Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

FILSAFAT PENDIDIKAN

Tentang

Paham Filsafat Pendidikan

Oleh :

Marhatun Fauziah

2020116

Kelas : PGSD D

Dosen Pengampu : Ena Suma Indrawati, M.Pd

Program Studi

Pendidikan Guru Sekolah Dasar

UNIVERSITAS ADZKIA

2023
Paham-Paham Filsafat Pendidikan

A. PROGRESSIVISME
a. Sejarah Progresivisme
Progresivisme adalah sebuah aliran filsafat pendidikan yang berkembang di awal abad ke
20, dan mempunya pengaruh sangat besar dalam dunia pendidikan terutama di Amreka Serikat.
Aliran ini betul-betul kelahiran bumi Amerika, sedangkan yang lainnya, adalah paham filsafat
yang tumbuh dan berkembang di eropa. Progresivisme lahir sebagai pembaharuan dalam dunia
(filsafat) pendidikan, terutama sebagai lawan terhadap kebijak sanaan konvensional yang
diwarisi dari abad kesembilan belas. Progresivisme bukan merupakan suatu bangunan filsafat
atau aliran filsafat yang berdiri sendiri, malainkan merupakan aliran suatu gerakan dan
perkumpulan yang didirikan tahun 1918. Selama 20 tahun menjadi gerakan yang sangat kuat di
Amerika Serikat banyak guru yang ragu-ragu terhadap gerakan ini.
Gerakan progeresik terkenal luas karena reaksinya terhadap formalisme dan sekolah
tradisional yang membosankan, yang menekankan disiplin keras belajar pisik dan banyak hal-hal
kecil yang tidak bermanfaat dalam pendidikan. Pengaruh progresivisme terasa di seluruh dunia,
terlebih-lebih di Amerika Serikat. Usaha pembaharuan di dalam lapangan pendidikan pada
umumnya terdorong oleh aliran progresivisme ini. Progresivisme menurut bahasa dapat diartikan
sebagai aliran yang menginginkan kemajuan-kemajuan secara cepat.
Dalam konteks filsafat pendidikan progresivisme adalah suatu aliran yang menekankan,
bahwa pendidikan bukanlah sekedar pemberian sekumpulan pengetahuan kepada subjek didik,
tetapi hendaklah berisi aktivitas-aktivitas yang mengarah pada pelatihan kemampuan berfikir
mereka sedemikian rupa, sehingga mereka dapat berfikir secara sistematis melalui cara-cara
inilah seperti memberikan analisis, pertimbangan, dan perbuatan kesimpulan menuju pemilihan
alternatif yang paling memungkinkan untuk pemecahan masalah yang dihadapi. Sedangkan
progresivisme menurut Brubacher, sebagaimana dikutip Muhammad As Said “kemajuan” atau
“progressive” merupakan sesuatu yang bersifat alamiah, dan berarti “perubahan”. Perubahan
memberi sesuatu yang baru harus benar-benar merupakan kenyataan dan bukan sekedar
pemahaman terhadap realita yang sesungguhnya, sebelumnya memang sudah demikian.
Kemajuan atau progressive itu, dari segi makna apapun , terutama mengandung pengertian
mengenai nilai (Value). Cuma, bia ditilik dari sudut pandangan pragmatis, betapapun nilai itu
selalu bersifat eksperimental. Menurut pandangan pragmatis ini, sesuatu dianggap progressivitas,
jika hal itu bisa membawa kepada suatu tujuan.
Progresivisme juga merupakan pandangan hidup yang mempunyai sifat-sifat:
1) Fleksibel (Tidak kaku, tidak menolak perubahan,dan tidak terikat oleh dokrin tertentu).
2) Curious (Ingin mengetahui, ingin menyelidiki)
3) Toleran dan open-minded (Mempunyai hati terbuka)
Progresivisme yakin bahwa manusia mempunyai kesanggupan-kesanggupan untuk
mengendalikan hubungannya dengan alam, sanggup meresapi rahasia¬rahasia alam, sanggup
menguasai alam. Namur disamping keyakinankeyakinan tersebut ada juga keyakinann dimana
apakah manusia itu sendiri mampu belajar bagaimana mempergunakan kesanggupan itu, tetapi
meskipun demikian progresivisme tetap bersikap optimis, tetap percaya bahwa manusia dapat
menguasai seluruh lingkungannya, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial. Pendidikan
bagi kaum progressive merupakan proses penggalian pengalaman terus-menerus. Pendidik
haruslah senantiasa siap sedia mengubah metode dan kebijakan perencanaan pembelajaran yang
dapat mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan perubahan lingkungan. Inti pendidikan
tidak terletak dalam usaha penyesuaian dengan masyarakat atau dunia luar sekolah, dan juga
tidak terletak dalam usaha untuk menyesuaikan dengan standar kebaikan, kebenaran, dan
keindahan yang abadi. Akan tetapi pendidikan merupakan usaha terus menerus merekostruksi
(menyusun ulang) pengalaman hidup.

b. Landasan Progresivisme
Pendidikan merupakan tafsiran terhadap rangkaian pengalaman sedemikian rupa sehingga
seseorang dapat mengertinya dengan lebih jelas dan dalam perspektif yang lebih benar.
Bertambahnya pengalaman bermakna tentang masa lalu dan masa sekarang memungkinkan
seseorang untuk lebih tepat mengarahkan diri pada jalan menuju pengalaman mendatang,
sehingga seseorang tidak hanya mengikuti arus, tetapi dapat menentukan jalannya sejarah.
Pengalaman memiliki makna substansial dalam pengalaman belajar. Pengalaman yang dimaksud
tidak sembarang pengalaman, tetapi sebuah pengalaman bermakna yang dialami oleh seseorang.
1) Landasan Ontologis Progresivisme Kenyataan alam semesta adalah kenyataan dalam
kehidupan manusia. Pengalaman adalah kunci pengertian manusia atas segala sesuatu,
pengalaman manusia tentang penderitaan, kesedihan, kegembiraan, keindahan dan lain-lain
adalah realita hidup manusia sampai ia mati. Bagi kaum progressif, tidak ada hal yang
absolut. Tidak ada prinsip apriori atau hukum alam yang abstrak. Kenyataan adalah
pengalaman transaksional yang selalu berubah. Dunia selalu berubah, dinamis. Hukum-
hukum ilmiah hanya bersifat probabilitas, tidak absolut. Dewey sebagai tokoh utama
progresivisme juga dipengaruhi oleh teori evolusi biologis dari Charles Darwin yang
meyakini bahwa manusia adalah makhluk yang berevolusi secara gradual melalui proses
alam, mulai dari sel yang sangat sederhana sampai kepada struktur yang sangat kompleks
sebagaimana yang tampak sekarang ini. Teori ini juga berasumsi bahwa manusia dengan
kecerdasannya akan melanjutkan evolusi melalui berbagai jalan dan cara agar dapat
meningkatkan kemampuan dirinya untuk bertahan hidup. Dewey meyakini bahwa manusia
berevolusi, berkembang tanpa batas melalui pendidikan. Walaupun menolak metafisika
sesungguhnya Dewey juga sudah mempunyai pandangan metafisika sendiri tentang
manusia. Dewey mengatakan bahwa manusia adalah pengalamannya. Manusia adalah
organisme yang memiliki pengalamannya sendiri. Suatu organisme tidak dapat berada tanpa
berinteraksi dengan lingkungannya. Hanya saja, Dewey tidak mau terlibat lebih jauh dalam
diskursus metafisika tentang eksistensi Tuhan dan takdir manusia. Perhatian Dewey dan
kaum progresif lainnya hanyalah tentang dunia ini sebagaimana dialami oleh manusia.
Itulah yang dapat dijangkau oleh ilmu pengetahuan (sains) untuk kita semua.
2) Landasan Epistemologis Progresivisme Progresivisme memang menolak metafisika, tetapi
mereka sangat vokal mengenai epistemologi. Epsitemologi ditempatkan sebagai pusat dari
filsafatnya . Mereka meyakini bahwa pengetahuan tidak ada artinya tanpa pengalaman
manusia yang terus berproses dan disempurnakan. Oleh karena manusia hidup dan
berinteraksi dengan makhluk lainnya, baik yang hidup maupun yang tidak, dalam suatu
lingkungan hidup, manusia tidak dapat mengelak bahwa ia memperoleh berbagai
pengalaman sebagai hasil dari interaksinya tersebut. Manusia memperoleh pengalaman
karena ia mencoba untuk mengatasi dan menyelesaikan masalah-masalahnya yang muncul
seiring dengan proses kehidupan itu sendiri. Pengalaman itu terbentuk dalam interaksi yang
aktif maupun yang pasif. Jika lingkungannya memunculkan masalah, maka manusia terkena
dampaknya; itulah yang disebut unsur pasif. Selanjutnya, manusia mengambil langkah-
langkah aktif untuk menyesuaikan diri dengan situasi baru yang diciptakan oleh
lingkungannya, atau ia memodifikasi dan mengubahnya. Manusia juga menanggung
konsekusensi tertentu yang mungkin muncul dari langkah-langkah yang diambil terhadap
lingkungan hidupnya.
3) Landasan Aksiologis Progresivisme Kaum progressif meyakini bahwa nilai-nilai berasal
dari masyarakat. Nilainilai bukan suatu kualitas yang sudah tetap dalam diri subjek, juga
bukan sesuatu yang berasal dari wahyu, melainkan berpusat pada manusia itu sendiri. Nilai-
nilai mengungkapkan keinginan, hasrat, minat, aspirasi, dan ambisi individu-individu dan
juga kelompok. Dengan kata lain, apa pun yang dipandang berharga, atau diinginkan, itulah
artinya nilai bagi individu atau kelompok tersebut (Akinpelu, 1988: 146). Jadi, individu
atau masyarakat menentukan nilainilainya sendiri. Masyarakat menjadi wadah timbulnya
nilai-nilai. Nilai-nilai bersifat relatif, tidak ada prinsip mutlak. Nilai timbul karena manusia
mempunyai bahasa, dengan demikian timbul pergaulan. Bahasa adalah sarana ekspresi yang
berasal dari dorongan, kehendak, perasaan dan kecerdasan individu. Nilai itu benar atau
salah, baik atau buruk dapat dikatakan ada, bila menunjukkan kecocokan dengan hasil
pengujian yang dialami manusia dalam pergaulan manusia. Kriteria tindakan etik adalah uji
sosial dalam masyarakat. Kriteria keindahan (estetik) bergantung pada selera sosial. Seni
tidak dibedakan antara yang tinggi dan praktis.
4) Pandangan tentang Asas Belajar Pandangan aksiologi tersebut berimplikasi pada padangan
tentang asas belajar menurut progresivisme.

John Dewey sebagai bapak progresivisme mengatakan bahwa pendidikan dipandang


sebagai proses dan sosialisasi, yaitu proses pertumbuhan dan proses belajar dari kejadian di
sekitarnya (gutek, 1988: 85). Oleh karena itu, dinding pemisah antara sekolah dan masyarakat
perlu dihapuskan, sebab belajar yang baik tidak cukup di sekolah saja. Sekolah yang ideal adalah
sekolah yang isi pendidikannya berintegrasi dengan lingkungan sekitar. Sekolah adalah bagian
dari masyarakat. Sekolah harus menyajikan program pendidikan yang dapat memberikan
wawasan kepada peserta didik tentang apa yang menjadi karakteristik atau kekhasan daerah
tersebut. Sekolah adalah transfer of knowledge sekaligus transfer of value. Sekolah bertujuan
menghasilkan orang yang cakap yang dapat berguna di masyarakat kelak. Sekolah berfungsi
mengajarkan generasi muda untuk mengelola dan mengatasi perubahan dengan cara yang benar.
Sekolah membiasakan peserta didik untuk belajar beradaptasi dengan dunia yang selalu berubah
baik sekarang maupun di masa datang. Sekolah adalah juga sebagai wahana peserta didik belajar
demokrasi. Sekolah adalah kehidupan demokratis dan lingkungan belajar yang setiap orang
berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan sebagai antisipasi untuk proses kehidupan
masyarakat yang lebih luas. Perubahan sosial, ekonomi dan politik dipandang baik sepanjang
memberikan kondisi yang lebih baik bagi masyarakat.

c. Kelebihan dan Kekurangan Progressivisme


Kelebihan dan kekurangan pendidikan Progressivisme Progresivisme bukan merupakan
bangunan filsafat atau aliran filsafat yang berdiri sendiri, melainkanmerupakan suatugerakan dan
perkumpulan yang didirikan pada tahun 1918. Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan yang
benar pada masa kini mungkin tidak benar di masa mendatang. Pendidikan harus terpusat pada
anak bukannya memfokuskan pada guru atau bidang muatan. Kelebihan Filsafat Pendidikan
Progresivisme
1) Siswa diberi kebebasan untuk mengembangkan bakat dan kemampuannya.
2) Siswa diberi kebebasan untuk mengemukakan pendapatnya.
3) Siswa belajar untuk mencari tahu sendiri jawaban dari masalah atau pertanyaan yang timbul
di awal pembelajaran. Dengan mendapatkan sendiri jawaban itu, siswa pasti akan lebih
mengingat materi yang sedang dipelajari.
4) Membentuk output yang dihasilkan dari pendidikan di sekolah memilki keahlian dan
kecakapan yang langsung dapat diterapkan di masyarakat luas.
5) Nilai-nilai yang dianut bersifat fleksibel terhadap perubahan.
6) Toleran dan terbuka sehingga menuntut untuk selalu maju bertindak secara konstruktif,
inovatif, reformatif, aktif serta dinamis
7) Anak didik diberikan kebebasan secara fisik maupun cara berfikir, guna mengembangkan
bakat, kreatifitas dan kemampuan yang terpendam dalam dirinya tanpa terhambat oleh
rintangan yang dibuat oleh orang lain.
8) Menjadikan anak didik memiliki kulalitas dan terus maju sebagai generasi yang akan
menjawab tantangan zaman peradaba baru.
Kekurangan Filsafat Pendidikan Progresivisme
1) Mengabaikan kurikulum yang telah ditentukan, yang menjadi tradisi sekolah.
2) Mengurangi bimbingan dan pengaruh guru. Siswa memilih aktivitas sendiri.
3) Siswa menjadi orang yang mementingkan diri sendiri, ia menjadi manusia yang tidak
memiliki self discipline, dan tidak mau berkorban demi kepentingan umum.
4) Progresivisme tterlampau menekankan pada pendidikan individu
5) Kelas sekolah progresif artifisial atau dibuat-buat dan tidak wajar
6) Progersivusme bergantung pada minat dan spontan. Siswa merencanakan sesuatu sendiri
dan mereka tidak bertanggung jawab terhadap hasil dari tugas-tugas yang dikerjakan.

d. Prinsip Pendidikan Progresif Prinsip-prinsip pendidikan Progresif


1. Pendidikan adalah hidup itu sendiri, bukan persiapan untuk hidup kehidupan yang baik
adala kehidupan intelegen, yaitu kehidupan yang mencakup pengalaman. Anak akan
memasuki situasi belajar yang disesuaikan dengan usianya dan berorientasi pada
pengalaman.
2. Pendidikan harus berhubungan secara langsung dengan minat anak, minat individu, yang
dijadikan sebagai dasar motivasi belajar. Sekolah menjadi “child centered”, dimana
proses belajar ditentukan terutama oleh anak. Secara kodrati anak suka belajar apa saja
yang berhubungan dengan minatnya, atau untuk emmecahkan masalahnya. Begitu pula
pada dasarnya anak akan menolak apa yang dipaksakan kepada anaknya. Anak akan
belajar dan mau belajar karena merasa perlu, tidak karena terpaksa oleh orang lain. Anak
akan mampu melihat relevansi dari apa yang dipelajari terhadap kehidupannya.
3. Belajar melalui pemecahan masalah akan menjadi presenden terhadap pemberian subejk
matter. Jadi, belajar harus dapat memecahkan masalah yang penting dan bermanfaat bagi
kehidupan anak. Dalam memecahkan suatu masalah
4. Peranan guru tidak langsung, melainkan memberi petunjuk kepada siswa. Kebutuhan dan
minat siswa akan menentukan apa yang mereka pelajari. Anak harus diizinkan untuk
merencanakan perkembangan diri mereka sendiri, dan guru harus membimbing kegiatan
belajar.
5. Sekolah harus member semangat bekerja sama, bukan mengembangkan persaingan.
Manusia pada dasarnya sosial, dan keputusan yang paling besar pada manusia karena ia
berkomunikasi dengan yang lain. Progresivisme berpandangan bahwa kasih saying dan
persaudaraan lebih berharga bagi pendidikan daripada persaingan dan usaha pribadi.
Karena itu, pendidikan adalah rekonstruksi pengalaman, mengarah kepada rekonstruksi
manusia dalam kehidupan sosial. Persaingan tidak ditolak, namun persaingan tersebut
harus mampu mendorong pertumbuhan pribadi.
6. Kehidupan yang demokratis merupakan kondisi yang diperlukan bagi pertumbuhan.
Demokrasi, pertumbuhan, dan pendidikan saling berhubungan. Untuk mengajar
demokrasi, sekolah sendiri harus demokratis. Sekolah harus meningkatkan “student
government”, diskusi bebas tentang suatu masalah, partisipasi penuh dalam semua
pengalaman pendidikan. Namun sekolah tidak mengindoktrinasi siswa-siswa dengan tata
sosial yang baru.

B. PERENIALISME
a. Sejarah Perenialisme
Perenialisme berasal dari kata perennial diartikan sebagai continuing throughout the whole
year atau lasting for e very long time, yakni abadi atau kekal dan dapat berarti pula tiada akhir.
Dengan demikian, esensi kepercayaan filsafat perenial ialah berpegang pada nilai-nilai atau
normanorma yang bersifat abadi. Aliran ini mengambil analogi realiata social budaya manusia,
seperti realita sepohon bunga yang terus menerus mekar dari musim ke musim,datang dan pergi,
berubah warna secara tetap sepanjang masa, dengan gejala yang terus ada dan sama. Jika gejala
dari musim ke musim itu dihubungkan satu dengan yang lainnya seolah-olah merupakan benang
dengan corak warna yang khas, dan terus menerus sama (Dalam pengertiannya yang lebih umum
dapat dikatakan bahwa tradisi dipandang juga sebagai prinsip-prinsip yang abadi yang terus
mengalir sepanjang sejarah manusia, karena ini adalah anugrah Tuhan pada semua manusia dan
memang merupakan hakikat insaniah manusia.
Karena esensi aliran ini berupaya menerapkan nilai-nilai atau normanorma yang bersifat
kekal dan abadi yang selalu seperti itu sepanjang sejarah manusia, maka prenialisme dianggap
sebagai suatu aliran yang ingin kembali atau mundur kepada nilai-nilai keudayaan masa lampau.
Kembali kepada masa lampau dalam konteks aliran ini, bukanlah dalam pengertian bernostalgia
dan sekedar mengingat-ingat kembali pola kehidupan masa lalu,tetapi untuk membina kembali
keyakinan akan nilainilai asasi masa silam untuk menghadapi problema kehidupan manusia saat
sekarang dan bahkan sampai kapan pun dan di mana pun. Dengan demikian maka prenialisme ini
menginginkan bahwa budaya, adat istiadat-istiadat yang terbiasa mereka lakukan merupakan
suatu yang abadi, kekal tanpa akhir.
Aliran perenialisme beranggapan bahwa pendidikan harus didasari oleh nilai-nilai cultural
masa lampau, regressive road to culture, oleh karena kehidupan modern saat ini banyak
menimbulkan krisis dalam banyak bidang. Perenialisme mengambil jalan regresif karena
mempunyai pandangan bahwa tidak ada jalan lain kecuali kembali kepada prinsip umum yang
telah menjadi dasar tingkah laku dan perbuatan zaman Yunani Kuno dan abad pertengahan.
Yang dimaksud dengan ini adalah kepercayaankepercayaan aksiomatis mengenai pengetahuan,
realitas, dan nilai dari zaman tersebut (Assegaf, 2011: 193). Perenialisme dapat dikenali dengan
mudah karena memiliki kekhasan, diantaranya adalah: pertama, bahwa perenialisme mengambil
jalan regresif, yaitu kembali kepada nilai dan prinsip dasar yang menjiwai pendidikan pada masa
Yunani Kuno dan Abad Pertengahan. Kedua, perenialisme beranggapan bahwa realita itu
mengandung tujuan. Ketiga, perenialisme beranggapan bahwa belajar adalah latihan dan disiplin
mental. Keempat, perenialisme beranggapan bahwa kenyataan tertinggi itu berada di balik alam,
penuh kedamaian, dan transcendental. Perenialisme, sesuai dengan namanya yang berarti segala
sesuatu yang ada sepanjang sejarah, melihat bahwa teradisi perkembangan intelektual yang ada
pada zaman yunani kuno dan abad pertengahan yang telah terbukti dapat memberikan solusi bagi
berbagai problem kehidupan masyarakat perlu digunakan dan diterapkan dalam menghadapi
alam modern yang sarat dengan problem kehidupan.
Kondisi dunia modern yang sangat mengandalkan rasionalitas empirispositivistis yang
memandang kebenaran dalam konteksnya yang serba terukur, teramati dan teruji secara inferesial
yang melihat realitas sebagai sesuatu yang serba materi, telah pula memunculkan berbagai
problem kemanusiaan, seperti munculnya sikap ambivalinsi yang mencengkam dan
mendatangkan kebingungan, kebimbangan, kecemasan, ketakutan dalam bertingkah laku,
sehingga manusia hidup dalam ketidak menentuan dan cendrung kehilangan arah dan jati
dirinya. Pengabdian berpikir logis dalam hal ini telah pula memunculakan ketidakmampuan
manusia melihat pengetahuan yang sebenarnya. Hal ini mengingat corak kehidupan yang serba
rasional bertujuan dengan landasan empiris-positivistis yang melihat realitas dan fakta-fakta
yang terverfikasi dan terukur secara ketat, telah pula menjadikan ilmu pengetahuan dan ternologi
sebagai orentasi kehidupan. Dengan memperhatikan pengertian di atas dan latar belakang
timbulnya prenialisme tersebut dapat kita pahami bahwa pada dasarnya aliran ini berasal dari
pemikiran orangorang eropa yang berusaha untuk mencari jawaban akibat banyaknya
ketimpangan, kekacauan, kebingungan, serta berbagai problematika lainnya. Mereka
menganggap bahwa ide umum yang terkandung dalam pemikiran filosof zaman Yunani Kuno
dan abad pertengahan itu adalah memiliki nilai yang ideal dan masih relevan untuk menjawab
persoalan masa kini.
b. Landasan Perenialisme
Perenialisme sebagaimana aliran filsafat pendidikan lainnya mempunyai tiga landasan
filsafati, yaitu landasan ontologis, landasan epistemologis, dan landasan aksiologis. Masing-
masing landasan dapat dijelaskan sebagaimana berikut.
1. landasan Ontologis Perenialisme Ontologi perenialisme mengikuti paham Aristoteles
bahwa manusia adalah makhluk rasional (animal rationale). Benda individual adalah
benda sebagaimana nampak di hadapan manusia ditangkap oleh panca indera sebagai
substansi. Segala sesuatu (benda dan manusia ) ada esensinya di samping ada aksidensi.
Esensi benda-benda dan manusia lebih diutamakan daripada aksidensinya. Segala sesuatu
itu mempunyai unsur potensialitas yang dapat menjadi aktualitas melalui tindakan
“berada”.. Manusia adalah potensialitas yang sedang berubah menjadi aktualitas (Gutek,
1988: 271). Selain Aristoteles, tokoh lain yang menjadi panutan kaum perenialis adalah
Thomas Aquinas. Dalam pandangan Thomas Aquinas (via Kneller, 1982: 20) manusia
didefinisikan sebagai suatu “spirit-dalam-dunia”, suatu perwujudan spirit yang memiliki
kesatuan esensial jasmani yang hidup. Manusia adalah unik, karena ia disusun dari
pemenuhan kebutuhan badaniah dan subtansi spiritual dan diletakkan di antara dua dunia,
dengan situasi jiwanya pada batas antara surga dan bumi. Manusia memiliki keabadian,
ketidakmatian, dan jiwa yang bukan material yang menghidupkan prinsip-prinsip
kesadaran diri dan kebebasan. Jiwa manusia menuntut (meminta) perwujudan dan
memiliki sejarah, dan eksistensi sosial, suatu kesementaraan, berkaitan dengan bagian,
yang mana manusia mengetahui, mencintai dan memilih. Untuk kesinambungan alam,
masing-masing manusia dibentuk oleh waktu, tempat dan partisipasi khusus dalam tulisan
biografinya sendiri. Manusia adalah makhluk sosial yang dilahirkan, tumbuh, dewasa, dan
meninggal dalam keluarga dan komunitas sosial. Sebagai hewan sosial dan komunikatif,
manusia mengembangkan bahasa formal, menulis, dan membaca. Pola komunitas dan
komunikasi diperoleh dan harus dipelajari. Sekolah sebagai agen sosial menyumbang
perkembangan manusia sebagai seorang pemiikir dan partisipan komunikasi dalam
masyarakat hidup.
2. Landasan Epistemologis Perenialisme Perenialisme berpandangan bahwa segala sesuatu
yang dapat diketahui dan merupakan kenyataan bersandar pada kepercayaan. Kebenaran
adalah sesuatu yang menunjukkan kesesuaian antara pikir dengan benda-benda.
Kebenaran hakiki yang tertinggi dapat diperoleh dengan metode deduksi. Kebenaran
hakiki itulah yang tertuang di dalam kajian metafisika, sedangkan kebenaran realita
khusus kongkrit diperoleh dengan metode induksi yang hasilnya berupa sains (ilmu alam)
dan ilmu empiris lainnya. Manusia secara bersama-sama berhubungan dengan realita
materi melalui pemahamannya. Melalui pengalamannya, manusia dapat memahami objek
dan pribadi yang lain. Semua pemahamannya ini adalah kekuatan badan yang menyatukan
manusia secara langsung dengan objek sensasi individu. Pikiran manusia memberikan
kekuatan menyusun konsep dari pengalaman sensori dengan abstraksi dan memilih
karakteristik atau kualitas kehadiran objek. Konsep dibentuk oleh pikiran ketika mereka
memahami universalitas, atau kualitas esensial, dibebaskan dari pembatasan materi
konkrit. Konsep bukan konstruksi material atau pemahaman abstrak yang dapat
dimanipulasi oleh penalaran manusia. Dengan organisasi konsep, manusia dapat
menggeneralisasi pengalaman dan dapat menkonstruksi alternatif tindakan yang mungkin
dapat dilakukan.
3. Konsep Pendidikan menurut Perenialisme Manusia hidup di alam dan lingkungan sosial
dan memiliki jasmani. Bahwa pengetahuan dan keterampilan yang memungkinkan
manusia menopang jasmani dan eksitensi jiwanya juga termasuk dalam kurikulum.
Sebagai sebuah produk dari sejarah, manusia menciptakan biografi dirinya. Ketika hidup
di masyarakat, manusia membutuhkan etika, sistem hukum, dan sistem politik dan sistem
ekonomi yang memberikan keberadaan personal dan sosial yang baik. Oleh karena
manusia adalah makhluk sosial dan komunal, bahasa dan keterampilan membaca menjadi
penting. Hal itu menyumbang komunikasi dan bentuk komunitas dasar utama pendidikan
formal. Keterampilan membaca, berbicara, dan menulis adalah bagian penting pendidikan
dasar manusia.
4. Landasan Aksiologis Penerialisme Nilai-nilai berdasarkan azas supranatural yang abadi
dan universal. Manusia sebagai subjek telah memiliki potensi untuk menjadi baik sesuai
dengan kodratnya, tetapi ada kecendrungan dan dorongan untuk berbuat tidak baik.
Kebaikan tertinggi adalah mendekatkan diri pada Tuhan sesudah itu baru kehidupan
berpikir rasional. Tokoh-tokoh yang berpengaruh untuk aliran perenialisme adalah
filsuffilsuf Yunani Kuno seperti Plato, Aristoteles dan filsuf Abad Pertengahan seperti
Thomas Aquinas.
c. Pemikiran Perenialisme Tentang Pendidikan
Filsafat perenialisme dalam pendidikan lahir pada abad ke-20. Perenialisme lahir dari suatu
reaksi terhadap pendidikan progresif. Perenialisme menentang pandangan progresivisme yang
menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Perenialisme memandang situasi dunia dewasa
ini penuh kekacauan, ketidakpastian, terutama dalam kehidupan moral, intelektual, dan sosio-
kultural. Solusi yang ditawarkan kaum perenialis adalah dengan jalan mundur ke belakang
dengan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi
pandangan hidup yang kukuh, kuat pada zaman kuno dan abad pertengahan.
Peradaban-kuno (Yunani Purba) dan abad pertengahan dianggap sebagai dasar budaya
bangsa-bangsa di dunia dari masa ke masa dan dari abad ke abad. Oleh karena itu, perenialisme
memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses mengembalikan keadaan manusia
sekarang seperti dalam kebudayaan ideal yang dimaksud, education as cultural regression.
Perenialisme tidak melihat jalan yang meyakinkan selain kembali kepada prinsip-prinsip yang
telah sedemikian membentuk sikap kebiasaan, bahkan kepribadian manusia selain kebudayaan
dahulu dan kebudayaan abad pertengahan. Perenialisme tidak memiliki kepercayaan diri bahwa
zaman ini tidak akan berubah menjadi baik jika tidak kembali pada nilai-nilai budaya lama yang
dianggapnya ideal dan sudah mapan (Ahmadi, 2014: 100-101).
Perenialisme percaya bahwa seseorang harus megajarkan hal-hal yang dianggap menjadi
kemanfaatan abadi bagi semua orang di mana-mana. Mereka percaya bahwa topic yang paling
penting adalah mengembangkan seseorang. Karena detail fakta berubah terus-menerus, ini tidak
dapat menjadi yang paling penting. Oleh karena itu, seseorang harus mengajarkan prinsipprinsip
bukan fakta. Karena orang adalah manusia, kita harus mengajarkan pertama tentang manusia,
bukan mesin atau teknik. Jika semuaya demikian, seorang harus mengajarkan topik liberal,
bukan topictopik vokasiona. Tentang pendidikan kaum Perenialisme memandang education as
cultural regression : pendidikan sebagai jalan kembali, atau proses mengembalikan keadaan
manusia sekarang seperti dalam kebudayaan masa lampau yang dianggap sebagai kebudayaan
ideal.
Tugas pendidikan adalah memberikan pengetahuan tentang nilainilai kebenaran yang pasti,
absolut, dan abadi yang terdapat dalam kebudayaan masa lampau yang dipandang sebagai
kebudayaan ideal tersebut.Sejalan dengan hal di atas, penganut Perenialisme percaya bahwa
prinsipprinsip pendidikan juga bersifat universal dan abadi. Dalam hal pendidikan, perenialisme
memandang bahwa tujuan utama pendidikan adalah untuk membantu siswa dalam memperoleh
dan merealisasikan kebenaran abadi. Aliran ini menilai bahwa kebenaran itu bersifat universal
dan konstan. Maka jalan untuk mencapainya adalah melatih intelek dandisiplin mental.
Tujuan pendidikan tersebut terurai dalam format kurikulum yang berpusat pada materi
(contend based, subjectcentered) dan mengutamakan disiplin ilmu sastra, matematika, bahasa,
humaniora, sejarah dan lain-lain. Perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali
atau proses pengembalian keadaan sekarang. Perenialisme memberikan sumbangan yang
berpengaruh, baik berupa teori maupun praktik bagi kebudayaan dan pendidikan zaman
sekarang. Maka, dapat dikatakan bahwa perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan
kembali, yaitu sebagai suatu proses mengembalikan kebudayaan sekarang (zaman modern atau
modernistik) ini terutama pendidikan zaman sekarang ini perlu dikembalikan kebudayaan pada
masa lampau.
Perenialisme merupakan aliran filsafat yang medasarkan pada kesatuan, bukan mencerai-
beraikan; menemukan persamaan-persamaan, bukan membandingbandingkan; serta memahami
isi, bukan melihat luar atas berbagai aliran dan pemikiran. Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa
perenialisme merupakan filsafat yang susunannya mempunyai kesatuan. Susunan tersebut
merupakan hasil pikiran yang memberikan kemungkinan bagi seseorang untuk bersikap tegas
dan lurus. Oleh karena itulah, perenialisme berpendapat bahwa mencari dan menemukan arah
tujuan yang jelas merupakan tugas yang utama dari filsafat, khususnya filsafat pendidikan.
Perenialisme sebagai sebuah aliran dalam filsafat pendidikan yang mendasari dirinya pada
keyakinan bahwa pengetahuan sejatinya yang didapat melalui ruang dan waktu mestilalah
membentuk dasar-dasar pendidikan seseorang. Oleh karena itu tugas pendidikan itu adalah
mengajar, termasuk mengajar pengetahuan yang mana pengetahuan itu termasuk kebenaran.
Kebenaran itu sendiri dimana-mana sama, sedemikian rupa menjadikan pendidikan itu dimana
pun mestilah sama, sedangkan anak didik sebagai individu dipandang oleh kelompok ini adalah
sebagai makhluk rasional dan spiritual.
Secara implisit tentunya juga anak didik adalah makhluk moral dan etik. Prinsip mendasar
pendidikan bagi aliran perennial ini adalah membantu subjek-subjek didik menemukan dan
menginternalisasikan kebenaran abadi, karena memang kebenarannya sifat universal dan tetap.
Kebenaran-kebenaran seperti ini hanya dapat diperoleh subjek-subjek didik melalui latihan
intelektual yang dapat menjadikan pikirannya teratur dan tersistematisasi sedemikian rupa. Hal
ini semakin penting terutama jika dikaitkan dengan persoalan pengembangan spiritual manusia.
Aliran ini meyakini bahwa pendidikan adalah transfer ilmu pengetahuan tentang kebenaran
abadi. Pengetahuan adalah suatu kebenaran sedangkan kebenaran selamanya memiliki kesamaan.
Oleh karena itu pula maka penyelengaraan pendidikan pun di mana-mana mestilah sama.
Pendidikan mestilah mencari pola agar subjek-subjek didik dapat menyesuaikan diri bukan pada
dunia saja, tapi hendaklah pada hakikathakikat kebenaran. Penyesuaian diri pada kebenaran
merupakan tujuan belajar itu sendiri. Oleh karena itu, para Perenialisme memandang, bahwa
tuntutan tertinggi dalam belajar adalah latihan dan disiplin mental. Para Perenialis percaya,
bahwa pemikiran subek-subjek didik akan menjadi nyata melalui pelatihan-pelatihan intelektual.
Cara mudah untuk mengajar subjeksubjek didik adalah dengan cara menumbuhkan
keinginan untuk belajar. Realisasi diri sangat tergantung pada disiplin diri, sedangkan disiplin
diri itu sendiri dapat diraih melalui disiplin eksternal. Berdasarkan pemikiran ini, maka Perenialis
sampai suatu kesimpulan, bahwa belajar adalah upaya keras untuk memperoleh sesuatu ilmu
pengetahuan melalui disiplin tinggi dalam latihan pengembangan prinsip-prinsip rasional.
Daftar Pustaka

Ahmadi, Rulam. 2014. Pengantar Pendidikan Asas & Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruz
Media.
Ikhsanudin. (2009). Filsafat Pendidikan Progresivisme Dan Pendidikan Bahasa. Jurnal
Cakrawala Kependidikan Vol. 7. No. 1. Maret 2009:1 – 103.
M., Sirojuddin, K., Wartono, W., & Arijulmanan, A. (2021). Perenialisme Dalam Pendidikan
Islam. Edukasi Islami: Jurnal Pendidikan Islam, 10(01), 321–338.
Rukiyati & Purwastuti, Andriani. (2015). Mengenal Filsafat Pendidikan. Yogyakarta :
Universitas Negeri Yogyakarta.
Salu, Vega, R & Triyanto. (2017). Filsafat Pendidikan Progresivisme dan Implikasinya dalam
Pendidikan Seni di Indonesia. Jurnal Imajinasi Vol. XI No. 1 - Januari 2017.
Siregar, Lr. (2016). Teori Belajar Perenialisme. Jurnal Al-hikmah Vol. 13, No. 2, Oktober 2016
ISSN 1412-5382.
Sofirah, Dkk. (2023). DISKURSUS ALIRAN UTAMA FILSAFAT PENDIDIKAN:
Perenialisme, Esensialisme, Progresivisme, dan Rekonstruksionisme. As-shuffah, 11(1).
Hal 18-30.
Uyoh, S. 2017. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alafbeta.
Yansen, Alberth, Reba & Sirjon. (2022). Filsafat Pendidikan. Eureka Media Aksara Yasyakur,

Anda mungkin juga menyukai