Anda di halaman 1dari 19

A.

Aliran Klasik Pendidikan


Secara umum, pendidikan diartikan sebagai usaha manusia untuk membina ke-pribadiannya sesuai dengan nilai-nilai dan
budaya masyarakat. Bagaimana pun sederhananya peradaban suatu masyarakat, di dalamnya pasti berlangsung suatu
proses pendidikan, sehingga sering dikatakan bahwa pendidikan telah ada sepanjang peradaban umat manusia (Samad,
2013). Proses pendidikan berada dan berkembang bersama perkembangan hidup dan kehidupan manusia, bahkan
keduanya merupakan proses yang satu (Nanuru, 2013).
Sejak manusia menghendaki kemajuan dalam kehidupan, maka sejak itu timbul gagasan untuk melakukan pengalihan,
pelestarian dan pengembangan kebudayaan melalui pendidikan. Pendidikan di dalam masyarakat senantiasa menjadi
perhatian utama dalam rangka memajukan kehidupan generasi yang sejalan dengan tuntutan, perkembangan dan
kemajuan masyarakat dari zaman ke zaman (Nadirah, 2013). Mengingat perkembangan kehidupan dan pelaksanaan
pendidikan bersifat dinamis, maka gagasan-gagasan yang muncul pun bersifat dinamis (sesuai dengan alam pikir dan
dinamika manusianya). Kondisi akhirnya mendorong lahirnya aliran-aliran dalam pendidikan
Aliran-aliran dalam pendidikan perlu dikuasai oleh para calon pendidik karena pendidikan tidak cukup dipahami hanya
melalui pendekatan ilmiah yang bersifat parsial dan deskriptif saja, melainkan perlu dipandang pula secara holistik
(menyeluruh). Menurut Tirtarahardja & Sulo (2005) aliran-aliran pendidikan telah dimulai sejak awal hidup manusia,
karena setiap kelompok manusia selalu dihadapkan dengan generasi muda keturunannya yang memerlukan pendidikan
yang lebih baik dari orang tuanya. Di dalam kepustakaan tentang aliran-aliran pendidikan, pemikiran-pemikiran tentang
pendidikan telah dimulai dari zaman Yunani kuno sampai kini, dikenal dengan istilah rumpun aliran klasik dan aliran
(gerakan) baru.
Bahasan bagian ini hanya dibatasi pada beberapa rumpun aliran klasik. Aliran-aliran klasik yang dimaksud adalah
aliran empirisme, nativisme, naturalisme, dan konvergensi. Sampai saat ini aliran aliran tersebut masih sering digunakan
walaupun dengan pengembangan-pengembangan yang disesuaikan dengan perkembangan zaman.

1. Aliran Empirisme
Empirisme berasal dari kata empire, artinya pengalaman. Tokoh utama aliran ini ialah John Locke (1632-1704).
Nama asli aliran ini adalah “The School of British Empiricism” (aliran empirisme Inggris). Namun aliran ini lebih
berpengaruh terhadap para pemikir Amerika Serikat, sehingga melahirkan sebuah aliran filsafat bernama
“environmentalisme” (aliran lingkungan) dan psikologi bernama “environmental psychology” (psikologi lingkungan) yang
relatif masih baru (Syah, 2002). Selain Locke, terdapat juga ahli pendidikan lain yang mempunyai pandangan hampir sama,
yaitu Helvatus, ahli filsafat Yunani yang berpendapat, bahwa manusia dilahirkan dengan jiwa dan watak yang hampir sama
yaitu suci dan bersih. Pendidikan dan lingkungan yang akan membuat manusia berbeda-beda (Djumransjah, 2004).
Locke memandang bahwa anak yang dilahirkan itu ibaratnya meja lilin putih bersih yang masih kosong belum
terisi tulisan apa-apa, karenanya aliran atau teori ini disebut juga Tabularasa, yang berarti meja lilin putih. Masa
perkembangan anak menjadi dewasa itu sangat dipengaruhi oleh lingkungan atau pengalaman dan pendidikan yang
diterimanya sejak kecil. Pada dasarnya manusia itu bisa didik apa saja menurut kehendak lingkungan (dalam arti luas),
pengalaman dari lingkungan itulah yang menentukan pribadi seseorang (Ahmadi & Uhbiyati, 1991; Thoib, 2008).
Manusia-manusia dapat dididik apa saja (ke arah yang baik dan ke arah yang buruk) menurut kehendak lingkungan atau
pendidikan. Dalam hal ini, alamlah yang membentuknya. Pendapat kaum empiris ini terkenal dengan nama optimisme
paedagogis, karena upaya pendidikan hasilnya sangat optimis dapat mempengaruhi perkembangan anak, sedangkan
pembawaan tidak berpengaruh sama sekali (Suryabrata, 2002; Purwanto, 2004).
Aliran ini mengandaikan bahwa pertumbuhan dan perkembangan hidup manusia ditentukan sepenuhnya oleh
faktor-faktor pengalaman yang berada di luar diri manusia, baik yang sengaja di desain melalui pendidikan formal maupun
pengalaman-pengalaman tidak disengaja yang diterima melalui pendidikan informal, non formal, dan alam sekitar. Aliran
ini berpendapat bahwa pendidikanlah yang menentukan masa depan manusia, sedangkan faktor-faktor yang berasal dari
dalam, seperti bakat dan keturunan tidak mempunyai pengaruh sama sekali dalam menentukan masa depan manusia
(Setianingsih, 2008).
Menurut Mudyahardjo et al (1992) empirisme dipandang sebagai hal yang paling produktif, karena dalam dunia
pendidikan lingkunganlah yang berperan besar untuk membentuk potensi dan pengetahuan peserta didik. Ada beberapa
lingkungan yang berperan dalam proses pendidikan, diantaranya adalah lingkungan sekolah, keluarga, dan masyarakat.
Dalam proses ini inderawi sepenuhnya sangat berperan dalam berlangsungnya proses pendidikan dan menjadi hal yang
nyata dalam praktek pendidikan.
Aliran empirisme berkembang luas di dunia Barat terutama Amerika Serikat. Aliran ini dalam perkembangannya
menjelma menjadi aliran/ teori belajar behaviorisme yang dipelopori oleh William James dan Large. Banyak pula pengaruh
aliran ini terhadap pandangan tokoh pendidikan Barat lainnya, seperti Watson, Skinner, Dewey, dan sebagainya.
2. Aliran Nativisme
Aliran nativisme berlawanan 180o dengan aliran empirisme. Nativisme berasal dari kata nativus yang berarti kelahiran atau
native yang artinya asli atau asal. Tokoh utama aliran ini adalah Arthur Schopenhauer (1788-1860) seorang filosof Jerman
(Ilyas, 1997). Dalam artinya yang terbatas, juga dapat dimasukkan dalam golongan Plato, Descartes, Lomborso, dan
pengikut-pengikutnya yang lain. Nativisme berpendapat bahwa sejak lahir anak telah memiliki/membawa sifat-sifat dan
dasar-dasar tertentu, yang bersifat pembawaan atau keturunan. Sifat-sifat dan dasar-dasar tertentu yang bersifat
keturunan (herediter) inilah yang menentukan pertumbuhan dan perkembangan anak, serta hasil pendidikan sepenuhnya
(Nadirah, 2013).
Aliran nativisme mengesampingkan peranan lingkungan sosial, pembinaan dan pendidikan. Aliran nativisme ini
nampaknya begitu yakin terhadap potensi batin yang ada dalam diri manusia dan aliran ini erat kaitannya dengan aliran
intuisme dalam penentuan baik dan buruk manusia. Aliran ini tampak kurang menghargai atau kurang memperhitungkan
peran pembinaan dan pendidikan (Nata, 2002). Nativisme menganggap pendidikan dan lingkungan boleh dikatakan tidak
berarti, tidak mempengaruhi perkembangan anak didik, kecuali hanya sebagai wadah dan memberikan rangsangan saja.
Apabila seorang anak berbakat jahat, maka ia akan menjadi jahat, begitu pula sebaliknya. Apabila seorang anak
mempunyai potensi intelektual rendah maka akan tetap rendah (Djumransjah, 2004). Pandangan tersebut dikenal dengan
pesimisme paedagogis, karena sangat pesimis terhadap upaya-upaya dan hasil pendidikan.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, aliran nativisme menolak dengan tegas adanya pengaruh eksternal.
Pendidikan tidak berpengaruh sama sekali dalam membentuk manusia menjadi baik. Pendidikan tidak bermanfaat sama
sekali. Sebaliknya, kalau kita menginginkan manusia menjadi baik, maka yang perlu dilakukan adalah memperbaiki kedua
orang tuanya karena merekalah yang mewariskan faktor-faktor bawaan kepada anak-anaknya. Nativisme jelas merupakan
aliran yang mengakui adanya daya-daya asli yang telah terbentuk sejak lahirnya manusia ke dunia. Daya-daya tersebut ada
yang dapat tumbuh dan berkembang sampai pada titik maksimal kemampuan manusia dan ada yang dapat tumbuh
berkembang hanya sampai pada titik tertentu sesuai dengan kemampuan individual manusia (Setianingsih, 2008). Para ahli
yang berpendirian Nativis biasanya mempertahankan kebenaran konsep ini dengan menunjukkan berbagai kesamaan atau
kemiripan antara orang tua dengan anak-anaknya (Sabri, 1996).
Beberapa tokoh yang berhubungan dengan aliran nativisme adalah Rochacher, Rosear, dan Basedow. Rochacher
mengatakan bahwa manusia adalah hasil proses alam yang berjalan menurut hukum tertentu. Manusia tidak dapat
mengubah hukum-hukum tersebut. Rosear mengatakan bahwa manusia tidak dapat dididik. Pendidik malah akan merusak
perkembangan anak. Pendidikan adalah persoalan yang membiarkan atau membebaskan pertumbuhan anak secara
kodrati. Sementara itu, Basedow mengatakan bahwa pendidikan adalah pelanggaran atas kecenderungan berkembang
yang wajar dari anak. Aliran ini juga disebut predestinatif yang menyatakan bahwa perkembangan atas nasib manusia telah
ditentukan sebelumnya, yakni tergantung pada bawaan dan bakat yang dimilikinya.
Aliran ini masih memungkinkan adanya pendidikan. Namun, mendidik menurut aliran ini membiarkan anak
tumbuh berdasarkan pembawaannya. Berhasil tidaknya perkembangan anak tergantung kepada tinggi rendahnya dan jenis
pembawaan yang dimiliki anak. Apa yang patut dihargai dari pendidikan atau manfaat yang diberikan oleh pendidikan,
tidak lebih dari sekadar memoles permukaan peradaban dan tingkah laku sosial, sedangkan lapis yang mendalam dan
kepribadian anak, tidak perlu ditentukan.

3. Aliran Naturalisme
Natur atau natura artinya alam, atau apa yang dibawa sejak lahir. Aliran ini ada persamaannya dengan aliran
nativisme (beberapa ahli menyebut dengan istilah “sama”, “hampir sama” dan “senada”. Istilah natura telah dipakai dalam
filsafat dengan bermacam-macam arti, dari dunia fisika yang dapat dilihat oleh manusia, sampai kepada sistem total dari
fenomena ruang dan waktu.
Aliran Naturalisme dipelopori oleh Jean Jaquest Rousseau. Ia mengatakan, “Segala sesuatu adalah baik ketika ia
baru keluar dari alam, dan segala sesuatu menjadi jelek manakala ia sudah berada di tangan manusia ”. Seorang anak dapat
tumbuh dan berkembang menjadi anak yang baik, maka anak tersebut harus diserahkan ke alam. Kekuatan alam akan
mengajarkan kebaikan-kebaikan yang terlahir secara alamiah sejak kelahiran anak tersebut. Dengan kata lain Rousseaue
menginginkan perkembangan anak dikembalikan ke alam yang mengembangkan anak secara wajar karena hanya alamlah
yang paling tepat menjadi guru.
Menurut Ilyas (1997) naturalisme bependapat bahwa pada hakekatnya semua anak manusia adalah baik pada
waktu dilahirkan yaitu dari sejak tangan sang pencipta, tetapi akhirnya rusak sewaktu berada di tangan manusia. Oleh
karena itu, Rousseau menciptakan konsep pendidikan alam, artinya anak hendaklah dibiarkan tumbuh dan berkembang
sendiri menurut alamnya, manusia jangan banyak mencampurinya. Rousseau juga berpendapat bahwa jika anak
melakukan pelanggaran terhadap norma-norma, hendaklah orang tua atau pendidik tidak perlu untuk memberikan
hukuman, biarlah alam yang menghukumnya. Jika seorang anak bermain pisau, atau bermain api kemudian terbakar atau
tersayat tangannya, atau bermain air kemudian ia gatal-gatal atau masuk angin. Ini adalah bentuk hukuman alam. Biarlah
anak itu merasakan sendiri akibatnya yang sewajarnya dari perbuatannya itu yang nantinya menjadi insaf dengan
sendirinya.

4. Aliran Konvergensi
Salah satu tokoh pendidikan bernama William Stern (1871-1939) telah menggabungkan pandangan yang dikenal
dengan teori atau aliran konvergensi. Aliran ini ingin mengompromikan dua macam aliran yang eksterm, yaitu aliran
empirisme dan aliran nativisme, dimana pembawaan dan lingkungan sama pentingnya, kedua-duanya sama berpengaruh
terhadap hasil perkembangan anak didik. Stern berpendapat bahwa pembawaan dan lingkungan merupakan dua garis
yang menuju kepada suatu titik pertemuan (garis pengumpul), oleh karena itu perkembangan pribadi sesungguhnya
merupakan hasil proses kerjasama antara potensi heriditas (internal) dan lingkungan, serta pendidikan (eksternal)
(Djumaranjah, 2004).
Aliran konvergensi menyatakan bahwa pembawaan tanpa dipengaruhi oleh faktor lingkungan tidak akan bisa
berkembang, demikian juga sebaliknya. Potensi yang ada pada pembawaan dari seorang anak akan berkembang ketika
mendapat pendidikan dan pengalaman dari lingkungan. Sedangkan secara psikis untuk mengetahui potensi yang ada pada
anak didik yaitu dengan cara melihat potensi yang dimunculkan pada anak tersebut. Pembawaan yang disertai disposisi
telah ada pada masing-masing individu yang membutuhkan tempat untuk merealisasikan dan mengembangkannya. Pada
dasarnya pembawaan adalah seluruh kemungkinan-kemungkinan atau kesanggupan-kesanggupan (potensi) yang terdapat
pada suatu individu dan ayang selama masa perkembangannya benar-benar dapat direalisasikan.
Aliran konvergensi pada prinsipnya berpendapat bahwa pembawaan dan lingkungan sama pentingnya.
Perkembangan jiwa seseorang tergantung pada bakat sejak lahir dan lingkungannya, khususnya pendidikan. Peran
pendidikan adalah memberi pengalaman belajar agar anak dapat berkembang secara optimal. Menurut aliran konvergensi
perkembangan pribadi merupakan hasil proses kerjasama antara potensi hereditas (internal) dan lingkungan (eksternal).
Jadi menurut aliran konvergensi: (1) pendidikan dapat diberikan kepada semua orang, (2) pendidikan diartikan sebagai
pertolongan yang diberikan kepada peserta didik untuk mengembangkan pembawaannya yang baik dan mencegah
pembawaan yang buruk, (3) hasil pendidikan tergantung dari pembawaan dan lingkungan (Moerdiyanto, 2011).
Banyak bukti yang menunjukkan, bahwa watak dan bakat seseorang yang tidak sama dengan orang tuanya itu,
setelah ditelusuri ternyata waktu dan bakat orang tersebut sama dengan kakek atau ayah/ibu kakeknya. Dengan demikian,
tidak semua bakat dan watak seseorang dapat diturunkan langsung kepada anak-anaknya, tetapi mungkin kepada cucunya
atau anak-anaknya cucunya. Alhasil, bakat dan watak dapat tersembunyi sampai beberapa generasi (Syah, 2002).
Teori konvergensi ini pada umumnya diterima secara luas sebagai pandangan yang tepat dalam memahami
tumbuh-kembang manusia (Tirtarahardja & Sulo, 2005), meskipun masih ada juga beberapa kritik terhadapnya. Aliran
konvergensi dikritik sebagai aliran yang cocok untuk hewan dan tumbuhan, kalau bibitnya baik dan lingkungannya baik
maka hasilnya pasti baik. Padahal bagi manusia itu belum tentu, karena masih ada faktor lain yang mempengaruhi, yaitu
pilihan atau seleksi dari yang bersangkutan.

5. Pengaruh Aliran Klasik Terhadap Dunia Pendidikan Indonensia


Awalnya atau sebelum sistem persekolahan ‘modern’ seperti yang semula diperkenalkan oleh kolonialis Belanda,
terdapat berbagai ‘institusi’ pendidikan dalam lingkup masyarakat-masyarakat tradisional, baik dalam keterkaitannya
dengan berbagai kebudayaan etnik maupun dengan berbagai sistem pemerintahan tradisional yang dalam banyak hal juga
sedikit-banyak terkait dengan etnisitas (Tim Paradigma Pendidikan BSNP, 2010). Pendidikan di Nusantara sebenarnya telah
ada sebelum pemerintah colonial Belanda mencetuskan trias politika. Ketika pengaruh Hindu-Buda masih kental di
Nusantara, pendidikan dikenal dengan istilah padepokan, kemudian pada saat pengaruh Islam masuk, pendidikan dikenal
dengan pesantren. Kedua model pendidikan tersebut merupakan pendidikan agama. Pendidikan disampaikan secara
tradisional dan belum memiliki kurikulum formal. Sebelum abad ke-20 umat Islam Indonesia hanya mengenal satu jenis
lembaga pendidikan yang disebut “lembaga pengajaran asli”, pengajaran ini dalam berbagai bentuk,1 yaitu pendidikan di
langgar dan di pesantren (Poerbakawatja, 1970).
Awalnya pendidikan di Indonesia terutama diselenggarakan oleh keluarga dan masyarakat, misalnya kelompok
belajar/padepokan, lembaga keagamaan/pesantren, dan lain-lain. Pendidikan oleh keluarga dan masyarakat dalam konteks
ini diasosiasikan dengan pendidikan di pondok pesantren (sistem asrama). Hal ini karena pada umumnya, pondok
pesantren adalah milik kyai atau sekelompok keluarga. Tak jarang pondok pesantren didirikan atas prakarsa penguasa, raja-
raja, atau orang kaya lain. Pondok pesantren sebagai lembaga bagi pendidikan dan penyebaran agama Islam lahir dan
berkembang semenjak masa-masa permulaan kedatangan Islam di Indonesia.
Aliran-aliran pendidikan klasik mulai di kenal di Indonesia melalui upaya-upaya pendidikan, utamanya
persekolahan, dari penguasa penjajah Belanda dan kemudian disusul oleh adanya orang-orang Indo-nesia yang belajar di
negeri Belanda. Dunia pendidikan Indonesia dikelola secara modern baru dikenal setelah kedatangan bangsa Barat,
terutama setelah pemerintah Hindia Belanda melaksanakan kebijakan baru dalam politiknya yang dibuktikan dengan
diterapkannya politik etis di Indonesia pada awal abad ke-20. Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk memperbaiki taraf
hidup rakyat Indonesia, salah satu cara untuk mencapai sasaran tersebut adalah dengan memberikan pendidikan pada
rakyat Indonesia. Selain itu alasan pemerintah Hindia Belanda adalah untuk mempertahankan posisinya sebagai penguasa
dan dapat memenuhi kebutuhan dalam pemerintahnya. Selanjutnya, menurut Tirtarahardja & Sulo (2005) pasca
kemerdekaan, gagasan-gagasan dari aliran-aliran pendidikan itu masuk ke Indonesia melalui orang-orang Indonesia yang
belajar di berbagai Negara di Eropa, Amerika, dan lain-lain. Seperti diketahui, sistem persekolahan diperkenalkan oleh
pemerintah kolonial Belanda di Indonesia.
Penjajah Belanda pada masa itu tidak hanya menghegemoni secara langsung melalui kebijakannya namun juga
melalui buku bacaan, koran, dan sejenisnya. Seiring waktu berlalu, persebaran media cetak dan hubungan internasional
oleh pemerintahan yang terjadi dengan negara-negara di Eropa dan Amerika kemudian menjadi acuan dalam penetapan
kebijakan di bidang pendidikan di Indonesia. Salah satu organisasi massa keagaaman yang cepat merespon dan kemudian
mengembangkan sistem persekolahan itu adalah Muhammadiyah.
Semua aliran klasik pendidikan pada dasarnya telah mempengaruhi dunia pendidikan di Indonesia. Keempat
aliran klasik tersebut banyak diadopsi dalam mengatur sistem pendidikan di sekolah-sekolah di berbagai negara termasuk
Indonesia. Aliran-aliran tersebut memiliki kecenderungan untuk mengemukakan satu faktor dominan saja dalam
mengembangkan manusia. Sebagai hasilnya, penganut aliran klasik, sebagaimana kebanyakan sekolah formal yang ada di
Indonesia, belum mampu untuk mensinergikan yang dididik dengan lingkungannya serta memposisikan yang dididik
menjadi subyek pendidik juga, sebagaimana yang dilakukan oleh penganut aliran baru dalam pendidikan.
Aliran empirisme misalnya, menurut Suyitno (2009) pada perkembangnnya spirit empirisme telah banyak
mempengaruhi pendidikan. Empirisme menganjurkan agar kita kembali ke alam untuk mendapatkan pengetahuan.
Menurut mereka pengetahuan ini tidak ada secara apriori di benak kita, melainkan harus diperoleh dari pengalaman.
Berkembanglah pola berpikir empiris, yang semula berasal dari sarjana-sarjana Islam dan kemudian terkenal di dunia Barat
lewat tulisan Francis Bacon (1561-1626) dalam bukunya Novum Organum. Rasionalisme dikenal oleh ahli-ahli fikir Barat
lewat hasil-hasil karya filosof Islam terhadap filsafat Yunani, yaitu oleh Al-Kindi (809 – 873), Al-Farabi (881-961), Ibnu Sina
(980-1037), dan Ibnu Rusyd (1126-1198). Al-Khawarizmi sebagai ilmuwan Islam, telah mengembangkan aljabar, Al-Batani
menemukan goniometri dan angka desimal. Dunia Timur lainnya seperti India telah menemukan matematika dan angka
nol, sementara Cina telah menemukan kompas, mesiu, mesin cetak dan kertas. Semua hal itu kini telah berkembang pesat
dan mewarnai kehidupan bangsa Indonesia, tak terkecuali dunia pendidikan Indonesia.
Sementara itu, menurut Darajat (2005) dalam perspektif aliran konvergensi pendidik yang mempunyai tugas
untuk mendidik dan mengarahkan anak didik seharusnya mengetahui dan sadar akan potensi yang telah dibawa oleh anak
sejak lahir (nativisme dan naturalisme), sehingga dalam mengarahkan akan menjadi lebih mudah (empirisme). Akan tetapi
dalam kenyataan, kebanyakan para pendidik dalam mengasuh anak didik sering sekali mengabaikan potensi yang ada pada
anak didik, sehingga menghambat perkembangan dan menjadikan matinya bakat yang telah dibawa sejak lahir. Usaha-
usaha tersebut di atas diharapkan dapat membantu perkembangan potensi (pembawaan) yang telah ada pada diri anak
sejak anak itu dilahirkan demi tercapainya tujuan dan keberhasilan pendidikan. Dengan demikian implikasi aliran
konvergensi dalam pendidikan memberikan kemungkinan bagi pendidik untuk dapat membantu perkembangan individu
sesuai dengan apa yang diharapkan, namun demikian pelaksanaan harus tetap memperhatikan faktor-faktor hereditas
peserta didik, kematangan, bakat, kemampuan, keadaan mental dan sebagainya.
Menurut Pramudia (2006) dalam perkembangannya aliran-aliran tersebut telah mengilhami pelaku pendidikan di
Indonesia bahwa pendidikan berarti suatu proses humanisasi, oleh sebab itu hak-hak asasi manusia perlu dihormati. Anak
didik bukanlah robot tetapi manusia yang harus dibantu di dalam proses pendewasaannya agar dia dapat mandiri dan
berpikir kristis. Selain itu pendidikan merupakan hak asasi manusia, oleh karena itu pemerataan pendidikan haruslah
dilaksanakan secara konsekuen.

B. Gerakan Baru Pendidikan


1. Pengajaran Alam Sekitar
Aliran pendidikan yang mendekatkan anak dengan sekitarnya adalah gerakan pengajaran alam sekitar yang
dirintis oleh Fr. A. Finger dengan heimatkunde (pengajaran alam sekitar) di Jerman, J. Ligthart di Belanda dengan Het Volle
Leven (kehidupan senyatanya). Prinsip yang dianut dalam heimatkunde yakni (Tirtarahardja & Sulo, 2005):
a. Dalam pengajaran alam sekitar, guru dapat memeragakan secara langsung.
b. Pengajaran alam sekitar memberikan kesempatan sebanyak-banyaknya agar anak berpartisipasi aktif.
c. Pengajaran alam sekitar memungkinkan untuk diberlakukan pengajaran totalitas dengan ciri segala bahan
pengajaran berhubung-hubungan satu sama lain.
d. Pengajaran alam sekitar memberi kepada anak bahan apersepsi intelektual yang kukuh dan tidak verbalistis.
e. Pengajaran alam sekitar memberikan apersepsi emosional terhadap anak didik.

Sementara Het Volle Leven memiliki prinsip sebagai berikut (Tirtarahardja & Sulo, 2005):
a. Pengajaran alam sekitar mengajarkan anak untuk mengetahui barangnya terlebih dahulu sebelum mendengar
namanya.
b. Pengajaran sesungguhnya harus mendasarkan pada pengajaran selanjutnya atau mata pengajaran yang lain
harus dipusatkan atas pengajaran itu.
c. Harus diadakan perjalanan memasuki hidup agar murid paham akan hubungan antara bermacam-macam
lapangan dalam hidupnya.
Pada dasarnya, banyak faktor yang mempengaruhi sistem pendidikan baik faktor yang berasal dari dalam
maupun luar. Secara makro, faktor dari luar merupakan sistem yang berada di luar pendidikan, antara lain ideologi,
ekonomi, politik, sosial budaya, lingkungan alam, dan lain-lain. Faktor itu saling berinteraksi dan saling mempengaruhi
dengan sistem pendidikan. Dengan demikian, pendidikan akan dipengaruhi oleh bahkan berinteraksi dengan lingkungan
sosial maupun lingkungan alam dalam ekosistem yang lebih luas. Konsep ini mengarahkan pada pemahaman dan
pembahasan pendidikan dilihat dalam perspektif ekologi.

2. Pengajaran Pusat Perhatian


Menurut Tirtarahardja & Sulo (2005) pengajaran pusat perhatian dirintis oleh Ovideminat Declory (1871-1932) dari Belgia
dengan pengajaran melalui pusat-pusat minat (centres d’nternet), di samping pendapatnya tentang pengajaran global.
Pendidikan menurut Declory berdasar pada semboyan ecole pour ia vie, par la vie (sekolah untuk hidup dan oleh hidup).
Anak harus dididik untuk dapat hidup dalam masyarakat dan dipersiapkan dalam masyarakat, anak harus diarahkan. Oleh
karena itu, anak harus mempunyai pengetahuan terhadap diri sendiri (tentang hasrat dan cita-citanya) dan pengetahuan
tentang dunianya (lingkungannya, terdapat hidup di hari depannya). Pengetahuan anak harus bersifat subjektif dan
objektif.

Penelitian secara tekun yang dilakukan Decroly menyumbangkan dua pendapat yang sangat berguna bagi pendidikan dan
pengajaran, yang merupakan dua hal yang khas, yaitu:

a. Metode global (keseluruhan)


Berdasarkan observasi dan tes, ia berpandangan bahwa anak-anak mengamati dan mengingat secara global
(keseluruhan). Mengingat keseluruhan lebih dulu daripada bagian-bagian. Jadi ini berdasar atas prinsip psikologi Gestalt.
Dalam mengajarkan membaca dan menulis, ternyata dengan mengajarkan kalimat lebih mudah diajarkan daripada
mengajarkan huruf-huruf secara tersendiri. Metode ini bersifat video visual sebab arti sesuatu kata yang diajarkan itu
selalu diasosiasikan dengan tanda (tulisan) atau suatu gambar yang dapat dilihat.
b. Centre d’internet (pusat-pusat minat).
Berdasarkan penyelidikan psikologik, ia menetapkan bahwa anak-anak mempunyai minat yang spontan
(sewajarnya). Pengajaran harus disesuaikan dengan minat-minat spontan tersebut. Sebab apabila tidak, yaitu misalnya
minat yang ditimbulkan oleh guru, maka pengajaran itu tidak tidak akan banyak hasilnya. Anak mempunyai minat-minat
spontan terhadap diri sendiri dan terhadap masyarakat (biososial).

Minat terhadap diri sendiri itu dapat kita bedakan menjadi:


1) Dorongan mempertahankan diri,
2) Dorongan mencari makan dan minum dan
3) Dorongan memelihara diri.

Sedangkan minat terhadap masyarakat ialah:


1) Dorongan sibuk bermain-main.
2) Dorongan meniru orang lain.

Dorongan-dorongan inilah yang digunakan sebagai pusat-pusat minat. Sedangkan pendidikan dan pengajaran harus selalu
dihubungkan dengan pusat-pusat minat tersebut.
Asas-asas Pengajaran Pusat Perhatian adalah sebagai berikut:
a. Pengajaran ini didasarkan atas kebutuhan anak dalam hidup dan perkembangannya.
b. Setiap beban pengajaran harus merupakan keseluruhan, tidak mementingkan bagian tetapi mementingkan
keberartian dari keseluruhan ikatan bagian itu.
c. Anak didorong dan dirangsang untuk selalu aktif dan di didik untuk menjadi anggota masyarakat yang dapat
berdiri sendiri dan bertanggung jawab.
d. Harus ada hubungan kerjasama yag erat antara rumah dan keluarga.
Gerakan pengajaran pusat perhatian telah mendorong berbagai upaya agar dalam kegiatan belajar mengajar
diadakan berbagai variasi (cara mengajar dan lain-lain) agar perhatian siswa tetap terpusat pada bahan ajaran. Dengan
kemajuan teknologi pengajaran, peluang mengadakan variasi tersebut menjadi terbuka lebar, dan dengan demikian upaya
menarik minat menjadi lebih besar. Pemusatan perhatian dalam pengajaran biasanya dilakukan bukan hanya pada
pembukaan pengajaran, tetapi juga pada setiap kali akan membahas sub topik yang baru.

3. Sekolah Kerja
Menurut Tirtarahardja & Sulo (2005) dan Sagala (2010) gerakan sekolah kerja dapat dipandang sebagai titik
kulminasi dari pandangan-pandangan yang mementingkan pendidikan keterampilan dalam pendidikan. Tokoh pendidikan
sekolah kerja ini adalah G. Kerschensteiner (1854-1932) dengan konsep “Arbeitschule” (Sekolah Kerja) di Jerman. Sekolah
kerja bertolak dari pandangan bahwa pendidikan tidak hanya demi kepentingan individu, tetapi juga demi kepentingan
masyarakat. Dengan kata lain sekolah berkewajiban menyiapkan Negara yang baik yakni: (a) tiap orang adalah pekerja
dalam salah satu lapangan jabatan;
(b) tiap orang wajib menyumbangkan tenaganya untuk kepentingan negara; dan (c) dalam menunaikan kedua tugas
tersebut harus diusahakan kesempurnaannya, agar dengan jalan itu tiap warga negara ikut berbuat sesuai dengan
kesusilaan serta menjaga keselamatan negara.
Tujuan sekolah kerja ini menurut Kerschensteiner sebagai pencetus sekolah kerja adalah a) menambah
pengetahuan anak, yaitu pengetahuan yang didapat dari buku atau orang lain, dan yang didapat dari pengalaman sendiri;
b. agar anak dapat memiliki kemampuan dan kemahiran tertentu; dan c. agar anak dapat memiliki pekerjaan sebagai
persiapan jabatan dalam mengabdi Negara. Kerschensteiner berpendapat bahwa kewajiban utama sekolah adalah
mempersiapkan anak-anak untuk dapat bekerja. Bekerja di sini bukan pekerjaan otak yang dipentingkan, melainkan
pekerjaan tangan (Tirtarahardja & Sulo, 2005; Sagala, 2010).

4. Pengajaran Proyek
Dasar filosofis dan pedagogis dari pengajaran-pengajaran proyek diletakkan oleh John Dewey (1859-1952) namun
pelaksanaannya dilakukan oleh pengikut utamanya W. H. Kilpartrick. Pengajaran proyek memberi kebebasan pada anak
untuk menentukan pilihannya, merancang serta memimpinya. Proyek yang ditentukan oleh anak mendorongnya mencari
jalan pemecahan bila dia menemui kesukaran. Anak dengan sendirinya giat dan aktif karena sesuai dengan apa yang
diinginkannya. Dalam pengajaran proyek, pekerjaan dikerjakan secara berkelompok untuk menghidupkan rasa gotong-
royong. Pengajaran proyek digunakan sebagai salah satu metode mengajar di Indonesia, antara lain dengan nama
pengajaran proyek,pengajaran unit,dan sebagainya. Yang perlu ditekankan bahwa pengajaran proyek akan menumbuhkan
kemampuan untuk memandang dan memecahkan persoalan secara komprehensif dengan kata lain, menumbuhkan
kemampuan pemecahan masalah secara multidisiplin (Tirtarahardja & Sulo, 2005).
Praktek belajar dan pembelajaran dekade terakhir ini mengenalkan kita pada istilah PjBL atau Pembelajaran
Berbasis Proyek. Para ahli memberi pengertian tentang PjBL. Menurut University of Nottingham, metode pengajaran
sistematik yang mengikutsertakan pelajar ke dalam pembelajaran pengetahuan dan keahlian yang kompleks, pertanyaan
authentic dan perancangan produk dan tugas. Menurut Baron, pendekatan cara pembelajaran secara konstruktif untuk
pendalaman pembelajaran dengan pendekatan berbasis riset terhadap permasalahan dan pertanyaan yang berbobot,
nyata dan relevan bagi kehidupannya. Menurut Blumenfeld et al, pendekatan komprehensif untuk pengajaran dan
pembelajaran yang dirancang agar pelajar melakukan riset terhadap permasalahan nyata. Sementara itu, Boud & Felleti
mengartikannya sebagai cara yang konstruktif dalam pembelajaran menggunakan permasalahan sebagai stimulus dan
berfokus kepada aktivitas pelajar (Husamah, 2013).
Project Based Learning adalah sebuah model atau pendekatan pembelajaran yang inovatif, yang menekankan
belajar kontekstual melalui kegiatan-kegiatan yang kompleks. Fokus pembelajaran terletak pada konsep-konsep dan
prinsip-prinsip inti dari suatu disiplin studi, melibatkan pebelajar dalam investigasi pemecahan masalah dan kegiatan tugas-
tugas bermakna yang lain, memberi kesempatan pebelajar bekerja secara otonom mengkonstruk pengetahuan mereka
sendiri, dan mencapai puncaknya menghasilkan produk nyata.
Project Based Learning pada umumnya memerlukan beberapa tahapan dan beberapa durasi, tidak sekedar
merupakan rangkaian pertemuan kelas, serta belajar kelompok kolaboratif. Proyek memfokuskan pada pengembangan
produk atau unjuk kerja (performance), yang secara umum pebelajar melakukan kegiatan: mengorganisasi kegiatan belajar
kelompok mereka, melakukan pengkajian atau penelitian, memecahkan masalah, dan mensintesis informasi. Proyek
seringkali bersifat interdisipliner.

Menurut Husamah (2013) selama berlangsungnya proses belajar dalam PjBL pelajar akan mendapat bimbingan dari
narasumber atau fasilitator, tergantung dari tahapan kegiatan yang dijalankan. Narasumber bertugas menyusun trigger
problems, sebagai sumber pembelajaran untuk informasi yang tidak ditemukan dalam sumber pembelajaran bahan cetak
atau elektronik, melakukan evaluasi hasil pembelajaran. Secara umum peran fasilitator adalah memantau dan mendorong
kelancaran kerja kelompok, serta melakukan evaluasi terhadap efektifitas proses belajar kelompok.
Secara lebih rinci peran fasilitator adalah:
a. Mengatur kelompok dan menciptakan suasana yang nyaman
b. Memastikan bahwa sebelum mulai setiap kelompok telah memiliki seorang anggota yang bertugas membaca
materi, sementara teman-temannya mendengarkan, dan seorang anggota yang bertugas mencatat informasi yang penting
sepanjang jalannya diskusi.
c. Memberikan materi atau informasi pada saat yang tepat, sesuai dengan perkembangan kelompok.
d. Memastikan bahwa setiap sesi diskusi kelompok diakhiri dengan self-evaluation.
e. Menjaga agar kelompok terus memusatkan perhatian pada pencapaian tujuan.
f. Memonitor jalannya diskusi dan membuat catatan tentang berbagai masalah yang muncul dalam proses belajar,
serta menjaga agar proses belajar terus berlangsung, agar tidak ada tahapan dalam proses belajar yang dilewati atau
diabaikan dan agar setiap tahapan dilakukan dalam urutan yang tepat.
g. Menjaga motivasi pelajar dengan mempertahankan unsur tantangan dalam penyelesaian tugas dan juga
memberikan pengarahan untuk mendorong pelajar keluar dari kesulitannya.
h. Membimbing proses belajar pelajar dengan mengajukan pertanyaan yang tepat pada saat yang tepat. Pertanyaan
ini hendaknya merupakan pertanyaan terbuka yang mendorong pelajar mencari pemahaman yang lebih mendalam tentang
berbagai konsep, ide, penjelasan, sudut pandang, dan lain-lain.
i. Mengevaluasi kegiatan belajar pelajar, termasuk partisipasinya dalam proses kelompok. Pengajar perlu
memastikan bahwa setiap pelajar terlibat dalam proses kelompok dan berbagi pemikiran dan pandangan.
j. Mengevaluasi penerapan pembelajaran yang telah dilakukan.
Project Based Learning menuntut siswa bekerja bersama tugas yang diberikan pengajar agar aktif. Siswa dapat
bekerja secara individu maupun kelompok. Dalam banyak kasus, Siswa mengerjakan proyek secara bersamaan di dalam
kelompok kecil. Terdapat dua jenis kelompok, yakni kelompok off-campus dan kelompok on-campus. Kebutuhan dua jenis
kelompok ini sedikit berbeda. Siswa dalam kelompok on-campus dapat bertemu secara fisik, tidak memerlukan alat bantu
komunikasi canggih, tetapi memerlukan koordinasi kerja (perencanaan, penjadwalan, dan lain-lain). Siswa di dalam suatu
kelompok off-campus memerlukan komunikasi luas untuk mengerjakan tugas secara kolaboratif. Oleh karena itu, pelajar
memerlukan fasilitas synchronous dan asynchronous sebagai tambahan terhadap koordinasi kerja.

Menurut Husamah (2013) kegiatan siswa dapat dikelompokkan tiga kategori aktifitas individu, aktivitas dalam kelompok,
dan aktivitas antar-kelompok. Aktivitas di dalam kategori yang ketiga ini dilaksanakan oleh individu atau kelompok siswa.

a. Secara Individual
Setiap individu pelajar mempunyai kebutuhan yang tidak perlu sama dalam suatu kelompok. Tiap-tiap pelajar
mempunyai kemampuan yang berbeda, pendekatan belajar, dan penyelesaian tugas. Selama mengerjakan proyek, tiap
pelajar melaksanakan aktifitas seperti: memvisualisasikan aktifitas proyek dan mencari tugas yang akan dikerjakan,
mengatur jadwal, mengorganisir materi pembelajaran, menata dokumen (computer-files), mengirimkan pesan kepada
pengajar atau ahli, dan self assessment. Para siswa dapat memberikan kontribusi terhadap proyek yang berbeda secara
simultan.

b. Di dalam Kelompok
Ketika seseorang bekerja di dalam kelompok, para siswa harus bekerja sama. Kerja sama berlangsung dalam
wujud aktifitas dasar seperti: brainstorming, diskusi, melakukan editing dokumen secara bersama-sama, sinkronisasi
komunikasi lewat audio, video, atau text, menata dokumen kelompok, task scheduling, dan peer assessment. Sebagian dari
aktivitas ini dapat dilakukan bersama kelompok on-campus tanpa perangkat spesifik, sedangkan para siswa dalam
kelompok off-campus didukung oleh perangkat yang memadai.

c. Antar Kelompok
Para siswa menyelesaikan aktivitas lain dalam bentuk berbagi informasi dan pengetahuan dengan kelompok lain.
Contoh aktivitas ini adalah: presentasi, peer reviews, memberikan kontribusi pada forum diskusi.

5. Pengaruh Gerakan Baru dalam Pendidikan Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan di Indonesia

Telah dikemukakan bahwa gerakan baru dalam pendidikan terutama berkaitan dengan kegiatan belajar mengajar
di sekolah, namun dasar – dasar pikirannya tentulah menjangkau semua segi dari pendidikan, baik aspek konseptual
maupun operasional. Sebab itu, mungkin saja gerakan-gerakan itu tidak diadopsi seutuhnya di suatu masyarakat atau
negara tertentu, namun asas pokoknya menjiwai kebijakan – kebijakan pendidikan dalam masyarakat atau negara itu.
Sebagai contoh yang telah dikemukakan pada setiap paparan tentang gerakan itu, untuk Indonesia, seperti muatan lokal
dalam kurikulum untuk mendekatkan peserta didik dengan lingkungannya, berkembangnya sekolah kejuruan (SMK),
pemupukan semangat kerja sama multidisiplin dalam menghadapi masalah, dan sebagainya.
Pembelajaran proyek pun saat ini semakin dikenal, dengan istilah pembelajaran berbasis proyek atau Project
Based Learning (PjBL). PjBL menjadi salah satu motede/model pembelajaran aktif yang dianjurkan oleh pemerintah dalam
upaya implementasi Kurikulum 2013. Di sisi lain, PjBL dianggap merupakan representasi pembelajaran yang mendorong
pengembangan kemampuan/keterampilan berpikir (thinking skills atau habits of mind) siswa dan mahasiswa sebagai
“sesuatu” yang harus dimiliki oleh generasi abad ke-21.
Sementara itu, pengaruh pengajaran alam sekitar misalnya dapat dilihat bahwa Indonesia sejak tahun 1989 telah
dirilis alternatif pendidikan yang mengarah pada pengajaran alam sekitar oleh Lendo Novo, mantan staf ahli Menteri
Negara BUMN. Lendo Novo mengaplikasikan aliran pengajaran alam sekitar di Indonesia dengan menggagas sekolah alam,
yaitu sekolah yang memiliki basis prinsip bahwa sekolah adalah tempat untuk dialektika, kebudayaan, membangun
peradaban, dan sebagainya. Saat ini pun telah banyak bermunculan sekolah-sekolah alam di hampir seluruh penjuru
Indonesia dan menjadi alternatif yang semakin memperkaya pelaksanaan pendidikan pembelajaran di Indonesia.
Pokok-pokok pendapat pengajaran alam tersebut telah banyak dilakukan di sekolah, baik dengan peragaan,
penggunaan bahan lokal dalam pengajaran dan lain-lain. Mengacu pada konsep pendidikan alam sekitar, misalnya telah
ditetapkan adanya materi pelajaran muatan lokal dalam kurikulum, termasuk penggunaan alam sekitar. Dengan kurikulum
muatan lokal tersebut diharapkan peserta didik semakin dekat dengan alam sekitar dan masyarakat lingkungannya. Di
samping alam sekitar sebagai isi bahan ajar, alam sekitar juga menjadi kajian empirik melalui percobaan, studi banding, dan
sebagainya. Dengan memanfaatkan sumber-sumber dari alam sekitar dalam kegiatan pembelajaran, dimungkinkan peserta
didik akan lebih menghargai, mencintai, dan melestarikan lingkungan alam sekitar sebagai sumber kehidupannya (Usman,
2012).
Perkembangan pendidikan dan pembelajaran berikutnya memperkenalkan kepada kita istilah-istilah baru yang
berkaitan atau senada dengan pengajaran alam sekita yaitu pembelajaran kelas alam outdoor study dan outdoor learning.
Pembelajaran di luar ruang akan membawa peserta didik dapat berintegrasi dengan alam. Alam akan membuka cakrawala
pandang siswa lebih luas dibanding dengan pembelajaran yang dilakukan di dalam kelas. Metode ini juga diharapkan dapat
menjalin keselarasan antara materi pembelajaran dengan lingkungan sekitar. Tidak semua materi dapat menerapkan
metode ini, namun alangkah baiknya apabila sesekali siswa diajak langsung untuk terjun ke lapangan melihat dunia
nyata/aktual. Para siswa diharapkan dapat menimba ilmu secara langsung dari pengalaman nyata yang ada, sehingga
materi pembelajaran lebih mudah dipahami dan diingat untuk jangka panjang. Sebagaimana ada pepatah mengatakan
bahwa apa yang dilihat apa yang diingat.
Secara substansi sekolah berbasis alam atau pembelajaran berbasis alam merupakan sistem sekolah yang
menawarkan bagaimana mengajak siswa untuk lebih akrab dengan alam, sekaligus menjadikannya spirit untuk melakukan
kegiatan belajar mengajar. Pembelajaran berbasis alam sebetulnya dapat secara fleksibel dilakukan, tidak harus dengan
bentuk outbond, tetapi dapat dilakukan di lingkungan sekitar sekolah yang terdekat. Banyak pendekatan yang dapat
dilakukan untuk menerapkan model belajar berbasis alam. Salah satu contoh model belajar berbasis alam antara lain
pendekatan belajar berbasis masalah (Santyasa, 2008).
Berbagai benda yang terdapat di lingkungan atau alam sekitar kita dapat kita kategorikan ke dalam jenis sumber
belajar yang dimanfaatkan (by design resources) ini. Dibanding dengan dengan jenis sumber belajar yang dirancang, jenis
sumber belajar yang dimanfaatkan ini jumlah dan macamnya jauh lebih banyak. Oleh karena itu, sangat dianjurkan setiap
guru mampu mendayagunakan sumber belajar yang ada di lingkungan ini. Pengertian lingkungan dalam hal ini adalah
segala sesuatu baik yang berupa benda hidup maupun benda mati yang terdapat di sekitar kita (di sekitar tempat tinggal
maupun sekolah).
Sebagai guru, kita dapat memilih berbagai benda yang terdapat di lingkungan untuk kita jadikan media dan
sumber belajar bagi siswa di sekolah. Bentuk dan jenis lingkungan ini bermacam macam, misalnya: sawah, hutan, pabrik,
lahan pertanian, gunung, danau, peninggalan sejarah, musium, dan sebagainya. Media di lingkungan juga bisa berupa
benda-benda sederhana yang dapat dibawa ke ruang kelas, misalnya: batuan, tumbuh-tumbuhan, binatang, peralatan
rumah tangga, hasil kerajinan, dan masih banyak lagi contoh yang lain. Semua benda itu dapat kita kumpulkan dari sekitar
kita dan dapat kita pergunakan sebagai media pembelajaran di kelas. Benda-benda tersebut dapat kita perloeh dengan
mudah di lingkungan kita sehari-hari. Jika mungkin, guru dapat menugaskan para siswa untuk mengumpulkan benda-benda
tertentu sebagai sumber belajar untuk topik tertentu. Benda-benda tersebut juga dapat kita simpan untuk dapat kita
pergunakan sewaktu-waktu diperlukan (Husamah, 2013).
Sehubungan dengan penerapan kurikulum 2013, menurut Husamah (2013) untuk menjadi kreatif, siswa diberi
kesempatan untuk mengamati fenomena alam, fenomena sosial, dan fenomena seni budaya, kemudian bertanya dan
menalar dari hasil pengamatan tersebut. Hal ini menunjukkan siswa benar-benar belajar dari lingkungan. Berdasarkan
kreativitas tersebut, timbul inovasi dan kreasi yang menjadikan siswa memiliki beragam alternatif jawaban dalam setiap
masalah yang dihadapinya. Selain itu, pembelajaran di luar ruangan kelas merupakan salah satu upaya terciptanya
pembelajaran terhindar dari kejenuhan, kebosanan, dan persepsi belajar hanya di dalam kelas Pola pikir kreatif dan inovatif
seperti itu diharapkan akan lahir dari implementasi Kurikulum 2013.
Outdoor learning merupakan satu jalan bagaimana kita meningkatkan kapasitas belajar anak. Anak dapat belajar
secara lebih mendalam melalui objek-objek yang dihadapi dari pada jika belajar di dalam kelas yang memiliki banyak
keterbatasan. Lebih lanjut, belajar di luar kelas dapat menolong anak untuk mengaplikasikan pengetahuan yang dimiliki.
Selain itu, pembelajaran di luar kelas lebih menantang bagi siswa dan menjembatani antara teori di dalam buku dan
kenyataan yang ada di lapangan. Kualitas pembelajaran dalam situasi yang nyata akan memberikan peningkatan kapasitas
pencapaian belajar melalui objek yang dipelajari serta dapat membangun keterampilan sosial dan personal yang lebih baik.
Pembelajaran outdoor dapat dilakukan kapan pun sesuai dengan rancangan program yang dibuat oleh guru. Pembelajaran
outdoor dapat dilakukan waktu pembelajaran normal, sebelum kegiatan pembelajaran di sekolah atau sesudahnya, dan
saat-saat liburan sekolah.
Pembelajaran dalam ruang yang bersifat kaku dan formalitas dapat menimbulkan kebosanan, termasuk juga
kejenuhan terhadap rutinitas di sekolah. Pendidikan luar kelas dijadikan sebagai alternatif baru dalam meningkatkan
pengetahuan dalam pencapaian kualitas manusia. Alam sebagai media pendidkan adalah suatu sarana efektif untuk
meningkatkan pengetahuan dan mengembangkan pola pikir serta sikap mental positif seseorang. Konsep belajar dari alam
adalah mengamati fenomena secara nyata dari lingkungan dan memanfaatkan apa yang tersedia di alam sebagai sumber
belajar.
Dewasa ini ada kecenderungan untuk kembali ke pemikiran bahwa anak didik akan belajar lebih baik jika
lingkungan diciptakan alamiah. Kegiatan belajar mengajar akan menarik dan disukai oleh para siswa jika guru dapat
mengemas materi pembelajaran dengan sebaik-baiknya. Salah satu cara untuk menjadikan pembelajaran itu menarik
adalah dengan melakukan pembelajaran di luar ruang kelas (outdoor). Namun demikian, kegiatan ini sebaiknya diprogram
dengan baik agar lebih mengenai sasaran.
Proses pembelajaran bisa terjadi di mana saja, di dalam atau pun di luar kelas, bahkan di luar sekolah. Proses
pembelajaran yang dilakukan di luar kelas atau di luar sekolah, memiliki arti yang sangat penting untuk perkembangan
siswa, karena proses pembelajaran yang demikian dapat memberikan pengalaman langsung ke pada siswa, dan
pengalaman langsung memungkinkan materi pelajaran akan semakin kongkrit dan nyata yang berarti proses pembelajaran
akan lebih bermakna.
Contoh pembelajaran tersebut, misalnya guru mengajak siswa keluar ruangan kelas untuk mengamati tanaman di
sekitar sekolah. Kemudian guru menanyakan kepada siswa-siswanya kenapa daun berwarna hijau. Siswa diajak
menemukan jawaban kenapa daun berwarna hijau. Kemudian ditanyakan lagi kenapa ada daun yang berwarna hijau
namun ada juga yang berwarna kuning, dan lain-lain. Ini menampik anggapan bahwa proses pembelajaran ini akan
memerlukan laboratorium yang mahal dan lengkap. Laboratoriumnya adalah alam di sekitar kita. Materi-materi yang
dibahas selain fenomena alam, juga berupa fenomena sosial serta fenomena seni dan budaya.
Outdoor learning sejalan dengan pendapat Paulo Freire yang mengatakan bahwa every place is a school,
everyone is teacher. Artinya bahwa setiap orang adalah guru, guru bisa siapa saja, dimana saja, serta hadir kapan saja,
tanpa batas ruang, waktu, kondisi apapun. Dengan demikian siapa saja dapat menjadi guru dan pembelajaran tidak harus
berlangsung di dalam kelas, sebab setiap tempat dapat menjadi tempat untuk belajar. Konsep Paulo Freire sangat tepat
bila dihubungkan dengan metode outdoor learning. Outdoor learning dapat menjadi salah satu alternatif bagi pengayaan
sumber pembelajaran. Kajian lebih mendalam tentang Outdoor learning serta hubunganya dengan pengajaran/
pembelajaran alam sekitar dapat diperdalam dengan membaca buku Pembelajaran Luar Kelas; Outdoor Learning yang
ditulis secara komprehensif oleh Husamah (Jakarta: Prestasi Pustaka Raya, 2013).
Sementara itu, dewasa ini, di Indonesia sekolah kerja dikenal dengan sekolah menengah kejuruan (SMK) yang
bertujuan untuk menyiapkan peserta didik untuk siap bekerja atau menggunakan keterampilan yang diperoleh setelah
tamat dari sekolah tersebut. Peranan sekolah kejuruan merupakan tulang punggung penyiapan tenaga terampil yang
diperlukan negara-negara berkembang seperti Indonesia. Bagi para generasi muda Indonesia, pendidikan keterampilan itu
sangat diperlukan terlebih bagi setiap orang yang akan memasuki lapangan kerja atau menciptakan lapangan kerja (Usman,
2012). SMK merupakan pendidikan yang mempersiapkan pesertanya memasuki dunia kerja atau lebih mampu bekerja
pada bidang pekerjaan tertentu (earning a living).
Saat ini, melalui jargon SMK BISA, sekolah kejuruan menjadi primadona karena dinggap memiliki kelebihan yaitu
lulusan menjadi lebih siap kerja tetapi kuliah pun mereka bisa. Melihat keberadaan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) saat
ini pemerintah berharap posisinya sebagai wahana pengembangan pengetahuan dan keterampilan dan mampu menjawab
tantangan dunia kerja secara nyata. Lulusannya diharapkan dapat memenuhi tuntutan dunia usaha akan tenaga kerja
tingkat menengah.
Akhirnya, perlu ditekankan lagi bahwa kajian tentang pemikiran-pemikiran pendidikan pada masa lalu akan
sangat bermanfaat untuk memperluaas pemahaman tentang seluk beluk pendidikan, serta memupuk wawasan historis
dari setiap tenaga kependidikan. Kedua hal itu sangan penting karena setiap keputusan dan tindakan di bidang
pendidikan,termasuk dibidang pembelajaran, akan membawa dampak bukan hanya pada masa kini tetapi juga masa
depan. Oleh karena itu,setiap keputusan dan tindakan harus dapat dipertanggungjawabkan secara profesional. Sebagai
contoh, beberapa tahun terakhir ini telah terjadi polemik tentang peran pokok pendidikan (utamanya jalur sekolah) yakni
tentang masalah relevansi tentang duni kerja (siap pakai); apakah tekanan pada pembudayaan manusia yang menyadari
harkat dan martabatnya, ataukah memberi bekal keterampilan untuk memasuki dunia kerja. Kedua hal itu tentulah sama
pentingnya dalam membangun sumber daya manusia di Indonesia yang bermutu.

C. “Aliran” Pendidikan Indonesia


Pada jaman penjajahan Belanda telah terdapat upaya-upaya pendirian dan pelaksanaan lembaga-lembaga
pendidikan tertentu. Oleh pemerintahan kolonial pada waktu itu masalah pendidikan dianggap penting sehingga
dimasukkan dalam Undang-Undang Tahun 1848, dan dianggarkan 25.000 gulden untuk sektor pendidikan. Pada tahun
1851 didirikan sekolah “dokter Jawa” yang didirikan untuk suatu alasan praktis, yaitu melatih kaum pribumi untuk menjadi
“mantri cacar” karena ketika itu penyakit cacar sedang mewabah. Tahun 1851 itu juga dibuka dua kweekschool untuk
melatih guru bantu bagi sekolah-sekolah modern sistem barat. Pembukaan lembaga-lembaga pendidikan itu, sebagaimana
dikatakan oleh seorang tokoh Belanda, adalah untuk “membentengi Belanda dari “vulcano Islam”. Pada tahun 1867
pemerintah kolonial membentuk departemen sendiri untuk masalah mendidikan, yaitu yang disebut Departeman
Pendidikan, Agama, dan Industri. Dari pengaturan itu tumbuhlah sekitar 300 sekolah pribumi di Jawa dan sekitar 400 di luar
Jawa (Tim Paradigma Pendidikan BSNP, 2010).
Selanjutnya pada tahun 1902 di Batavia dibuka sekolah kedokteran yang dinamakan School tot Opleiding voor
Indische Artsen (STOVIA) dan sekolah sejenis didirikan pula pada tahun 1913 di Surabaya, dinamakan Nederlandsch
Indische Artsen School (NIAS). Pada tahun 1927 STOVIA ditingkatkan menjadi pendidikan tinggi, dengan nama
Geneeskundige Hogeschool, bertempat di Jalan Salemba 6, Jakarta. Ini menjadi cikalbakal Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Kemudian didirikan pula Rechtkundige Hogeschool yang menjadi cikal-bakal Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, kemudian juga Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte yang menjadi cikal-bakal Fakultas Sastra (kemudian
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya) Universitas Indonesia. Technische Hogeschool yang didirikan pada tahun 1920 di
Bandung merupakan cikal-bakal Institut Teknologi Bandung, sedangkan Landbouwkundige Fakulteit merupakan cikal-bakal
Institut Pertanian Bogor. Adapun Bestuurs Academie yang didirikan tahun 1930-an tentulah merupakan awal dari Institut.
Pemerintahan Dalam Negeri yang di kemudian hari diselenggarakan oleh Pemerintah Indonesia. Pendidikan yang
diselenggarakan pemerintah hanyalah untuk mencetak pegawai-pegawai berpendidikan yang murah, sehingga pendidikan
tersebut tidak memperhatikan pendidikan moral bagi murid-murid pribumi, yang diutamakan adalah bisa membaca,
menulis, dan berhitung. Pendidikan diukur dan diarahkan kepada pembentukan suatu elite sosial untuk selanjutnya
dipergunakan sebagai alat bagi kepentingan supremasi politik dan ekonomi Belanda di Nusantara. Kondisi pendidikan
semacam ini menggerakkan seseorang dan beberapa badan swasta (di luar pemerintrah Hindia Belanda) untuk mendirikan
pendidikan yang juga mengajarkan agama serta ilmu-ilmu pengetahuan lainnya.
Mengingat ciri-ciri pendidikan yang diselenggarakan pemerintah kolonial Belanda yang tidak memungkinkan
bangsa Indonesia untuk menjadi cerdas, bebas, bersatu, dan merdeka, maka kaum pergerakan semakin menyadari bahwa
pendidikan yang bersifat nasional harus segera dimasukkan ke dalam program perjuangannya. Oleh karena itu, sejak
Kebangkitan Nasional (1908) sifat perjuangan rakyat Indonesia dilakukan melalui berbagai partai dan organisasi, baik
melalui jalur politik praktis, jalur ekonomi, sosial-budaya. dan khususnya melalui jalur pendidikan. Sifat perjuangan bangsa
kita saat itu tidak lagi hanya menitikberatkan pada perjuangan fisik. Usaha-usaha kaum pergerakan melalui jalur
pendidikan demi kemerdekaan dan rintisan ke arah pendidikan nasional tampak jelas. Hampir setiap organisasi pergerakan
nasional mencantumkan dan melaksanakan pendidikan dalam anggaran dasar dan/atau dalam program kerjanya (Tatang,
2010).
Djumhur & Danasuparta (1976) mengemukakan bahwa setelah tahun 1900 usaha-usaha partikelir di bidang
pendidikan berlangsung dengan sangat giatnya. Untuk mengubah keadaan akibat penjajahan, kaum pergerakan
memasukan pendidikan ke dalam program perjuanganya. Lahirlah sekolah-sekolah partikelir (perguruan nasional) yang
diselenggarakan para perintis kemerdekaan. Sekolah-sekolah itu mula-mula bercorak dua: 1) Sekolah-sekolah yang sesuai
haluan politik, seperti yang diselenggarakan oleh: Ki Hadjar Dewantara (Taman Siswa), Dr. Douwes Dekker atau Dr.
Setyabudhi (Ksatrian Institut), Mohammad Sjafe’i (INS Kayutanam) dan sebagainya. 2) Sekolah-sekolah yang sesuai
tuntutan agama (Islam), seperti yang diselenggarakan oleh: Muhammadiyah (dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan),
Nahdlatul Ulama (dipelopori oleh KH. Hasyim Asy’ari), Sumatera Tawalib di Padangpanjang, dan lain sebagainya. Selain itu,
sebelumnya telah diselenggarakan pula pendidikan oleh tokoh-tokoh wanita seperti R.A. Kartini (di Jepara), Rd. Dewi
Sartika (di Bandung), dan Rohana Kuddus (di Sumatera).
Umumnya dalam buku-buku Pengantar Pendidikan hanya menguraikan dua “aliran” pokok yaitu Perguruan
Kebangsaan Taman Siswa dan INS Kayutanam. Mengingat kiprah, pengaruh, dan perkembangnya saat ini maka kami
memasukkan pembahasan tentang Gerakan Pendidikan Muhammadiyah. Hal ini didasari pandangan Raharja (2008) bahwa
perjuangan pendidikan Perguruan Kebangsaan Taman Siswa, INS Kayutanam dan Muhammadiyah berkembang beriringan
dan secara signifikan berpengaruh terhadap pola pikir masyarakat pada saat itu hingga kini. Gerakan ketiganya sangat
berguna bagi masyarakat pada zaman perjuangan melawan penjajah saat itu. Ketiganya secara bersama-sama berupaya
untuk membawa para pemuda Indonesia menjadi warga yang tidak buta huruf, membela bangsa dan negaranya, serta
mampu mandiri untuk hidup di masyarakat (corak dan ciri nasionalisme).
1. Perguruan Kebangsaan Taman Siswa
Sementara berlangsung pemerintahan kolonial itu, ada pula dua tokoh pemuka Indonesia sendiri yang merintis
suatu sistem persekolahan tersendiri, yang secara teknis bersifat modern seperti sekolah-sekolah yang diperkenalkan oleh
Belanda, namun dalam semangat dan isi pelajaran sangat berjiwa ketimuran dengan membawa cita-cita kemandirian
bangsa. Tokoh pertama adalah R.M. Soewardi Soerjaningrat, atau lebih dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara. Perguruan
Kebangsaan Taman Siswa didirikan pada tahun 1921 atau tahun Caka 1852 yang memiliki semboyan “Lawan Sastra Ngesti
Mulia”. Setahun kemudian pada 3 Juli 1922 di Yogyakarta muncul organisasi baru benama Persatuan Taman Siswa yang
memiliki semboyan “Suci Tata Ngesti Tunggal”. Secara lengkap nama perguruan itu adalah “Nationaal Onderwijs Instituut
Taman Siswa”.
Sebagai tokoh pergerakan nasional, Ki Hajar Dewantara tidak ragu mencantumkan kata “nationaal” pada nama
perguruannya, dan dengan itu yang dimaksudkannya tentulah kenasionalan Indonesia yang bersatu untuk mengupayakan
kemerdekaan bangsa dari belenggu penjajahan. Falsafah pendidikan yang dikembangkannya bertolak dari penekanan
kepada pembentukan kemandirian dalam hubungan yang berkomunikasi hangat antara guru dan murid.
Pada tanggal 6 Januari 1923, dalam National Onderwijs Instituut Taman Siswa dibentuk majelis yang disebut
“Instituutraad”, yang bertugas memperlancar jalannya pendidikan. Dalam konferensinya di Yogyakarta tanggal 20-22
Oktober 1923, perguruan ini memperluas Institut menjadi Hoofdraat (Majelis Luhur). Pada tahun 1930, National Onderwijs
Instituut Tamansiswa diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi Perguruan Nasional Taman Siswa. Dalam
menjalankan proses pendidikannya dengan menggunakan “Sistem Among” yang mendasarkan pada: Pertama,
kemerdekaan sebagai syarat untuk menghidupkan dan menggerakan kekuatan lahir batin, sehingga dapat hidup berdiri
sendiri. Kedua, kodrat alam sebagai syarat untuk menghidupkan dan mencapai kemajuan dengan secepat-cepatnya dan
sebaik-baiknya (Sulistya, 2002).
Tercatat bahwa pada tahun 1942 cabang Taman Siswa berjumlah 199 sekolah tersebar di beberapa daerah,
terutama di pulau-pulau Jawa, Bali, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku, dengan pada waktu itu mempunyai sekitar
650 orang guru (Hassan, 2005; Tim Paradigma Pendidikan BSNP, 2010). Menurut Tirtarahardja & Sulo (2005) awalnya
Perguruan Kebangsaan Taman Siswa dalam bentuk yayasan, selanjutnya mulai didirikan Taman Indria (Taman Kanak-
Kanak) dan Kursus Guru, selanjutnya Taman Muda (SD), disusul Taman Dewasa merangkap Taman Guru (Mulo-
Kweekschool). Sekarang ini, telah dikembangkan sehingga meliputi pula Taman Madya, Prasarjana, dan Sarjana Wiyata.
Dengan demikian, Taman Siswa telah meliputi semua jenjang persekolahan, dari pendidikan prasekolah, pendidikan dasar,
pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
Falsafah pendidikan Ki Hajar Dewantara yang terkenal yang diungkapkan dalam bahasa Jawa berbunyai: “ing
ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”, sebagai pedoman perilaku bagi guru yang artinya: “di
depan memberi teladan, di tengah menyemangati, dan mengiringkan dari belakang sambil memberi kekuatan”. Tokoh ini
mendorong diberikannya juga bahan-bahan ajar yang digali dari kebudayaan setempat, sehingga dapat dikatakan bahwa
kiprahnya dalam penyelenggaraan pendidikan itu adalah juga merupakan suatu gerakan budaya.
a. Konsep Pendidikan Taman Siswa
Menurut Suprayoko (2006) ada tujuh konsep pendidikan dalam pandangan Taman siswa, yaitu
1) Pendidikan adalah Badan Perjuangan
Tamansiswa adalah badan perjuangan kebudayaan dan pembangunan masyarakat yang menggunakan pendidikan dalam
arti luas untuk mencapai cita-citanya. Bagi Tamansiswa, pendidikan bukanlah tujuan tetapi media untuk mencapai tujuan
perjuangan, yaitu mewujudkan manusia Indonesia yang merdeka lahir dan batinnya. Merdeka lahiriah artinya tidak dijajah
secara fisik, ekonomi, politik, dan sebagainya; sedangkan merdeka secara batiniah adalah mampu mengendalikan keadaan.
2) Anti Intelektualisme
Tamansiswa anti intelektualisme; artinya siapa pun tidak boleh hanya mengagungkan kecerdasan dengan mengabaikan
faktor-faktor lainnya. Tamansiswa mengajarkan azas keseimbangan (balancing), yaitu antara intelektualitas di satu sisi dan
personalitas di sisi yang lain. Maksudnya agar setiap anak didik itu berkembang kecerdasan dan kepribadiannya secara
seimbang.
3) Asas Pancadarma
Pendidikan Tamansiswa berciri khas Pancadarma, yaitu Kodrat Alam (memperhatikan sunatullah), Kebudayaan
(menerapkan teori Trikon), Kemerdekaan (memperhatikan potensi dan minat maing-masing indi-vidu dan kelompok),
Kebangsaan (berorientasi pada keutuhan bangsa dengan berbagai ragam suku), dan Kemanusiaan (menjunjung harkat dan
martabat setiap orang).
4) Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan Tamansiswa adalah membangun anak didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, merdeka lahir batin, luhur akal budinya, cerdas dan berketerampilan, serta sehat jasmani dan rohaninya
untuk menjadi anggota masyarakat yang mandiri dan bertanggung jawab atas kesejahteraan bangsa, tanah air, serta
manusia pada umumnya. Meskipun dengan susunan kalimat yang berbeda namun tujuan pendidikan Tamansiswa ini
sejalan dengan tujuan pendidikan nasional.
5) Konsep Tringa
Kalau di Barat ada “Teori Domein” yang diciptakan oleh Benjamin S. Bloom yang terdiri dari kognitif, afektif dan
psikomotorik maka di Tamansiswa ada “Konsep Tringa” yang terdiri dari ngerti (mengetahui), ngrasa (memahami) dan
nglakoni (melakukan). Maknanya ialah, tujuan belajar itu pada dasarnya ialah meningkatkan pengetahuan anak didik
tentang apa yang dipelajarinya, mengasah rasa untuk meningkat-kan pemahaman tentang apa yang diketahuinya, serta
meningkatkan kemampuan untuk melaksanakan apa yang dipelajarinya.
6) Sistem Among
Pendidikan Tamansiswa dilaksanakan berdasar Sistem Among, yaitu suatu sistem pendidikan yang berjiwa kekeluargaan
dan bersendikan kodrat alam dan kemerdekaan. Dalam sistem ini setiap pendidik harus meluangkan waktu sebanyak 24
jam setiap harinya untuk memberikan pelayanan kepada anak didik sebagaimana orang tua yang memberikan pelayanan
kepada anaknya. Sistem Among tersebut berdasarkan cara berlakunya disebut Sistem Tutwuri Handayani. Dalam sistem ini
orientasi pendidikan adalah pada anak didik, yang dalam terminologi baru disebut student centered. Di dalam sistem ini
pelaksanaan pendidikan lebih didasarkan pada minat dan potensi apa yang perlu dikembangkan pada anak didik, bukan
pada minat dan kemampuan apa yang dimiliki oleh pendidik. Apabila minat anak didik ternyata akan ke luar “rel” atau
pengembangan potensi anak didik di jalan yang salah maka pendidik berhak untuk meluruskannya.
7) Kerjasama
Untuk mencapai tujuan pendidikannya, Tamansiswa menyelanggarakan kerja sama yang selaras antartiga pusat pendidikan
yaitu lingkungan keluarga, lingkungan perguruan, dan lingkungan masyarakat. Pusat pendidikan yang satu dengan yang lain
hendaknya saling berkoordinasi dan saling mengisi kekurangan yang ada.

b. Asas dan Tujuan Taman Siswa


Menurut Tirtarahardja & Sulo (2005) Perguruan Kebangsaan Taman Siswa mempunyai tujuh asas perjuangan untuk
menghadapi pemerintah Kolonial Belanda serta sekaligus untuk mempertahankan kelangsungan hidup bersifat nasional,
dan demokrasi. Ketujuh asas tersebut dikenal dengan “asas 1922”, sebagai berikut:
1) Bahwa setiap orang mempunyai hak mengatur dirinya sendiri (zelf besschikkingsrecht) dengan mengingat
terbitnya persatuan dalam peri kehidupan umum.
2) Bahwa pengajaran harus memberi pengetahuan yang berfaedah yang dalam arti lahir dan batin dapat
memerdekakan diri.
3) Bahwa pengajaran harus berdasar pada kebudayaan dan kebangsaan sendiri.
4) Bahwa pengajaran harus tersebar luas sampai dapat menjangkau kepada seluruh rakyat.
5) Bahwa sebagai konsekuensi hidup dengan kekuatan sendiri maka mutlak harus membelanjai sendiri segala usaha
yang dilakukan (zelfbegrotings-system).
6) Bahwa sebagai konsekuensi hidup dengan kekuatan sendiri maka mutlak harus membelanjai sendiri segala usaha
yang dilakukan (Zelfbegrotings-system).
7) Bahwa dalam mendidik anak-anak perlu adanya keikhlasan lahir dan batin untuk mengorbankan segala
kepentingan pribadi demi keselamatan dan kebahagiaan anak-anak (berhamba pada anak didik). Didirikannya perguruan
Taman siswa disebabkan karena keadaan pendidikan bagi rakyat Indonesia yang sangat kurangnya pengajaran yang
diberikan oleh Belanda kepada bangsa Indonesia, pendidikannya sangat tidak sesuai dengan kepentingan hidup bangsa
Indonesia sendiri, dan bahkan meracuni jiwa anak, menanamkan jiwa budak pengabdi kepentingan kolonial sehingga
sangat mengecewakan rakyat Indonesia. Seperti diketahui, ketika Pemerintah Kolonial melaksanakan politik etis, jumlah
sekolah yang didirikan bertambah banyak. Walaupun jumlah sekolah dibandingkan dengan jumlah anak usia sekolah masih
sangat jauh dari cukup. Sekolah-sekolah tersebut dimaksudkan untuk memenuhi kepentingan kolonial, baik kepentingan
dalam bidang politik, ekonomi maupun administrasi yang sama sekali tidak ditujukan untuk kepentingan rakyat Indonesia
(Setiono et al., 2013).

Menurut Tirtaraharda & Sulo (2005) tujuan Taman Siswa adalah sebagai badan perjuangan kebudayaan dan
pembangunan masyarakat yang tertib dan damai. Tertib yang sebenarnya tidak akan ada jika tidak ada damai antara
manusia. Damai antara manusia hanya akan ada dalam keadilan sosial sebagai wujud berlakunya kedaulatan adab
kemanusiaan, yang menghilangkan segala rintangan oleh manusia terhadap sesamanya dalam sarat-sarat hidupnya, serta
menjamin terbaginya sarat-sarat hidup lahir batin, secara sama rata sama rasa. Sedangkan tujuan pendidikan Taman Siswa
ialah membangun anak didik beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjadi manusia yang merdeka lahir
dan batin, luhur akal budinya, , cerdas dan berketerampilan serta sehat jasmaninya untuk menjadi anggota masyarakat
yang berguna dan bertanggung jawab atas keserasian bangsa, tanah air, serta manusia pada umumnya. Oleh karena itu,
menurut Setiono et al (2013) tujuan didirikannya Taman Siswa tidak lain adalah untuk mendidik dan menggembleng
golongan muda serta menanamkan rasa cinta tanah air dan semangat anti penjajahan. Taman Siswa berperan dalam
menumbuhkan rasa nasionalisme bangsa Indonesia. Meskipun menggunakan sistem pendidikan modern Belanda, tetapi
taman siswa tidak mengambil kepribadian Belanda.
Taman Siswa berusaha untuk mencapai tujuannya, di lingkungan perguruan, dengan berbagai jalan, yaitu (1)
menyelenggarakan tugas pendidikan dalam bentuk perguruan dari tingkat dasar sampai tingkat tinggi; (2) mengikuti dan
mempelajari perkembangan dunia di luar Taman Siswa; (3) menumbuhkan lingkungan hidup keluraga Taman Siswa,
sehingga dapat tampak wujud masyarakat Taman Siswa yang dicita-citakan; (4) meluaskan kehidupan ke Taman Siswa-an di
luar lingkungan masyarakat perguruan, (5) menjalankan kerja pendidikan untuk masyarakat umum dengan dasar-dasar dan
hidup Taman Siswa;

(6) menyelenggarakan usaha-usaha kemasyarakatan dalam masyarakat dalam bentuk-bentuk badan sosial, Usaha-
usaha pembentukan kesatuan hidup kekeluargaan sebagai pola masyarakat baru Indonesia, usaha pendidikan kader
pembangunan, dan (7) mengusahakan terbentuknya pusat – pusat kegiatan kemasyarakatan dalam berbagai bidang
kehidupan dan penghidupan masyarakat. Berbagai hal seperti pemikiran tentang pendidikan nasional, lembaga-lembaga
pendidikan dari Taman Indria sampai dengan Sarjana Wiyata, dan sejumlah besar alumni perguruan. Ketiga pencapaian itu
merupakan pencapaian sebagai suatu yayasan pendidikan (Tirtarahardja & Sulo, 2005).

2. Ruang Pendidik INS Kayutanam


Sumatera Barat telah melahirkan pemikir-pemikir yang memiliki jiwa-jiwa besar dalam mewujudkan
kemerdekaan Indonesia dan memiliki peran penting di bidang pendidikan, salah satunya adalah Engku Mohammad Sjafe’i
(Zubir, 2001). Mohammad Sjafe’i lahir di Matan, Kalimantan Barat tahun 1895 (Tirtarahardja & Sulo, 2005). Mohammad
Sjafe’i, seorang anak yatim yang ditinggalkan Ayahnya semasa kecil dan diasuh ibunya bernama Sjafia, buta huruf yang
pekerjaannya membuat kue untuk dijajakan Sjafe’i. Ibu Sjafe’i tidak dapat menentukan hari dan tanggal lahir anaknya,
namun dapat diperkirakan tanggal 31 Oktober 1893 (Baihaqi, 2007). Mohammad Sjafe’i dijadikan anak angkat oleh Ibrahim
Mara Sutan (seorang guru negeri yang berpindah tugas ke beberapa tempat di Sumatera, kemudian juga ke Pontianak,
Kalimantan Barat) dan Andung Chalidjah (Navis, 1996; Zed, 2012).
Mohammad Sjafe’i mendirikan Ruang Pendidik INS Kayutanam pada tanggal 31 Oktober 1926 di Kabupaten
Padang Pariaman Sumater Barat. INS Kayutanam adalah satu sekolah modern bercorak nasional yang peranannya cukup
besar pada perkembangan dunia pendidikan Indonesia, khususnya di Sumatera Barat (Halimah, 2012). Setidaknya ada 3
alasan mengapa kita memberikan perhatian khusus pada pemikiran pendidikan Mohammad Sjafe’i, yaitu (1) tak diragukan
lagi ia termasuk salah seorang di antara sedikit tokoh pemikir besar dan praktisi di bidang pendidikan bangsa yang telah
menunjukkan reputasinya di masa lalu lewat ”ruang pendidikan INS” yang dibinanya sejak tahun 1926; (2) ia telah
menanam dan buah pendidikan yang dihasilkannya tidak hanya melahirkan orang-orang ber-keahlian di bidangnya masing-
masing, melainkan juga menelorkan generasi terpelajar yang telah tercerahkan dan mencerahkan kesadaran kebangsaan di
zaman penjajahan; (3) buah pendidikan para pendahulu ini, pada gilirannya telah menjadi bagian dari mata-rantai center of
excellence (”pusat keunggulan”) yang diperlukan bangsa Indonesia dalam membangun harga diri bangsa, lewat
“pendidikan yang memerdekakan” (Zed, 2012).
Pendidikan ini berkembang beriringan dengan perjuangan pendidikan Muhammadiyah maupun Taman Siswa.
Pendidikan INS Kayu Taman ini berpengaruh secara signifikan terhadap pola pikir masyarakat pada saat itu. INS Kayutanam
pada mulanya dipimpin oleh ayah angkatnya, kemudian diambil alih oleh Mohammad Sjafe’i (Rahardja, 2008). Terletak di
atas lahan erfpacht seluas 18 ha, komplek INS mulanya sangat sederhana. Saat pertama kali dibuka, minggu 31 Oktober
1926, yakni satu tahun setelah Sjafe’i pulang dari pendidikan di Belanda, bangunan sekolah itu masih menggunakan rumah
penduduk yang disewa, terletak di tengah-tengah Nagari Kayutanam, tidak jauh dari stasiun kereta api. Murid angkatan
pertama berjumlah 79 orang. Mereka datang dari berbagai daerah. Gurunya hanya Sjafe’i seorang, sehingga murid dibagi
dalam 2 kelas, belajar berganti hari. Waktu itu belum punya bangku dan meja dalam ruangan. Para murid belajar di lantai
beralas tikar, sedangkan papan tulis disandarkan pada kursi (Zed, 2012). Lahirnya Ruang Pendidik INS Kayutanam tidak
terlepas dari upaya Mohammad Sjafe’i mewujudkan cita-cita dari kedua orang tua angkatnya. Ia juga didukung oleh sebuah
organisasi perkumpulan buruh kereta api yang bernama Vereeniging Bumi Poetra Staats-Spoors (VBPSS) berkedudukan di
Padang yang dipimpin oleh Abdul Rachman. Tujuan awal pendidikan Ruang Pendidik INS Kayutanam adalah mendidik
manusia supaya menjadi manusia, membimbing anak didik kepada diri, dan bakat yang dimilikinya. Ruang Pendidik INS
Kayutanam lebih di kenal sebagai “Sekolah Ahli Tukang”, maksudnya lulusan Ruang Pendidik INS Kayutanam ini setiap
muridnya memiliki talenta dan kemauan untuk berkarya. Seperti kata Mohammad Sjafe’i, murid yang datang ke INS masuk
dengan satu pintu dan keluar dengan banyak pintu.

Barnadib (1983) dan Raharja (2008) menjelaskan bahwa sekolah dari Mohammad Sjafe’i sebagai bentuk reaksi
dari sekolah-sekolah Pemerintah Hindia Belanda. Sekolah ini memang kurang terkenal karena tidak mempunyai cabang
seperti sekolah-sekolah Muhammadiyah maupun Taman Siswa. Perkembangan sekolah ini mengalami pasang surut, sesuai
dengan keadaan Indonesia saat itu. Pada bulan Desember 1948 sewaktu Belanda menyerang ke Kayutanam, seluruh
gedung INS dihanguskan, termasuk ruang pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan di Padang Panjang. INS bangkit lagi
pada bulan Mei 1950, dengan 30 murid.

Menurut Fhadilla (2014) pada awal berdiri nama perguruan ini memakai bahasa Belanda yakni Indonesisch
Nederlandsch School dengan kependekan INS. Maksud nama ini menggunakan bahasa Belanda dikarenakan sewaktu
berdiri negara Indonesia berada di bawah kekuasaan Belanda agar tidak menimbulkan rasa curiga terhadap sekolah yang
didirikan oleh Mohammad Sjafe’i. Sebelumnya sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah Belanda dalam pemberian
nama selalu mendahulukan kata Hollandsch baru setelah itu kata Indonesisch. Pada masa pendudukan Jepang, kependekan
dari INS berganti arti yakni Indonesia Nippon School. Penamaan ini bertujuan sebagai pelindung diri atas kekejaman
tentara Jepang. Pada periode kemerdekaan Indonesia, kependekan dari INS berubah menjadi Indonesia National School,
nama ini sesuai dengan kondisi daerah Kayutanam saat itu. Pada tahun 1972 dalam rapat Munas di Jakarta, atas usulan
dari Prof. Dr. Deliar Noer mengusulkan agar kepanjangan dari INS diganti menjadi Institut Nasional Sjafe’i dan masyarakat
Kayutanam sendiri menyebut sekolah ini dengan sebutan “INS Kayutanam”. Pada tahun 1975 Ruang Pendidik SMA INS
Kayutanam memakai kurikulum nasional yang diintegrasikan dengan kurikulum Mohammad Sjafe’i. Mohammad Sjafe’i
terkenal dengan falsafahnya “Alam Takambang Jadi Guru” yang menekan pada keseimbangan otak, hati dan tangan.
Beberapa ungkapan lain yang bermuatan falsafah pendidikan dari tokoh ini antara lain adalah: “Jangan minta buah mangga
kepada pohon rambutan, tapi jadikanlah setiap pohon menghasilkan buah yang manis”; “Salah satu alat besar yang bisa
mengubah keadaan kita dan menolong mengejar ketinggalan-ketinggalan adalah Pendidikan yang bersifat aktif positif dan
belajar menurut bakat”; “Barang siapa yang mengeluh, ia kalah”; “Bangsa Indonesia tak dapat tidak akan mendapat
manfaat yang sangat besar apabila juga berpikir kritis dan logis”; “Pelajaran pekerjaan tangan tidak hanya mengenai
ketrampilan saja, banyak lagi sangkutannya dengan perkembangan jiwa si pelajar”, “Jadilah engkau, menjadi engkau”, dan
lain-lain. Kiranya kutipan-kutipan itu dapat menggambarkan pendekatannya dalam melaksanakan upaya pendidikan. Dapat
pula dikatakan bahwa Mohammad Sjafe’i telah lebih dahulu menerapkan pendekatan pendidikan yang jauh di kemudian
hari dirumuskan orang sebagai “student-centered learning” (Tim Paradigma Pendidikan BSNP, 2010).

A. Dasar dan tujuan pendidikan ins kayutanam


Pada awal didirikan, Pendidikan INS Kayutanam memiliki asas-asas, yaitu (1) berfikir dan rasional, (2) keaktifan dan
kegiatan, (3) pendidikan msyarakat, (4) memperhatikan pembawaan anak, dan (5) menentang intelektualisme
(Tirtarahardja & Sulo, 2005). Menurut Raharja (2008) setelah kemerdekaan, asas-asas tersebut dikembangkan menjadi
dasar-dasar pendidikan yang mencakup sebagai berikut.
1) Ketuhanan yang mahaesa.
2) Kemanusiaan
3) Kesusilaan.
4) Kerakyatan.
5) Kebangsaan.
6) Gabungan antara pendidikan ilmu umum dan kejuruan.
7) Percaya diri sendiri juga pada Tuhan.
8) Berakhlak (bersusila) setinggi mungkin.
9) Bertanggung jawab atas keselamatan nusa dan bangsa.
10) Berjiwa aktif positif dan aktif negatif.
11) Mempunyai daya cipta.
12) Cerdas, logis, dan rasional.
13) Berperasaan tajam, halus, dan estetis.
14) Gigih atau ulet yang sehat.
15) Correct atau tepat.
16) Emosional atau terharu.
17) Jasmani sehat dan kuat.
18) Cakap berbahasa Indonesia, Inggris, dan Arab.
19) Sanggup hidup sederhana dan bersusah payah
20) Sanggup mengerjakan sesuatu pekerjaan dengan alat serba kurang.
21) Sebanyak mungkin memakai kebudayaan nasional waktu mendidik.
22) Waktu mengajar, para guru sebanyak mungkin menjadi objek, dan murid-murid menjadi subjek. Bila hal ini tidak
mungkin barulah para guru menjadi subjek dan murid menjadi objek.
23) Sebanyak mungkin para guru mencontohkan pelajaran-pelajarannya, tidak hanya pandai menyuruh saja.
24) Diusahakan supaya pelajar mempunyai darah ksatria; berani karena benar.
25) Mempunyai jiwa konsentrasi.
26) Pemeliharaan (perawatan) sesuatu usaha.
27) Menepati janji. Sebelum pekerjaan dimulai dibiasakan menimbangnya dulu sebaik-baiknya. Kewajiban harus
dipenuhi.
28) Hemat.

Menurut Raharja (2008) sesuai dengan asas dan dasar pendidikan tersebut di atas, pendidikan INS Kayutanam memiliki
tujuan sebagai berikut.
1) Mendidik rakyat ke arah kemerdekaan.
2) Memberi pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
3) Mendidik para pemuda agar berguna untuk masyarakat.
4) Menanamkan kepercayaan terhadap diri sendiri dan berani bertanggung jawab.
5) Mengusahakan mandiri dalam pembiayaan.

Sehubungan dengan itu, menurut Tim Paradigma Pendidikan BSNP (2010) ada lima garapan utama yang dikembangkan
dalam INS Kayutanam tersebut, yaitu
1) kemerdekaan berpikir (dalam bentuk inovasi/kreativitas),
2) pengembangan ilmu pengetahuan, talenta/bakat (sebagai rakhmat Tuhan), dan potensi diri,
3) kemandirian dan entrepreneurship,
4) etos kerja, serta
5) akhlak mulia (sebagai pengejawantahan dari agama, etika, dan estetika).

B. Program Pendidikan dan Kurikulum Pendidikan INS Kayutanam


Menurut Tirtarahardja & Sulo (2005) terdapat beberapa program yang dilakukan oleh Mohammad Sjafe’i dan kawan-
kawan dalam mengembangan pendidikan nasional, antara lain:
1) memantapkan dan menyebarluaskan gagasan-gagasan tentang pendidikan nasional;
2) pengembangan kelembagaan, sarana prasarana pendidikan;
3) pemberantasan buta huruf; dan
4) penerbitan majalah anak-anak.
Menurut Raharja (2008) dalam bidang kelembagaan, antara lain INS Kayutanam menyelenggarakan berbagai jenjang
pendidikan, seperti:
1) ruang rendah (7 tahun, setara sekolah dasar),
2) ruang dewasa (4 tahun sesudah ruang rendah, setara sekolah menengah).
3) program khusus untuk menjadi guru, yaitu tambahan 1 tahun setelah ruang dewasa untuk pembekalan
kemampuan mengajar dan praktik mengajar.

INS Kayutanam telah mempraktikkan “community oriented project” di sekolahnya, sebelum perumusan itu
menjadi seluas sekarang dalam pembangunan pendidikan di Indonesia. Dengan demikian, tidaklah berlebihan jika
Mohammad Sjafe’i dianggap sebagai salah satu pelopor aliran modern dalam pendidikan di Indonesia. Pengajaran dan
pendidikan di sekolah harus berdasarkan kebutuhan masyarakat, antara sekolah dan masyarakat harus ada hubungan yang
erat, sekolah adalah bagian yang hidup dari masyarakat. Program pendidikannya mengutamakan pendidikan ketarampilan-
kerajinan dengan mengutamakan menggambar, pekerjaan tangan, dan sejenisnya.
Mohammad Sjafe’i melengkapi pendidikan dan pengajaran dengan mengutamakan “pelajaran ekspresi” yaitu
menggambar, menyanyi, dan pekerjaan tangan. Pelajaran olah raga dan kesenian sangat dipentingkan. Rencana pelajaran
dan metode pendidikan sekolah Mohammad Sjafe’i mendekati rancangan John Dewey di Amerika Serikat dan
Kerschensteiner di Jerman (Raharja, 2008).
Lebih lanjut menurut Rahardja (2008) di INS Kayutanam, para siswanya mendapat banyak latihan
mempergunakan tangannya dan membuat barang-barang yang berguna bagi keperluan hidup sehari-hari. Mohammad
Sjafe’i sependapat dengan Dewey dan menganggap corak pendidikan seperti itu (belajar dan bekerja) akan membentuk
watak, rasa sosial dan saling menolong anak didik. Anak didik diajarkan suatu pekerjaan yang sesuai dengan pembawaan
dan kemauannya untuk penghidupannya nanti, dengan harapan dapat membentuk pemuda-pemuda Indonesia yang tegak
sendiri, berusaha sendiri, hidup bebas dan tidak bergantung buat seumur hidupnya pada pemerintah. Mohammad Sjafei
berpendapat bahwa inisiatif seseorang dan perasaan tanggung jawab adalah sifat watak yang terpenting yang harus
dikembangkan. Usaha lain INS Kayutanam adalah menerbitkan “Sendi” (majalah anak-anak), buku bacaan dalam rangka
pemberantasan buta huruf atau aksara dan angka “Kunci 13”, serta mencetak buku-buku pelajaran. Semua upaya tersebut
dilakukan sebagai usaha mandiri, menolak bantuan-bantuan yang mungkin membatasi kebebasannya.
INS Kayutanam juga mengupayakan gagasan-gagasan tentang pendidikan nasional, terutama pendidikan
keterampilan atau kerajinan, beberapa jenjang pendidikan, dan sejumlah alumni. INS Kayutanam juga berupaya dapat
melakukan penyegaran dan dinamisasi, seiring dengan perkembangan masyarakat dan ilmu pengetahuan dan teknologi. Di
samping itu, upaya-upaya pengembangan pendidikan INS Kayutanam ini diarahkan dalam kerangka pengembangan dan
kemajuan sistem pendidikan nasional sebagai bagian dari usaha mewujudkan cita-citanya, yaitu mencerdaskan seluruh
rakyat Indonesia.
Prinsip pertama yang dipegang teguh oleh Mohammad Sjafe’i dalam pendidikannya adalah “belajar, bekerja, dan
berbuat”. Apabila murid hanya mendengarkan saja ilmu pengetahuan yang diajarkan guru melalui kata-kata yang kadang-
kadang tidak dimengerti, tidak akan berguna bagi murid karena mereka tidak tahu dan tidak akan pandai mempergunakan
pengetahuan tersebut dalam kehidupannya atau untuk memperbaiki tingkat kehidupannya kelak di kemudian hari sesudah
tamat belajar. Menurut Mohammad Sjafe’i pada setiap manusia terdapat tiga hal pokok yang dapat dikembangkan untuk
mendidik manusia itu ke arah yang dikehendaki, yaitu: melihat (45%), mendengar (25%) dan bergerak (35%). Apabila
melihat saja yang dilatih selama masa pendidikan, murid akan merupakan orang yang tidak berdaya dalam kehidupan
masyarakat di kemudian hari, karena mereka tidak akan dapat berbuat. Begitu juga dengan mendengar saja, akan
membentuk manusia peniru yang baik tanpa kesadaran. Dengan sistem yang demikian, Mohammad Sjafe’i berusaha
menanamkan watak yang teguh dan pendirian yang kuat terhadap murid-muridnya serta merupakan pekerja yang ulet dan
pantang menyerah. Hal demikianlah yang menyebabkan tamatan INS selalu berhasil dalam setiap bidang usahanya dalam
masyarakat (Halimah, 2012).
3. Gerakan Pendidikan Muhammadiyah
Muhammadiyah lahir di Kampung Kauman Yogyakarta, pada 18 November 1912 bertepatan dengan tanggal 18
Dzuhijjah 1330 Hijriah dengan diprakarsai oleh KH. Ahmad Dahlan (Hambali, 2006; Fakhruddin, 2005). KH. Ahmad Dahlan
(waktu mudanya bernama Raden Ngabehi Muhammad Darwis), lahir pada tanggal 1 Agustus 1868 di Kampung Kauman
Yogyakarta. Ayahnya seorang alim bernama K.H. Haji Abu Bakar, pejabat Khatib di Masjid Agung Kesultanan Yogyakarta.
Ibunya adalah putri Haji Ibrahim, pejabat penghulu kesultanan (Burhani, 2004). Dalam silsilah ia termasuk keturunan yang
kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali besar dan seorang yang terkemuka diantara Wali Songo, yang
merupakan pelopor pertama dari penyebaran dan pengembangan Islam di Tanah Jawa.
KH. Ahmad Dahlan tidak mengenyam pendidikan formal sebab orang-orang Islam melarang anaknya masuk
sekolah Gubernemen Belanda. Ia mendapat didikan dari ayahnya sendiri selanjutnya mengaji Bahasa Arab, Tafsir, Hadis
dan Fikih kepada Ulama-ulama di Yogyakarta. Pada umur 15 tahun, beliau pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima
tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti
Muhammad Abduh, al-Afghani, Rashid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Pada tahun 1903, beliau bertolak kembali ke Makkah dan
menetap selama dua tahun. Pada masa ini, beliau sempat berguru kepada Syekh Ahmad Khatib Al-Minanagkabawi yang
juga guru dari pendiri NU yakni Hasyim Asy’ari. Dua kali di Mekah belajar pada Syekh Ahmad Khatib Al-Minanagkabawi,
belajar Ilmu Tauhid, Fikih, Tasawuf, Falah dan yang menarik hatinya adalah Tafsir Al-Manar karya Muhammad Abduh.
Keprihatinan Ahmad Dahlan melihat pengalaman Islam di Indonesia membuat ia bertekad untuk bekerja keras
mengembalikan Islam sebagaimana landasan aslinya yaitu Al-Quran dan Al-Hadis (Salam, 1968; Jurdi, 2010).
Muhammadiyah itu bahasa Arab, berasal dari kata-kata “Muhammad” kemudian mendapat tambahan kata
“iyyah”. “iyyah” itu menurut tata bahasa Arab (Nahwu) bernama ya’ nisby, artinya untuk menjeniskan. Jadi
Muhammadiyah berarti sejenis dari Muhammad. Tegasnya golongan-golongan yang berkemauan mengikuti Sunnah Nabi
Muhammad SAW (Fakhruddin, 2005). Secara terminologi, Muhammadiyah merupakan gerakan Islam, dakwah amar ma’ruf
nahi munkar, berazaskan Islam, bersumber pada Al-Qur’an dan Sunah (Hadis). Pemberian nama Muhammadiyah dengan
maksud berpengharapan baik (bertafa’ul), mencontoh dan menteladani jejak perjuangan Nabi Muhammad SAW. Semua
ditujukan demi terwujudnya kejayaan Islam, sebagai idealitas dan kemuliaan hidup umat Islam sebagai realitas (Pasha &
Darban, 2000).
Setting sosial yang mengitari KH. Ahmad Dahlan telah memberikan inspirasi cemerlang untuk mendirikan
Muhammadiyah. Berdirinya Muhammadiyah di samping merupakan hasil dan telaah terhadap ajaran Al-Quran juga tidak
terlepas dari kondisi sosial masyarakat pada waktu itu. Pada saat kondisi yang tidak menentu K.H. Ahmad Dahlan muncul
sebagai salah seorang yang peduli terhadap kondisi yang dihadapi oleh masyarakat pribumi secara umum atau masyarakat
Muslim secara khusus.
Sejak kelahirannya, Muhammadiyah telah menetapkan garis perjuangan (khittah) untuk bergerak di bidang
da‘wah, sosial, dan pendidikan. Gagasan pendidikan yang dipelopori kyai Ahmad Dahlan, merupakan pembaruan karena
mampu mengintegrasikan aspek “iman” dan “kemajuan”, sehingga dihasilkan sosok generasi muslim terpelajar yang
mampu hidup di zaman modern tanpa terpecah kepribadiannya (Kuntowijoyo, 1985). Apresiasi sejarah terhadap
Muhammadiyah tidak bisa dilepaskan oleh faktor besarnya partisipasi organisasi ini dalam dunia Pendidikan. Partisipasi
Muhammadiyah dalam memperkuat bangsa ini dalam konteks Pendidikan dimulai sejak Muhammadiyah lahir pada tahun
1912. Hal ini mengingat bahwa salah satu faktor yang mendorong lahirnya Muhammadiyah adalah adanya realitas obyektif
yang menunjukkan bahwa kondisi Pendidikan bangsa ini di awal abad 20-an cukup memprihatinkan alias tertinggal.
Setidaknya salah satu problem yang dihadapi umat Islam pada fase awal abad ke- 20 adalah adanya kemunduran Islam
yang berpusat di pondok pesantren karena terisolasi dari perkembangan ilmu dan masyarakat modern. Salah satu yang
melatarbelakangi lahirnya Muhammadiyah adalah realitas sosial-pendidikan di Indonesia (Rokhim, 2014).
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa pada zaman kolonial Belanda, pendidikan yang diselenggarakan
pemerintah hanyalah untuk mencetak pegawai pegawai berpendidikan yang murah, sehingga pendidikan tersebut tidak
memperhatikan pendidikan moral dan agama bagi murid-murid pribumi. Sementara nasib pesantren yang mendalami ilmu
agama mengalami kemunduran pada akhir abad ke-19, karena pemerintah mengawasi dengan ketat perkembangan
pesantren. Pemerintah menganggap, pesantren merupakan sumber perlawanan terhadap pemerintah, karena pemerintah
melihat perlawanan yang dilakukan tokoh-tokoh ulama seperti: Tuanku Imam Bonjol, Teuku Cik di Tiro dan Pangeran
Diponegoro. Ordonansi pengawasan terhadap sekolah-sekolah yang mengajarkan agama dikeluarkan pada 1905. Guru-
guru agama yang akan mengajar harus mendapatkan izin mengajar dari pemerintahan setempat. Sementara itu dari pihak
pesantren, selalu menolak bentuk-bentuk intervensi dari pihak Barat (Belanda) dan sikap nonkooperatif inilah yang
kemudian mengakibatkan isolasi dalam kehidupan pesantren dan membuat pesantren mengalami kemunduran yang
diakibatkan oleh dikeluarkannya peraturan itu.
Kondisi pendidikan semacam ini menggerakkan seseorang dan beberapa badan swasta untuk mendirikan
pendidikan yang juga mengajarkan agama serta ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Salah satu badan swasta tersebut adalah
Muhammadiyah. KH. Ahmad Dahlan mempersiapkan sekolah-sekolah yang dapat menjadi penengah di antara dua model
sekolah tersebut, yaitu yang mengajarkan pengetahuan agama dan umum secara bersama-sama.
Buku Muhammadiyah 100 Tahun Menyinari Negeri (Febriansyah et al., 2013) menjelaskan bahwa Perkembangan
Muhammadiyah ternyata sangat cepat. Beberapa tahun setelah berdiri saja, telah berdiri cabang-cabang Muhammadiyah.
Di Srandakan, Wonosari, Imogiri, dan lain sebagainya. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan terjadi– saat itu
Pemerintah Hindia Belanda tidak merestui perkembangan Muhammadiyah, karena awalnya hanya diberikan izin untuk
bergerak di daerah Yogyakarta saja– akhirnya di luar Yogyakarta, cabang Muhammadiyah berdiri dengan nama lain. Sebut
saja Nurul Islam di Pekalongan, Al-Munir di Makassar, Ahmadiyah di Garut, dan perkumpulan SATF (Shiddiq, Amanah,
Tabligh, Fathonah) di Surakarta.
Mulailah berturut-turut, Muhammadiyah mendirikan sekolah. Di Karangkajen, Yogyakarta pada 1913, di
Lempuyangan tahun 1915, di Pasar Gede (Kota Gede) tahun 1916, dan seterusnya. Tahun 1918 didirikanlah sekolah bagi
calon guru agama yang dinamakan Qismul Arqa (sempat berganti nama menjadi Kweekschool Muhammadiyah dan
Kweekschool Isteri). Qismul Arqa ini yang kemudian kelak menjadi Madrasah Mu’allimin dan Mu’allimaat Muhammadiyah
Yogyakarta (berganti nama lagi pada kongres Muhammadiyah ke 23 di Yogyakarta pada tahun 1935), sekolah kader enam
tahun yang dikelola langsung oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Menyadari bahwa Muhammadiyah harus tumbuh berkembang terus, tidak hanya di Yogyakarta saja, K.H. Ahmad
Dahlan mengajukan permohonan untuk diizinkan mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta.
Permohonan itu diajukan pada 7 Mei 1921 dan dikabulkan baru pada 2 September 1921. Setelah keluarnya izin tersebut,
baru mulailah terbentuk Cabang-cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta. Berkembangnya Cabang-cabang
Muhammadiyah di luar Yogyakarta ini erat kaitannya dengan dakwah dan perdagangan. Meski pada awalnya beberapa
cabang berdiri tidak dengan nama Muhammadiyah karena memang tidak diperbolehkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda,
namun perlahan tapi pasti Muhammadiyah mulai berani menunjukkan eksistensinya di luar Yogyakarta.
Tercatat dalam sejarah bahwa Cabang Muhammadiyah yang pertama berdiri di luar Yogyakarta adalah di wilayah
timur Jawa yakni di Surabaya dan Blora pada 27 November 1921. Menyusul tidak terlalu lama kemudian adalah Cabang
Muhammadiyah di Kepanjen Malang pada 21 Desember 1921. Pada tahun 1922 Muhammadiyah mulai menggeliat di
daerah Jakarta, Surakarta, Purwokerto, Pekalongan, dan Pekajangan. Tercatat pada tahun 1923 Muhammadiyah
melebarkan sayapnya ke daerah Jawa Barat khususnya di Garut. Namun demikian, pada tahun 1920 pengaruh
Muhammadiyah sudah mulai dirasakan di daerah Minangkabau dimana pada tahun itulah Muhammadiyah mulai dikenal
oleh masyarakat di luar Pulau Jawa. Berturut-turut kemudian, pada tahun 1925 Muhammadiyah berdiri di Sungai Batang
dan Agam. Diawali dari Sumatera inilah mulainya Muhammadiyah berkembang di daerah Sulawesi dan Kalimantan. Pada
tahun 1927 Muhammadiyah dirasakan juga di daerah Bengkulu dan Banjarmasin. Pada tahun 1930, Muhammadiyah
menancapkan panjinya di ujung timur negeri ini yakni dengan resmi terbentuknya Muhammadiyah cabang Merauke. Baru
kemudian pada tahun 1938 secara masif Muhammadiyah mengepakkan sayapnya di seluruh bumi Nusantara.
Muhammadiyah telah melakukan proses-proses pencerahan, perubahan dan pengembangan masyarakat melalui
jalan modernisasi. Maksudnya, modernisasi dalam masyarakat muslim Indonesia sebagai sebuah model untuk melihat
fenomena-fenomena yang terjadi di Nusantara. Dengan modernisasi ini, Muhammadiyah telah meningkatkan harkat dan
martabat bangsa Indonesia sebagai bangsa yang modern. Sebab model-model tradisional yang pernah menjadi bagian
kehidupan bangsa ini, perlahan-lahan berubah. Modernisasi Muhammadiyah sebenarnya yang paling terang dapat dilihat
dari model-model pendidikan yang dikembangkan Muhammadiyah sejak awalnya. Model pendidikan Muhammadiyah,
sebenarnya merupakan model pendidikan ala Barat Kristen yang diadopsi untuk kemudian disesuaikan dengan kondisi
masyarakat Indonesia. Modernisasi Muhammadiyah juga terlihat dalam bentuk pembangunan rumah sakit dan panti
asuhan, yang merupakan karakteristik pelayanan sosial yang dilakukan oleh Barat Kristen dalam melakukan pelayanan
gerejawi. Di saat para Kiai masih menganggap sekolah yang memakai kursi dan meja untuk belajar itu merupakan sekolah
orang kafir, Ahmad Dahlan melampaui pemikiran itu dengan mendirikan sekolah yang bahkan tidak hanya mengajarkan
ilmu agama saja, tetapi juga ilmu-ilmu umum.
Menurut Febriansyah et al (2013) sesungguhnya, pendidikan yang digagas oleh Muhammadiyah sejak awal
organisasi ini didirikan adalah pendidikan yang diletakkan pada dasar/asas Islam dengan berpedoman Al-Qur’an dan
Sunnah Nabi. Pendidikan Muhammadiyah ditujukan untuk membentuk manusia yang alim dalam ilmu agama,
berpandangan luas dengan memiliki pengetahuan umum, serta siap berjuang mengabdi dalam rangka menyantuni nilai-
nilai keutamaan pada masyarakat. Tujuan pendidikan Muhammadiyah dapat diperjelas antara lain sebagai berikut:
a. Untuk membentuk pribadi berakhlak mulia;
b. Sebagai persiapan bekal menuju kehidupan dunia dan akhirat;
c. Persiapan untuk mencari rezeki dan pemeliharaan segi manfaat;
d. Menumbuhkan semangat ilmiah bagi para pelajar;
e. Menyiapkan pelajar dari segi profesi dan teknik agar dapat menguasai profesi atau ketrampilan tertentu;
f. Menumbuhkan potensi dan bakat asal pada anak didik;
g. Menumbuhkan kesadaran manusia untuk mengabdi, dan takut kepada Allah;
h. Menguatkan ukhuwah islamiyah dikalangan kaum muslim; dan
i. Untuk mencapai keridhaan Allah, menjauhkan murka dan siksaan-Nya serta melaksanakan pengabdian yang tulus
ikhlas kepada-Nya.

Sementara itu, menurut Qaidah PTM, Perguruan Tinggi Muhammadiyah merupakan lembaga pendidikan yang
menyelenggarakan pendidikan tinggi di lingkungan Persyarikatan Muhammadiyah, bertugas menyelenggarakan pembinaan
ketakwaan dan keimanan kepada Allah SWT, melaksanakan pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada
masyarakat menurut tuntunan ajaran Islam.
Pendidikan Muhammadiyah terus berkembang. Tidak hanya di Jawa saja, bahkan hingga ke seluruh pelosok
tanah air. Perlahan tapi pasti, di masing-masing daerah didirikan Sekolah. Menurut data Laporan Pimpinan Pusat
Muhammadiyah dalam Muktamar 1 Abad Muhammadiyah, sampai Mei 2010 tercatat jumlah lembaga pendidikan yang
dikelola oleh Muhammadiyah dan Aisyiyah sebagai berikut: Taman Kanak-Kanak 4.623 buah, PAUD 6.723 buah, SLB 15
buah, SD 1.370 buah, Madrasah Ibtidaiyah 1.079 buah, Madrasah Diniyah 347 buah, SMP 1.178 buah, Madrasah
Tsanawiyah 507 buah, SMA 589 buah, Madrasah Aliyah 158 buah, SMK 396 buah, Madrasah Muallimin/ Muallimat 7 buah,
Pondok Pesantrem 107 buah, dan Sekolah Menengah Farmasi 3 buah. Dalam data Majelis Pendidikan Tinggi PP
Muhammadiyah, sampai Oktober 2012 tercatat sebanyak 158 Perguruan Tinggi Muhammadiyah, terdiri dari 40 Universitas,
97 Sekolah Tinggi (terutama Sekolah Tinggi Ilmu Pendidikan, Ilmu Ekonomi, Agama Islam, Ilmu Tarbiyah, Ilmu Kesehatan),
17 Akademi (terutama Akademi Kebidanan dan Keperawatan), dan 4 Politeknik Muhammadiyah (Magelang, Pekalongan,
Tegal dan Yogyakarta).
Muhammadiyah merupakan gerakan modernis Islam yang mempunyai dampak paling luas di Indonesia bahkan di
dunia. Melihat pada skala amal usaha yang demikian besar, maka dapat dikatakan Muhammadiyah adalah sebuah gerakan
modernis di dunia yang menuai keberhasilan yang signifikan. Gerakan Ikhwanul Muslimin yang dipimpin Sayyid Qutb di
Mesir dan Jama’at Islam pimpinan Abdul A’la Al-Maududi di Pakistan, yang keduanya juga termasuk gerakan Islam
modernis, jika diukur segi ini, tertinggal jauh dibanding Muhammadiyah.
Patut disadari bahwa pada mulanya organisasi ini mendapat tantangan dan hambatan, terutama dari kaum adat
dan ulama tradisional. Muncul tuduhan bahwa Muhammadiyah menyimpang dari garis ahlus-sunnah wal-jama‘ah. Lambat
laun masyarakat mengalami “pencerahan pemikiran” bahwa modernisasi memang suatu keharusan. Kegiatan
Muhammadiyah yang dahulu dicela kini ditiru dan diikuti diam-diam. Sekolah-sekolah modern yang dahulu menjadi
tuduhan kepada Muhammadiyah meniru Belanda terpaksa didirikan oleh orang lain atau lembaga-lembaga dan ormas lain
juga. Golongan-golongan yang dahulu menghambat langkah Muhammadiyah akhirnya tidak mendapat jalan lain kecuali
meniru, mengikuti, dan bergabung dalam jejak Muhammadiyah.

Anda mungkin juga menyukai