Topik:
TEORI PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK
1. Empirisme
Teori empirisme bertolak dari tradisi Lockean yang lebih mementingkan
stimulasi eksternal dalam perkembangan manusia termasuk dalam proses
pendidikan. Teori yang dipelopori oleh John Locke ini berpendapat bahwa
perkembangan anak tergantung dari pengalamannya, sedangkan pembawaannya
tidak penting. John Lokce merintis aliran baru yang dikenal dengan teori “Tabula
Rasa” yang beranggapan bahwa anak terlahir ke dunia bagaikan kertas putih.
Istilah lain dari empirisme adalah enviromentalisme sebab aliran ini menekankan
pengalaman empiris yang berupa rangsangan-rangsangan yang berasal dari
lingkungan (environment).
Teori ini oleh pemikir-pemikir berikutnya banyak dikritik dan dikoreksi karena
teori ini dianggap berat sebelah yang hanya mementingkan faktor pengalaman
semata tanpa memperhatikan faktor bakat individu. Beberapa tokoh yang
mengkoreksi teori empirisme namun masih mengikuti prinsip teori ini bahwa
manusia adalah makhluk yang pasif dan dapat dimanipulasi melalui modifikasi
tingkah laku adalah B.F. Skinner, Ivan Pavlov, Thorndike dan J.B. Watson.
Pandangan yang menekankan peranan stimulus (rangsangan) terhadap perilaku
seperti “Classical conditioning“ atau “respon learning” oleh Pavlov (1849-1936)
di Rusia dan Watson (1878-1958) di Amerika Serikat. Pandangan yang
menekankan peranan dari dampak ataupun balikan dari perilaku seperti dalam
“operant conditioning” atau “instrumental learning” dari Thorndike (1874-1949)
87
dan Skinner di Amerika Serikat. Pandangan yang menekankan pengamatan dan
imitasi seperti dalam “observational learning” yang dipelopori oleh Miller dan J.
Dollard dengan “social learning and imitation” yang kemudian dikembangkan
lebih lanjut oleh Bandura dengan “Participant Modeling“ (diterbitkan tahun
1976) maupun “Self Effcienceacy” (diterbitkan tahun 1982).
2. Nativisme
Teori Nativisme dipelopori oleh Schopenhauer (1788-1860) yang berpendapat
bahwa bayi manusia sejak lahir sudah dikaruniai bekal bakat dan potensi baik dan
buruk. Sehingga anak sudah membawa bakat atau potensinya sendiri-sendiri.
Sedangkan faktor eksternal yang berupa pengalaman sebagaimana disebutkan oleh
teori Empirisme, dianggap tidak akan mempengaruhi. Menurut teori Nativisme
ini, anak yang sudah membawa potensi jahat nantinya akan menjadi manusia
jahat, sebaliknya anak yang membawa potensi baik akan menjadi baik pula. Oleh
karena itu, yang akan menentukan pertumbuhan dan perkembangan manusia
adalah faktor dari dalam yaitu potensi baik buruk tersebut, sedangkan faktor luar
(pengalaman lingkungan) tidak akan mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangannya.
Istilah Nativisme berasal dari kata native yang berarti adalah terlahir. Yaitu
terlahir dengan bekal tertentu yang berupa aneka potensi. Sehingga teori nativisme
merupakan teori yang menganggap bahwa pertumbuhan dan perkembangan
individu semata mata ditentukan oleh faktor pembawaannya yaitu aneka potensi.
3. Naturalisme
Teori ini hampir sama dengan aliran nativisme di atas, karena keduanya sama-
sama berasumsi bahwa anak terlahir sudah memiliki pembawaan. Teori
Naturalisme dipelopori oleh Jean Jaques Rousseau (1712-1778) yang berpendapat
bahwa anak sejak lahir sudah membawa potensi baik. Adapun akhirnya ia menjadi
jahat disebabkan oleh pengaruh-pengaruh negatif dari masyarakat yang memang
sudah rusak atau jahat.
Agar anak tetap menjadi baik dan tidak berubah menjadi jahat, maka anak
tersebut sejak kecil harus dipisahkan dari pengaruh masyarakat. Karena
masyarakat pada dasarnya sudah berubah menjadi berwatak jahat, bobrok, sarang
dari banyak kriminalitas, korupsi, dan lain-lain. Oleh karena itu, supaya anak tidak
terpengaruh dengan semua kejelekan itu, maka anak harus dijauhkan dari
masyarakat. Akibat pandangan yang begitulah maka aliran Naturalisme dari J.J.
Rousseau ini juga dikenal dengan teori Negativisme.
Dalam bukunya yang berjudul Emile, J.J. Rousseau menceritakan bagaimana
pendidikan harus dilakukan oleh seorang pendidik kepada peserta didik secara
individual dengan cara menjauhkan peserta didik dari segala keburukan
masyarakat yang serba dibuat-buat (artificial) sehingga segenap potensi kebaikan
pada diri anak sebagai peserta didik bisa berkembang secara bebas, alamiah, dan
spontan.
4. Konvergensi
Teori ini mencoba untuk mensintesiskan teori-teori yang telah disebut di atas.
Teori yang dipelopori oleh William Stern (1871-1939) ini beranggapan bahwa
pertumbuhan dan perkembangan individu di samping dipengaruhi oleh faktor-
faktor internal yaitu potensi yang dibawa sejak lahir juga dipengaruhi oleh
pengalaman. Faktor internal (sebagaimana dijelaskan oleh Nativisme dan
Naturalisme) serta faktor eksternal (sebagaimana dituturkan oleh Empirisme)
sama-sama memperoleh peranan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan
anak.
Teori ini disebut sebagai teori konvergensi dikarenakan menggabungkan
aliran–aliran sebelumnya menjadi memusat ke satu titik (konvergen). Oleh karena
itu, implikasi dari teori itu adalah: (1) pendidikan mungkin dilaksanakan; (2)
pendidikan diartikan sebagai pertolongan yang diberikan lingkungan kepada anak
didik untuk mengembangkan potensi yang baik dan mencegah potensi yang buruk
atau kurang baik; dan (3) yang membatasi pendidikan adalah pembawaan dan
lingkungan.
Namun demikian, teori konvergensi dianggap para ahli masih menyisakan
permasalahan karena teori ini dianggap tidak bisa menjelaskan lebih lanjut
dinamika perkembangan pasca pertemuan dua faktor bawaan dan lingkungan.
Untuk itu, Jean Piaget mengembangkan teori interaksi dari Jean Piaget dengan
penjelasan sebagaimana gambar sebagai berikut:
Gambar-1
Dinamika Perkembangan Anak
Dalam hal ini Piaget ingin menjelaskan bahwa pribadi seseorang/ peserta didik
yang semula masih belum berkembang dengan dilambangkan F.G. kemudian
mengalami perkembangan menjadi yang lebih baik yang dilambangkan dengan
P1, P2, P3 dan seterusnya setelah secara terus menerus berinteraksi dengan
lingkungan yang dilambangkan dengan F.G.
Variasi pemikiran dalam teori interaksi adalah munculnya teori Norm of
Reaction. Menurut Hirsch, tokoh pemikir teori ini, bahwa genotype merupakan
bagian sifat bawaan yang potensial dan tidak langsung kelihatan. Ia merupakan
rentang potensi (range of potential outcomes). Genotype dapat berkembang
tergantung dari faktor lingkungan dan timing terjadinya interaksi antara keduanya.
Genetik menentukan batas sosial seseorang. Adapun hasil perkembangan
seseorang dapat bergerak ke arah batas atas atau batas bawah. Tokoh teori
konvergensi yang bernama William Stern, menyebut teori ini dengan istilah
rubber band hypothesis.
Pada bagian lain tokoh lain seperti Lerner dan Spanier menyebut bahwa
perkembangan yang dialami oleh peseta didik sebagai interaksi dinamis antara
empat bidang, yaitu: historis, biologis, psikologis, dan sosiokultural. Sedangkan
Bandura menyebut perkembangan tersebut merupakan hasil interaksi dinamis
antara tiga bidang yang mencakup: B (behavior), E (environment), dan P (person).
Menyimak argumentasi dari teori konvergensi dengan pengembangannya
inilah, dalam dunia pendidikan teori ini telah dianut oleh banyak kalangan. Serta
berangkat dari teori ini akhirnya banyak muncul variasi-variasi strategi dalam
pelaksanaan pendidikan dan pembelajaran. Seperti yang dijelaskan oleh Umar
Tirtarahardja dan La Sulo (1994) aneka variasi strategi tersebut dikenal dengan
nama strategi disposisional, strategi fenomenologis, strategi behavioral, dan
strategi psikodinamik.
Teori perkembangan fisik peserta didik dikemukakan oleh Gasell dan Ames
(1940) serta Illingsworth (1983). Perkembangan fisik mencakup berat badan,
tinggi badan, termasuk perkembangan motorik. Dalam pendidikan, pengembangan
fisik anak mencakup pengembangan: kekuatan (strength), ketahanan (endurance),
kecepatan (speed), kecekatan (agility), dan keseimbangan (balance).
Menurut Gasell dan Ames (1940) serta Illingsworth (1983) yang dikutip oleh
Slamet Suyanto (2005), perkembangan motorik peserta didik pada anak usia dini
mengikuti delapan pola umum sebagai berikut.
1. Continuity (keberlanjutan), yakni suatu perkembangan yang dimulai dari yang
sederhana ke arah yang lebih kompleks sejalan dengan bertambahnya usia
anak.
2. Uniform sequence (kesamaan tahapan), yakni suatu perkembangan yang
memiliki tahapan sama untuk semua anak, meskipun kecepatan tiap anak
untuk mencapai tahapan tersebut berbeda.
3. Maturity (kematangan), yakni suatu perkembangan yang ada pada peserta
didik yang dipengaruhi oleh perkembangan sel syaraf. Semua sel syaraf telah
terbentuk semenjak anak lahir meskipun proses mielinasinya masih terus
berlangsung sampai beberapa tahun kemudian.
4. From general to specific process (proses dari umum ke khusus), yakni suatu
perkembangan yang dimulai dari gerak yang bersifat umum kepada gerak yang
bersifat khusus. Gerakan secara menyeluruh dari badan terjadi terlebih dahulu
baru kemudian gerakan bagian-bagiannya. Hal ini dikarenakan otot-otot besar
(gross muscles) berkembang lebih dahulu dari pada otot-otot halus (fine
muscles).
5. Dari gerak refleks bawaan ke arah terkoordinasi, yakni suatu perkembangan
yang dimiliki peserta didik yang dimulai dari gerak refleks bawaan yang
dibawa sejak lahir ke dunia kepada aneka gerak yang terkoordinasi dan
bertujuan.
6. Chepalo-caudal direction. yakni suatu perkembangan yang ditandai dengan
bagian yang mendekati kepala berkembang lebih cepat daripada bagian yang
mendekati ekor. Otot pada leher berkembang lebih dahulu dari pada otot kaki.
7. Proximo-distal, yakni suatu perkembangan yang ditandai dengan bagian yang
mendekati sumbu tubuh berkembang lebih dahulu dari pada yang lebih jauh.
8. From bilateral to crosslateral coordinate, yakni suatu perkembangan yang
dimulai dari koordinasi organ yang sama berkembang lebih dahulu sebelum
bisa melakukan koordinasi organ bersilangan.
Teori perkembangan biologis peserta didik banyak dikemukakan oleh para ahli
seperti Aristoteles, Kretschmer, dan Sigmund Freud. Kalau Aristoteles dan
Kretschmer dalam melihat perkembangan peserta didik lebih pada tahap-tahap
perkembangan fisik, tetapi Sigmund Freud lebih melihat pengaruh perkembangan
fisik terhadap tahap-tahap perubahan perilaku libido seksual (psikoseksual).
Sebagai tokoh terkenal, Sigmund Freud dilahirkan pada tanggal 6 Mei 1856 di
Freiberg (Austria) dan wafat di London pada tanggal 23 September 1939. Ia
adalah orang Jerman keturunan Yahudi. Pada usia 4 tahun ia dan keluarga pindah
ke Viena, tempat ia menghabiskan sebagian besar masa hidupnya. Meskipun
keluarganya memeluk agama Yahudi namun Freud menganggap dirinya sebagai
atheist. Sejak masa remaja dan masa mudanya, ia dikenal sebagai pemuda yang
rajin belajar dan jenius yang menguasai delapan bahasa dan menyelesaikan
sekolah kedokteran pada usia 30 tahun. Setelah lulus ia memutuskan untuk
membuka praktek di bidang neurologi. Sigmund Freud baru dikenal luas sebagai
ahli psikologi pada tahun 1990, ketika ia menerbitkan sebuah buku yang menjadi
tonggak lahirnya aliran psikologi psikoanalisa yaitu buku yang berjudul
Interpretation of Dreams. Dalam buku ini Freud memperkenalkan konsep yang
disebut alam ketidaksadaran (unconscious mind). Buku-buku lain yang ditulisnya
selama periode 1901-1905 di antaranya The Psychopathology of Everyday Life
(1901), Three Essays on Sexuality (1905), dan Jokes and Their relation to the
Unconscious (1905).
Pada tahun 1902 dia diangkat sebagai profesor di University of Viena dan saat
ini namanya mulai mendunia. Pada tahun 1905 ia mengejutkan dunia dengan teori
perkembangan psikoseksual (Theory of Psychosexual Development) yang
mengatakan bahwa seksualitas adalah faktor pendorong terkuat untuk melakukan
sesuatu dan bahwa pada masa balita pun anak-anak mengalami ketertarikan dan
kebutuhan seksual.
Perkembangan peserta didik menurut Sigmund Freud (Dirto Hadisusanto,
Suryati Sidharto, dan Dwi Siswoyo, 1995) dimulai dari sejak lahir sampai kira-
kira umur 5 tahun melewati fase yang terdiferensiasi secara dinamik. Selanjutnya
berkembang sampai umur 12 atau 13 tahun mengalami masa stabil yaitu fase
laten. Dinamika mulai bergejolak lagi ketika masa pubertas datang sampai
berumur 20 tahun, kemudian berlanjut pada masa kematangan. Secara lebih jelas
dapat dicermati lebih lengkap sebagai berikut.
Gambar-3
Tahap Perkembangan Peserta Didik Menurut Sigmund Freud
Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan
perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif peserta didik
adalah jean Piaget (1896-1980). Jean Piaget dilahirkan di Neuchatel
(Switzerland) pada tahun 1896 dan meninggal di Geneva dalam usia 84 tahun
pada tahun 1980. Pada usia 10 tahun ia sudah memulai karirnya sebagai
peneliti dan penulis. Piaget mula-mula sangat tertarik pada ilmu alam kemudian
beralih minatnya kepada bidang filsafat. Pada tahun 1929 ia diangkat menjadi
profesor dalam "Scientific Thought" di Jeneva. Ia mulai terjun dalam dunia
psikologi pada tahun 1940 dengan menjadi direktur laboratorium psikologi di
Universitas Jeneva dan terpilih sebagai ketua dari "Swiss Society for
Psychology".
Piaget adalah seorang tokoh yang amat penting dalam bidang psikologi
perkembangan. Teori-teorinya dalam psikologi perkembangan yang
mengutamakan unsur kesadaran (kognitif) masih dianut oleh banyak orang
sampai sekarang. Aneka teori, metode dan bidang penelitian yang dilakukan
Piaget dianggap sangat orisinil, tidak sekedar melanjutkan hal-hal yang sudah
lebih dulu ditemukan orang lain. Selama masa jabatannya sebagai profesor di
bidang psikologi anak, Piaget banyak melakukan penelitian tentang
Epistemologi Genetika (Genetic Epistemology). Ketertarikan Piaget untuk
menyelidiki peran genetik dan perkembangan anak, akhirnya menghasilkan
suatu maha karya yang dikenal dengan nama teori perkembangan kognitif
(Theory of Cognitive Development) atau teori perkembangan intelektual
(Theory of Intellectual Development).
Dalam teori perkembangan intelektual, Piaget mengemukakan tahap-tahap
yang harus dilalui seorang anak dalam mencapai tingkatan perkembangan
proses berpikir formal. Teori ini tidak hanya diterima secara luas dalam bidang
psikologi tetapi juga sangat besar pengaruhnya di bidang pendidikan. Menurut
teori ini, perkembangan intelektual peserta didik melalui tahap-tahap. setiap
tahap perkembangan dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi
ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor peserta didik berpikir
melalui gerakan atau perbuatan (Ruseffendi, 1988). Menurut jean Piaget
(Dahar, 1989) bahwa pengetahuan yang didapat oleh peserta didik dibangun
dalam pikiran melalui proses asimilasi dan akomodasi. Proses asimilasi adalah
proses yang dilakukan peserta didik dengan cara menyerap informasi baru
dalam pikirannya. Sedangkan, proses akomodasi adalah proses yang dilakukan
peserta didik dengan cara menyusun kembali struktur pikiran karena adanya
informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat dalam struktur
pikiran (Ruseffendi 1988). Pengertian lain tentang akomodasi adalah proses
mental yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan rangsangan
baru atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan
rangsangan itu (Suparno,1996).
Menurut Jean Piaget, perkembangan intelektual peserta didik berlangsung
dalam empat tahap, yaitu: (a) tahap sensori motor; (b) tahap pra-operasional;
(c) tahap operasional konkret; dan (d) tahap operasional formal. Hal ini dapat
dicermati lebih lengkap sebagai berikut.
Gambar-4
Tahap Perkembangan Peserta Didik Menurut Jean Piaget
Umur Fase
Perubahan Perilaku
(Tahun) Perkembangan
0,0 - 2,0 Tahap Kemampuan berpikir peserta didik baru melalui
Sensori gerakan atau perbuatan. Perkembangan panca indera
Motor sangat berpengaruh dalam diri mereka. Keinginan
terbesarnya adalah keinginan untuk menyentuh/
memegang, karena didorong oleh keinginan untuk
mengetahui reaksi dari perbuatannya. Pada usia ini
mereka belum mengerti akan motivasi dan senjata
terbesarnya adalah 'menangis'. Memberi pengetahuan
pada mereka pada usia ini tidak dapat hanya sekedar
dengan menggunakan gambar sebagai alat peraga,
melainkan harus dengan sesuatu yang bergerak.
2,0 - 7,0 Tahap Kemampuan skema kognitif masih terbatas. suka
Pra- meniru perilaku orang lain. terutama meniru perilaku
operasional orang tua dan guru yang pernah ia lihat ketika orang
itu merespons terhadap perilaku orang, keadaan, dan
kejadian yang dihadapi pada masa lampau. Mulai
mampu menggunakan kata-kata yang benar dan
mampu pula mengekspresikan kalimat pendek secara
efektif.
7,0 - 11,0 Tahap Peserta didik sudah mulai memahami aspek-aspek
Operasional kumulatif materi, misalnya volume dan jumlah;
Konkret mempunyai kemampuan memahami cara mengkom-
binasikan beberapa golongan benda yang ting-
katannya bervariasi. Sudah mampu berpikir
sistematis mengenai benda-benda dan peristiwa-
peristiwa yang konkret.
11,0 - 14,0 Tahap Telah memiliki kemampuan mengkoordinasikan dua
Operasional ragam kemampuan kognitif, secara serentak maupun
Formal berurutan. Misalnya kapasitas merumuskan hipotesis
dan menggunakan prinsip-prinsip abstrak. Dengan
kapasitas merumuskan hipotesis peserta didik mampu
berpikir memecahkan masalah dengan menggunakan
anggapan dasar yang relevan dengan lingkungan.
Sedang dengan kapasitas menggunakan prinsip-
prinsip abstrak, peserta didik akan mampu
mempelajari materi pelajaran yang abstrak, seperti
agama, matematika, dan lainnya.
Gambar-5
Tahap Perkembangan Peserta Didik Menurut Erikson
Lev Vygotsky salah satu tokoh pencetus teori perkembangan mental peserta
didik. Pendapatnya hampir sama seperti Jean Piaget, bahwa siswa membentuk
pengetahuan, yaitu apa yang diketahui siswa bukanlah hasil kopi dari apa yang
mereka temukan di dalam lingkungan, tetapi sebagai hasil dari pikiran dan
kegiatan siswa sendiri melalui bahasa. Meskipun kedua ahli memperhatikan
pertumbuhan pengetahuan dan pemahaman anak tentang dunia sekitar, Piaget
lebih memberikan tekanan pada proses mental anak dan Vygotsky lebih
menekankan pada peran pengajaran dan interaksi sosial (Howe and Jones, 1993).
Sumbangan penting yang diberikan Vygotsky dalam pembelajaran adalah
konsep zone of proximal development (ZPD) dan scaffolding. Vygotsky
yakin bahwa pembelajaran terjadi apabila anak bekerja atau menangani
tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas itu berada dalam
jangkauan kemampuannya atau tugas-tugas itu berada dalam zone of
proximal development (ZPD). ZPD adalah tingkat perkembangan sedikit di
atas tingkat perkembangan seseorang saat ini. Vygotsky lebih yakin bahwa
fungsi mental yang lebih tinggi pada umumnya muncul dalam kerjasama
atau kerjasama antarindividu sebelum fungsi mental yang lebih tinggi
terserap ke dalam individu tersebut (Slavin, 1994).
Sedangkan konsep scaffolding berarti memberikan kepada siswa sejumlah
besar bantuan selama tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian mengurangi
bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak tersebut
mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah ia dapat
melakukannya (Slavin, 1995).
Ada dua implikasi utama teori Vigotsky dalam pendidikan (Howe and
Jones, 1993). Pertama, perlunya tatanan kelas dan bentuk pembelajaran
kooperatif antarsiswa, sehingga siswa dapat berinteraksi di sekitar tugas -
tugas yang sulit dan saling memunculkan strategi-strategi pemecahan
masalah yang efektif di dalam masing-masing ZPD mereka. Kedua,
pendekatan Vigotsky dalam pengajaran menekankan scaffolding, yakni
dengan semakin lama siswa belajar akan semakin bertanggung jawab
terhadap pembelajaran sendiri. Pendek kata, menurut teori Vigotsky, siswa
perlu belajar dan bekerja secara berkelompok sehingga siswa dapat saling
berinteraksi dengan lainnya disertai adanya bantuan guru terhadap para
siswa tersebut dalam kegiatan pembelajaran.
Istilah moral berasal dari bahasa Latin mores yang berarti adat istiadat,
kelakuan, tabiat, akhlak, ajaran tentang kesusilaan, dan tata cara dalam kehidupan.
Pertama-tama teori perkembangan moral pertama kali dikemukakan oleh John
Dewey kemudian dikembangkan oleh Jean Peaget dan Lawrence Kohlberg
(Freankel, 1977; Hersh et.al, 1980).
Sebagai seorang yang mengembangkan gagasan pertama tentang
perkembangan moral peserta didik, John Dewey membagi perkembangan moral
anak menjadi tiga tahap tingkatan, yaitu: (1) Tahap "premoral" atau
"preconventional"; (2) Tahap "conventional"; dan (3) Tahap "autonomous".
Dalam tahap premoral, tingkah laku seseorang didorong oleh desakan yang
bersifat fisikal atau social. Pada tahap conventional, seseorang mulai bias
menerima nilai dengan sedikit kritis berdasarkan kepada kriteria kelompoknya.
Sedang pada tahap autonomous, seseorang sudah mulai bias berbuat atau
bertingkah-laku sesuai dengan akal pikiran dan pertimbangan dirinya sendiri, tidak
sepenuhnya menerima kriteria kelompoknya.
Senada dengan John Dewey, Jean Piaget juga berusaha mendefinisikan tingkat
perkembangan moral anak-anak sebagai peserta didik melalui pengamatan dan
wawancara (Windmiller, 1976). Dari hasil pengamatan terhadap anak-anak ketika
bermain, dan jawaban mereka atas pertanyaan mengapa mereka patuh kepada
peraturan, Piaget sampai pada suatu kesimpulan bahwa perkembangan
kemampuan kognitif pada anak-anak mempengaruhi pertimbangan moral mereka.
Menurutnya ketidakmatangan moral anak dikarenakan dua hal yakni: (1)
keterbatasan moral anak: egosentris dan realistik; dan (2) rasa hormat pada orang
tua/ dewasa yang heterogen. Dalam pandangannya tentang tahap-tahap
perkembangan moral, Piaget membaginya ke dalam tiga tahap, yaitu tahap Non-
morality, Heteronomous morality dan autonomous morality.
Tahap pertama adalah non-morality, adalah tahap ketika anak belum memiliki
atau belum mengenal moral. Tahap ini usia anak masih di bawah 4 tahun.
Kemudian berkembang menjadi tahap kedua, yaitu heteronomous, pada saat ini
anak sudah mulai menerima dan memiliki aturan begitu saja dari orang lain yang
dipandang tidak bisa diubah. Pada tahap ini disebut sebagai masa realisme (stage
of moral realism) atau moralitas berkendala (constraint morality) di mana tugas
dan kewajiban dipadangnya sebagai wujud suatu kepatuhan. Usia anak pada tahap
ini berkisar antara 4 sampai 8 tahun.
Tahap yang ketiga adalah autonomous, pada tahap ini, aturan dipandang
sebagai persetujuan bersama secara timbal balik, dapat dipelihara dan diubah
sesuai kebutuhan kolektif. Moaralitas pada tahap ini disebut moralitas
bekerjasama (collaborate morality). Pada tahap sebelumnya, tugas dan kewajiban
dipandang sebagai kepatuhan, sedang pada tahap otonomous hal-hal tersebut
dipandang sebagai kesesuaian dengan harapan-harapan dan kesejahteraan
bersama. Usia anak pada tahap ini berkisar 9 sampai 12 tahun.
Gambar-5
Tahap Perkembangan Moral Peserta Didik Menurut Piaget