Anda di halaman 1dari 15

1

PROBLEMA-PROBLEMA POKOK DALAM FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM


(Syadidul Kahar)
Dosen STI Tarbiyah Babussaam Kutacane

Abstarak
Filsafat pendidikan islam menentukan tujuan akhir, maksud, objektif, nilai-nilai dan
cita-cita yang telah ditentukan lebih dahulu oleh filsafat hidup Islam dan dilaksanakan
oleh proses pendidikan. Kajian fislafat pendidikan islam ini dilakukan dengan tiga
masalah pokok filsafat pendidikan islam yang sumbernya langsung dari wahyu Allah
swt. Dan hadis Rasulullah saw. Di sinilah terletak pentingnya kembali pada filsafat
pendidikan Islam karena konsep filsafat Islam cukup luas dan komprehensif. Bahkan
teori-teori pengetahuan yang dibawa oleh filsafat Barat modern belum dapat
menandingi teori-teori filsafat Islam yang karya-karyanya bukan hanya tersebar di dunia
Islam tetapi juga mempengaruhi pemikiran Barat sendiri. Supaya ahli-ahli pendidikan
muslim dapat menciptakan suatu filsafat pendidikan yang sesuai bagi masyarakat Islam
progressif yang menggabungkan antara keaslian dan kemampuan, haruslah mereka
memelihara berbagai faktor dan kembali keberbagai sumber Islam.

Kata Kunci.Problema-problema pokok, Filsafat Pendidikan Islam

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan dalam perspektif Islam dikenal dengan istilah tarbiyah, ta’lim, ta’dib
dan riyadah. Pendidikan Islam dapat diartikan sebagai proses transternalisasi
pengetahuan dan nilai Islam kepada peserta didik melalui upaya pengajaran,
pembiasaan, bimbingan dan pengasuhan potensinya guna mencapai keselarasan dan
kesempurnaan hidup di dunia dan di akhirat.1 Jadi pendidikan islam adalah suatu
pendidikan yang dalam pelaksanaannya mempunyai karakteristik dan sifat keislaman,
yakni pendidikan yang didirikan dan dikembangkan diatas dasar ajaran yang bersumber
dari Islam. Hal ini berarti, bahwa seluruh pemikiran dan aktifitas pendidikan Islam tidak
mungkin lepas dari ketentuan bahwa semua pengembangan dan aktifitas kependidikan
Islam haruslah benar-benar merupakan realisasi dan pengembangan dari ajaran Islam itu
sendiri. Dengan demikian pengertian pendidikan Islam adalah suatu sistem
kependidikan yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang dibutuhkan oleh hamba
Allah, sebagaiman Islam telah menjadi pedoman bagi seluruh aspek kehidupan manusia,
baik duniawi maupun ukhrawi
2

Secara sederhana dapat diartikan bahwa, pendidikan islam pada dasarnya


memproyeksikan diri memproduk insan yang kamil, yaitu manusia yang sempurna
dalam segala hal. Untuk meraih tujuan ini maka realisasinya harus sepenuhnya
bersumber dari cita-cita yang diwahyukan Allah swt. dan Sunnah Nabi Muhammad
saw. yang Tujuan pendidikan Islam tidak terlepas dari tujuan hidup manusia dalam
Islam, yaitu untuk menciptakan pribadi-pribadi hamba Allah yang selalu bertakwa
kepadaNya, dan dapat mencapai kehidupan yang berbahagia di dunia dan akhirat.
Mengenai ini dalam Alquran telah dijelaskan dalam surah Al-Dzariat: 56:
   
  
Artinya: dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku.(Mengenalku) (Al-Dzariyat:56)
Berdasarkan ayat di atas sangaat jelas bahwa tujuan dari pendidikan islam itu
pada hakikatnya adalah realisasi dari cita-cita ajaran Islam itu sendiri, yang membawa
misi bagi kesejahteraan umat manusia di dunia dan akhirat. Kesejahtraan itu dapat
diproleh apabila kita menjalankan tugas kita sebagai hamba yaitu untuk beribadah
kepada sang Khalik. Karena dengan mengenal Sang Pencipta kita akan merasa butuh
kepada Nya, dan kita akan menjalankan segala urusan-urusan yang di printahkan.
Rumusan-rumusan tujuan akhir pendidikan Islam telah disusun oleh para ulama
dan ahli pendidikan islam. Diantaranya adalah salah seorang cendikiawan islam yaitu
Ibnu Khaldun. Menurut Ibn Khaldun ada tiga tingkat tujuan pendidikan Islam yaitu2:
1. Pengembangan kemahiran dalam bidang tertentu,
2. Penguasaan keterampilan professional sesuai dengan tuntutan zaman,
3. Pembinaan pemikiran yang baik, oleh karena itu pendidikan sebaiknya dibentuk dan
direalisasikan dengan terlebih dahulu memperhatikan pertumbuhan dan
perkembangan potensi psikologis peserta didik.
Jadi dapat dipahami bahwa pendidikan islam pada dasarnya merupakan suatu
proses perkembangan yang bertujuan. Tujuan proses perkembangan itu secara alamiah
adalah kedewasaan atau kematangan. Sebab potensi yang dimiliki oleh manusia secara
bertahap berjalan secara alamiah menuju kedewasaan dan kematangan. Potensi tersebut
akan terwujud apabila dikondisikan secara alamiah dan sosial manusia memungkinkan.
Ini merupakan suatu masalah dalam proses perkembangan manusia, karena setiap
3

manusia memiliki potensi dan kehidupan sosial yang berbeda. Masalahnya terletak
bagaimana suatu individu menghadapi proses perkembangan tersebut.
Adanya aktivitas dalam pendidikan dan lembaga pendidikan merupakan jawaban
dari manusia terhadap masalah tersebut. Timbul problem dan pikiran pemecahan itu
adalah bidang filsafat, dalam hal ini berarti filsafat pendidikan. Dapat diuraikan bahwa
pendidikan merupakana pelaksana dari ide-ide filsafat. Jika dikaitkan dalam islam
berarti ide-ide filsafat tersebut tidak terlepas dari sumber islam itu sendiri. Jadi peranan
filsafat pendidikan islam merupakan sumber pendorong adanya pendidikan islam.
Secara sederhana, ketika filsafat pendidikan islam merupakan suatu pendorong
adanya pendidikan islam, maka muncullah problematika-problematikan untuk
menyeleraskan pendidikan dengan tuntutan zaman. Problematika filsafat pendidikan
tersebut bersumber dalam bidang pendidikan itu sendiri. Juga, tidak dapat dipisahkan
dengan perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat. Tidak bisa kita pungkiri
lagi bahwa proses pendidikan itu tidak berlangsung di ruang kosong, melainkan berada
di tengah-tengah masyarakat yang selalu berubah cepat, sehingga apa yang terjadi
dalam masyarakat akan berpengaruh pada bidang pendidikan.
Menurut Harold Titus (dalam Yunus Abu Bakar) mengemukakan lima
pengertian mengenai falsafat sebagai berikut3:
1. Falsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam
yang biasanya diterima secara kritis.
2. Falsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap
yang sangat kita junjung tinggi.
3. Falsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan.
4. Falsafat adalah analisa logis dari bahasan serta penjelasan tentang arti kata dan
konsep.
5. Falsafat adalah sekumpulan problema-problema yang langsung mendapat perhatian
dari manusia dan yang dicarikan jawabannya oleh ahli falsafat.
Memberikan arah agar teori pendidikan yang telah dikembangkan oleh para
ahlinya, yang berdasarkan dan menurut pandangan dan aliran filsafat tertentu,
mempunyai relevansi dengan kehidupan nyata. Dalam hal ini berarti, dalam dunia
pendidikan islam itu sendiri telah dikembangkan dan dapat diterapkan dalam praktek
kependidikan islam sesuai dengan kenyataan dan kebutuhan hidup yang juga
4

berkembang dalam masyarakat. Di sinilah letak fungsi filsafat pendidikan islam dalam
memilih dan mengarahkan teori-teori pendidikan dan kalau perlu juga merevisi teori
pendidikan tersebut, yang sesuai dan relevan dengan kebutuhan, tujuan dan pandangan
hidup dari masyarakat sesuai dengan hakikat pendidikan dalam islam. Konsep
pendidikan dalam filsafat pendidikan islam merupakan ide pendidikan yang langsung
bersumber dari Allah swt. Sebagai pendidik yang maha sempurna dan konsep
pendidikan yang sempurna. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka diambil
judul yang dikaji dan diuraikan yaitu tentang problema-problema pokok dalam filsafat
pendidikan islam.

B. PEMBAHASAN
A. Problema-Problema Pokok Filsafat Pendidikan Islam
Sumber utama dalam Filsafat pendidikan Islam yang didasarkan atas ajaran
wahyu, pada hakekatnya sejalan dengan yang dikehendaki oleh berfikir falsafi yakni
mendasar, menyeluruh tentang kebenaran yang ditawarkannya. Dalam proses
pertumbuhannya, filsafat sebagai hasil pemikiran para ahli filsafat atau para filosof
sepanjang kurun waktu dengan obyek permasalahan hidup didunia, telah melahirkan
berbagai macam pandangan. Pandangan-pandangan tersebut adakalanya saling
menguatkan dan adapula yang berbeda atau berlawanan. Sehingga hal ini menyababkan
suatu problematika dalam filsafat pendidikan Islam.
Masalah dalam dunia pendidikan merupakan masalah hidup dan kehidupan yang
dijalani oleh manusia. Proses pendidikan berada dan berkembang bersama proses
perkembangan kehidupan manusia itu sendiri. Hadis Nabi Saw mengatakan “ Tuntutlah
ilmu mulai dari buaian hingga ke liang lahat, ini berarti bahwa seluruh proses hidup dan
aktivitas kehidupan manusia itu adalah proses pendidikan segala pengalaman sepanjang
hidupnya merupakan dan memberikan pengaruh pendidikan baginya. Berdasarkan hal
ini secara umum pendidikan itu tidak ada batasan, karena kesempatan orang untuk
mendapatkan ilmu berbeda-beda. Walau demikian, untuk secara formal bahwa peserta
didik harus mendapatkan pendidikan yang berstruktur dengan memberikan dasar- dasar
dan pandangan hidup kepada generasi yang sedang tumbuh, yang dalam prakteknya
identik dengan pendidikan formal di sekolah dan dalam situasi dan kondisi serta
lingkungan belajar yang serba terkontrol.
5

Berdasarkan hal tersebut, masalah pendidikan akan berhubungan langsung


dengan hidup dan kehiupan manusia. Pendidikan merupakan usaha dari manusia dewasa
yang telah sadar akan kemanusiannya, dalam membimbing, melatih,mengajar dan
menanamkan nilai-nilai serta dasar-dasar pandangan hidup kepada generasi muda, agar
nantinya menjadi manusia yang sadar dan bertanggung jawab akan tugas-tugas
hidupnya sebagai manusia, sesuai dengan sifat hakikat dan cirri-ciri kemanusianya Dan
pendidikan formal disekolah hanya bagian kecil saja daripadanya.
Perkembangan zaman dalam kehidupan manusia berjalan secara langsung begitu
cepat. Masyarakat berjalan secara dinamis mengiringi perkembangan zaman tersebut.
Seiring dengan hal itu, filsafat sebagai suatu kajian ilmu juga berkembang dan
melahirkan tiga dimensi utama sekaligus. Ketiga dimensi utama filsafat ilmu ini adalah
ontologi (apa yang menjadi obyek suatu ilmu), epistemologi (cara mendapatkan ilmu),
dan aksiologi (untuk apa ilmu tersebut). Ontologi merupakan hakikat yang ada, yang
merupakan asumsi dasar bagi apa yang disebut sebagai kenyataan dan kebenaran.
Epistemologi adalah sarana, sumber, tata cara untuk menggunakannya dengan langkah-
langkah progresinya menuju pengetahuan (ilmiah). Adapun aksiologi adalah nilai-nilai
sebagai tolok ukur kebenaran (ilmiah), etik, dan moral sebagai dasar normatif dalam
penelitian dan penggalian, serta penerapan ilmu4.
1. Landasan Ontologi Pendidikan Islam
Manusia jika dikelompokkan dari segi kajian ontologi maka dapat dilihat dari
tiga sudut pandang, yaitu manusia sebagai individu, manusia sebagai makhluk sosial
dan manusia yang hidup dialam. Jika ditinjau dari manusia hidup di alam, berarti
perkembangan dari kehidupan manusia itu tergantung bagaimana cara manusia
menghargai alam dan mengajarkan kepada generasi selanjutnya. Pada dasarnya alam ini
diciptakan Allah swt untuk manusia. Walaupun demikian bukan berarti manusia
bertindak semena-mena berbuat sekendak hatinnya. Kemampuan manusia untuk
menguasai alam ini terbatas sesuai dengan yang telah ditaqdirkan Allah swt. Tugas
manusia sebagai khalifah dipermukaan bumi ini adalah untuk menjaga keseimbangan
alam dan menjalankan perintah allah swt.
   
   
   
   
6

  


  
      
 
Artinya: ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat:
"Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka
berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan
membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa
bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman:
"Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (QS. Al Baqarah: 30)

Walau demikian, meskipun telah ditundukkan untuk manusia dan dirancang


sesuai dengan hukum-hukum Allah swt sehingga memungkinkan untk diketahui
manusia, namun Allah swt tetap memerintahkan manusia untuk mempelajari alam
semesta dengan semua fonomena dan noumenanya5. Alam ini merupakan objek ilmu
pengetahuan yang dapat diolah untuk pemanfaatan bagi manusia.
Manusia sebagai mahluk individu, yang pada dasarnya manusia itu sendiri
berkembang dan bergerak menuju kearah kesempurnaan. Proses perubahan dan
perkembangan ini baik fisik maupun rohani manusia perlu diberikan pendidikan agar
dapat menjalani kehidupan ini. Dikarenakan manusia itu sendiri merupakan integrasi
yang utuh antara dimensi material dan non material, maka pendidikan islami harus
merupakan suatu proses memberikan bantuan kemudahan kepada peserta didik untuk
dapat mengembangkan kedua dimensi tersebut dengan segenap daya-daya potensi yang
dimilikinya6.
Manusia sebagai mahluk sosial, merupakan kehidupan manusia itu sendiri yang
hidup dimasyarakat. Masyarakat itu sendiri merupakan suatu kesatuan individu yang
memiliki keinginan yang sama dan tujuan yang sama. Mencermati hal tersebut, maka
setiap masyarakat memiliki tanggung jawab edukatif untuk mengingatkan, mengajak,
mendidik, melatih, mengarahkan dan membimbing sesamanya agar tetap berpegang
teguh pada perjanjian atau syahadah primordialnya dengan Allah swt7. Dalam hal ini,
harapan utama dalam filsafat pendidikan islam adalah agar terbentuknya peradapan
manusia.
Ketiga kajian tersebut di atas merupakan hakikat dari alam, manusia, dan sosial.
Ketiga hal tersebut merupakan objek dari pendidikan itu sendiri yang ide-idenya dari
filsafat pendidikan. Berbicara dari hakikat sejalan dengan kajian dari ontologi dari
7

filsafat. ontologi adalah bidang pokok filsafat yang mempersoalkan hakikat keberadaan
segala sesuatu yang ada menurut tata hubungan sistematis berdasarkan hukum sebab
akibat yaitu ada manusia, ada alam, dan ada kuasa prima dalam suatu hubungan yang
menyeluruh, teratur, dan tertib dalam keharmonisan8. Ontologi dapat pula diartikan
sebagai ilmu atau teori tentang wujud hakikat yang ada. Obyek ilmu atau keilmuan itu
adalah dunia empirik, dunia yang dapat dijangkau panca indera. Dengan demikian,
obyek ilmu adalah pengalaman inderawi. Dengan kata lain, ontologi adalah ilmu yang
mempelajari tentang hakikat sesuatu yang berwujud (yang ada) dengan berdasarkan
pada logika semata. Pengertian ini didukung pula oleh pernyataan Runes
bahwa“ontology is the theory of being qua being ”, artinya ontologi adalah teori tentang
wujud9.
Pandangan ontologi ini secara praktis akan menjadi masalah utama pendidikan.
Sebab anak bergaul dengan lingkungannya dan mempunyai dorongan yang kuat untuk
mengetahui sesuatu. Anak-anak di sekolah atau masyarakat akan menghadapi realita,
obyek pengalaman, benda mati, sub human dan human10. Demikian juga dengan realita
alam semesta ini dan eksistensi manusia yang memiliki jasmani dan rohani. Jadi Anak-
anak sebagai peserta didik harus dibimbing, dibina dan ditumbuh kembangkan untuk
memahami realitas dunia yang nyata ini dan untuk membimbing pengertian anak-anak
dalam memahami suatu realita bukanlah semata-mata kewajiban sekolah atau
pendidikan. Kewajiban sekolah juga untuk membina kesabaran tentang kebenaran yang
berpangkal atas realita. Ini berarti realita itu sebagai tahap pertama, sebagai stimulus
untuk menyelami kebenaran. Peserta didik juga secara sistematis wajib dibina potensi
berpikir kritis untuk mengerti kebenaran sesuai dengan tingkatan kemampuannya dalam
memahami realita tersebut.
Jadi permasalahan utama dalam kajian ontology dalam filsafat pendidikan islam
adalah tentang hakikat dari konsep pendidikan itu sendiri. Berdasarkan uraian diatas
bahwa manusia tidak bisa terlepas dari alam, perkembangan individu manusia itu
sendiri, dan kehidupan social manusia itu sendiri. Dari tiga konsep telaah inilah kajian
ontology menguraikan bagaimana konsep pendidikan itu sendiri berdasarkan filsafat
pendidikan islam yang meliputi tentang bagaiman hakikat pendidik, peserta didik,
kurikulum, serta sarana dan prasarana pendidikan. Dalam filsafat pendidikan islam
pendidik itu adalah Allah swt itu sendiri. Jadi, pendidik disini bukanlah yang tergambar
8

seolah-olah berdiri didepan kelas. Kajian ontologi disini adalah sebagai pendidik maka
harus dapat meresapi bagaimana sifat-sifat allah swt. Allah itu maha Rahim, maka
sebagai pendidik harus dapat mengimplementasikan sifat kasih sayang itu terhadap
dirinya untuk mendidik anak didiknya. Begitu juga dengan sifat-sifat Allah swt. lainnya.
Jadi dapat di dikatakan adalah pendidik dalam filsafat pendidikan islam dalam
kajian ontologi filsafat pendidikan islam adalah Siapa saja orang yang bertanggung
jawab terhadap perkembangannya anak didik yang mengimplementasikan sifat-sifat
Allah swt. Orang yang paling bertanggung jawab adalah orang tua (ayah, ibu) anak
didik, karena dapat dilihat dari dua hal, yaitu Pendidik berarti juga orang dewasa yang
bertanggung jawab memberi pertolongan pada anak didik dalam perkembangan jasmani
dan rohaninya, agar menacapai tingkat kedewasaan, mampu berdiri sendiri dan
mematuhi tingkat kedewasaannya, mampu berdiri sendiri memenuhi tugasnya sebagai
hamba dan khalifah Allah SWT. Dan mampu sebagai makhluk sosial, dan sebagai
makhluk individu yang mandiri. Pendidik harus mampu membentuk rupa mental-
rohaniah anak didik. Sebab pada hakiktnya pendidik telah merepkan kedalam jiwamu
dengan ragam pengetahuan dan membimbingnya ke jalan keselamatan dan keabadian,
seperti apa yang telah dilakukan oleh Allah swt ketika mengajarkan Nabi Adam as.
Begitu juga halnya dengan peserta didik dan kurikulum, dalam kajian ontologi
filsafat pendidikan islam sistem pendidikan tersebut dikembalikan kepada Allah swt.
Yang berupa wahyu ilahi dan sunnah rasulullah saw. konsep tersebut sudah tergambar
jelas dalam islam bagaimana mekanismenya dan konsepnya.
2. Landasan Epistimologi Pendidikan Islam
Sedemikian jauh dunia pendidikan islam dianggap sebagai proses penyerahan
kebudayaan islam umumnya, dan ilmu pengetahuan khususnya. Yang menjadi
pertanyaan adalah apa sesungguhnya ilmu itu, dari mana sumber ilmu tersebut dan
bagaimana proses terjadinya. Inilah urusan epistimologi filsafat pendidikan islam itu.
Suryasumantri dalam Rasydin mengatakan bahwa epistimologi adalah bagian dari
filsafat ilmu membahas tentang proses dan prosedur menggali ilmu, metode untuk
meraih ilmu yang benar, makna dan kriteria kebenaran serta sarana yang digunakan
untuk mendapatkan ilmu11.
9

Dalam alquran disebutkan bahwa manusia memiliki potensi yang dapat


digunakan untuk meraih ilmu sehingga dapat menjalan tugasnya sebagai khalifah
dipermukaan bumi ini.
   
   
  
  
  
Artinya:dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak
mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati,
agar kamu bersyukur. (QS. An Nahl:78)
Berdasarkan ayat tersebut, potensi-potensi yang dimiliki oleh manusia adalah
jiwa, pendengaran, penglihatandan hati. Potensi-potensi inilah yang digunakan untuk
memproleh ilmu. Diahir ayat dinyatakan bahwa dengan potensi-potensi yang telah
diamanahkan Allah swt kepada manusia supaya manusia itu bersyukur. Makasud
bersyukur disini adalah bertanggung jawab dan menggunakan amanah yang telah
diberikan Allah swt dengan baik. Mula-mula manusia percaya bahwa dengan kekuasaan
pengenalannya ia dapat mencapai realitas sebagaimana adanya. Epistomologi mengkaji
mengenai apa sesungguhnya ilmu, dari mana sumber ilmu, serta bagaimana proses
terjadinya. Dengan menyederhanakan batasan tersebut, Brameld mendefinisikan
epistomologi memberikan kepercayaan dan jaminan bagi guru bahwa ia memberikan
kebenaran kepada murid-muridnya12. Kebenaran dalam filsafat pendidikan islam adalah
kebenaran yang bersumber dari Al Quran dan hadis. Tetapi tidak menafikan sumber lain
yang berdasarkan pemikiran manusia selama pemikiran itu sejalan dengan sumber islam
itu sendiri.
Pengetahuan dalam islam berasal dari wahyu Allah swt yang diberikan kepada
Nabi Muhammad Saw, dan kita memerolehnya dengan jalan percaya bahwa Nabi benar.
Pada agama, yang harus kita lakukan adalah beriman, baru berpikir. Kita boleh
memertanyakan kebenaran agama, setelah menerima dan memercayainya, dengan cara
rasional. Tapi kita tetap harus percaya meskipun apa yang disampaikan agama itu tidak
masuk akal atau tidak terbukti dalam kenyataan. Jawaban yang diberikan agama atas
satu masalah bisa sama, berbeda, atau bertentangan dengan jawaban filsafat. Dalam hal
ini, latar belakang keberagamaan seorang filosof sangat memengaruhi. Jika ia
beragama, biasanya ia cenderung mendamaikan agama dengan filsafat, seperti yang
10

tampak dari pemikiran-pemikiran filosof muslim. Jika ia tidak beragama, biasanya


filsafatnya berbeda atau bertentangan dengan agama.
Secara praktis, fungsi utama agama adalah sebagai sumber nilai (ahklak) untuk
dijadikan pegangan dalam hidup budaya manusia. Agama juga memberikan orientasi
atau arah dari tindakan manusia. Orientasi itu memberikan makna dan menjauhkan
manusia dari kehidupan yang sia-sia. Nilai, orientasi, dan makna itu terutama bersumber
dari kepercayaan akan adanya Tuhan dan kehidupan setelah mati atau yang disebut
dengan alam akhirat. Dalam filsafat pendidikan islam, kegunaan epistimologi adalah
untuk memproleh ilmu pengtahuan sehingga kegunaan ilmu tersebut dapat digunakan
untuk menjelaskan, meramal atau memerkirakan, dan mengontrol. Penjelasan tersebut
bersumber dari alquran dan hadis.. Dihadapkan pada masalah praktis, teori akan
memerkirakan apa yang akan terjadi dalam pendidikan. Dari perkiraan itu, kita
memersiapkan langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk mengontrol segala hal yang
mungkin timbul, entah itu merugikan atau menguntungkan.
Dalam kajian epistimologi filasafat pendidikan islam, ilmu itu dengan jenis
apapun berasal dari Allah swt. Ketika ditinjau dari berbagai aspek maka muncullah
dikotomi ilmu pengetahuan itu sendiri. Dikotomi ilmu adalah sikap yang membagi atau
membedakan ilmu secara teliti dan jelas menjadi dua bentuk atau dua jenis yang
dianggap saling bertentangan serta sulit untuk diintegralkan Dengan demikian, apapun
bentuk pembedaan secara diametral terhadap ilmu secara bertentangan adalah berarti
dikotomi ilmu. Sehingga secara umum timbul istilah “ilmu umum (non agama) dan ilmu
agama; ilmu dunia dan ilmu akhirat; ilmu hitam dan ilmu putih; ilmu eksak dan ilmu
non-eksak, dan lain-lain. Bahkan ada pembagian yang sangat ekstrim dalam pembagian
ilmu pengetahuan dengan istilah seperti ilmu akhirat dan ilmu dunia; ilmu syar’iyyah
dan ilmu ghairu syar’iyyah13.
Dalam perspektif fakta sejarah, proses pengembangan budaya dan ilmu
pengetahuan dalam islam, terjadi akulturasi nilai antar disiplin khazanah keilmuan
islam. Pemikiran filsafat diadopsi sebagai dasar pola pikir dalam ilmu kalam –padahal
keduanya merupakan disiplin ilmu yang berbeda- , maka terkesan adanya infiltrasi teori-
teori yang fregmentatif-konfrontatif dengan doktrin islam. Melihat fakta tersebut, tokoh-
tokoh agam islam mengeluarkan fatwa-fatwa yang “membabi buta” hingga
mengharamkan filsafat, dan mengkafirkan orang-orang yang mempelajaridan
11

mengajarkannya. Salah satunya adalah al-Ghazali dengan bukunya “Tahafut al-


Falasifah” dengan banyak mengecam filsafat14.
Sedemikian hebatnya Al-Ghazali dalam penguasaan ilmu memunculkan
pertanyaan besar, apakah masih belum cukup untuk memberikan pengakuan bahwa ia
benar-benar mempunyai pengaruh yang signifikan bagi kemajuan peradaban dan
perkembangan dunia intelekual umat islam bahkan non-islam. Dan kecamana Al-
Ghazali terhadap para filosof dengan argument rasional dan filosofis dalam Tahafut al-
Falasifah masih belum cukup untuk menunjukkan bahwa yang ia lakukan bukan dalam
rangka membunuh kreatifitas intelektual umat islam, apalagi menjauhkan peradaban
islam dari filsafat. Justru sebaliknya ia memberikan apresiasi yang sangat positif
terhadap akal sebagai salah satu instrumen mencari pengetahuan, karena yang
dilakukannya adalah dalam rangka mendudukkan akal manusia pada batas-batas
wilayahnya15.
3. Landasan Aksiologi Pendidikan Islam
Secara sederhana aksiologi dalam filsafat pendidikan islam dapat diartikan
mempelajari tentang hakikat nilai dari pendidikan itu sendiri. Dalam hal ini aksiologi
berkaitan dengan kebaikan dan keindahan tentang nilai dan penilaian. Hal ini
merupakan bidang kajian tentang dari mana sumber nilai, akar dan norma serta nilai
subsransif dan standar nilai. Etika berkaitan dengan kualitas, moralitas pribadi dan
perilaku sosial. Suryasumantri menyimpulkan pengertian dari aksiologi adalah
bagian dari filsafat ilmu yang membahas tentang keguanaan dan penggunaan ilmu,
kaitan antara penggunaan ilmu dengan kaedah moral, hubungan antara prosedur
dengan oprasionalisasi norma-norma moral dan profesionalisme16. Dalam peradapan
islam, penggunaan ilmu harus sesuai dengan standar syariah islam. Abu Ishaq As
Syatibi dalam Al Rasyidin menjelaskan bahwa17, tujuan dari penetapan standar itu
adalah:
- Memelihara agama
- Memelihara akal
- Memelihara keturunanan
- Memelihara harta
Pada zaman sekarang ini, Ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu
manusia mencapai tujuan hidupnya, namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat
12

kemanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana
yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya menjadi insan yang kamil, namun
juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri. Maksudnya adalah manusia sudah membuat
tujuan sendiri sesuai dengan nafsunya atau kemauannya sendiri dan untuk
kepentingannya sendiri. Dalam filsafat pendidikan islam, berbicara mengenai aksiologi,
berarti berbicara mengenai tujuan dari pendidikan itu sendiri yaitu pembentukan
manusia yang berakhlak dan insan yang kamil.
Kegunaan pendidikan secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia
tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan. Pendidikan itu
implementasinya selalu terkait dengan aksiologinya. Dalam hal ini akan dijelaskan
seberapa jauh pendidikan islam itu mempunyai peranan dalam membatu mencapai
kehidupan manusia yang sejahtera di dunia ini dan di akhirat. Manusia belajar dari
pengalamannya dan berasumsi bahwa alam mengikuti hukum-hukum dan aturan-
aturannya, dalam hal ini berarti wahyu Allah swt dan hadis. Pendidikan islam
merupakan hasil kebudayaan manusia, dimana lebih mengutamakan kuantitas yang
obyektif dan mengesampingkan kualitas subjektif yang berhubungan dengan keinginan
pribadi sehingga dengan pendidikan, manusia tidak akan mementingkan dirinya sendiri.
Pembentukan kepribadian seseorang sangat dipengaruhi oleh dimensi ruh yang
merupakan anugerah Allah swt, bukan dimensi jasad. Dalam persepektif ini, jasad pada
hakikatnya adalah wahana berlakunyad dorongan atau keinginan-keinginan ruhiyah
manusia18. Dalam persepektif islam, agar tercapainya insan yang kamil melalui
pendidikan maka perlu keseimbangan aqal, qalbu, dan nafs. Berdasarkan hal ini, proses
ta’lim, tarbiyah, atau ta’dib dalam pembentukan kepribadian muslim harus diawali dari
tazkiyatun nafs. Ketika nafs sudah bersih dari pengaruh-pengaruh yang tidak baik maka
dengan mudahnya menerima inti dari agama itu sendiri.
Segala sesuatu yang penting dalam pendidikan Islam adalah aspek tujuan.
Sebab, dengan mengetahui tujuan maka gerak langkah manusia ke depan akan sesuai
dengan konsep yang diinginkan. Dalam alquran banyak sekali pernyataan ayat-ayat
yang mengindikasikan tentang tujuan pendidikan islam itu sendiri, diantaranya adalah
tujuan individual. Tujuan individual dalam pendidikan Islam sangat dicerminkan oleh
sikap atau perilaku masing-masing individu. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Omar
Mohammad At-Toumy Al-Syaibani, bahwa tujuan-tujuan individual adalah yang
13

berkaitan dengan individu-individu, pelajaran (learning) dan dengan pribadi-pribadi


mereka, dan apa yang berkaitan dengan individu-individu tersebut ada perubahan yang
diinginkan pada tingkah laku, aktivitas dan pencapaiannya, dan pada pertumbuhan yang
diingini pada pribadi mereka, dan pada persiapan yang dimestikan kepada mereka pada
kehidupan dunia akhirat19.
B. KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Filsafat pendidikan islam menentukan tujuan akhir, maksud, objektif, nilai-nilai
dan cita-cita yang telah ditentukan lebih dahulu oleh filsafat hidup Islam dan
dilaksanakan oleh proses pendidikan. Di sinilah terletak pentingnya kembali pada
filsafat pendidikan Islam karena konsep filsafat Islam cukup luas dan komprehensif.
Bahkan teori-teori pengetahuan yang dibawa oleh filsafat Barat modern belum dapat
menandingi teori-teori filsafat Islam yang karya-karyanya bukan hanya tersebar di dunia
Islam tetapi juga mempengaruhi pemikiran Barat sendiri. Supaya ahli-ahli pendidikan
muslim dapat menciptakan suatu filsafat pendidikan yang sesuai bagi masyarakat Islam
progressif yang menggabungkan antara keaslian dan kemampuan, haruslah mereka
memelihara berbagai faktor dan kembali keberbagai sumber Islam.
C. DAFTAR PUSTAKA

Al Rasyidin dan Ja’far, 2015, Filsafat Ilmu Dalam Tradisi Islam, Medan: Perdana
Publishing.
Al-Ghazali, 2003, Neraca Kebenaran, diterjemahkan oleh Kamran As’ad, Yogyakarta:
Pustaka Sufi.
As-Syaibani, Omar Mohammad At-Toumy, 1979, Falsafah pendidikan Islam, Jakarta:
Bulan Bintang, 1979.
Arifin, Muzayyin2005, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara.
Al Rasyidin, 2008, Falsafah Pendidikan Islam:membangun Kerangka Ontologi,
Epistimologi, dan Aksiologi Praktik Pendidikan Islam, Bandung: Cipta
Pustaka Media Perintis.
Azra, Azzumardi, 1999 Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Melenium
Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Bakar, Yunus Abu, 2014, Filsafat Pendidikan Islam, Bahan Ajar, UIN Sunan Ampel
Surabaya.
Baharuddin, Dkk., 2011, Dikotomi Pendidikan Islam: Historisitas dan Implikasi Pada
Masyarakat Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya,
Daulay, Haidar Putra, 2001, Modernisasi Islam: Tokoh Gerakan dan Gagasa, Bandung:
Ciptapustaka Media
Hamdi, Ahmad Zainul, 2001, Epistemologi dalam Konstruksi Filsafat Al-Ghazali,
Jumal Al-Tahrir.
14

http://pontrennurulhuda.blogspot.com/2009/01/dikotomi-ilmu-pengetahuan.html.
Diakses tanggal 2 Oktober 2018
Langgulung, Hasan, 1986, Manusia dan Pendidikan, Jakarta: Pustaka Al Husna.
Langgulung, Hasan, 1987 Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Al Husna.
Mujib, Abdul dan Jusuf Muzakir, 2006, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Prenada Media
Group.
Mustajib, Human, 2016 Filsafat Pendidikan Hasan Langgulung, Jurnal El Tarbawi:
Vol.IX, No 2
Munir, Ahmad, 2008. Tafsir Tarbawi Mengungkap Pesan Al-Qur’an tentang
Pendidikan, Yogyakarta: TERAS, 2008.
Syam, Muhammad Noor, 1986. Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat
Kependidikan Pancasila, Surabaya: Usaha Nasional.
Suhartono, Suparlan, 2007, Filsafat Pendidikan, Yogyakarta: Kelompok Penerbit Ar-
Ruzz Media.
Sumantri, Jujun S. Suria, 2003, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer.Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan
Uhbiyati, Nur, 1997, Ilmu Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia.
Walidin, Warul, 2003, Konstelasi Pemikiran Ibnu Khaldun, Lhokseumawe: Nadiya
Foundation.
Zubaedi, 2012, Isu-isu Baru dalam Diskursus Filsafat Pendidikan Islam dan Kapita
selekta Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

1
Abdul Mujib, Jusuf Muzakir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Prenada Media
Group, 2006), hal. 6.
2
Warul Walidin, Konstelasi Pemikiran Ibnu Khaldun, (Lhokseumawe: Nadiya
Foundation, 2003), Hal. 105
3
Yunus Abu Bakar, Filsafat Pendidikan Islam, (Bahan Ajar, UIN Sunan Ampel
Surabaya, 2014), hal. 1.
4
Muhammad Noor Syam, Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat
Kependidikan Pancasila, (Surabaya: Usaha Nasional, 1986), hal. 28.
5
Al Rasyidin, Falsafah Pendidikan Islam:membangun Kerangka Ontologi,
Epistimologi, dan Aksiologi Praktik Pendidikan Islam, (Bandung: Cipta Pustaka Media
Perintis, 2008), hal.11.
6
Ibid,....,hal.30
7
Ibid,..., hal.38.
8
Suparlan Suhartono, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Kelompok Penerbit Ar-
Ruzz Media, 2007), hal 44
9
Syam, Muhammad Noor, 1986. Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat
Kependidikan Pancasila, Surabaya: Usaha Nasional.hal.32
10
Syam, Muhammad Noor, Filsafat Kependidikan…...hal.30
11
Al Rasyidin dan Ja’far, Filsafat Ilmu Dalam Tradisi Islam, (Medan: Perdana
Publishing, 2015), hal. 79.
12
Syam, Muhammad Noor, Filsafat Kependidikan hal.32
15

13
Baharuddin, Dkk., Dikotomi Pendidikan Islam: Historisitas dan Implikasi Pada
Masyarakat Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), hal. 44
14
Al-Ghazali, Neraca Kebenaran, diterjemahkan oleh Kamran As’ad,
(Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003), hal. xii
15
Ahmad Zainul Hamdi, Epistemologi dalam Konstruksi Filsafat Al-Ghazali,
(Jumal Al-Tahrir, 2001), hal. 174
16
Al Rasyidin dan Ja’far, Filsafat Ilmu.., hal. 145
17
Al Rasyidin dan Ja’far, Filsafat Ilmu.., hal. 147
18
Al Rasyidin dan Ja’far, Filsafat Ilmu…,hal88
19
Omar Mohammad At-Toumy Al-Syaibani, Falsafah pendidikan Islam, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1979), hlm. 399

Anda mungkin juga menyukai