Anda di halaman 1dari 18

RESUME FILSAFAT PENDIDIKAN

“Aliran-aliran Dalam Filsafat, Tokoh dan Pengaruhnya Dalam Pendidikan”

Disusun Oleh:

Aprilia Muslimah (19031003 )

Dosen Pengampu:

Drs. Zelhendri Zen, M.Pd

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2022
A. Aliran Filsafat Pendidikan

a. Progresivisme
a) Pengertian dan sejarah aliran filsafat progresivisme
Progresivisme secara bahasa dapat diartikan sebagai aliran yang
menginginkan kemajuan-kemajuan secara cepat cepat. Dalam konteks filsafat
pendidikan, progresivisme merupakan suatu aliran yang menekankan bahwa
pendidikan bukanlah sekedar upaya pemberian sekumpulan pengetahuan
kepada subjek didik , tetapi hendaklah berisi berbagai aktivitas yang
mengarah pada pelatihan kemampuan berpikir mereka secara menyeluruh,
sehingga mereka dapat berpikir secara sistematis melalui cara-cara ilmiah
seperti penyediaan ragam data empiris dan informasi teoritis, memberikan
analisis, pertimbangan dan pembuatan kesimpulan menuju pemilihan
alternatif yang paling memungkinkan untuk pemecahan masalah yang tengah
dihadapi. Dengan kemampuan berpikir yang baik, subjek didik akan
menghasilkan keputusan-keputusan terbaik pula untuk dirinya dan
masyarakat serta mudah beradaptasi dengan lingkungan.

Para progresivis berkeyakinan bahwa manusia secara ilmiah memiliki


kemampuan-kemampuan yang wajar dan dapat menghadapi dan atau
mengatasi berbagai problem kehidupannya menuju suatu perkembangan yang
lebih baik, yang mengarah kepada suatu progress. Pendidikan dalam hal ini
dipaandang sebagai suatu motor bagi penumbuhkembangan kemampuan
dasar subjek didik agar mampu memecahkan kesulitan-kesulitanyang
memiliki hubungan strategis dengan pertumbuhan sikap kemandirian subjek
didik dalam pengambilan keputusan berdasarkan cara-cara yang logis dan
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Slogan yang pantas untuk aliran
ini adalah bahwa dari kepekaan subjek didik terhadap berbagai problem yang
ada disekitarnya, akan muncul keinginan; dari keinginan akan muncul
kreativitas; dari kreativitas akan muncul prediksi dan dari prediksi akan
muncul aksi yang akan membawa pada perubahandan kemajuan.

Secara historis, progresivisme telah muncul pada abad ke-19, namun baru
berkembang secara pesat pada abad ke-20, terutama di negara Amerika
Serikat. Bahkan pemikiran yang dikembangkan aliran ini pun sesungguhnya
memiliki benang merah yang secara tegas dapat dilihat sejak zaman Yunani
Kuno, seperti Heraklitos (±544-450 SM) , Protagoras (±480-410), Socrates
(±469-391) dan Aristoteles (±384-322SM). Sebagai sebuah aliran filsafat
pendidikan, progresivisme lahir sebagai protes terhadap kebijakan-kebijakan

2
pendidikan konvensional yang bersifat formalis tradisionalis yang telah
diwariskan oelh filsafat abad ke-19 yang dianggap kurang kondusif dalam
melahirkan manusia-manusia sejati. Aliran ini memndang bahwwa
metodologi pendidikan konvensional yang menekankan pelaksanaan
pendidikan melalui mental dicipline, passive learning yang telah menjadi
karakteristik pendidikan selama ini tidak sesuai dengan watak humanitas
manusia yang sebenarnya .

Progresivisme muncul dari tokoh-tokoh filsafat pragmatis seperti Charles S.


Peirce, William James dan John Dewey dan eksperimentalisme, seperti
Francis Bacon. Tokoh lain yang juga ,memicu lahirnya aliran ini adalah John
Locke dengan ajaran filsafatnya tentang kebebasan politik dan J.J Rousseau
dengan ajarannya yang meyakini bahwa kebaikan berada dalam diri manusia
dan telah dibawanya sejak lahir dan oleh karena itu ialah yang harus
mempertahankan kebaikan itu agar selalu ada dalam dirinya. Kebaikan itu
memiliki hubungan signifikandalam segala ruang gerak kehidupan dalam diri
manusia. Tuhan menganugerahkan manusia freedom sebagai suatu kapasitas
yang akan menggerakkan manusia itu untuk mampu memilih dan menetapkan
mana perbuatan yang baik untuk dirinya. Bagi J.J Rousseau institusi-institusi
dan keyakinan-keyakinan ini memberikan fase-fase awal bagi perkembangan
manusia menuju fase-fase yang lebih tinggi.

Secara gerakan, tokoh-tokoh Amerika seperti Benjamin Franklin, Thomas


Phaine, Thomas Jefferson telah ikut memengaruhi progrevisisme dengan
sikapnya menentang dogmatisme dan sikap positif yang menjunjung tinggi
idividualisme dan nilai-nilai demokrasi. Situasi revolusi industri saat itu juga
mempengaruhi perkembangan progresivisme. Revolusi industri adalah suatu
peristiwa sejarah yang mengubah ekonomi dan sikap manusia atas alam
dalam rangka eksplorasi alam dan penggunaan tenaga mesin untuk produksi.
Secara psikologis hal ini memberikan dasar bagi kepercayaan bahwa manusia
memiliki kemmapuan untuk menguasai alam. Manusia dalam halini mulai
sensitif atas kebebasan dalam sistem ekonomi yang didasarkan pada
kompetisi persaingan bebas. Cara pandang ini memberi pengaruh pada proses
kehidupan manusia, termasuk di dalamnya penyelenggaraan pendidikan.
Zaman renaissace juga turut ambil bagian dalam membentuk pola pikir
manusia.

Dalam konteks pendidikan, perkembangan progresivisme tidak dapat


dilepaskan dari pemikiran John Dewey yang menyatakan bahwa hidup selalu
berubah dan selalu menuju pembaharuan-pembaharuan.oleh karena itu
pendidikan mestilah dianggap sebagai alat sekaligus juga pembaharuan hidup,
sehingga dalam hal ini, sekolah juga mesti dianggap sebagai kebutuhan
manusia untuk hidup dan sebagai pertumbuhan bagi gerak maju suatu
masyarakat.

3
b) Landasan Filosofis Progresivisme
Progresivisme beranggapan bahwa kemajuan-kemajuan yang telah dicapai
oleh manusia tidak lain adalah karena kemampuan manusia dalam
mengembangkan berbagai ilmu pengetahuan berdasarkan tata logis dan
sistematisasi berpikir ilmiah. Oleh karena itu, tugas pendidikan adalah
melatih kemampuan-kemampuan subjek didiknya dalam memecahkan
berbagai masalah kehidupan yang mengarah pada pengembangan ilmu
pengetahuan yang berguna bagi kehidupannya dalam masyarakat.

Sebagai pragmatis, aliran ini memandang ilmu pengetahuan sebagai sesuatu


yang bermanfaat karena merupakan sarana bagi kemajuan manusia. Ilmu
pengetahuan dalam hal ini sangat dinamis dan berubah sesuai dengan
perubahan-perubahan dalam masyarakat. Manusia pada hakikatnya akan
selalu menunjuk ke arah kemajuan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan
mestilah berfungsi sebagai wahana tumbuh kembang daya kreativitas subjek
didiknya. Semangat berbuat dan mengadakan perubahan yang tentu berguna
bagi pengembangan diri dan masyarakatnya. Semangat mengadakan
pendidikan tanpa tanpa memberikan perhatian penuh pada kemampuan subjek
didik secara individu. Oleh karena itu, azas kebebasan individu dan
demokrasi mestilah pula menjadi landasan bagi keseluruhan aktivitas
pembelajaran pada lembaga pendidikan.

Aliran ini bersikap anti pada sikap otoritarianisme dan absolutisme dalam
segala bentuknya. Hal ini mengingat bahwa baginya sikap ini sangat tidak
menghargai kemampuan dasar manusia secara natural akan selalu mampu
menghadapi dan memecahkan berbagai kesulitan hidup. Progresivisme
berpendapat bahwa akal manusia bersifat aktif dan selalu ingin mencari tahu
dan meneliti, sehingga ia tidak mudah menerima begitu saja suatu pandangan
atau pendapat sebelum ia benar-benar membuktikan kebenarannya secara
empiris. Ilmu pengetahuan lahir berdasarkan pada pembuktian-pembuktian
eksperimentasi di dunia empris.

c) Pandangan Progresivisme tentang Pendidikan


Aliran ini berpendapat bahwa pendidikan mestilah dimaknai sebagai sebuah
proses yang berlandaskan pada asas pragmatis. Dengan asas ini pendidikan
bertujuan untuk memberikan pengalaman empiris kepada anak didik sehingga
terbentuk pribadi yang selalu belajar dan berbuat. Belajar mesti pula terpusat
pada anak didik, buka pada pendidik. Pendidik progresif selalu melatih anak
didiknya untuk mampu memecahkan problem-problem yang ada dalam
kehidupan. Seorang progresif mesti menggiring pemahaman kepada anak
didiknya, bahwa belajar adalah suatu kebutuhan anak didik dan ialah yang
ingin belajar. Oleh krena itu, anak didik progresif mesti selalu mampu
menghubungkan apa yang ia pelajari dengan kehidupannya.

4
Inti proses pendidikan bagi aliran ini terdapat pada anak didik, karena anak
didik dalam konsepnya adalah manusia yang memiliki potensi rasio dan
intelektual yang akan berkembang melalui pengkondisian pendidikan.
Kendatipun demikian, anak didik mesti menentukan sendiri proses belajarnya.
Eksistensinya memerlukam bimbingan dan pengarahan dari para pendidik.
Pendidikan adalah proses sosialisasi, yaitu proses pertumbuhan dan
pengembangan potensi intelektual anak melalui berbagai pengalaman yang
ada di lingkungan sekitarnya. Proses ini berlangsung terus menerus
sepanjang hayat.

b. Perenialisme
a) Pengertian dan sejarah aliran filsafat perenialisme
Perenialisme dengan kata dasarnya parenial, yang berarti continuing
troughout the whole year atau lasting for a very long time, yakni kekal yang
terus ada sampai akhir . Dalam pengertian yang lebih umum dapat di
katakana bahwa tradisi di pandang juga sebagai prinsip-prinsip yang abadi
dan terus mengalir sepanjang sejarah manusia, kare ia adalah anugerah
tuhan pada semua manusia dan memang merupakan ihakikat insaniah
manusia.

Perenialisme, sesuai dengan namanya yang berarti segala sesuatu yang ada
sepanjang sejarah manusia, melihat bahwa tradisi perkembangan intelektual
yang pada zaman yunani kuno dan abad pertengahan yang telah terbukti
dapat memberikan solusi bagi berbagai problem kehidupan masyarakat perlu
digunakan dan di terapkan dalam menghadapi alam modern yang sarat
dengan problem kehidupan.

Kondisi dunia modern yang sangat mengandalkan rasionalitas empiris


positivistis yang memandang kebenaran dalam konteks nya yang serba
terukur, teramati dan teruji secara inferensial yang melihat realitas sebagai
seuatu yang serba materi, telah pula memunculkan berbagai problem
kemanusiaan, sepeti munculnya sikan ambivalence yang mencekam dan
mendatangkan kebingungan, kebimbangan, kekakuan, kecemasan, ketakutan
dalam beringkah laku, sehingga manusia hidup dalam ketidak menentuan
dan cenderung kehilangan araeh dan jeti dirinya. Pengabdian berpikir logis
dalam hal ini telah memunculkan ketidakmampuan menusia melihat
pengetahuan yang sebenarnya. Hal ini mencorak kan kehidupan yang
rasional bertujuan dengan landasan empiris-positivtis yang melihat realitas
dunia dengan serba objektif dimana kebenaran ilmu berangkat dari fakta-
fakta yang terverifikasi dan terukur sacara ketat.

5
Kondisi dunia yang yang terganggu oleh budaya yang tak menentu yang
berada dakam kebingungan dan kekacauan seperti di ungkap di atas
memerlukan usaha yang serius untuk menyelamatkan manusia dari kondisi
yang mencekam denga mencari dan menemukan orientasi dan tujuan yang
jelas, ini adalah tugas utama filsafat pendidikan. Perinialis dalam hal ini
mengambil jalan regersif dengan mengambil arahnya seperti yang menjadi
prinsip dasar perilaku yang di anut pada masa kuno dan abad pertengahan.

Perenialisme secara filosofi memilii dasar pemikiran yang melekat pada


ajaran filsafat klasik yang di tokohi oleh, plato, aristoteles,augustinus dan
Aquinas. Namun istilah ini pertama di pelopori oleh Augustinus (1497-
1548) dalam sebuah karyaya yang berjudul de parennia philosophia yang
di terbitkan pada tahun 1540 M. istilah ini lebih popular lagi di tangan
Leibniz yang di gunakan dalam suratnya kepada remundo yang di tulisnya
pada tahun 1715 M. perenialisme di tokohi oleh Robert Maynard Hutchins,
Mortimer J.Adler, dan Sir Richard Livingstone.

b) Landasan filosofis aliran perenialisme


Aliran ini memandang bahwa hakikat manusia sebagai mahluk rasional yang
akan selalu sama bagi setiap manusia dimanapun sampai kapanpun dalam
perkembangan historisitasnya. Keyakinan ontologism sedemikian,
membawa mereka pada suatu pemikiran, bahwa kkemajuan dan
keharmonisan yang di alami oleh manusia di suatu masa akan dapat pula di
terapkan pada manusia-manusia yang lain pada masa yang berbeda,
sehingga kesuksesan masa lalu dapat pula di terapkan untuk memecahkan
problem masa sekarang dan masa akan dating bahkan sampai kapanpun dan
dimana pun.

Menurut psikologi Plato, manusia pada hakikatnya memiliki tiga potensi


dasar yaitu, nafsu, kemauan, dan pikiran. Ketiga potensi ini merupakan asas
bagi bangunan kepribadian dan watak manusia. Ketiga potensi ini akan
tumbuh dan berkembang melalui pendidikan, sehingga ketiganya berjalan
seimbang dan harmonis. Manusia yang memiliki potensi rasio yang besar
akan manusia kelas pemimpin, kelas social yang tinggi. Manusia yang besar
potensi kemauan nya akan menjadi manusa-manusia prajurit, kelas
menengah. Sedangakan manusia yang besar potensi nafsu akan menjadi
manusia-manusia pekerja, kelas jelata. Pendidikan dala hal ini hendaknya
berorientasi pada potensi psikologis dan masyarakat, sehingga dapat
mewujudkan pemenuhan kelas-kelas social dalam masyarakat terseebut.

Hal yang senanda juga di ungkap kan oleh Aristoteles dengan mengatakan
bahwa kebahagiaan hidup sebagai tujuan pendidikan itu sendiri dapat
terealisasi jika ketiga komponen potensi dasarnta terdidik dan berkembang
secara seimbang. Harmonisasi fungsionalitas tiga potensi dasar manusia

6
dalam kehidupan nya. Oleh karena itu, pengisian pendidikan pada ketiga
aspek tersebut merupakan keniscayaan. Pendidik bertugas memberikan
bantuan kepada subjek-subjek didik nya untuk mewujudkan potensi-potensi
yang ada padanya agar menjadi aktif., nyata dan actual memalui latihan
berfikir secara baik dan benar.

Aliran ini berkeyakinan bahwa kendatipun dalam lingkungan dan tempat


yang berbeda-beda, hakikat manusia tetap menunjukkan kessamaanya. Oleh
karena itu, pola dan corak pendidikan yang sama dapat di terapkan pada
siapapun dan dimanapun ia berada. Menurutnya setiap manusia memiliki
fungsi kemanusiaan yang sama, karena memang terlahir pada hakikat yang
sama. Aliran ini berpendapat bahwa rasionalitas adalah hukum peratamyang
akan tetap benar di segala tempat dan zamannya. Dengan prinsip rasionalitas
ini pula perenialisme berhadapan dengan persoalan adanya prinsip
kesadaran dan kebebasan dalam gerak kehidupan manusia.

Kesadaran dan kebebasan adalah bukti fungsionalitas rasio manusia, sebab


kekuatan bertindak bebas bergantung pada kekuatan berfikir, sehingga
otoritas berfikir adalah satu-satunya sumber kemardekaan. Tugas
pendidikan disini adalah bagaimana menjadikan dan memajukan manusia
yang ada dalam masyarakat. Sehingga dia berfikir manusia utuh, yaitu
manusia yang memiliki kekuatan berfikir. Jadi pendidikan adalah upaya
memanusiakan manusia sebagai manusia yang memiliki kekuatan dalam
berfikir.

Pendidikan dalam teori ini dimaknai sebagai suatu aktivitas yang


mengaksentuasikan programnya pada perubahan dan perbaikan.
Pengembangan ilmu pengetahuan terus diraih oleh manusia modern di alam
modern. Mortimer J. Adler sebagai salah satu pendukung parenialisme ini
mengatakan bahwa jika seseorang manusia adalah mahluk rasional yang
merupakan hakikat yang senantiasa seperti itu sepanjang sejarah. Dia juga
mengungkapkan bahwa manusia adalah mahluk yang memiliki kamempuan
intelektual yang tampak dalam kapsitasnya sebagai subjek yang aktif dan
dapat melakukan tindakan-tindakan seni, membaca, mendengar, menulis,
berbicara serta berfikir. Aristoteles sebagai salah satu tokoh yang menjadi
rujukan aliran ini menekankan, bahwa melatih dan membiasakan diri
merupakan hal yang mendasar bagi pengembangan kualitas manusia. Oleh
karena itu, kesadaran disiplin mesti di tanamkan sejak dini.

7
c) Pandangan perenialisme terhadap pendidikan
Pendidikan menurut aliran ini bukan lah semacam imitasi kehidupan, tetapi
tidak lain adalah suatu upaya mempersiapkan suatu kehidupan. Sekolah
menurut kelompok ini tidak akan pernah menjadi situasi kehidupan yang
riil. Tugasnya adalah bagaimana merealisasikan nilai-nilai ynag di wariskan
kepadanya dan jika memungkinkan meningkatkaan dan menambah
presentasi-presentasi melalui usaha sendiri.

Prinsip mendasar pendidikan bagi aliran parenial ini adalah membantu


subjek-subjek didik menemukan dan menginternalisasikan kebenaran abadi,
karena memang kebenaran mengandung sifat universal yang tetap.
Kebenaran-kebenaran seperti ini hanya dapat di peroleh subjek-subjek didik
melalui latihan intelektual yang dapat menjadikan pikirannya teratur dan
tersisiteminasi sedimikian rupa. Hal ini semakin penting terutama jika di
kaitkan dengan persolan pengembangan spiritual manusia.

Aliran ini menyakinkan bahwa pendidikan adalah transfer ilmu pengetahuan


tentang kebenaran abadi. Pengetahuan adalah suatu kebenaran sedangkan
kebenaran selamanya memiliki kesamaan. Oleh karena itu pula, maka
penyelenggaraan pendidikan pun dimana mana mestilah sama. Pendidikan
mestilah mencari pola agar subjek-subjek didik dapat menyesuaikan diri
bukan pada dunia saja, tetapi hendaklah pada hakikat-hakikat kebenaran.
Penyesuaian diri pada kebenaran merupakan tujian belajar itu sendiri. Oleh
karena itu,para perenialis memandang bahwa tuntutan tertingi dalam belajar
adalah latihan. Dan disiplin mental. Para perenialis percaya bahwa
pemikiran subjek-subjek didik akan menjadai nyata melalu pelatihan-
pelatihan intelektual. Cara mudah untuk mengajar subjek-subjek didik
adalah dengan cara menumbuhkan keinginanan untuk belajar. Realisisasi
diri sangat tergantung pada disiplin diri, sedangkan displin itu sendiri dapat
di raih melalui disiplin eksternal. Berdasarkan pemikiran ini maka perenialis
sampai pada suatu kesimpulan bahwa belajar adalah upaya keras untuk
memperoleh suatu ilmu pengetahuan melalui displin tinggi dalam latihan
pengembangan prinsip-prinsip rasional.

Perenialisme membedakan belajar pada dua wilayah besar, yaitu wilayah


pengajaran dan penemuan. Yang pertama belajar memerlukan guru. Guru
dalam hal ini memberikan pengetahuan dan pencerahan kepada peserta didik
baik dengan cara menunjukkan maupun menafsirkan implikasi dari
pengetahuan yang di berikan. Sedangkan yang kedua tidak lagi
membutuhkan guru, karena peserta didik dalam pola ini di harapkan telah
dapat belajar atas kemampuan sendiri. Tugas utama perenialisme adalah
mempersiapkan peserta didik kearah kematangan rasiaonalitas dalam
menghadapi berbagai problema dan kesulitan kehidupan. Tugas guru dalam
aliran ini tentu lebih membimbing dan membantu peserta didik agar

8
memiliki kemampuan intelektual dan soiritual yang memadain untik
menghadapi problema kehidupan. Pada tingkat perguruan tinggi alira
inimenekankan bahwa materi pembelajaran mestilah bersendikan filsafat,
karena filsafat ini pada dasarnya adalah cinta intelektual dari tuhan. Dan
hanya dengan cara demikian, dunia akademi di topang oleh sendi-sendi
yang kuat dalam menghadapi realitas kehidupannya dalam masyarakat.

c. Aliran filsafat esensialisme


a) Pengertian dan sejarah aliran filsafat esensialisme
Filsafat esensialisme adalah suatu aliran filsafat yang lebih merupakan
perpaduan ide filsafat idealism-objektif di satu sisi dan realism objektif di
sisi lainnya. Sebagai sebuah aliran filsafat, esensialisme telah lahir sejak
zaman renaissance, bahkan dapat dikatakan zaman aristoteles. Esensialisme
secara formal memang tidak dapat di hubungkan dengan berbagai tradisi
filsafat, tapi compatible dengan berbagai pemikiran filsafaat. Pada zaman ini
telah muncul upaya-upaya untuk menghidupkan kembali ilmu pengetahuan
dan seni serta kebudayaan purbakala, terutama zaman yunani dan romawi.

Dalam konteks filsafat pendidikan, aliran ini memiliki cirri utamanya yang
menekankan, bahwa pendidikan mesti dibangun di atas nilai-nilai yang
kukuh,, tetap stabil. Kemunculan nya adalah reaksi atas kecenderungan
kehidupan manusia pada yang serba duniawi, ilmiah, pluralistic, dan
materialistik, akibat dari prinsip pendidikan yang fleksible, terbuka untuk
segala perubahan. Kondisi dunia yang telah merusak tatanan humanitas
menjadi perhatian kelompok esensialime.

Aliran ini beranggapan, bahwa manusia pelu kembali pada kebudayaan


lama, yaitu kebudayaan yang telaah ada semenjak peradaban manusia yang
pertama. Kebudayaan lama itu telah banyak membuktikan kebaikan-
kebaikannya untuk manusia. Tokoh-tokoh yang tercatat sepanjang sejarah
antara lain Desiderius Erasmus, Johann Amos Comenius (1592-1670),
Johann Hendrich Pestalozzi (1746-1827) John loke (1632-1704) John
frederich froeble dan masih banyak tokoh yang lain.

b) Landasan aliran filosofis Esensialisme


Esensialisme memangdan manusia adalah bagian dari alam semesta yang
bersifat mekanis dan tunduk pada hukum-hukum nya yang objektif-
kausalitas nya, maka ia pun secara nyata terlibat dan tunduk pada hukum-
hukum alam. Dengan demikian, manusia selalu bergerak dan berkembang
sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum natural yang bersifat universal.
Hukum universal lah yang mengatur semua makrokosmos yang meliputi
aturan benda-bend, energy, ruang dan waktu bahkan juga pikiran manusia.

9
Aliran ini berpendapat, bahwa sumber segala pengetahuan manusia terletak
pada keteraturan lingkungan hidupnya. Dalam bidang aksiologi, nilai bagi
aliran ini, seperti kebenaran, berekar dalam dan berasal dari sumber yang
objektif. Sumber ini merupakan perpaduan dari idealism dan realisme.
Pemahaman objektif atas fakta dan peristiwa dalam kehiduapan juga
menjadi pertimbangan proposional dalam ekspresi keinginan, rasa suka,
kagum, tidak suka ada penolakan yang akhirnya melahirkan predikat baik
dan buruk terhadap sesuatu.

Imanuel Kant seorang tokoh idealism modern mengemukakan bahwa asas


dasar tindakan moral atas hukum moral adalah apa yang di sebutnya sebagai
categorical-imperative, yaitu rrasa kewajiban dan tugas tanpa syarat dan
predikat seperti taat atau loyal terhadap suatu norma. Setiap manusia harus
melakukan sesuatu, sebab kebaikan senantiasa bersifat universal.

c) Pandangan Esensialisme tentang Pendidikan


Kelompok esensialisme memandang bawa pendidikan yang di dasari pada
nilai-nilai yang fleksible dapat menjadikan pendidikan ambivalen dan tidak
memiliki arah dan orientasi yang jelas, oleh karena itu, agar pendidikan
memiliki tujuan yang jelas dan kukuh yang akan mendatang kan
kestabilan. Untuk itu perlu disiplin nilai yang mempunyai tata yang jelas
dan teruji oleh waktu.

Esensialisme memberikan penekanan upaya kependidikan dalam hal


pengujian ulang materi-materi kurikulum memberikan pembedaan-
pembedaan esensial dan non-esensial dalam berbagai program sekolah dan
memberikan kembali pengukuhan autoritas pendidik dalam suatu kelas di
sekolah. Esensialis percaya bahwa pelaksanaan pendidikan memerlukan
modifikasi dan penyempurnaan sesuai dengan kondisi manusia yang
bersiifat dimanis dan selalu berkembang.

Pendidikan yang bersifat fleksible dan terbuka untuk perubahan, toleran, dan
tidak berhubungan dengan doktrin dan norma yang universal menjadikan
eksistensinya mudah goyah dan tidak memiliki arah yang jelas. Oleh karena
itu,pendidikan mesti di dasarkan pada pada asaz yang kukuh yang secara
nyata telah teruji kebenarannya dan ketangguhannya dalam perjalanan
sejarah

Karena para esensialisme meyakini bahwa manusia, alam jagad raya,


dan tuhan, merupakan tiga hal yang sangat terkait dalam peralihan
pengetahuan. Comenius(1592-1670) dalam hal ini pun mengandaikan,
bahwa membina kesadaran manusia akan alam semesta dan dunia nya untuk
membentuk kesadaran spiritual menuju tuhannya adalah tugas pokok
pendidikan. John locke dalam hal ini menyebutkan bahwa pendidikan mesti

10
mengutamakan factor lingkungan dalam mengupayakan penyesuaian
manusia pada hal yang natural dan supranatural.

Para esensialis juga percaya bahwa proses belajar adalah proses


penyesuaian diri individu dengan lingkungan dalam pola stimulus dan
respon. Dalam hal ini guru alah sebagai agen untuk memperkuat
pembentukan kebiasaaan dalam rangka penyesuain dengan lingkungan
tersebut. Mereka yakin bahwa belajar mesti menekankan pada disiplin kerja
keras yang ketat. Dan juga yakin bahwa inisiatif pendidikan sepenuhnya
tergantung pada guru, bukan pada peserta didik. Oleh karena itu, guru harus
mengambil peranan yang paling besar untuk mengatur dan mengarah kan
perserta didik kearah kedewasaaan.

Para esensial juga sepakat dengan apa yang dikemukakan oleh


progresivme bahwa belajar tidak akan sukses tanpa didasarkan dengan
berbagai kapasitas, inters dan tujuan subjek belajar. Namun aliran ini juga
yakin bahwa kesemuanya itu mesti melalui kemampuan dan ketrampilan
mengajar guru. Karena guru yang berkualitas dapat melahirkan peserta didik
yang berkualitas pula.

d. Aliran filsafat Rekonstrusionisme


a) Pengertian dan Sejarah aliran filsafat Rekonstruksionisme
Kata rekontruksionisme berasal dari bahasa inggris yang berarti menyusun
kembali. Aliran ini sebagai aliran pendidikan sejak awal sejarahnya di tahun
1920 dengan lahirnya sebuah karya John Dewey yang berjudul
Recontruction in Philosophy yang kemudian di gerakkan nyata oleh George
counts dan Harold Rugg di tahun 1930, selalu menjadikan lembaga
pendidikan sebagai rekontruksi masyarakat.

Aliran ini prinsipnya sependapat dengan perenialisme dalam


mengungkapkan krisis kebudayaan modern . Menurut Syam kedua aliran
tersebut memandang bahwa keadaan sekarang merupakan zaman yang
kebudayaan nya terganggu oleh kehancuran, kebingungan dan
kesimpangsiuran. Bila aliran perenialisme memilih cara dengan jalan
pemecahan masalah dengan kembali kepada budaya abad pertengahan,
maka rekontruksionalime berupaya membina suatu consensus yang paling
luas dan paling mungkin dengan tujuan pertama dan tertinggi dalam
kehidupan manusia.

Tujuan utama dan tertinggi hanya melalui kerja sama semua bangsa.
Penganut aliran ini percaya telah tumbuh keinginan yang sama dari bangsa-
bangsa yang tersimpul dalam ide rekontruksiolisme. Rekontruksiolisme di
barat bercita-cita melaksanakan dan mewujudkan perpaduan antara ajaran
agama dan demokrasi modern dengan teknologi modern dan seni modern

11
dalam suatu kebudayaan yang di bina bersama oleh seluruh kedaulatan
bangsa-bangsa dunia. Rekontruksionalisme mencita-citakan terwujudya
suatu dunia baru dari satu kedaulatan dunia dalam mengontrol umat
manusia.

b) Landasan Filosofis Rekontruksionisme


Aliran ini memandang bahwa realitas itu bersifat universal, realitas itu ada
dimana saja. Untuk memahami suatu realitas di mulai dari suatu yang
konkret menuju arah yang khusus untuk menampakkan diri dalam
perwujudan sebagaimana yang kita lihat di hadapan kita dan di tangkap oleh
panca indra manusia. Prinsipnya aliran ini memandang alam metafisika
dalam bentuk dualisme dimana alam nyata ini mengandung dua hakikat
jasmani dan rohani. Kedua macam hakikat ini memiliki cirri yang bebas dan
berdiri sendiri azali dan abadi, hubungan keduanya merupakan kehidupan
alam.

Muhammad iqbal sebagai tokoh rekontruksionalisme dari dunia islam


mengatakan bahwa hakikat manusia adalah seganap kekuatan diri yang akan
menentukan siapa ia. Apabila ego seseorang dapat berkembang dengan baik
maka eksistensi nya dalam masyarakat dan dunia pun akan di akui. Oleh
karena itu Iqbal berpendapat bahwa untuk membangun kembali umat islam
yaitu perlu penataan dan membangun kembali system baru dengan
mengembang kan potensi diri dan akal manusia . dia juga percaya bahwa
gagasa tidak akan memberikan pengaruh bagi gerak maju manusia. Suatu
gagasan memerlukan penjabaran dalam kehidupan berupa tindakan yang
nyata.

Hal ini sama seperti yang di ungkapka John dewey yaitu bahwa idea atau
gagasan mesti lah sesuatu yang dapat di terapkan dalam bentuk tindakan
yang berguna bagi pemecahan berbagai problema yang muncul dalam
masyarakat. Aliran ini juga berpendapat bahwa dasar suatu kebenaran dapat
di buktikan dengan self-evidence, yakni bukti yang ada pada dirinya sendiri,
realitas dan eksistensinya. Ajaran yang di jadikan pedoman berasal dari
Aristoteles yang membicarakan dua hal pokok, yakni pikiran atau rasio dan
bukti atau evidence dengan jalan pemikiran yang silogisme. Silogisme
menunjukkan hubungan yang logis antara premis mayor, premis minor dan
kesimpulan dengan cara mengambil kesimpulan yang deduktif dan induktif.

Aliran rekontruksionisme memandang nilai berdasarkan pada supranatural


yang bersifat universal yang berdasarkan pada nilai-nilai teologis. Karena di
pimpin oleh tuhan, maka peninjauan tentang kebaikan dakeburukan pun
dapat di lakukan dan di ketahuinya. Aristoteles dalam hal ini membedakan
kebaikan kepada dua macam yaitu kebaikan moral dan kebaikan intelektual.

12
c) Pandangan aliran Rekontruksionisme Tentang Pendidikan
Aliran ini yakin bahwa pendidikan tidak lain adalah tanggung jawab social.
Hal ini mengingatk eksistensi pendidikan dalam keseluruhan realitasnya di
arahkan untuk pengembangan atau perubahan masyarakat. Para
rekontriksionisme menginginkan, bahwa pendidikan dapat memunculkan
kesadaran para peserta didik untik senantia memperhatikan pesoalan social.,
ekonomi dan politik. Tujuan aliran ini tidak lain adalah jawaban atas
keinginan untuk membangun masyarakaat baru, yakni suatu masyarakat
global yang memiliki hubungan interdependensi.

Muhammad Iqbal menyebutkan, bahwa tujuan pendidikan adalah mampu


membangun dunia bagi masyarakat dengan menggunakan kemampuan akal,
indra dan intuisi. Oleh Karena itu tiga aspek hars di tuangkan dalam
pendidikan. John Dewey mengatakan bahwa pengembangan sifat manusia
selalu berinteraksi dengan kondisi yang mengelilinginya dalam
menghasilkan kebudayaan. Oleh karena itu manusia selalu beradaptasi
dengan lingkungan masyarakatnya.

Aliran ini percaya bahwa pendidikan sebagai suatu lembaga masyarakat


tentulah diarahkan pada upaya rekayasa social, sehingga segala sesuatu
aktivitasnya pun senantiasa merupakan solusi bagi berbagai problema dalam
masyarakat. Oleh karena itu, lebaga pendidikan harus memiliki komitmen
untuk menciptkan masyarakat yang sarat dengan nilai niai budaya dan social
ekonomi akan membentuk harmonisasi dalam suatu kehidupan. Guru dalam
aliran ini bertugas meyakin kan peserta didiknya tentang urgensi rekontruksi
dalam menunjukkan kehidupan social kemasyarakatan dan membiasakan
mereka untuk sensitive terhadap berbagai problem yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat serta mencari solusi yang di perlukan
menuju perbaikan dan perubahan-peruubahan .

e. Aliran filsafat Eksistensialisme


a) Pengertian dan Sejarah aliran filsafat eksistensialisme
Istilah eksistensialisme dikemukakan oleh ahli filsafat Jerman Martin
Heidegger (1889-1976). Eksistensialisme adalah merupakan filsafat dan
akar metodologinya berasal dari metoda fenomologi yang dikembangkan
oleh Hussel (1859-1938). Munculnya eksistensialisme berawal dari ahli
filsafat Kieggard dan Nietzche. Kiergaard Filsafat Jerman (1813-1855)
filsafatnya untuk menjawab pertanyaan “Bagaimanakah aku menjadi
seorang individu)”. Hal ini terjadi karena pada saat itu terjadi krisis
eksistensial (manusia melupakan individualitasnya). Kiergaard menemukan
jawaban untuk pertanyaan tersebut manusia (aku) bisa menjadi individu
yang autentik jika memiliki gairah, keterlibatan, dan komitmen pribadi
dalam kehidupan. Nitzsche (1844-1900) filsuf jerman tujuan filsafatnya

13
adalah untuk menjawab pertanyaan “bagaimana caranya menjadi manusia
unggul”. Jawabannya manusia bisa menjadi unggul jika mempunyai
keberanian untuk merealisasikan diri secara jujur dan berani.

Eksistensialisme merupakan filsafat yang secara khusus mendeskripsikan


eksistensi dan pengalaman manusia dengan metedologi fenomenologi, atau
cara manusia berada. Eksistensialisme adalah suatu reaksi terhadap
materialisme dan idealisme. Pendapat materialisme bahwa manusia adalah
benda dunia, manusia itu adalah materi , manusia adalah sesuatu yang ada
tanpa menjadi Subjek. Pandangan manusia menurut idealisme adalah
manusia hanya sebagai subjek atau hanya sebagai suatu kesadaran.
Eksistensialisme berkayakinan bahwa paparan manusia harus berpangkalkan
eksistensi, sehingga aliran eksistensialisme penuh dengan lukisan-lukisan
yang kongkrit.

b) Landasan Filosofisme Eksistensialisme


Menurut penjelasan di atas eksistensialisme adalah paham yang berkaitan
tentang individu atau diri pribadi seseorang, untuk eksis/bisa menjadi
seorang manusia. Gerakan eksistensialis dalam pendidikan berangkat dari
aliran filsafat yang menamakan dirinya eksistensialisme, yang para
tokohnya antara lain Kierkegaard (1813 – 1915), Nietzsche (1811 – 1900)
dan Jean Paul Sartre. Inti ajaran ini adalah respek terhadap individu yang
unik pada setiap orang. Eksistensi mendahului esensi. Kita lahir dan eksis
lalu menentukan dengan bebas esensi kita masing-masing. Setiap individu
menentukan untuk dirinya sendiri apa itu yang benar, salah, indah dan jelek.
Tidak ada bentuk universal, setiap orang memiliki keinginan untuk bebas
(free will) dan berkembang. Pendidikan seyogyanya menekankan refleksi
yang mendalam terhadap komitmen dan pilihan sendiri.

Manusia adalah pencipta esensi dirinya. Dalam kelas guru berperan sebagai
fasilitator untuk membiarkan siswa berkembang menjadi dirinya dengan
membiarkan berbagai bentuk pajanan (exposure) dan jalan untuk dilalui.
Karena perasaan tidak terlepas dari nalar, maka kaum eksistensialis
menganjurkan pendidikan sebagai cara membentuk manusia secara utuh,
bukan hanya sebagai pembangunan nalar. Sejalan dengan tujuan itu,
kurikulum menjadi fleksibel dengan menyajikan sejumlah pilihan untuk
dipilih siswa. Kelas mesti kaya dengan materi ajar yang memungkinkan
siswa melakukan ekspresi diri, antara lain dalam bentuk karya sastra film,
dan drama. Semua itu merupakan alat untuk memungkinkan siswa
‘berfilsafat’ ihwal makna dari pengalaman hidup, cinta dan kematian.

Eksistensialisme biasa dialamatkan sebagai salah satu reaksi dari sebagian


terbesar reaksi terhadap peradaban manusia yang hampir punah akibat
perang dunia kedua. Dengan demikian Eksistensialisme pada hakikatnya

14
adalah merupakan aliran filsafat yang bertujuan mengembalikan keberadaan
umat manusia sesuai dengan keadaan hidup asasi yang dimiliki dan
dihadapinya. Sebagai aliran filsafat, eksistensialisme berbeda dengan filsafat
eksistensi. Paham Eksistensialisme secara radikal menghadapkan manusia
pada dirinya sendiri, sedangkan filsafat eksistensi adalah benar-benar
sebagai arti katanya, yaitu: “filsafat yang menempatkan cara wujud manusia
sebagai tema sentral.”

c) Pandangan Eksistensialisme tentang Pendidikan


Secara relatif, eksistensialisme tidak begitu dikenal dalam dunia pendidikan,
tidak menampakkan pengaruh yang besar pada sekolah. Sebaliknya,
penganut eksistensialisme kebingungan dengan apa yang akan mereka
temukan melalui pembangunan pendidikan. Mereka menilai bahwa tidak
ada yang disebut pendidikan, tetapi bentuk propaganda untuk memikat
orang lain. Mereka juga menunjukkan bahwa bagaimana pendidikan
memunculkan bahaya yang nyata, sejak penyiapan murid sebagai konsumen
atau menjadikan mereka penggerak mesin pada teknologi industri dan
birokrasi modern.

Malahan sebaliknya pendidikan tidak membantu membentuk kepribadian


dan kreativitas, sehingga para eksistensialis mengatakan sebagian besar
sekolah melemahkan dan mengganggu atribut-atribut esensi kemanusiaan.
Mereka mengkritik kecenderungan masyarakat masa kini dan praktik
pendidikan bahwa ada pembatasan realisasi diri karena ada tekanan sosio-
ekonomi yang membuat persekolahan hanya menjadi pembelajaran peran
tertentu. Sekolah menentukan peran untuk kesuksesan ekonomi seperti
memperoleh pekerjaan dengan gaji yang tinggi dan menaiki tangga menuju
ke kalangan ekonomi kelas atas; sekolah juga menentukan tujuan untuk
menjadi warga negara yang baik, juga menentukan apa yang menjadi
kesuksesan sosial di masyarakat.

Siswa diharapkan untuk belajar peran-peran ini dan berperan dengan baik
pula. Dalam keadaan yang demikian, kesempatan bagi pilihan untuk
merealisasikan diri secara asli dan autentik menjadi hilang atau sangat
berkurang. Keautentikan menjadi begitu beresiko karena tidak dapat
membawa pada kesuksesan sebagaimana didefinisikan oleh orang lain Di
antara kecenderungan masa kini yang begitu menyebar cepat tetapi sangat
sulit dipisahkan adalah mengikisnya kemungkinan keautentikan manusia
karena adanya tirani dari yang rata-rata (tyranny of the average). Tirani dari
aturan yang diktatorial dan otoriter, rejim dan institusi adalah bentuk nyata
dari penindasan dan paksaan. Tirani dari yang rata-rata tampak seolah
demokratis tetapi dalam kenyataannya adalah gejala penyakit pikiran massa
dan pilihan-pilihan nilainya.

15
Dalam masyarakat yang berorientasi konsumsi, produk barang dan jasa
dibuat dan dipasarkan untuk membentuk kelompok konsumen terbesar.
Media massa, seni dan hiburan juga dirancang sebagai produk yang akan
menarik lebih banyak audiens. Agen-agen ini yang disebut sebagai agen
pendidikan informal merefleksikan dan menciptakan selera populer. Dalam
masayarakat yang seperti ini, penyimpangan dari yang rata-rata atau
kebanyakan orang tidak akan diterima baik. Keunikan menjadi begitu mahal
sehingga hanya dapat dinikmati oleh orang-orang istimewa, yaitu kaum elit,
atau oleh orang-orang yang tidak populer disebut masyarakat marjinal
(Gutek,1988:123-124)

16
17
Referensi

Muhmidayeli, 2013. Filsafat Pendidikan., Bandung, Refika Aditama


Achmad Dardiri. 2015. Aspek-aspek Filsafat dan Kaitannya Dengan Pendidikan.Majalah
Ilmiah Fondasi Pendidikan, Volume 1.
Knight, George. R, 1982. Issues and Alternatives in Educational Philosophy. Michigan:
Andrews University Press.

Rukiyati. Pemikiran Pendidikan Menurut Eksistensialisme. Fondasia, Nomor 9/Vol. I /Th.VII


/ Maret 2009

18

Anda mungkin juga menyukai