurut pandangan ini belajar merupakan suatu proses pembentukan
pengetahuan. Pembentukan ini harus dilakukan oleh si belajar. Ia harus aktif melakukan
kegiatan, aktif berfikir, menyusun konsep, dan memberi makna tentang hal-hal yang sedang
dipelajari. Guru memang dapat dan harus mengambil prakarsa untuk menata lingkungan yang
memberi peluang optimal bagi terjadinya belajar. Namun yang akhirnya paling menentukan
adalah terwujudnya gejala belajar adalah niat belajar siswa itu sendiri.
Peranan guru. Dalam pendekatan ini guru atau pendidik berperan membantu agar proses
pengkontruksian pengetahuan oleh siswa berjalan lancar. Guru tidak mentransferkan
pengetahuan yang telah dimilikinya, melainkan membantu siswa untuk membentuk
pengetahuannya sebdiri.
Sarana belajar. Pendekatan ini menekankan bahwa peranan utama dalam kegiatan belajar
adalah aktifitas siswa dalam mengkontruksi pengetahuannya sendiri. Segala sesuatu seperti
bahan, media, peralatan, lingkungan, dan fasilitas lainnya disediakan untuk membantu
pembentukan tersebut.
Evaluasi. Pandangan ini mengemukakan bahwa lingkungan belajar sangat mendukung
munculnya berbagai pandangan dan interpretasi terhadap realitas, kontruksi pengetahuan,
serta aktifitas-aktifitas lain yang didasarkan pada pengalaman.

BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Memberikan keaktifan terhadap seseorang untuk belajar menemukan sendiri kompetensi,
pengetahuan atau teknologi, dan hal lain yang diperlukan guna mengembangkan dirinya
sendiri.
Ada empat prinsip dasar konstruktivisme dalam pembelajaran :
a.
Pengetahuan terdiri atas konstruksi masa silam
b.
Pengkonstruksian pengetahuan terjadi melalui proses asimilasi dan akomodasi.
c.
Belajar merupakan suatu proses organic penemuan lebih dari proses mekanik yang
akumulatif.
d.
Mengacu pada mekanisme yang memungkinkan terjadinya perkembangan struktur kognitif.
Belajar bermakna, akan terjadi melalui proses refleksi dan resolusi konflik.
dalam menerapkan metode konstruktivisme ada 7 langkah

B. Saran
Dalam dunia pendidikan proses lebih diutamakan dari pada hasil walaupun
nantinya kita akan menuju puncak dari suatu hasil.

Seharusnya model pembelajaran konstruktivisme diterapkan dalam dunia


pendidikan di Indonesia supaya dapat meningkatkan mutu pendidikan agar lebih
baik.
11

DAFTAR PUSTAKA
Drost S.J.J. 2006. Dari KBK (Kurikulum Bertujuan Kompetensi) sampai MBS
(Manajemen Berbasis Sekolah): Esai-esai Pendidikan. Jakarta : Penerbit Buku
Kompas. Halaman 3-8.
Glasersfeld, Von. 1988. Cognition, Construction of Knowledge, and Teaching. Washington
DC : National Science Foundation.
Grupta, A. 2008. Construction and Peer Collaboration in Elementary Mathematics
Education: The Connection to Estimology. Eurasia Journal of Mathematics, vol
4, no.4,381-386.
Mujis dan Reynold. 2008. Effective Teaching: Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka
Belajar.
Piaget, J.1973. The Child and Reality (W.Mays, Trans). London : Routledge dan Kegan
Paul.
Slavin, R.E. 1994. Education Psychology: Theory and Practice (4 th Edition).
Boston:Allyn and Bacon.
Suparno, P. 1997. Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
Wadsworth, Piagets.1989. Theory of Cognitive and Affective Development (4 th.) New
York : Logman.
Zamroni. 2000. Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta : Bigraf Publishing.
http://3bkelompok1konstruktivisme.blogspot.com/

Pembelajaran Matematika Menurut Pandangan Konstruktivis


Menurut Doolitle dan Camp (dalam Rochmad, 2008) inti dari pandangan konstruktivis adalah
siswa aktif memahami dan membangun pengetahuan sendiri berdasar pengalamannya.
Konstruktivis juga dapat diartikan sebagai suatu pandangan dalam memperoleh pemahaman
terhadap suatu pengetahuan yang dilakukan dengan cara aktif mengkontruksi pengetahuan
sendiri berdasarkan pengalaman orang itu sendiri. Untuk mengkonstruksi pengetahuan
tersebut dapat dilakukan secara mandiri atau melalui interaksi sosial.
Grows (dalam Ardana, dkk, 2000) berpendapat bahwa pembelajaran matematika menurut
pandangan konstruktivis dapat membantu siswa untuk membangun konsep-konsep atau
prinsip-prinsip matematika dengan kemampuannya sendiri melalui proses internalisasi,
sehingga dengan konsep atau prinsip itu akan terbangun kembali transformasi informasi yang
diperoleh menjadi konsep atau prinsip baru. Paham konstruktivisme memandang proses
pendidikan bukan sebagai upaya mentransfer pengetahuan kepada anak didik. Hal itu
dikarenakan, setiap individu memiliki pengetahuan awal, minat, strategi, dan proses kognitif
yang berbeda, sehingga suatu informasi yang sama belum tentu dipersepsi sama oleh semua
individu. Pengetahuan bukan sesuatu yang diserap secara pasif oleh seorang siswa, melainkan
sesuatu yang diciptakan secara aktif oleh siswa.
Peran guru di sini adalah membantu siswa untuk membentuk pengetahuannya. Pembelajaran
dengan filosofi konstruktivisme mengutamakan peran siswa serta mengutamakan
pembentukan pengetahuan pada diri siswa. Dengan dibiasakannya siswa berpikir mandiri dan
mempertanggungjawabkan pemikirannya, siswa terlatih untuk menjadi pribadi yang mandiri,
kritis, kreatif, dan rasional. Untuk itu, pengetahuan harus dibangun oleh peserta didik secara
mandiri berdasarkan pengalaman atau pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Dalam
pandangan konstruktivis, strategi memperoleh lebih diutamakan dibandingkan seberapa
banyaknya peserta didik memperoleh dan mengingat pengetahuan. Untuk itu tugas guru
adalah memfasilitasi proses tersebut dengan menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan
bagi peserta didik, memberikan kesempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya
sendiri dan menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar.
Adapun mekanisme belajar menurut pandangan konstruktivis yaitu mengikuti tahapantahapan sebagai berikut.
1. Siswa secara aktif mengamati dan memiliki beberapa masukan sensori dalam
lingkungannya.
2. Pengetahuan awal (prior knowledge) siswa sangat berpengaruh dalam menentukan
masukan sensori yang akan diikuti dan dipilihnya.
3. Masukan sensori baru yang diikuti dan dipilihnya tidak segera mempunyai makna
bagi siswa.
4. Siswa menyusun hubungan-hubungan antara masukan sensori baru dan ide-ide yang
telah ada pada dirinya yang dipandang relevan.
5. Siswa menkonstruksi makna dari hubungan-hubungan antara data sensori baru dan
pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya.

6. Siswa menguji makna-makna yang telah dibangun yang berlawanan dengan memori
dan pengalaman yang dirasakan.
7. Siswa mungkin memasukkan konstruksi-konsruksi baru kedalam salah satu memori
dengan sadar menghubungkan pada gagasan-gagasan yang telah ada.
8. Siswa akan meletakkan beberapa status pada konstruksi baru dan akan menolak atau
menerimanya.
Tasker (dalam Subariyati, 2003:11)
Lebih spesifik, pembelajaran matematika dalam pandangan konstruktivis memiliki ciri-ciri
sebagai berikut.
1. Siswa terlibat aktif dalam belajarnya, karena mereka belajar materi matematika secara
bermakna dengan bekerja dan berpikir.
2. Informasi baru harus dikaitkan dengan informasi lain, sehingga menyatu dengan
skemata yang dimiliki siswa agar pemahaman terhadap informasi yang lebih
kompleks terjadi.
3. Orientasi pembelajaran adalah investigasi dan penemuan.
Dengan demikian, belajar matematika menurut pandangan konstruktivis adalah suatu proses
pembentukan pengetahuan melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh siswa selama
kegiatan pembelajaran itu berlangsung. Agar kegiatan pembelajaran berlangsung secara
efektif, guru sebagai fasilitator dituntut untuk bisa mengkondisikan pembelajaran secara
maksimal, sehingga siswa mampu belajar sesuai dengan kemampuannya masing-masing.

http://matematikablendedlearning.blogspot.com/2010/11/pembelajaranmatematika-menurut.html

Anda mungkin juga menyukai