DISUSUN OLEH :
Kelompok
Filsafat Esensialisme.......................……………………………………………………
1.4 Kesimpulan…………………………………………………………………………........
DAFTAR PUSTAKA
Filsafat pendidikan merupakan ilmu filsafat yang mempelajari hakikat pelaksanaan dan
pendidikan. Bahan yang dipelajari meliputi tujuan, latar belakang, cara, hasil, dan hakikat
pendidikan. Metode yang dilakukan adalah dengan menganalisis secara kritis struktur dan
manfaat pendidikan. Filsafat pendidikan berupaya untuk memikirkan permasalahan
pendidikan. Salah satu yang dikritisi secara konkret adalah relasi antara pendidik dan peserta
didik dalam pembelajaran. Salah satu yang sering dibicakan dewasa ini adalah pendidikan yang
menyentuh aspek pengalaman. Filsafat pendidikan berusaha menjawab pertanyaan mengenai
kebijakan pendidikan, sumber daya manusia, teori kurikulum dan pembelajaran serta aspek-
aspek pendidikan yang lain.
Menurut bahasa istilah progresivisme berasal dari kata progresif yang artinya bergerak
maju. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata progresif diartikan
sebagai ke arah kemajuan; berhaluan ke arah perbaikan sekarang dan bertingkattingkat
naik. Dengan demikian, secara singkat progresif dapat dimaknai sebagai suatu gerakan
perubahan menuju perbaikan. Sering pula istilah progresivisme dikaitkan dengan kata
progres, yaitu kemajuan. Artinya progesivisme merupakan salah satu aliran yang
menghendaki suatu kemajuan, yang mana kemajuan ini akan membawa sebuah perubahan.
Pendapat lain menyebutkan bahwa progresivisme sebuah aliran yang mengingikan
kemajuan-kemajuan secara cepat (Muhmidayeli, 2011:151).
Menurut Gutek (1974:138) progresivisme modern menekankan pada konsep „progres‟ yang
menyatakan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk mengembangkan dan
menyempurnakan lingkungannya dengan menerapkan kecerdasan yang dimilikinya dan
metode ilmiah untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul baik dalam kehidupan
personal manusia itu sendiri maupun kehidupan sosial. Dalam konteks ini, pendidikan akan
dapat berhasil manakala mampu melibatkan secara aktif peserta didik dalam pembelajaran,
sehingga mereka mendapatkan banyak pengalaman untuk bekal kehidupannya.
Aliran ini merupakan sebuah gerakan yang menentang pelaksanaan pendidikan secara
tradisional seperti halnya aliran esensialisme dan perennialisme. Aliran progresif mendukung
adanya pelaksanaan pendidikan yang dipusatkan pada peserta didik dan mengembangkan
berbagai kemampuannya sebagai bekal menghadapi kehidupkan sosial di lingkungannya.
Dari beberapa penjelesan tersebut dapat dipahami bahwa aliran progresivisme adalah suatu
aliran dalam filsafat pendidikan yang menghendaki adanya perubahan secara cepat praktik
pendidikan menuju kearah yang positif. Dengan kata lain, pendidikan harus mampu
membawa perubahan pada diri peserta didik menjadi pribadi yang tangguh dan mampu
menghadapi berbagai persolan serta dapat menyesuikan diri dengan kehidupan sosial di
masyarakat. Oleh karena itu, progresivisme sangat menghendaki adanya pemecahan masalah
dalam proses pendidikan.
1.3 FILSAFAT ESENSIALISME
Pada dasarnya, filsafat pendidikan esensialisme bertitik tolak dari kebenaran yang dianggap
telah terbukti selama berabad-abad lamanya. Jika dilihat dari segi proses perkembangannya,
esensialisme merupakan perpaduan antara ide-ide filsafat idealisme dan realisme. Aliran
tersebut akan tampak lebih mantap dan kaya akan ide-ide, apabila hanya mengambil salah satu
dari aliran atau posisi sepihak. Pertemuan dua aliran tersebut bersifat elektik, yakni keduanya
berposisi sebagai pendukung, tidak ada yang melebur menjadi satu atau tidak melepaskan
identitas dan ciri masing-masing.
Dalam konsep esensialisme, pendidikan bertujuan untuk meneruskan warisan budaya dan
warisan sejarah melalui pengetahuan inti yang terakumulasi dan telah bertahan dalam kurun
waktu yang lama. Budaya tersebut merupakan suatu kehidupan yang telah teruji oleh waktu
dalam tempo lama. Selain itu tujuan pendidikan esensialisme adalah mempersiapkan manusia
untuk hidup. Namun demikian bukan berarti sekolah lepas tanggung jawab, akan tetapi
memberi kontribusi tentang bagaimana merancang sasaran mata pelajaran sedemikian rupa,
yang pada akhirnya memenuhi kebutuhan peserta didik untuk mempersiapkan diri dalam
menghadapi kehidupan
Secara etimologi, kata perenialisme berasal dari bahasa latin yaitu "perennis" yang berarti
abadi, kekal atau tiada akhirnya dan "isme" yang artinya paham atau aliran. Sedangkan secara
terminologi , istilah perenialisme adalah ajaran yang berpandangan kepada nilai-nilai
kebudayaan lampau yang sudah teruji kebenarannya. Jadi bisa dijabarkan bahwa filsafat
perenialisme adalah suatu ajaran filsafat yang yang berpegang pada nilai-nilai dan normanorma
kebudayaan masa lampau yang sudah terbukti baik hasilnya sepanjang sejarah.
Pada hakikatnya aliran ini meyakini bahwa kepercayaan yang aksiomatis ada pada zaman kuno
khususnya Abad pertengahan, hal mana perlu untuk dijadikan acuan fundamental pendidikan
zaman sekarang maupun masa depan. Aliran ini juga memandang bahwa keadaan zaman
sekarang sudah banyak diwarnai dengan kekacauan dan kehancuran serta menimbulkan
berbagai krisis kehidupan di segala bidang. Maka dengan keadaan tersebut aliran ini
menawarkan untuk menengok kembali kepada kepercayaan aksiomatis zaman kuno yang sudah
terbukti ketangguhannya dan membawa kemanfaatan bagi zaman berikutnya.
Dalam pandangan perenialisme, pendidikan harus mengacu kepada nilai-nilai kebudayaan
lampau atau disebut dengan "regressive road to culture" yang dimana nilai nilai tersebut
berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan moral yang dapat mengembalikan kondisi Krisis di
zaman modern ini. Dengan nilai-nilai tersebut segala krisis pada zaman ini dapat teratasi sesuai
dengan apa yang dicitakan oleh pendidikan. Bagi aliran perenialisme, pendidikan memiliki
peran penting dalam proses peradaban manusia untuk mengembalikan kondisi manusia pada
zaman modern yang penuh krisis ini kepada kebudayaan zaman lampau yang dianggap telah
cukup ideal dan teruji kebenarannya.
Salah satu tujuan pendidikan versi aliran perenialisme adalah memberikan pengetahuan tentang
nilai-nilai kebenaran yang pasti, absolut dan abadi yang pernah ada dalam kebudayaan masa
lampau dan dianggap ideal, agar anak didik dengan akalnya dapat menguasai apa yang
dipelajari.
Adapun kedudukan anak didik merupakan subjek dalam proses belajar dan guru mendorong
anak didik untuk membangkitkan potensi yang dimiliki oleh anak didik yang masih
tersembunyi agar menjadi aktif dan nyata. Sedangkan posisi guru bagi aliran ini adalah seorang
pengajar yang betul-betul menguasai ilmu yang diampunya sehingga dia dapat mengarahkan
muridnya menuju kepada kebenaran. Karena ia adalah center of excellence
Rekonstruksionisme berasal dari bahasa inggris Reconstruct yang berarti menyusun kembali.
Dalam konteks filsafat pendidikan aliran rekonstruksionisme adalah suatu aliran yang berusaha
merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak
modern.
Aliran ini dipelopori oleh George Count dan Harold Rugg pada tahun 1930. Mereka
bermaksud membangun masyarakat baru, masyarakat yang dipandang pantas dan adil.
Ide gagasan mereka secara meluas dipengaruhi oleh pemikiran progresif Dewey, dan ini
menjelaskan mengapa aliran rekonstruksionisme memiliki landasan filsafat pragmatisme.
Meskipun mereka juga banyak terinspirasi oleh pemikiran Theodore Brameld, khususnya
dengan beberapa karya filsafat pendidikannya, mulai dari Pattern of Educational Philosophy
(1950), Toward a reconstructed Philosophy of Education (1956), dan Education as Power
(1965).
Pada dasarnya aliran rekonstruksionisme sepaham dengan aliran perenialisme bahwa ada
kebutuhan mendesak untuk kejelasan dan kepastian bagi kebudayaan zaman modern sekarang
(hendak menyatakan krisis kebudayaan modern), yang sekarang mengalami ketakutan,
kebimbangan dan kebingungan. Tetapi aliran rekonstruksionisme tidak sependapat dengan cara
dan jalan pemencahan yang ditempuh filsafat perenialisme. Aliran perenialisem memilih jalan
kembali ke alam kebudayaan abad pertengahan. Sementara itu alliran rekonstruksionisme
berusaha membina suatu konsensus yang paling luas dan paling mungkin tentang tujuan utama
dan tertinggi dalam kehidupan manusia.
Untuk mencapai tujuan tersebut, rekonstruksionisme berusaha mencari kepepakatan semua
orang mengenai tujuan utama yang dapat mengatur tata kehidup manusia dalam suatu tatanan
baru seluruh lingkungannya, maka melalui lembaga dan proses pendidikan.
Rekonstruksionisme ingin merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup
kebudayaan yang sama sekali baru.
Aliran ini memersepsikan bahwa masa depan suatu bangsa merupakan suatu dunia yang diatur,
diperintah oleh rakyat secara demokratis dan bukan dunia yang dikuasai oleh golongan tertentu.
Sila-sila demokrasi yang sungguh bukan hanya teori tetapi mesti menjadi kenyataan sehingga
dapat diwujudkan suatu dunia dengan potensi-potensi teknologi, mampu meningkatkan
kualitas kesehatan, kesejahteraan dan kemakmuran serta keamanan masyarakat tanpa
membedakan warna kulit, keturunan, nasionalisme, agama (kepercayaan) dan masyarakat
bersangkutan.
Masyarakat Dunia Sedang dalam Kondisi krisis, Jika Praktik-praktik yang Ada Sekarang Tidak
Dibalik (Diubah secara Mendasar), Maka Peradaban yang Kita Kenal ini Akan Megalami
Kehancuran.
Solusi Efektif Satu-satunya bagi Persoalan-Persoalan Dunia Kita adalah Penciptaan Tatanan
Sosial yang Menjagat.
Kerjasama dari semua bangsa adalah satu-satunya harapan bagi penduduk dunia yang
berkembang terus yang menghuni dunia dengan segala keterbatasan sumber daya alamnya. Era
teknologi telah memunculkan saling ketergantungan dunia, di samping juga
kemajuankemajuan di bidang sains. Di sisi lain, kita sedang didera kesenjangan budaya dalam
beradaptasi dengan tatanan dunia baru. Kita sedang berupaya hidup di ruang angkasa dengan
sebuah sistem nilai dan mentalitas politik yang dianut di era kuda dan andong.
Menurut rekonstruksionisme, umat manusia sekarang hidup dalam masyarakat dunia yang
mana kemampuan teknologinya dapat membinasakan kebutuhan-kebutuhan material semua
orang. Dalam masyrakat ini, sangat mungkin muncul penghayal karena komunitas
internasional secara bersama-sama bergelut dari kesibukan menghasilkan dan mengupayakan
kekayaan material menuju ke tingkat dimana kebutuhan dan kepentingan manusia dianggap
paling penting. Dunia semasa itu, orang-orang berkonsentrasi untuk menjadi manusia yang
lebih baik (secara material) sebagai tujuan akhir.
Pendidikan Formal Dapat Menjadi Agen Utama dalam Rekonstruksionisme Tatanan Sosial.
Kalangan rekontruksionis di satu sisi tidak memandang sekolah sebagai memiliki kekuatan
untuk menciptakan perubahan sosial seorang diri. Di sisi lain, mereka melihat sekolah sebagai
agen kekuatan utama yang menyentuh kehidupan seluruh masyarakat, karena ia menyantuni
anak-anak didik selama usia mereka yang paling peka. Dengan demikian, ia dapat menjadi
penggerak utama pencerahan problem-problem sosial dan agitator utama perubahan sosial.
Dalam pandangan kalangan rekonstruksionisme, demokrasi adalah sistem politik yang terbaik
karena sebuah keharusan bahwa prosedur-prosedur demokratis perlu digunakan di ruangan
kelas setelah para peserta didik diarahkan kepada kesempatan-kesempatan untuk memilih di
antara keragaman pilihan-pilihan ekonomi, politik, dan sosial.
1. Pandangan Ontologi
Dengan ontologi, dapat diterangkan tentang bagaimana hakikat dari segala sesuatu. Aliran
rekonstruksionisme memandang bahwa realita itu bersifat universal, yang mana realita itu ada
dimana dan sama di setiap tempat. Untuk mengerti suatu realita beranjak dari suatu yang
konkrit dan menuju ke arah yang khusus menampakkan diri dalam perwujudan sebagaimana
yang kita lihat di hadapan kita dan ditangkap oleh panca indra manusia seperti bewan dan
tumbuhan atau benda lain di sekeiling kita, dan realita yang kita ketahui dan kita hadapi tidak
terlepas dari suatu sistem, selain substansi yang dipunyai dan tiap-tiap benda tersebut, dan
dapat dipilih melalui akal pikiran.
Kemudian, tiap realita sebagai substansi selalu cenderung bergerak dan berkembang dari
potensialitas menuju aktualitas (teknologi). Dengan demikian gerakan tersebut mencakup
tujuan dan terarah guna mencapai tujuan masing-masing dengan caranya sendiri dan diakui
bahwa tiap realita memiliki perspektif tersendiri.
3. Pandangan Epistimologis
Kajian epsitimologis aliran ini lebih merujuk pada pendapat aliran pragmatisme (progressive)
dan perenialisme. Berpijak dari pola pemikiran bahwa untuk memahami realita alam nyata
memerlukan suatu azas tahu dalam arti bahwa tidak mungkin memahami realita ini tanpa
melalui proses pengalaman dan hubungan dengan realita terlebih dahulu melalui penemuan
suatu pintu gerbang ilmu pengetahuan. Karenanya, baik akal maupun rasio sama-sama
berfungsi membentuk pengetahun, dan akal dibawa oleh panca indera menjadi pengetahuan
dalam yang sesungguhnya.
Aliran ini juga berpendapat bahwa dasar dari suatu kebenaran dapat dibuktikan dengan self
evidence, yakni bukti yang ada pada diri sendiri, realita dan eksistensinya. Pemahamannya
bahwa pengetahuan yang benar buktinya ada di dalam pengetahuan ilmu itu sendiri. Sebagai
ilustrasi, adanya Tuhan tidak perlu dibuktikan dengan bukti-bukti lain atas eksistensi Tuhan
(self evidence). Kajian tentang kebenaran itu diperlukan suatu pemikiran, metode yang
diperlukan guna menuntun agar sampai kepada pemikiran yang hakiki. Penalaran-penalaran
memiliki hukum-hukum tersendiri agar dijadikan pegangan ke arah penemuan definisi atau
pengertian yang logis.
Ajaran yang dijadikan pedoman berasal dari Aristoteles yang membicarakan dua hal pokok,
yakni pikiran (ratio) dan bukti (evidence), dengan jalan pemikirannya adalah silogisme.
Silogisme menunjukkan hubungan logis antara premis mayor, premis minor dan kesimpulan
(condusion), dengan memakai cara pengambilan kesimpulan deduktif dan induktif.
2. Pandangan Ontologis
Dalam proses interaksi sesama manusia, diperlukan nilai-nilai. Begitu juga halnya dalam
hubungan manusia dengan sesamanya dan alam semesta tidak mungkin melakukan sikap
netral, akan tetapi manusia sadar ataupun tidak sadar telah melakukan proses penilaian, yang
merupakan kecenderungan manusia. Tetapi, secara umum ruang lingkup (scope) tentang
pengertian “nilai” tidak terbatas.
Neo-Thomisme memandang bahwa etika, estetika dan politik sebagai cabang dari filsafat
praktis, dalam pengertian tetap berhubungan dan berdasarkan pada prinsip-prinsip dari praktek-
praktek dalam tindakan-tindakan moral, kreasi estetika dan organisasi politik. Karenanya,
dalam arti teologis manusia perlu mencapai kebaikan tertinggi, yakni bersatu dengan Tuhan,
kemudian berpikir rasional. Dalam kaitannya dengan estetika (keindahan), hakikat
sesungguhnya ialah Tuhan sendiri.
Aristoteles memandang bahwa kebajikan dibedakan menjadi dua macam, yakni kebajikan
intelektual dan kebajikan moral, kebajikan moral merupakan suatu kebajikan berdasarkan
pembiasaan dan merupakan dasar dari kebajikan intelektual.
Teori pendidikan rekonstruksionisme yang dikemukakan oleh Brameld terdiri atas 5 tesis, yaitu
:
1. Pendidikan harus dilaksanakan di sini dan sekarang dalam rangka menciptakan tata
sosial baru yang akan mengisi nilai-nilai dasar budaya kita, dan selaras dengan mendasari
kekuatankekuatan ekonomi, dan sosial masyarakat modern. Sekarang peradaban menghadapi
kemungkinan penghancuran diri. Pendidikan harus mensponsori perubahan yang benar dalam
nurani manusia. Oleh karena itu, kekuatan teknologi yang sangat hebat harus dimanfaatkan
untuk membangun umat manusia, bukan untuk menghancurkannya. Masyarakat harus diubah
bukan melalui tindakan politik, melainkan dengan cara yang sangat mendasar, yaitu melalui
pendidikan bagi para warganya, menuju suatu pandangan baru tentang hidup dan kehidupan
mereka bersama.
2. Masyarakat banyak harus berada dalam kehidupan demokrasi sejati, dimana sumber
dan lembaga utama dalam masyarakat dikontrol oleh muridnya sendiri. Semua yang
mempengaruhi harapan dan hajat masyarakat, seperti sandang, papan, pangan, kesehatan,
industri, dan sebagainya, semuanya akan menjadi tanggung jawab rakyat, melalui wakilwakil
yang dipilih. Masyarakat ideal adalah masyarakat demokratis, dan harus direalisasikan secara
demokrasi. Struktur, tujuan dan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan tata aturan baru
harus diakui merupakan bagian dari pendapat masyarakat.
3. Anak, sekolah, dan pendidikan itu sendiri dikondisikan oleh kekuatan budaya dan
sosial. Menurut Brameld, kaum progresif terlalu sangat menekankan bahwa kita semua
dikondisikan secara sosial. Perhatian kaum progresif hanya untuk mencari cara dimana
individu dapat merealisasikan dirinya dalam masyarakat, dan mengabaikan derajat dimana
masyarakat telah menjadikan jati dirinya. Menurut rekonstruksionisme, hidup beradab adalah
hidup berkelompok, sehingga kelompok akan memainkan peran yang penting di sekolah.
Pendidikan merupakan realisasi dari sosial (social self realization). Melalui pendidikan,
individu tidak hanya mengembangkan aspek-aspek sifat sosialnya melainkan juga belajar
bagaimana keterlibatan dalam perencanaan sosial.
4. Guru harus meyakini terhadap validitas dan urgensi dirinya dengan cara bijaksana
dengan cara memperhatikan prosedur yang demokratis. Guru harus melaksanakan pengujian
secara terbuka terhadap fakta-fakta, walaupun bertentangan dengan pandangan-pandangannya.
Guru menghadirkan beberapa pemecahan alternatif dengan jelas, dan ia memperkenankan
siswasiswanya untuk mempertahankan pandangan-pandangan mereka sendiri.
5. Cara dan tujuan pendidikan harus diubah kembali seluruhnya dengan tujuan untuk
menemukan kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan krisis budaya dewasa ini, dan untuk
menyesuaikan kebutuhan dengan sains sosial. Yang penting dari sains sosial adalah mendorong
kita untuk menemukan nilai-nilai, dimana manusia percaya atau tidak bahwa nilai-nilai itu
bersifat universal.
A. Secara Etimologis
Secara etimologis istilah “pancasila” berasal dari sansekerta dari India (bahasa kata brahmana)
adapun bhasa rakyat biasa adalah bahasa Prakerta. Menurut Muhammad Yamin, dalam bahasa
sansekerta perkataan “pancasila” memiliki dua macam arti secara leksikal yaitu
:
Kata-kata tersebut kemudian dalam bahasa Indonesia terutama bahasa Jawa diartikan
“susila” yang memiliki hubungan dengan moralitas. Oleh karena itu secara etimologis kata
“pancasila” yang dimaksudkan adalah istilah “Panca Syiila” dengan vokal i pendek yang
memiliki makna leksikal “berbatu sendi lima” atau secara harfiah “dasar yang memiliki lima
unsur”. Adapun istilah “Panca Syiila” dengan huruf Dewanagari i bermakna 5 aturan tingkah
laku yang penting.
B. Secara Historis
Proses perumusan Pancasila diawali ketika dalam sidang BPUPKI pertama dr. Radjiman
Widyodiningrat, mengajukan suatu masalah, khususnya akan dibahas pada sidang tersebut.
Masalah tersebut adalah tentang suatu calo rumusan dasar negara Indonesia yang akan
dibentuk. Kemudian tampilah pada sidang tersebut tiga orang pembicara yaitu Mohammad
Yamin, Soepomo, dan Soekarno.viiiPada tanggal 1 Juni 1945 di dalam sidang tersebut Ir.
Soekarno berpidato secara lisan mengenai calon rumusan dasar negara Indonesia. Kemudian
untuk memberikan nama “Pancasila” yang artinya lima dasar, hal ini menurut Soekarno atas
saran dari salah seorang temannya yaitu seorang ahli bahasa yang tidak disebutkan namanya.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, kemudian
keesokan harinya tanggal 18 Agustus 1945 disahkannya Undang-Undang Dasar 1945 termasuk
pembukaa UUD 1945 dimana didalamnya termuat isi rumusan lima prnsip sebagai satu dasar
negara yang diberi nama Pancasila. Sejak saat itulah perkataan Pancasila menjadi bahasa
Indonesia dan merupakan istilah umum filsafat pancasila Filsafat pancasila merupakan salah
satu fungsi pancasila, yaitu sebagai filsafat negara untuk diterapkan pada masyarakatnya.
Filsafat menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah pengetahuan dan penyelidikan
dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal, dan hukumnya.
Filsafat pancasila artinya menggunakan nilai-nilai pancasila sebagai dasar negara dan
pandangan hidup bernegara.
Pancasila sebagai filsafat ini adalah perluasan dari fungsi pancasila sebagai dasar dan ideologi
Indonesia.
Sebagai filsafat negara, tentunya pancasila harus berperan sebagai pandangan hidup oleh semua
masyarakatnya.
Ditinjau dari segi obyektifnya, filsafat meliputi hal-hal yang ada atau dianggap dan diyakini
ada, seperti manusia, dunia, Tuhan dan seterusnya. Ruang lingkup obyek filsafat : a. Obyek
material
b. Obyek formal
Lebih jauh E.C. Ewing dalam bukunya Fundamental Questions of Philosophy (1962)
menyatakan bahwa pertanyaan-pertanyaan pokok filsafat (secara tersirat menunjukan objek
filsafat) ialah : Truth (kebenaran), Matter (materi), Mind (pikiran), The Relation of matter and
mind (hubungan antara materi dan pikiran), Space and Time (ruang dan waktu), Cause (sebab-
sebab), Freedom (kebebasan), Monism versus Pluralism (serba tunggal lawan serba jamak),
dan God (Tuhan).
Pendapat-pendapat tersebut diatas menggambarkan betapa luas dan mencakupnya objek filsafat
baik dilihat dari substansi masalah maupun sudut pandangnya terhadap masalah, sehingga
dapat disimpulkan bahwa objek filsafat adalah segala sesuatu yang berwujud dalam sudut
pandang dan kajian yang mendalam (radikal). Secara lebih sistematis para ahli membagi objek
filsafat ke dalam objek material dan obyek formal. Obyek material adalah objek yang secara
wujudnya dapat dijadikan bahan telaahan dalam berfikir, sedangkan obyek formal adalah objek
yang menyangkut sudut pandang dalam melihat obyek material tertentu. Menurut Endang
Saefudin Anshori (1981) objek material filsafat adalah sarwa yang ada (segala sesuatu yang
berwujud), yang pada garis besarnya dapat dibagi atas tiga persoalan pokok yaitu : 1). Hakekat
Tuhan; 2). Hakekat Alam; dan 3). Hakekat manusia, sedangkan objek formal filsafat ialah
usaha mencari keterangan secara radikal terhadap objek material filsafat. Dengan demikian
objek material filsafat mengacu pada substansi yang ada dan mungkin ada yang dapat
difikirkan oleh manusia, sedangkan objek formal filsafat menggambarkan tentang cara dan sifat
berfikir terhadap objek material tersebut, dengan kata lain objek formal filsafat mengacu pada
sudut pandang yang digunakan dalam memikirkan objek material filsafat.
PENDIDIKAN MULTIBUDAYA
A. Latar Belakang
Bangsa Indonesia terdiri dari beraneka ragam suku, agama, ras dan antar golongan namun tetap
satu juga. Hal ini sesuai dengan semboyan negara dan bangsa Indonesia yakni Bhinneka
Tunggal Ika. Akan tetapi di masyarakat termasuk di sekolah sering terjadi prasangka, konflik
dan tindak kekerasan berdasarkan perbedaan keyakinan, pendapat, identitas maupun gaya
hidup. Salah satu upaya untuk mengantisipasi agar hal itu tidak terjadi maka realitas seperti
pluralitas, keberagaman (diversity) dan multikultural harus disosialisasikan dan diajarkan
kepada siswa di sekolah. Pendidikan Multibudaya merupakan sebuah benteng paling depan
disaat menghadapi situasi realitas seperti ini.
Edukasi tentang multikultural dewasa ini sangatlah krusial untuk dipelajari dan diedukasikan
se dini mungkin. Banyaknya etnis dan suku bangsa belum lagi ditambah globalisasi membuat
teknologi semakin cepat berkembang dapat menjadi sebuah threat atau ancaman yang tidak
bisa dipandang sebelah mata. Konflik yang terjadi akibat perbedaan identitas dan ideologi
dapat menjadi suatu percikan api kecil ditengah ladang rumput tandus. Dalam makalah ini,
pembaca diajak untuk lebih memahami pengetahuan fundamental dari Pendidikan Multibudaya
di Indonesia maupun di dunia.
3.1. PENGERTIAN HAKIKAT MULTIBUDAYA
Sebagai sebuah ideologi, multikulturalisme terserap dalam berbagai interaksi yang ada dalam
berbagai struktur kegiatan kehidupan manusia yang tercakup dalam kehidupan sosial,
kehidupan ekonomi dan bisnis, dan kehidupan politik, dan berbagai kegiatan lainnya di dalam
masyarakat yang bersangkutan. Interaksi tersebut berakibat pada terjadinya perbedaan
pemahaman tentang multikulturalisme. Lebih jauh, perbedaan ini berimplikasi pada perbedaan
sikap dan perilaku dalam menghadapi kondisi multikultural masyarakat. Sebagai sebuah
ideologi, multikulturalisme harus diperjuangkan, karena dibutuhkan sebagai landasan bagi
tegaknya demokrasi, hak asasi manusia dan kesejahteraan hidup masyarakatnya.
Kurikulum menampakkan aneka kelompok budaya yang berbeda dalam masyarakat, bahasa,
dan dialek dimana para peserta didik lebih baik berbicara tentang rasa hormat diantara mereka
dan menjunjung tinggi nilai-nilai kerja sama, daripada membicarakan persaingan dan
prasangka diantara sejumlah peserta didik yang berbeda dalam hal ras, etnik, budaya, dan
kelompok status sosialnya. Pembelajaran multibudaya adalah pembelajaran yang didasari atas
filosofi kebebasan, keadilan, kesederajatan, dan keseimbangan setiap hak-hak manusia,
sekalipun setiap orang memiliki latar belakang budaya yang berbeda.
Kemajemukan etnis dan budaya sebetulnya baik secara historis maupun antropologis yang ada
di Indonesia itu sudah sangat kondusif bagi penerapan pendekatan pendidikan multibudaya.
Indonesia yang memiliki motto kenegaraan Bhinneka Tunggal Ika, adalah hakiki dan
mengungkapkan kebenaran historis yang tidak dapat disangkal lagi sejak zaman kerajaan
dahulu. Kerajaan Majapahit memiliki politik hubungan antar kerajaan yang terungkap dalam
semboyan “mitreka satata” yang berarti “persahabatan dengan dasar saling menghormati”
dengan kerajaan-kerajaan Asia Tenggara lainnya seperti Champa, Syam, Burma. Pujangga
Empu Tantular pernah melukiskan kehidupan beragama dengan baik sekali dalam karangannya
Sutasoma dengan kalimat “bhinneka tunggal ika tan hana darma mangrua” yang berarti
“walaupun berbeda, satu adanya, tidak ada agama yang tujuannya berbeda”. Empu Tantular
sudah mendudukkan motto tersebut sebagai falsafah kerajaan/pemerintahan pada zamannya.
Secara antropologis, bangsa Indonesia yang kaya akan keragaman etnis, budaya, agama,
bahasa, adat-istiadat yang hidup di tengah masyarakat plural, semuanya tergantung dari local
genius yang bersifat primordial. Lokal genius yang primordial itu ditentukan oleh genesis infra
struktur penghidupan masyarakatnya. Kalau saja menurut Kluckhohn (1953) terdapat tujuh
unsur kebudayaan itu, baik yang kecil, terisolasi-sederhana, maupun yang besar kompleks-
maju. Ketujuh unsur itu adalah bahasa, sistem teknologi, sistem ekonomi, organisasi sosial,
sistem pengetahuan, religi, dan kesenian. Melalui evolusi dan transformasi yang beratus-ratus
bahkan beribu-ribu tahun , jika saja kita mau belajar, maka organisasi sosial politik kita dalam
berbangsa dan bernegara, segala kekurangan-kekurangannya akan tampak di hadapan kita.
Kalau ini memang yang sedang terjadi, dapat dibayangkan bahwa kemandekan dalam
kesadaran sejarah tidak bisa dihindarkan, sebab kesadaran relevance, merupakan awal mutu
kehidupan. Dalam profesi dan peran sosial apapun, jika sedang mengalami “sense of
relevance”, kehadirannya bisa menjadi teralienasi dari keharusan zaman dan tuntutan
masyarakat.
b) Untuk membantu peserta didik dalam membangun perlakuan yang positif terhadap
perbedaan cultural, ras, etnik, dan kelompok keagamaan.
c) Memberikan ketahanan peserta didik dengan cara mengajar mereka dalam mengambil
keputusan dan keterampilan sosialnya.
d) Untuk membantu peserta didik dalam membangun ketergantungan lintas budaya dan
memberi gambaran positif kepada mereka mengenai perbedaan.
Menurut Tilaar, pendidikan multikultural berawal dari berkembangnya gagasan dan kesadaran
tentang “interkulturalisme”seusai perang dunia II. Kemunculan gagasan dan kesadaran
“interkulturalisme” ini selain terkait dengan perkembangan politik internasional menyangkut
HAM, kemerdekaan dari kolonialisme, dan diskriminasi rasial dan lain-lain, juga karena
meningkatnya pluralitas di negara-negara Barat sendiri sebagai akibat dari peningkatan migrasi
dari negara-negara baru merdeka ke Amerika dan Eropa. Mengenai fokus pendidikan
multikultural, Tilaar mengungkapkan bahwa dalam program pendidikan multikultural, fokus
tidak lagi diarahkan semata-mata kepada kelompok rasial, agama dan kultural domain atau
mainstream. Fokus seperti ini pernah menjadi tekanan pada pendidikan interkultural yang
menekankan peningkatan pemahaman dan toleransi individu-individu yang berasal dari
kelompok minoritas terhadap budaya mainstream yang dominan, yang pada akhirnya
menyebabkan orang-orang dari kelompok minoritas terintegrasi ke dalam masyarakat
mainstream. Pendidikan Multibudaya sebenarnya merupakan sikap “peduli” dan mau mengerti
(difference), atau “politics of recognition” politik pengakuan terhadap orangorang dari
kelompok minoritas.
Model-model pendidikan multikultural yang pernah ada dan sedang dikembangkan oleh
negara-negara maju, dikenal lima pendekatan, yaitu: pertama, pendidikan mengenai
perbedaan-perbedaan kebudayaan atau multikulturalisme. Kedua, pendidikan mengenai
perbedaan-perbedaan kebudayaan atau pemahaman kebudayaan. Ketiga, pendidikan bagi
pluralisme kebudayaan. Keempat, pendidikan dwi-budaya. Kelima, pendidikan multikultural
sebagai pengalaman moral manusia.
Selanjutnya James Banks menjelaskan bahwa pendidikan multikultural memiliki lima dimensi
yang saling berkaitan dan dapat membantu guru dalam mengimplementasikan beberapa
program yang mampu merespon terhadap perbedaan pelajar (siswa), yaitu:
a. Dimensi integrasi isi/materi (content integration). Dimensi ini digunakan oleh guru
untuk memberikan keterangan dengan poin kunci pembelajaran dengan merefleksi materi yang
berbeda-beda. Secara khusus, para guru menggabungkan kandungan materi pembelajaran ke
dalam kurikulum dengan beberapa cara pandang yang beragam.
e. Dimensi pemberdayaan budaya sekolah dan struktur sosial (empowering school culture
and social structure). Dimensi ini penting dalam memperdayakan budaya siswa yang dibawa
ke sekolah yang berasal dari kelompok yang berbeda.
KESIMPULAN
Upaya memanusiakan manusia melalui pendidikan memerlukan paradigma yang jelas, guna
dijadikan dasar dalam penetapan tujuan yang ingin dicapai. Banyak aliran filsafat yang dapat
dijadikan acuan sebagai landasan, diantaranya adalah aliran progresivisme,essensialisme dan
pereneliasme yang masing-masing memiliki karakter dan ciri tersendiri. Pendidikan
Multibudaya telah menjelma menjadi kebutuhan yang begitu urgent untuk segera dipenuhi
dalam suatu masyarakat yang diwarnai kemajemukan atau keragaman seperti masyarakat
Indonesia. Pendidikan Multibudaya dengan perspektif unity in diversity perlu dikembangkan
dan diaplikasikan dalam kehidupan siswa di sekolah-sekolah. Beberapa elemen-elemen
pendidikan multibudaya yang sudah dijelaskan tadi memperlihatkan bahwa sebenarnya poin
penting dan prinsip dari pendidikan budaya itu sangatlah erat dengan nilai-nilai universal yang
dianut bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Pendidikan Multibudaya sebenarnya merupakan
sikap “peduli” dan mau mengerti (difference), atau “politics of recognition” politik pengakuan
terhadap orang-orang dari kelompok minoritas.
DAFTAR PUSTAKA
Yunus, H.A.2016. Telaah Aliran Pendidikan Progresivisme dan Esensialisme Dalam Perspektif
Filsafat Pendidikan
https://www.kompasiana.com/solihin6353/5ecdf322097f36014215a0d3/filsafat-
pendidikanperenialisme
Jalaluddin dan Abdullah Idi. Filsafat Pendidikan (Manusia, Filsafat, dan Pendidikan). Jakarta :
Gaya Media Pratama. 1997
http://hadirukiyah.blogspot.com/2009/06/filsafat-pendidikan-rekonstruksionisme.html
http://vionardi.wordpress.com/2011/07/05/rekonstruksionisme/#_ftn6
George Knight. Issue and Alternative in Educational Philoshopy Terjemahan Mahmud Arif.
filosofi.html http://pancasila.weebly.com/pengertian-pancasila.html.
https://bobo.grid.id/read/082425465/filsafat-pancasila-pengertian-fungsi-dan-tujuan?page=all
Heri Herdiawanto dan Jumanta Hamdayama, 2010. Cerdas, Kritis, Dan Aktif
Berwarganegara
_James Banks, Multiethnic Education: Theory and Practice, 3rd ed. (Boston; Allyn
_H.A.R Tilaar, (1999). Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia, Strategi
Reformasi Pendidikan Nasional. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya dan Ford Fondation.