Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam
Dosen Pengampu : Rihlah Nur Aulia, MA
Disusun oleh :
NIM 1404620028
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan dalam Islam merupakan sebuah rangkaian proses pemberdayaan manusia
menuju taklif (kedewasaan), baik secara akal, mental maupun moral, untuk menjalankan
fungsi kemanusiaan yang diemban-sebagai seorang hamba (abd) dihadapan Khaliq-nya dan
sebagai “pemelihara” (khalifah) pada semesta (Tafsir, 1994). Dengan demikian, fungsi utama
pendidikan adalah mempersiapakn peserta didik (generasi penerus) dengan kemampuan dan
keahlian (skill) yang diperlukan agar memiliki kemampuan dan kesiapan untuk terjun ke
tengah masyarakat (lingkungan), sebagai tujuan akhir dari pendidikan.
Peran pendidikan sangat penting dalam kehidupan manusia bahkan tidak dapat
dipisahkan dari keseluruhan proses kehidupan manusia. Dengan kata lain, kebutuhan manusia
terhadap pendidikan bersifat mutlak dalam kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat,
bangsa dan negara. Jika sistem pendidikannya berfungsi secara optimal maka akan tercapai
kemajuan yang dicita-citakannya sebaliknya bila proses pendidikan yang dijalankan tidak
berjalan secara baik maka tidak dapat mencapai kemajuan yang dicita-citakan. Betapapun
terdapat banyak kritik yang dilancarkan oleh berbagai kalangan terhadap pendidikan, atau
tepatnya terhadap praktek pendidikan, namun hampir semua pihak sepakat bahwa nasib suatu
komunitas atau suatu bangsa di masa depan sangat bergantung pada kontribusinya
pendidikan. misalnya sangat yakin bahwa pendidikanlah yang dapat memberikan kontribusi
pada kebudayaan di hari esok. Pendapat yang sama juga bisa kita baca dalam penjelasan
Umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem
pendidikan Nasional (UU No. 20/2003), yang antara lain menyatakan: Manusia
membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Pendidikan merupakan usaha agar manusia
dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran atau cara lain yang
dikenal dan diakui oleh masyarakat”. Namun didalam dunia pendidikan sendiri banyak
masalah-masalah pendidikan yang dihadapi di era globalisasi ini. Baik itu masalah yang
bersifat internal maupun eksternal.
Makalah ini berusaha mengidentifikasi dan memahami permasalahan-permasalahan
pendidikan Islam. Perlu pula dikemukakan bahwa permasalahan pendidikan yang diuraikan
dalam makalah ini terbatas pada permasalahan pendidikan formal. Namun sebelum
menguraikan permasalahan pendidikan islam, terlebih dahulu disajikan uraian singkat tentang
fungsi pendidikan.
PEMBAHASAN
A. Hakikat Pendidikan Islam dan Globalisasi
1. Pengertian Pendidikan Islam
Pendidikan adalah proses mempersiapkan masa depan anak didik dalam
mencapai tujuan hidup secara efektif dan efisien. Sedangkan Pendidikan Islam
menurut para tokoh ialah sebagai berikut :
Pertama, menurut Ahmadi mendefinisikan Pendidikan Islam adalah segala
usaha untuk memelihara fitrah manusia serta sumber daya insani yang ada padanya
menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) yang sesuai dengan norma
Islam. Kedua, menurut Syekh Musthafa Al-Ghulayani memaknai pendidikan adalah
menanamkan akhlak mulia dalam jiwa murid serta menyiraminya dengan petunjuk
dan nasehat, sehingga menjadi kecenderungan jiwa yang membuahkan keutamaan
kebaikan serta cinta belajar yang berguna bagi tanah air.
Dalam definisi diatas terlihat jelas bahwa pendidikan Islam itu membimbing
anak didik dalam perkembangan dirinya, baik jasmani maupun rohani menuju
terbentuknya kepribadian yang utama pada anak didik nantinya yang didasarkan pada
hukum-hukum islam.
2. Dasar-dasar Pendidikan Islam
Menurut Samsul Nizar membagi dasar pendidikan islam menjadi tiga sumber,
yaitu sebagai berikut :
a. Al Qur’an
Al Qur’an adalah kalam Allah swt. Yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
saw dalam bahasa arab guna menjalankan jalan hidup yang membawa
kemaslahatan bagi umat manusia (rahmatan lil ‘alamin), baik di dunia maupun di
akhirat.
b. Sunnah
Keberadaan Sunnah Nabi tidak lain adalah sebagai penjelas dan penguat
hukum-hukum yang ada didalam Al Qur’an, sekaligus sebagai pedoman bagi
kemaslahatan hidup manusia dalam semua aspeknya. Eksistensinya merupakan
sumber inspirasi ilmu pengetahuan yang berisikan keputusan dan penjelasan Nabi
dari pesan-pesan illahiyah yang tidak terdapat didalam Al Qur’an, maupun yang
terdapat didalam Al Qur’an tetapi masih memerlukan penjelasan lebih lanjut secara
terperinci.
c. Ijtihad
Pentingnya Ijtihad tidak lepas dari kenyataan bahwa pendidikan Islam di satu
sisi dituntut agar senantiasa sesuai dengan dinamika zaman dan IPTEK yang
berkembang dengan cepat. Sementara disisi lain, dituntut agar tetap
mempertahankan kekhasannya sebagai sebuah sistem pendidikan yang berpijak
pada nilai-nilai agama. Ini merupakan masalah yang senantiasa menuntut Mujtahid
Muslim di bidang pendidikan untuk selalu berijtihad sehingga teori pendidikan
islam senantiasa relevan dengan tuntutan zaman dan kemajuan IPTEK.
4. Hakikat Globalisasi
Globalisasi secara harfiah berasal dari kata global yang berarti sedunia atau
sejagat. Menurut A. Qodry Azizi, menyebut bahwa era globalisasi berarti terjadinya
pertemuan dan gesekan nilai-nilai budaya dan agama diseluruh dunia yang
memanfaatkan jasa komunikasi, transformasi, dan informasi yang merupakan hasil
modernisasi di bidang teknologi.
Proses global ini pada hakikatnya bukan sekedar banjir barang, melainkan
akan melibatkan aspek yang lebih luas, mulai dari keuangan, pemilikan modal, pasar,
teknologi, daya hidup, bentuk pemerintahan, sampai kepada bentuk-bentuk kesadaran
manusia.
Pendidikan Islam juga dihadapkan dan terperangkap pada persoalan yang sama,
bahkan apabila diamati dan kemudian disimpulkan pendidikan Islam terkukung dalam
kemunduran, keterbelakangan, ketidak berdayaan, dan kemiskinan, sebagaimana pula
yang dialami oleh sebagian besar negara dan masyarakat Islam dibandingkan dengan
mereka yang non Islam. Katakan saja, pendidikan Islam terjebak dalam lingkaran yang
tak kunjung selesai yaitu persoalan tuntutan kualitas, relevansi dengan kebutuhan,
perubahan zaman, dan bahkan pendidikan apabila diberi “embel-embel Islam”, dianggap
berkonotasi kemunduran dan keterbelakangan, meskipun sekarang secara berangsur-
angsur banyak diantara lembaga pendidikan Islam yang telah menunjukkan kemajuan
(Soeroyo, 1991: 77). Tetapi pendidikan Islam dipandang selalu berada pada posisi deretan
kedua atau posisi marginal dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia. Dalam
Undang- Undang sistem pendidikan nasional menyebutkan pendidikan Islam merupakan
sub-sistem pendidikan nasional.
Pendidikan Islam menjadi satu dalam sistem pendidikan nasional, tetapi predikat
keterbelakangan dan kemunduran tetap melekat padanya, bahkan pendidikan Islam sering
“dinobatkan” hanya untuk kepentingan orang-orang yang tidak mampu atau miskin,
memproduk orang yang eksklusif, fanatik, dan bahkan pada tingkah yang sangat
menyedihkan yaitu “terorisme-pun” dianggap berasal dari lembaga pendidikan Islam,
karena pada kenyataannya beberapa lembaga pendidikan Islam “dianggap” sebagai
tempat berasalnya kelompok tersebut. Walaupun “anggapan” ini keliru dan dapat ditolak,
sebab tidak ada lembaga-lembaga pendidikan Islam manapun yang bertujuan untuk
memproduk atau mencetak kelompok-kelompok orang seperti itu. Tetapi realitas di
masyakarat banyak perilaku kekerasan yang mengatasnamakan Islam. Apakah ada
sesuatu yang salah dalam sistem, proses, dan orientasi pendidikan Islam.
Masalah pendidikan Islam timbul karena dua faktor yaitu faktor internal dan
eksternal.
1. Faktor internal
2. Faktor eksternal
1. Faktor Internal
a) Relasi Kekuasaan dan Orientasi Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan pada dasarnya hanya satu, yaitu memanusiakan manusia,
atau mengangkat harkat dan martabat manusia atau human dignity, yaitu menjadi
khalifah di muka bumi dengan tugas dan tanggung jawab memakmurkan
kehidupan dan memelihara lingkungan. Tujuan pendidikan yang selama ini
diorientasikan memang sangat ideal bahkan, lantaran terlalu ideal, tujuan tersebut
tidak pernah terlaksana dengan baik.
Orientasi pendidikan, sebagaimana yang dicita-citakan secara nasional,
barangkali dalam konteks era sekarang ini menjadi tidak menentu, atau kabur
kehilangan orientasi mengingat adalah tuntutan pola kehidupan pragmatis dalam
masyarakat indonesia. Hal ini patut untuk dikritisi bahwa globalisasi bukan
semata mendatangkan efek positif, dengan kemudahan-kemudahan yang ada, akan
tetapi berbagai tuntutan kehidupan yang disebabkan olehnya menjadikan
disorientasi pendidikan. Pendidikan cenderung berpijak pada kebutuhan
pragmatis, atau kebutuhan pasar lapangan, kerja, sehingga ruh pendidikan islam
sebagai pondasi budaya, moralitas, dan social movement (gerakan sosial) menjadi
hilang.
b) Masalah Kurikulum
Sistem sentralistik terkait erat dengan birokrasi atas bawah yang sifatnya
otoriter yang terkesan pihak “bawah” harus melaksanakan seluruh keinginan
pihak “atas”. Dalam system yang seperti ini inovasi dan pembaruan tidak akan
muncul. Dalam bidang kurikulum sistem sentralistik ini juga mempengaruhi
output pendidikan. Tilaar menyebutkan kurikulum yang terpusat, penyelenggaraan
sistem manajemen yang dikendalikan dari atas telah menghasilkan output
pendidikan manusia robot. Selain kurikulum yang sentralistik, terdapat pula
beberapa kritikan kepada praktik pendidikan berkaitan dengan saratnya kurikulum
sehingga seolah-olah kurikulum itu kelebihan muatan. Hal ini mempengaruhi juga
kualitas pendidikan. Anak-anak terlalu banyak dibebani oleh mata pelajaran.
Dalam realitas sejarahnya, pengembangan kurikulum Pendidikan Islam tersebut
mengalami perubahan-perubahan paradigma, walaupun paradigma sebelumnya
tetap dipertahankan.
Hal ini dapat dicermati dari fenomena berikut : (1) perubahan dari tekanan
pada hafalan dan daya ingat tentang teks-teks dari ajaran-ajaran agama islam, serta
disiplin mental spiritual sebagaimana pengaruh dari timur tengah, kepada
pemahaman tujuan makna dan motivasi beragama islam untuk mencapai tujuan
pembelajaran Pendidikan Islam. (2) perubahan dari cara berfikir tekstual,
normatif, dan absolutis kepada cara berfikir historis, empiris, dan kontekstual
dalam memahami dan menjelaskan ajaran-ajaran dan nilai-nilai islam.(3)
perubahan dari tekanan dari produk atau hasil pemikiran keagamaan islam dari
para pendahulunya kepada proses atau metodologinya sehingga menghasilkan
produk tersebut. (4) perubahan dari pola pengembangan kurikulum pendidikan
islam yang hanya mengandalkan pada para pakar dalam memilih dan menyusun
isi kurikulum pendidikan islam ke arah keterlibatan yang luas dari para pakar,
guru, peserta didik, masyarakat untuk mengidentifikasikan tujuan Pendidikan
Islam dan cara-cara mencapainya.
c) Pendekatan/Metode Pembelajaran
Peran guru atau dosen sangat besar dalam meningkatkan kualitas kompetensi
siswa/mahasiswa. Dalam mengajar, ia harus mampu membangkitkan potensi guru,
memotifasi, memberikan suntikan dan menggerakkan siswa/mahasiswa melalui
pola pembelajaran yang kreatif dan kontekstual (konteks sekarang menggunakan
teknologi yang memadai). Pola pembelajaran yang demikian akan menunjang
tercapainya sekolah yang unggul dan kualitas lulusan yang siap bersaing dalam
arus perkembangan zaman.
Siswa atau mahasiswa bukanlah manusia yang tidak memiliki pengalaman.
Sebaliknya, berjuta-juta pengalaman yang cukup beragam ternyata ia miliki. Oleh
karena itu, dikelas pun siswa/mahasiswa harus kritis membaca kenyataan kelas,
dan siap mengkritisinya. Bertolak dari kondisi ideal tersebut, kita menyadari,
hingga sekarang ini siswa masih banyak yang senang diajar dengan metode yang
konservatif, seperti ceramah, didikte, karena lebih sederhana dan tidak ada
tantangan untuk berfikir.
d) Profesionalitas dan Kualitas SDM
Salah satu masalah besar yang dihadapi dunia pendidikan di Indonesia sejak
masa Orde Baru adalah profesionalisme guru dan tenaga pendidik yang masih
belum memadai. Secara kuantitatif, jumlah guru dan tenaga kependidikan lainnya
agaknya sudah cukup memadai, tetapi dari segi mutu dan profesionalisme masih
belum memenuhi harapan. Banyak guru dan tenaga kependidikan
masih unqualified, underqualified, dan mismatch, sehingga mereka tidak atau
kurang mampu menyajikan dan menyelenggarakan pendidikan yang benar-benar
kualitatif.
e) Biaya Pendidikan
Faktor biaya pendidikan adalah hal penting, dan menjadi persoalan tersendiri
yang seolah-olah menjadi kabur mengenai siapa yang bertanggung jawab atas
persoalan ini. Terkait dengan amanat konstitusi sebagaimana termaktub dalam
UUD 45 hasil amandemen, serta UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 tentang sistem
pendidikan nasional yang memerintahkan negara mengalokasikan dana minimal
20% dari APBN dan APBD di masing-masing daerah, namun hingga sekarang
belum terpenuhi. Bahkan, pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan genap
20% hingga tahun 2009 sebagaimana yang dirancang dalam anggaran strategis
pendidikan.
2. Faktor Eksternal
d. Dichotomic
Masalah besar yang dihadapi dunia pendidikan islam adalah dichotomy dalam
beberapa aspek yaitu antara Ilmu Agama dengan Ilmu Umum, antara Wahyu
dengan Akal setara antara Wahyu dengan Alam. Munculnya problem dikotomi
dengan segala perdebatannya telah berlangsung sejak lama. Boleh dibilang gejala
ini mulai tampak pada masa-masa pertengahan. Menurut Rahman, dalam
melukiskan watak ilmu pengetahuan islam zaman pertengahan menyatakan
bahwa, muncul persaingan yang tak berhenti antara hukum dan teologi untuk
mendapat julukan sebagai mahkota semua ilmu.
e. To General Knowledge
Kelemahan dunia pendidikan islam berikutnya adalah sifat ilmu
pengetahuannya yang masih terlalu general/umum dan kurang memperhatikan
kepada upaya penyelesaian masalah (problem solving). Produk-produk yang
dihasilkan cenderung kurang membumi dan kurang selaras dengan dinamika
masyarakat. Menurut Syed Hussein Alatas menyatakan bahwa, kemampuan untuk
mengatasi berbagai permasalahan, mendefinisikan, menganalisis dan selanjutnya
mencari jalan keluar/pemecahan masalah tersebut merupakan karakter dan sesuatu
yang mendasar kualitas sebuah intelektual. Ia menambahkan, ciri terpenting yang
membedakan dengan non-intelektual adalah tidak adanya kemampuan untuk
berfikir dan tidak mampu untuk melihat konsekuensinya.
f. Lack of Spirit of Inquiry
Persoalan besar lainnya yang menjadi penghambat kemajuan dunia pendidikan
islam ialah rendahnya semangat untuk melakukan penelitian/penyelidikan. Syed
Hussein Alatas merujuk kepada pernyataan The Spiritus Rector dari Modernisme
Islam, Al Afghani, Menganggap rendahnya “The Intellectual Spirit” (semangat
intelektual) menjadi salah satu faktor terpenting yang menyebabkan kemunduran
Islam di Timur Tengah.
g. Memorisasi
Rahman menggambarkan bahwa, kemerosotan secara gradual dari standar-
standar akademis yang berlangsung selama berabad-abad tentu terletak pada
kenyataan bahwa, karena jumlah buku-buku yang tertera dalam kurikulum sedikit
sekali, maka waktu yang diperlukan untuk belajar juga terlalu singkat bagi pelajar
untuk dapat menguasai materi-materi yang seringkali sulit untuk dimengerti,
tentang aspek-aspek tinggi ilmu keagamaan pada usia yang relatif muda dan
belum matang. Hal ini pada gilirannya menjadikan belajar lebih banyak
bersifat studi tekstual daripada pemahaman pelajaran yang bersangkutan. Hal ini
menimbulkan dorongan untuk belajar dengan sistem hafalan (memorizing)
daripada pemahaman yang sebenarnya. Kenyataan menunjukkan bahwa abad-abad
pertengahan yang akhir hanya menghasilkan sejumlah besar karya-karya komentar
dan bukan karya-karya yang pada dasarnya orisinal.
h. Certificate Oriented
Pola yang dikembangkan pada masa awal-awal Islam, yaitu thalab
al’ilm, telah memberikan semangat dikalangan muslim untuk gigih mencari ilmu,
melakukan perjalanan jauh, penuh resiko, guna mendapatkan kebenaran
suatu hadits, mencari guru diberbagai tempat, dan sebagainya. Hal tersebut
memberikan isyarat bahwa karakteristik para ulama muslim masa-masa awal
didalam mencari ilmu adalah knowledge oriented. Sehingga tidak mengherankan
jika pada masa-masa itu, banyak lahir tokoh-tokoh besar yang memberikan
banyak konstribusi berharga, ulama-ulama encyclopedic, karya-karya besar
sepanjang masa. Sementara, jika dibandingkan dengan pola yang ada pada masa
sekarang dalam mencari ilmu menunjukkan kecenderungan adanya pergeseran
dari knowledge oriented menuju certificate oriented semata. Mencari ilmu hanya
merupakan sebuah proses untuk mendapatkan sertifikat atau ijazah saja,
sedangkan semangat dan kualitas keilmuan menempati prioritas berikutnya.