Anda di halaman 1dari 50

PERKADERAN HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM DAN

RELEVANSINYA PADA AKTUALISASI REKONSTRUKSI


PENDIDIKAN ISLAM

SKRIPSI

Diajukan Kepada Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Al-Ibrohimy Bangkalan Sebagai


Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)

Disusun Oleh:

M. Riski Firdaus
NIM: 2018122011001

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH AL-IBROHIMY
BANGKALAN
2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Agama Islam adalah salah satu agama dengan penganut terbesar di permukaan
bumi, dunia Islam juga pernah memiliki masa kejayaan dan kebesaran dimana
peradabannya menjadi kiblat pengetahuan bagi peradaban lain dari seluruh penjuru
dunia di berbagai bidang, baik itu kesehatan, pendidikan, sosial masyarakat, politik dan
sebagainya.
Sebagai sebuah ajaran, Islam telah membutikan diri bahwa ia dapat bertahan
melewati berbagai macam perubahan zaman, sebab substansi ajarannya sangatlah
lengkap dan mencakup semua sisi kehidupan manusia, meskipun dalam perjalanannya
banyak sekali muncul cara-cara baru manusia menerjemahkan dan menginterpretasikan
ajaran tersebut, baik secara pikiran maupun prakteknya atau yang kita sebut dengan
firqah-firqah Islam.
Tetapi hari ini boleh dikatakan Islam mengalami kemunduran dalam progres
keikut-sertaannya sebagai garda terdepan pelopor pengembangan ilmu pengetahuan,
jika dibandingkan dengan abad pertengahan kebelakang.
Islam dan ilmu pengetahuan memang sudah sepatutnya dikembalikan kedalam
satu jalur yang seiring dan selaras, pasalnya hari ini kita banyak melihat bahwa kita
mejadi korban branding opini kaum-kaum orientalis bahwa kita adalah kaum yang
tertinggal, kolot, tidak mampu menyesuaikann diri dengan jaman serta dikotomi antara
sains dan agama.
Pendidikan Islam, pada dasarnya dimaksudkan untuk meningkatkan keimanan,
ketakwaan, serta membentuk akhlak mulia pada diri peserta didik. Untuk itu, peran
Pendidikan Agama Islam di sekolah sangat penting, bahkan ketika orang tua terlanjur
percaya bahwa peran dan fungsi pendidikan yang efektif dan efisien adalah di sekolah.
Kenyataan ini, mengakibatkan hampir seluruh tugas kependidikan dialihkan ke sekolah
termasuk mengajarkan pengetahuan agama Islam dan pembinaan moral. Maka, disinilah
urgensi dari eksistensi sekolah yang kemudian di nilai sebagai wahana religiusasi dan
humanisasi. Dengan demikian, sekolah-sekolah baik negeri maupun swasta umum
menyadari akan pentingnya peran Pendidikan Agama Islam dalam kurikulum mereka.
Keadaan tersebut diatas pada akhirnya membentuk sebuah polarisasi atas
tanggung jawab pendidikan ke-agamaan generasi kita, yang membuat struktur
pendidikan Islam formal menjadi terasa jauh dari tanggung jawab pihak non-institusi
pendidikan itu sendiri. Padahal jika berbicara tujuannya, pendidikan agama bukanlah
sebuah model pendidikan kejuruan, melainkan pendidikan karakter yang implikasinya
bersifat holistik pada kehidupan peserta didik apabila pendidikan agama tersebut
ditumbuhkan dengan cara yang tepat pada diri siswa.
Belum lagi, kurikulum dan materi Pendidikan Agama Islam (PAI) yang
berlangsung selama ini oleh sebagian pengamat pendidikan dinilai belum bisa
mencerahkan peserta didik karena kurang dikaitkan atau concern terhadap persoalan
bagaimana mengubah pengetahuan agama yang bersifat kognitif menjadi makna dan
nilai yang perlu diinternalisasikan dalam diri peserta didik untuk bergerak, berbuat dan
berperilaku secara konkret-agamis dalam kehidupan praksis sehari-hari.1
Ditinjau dari beberapa literatur pendidikan Islam, tujuan pendidikan Islam lebih
mengarah pada pengembangan potensi fitrah manusia. Tujuan tersebut sesuai dengan
misi kenabian. Namun dalam proses pelaksanaannya, pendidikan Islam banyak
mengadopsi pendidikan sekuler yang notabenenya lebih menekankan dimensi aqliyah
dan jismiyah. Aplikasi pendidikan Islam juga mengesampingkan fitrah lain yang tidak
kalah penting dalam tujuan pendidikan.
Kembali kepada problem general umat islam secara global hari ini, jika dilihat
dari kacamata pendidikan Islam kita, rasanya tantangan dan pertanyaan-pertanyaan
yang dihadirkan oleh globalisasi belum bisa dijawab dengan baik. Maksimal, posisi
aplikasi pendidikan Islam hari ini sepertinya hanya sebagai filter untuk menangkal
dampak-dampak negatif ketika disandingkan dengan tantangan globalisasi. Dimana
seharusnya Islam sebagai ajaran dapat berjalan seiring dan selaras tidak hanya dalam
menangkal hal negatif tapi juga bagaimana dapat berkontribusi positif memanfaatkan
perubahan zaman yang sedang terjadi.
Pada posisi ini, kita kemudian mempertanyakan keberadaan pemikir-pemikir
Islam dan gagasan mereka yang mampu memberikan titik terang dalam keadaan yang

1
Siswanto, “Model Pengembangan Pendidikan Agama Islam di Sekolah”, Tadris, Program
Studi Pendidikan Agama Islam Jurusan Tarbiyah STAIN Pamekasan, Vol. 5 No. 2 (2010), hal. 142.
disruptif, yang jelas pemikir-pemikir tersebut hadir tidak secara instan, namun melalui
proses panjang seperti salah satunya melalui dunia perguruan tinggi.
Himpunan Mahasiswa Islam adalah salah satu organisasi kemahasiswaan tertua
dan terbesar di Indonesia, didirikan sejak 1947, organisasi ini memiliki tujuan
“Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan
bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah
SWT”. Organisasi ini berorientasi untuk mengenalkan Islam dengan jalan yang rasional
serta tidak mendikotomikannya dengan misi-misi keduniaan dan kemanusiaan.
Orientasi yang bertolak belakang dengan apa yang didengungkan kaum orientalis barat.
HMI pada saat didirikan, memiliki pandangan bahwa pada saat itu kaum Islam
melenceng jauh dari khittah perjuangannya, atas dasar kondisi ummat dan bangsa saat
itu, dirumuskanlah Nilai-nilai Dasar Perjuangan Organisasi sebagai landasan ideologis
organisasi untuk mencapai tujuannya melalui jenjang pelatihan dan perkaderan yang
bertujuan menumbuhkan pola pikir kritis agar ummat muslim tidak terbelenggu dalam
dogma-dogma yang mengekang, serta agar mereka yang berproses didalamnya dapat
memahami agama sebagai suatu hal yang kongkrit dan mengakui kebenarannya secara
rasional melalui nilai-nilai pendidikan Islam yang ada didalamnya.
Dalam mengenalkan pendidikan islam, mayoritas pelatih atau instruktur
khususnya di materi Nilai-nilai Dasar Perjuangan HMI, mereka menggunakan
pendekatan Dekonstruksi-Rekonstruktif, karna sesuai dengan apa yang disampaikan
diatas, HMI ingin mengenalkan agama sebagai sebuah entitas kebenaran yang dapat
dijangkau dengan rasio manusia, tanpa menghilangkan esensi utama dari ajaran-ajaran
islam tersebut. Sedangkan pada kenyataannya banyak dari ummat islam bahkan bisa
dikatakan mayoritas dari kita mengenal Islam dari otrang tua kita, ‘Islam Keturunan’,
begitu kita menyebutnya. Maka dari itu metode dekonstruksi-rekonstruktif dirasa cocok
karna tujuannya merobohkan pemikiran yang mapan dalam diri kita namun bukan
semata-mata menghancurkannya melainkan untuk membangunnya kembali dengan
memikirkan makna tersembunyi yang sering tidak dijangkau. Dengan latar belakang
pemikiran demikian, sebagai wadah gerakan dan pemikiran mahasiswa islam yang
berusia lebih dari tiga perempat abad, banyak alumninya muncul sebagai tokoh pemikir
ke-Islaman, seperti Nurcholish Madjid, Dawam Raharjo, Kuntowijoyo, Azyumardi
Azra dan lain-lain yang membawa gagasan tentang pembaharuan serta rekonstruksi
pemikiran Islam yang di antaranya dalam bidang pendidikan
Munculnya pemikiran pembaharuan dari tokoh-tokoh HMI tersebut bisa
dibilang sebagai gambaran dari hasil proses pendidikan yang ter-internalisasikan dengan
baik, selain tanpa menafikan potensi personal mereka dalam dunia akademis, perlu
kiranya kita mencari relevansi dari salah satu dari banyak faktor yang mempengaruhi
pemikiran mereka dengan hasil pemikiran mereka itu sendiri. Yang dalam hal ini
peneliti menaruh hipotesis peneliti faktor tersebut adalah nilai-nilai yang di
internalisasikan dalam proses awal mereka bergelut di dunia pemikiran dan pergerakan
Islam di Himpunan Mahasiswa Islam.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pola perkaderan di HMI?
2. Bagaimana tujuan gagasan tentang rekonstruksi pendidikan Islam di aktualisasikan?
3. Bagaimana relevansi perkaderan HMI dengan aktualisasi rekonstruksi pendidikan
Islam?
C. Tujuan Penelitian
Dari masalah yang diuraikan peneliti diatas, maka peneliti menyatakan rumusan
masalah dalam skripsi ini sebagai berikut:
1. Menerangkan tentang perkaderan HMI.
2. Menjabarkan tujuan rekonstruksi pendidikan Islam.
3. Menjelaskan relevansi perkaderan HMI dengan aktualisasi rekonstruksi pendidikan
Islam.
D. Kegunan Penelitian
1. Teoritis
Menjabarkan secara sistematis tentang khazanah pendidikan Islam yang relevan
dengan gagasan “Rekonstruksi Pendidikan Islam” yang terdapat di dalam
Perkaderan HMI.
2. Praktis
Sebagai acuan penilaian serta uji kelayakan tentang kesesuaian nilai-nilai
dasar pada pendidikan di HMI dengan tuntutan rekonstruksi pendidikan Islam.
E. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini berfokus pada beberapa literatur yang membahas pendidikan
Islam, literatur yang membahas gagasan rekonstruksi pendidikan Islam dan
pedoman perkaderan HMI serta materi-materi didalamnya sebagai objek kajiannya.2
F. Landasan Teoritik

Landasan teoritis sangat perlu agar penelitian memiliki dasar yang kokoh,
dan bukan sekedar perbuatan coba-coba (trial and error). Adanya landasan teoritis
ini, sebagai ciri bahwa penelitian ini memiliki kerangka ilmiah dalam perolehan
datanya. Teori diartikan sebagai seperangkat konstruk (konsep), definisi, dan
proposisi yang berfungsi untuk melihat fenomena secara sistematis, melalui
spesifikasi hubungan antar variable, sehingga dapat berguna untuk menjelaskan dan
meramalkan fenomena.

1. Perkaderan HMI
Perkaderan HMI adalah usaha HMI dalam meningkatkan kualitas para
anggota HMI dengan cara memberikan pemahaman ajaran dan nilai kebenaran
Islam dengan penuh hikmah, kesabaran, dan kasih sayang. Perkaderan tersebut
meliputi pembinaan sikap serta penambahan pengetahuan dan keterampilan
(Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Yogyakarta, 2016).
Karakteristik model perkaderan di HMI sendiri, mengacu pada Pedoman
Perkaderan yang telah di sepakati secara nasional melalui kongres Pengurus Besar
HMI. Terdapar beberapa metode perkaderan yang dilakukan baik secara formal
maupun informal. Secara formal terdapat tiga bentuk model, yaitu jenjang
pendidikan, jenjan pengembangan, jenjang pengabdian. Ketiga model perkaderan ini
bukanlah model yang linier. Namun model yang terus tersambung satu sama
lainnya. Sehingga keberadaan satu model perkaderan tidak bisa lepas atas
keberadaan dua jenjang lainnya. Artinya keberhasailan HMI dalam mewujudkan
kader berkualifikasi insan cita3 dengan satu jenjang tidak akan berhasil jika tidak
didukung oleh dua jenjang perkaderan lainnya.

2
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan (Bandung: Alfabeta, 2010), hal. 79.

3
Pasal IV Anggaran Dasar HMI, Hasil-hasil Kongres XXXI HMI. Surabaya 2020.
Gamba
r 1.1: Skema perkaderan formal HMI

2. Rekonstruksi Pendidikan Islam

G. Metode Penelitian
1. Bentuk Penelitian
(Kualitatif)
2. Sampel dan Populasi Penelitian

Karena menggunakan pendekatan kajian literatur, maka penelitian ini


mengambil sampel dari beberapa buku dan karya ilmiah yang membahas terkait
rekonstruksi pendidikan Islam dan pedoman perkaderan HMI sebagai data primer.
Kemudian sebagai data pendukung peneliti melakukan wawancara kepada beberapa
pihak terkait serta meneliti tulisan dan karya ilmiah lain untuk menunjang data
primer sebagai data sekunder.

3. Instrumen Penelitian
a. Instrumen Dokumen
Dokumentasi digunakan dalam penelitian yang biasanya menggunakan
pendekatan analisis isi. Subjek penelitian dengan instrumen dokumentasi
didominasi oleh buku, dokumen-dokumen, catatan-catatan, peraturan-peraturan,
hingga benda-benda bersejarah yang berhubungan dengan penelitian.
b. Instrumen Wawancara
Instrumen wawancara digunakan sebagai instrumen pendukung atau
penunjang data primer. Karena subjek penelitian adalah dokumen dan data yang
ingin diperoleh adalah relevansi.
4. Metode Pengumpulan Data
Data-data yang dikumpulkan diperoleh dengan cara mencari sumber-sumber
dokumen terkait di perpustakaan dan di arsip yang tersedia di internet. Sedangkan
wawancara dilakukan secara face-to-face kepada pihak terkait.
5. Metode Analisis Data
Penelitian ini menggunakan metode analisis data studi literatur karena subjek
penelitian merupakan buku dan bacaan serta pemikiran bebrapa tokoh dengan cara
mengukur similaritas esensi dari dua variabel yang diteliti.
H. Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan dimaksudkan untuk memberikan gambaran secara


runtut dari alur skripsi, serta memudahkan pembaca dalam mengenali konstruk skripsi.
Keseluruhan skripsi ini terdiri dari lima bab antara lain:

Bab pertama, berupa pendahuluan, yang berisi latar belakang masalah yang
mendasari penelitian ini. Selanjutnya, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan
penelitian, telaah pustaka, landasan teoritik, metode penelitian, dan sistematika
pembahasan.

Bab kedua, berisi tentang kajian teori Perkaderan Himpunan Mahasiswa


Islam, aktualisasi rekonstruksi pendidikan islam dan telaah pustaka terkait penelitian
yang berhubungan dengan penelitian ini.

Bab ketiga,berisi penyajian data dari literature dan hasil wawancara yang
dilakukan dalam penelitian ini

Bab keempat, berupa hasil analisis relevansi antara perkaderan Himpunan


Mahasiswa Islam pada rekonstruksi pendidikan Islam. Diakhir bab, diuraikan
kelebihan dan kekurangan teori dan materi literature yang dibahas dalam penelitian
ini.

Bab kelima, merupakan bagian akhir pembahasan skripsi, yaitu berupa


penutup, kesimpulan dan saran-saran. Di lembar berikutnya setelah bab ini,
dicantumkan daftar pustaka dan lampiran-lampiran yang berhubungan dengan
penelitian.
BAB II

PERKADERAN HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM

A. Kajian Teori
1. Perkaderan HMI
a. Pengertian Perkaderan
Dalam bahasa sehari-hari perkaderan bisa juga disebut dengan istilah
training ataupun pelatihan. Dalam hasil kongres HMI disebutkan bahwa
perkaderan adalah usaha organisasi yang dilaksanakan secara sadar dan
sistematis, selaras dengan pedoman perkaderan HMI, sehingga memungkinkan
seorang anggota HMI mengaktualisasikan potensi dirinya menjadi seorang kader
muslim, intelektual, professional yang memiliki kualitas insan cita.4
Dalam buku manajemen sumber daya manusia, di sebutkan bahwa
pelatihan adalah proses sistematik pengubahan perilaku para anggota dalam
suatu arah guna meningkatkan tujuan-tujuan organisasional. Pelatihan
merupakan hal yang penting, karena keduanya merupakan cara yang digunakan
oleh organisasi untuk mempertahankan, menjaga, memelihara anggota dalam
organisasi dan sekaligus meningkatkan produktivitasnya.5 Lain halnya dengan
Andew E. Sikula mengemukakan bahwa pelatihan (training) adalah suatu proses
pendidikan jangka pendek yang mempergunakan prosedur sistematis dan
terorganisasi.6
Sebenarnya pelatihan dan kaderisasi adalah dua hal yang berbeda tetapi
identik pengertiannya, karena kaderisasi cakupannya lebih luas, sedangkan
pelatihan adalah sebuah sistem yang dibangun dan terstruktur dan direncanakan
serta biasanya mempunyai kedudukan yang terstruktur. Bisa dikatakan bahwa
pelatihan adalah perwujudan proses kaderisasi. Namun karena proses kaderisasi
yang pertama dan utama di HMI berwujud pelatihan maka dalam hal ini bisa
dikatakan pelatihan dapat mewakili pengertian kaderisasi di HMI.

4
Hasil-hasil kongres HMI XXVII, Depok 05-10 november 2010, Hal. 309
5
Ambar Teguh S & Rosidah, Manajemen Sumber Daya Manusia, (Yogyakarta: Graha Ilmu,
2003), Hal.175-176
6
Anwar Prabu Mangkunegara, Perencanaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia,
(Bandung: Refika Aditama, 2006), Hal. 50
HMI sendiri mempunyai identitas sebagai organisasi perkaderan dan
perjuangan. Perkaderan HMI merupakan upaya peningkatan kualitas anggota-
anggotanya dengan memberikan pemahaman ajaran dan nilai kebenaran Islam
secara penuh hikmah, kesabaran dan kasih sayang. Perkaderan tersebut meliputi
pembinaan sikap serta penambahan pengetahuan dan keterampilan yang
memungkinkan kader HMI tampil sebagai khalifah Allah di muka bumi.
Sedangkan hakekat perjuangan HMI adalah kesungguhan melaksanakan ajaran
Islam pada kehidupan masyarakat secara bertahap dan konsisten diseluruh
aspeknya. (Himpunan Mahasiswa Islam, 2020)
Berbicara tentang perkaderan (pelatihan) tentunya tidak lepas dari obyek
atau individu yang di berikan pelatihan yang mana dalam HMI individu tersebut
dinamakan dengan kader. Eksistensi suatu organisasi apapun, apalagi lembaga-
lembaga kemahasiswaan sebagai sumber rekrutmen kepemimpinan bangsa di
masa depan, pasti memerlukan kader.
Kader adalah anggota inti organisasi, mereka ini adalah ujung tombak
dan penggerak organisasi. Karenanya mereka harus memiliki pandangan, visi,
dan ideologi organisasi tersebut. Sebagaimna disebutkan bahwa setiap kader
memerlukan sosialisasi politik dan pendidikan politik.7
Menurut AS Hornby (dalam kamusnya Oxford Advanced Learner’s
Dictionary) dijelaskan, pengertian kader adalah sekelompok orang yang
terorganisir secara terus menerus dan akan menjadi tulang punggung bagi
kelompok yang lebih besar. Hal ini dapat di jelaskan, pertama, seorang kader
bergerak dan terbentuk dalam berorganisasi, mengena aturan-aturan permainan
organisasi dan tidak bermain sendiri sesuai dengan selera pribadi. Bagi HMI
aturan-aturan itu sendiri dari segi nilai adalah nilai dasar perjuangan (NDP).
Dalam pemahaman memaknai perjuangan sebagai alat untuk
mentransformasikan nilai-nilai keIslaman yang membebaskan (Libration force),
dan memiliki keberpihakan yang jelas terhadap kaum tertindas (mustadhafin).
Sedangkan dari segi operasionalisasi organisasi adalah AD/ART HMI, pedoman
perkaderan dan pedoman serta ketentuan organisasi lainnya. Kedua, seorang
kader mempunyai komitmen yang terus menerus (permanen), tidak mengenal

7
Sidratahta Mukhtar, HMI dan Kekuasaan, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2006), Hal. 89-90
semangat musiman, tapi utuh dan istiqomah (konsisten) dalam memperjuangkan
dan melaksanakan kebenaran. Ketiga, seorang kader memiliki bobot dan kualitas
sebagai tulang punggung atau kerangka yang mampu menyangga kesatuan
komunitas manusia yang lebih besar. Jadi fokus penekanan kaderisasi adalah
pola aspek kualitas. Keempat, seorang kader memiliki visi dan perhatian yang
serius dalam merespon dinamika sosial lingkungannya dan mampu melakukan
“social engineering”.8
Kaderisasi merupakan alat atau cara yang digunakan untuk menanamkan
pemahaman/doktrin kepada calon anggota dan anggota agar mereka dapat
mengenal organisasi lebih mendalam sehingga memahami karakteristik, kultur,
potensi, arah dan tujuan organisasi tersebut. Oleh karena itu, sebuah keharusan
bagi setiap organisasi untuk melakukan sebuah proses kaderisasi.9
Tugas kader-kader HMI adalah untuk melibatkan sisi-sisi derivasi
anekaragam pemikiran, dengan peningkatan intensitas dan kualitas diskursus
keIslaman di setiap tingkatan organisasi. Jika bisa dilaksanakan dengan baik,
maka bisa di perkirakan akan muncul generasi baru pemikir Islam di Indonesia.10
b. Maksud dan Tujuan Perkaderan
Maksud dan tujuan perkaderan adalah usaha yang dilakukan dalam
rangka mencapai tujuan organisasi melalui suatu proses sadar dan sistematis
sebagai alat transformasi nilai ke-Islaman dalam proses rekayasa peradaban
melalui pembentukan kader berkualitas muslim-intelektual-profesional sehingga
berdaya guna dan berhasil guna sesuai dengan pedoman perkaderan HMI.
Segala usaha pembinaan yang mengarah kepada peningkatan
kemampuan mentransformasikan ilmu pengatahuan ke dalam perbuatan nyata
sesuai dengan disiplin ilmu yang ditekuninya secara konsepsional, sistematis
dan praksis untuk mencapai prestasi kerja yang maksirnal sebagai perwujudan
amal shaleh.11

8
Hasil-Hasil Kongres HMI XXVII, depok 05-10 november 2010, Hal. 308-309
9
http://benkwit.blog.friendster.com/2005/12/mencari-format-kaderisasi-yangmumpuni/
diakses 2 Desember 2022

10
Agussalim Sitompul, Pemikiran HMI dan Relevansinya dengan Sejarah Perjuangan Bangsa
Indonesia, (Yogyakarta: Aditya Media, 1997), Hal.331
11
Hasil-Hasil Kongres HMI XXVII, depok 05-10 november 2010, Hal. 313
Penjelasan dari membentuk kader yang muslim-inteektual-profesional
ialah, muslim (integritas watak dan kepribadian muslim), yakni kepribadian
yang terbentuk sebagai pribadi muslim yang menyadari tanggung jawab
kekhalifahannya dimuka bumi, sehingga citra akhlakul karimah senantiasa
tercermin dalam pola pikir, sikap dan perbuatannya, dan juga intelektual Yakni
segala usaha pembinaan yang mengarah pada penguasaan dan pengembangan
ilmu (sains) pengetahuan (knowledge) yang senantiasa dilandasi oleh nilai-nilai
Islam. Serta profesional sehingga berdaya guna dan berhasil guna sesuai dengan
pedoman perkaderan HMI. segala usaha pembinaan yang mengarah kepada
peningkatan kemampuan mentransformasikan ilmu pengatahuan ke dalam
perbuatan nyata sesuai dengan disiplin ilmu yang ditekuninya secara
konsepsional, sistematis dan praksis untuk mencapai prestasi kerja yang
maksimal sebagai perwujudan amal shaleh.                                                         
c. Jenis-Jenis Training HMI
1) Training formal
Training formal adalah training berjenjang yang diikuti oleh anggota,
dan setiap jenjang merupakan prasyarat untuk mengikuti jenjang
selanjutnya.12 Yang termasuk kedalam training formal di HMI adalah
Latihan Kader. Latihan Kader adalah merupakan media perkaderan formal
HMI yang dilaksanakan secara berjenjang serta menuntut persyaratan
tertentu dari pesertanya masing-masing jenjang latihan ini menitik beratkan
pada pembentukan watak dan karakter kader HMI melalui transfer nilai,
wawasan dan kemampuannya. Jenjang dari Latihan Kader meliputi :
a) Latihan Kader I (Basic Training), diselengarakan oleh pengurus HMI
tingkat komisariat.
b) Latihan Kader II (Intermediate Training), di selenggarakan oleh
pengurus HMI tingkat cabang
c) Latihan Kader III (Advence Training), diselenggarakan oleh
pengurus HMI tingkat BADKO HMI dan PB HMI.
1) Training In-Formal

12
Ibid, Hal. 314
Training In-Formal adalah training yang dilakukan dalam rangka
meningkatkan pemahaman dan profesionalisme kepemimpinan serta
keorganisasian anggota.13 Training ini terdiri dari :
a) PUSDIKLAT Pimpinan HMI, ialah Pusat Pendidikan Kilat Pimpinan
HMI yang merupakan jenis kegiatan yang pesertanya dikhususkan
untuk paran pimpinan HMI atau ketua umum HMI. PUSDIKLAT
Pimpinan HMI biasanya diselenggarakan oleh HMI tingkat cabang.
b) Senior Course atau pelatihan instruktur.
Senior Course merupakan kegiatan yang diselenggarakan oleh
pengurus Cabang HMI, guna meletih para instruktur/ pemateri
supaya nantinya dalam memberikan materi perkaderan sesuai dengan
pedoman perkaderan yang ada.
c) Latihan Kursus Kohati (LKK)
LKK merupakan kegiatan yang juga diselenggarakan oleh pengurus
HMI cabang, namun panitia pelaksana yang bertanggung jawab
penuh dalam kegiatan ini adalah para pengurus HMI-Wati
(KOHATI), dimana kegiatan ini mendelegasikan peserta dari HMI-
Wati yang ada di komisariat-komisariat setiap perguruan tinggi yang
ada di Cabang.
d) Follow Up LK
Disamping pelaksanaan fungsi-fungsi perkaderan HMI, juga terdapat
beberapa bentuk Follow Up perkaderan HMI. Proses perkaderan
memerlukan pembinaan baik jangka pendek, menengah, maupun
jangka panjang secara terencana, teratur dan kontinue. Kegiatan ini
dilakukan baik secara formal, melalui forum-forum perjuangan dan
kegiatan individu dalam kehidupan sehari-hari. Bisa dikatakan bahwa
follow up ini mencakup training in practice. Pelaksanaan follow up
merupakan tanggung jawab kader yang sudah menjadi pengurus pada
setiap tingkatan kepengurusan organisasi. Misalnya melalui model
study club, mengadaan riset pengembangan diri dan organisasi.
Menyusun kertas kerja, bvmengambangkan dinamika kelompok, job

13
Ibid, Hal. 314
training dan fungsi-fungsi kepanitiaan baik ditingkat internal maupun
eksternal.14
e) Up-Grading kepengurusan,
Up Grading dimaksudkan sebagai media perkaderan HMI yang
menitikberatkan pada pengembangan nalar, minat dan kemampuan
peserta pada bidang tertentu yang bersifat praktis, sebagai kelanjutan
dari perkaderan yang dikembangkan melalui Latihan Kader I.15 Up
Grading disini lebih di tekankan pada pengembangan kemampuan
dalam mengelola organisasi secara baik.16 Jadi Up Grading
kepengurusan ialah sebuah training yang melatih para kader tentang
sebuah manajemen organisasi.
d. Unsur-Unsur Training HMI
Yang dimaksud dengan unsur-unsur training adalah komponen yang
terlibat dalam kegiatan pelaksanaan perkaderan di HMI. Unsur-unsur yang
dimaksud adalah :
1) Pengurus HMI, yang meliputi :
a) Pengurus HMI cabang.
Pengurus HMI Cabang berperan dalam
menyelenggarakan Pelaksanaan Latihan Kader II (Intermediate
Training) yang berstatus sebagai panitia pelaksana LK II, serta
mengatur rvegulasi pelaksanaan latihan kader I (Basic Training),
dan legalisasi atas pengukuhan kelulusan peserta yang dituangkan
dalam surat keputusan tentang pengukuhan dan pengesahan
Anggota Biasa Himpunan Mahasiswa Islam. Di samping itu
pengurus cabang juga bertanggung jawab atas pelaksanaan
training PUSDIKLAT Pimpinan HMI, Senior Course, serta
Latihan Kader Kohati (LKK).
b) Pengurus HMI Komisariat
Pengurus HMI Komisariat bertanggung jawab atas
terlaksananya latihan kader I (Basic Training) sebagai

14
Sidratahta Mukhtar, HMI dan Kekuasaan, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2006), Hal. 97-98
15
Hasil-Hasil Kongres HMI XXVII, Depok 05-10 november 2010, Hal. 311
16
Ibid, Hal. 351
penyelenggara kegiatan, serta progam-progam yang ada di
komisariat.
c) Badan Pengelola Latihan (BPL)
Badan Pengelola Latihan (BPL) merupakan institusi yang
bertanggung jawab atas terlaksananya semua progam perkaderan
dan training.
2) Organizing Committee(OC);
Bertugas dan bertanggung jawab terhadap segala sesuatu hal
yang berhubungan dengan teknis penyelenggaraan kegiatan.
Tugas-tugas OC secara garis besar adalah sebagai berikut:
a) Mengusahakan tempat, akomodasi, konsumsi dan fasilitas
lainnya.
b) Mengusahakan pembiayaan dan perijinan latihan.
c) Menjamin kenyamanan suasana dan keamanan latihan.
d) Mengusahakan ruangan, peralatan dan penerangan.
e) Bekerja sama dengan unsur-unsur lainnya dalam rangka
mensukseskan jalannya latihan. Kriteria yang harus
dipenuhin adalah : anggota biasa HMI, telah mengikuti
follow up dan Up Grading LK I, minimal 30 hari diangkat
oleh pengurus HMI komisariat dengan surat keputusan.
3) Steering Committee (SC);
Bertugas dan bertanggung jawab atas pengarahan dan
pelaksanaan latihan.
Tugas-tugas SC secara garis besar adalah sebagai berikut:
a) Menyiapkan perangkat lunak latihan.
b) Mengarahkan OC dalam pelaksanaan latihan.
c) Menentukan pemateri, instruktur serta fasilitator.
d) Menentukan pemandu / Master Of Training (MOT).
Kriteria yang harus dipenuhi adalah : memenuhi
kualifikasi umum pengelola latihan, terlibat aktif dalam
perkaderan HMI, diutamakan anggota BPL cabang,
pernah menjadi Organizing Committee(OC) LK I.
4) Pemandu/Master Of Training; bertugas dan bertanggung jawab
untuk memimpin, mengawasi, dan mengarahkan latihan. Sejak
dibukanya training, tanggung jawab pengelolaan latihan berada
sepenuhnya dalam tanggung jawab pemandu/ Master Of Training
sampai latihan di nyatakan ditutup.
Tugas-tugas pemandu/ Master Of Training secara garis besar
sebagai berikut:
a. Memimpin latihan, baik dalam forum ataupun diluar
forum.
b. Memberikan materi apabila pemateri/instruktur/ fasilitator
tidak dapat hadir.
c. Melakukan penajaman pemahaman atas materi yang telah
diberikan.
d. Melakukan evaluasi terhadap peserta.
e. Mengadakan koordinasi diantara unsur-unsur yang terlibat langsung dalam
latihan.

Kriteria yang harus dipenuhi adalah: memenuhi


kualifikasi umum dan khusus pengelola latihan. Terlibat
aktif dalam perkaderan HMI, memahami dan menguasai
materi LK I, dapat menjadi suri tauladan yang baik,
ditentukan oleh SC.

5) Pemateri/instruktur/fasilitator; bertugas untuk menyampaikan


materi latihan yang dipercayakan kepadanya.17 Dalam kegiatan
perkaderan tentunya tidak lepas oleh para instruktur yang berfungsi
sebagai elemen yang menentukan jalannya sistem perkaderan HMI.
Instruktur biasanya diambil dari aktivis HMI yang senior yang
dianggap telah matang memahami dan mendalami proses perkaderan
disertai barbagai pengalaman keHMIan. Instruktur bertugas untuk
menyampaikan materi, wawasan, bimbingan, pembinaan dan
membentuk kader-kader HMI. Seorang trainer (instruktur) harus

17
Hasil-Hasil Kongres HMI XXVII, Depok 05-10 november 2010, Hal. 369-370
melakukan pembinaan dan pendidikan secara efektif dan
komprehensip. Mereka harus mengarahkan kader-kader HMI yang
lebih junior untuk mencapai profil ideal kaderkader HMI yang
membentuk integritas dan kepribadian, pengembangan kualitas
intelektual dan pengambangan kemampuan professional yang
terpadu dan integralistik. Dalam perkaderan HMI, para instruktur
mempunyai syarat-syarat yang harus dipenuhi meliputi:
a) Lulus Latihan Kader 1 (LK 1)
b) Mengikuti kursus senior course, yaitu suatu wadah yang
melatih untuk menjadi instruktur, yang didalamnya
dilakukan pendalaman materimateri pokok maupun materi
pendukung lainnya.18 Semantara itu dalam buku
manajemen sumber daya manusia di jelaskan bahwa
syarat-syarat menjadi pelatih sebuah training antara lain:19
(1) Teaching Skills.
Seorang pelatih harus mempunyai kecakapan
untuk mendidik atau mengajarkan, membimbing,
memberikan petunjuk, dan mentransfer
pengetahuannya kepada peserta pengembangan. Ia
harus dapat memberikan semangat, membina, dan
mengembangkan agar peserta mampu untu bekerja
mandiri serta dapat menumbuhkan kepercayaan pada
dirinya.
(2) Communication Skills
Seorang pelatih harus mempunyai kecakapan
berkomunikasi, baik lisan maupun tulisan secara
efektif. Jadi dapat dikatakan seorang peltih harus
mampunyai suara jelas, tulisan baik, dan kata-katanya
mudah difahami peserta.

18
Sidratahta Mukhtar, HMI dan Kekuasaan, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2006), hal. 96
19
Malayu S.P. Hasibuan, Manajemen Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), Hal.
73-74
(3) Personality Authority. Seorang pelatih harus memiliki
kewibawaan terhadap peserta. Ia harus berperilaku
baik, sifat dan kepribadiannya disenangi, kemampuan
dan kecakapannya diakui.
(4) Social Skills. Seorang pelatih harus mempunyai
kemahiran dalam bidang sosial agar terjamin
kepercayaan dan kesetiaan dari para peserta
pengembangan. Ia harus suka menolong, objektif, dan
senang jika anak didiknya maju serta dapat
menghargai pendapat orang lain.
(5) Technical Competent. Seorang pelatih harus
berkemampuan teknis, kecakapan teoritis, dan tangkas
dalam mengambil suatu keputusan.
(6) Emotion Stability. Seorang pelatih tidak boleh
berprasangka jelek terhadap anak didiknya, tidak
boleh cepat marah, mempunyai sifat kebapakan,
keterbukaan, tidak pendendam, serta memberikan nilai
objektif.
6) Peserta; adalah calon-calon kader yang telah lulus seleksi dan telah
dinyatakan sebagai peserta oleh penyelenggara. Kriteria yang harus
dipenuhi adalah : terdaftar sebagai mahasiswa perguruan tinggi, dan
tidak sedang menjalani skorsing akademik, muslim/muslimah, bisa
membaca Al-Qur’an, Bisa melakukan Sholat (hafal bacaan sholat),
bersedia mengikuti seluruh kegiatan training, lulus seleksi.20
7) Metode Training; Berdasarkan hasil-hasil studi mendalam yang
pernah dilakukan HMI, ditetapkan metode perkaderannya. Metode
yang dipakai terutama sejak masa tahun 1970-an adalah gabungan
antara sistem diskusi (Aloka sistem), sistem ceramah, dialog dan
sistem penugasan. Sistem aloka mengembangkan pemahaman
terhadap materi-materi training HMI melalui model diskusi,
sedangkan materi indoktrinasi dilakukan melalui metode ceramah.

20
Hasil-Hasil Kongres HMI XXVII, Depok 05-10 november 2010, Hal. 370
Sedangkan penugasan adalah pemahaman materi-materi training
HMI dengan menggunakan pelatihan keterampilan peserta dimana
sasarannya adalah membangun kemampuan tertentu melalui
penulisan, laporan kerja dan bentuk-bentuk uji coba lainnya. Akan
tetapi metode yang digunakan dirancang agar tidak kaku dan
disesuaikan dengan keadaan lingkungan terutama kondisi perguruan
tinggi dimana perkaderan itu dilaksanakan. Metode juga melibatkan
unsur peserta untuk ikut melibatkan diri dalam proses pelaksanaan.
Misalnya ada proses pelibatan peserta dalam kontrol belajar antara
peserta dengan panitia khususnya Master of Training, sehingga
metode pelatihan dan kaderisasi HMI mengikuti konsep pendidikan
politik modern.21

21
Sidratahta Mukhtar, HMI dan Kekuasaan, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2006), Hal. 95
BAB III

REKONSTRUKSI PENDIDIKAN ISLAM

A. Pengertian Aktualisasi
Aktualisasi dalam bahasa Indonesia berasal dari kata “aktual” yang berarti
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan aktual menjadi tiga makna
yaitu:
1. Betul-betul ada (terjadi); sesungguhnya. 
2. Sedang menjadi pembicaraan orang banyak (tentang peristiwa dan
sebagainya). 
3. Baru saja terjadi; masih baru (tentang peristiwa dan sebagainya); hangat.
Dalam konteks pembahasan penelitian ini, aktualisasi berarti proses
mewujudkan, menyatakan sebuah gagasan.
B. Pengertian Rekonstruksi
Rekonstruksi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata
“konstruksi” berarti pembangunan yang kemudian di tambah imbuhan “re” pada kata
konstruksi menjadi “rekonstruksi‟ yang berarti pengembalian seperti semula.22 Dalam
Black Law Dictionary23, reconstruction is the act or process of rebuilding, recreating,
or reorganizing something, rekonstruksi di sini dimaknai sebagai proses membangun
kembali atau menciptakan kembali atau melakukan pengorganisasian kembali atas
sesuatu.
Rekonstruksi yang berarti membangun atau pengembalian kembali sesuatu
berdasarkan kejadian semula, dimana dalam rekonstruksi tersebut terkandung nilai–nilai
primer yang harus tetap ada dalam aktifitas membangun kembali sesuatu sesuai dengan
kondisi semula. Untuk kepentingan pembangunan kembali sesuatu, apakah itu
peristiwa, fenomena-fenomena sejarah masa lalu, hingga pada konsepsi pemikiran yang
telah dikeluarkan oleh pemikira-pemikir terdahulu, kewajiban para rekonstruktor adalah
melihat pada segala sisi, agar kemudian sesuatu yang coba dibangun kembali sesuai
dengan keadaan yang sebenarnya dan terhindar pada subjektifitas yang berlebihan,

22
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,
2005, h. 942.
23
Bryan A.Garner, Black’ Law Dictionary, ST. Paul Minn: West Group, 1999, h. 1278.
dimana nantinya dapat mengaburkan substansi dari sesuatu yang ingin kita bangun
tersebut.
C. Pengertian Pendidikan Islam
Kata Islam dalam pendidikan Islam menunjukkan warna pendidikan tertentu,
yaitu pendidikan yang berwarna Islam, pendidikan yang Islami, dan pendidikan yang
berdasarkan Islam.24 Sebelum dibahas lebih lanjut makna pendidikan menurut Islam,
disini akan diuraikan terlebih dahulu definisi pendidikan menurut para pakar Istilah
pendidikan sering kali tumpang tindih dengan istilah pengajaran. Oleh karena itu tidak
heran jika pendidikan terkadang juga dikatakan “pengajaran” atau sebaliknya
pengajaran disebut sebagai pendidikan.25 Menurut Marimba, pendidikan adalah
bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani
dan rohani anak didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.26
Pendidikan Islam juga terbagi dua kata, yaitu: pendidikan dan Islam. Pendidikan
berasal dari kata “education” yang berarti melatih atau mengajarkan. Pendidikan adalah
suatu proses pelatihan dimana terdapat dua subyek yang saling berhubungan, yaitu yang
satu memimpin dan yang satunya lagi dipimpin.
Pendidikan dapat diartikan sebagai usaha sadar yang dilakukan manusia untuk
membawa anak didik ketingkat dewasa dalam arti mampu memikul tanggung jawab
moral. Sedangkan menurut Ngalim Purwanto “Pendidikan ialah segala usaha orang
dewasa dalam pergaulan dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani
dan rohaninya kearah kedewasaan yang nantinya akan berguna bagi dirinya dan
masyarakat disekitarnya”.27
Pendidikan dalam pengertian yang lebih luas dapat diartikan sebagai suatu
proses pembelajaran kepada peserta didik (manusia) dalam upaya mencerdaskan dan
mendewasakan peserta didik tersebut.28 Dalam hubungannya ini dapat dipasti-kan
bahwa pendidikan itu tidak hanya menumbuhkan, melainkan mengembangkan ke arah

24
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Menurut Perspektif Islam (Bandung: PT Remaja Rosda
Karya,2010) hal 22.
25
Moh. Roqib. Ilmu Pendidikan Islam: Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah,
Keluarga, dan Masyarakat (Yogyakarta: PT.LKiS Printing Cemerlang, 2009) hal 13.
26
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan..., 24
27
Ngalim Purwanto MP, Psikologi Pendidikan,(Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996)23
28
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosda Karya,
1994), cet. II, hal. 1
tujuan akhir. Juga tidak hanya suatu proses yang sedang berlangsung, melainkan suatu
proses yang berlangsung ke arah sasarannya. Sedangkan “Pendidikan Islam adalah ilmu
pendidikan yang berdasarkan Islam. Islam adalah nama agama yang dibawa oleh Nabi
Muhammad Saw. Islam berisi seperangkat ajaran tentang kehidupan manusia, ajaran itu
dirumuskan berdasarkan dan bersumber pada al-qur’an dan hadits.”29 Ilmu pendidikan
Islam dapat diartikan sebagai studi tentang proses kependidikan yang didasarkan pada
nilai-nilai filosofis ajaran berdasarkan Al-qur`an dan Sunnah Nabi Muhammad Saw.30
Dengan redaksi yang sangat singkat, ilmu pendidikan Islam adalah ilmu pendidikan
yang berdasarkan Islam.31
Kata “Islam” yang berada di belakang “pendidikan” selain menjadi sumber
motivasi, inspirasi, sublimasi dan integrasi bagi pengembangan bagi ilmu pendidikan,
juga sekaligus menjadi karakter dari ilmu pendidikan Islam itu sendiri. Ilmu pendidikan
Islam yang berkarakter Islam itu adalah ilmu pendidikan yang sejalan dengan nilai-nilai
luhur yang terdapat di dalam Al-qur`an dan Sunnah.32
Pendidikan Agama Islam selain sebagai sebuah disiplin ilmu dalam bidang
pendidikan juga merupakan peran bagi tercapainya tujauan pendidikan itu sendiri.
Karena penekanan Pendidikan Agama Islam bukan hanya pada internalisasi nilainilai
teori saja tetapi mencangkup tatanan aplikatif yang lebih berpengaruh terhadap interaksi
sosial. Individu yang berkecimpung didalam Pendidikan Agama Islam pun tidak kalah
penting perannya dalam mewujudkan tujuan pendidikan Nasional. Mereka adalah para
pemberi kabar gembira dan para pemberi peringatan, mereka adalah agen-agen
pemerintah dalam mewujudkan tujuan pendidikan khusunya yang berkaitan dengan
pembentukan watak yang menjadikan manusia beriman, bertakwa, berakhlak mulia,
demokratis dan bertanggung jawab. Para pendidik agama Islam harus mewarnai hidup
dan kehidupan ini dengan nilai- nilai ilahi, nilai-nilai tuhan, nilai-nilai sang pencipta
alam semesta, baik didalam kehidupannya ataupun kehidupan orang-orang disekitarnya,
baik dilingkungan sekolah, keluarga ataupun masyarakat.
Peran mendidik adalah peran setiap manusia, karena mendidik dan dididik
adalah tugas dan fitrah setiap manusia. Hal ini bisa dilihat dari apa yang telah

29
Ibid… hal. 132
30
Ibid, hal. 13
31
Ibid, hal. 12
32
Ibid, hal. 15
disabdakan oleh Rasulullah SAW bawa “menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim dan
muslimah”. Perintah mendidik juga difirmankan Allah dalam surat al-Ashr “saling
menasehatilah dalam kebenaran dan saling menasehatilah dalam kesabaran”. Hanya
manusialah makhluk berpendidikan. Ini menunjukan bahwa peran mendidik bukan
hanya milik guru, dosen, ustadz dan pendidik-pendidik lainnya saja, tetapi tugas
mendidik adalah tugas setiap manusia. Terutama dalam Pendidikan Agama Islam.
Dalam masyarakat Pendidikan Agama Islam bukanlah sebuah disiplin ilmu ataupun
institusi belaka, tetapi Pendidikan Agama Islam adalah pendidikan jalan hidup untuk
mengarungi kehidupan dunia dan menggapai kebahagiaan di kehidupan akhirat.
Pendidikan Islam yang dilakukan Rasulullah di Makkah merupakan bentuk
dasar dari pendidikan yang bertujuan untuk membina pribadi muslim agar menjadi
kader yang berjiwa kuat dan dipersiapkan menjadi masyarakat Islam, mubaligh, dan
pendidik yang baik. Dan setelah hijrah, disamping membentuk pribadi muslim
pendidikan Islam mengalami perkembangan dan diarahkan untuk membina seluruh
aspek-aspek kehidupan manusia dalam mengelola dan menjaga kesejahteraan umat
manusia.
Kepedulian Rasulullah terhadap pendidikan ini terlihat sekali pada saat selesai
perang Badar, bahwa tawanan perang dari orangorang Quraisy yang mampu membaca
dan menulis ditawari oleh beliau untuk mengajar membaca dan menulis kepada
masyarakat muslim di Madinah untuk menebus kebebasan mereka, sehingga dalam
waktu relatif singkat masyarakat muslim di Madinah banyak yang mampu membaca
dan menulis. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa tujuan pendidikan Islam
adalah sesuai dengan tujuan hidup manusia, sebab pendidikan hanyalah alat yang
digunakan oleh manusia untuk memelihara kelanjutan hidupnya baik sebagai individu
maupun masyarakat.33
Pendidikan Islam adalah sebuah sarana atau pun furshoh untuk menyiapkan
masyarakat muslim yang benar-benar mengerti tentang Islam. Di sini para pendidik
muslim mempunyai satu kewajiban dan tanggung jawab untuk menyam-paikan ilmu
yang dimilikinya kepada anak didiknya, baik melalui pendidikan formal maupun non
formal. Pendidikan Islam berbeda dengan pendidikan yang lain. Pendidikan Islam lebih
mengedepankan nilai-nilai keislaman dan tertuju pada terbentuknya manusia yang ber-

33
Thalhah Hasan, Dinamika Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: Lantabora Press. Hal. 58
akhlakul karimah serta taat dan tunduk kepada Allah semata. Sedangkan pendidikan
selain Islam, tidak terlalu memprioritaskan pada unsur-unsur dan nilai-nilai keislaman,
yang menjadi prioritas hanyalah pemenuhan kebutuhan inderawi semata.
Islam bukanlah agama sekuler yang memisahkan urusan agama dan dunia.
Dalam Islam, agama mendasari aktivitas dunia, dan aktivitas dunia dapat menopang
pelaksanaan ajaran agama. Islam bukan hanya sekedar mengatur hubungan manusia
dengan Tuhan sebagaimana yang terdapat pada agama lain, melainkan juga mengatur
hubungan manusia dengan manusia dan manusia dengan dunia. Islam adalah agama
yang ajaran-ajarannya diwahyukan Allah kepada manusia melalui Nabi Muhammad
Saw sebagai rasul. Islam pada hakikatnya, membawa ajaran-ajaran yang bukan hanya
mengatur satu segi, tetapi mengenai berbagai segi kehidupan manusia. Sumber dari
ajaran-ajaran yang mengambil berbagai aspek itu ialah Al-Qur`an dan al-Sunnah.
D. Aktualisasi Rekonstruksi Pendidikan Islam di Indonesia
1. Urgensi Rekonstruksi Pendidikan Islam
Jika diamati dari teori pendidikannya, teori pendidikan seiring berjalannya
waktu akan senantiasa berubah. Hal ini disesbabkan karena teori pendidikan disusun
berdasarkan kebutuan dari masyarakat akan pendidikan. Kebutuhan dan keinginan
manusia senantiasa berubah seiring berjalannya waktu, sehingga manusia tidak
pernah puas dengan adanya teori pendidikan yang telah diterapkan. Mereka
cenderung melakukan perubahan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan
tersebut, sehingga hal ini menimbulkan kritik terhadap teori-teori yang sudah ada
pada suatu wilayah dan jangka waktu tertentu.
Seiring berkembangnya zaman, cara pandang manusia terhadap pendidikan
juga akan ikut berubah dan berkembang. Pandangan hidup yang dimiliki ini
seringkali menimbulkan ketidak-puasan dalam memandang sistem pendidikan yang
ada. Dampaknya adalah perubahan sistem pendidikan yang sesuai dengan cara
pandang hidupnya. Disamping itu, pendidikan juga memerlukan kontribusi dari
cabang-cabang ilmu yan lain.34
Pendidikan Islam ke depan harus lebih memprioritaskan kepada ilmu terapan
yang sifatnya aplikatif, bukan saja dalam ilmu-ilmu agama akan tetapi juga dalam
bidang teknologi. Bila dianalisis lebih jeli selama ini, khususnya sistem pendidikan

34
Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), hal. 26
Islam seakan-akan terkotak-kotak antara urusan duniawi dengan urusan ukhrawi,
ada pemisahan antara keduanya. Sehingga dari paradigma yang salah itu,
menyebabkan umat Islam belum mau ikut andil atau berpartisipasi banyak dalam
agenda-agenda yang tidak ada hubungannya dengan agama, begitu juga sebaliknya.
Agama mengasumsikan atau melihat suatu persoalan dari segi normatif (bagaimana
seharusnya), sedangkan sains meneropong-nya dari segi objektifnya (bagaimana
adanya). Sebagai permisalan tentang sains, sering kali umat Islam phobia dan
merasa sains bukan urusan agama begitu juga sebaliknya. Dalam hal ini ada
pemisahan antara urusan agama yang berorientasi akhirat dengan sains yang
dianggap hanya berorientasi dunia saja. Di sini sangat jelas dikotomi keilmuan
tersebut.
Berkaitan dengan pendidikan Islam, menurut Azyumardi Azra berbagai
masalah amat kompleks yang dihadapi pendidikan Islam pada dewasa ini.
Tantangan abad ke-21 M, bagaimanapun menurutnya, menuntut respons yang tepat
dari sistem pendidikan Islam secara keseluruhan. Jika umat Islam tidak hanya
sekadar survive di tengah persaingan global yang semakin tajam dan ketat, tetapi
juga berharap mampu tampil di depan. Reorientasi pemikiran mengenai pendidikan
Islam dan restrukturisasi sistem dan kelembagaan yang jelas merupakan
keniscayaan. Cara pandang yang menganaktirikan ilmu pengetahuan dan teknologi
tampak tidak bisa dipertahankan lagi.35
Melihat persoalan tentang pendidikan Islam yang cukup kompleks, menurut
Azyumardi, tidak mungkin dapat dipecahkan sekadar melalui ekspansi linier dari
pendidikan yang ada. Selain itu, tidak bisa terpecahkan dengan jalan penyesuaian
teknis adminisratif di sana sini. Bahkan, tidak bisa pula dengan pengalihan konsep
pendidikan dari teknologi pendidikan yang berkembang demikian pesar. Hal yang
diperlukan untuk menyelesaikan masalah masalah tersebut, menurutnya, adalah
meminjam kembali konsep atau asumsi yang mendasari seluruh sistem pendidikan
Islam, baik secara makro maupun mikro.36
Atas dasar peminjaman itu, pendidikan Islam perlu dikembangkan dengan
memadukan dua pendekatan, yaitu situasional jangka pendek dan konseptual jangka

35
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi Dan Modernisasi Menuju Menuju Millenium Baru
(Jakarta: Logos 2000), hal. 186
36
Ibid
panjang. Perpaduan pendekatan itu dibutuhkan karena Azyumardi memandang
hubungan usaha pendidikan Islam dengan tuntutan zaman merupakan hubungan
yang prinsipil dan bukan insidental.37
2. Masalah Utama Pendidikan Islam
Secara garis besar, pendidikan Islam memiliki tiga masalah fundamental
yang dilihat dari aspek filosofis, (Wardi:2013) yaitu:
a. Problematika ontologis
Ontologi merupakan cabang ilmu filsafat yang berhubungan
dengan hakikat hidup. Ontologi diartikan juga dengan hakikat apa yang
terjadi. Masalah-masalah pendidikan Islam yang menjadi perhatian
ontologi menurut Muhaimin adalah dalam penyelenggaraan pendidikan
Islam diperlukan pendirian mengenai pandangan manusia, masyarakat
dan dunia.38
Secara mikro, telaah Ilmu Pendidikan Islam menyangkut seluruh
komponen yang termasuk dalam pendidikan Islam. Sedangkan secara
makro, objek formal Ilmu Pendidikan Islam ialah upaya normatif (sesuai
dengan ajaran dan nilai-nilai yang terkandung dalam fenomena qauliyah
dan kauniyah) keterkaitan pendidikan Islam dengan sistem sosial, politik,
ekonomi, budaya dan agama baik dalam skala kedaerahan, nasional
maupun internasional.39
Objek kajian pendidikan Islam senantiasa bersumber dari
landasan normatif Islam yaitu al-Qur’an (qauliyah) melalui pengalaman
batin Nabi Muhammad SAW yang kemudian kita kenal dengan wahyu,
kemudian disampaikan kepada seluruh umat dan alam semesta
(kauniyah). Dari kedua landasan inilah kemudian digali dan dikaji
sehingga melahirkan konsep dan teori pendidikan yang bersifat
universal. Kemudian, teori dan konsep yang bersifat universal tersebut
dikaji melalui kegiatan eksprimen dan penelitian ilmiah yang pada
37
Ninik Masruroh & Umiarso, Modernisasi Pendidikan Islam Ala Azyumardi Azra, (Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media, 2011), hal 164

38
Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Filosofis dan Kerangka
Operasionalnya (Bandung: Trigenda karya, 1993), hlm. 115.
39
Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam (Jakarta: Rajawali
Pers, 2011), hlm. 45.
gilirannya akan melahirkan teori-teori atau Ilmu Pendidikan Islam dan
diuraikan secara operasional untuk kemudian dikembangkan menjadi
metode, kurikulum dan teknik pendidikan Islam.
Kajian pendidikan Islam senantiasa bertolak pada problem yang
ada di dalamnya, kesenjangan antara fakta dan realita, kontroversi antara
teori dan empiris. Maka dari itulah, wilayah kajian pendidikan Islam
bermuara pada tiga problem pokok, antara lain:
1) Foundational problems, yang terdiri dari atas religious
foundation and philosophic foundational problems, empiric
fondational problems (masalah dasar, fondasi agama dan
masalah landasan filosofisempiris) yang didalamnya
menyangkut dimensi-dimensi dan kajian tentang konsep
pendidikan yang bersifat universal, seperti hakikat manusia,
masyarakat, akhlak, hidup, ilmu pengetahuan, iman, ulul
albab dan lain sebagainya. Yang semuanya bersumber dari
kajian fenomena qauliyah dan fenomena kauniyah yang
membutuhkan pendekatan filosofis.
2) Structural problems (masalah struktural). Ditinjau dari
struktur demografis dan geografis bisa dikategorikan ke
dalam kota, pinggiran kota, desa dan desa terpencil. Dari
struktur perkembangan jiwa manusia bisa dikategorikan ke
dalam masa kanak-kanak, remaja, dewasa dan manula. Dari
struktur ekonomi dikategorikan ke dalam masyarakat kaya,
menengah dan miskin. Dari struktur rumah tangga, terdapat
rumah tangga karier dan non karier. Dari struktur jenjang
pendidikan bisa dikategorikan ke dalam pendidikan anak usia
dini, pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi.
3) Operational problem (masalah operasional). Secara mikro
akan berhubungan dengan berbagai komponen pendidikan
Islam, misalnya hubungan interaktif lima faktor pendidikan
yaitu tujuan pendidikan, pendidik dan tenaga kependidikan,
peserta didik dan alat-alat pendidikan Islam (kurikulum,
metodologi, manajemen, administrasi, sarana dan prasarana,
media, sumber dan evaluasi) dan lingkungan atau konteks
pendidikan. Atau bisa bertolak dari hubungan input, proses
dan output. Sedangkan secara makro, menyangkut keterkaitan
pendidikan Islam dengan sistem sosial, politik, ekonomi,
budaya dan agama baik yang bersifat Nasional dan
Internasional.40
b. Problematika Epistemologi Pendidikan Islam
Dari beberapa literatur dapat disebutkan bahwa epistemologi
adalah teori pengetahuan, yaitu membahas tentang bagaimana cara
mendapatkan pengetahuan dari objek yang ingin dipikirkan.41 D.W.
Hamlyn mendefinisikan epistemologi sebagai cabang filsafat yang
berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan dan
pengandaipengandaiannya serta secara umum hal itu dapat
diandalkannya sebagai penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan.
Selanjutnya, pengertian epistemologi yang lebih jelas, diungkapkan oleh
Azyumardi Azra bahwa epistemologi sebagai ilmu yang membahas
tentang keaslian, pengertian, struktur, metode, dan validitas ilmu
pengetahuan.42
Landasan epistemologi memiliki arti yang sangat penting bagi
bangunan pengetahuan, sebab ia merupakan tempat berpijak. Bangunan
pengetahuan menjadi mapan, jika memiliki landasan yang kokoh.
Landasan epistemologi ilmu adalah metode ilmiah, yaitu cara yang
dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar. Metode ilmiah
merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan. Jadi, ilmu
pengetahuan merupakan pengetahuan yang diperoleh lewat metode
ilmiah. Dengan demikian, metode ilmiah merupakan penentu layak-
tidaknya pengetahuan menjadi ilmu, sehingga memiliki fungsi yang
sangat penting dalam bangunan ilmu pengetahuan. Dari pengertian,

40
Ibid, hal. 45
41
Ihsan Hamdani, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: CV Pustaka Setia, 1998), hlm. 16.
42
Syahminan Zaini, Prinsip-prinsip Dasar Konsepsi Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia,
1986), hlm. 4.
ruang lingkup, objek, dan landasan epistemologi ini, dapat kita
disimpulkan bahwa epistemologi merupakan salah satu komponen
filsafat yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan, khususnya
berkenaan dengan cara, proses, dan prosedur bagaimana ilmu itu
diperoleh. Dalam pembahasan ini epistemologi pendidikan Islam lebih
diarahkan pada metode atau pendekatan yang dapat dipakai untuk
membangun ilmu pengetahuan Islam, dari pada komponen-komponen
lainnya, sebab metode atau pendekatan tersebut paling dekat dengan
upaya mengembangkan pendidikan Islam, baik secara konseptual
maupun aplikatif. Epistemologi pendidikan Islam bisa berfungsi sebagai
pengkritik, pemberi solusi, penemu, dan pengembang. Pendekatan
epistemologi memerlukan cara atau metode tertentu, sebab ia menyajikan
proses pengetahuan di hadapan siswa dibandingkan hasilnya. Pendekatan
epistemologi ini memberikan pemahaman dan keterampilan yang utuh
dan tuntas. Seseorang yang mengetahui proses sesuatu kegiatan pasti
mengetahui hasilnya. Sebaliknya, banyak yang mengetahui hasilnya
tetapi tidak mengetahui prosesnya. Bisa dipastikan bahwa jika
pendekatan epistemologi ini benarbenar diimplementasikan dalam proses
belajar mengajar di lembaga pendidikan Islam, siswa dapat memiliki
kemampuan memproses pengetahuan dari awal hingga wujud hasilnya.
Jika pendidikan Islam mengedepankan pendekatan epistemologi dalam
proses belajar mengajarnya, maka pendidikan Islam akan banyak
menelorkan lulusan-lulusan yang berjiwa produsen, peneliti, penemu,
penggali, dan pengembang ilmu pengetahuan. Karena epistemologi
merupakan pendekatan yang berbasis proses, maka epistemologi
melahirkan konsekuensi-konsekuensi logis dan problematika yang sangat
kompleks, yaitu :
1) Pendidikan Islam seringkali dikesankan sebagai pendidikan
yang tradisional dan konservatif, hal ini wajar karena orang
memandang bahwa kegiatan pendidikan Islam dihinggapi
oleh lemahnya penggunaan metodologi pembelajaran yang
cenderung tidak menarik perhatian dan memberdayakan.
2) Pendidikan Islam terasa kurang concern terhadap persoalan
bagaimana mengubah pengetahuan agama yang bersifat
kognitif menjadi suatu “makna dan nilai” yang perlu di
internalisasikan dalam diri seseorang lewat berbagai cara,
media dan forum.
3) Metodologi pengajaran agama berjalan secara
konvensionaltradisional, yakni menitikberatkan pada aspek
korespondensitekstual yang lebih menekankan yang sudah
ada pada kemampuan anak didik untuk menghafal teks-teks
keagamaan daripada isu-isu sosial keagamaan yang dihadapi
pada era modern seperti kriminalitas, kesenjangan sosial dan
lain lain. d. Pengajaran agama yang bersandar pada bentuk
metodologi yang bersifat statis indoktrinatif-doktriner.43
c. Problematika Aksiologi Pendidikan Islam
Aksiologi ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai,
pada umumnya ditinjau dari sudut pandangan kefilsafatan. Di dunia ini
terdapat banyak cabang pengetahuan yang bersangkutan dengan masalah-
masalah nilai yang khusus seperti epistemologis, etika dan estetika.
Epistemologi bersangkutan dengan masalah kebenaran, etika bersangkutan
dengan masalah kebaikan, dan estetika bersangkutan dengan masalah
keindahan.44
Secara historis, istilah yang lebih umum dipakai adalah etika (ethics)
atau moral (morals). Tetapi dewasa ini, istilah axios (nilai) dan logos (teori)
lebih akrab dipakai dalam dialog filosofis. Jadi, aksiologi bisa disebut
sebagai the theory of value atau teori nilai. Bagian dari filsafat yang menaruh
perhatian tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and
wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and ends). Secara etimologis,
istilah aksiologi berasal dari Bahasa Yunani Kuno, terdiri dari kata “aksios”

43
Mujtahid, Reformulasi Pendidikan Islam; Meretas Mindset Baru, Meraih Paradigma Unggul
(Malang: UIN-Maliki Press, 2011), hlm. 37.
44
Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, terj. Soejono Soemargono (Yogyakarta. Penerbit Tiara
Wacana, 1996), hlm. 327.
yang berarti nilai dan kata “logos” yang berarti teori. Jadi aksiologi
merupakan cabang filsafat yang mempelajari nilai.45
Kaum idealis berpandangan secara pasti terhadap tingkatan nilai,
dimana nilai spiritual lebih tinggi daripada nilai non spiritual (nilai material).
Demikian juga dengan kaum realis, mereka menempatkan nilai rasional dan
empiris pada tingkatan atas, sebab membantu manusia menemukan realitas
objektif, dan berfikir logis. Kaum pragmatis pun berbeda, menurut mereka,
suatu aktifitas dikatakan baik apabila memuaskan kebutuhan yang penting,
dan memiliki nilai instrumental dan sangat sensitif terhadap nilai-nilai yang
menghargai masyarakat.
Dari lima komponen dalam pendidikan Islam (tujuan pendidikan,
pendidik dan tenaga pendidikan, peserta didik dan alat-alat pendidikan Islam
dan lingkungan atau konteks pendidikan., ketika dikaitkan dengan dimensi
aksiologis, maka terdapat problem antara lain:
1) Tujuan pendidikan Islam kurang berorientasi pada nilai-nilai
kehidupan masa yang akan datang, belum mampu menyiapkan
generasi yang sesuai dengan kemajuan zaman.
2) Pendidik dan tenaga pendidikannya mulai memudar dengan
doktrin awal pendidikan Islam tentang konsep nilai ibadah dan
dakwah syiar Islam. Pendidik juga disibukkan dengan hal-hal
teknis seperti tunjangan honor, tunjangan fungsional dan
tunjangan sertifikasi.
3) Di kalangan peserta didikpun dalam menuntut ilmu cenderung
mengesampingkan nilai-nilai ihsan, kerahmatan dan amanah
dalam mengharap ridha Allah.46

Kemudian, Azyumardi Azra meyoroti beberapa persoalan- persoalan


yang memang secara riil dihadapi oleh pemikiran dan pendidikan
Islam pada umumnya adalah sebagai berikut.

45
Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Penerbit Alfabeta, 2007), hlm. 36.
46
M. Wardi, PROBLEMATIKA PENDIDIKAN ISLAM DAN SOLUSI ALTERNATIFNYA (Perspektif
Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis) Tadrîs Volume 8 Nomor 1 Juni 2013
Pertama, berkait dengan situasi objektif pendidikan Islam,
yaitu dengan adanya krisis konseptual. Krisis konseptual tentang
definisi dan pembatasan ilmu-ilmu di dalam sistem pendidikan Islam
itu sendiri. Krisis konseptual yang dimaksud di sini adalah tentang
pembagian ilmu-ilmu di dalam Islam, yang implikasinya bukan
hanya dalam keilmuan itu sendiri, melainkan juga dalam bidang
kelembagaan yang selanjutnya akan menimbulkan krisis
kelembagaan. Permasalahan kedua adalah krisis kelembagaan. Krisis
kelambagaan ini adalah adanya dikotomisasi antara lembaga-
lembaga pendidikan yang menekankan pada salah satu dari ilmu
yang ada. Apakah ilmu- ilmu agama ataukah ilmu-ilmu umum?
Misalnya, dengan adanya dualisme sistem pendidikan, pendidikan
agama yang diawali oleh madrasah dan pesantren dengan pendidikan
umum Persoalan ketiga adalah adanya konflik antara tradisi
pemikiran dan pendidikan Islam dengan modernitas. Persoalan
keempat, krisis metodologi atau pedagogik. Sekarang ini, semakin
tinggi kecenderungan di kalangan lembaga-lembaga pendidikan
Islam bahwa yang terjadi adalah lebih merupakan proses teaching
proses pengajaran, proses learning, dan proses pendidikan. Persoalan
yang kelima adalah krisis orientasi. Lembaga-lembaga pendidikan
Islam atau sistem pendidikan Islam pada umumnya lebih berorientasi
ke masa silam ketimbang ke masa depan. Dalam batas-batas tertentu,
itu tidak jelek Sebab, pendidikan atau proses pembelajaran itu juga
berarti "Pengawetan Tradisi”. Akan tetapi, kalau kecenderungan
orientasi ke masa belakang ini sangat kuat, lebih besar porsinya
daripada kecenderungan untuk masa depan, hal itu akan mempunyai
akibat lain.

Dalam menghadapi beberapa persoalan pokok inilah.


Azyumardi Azra mengemukakan beberapa alternatif ke arah
rekonstruksi pemikiran dan praktik pendidikan Islam. Dalam konteks
Islamisasi ilmu dan teknologi, menurut Azyumardi Azra, merupakan
langkah awal untuk membangun paradigma lebih "Islami". Maka,
kaum Muslimin, terutama kaum terpelajar diharapkan untuk tidak
mengabaikan masalah-masalah yang terdapat pada tingkat praksis
yang belum terpecahkan. Permasalahan tersebut adalah lemahnya
masyarakat ilmiah, kurang integralnya kebijaksanaan sains nasional,
tidak memadainya anggaran penelitian ilmiah, kurangnya kesadaran
di kalangan sektor ekonomi tentang pentingnya penelitian ilmiah,
kurang memadainya fasilitas perpustakaan, dokumentasi, dan pusat
informasi, serta masalah birokrasi, restriksi, dan kurangnya insentif.

3. Gagasan Rekonstruksi Pendidikan Islam Muhammad Iqbal


Pada abad ke-20, khususnya setelah pemerintah Belanda mendirikan
sekolah-sekolah umum yang khusus dijadikan sebagai pengkaderan kolonialis,
mulai tercipta jurang pemisah yang curam (Stenbrink, 2001: 10). Jurang pemisah
tersebut berkaitan dengan proses pembelajaran pendidikan Islam, di mana porsi
yang diajarkan di sekolah umum diatur oleh menteri pendidikan nasional. Baik di
sekolah negeri maupun swasta mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi.
Kejadian seperti ini menyebabkan timbulnya sebuah dikotomi keilmuan dalam
lingkungan pemikir pendidikan. Sebagian kalangan tokoh pendidikan beranggapan
bahwa ilmu umum hanya terfokuskan pada ranah intelektual anak didik. Sedangkan
ilmu agama lebih fokus pada ranah spiritual. Sampai-sampai pengistilahan terjadi
pada kampus umum dan kampus agama atau sekolah umum dan sekolah agama.

Dengan adanya dikotomi antara pendidikan umum dan pendidikan


agama diperlukan sebuah pemikiran baru untuk penggabungan
keduanya. Muhammad Iqbal (1877-1938), menjadi salah satu tokoh
sentral sebagai pemikir dan pembaharu yang mencoba menjembatani
permasalahan dikotomi keilmuan tersebut. Pemikirannya yang tajam
telah mengusik banyak kalangan untuk mengkaji dan menelaah lebih
lanjut gagasan filosofis maupun praktis dari pemikirannya (Shah, 2016;
Qazi, 2013; Arnel, 1997).
Model pemikiran Iqbal dalam bidang pendidikan Islam dibangun
atas dasar keilmuan yang filologis dan dinamis. Yang berarti
perombakan besar-besaran diperlukan dalam pendidikan, untuk
memenuhi kriteria waktu, yang dimana reformasi harus dibangun atas
dasar filosofis.
Gagasan Muhammad Iqbal tentang pendidikan Islam muncul
dengan dilatarbelakangi keadaan umat Muslim yang pada waktu itu
terjangkit penyakit dikotomi keilmuan dan pemahaman. Terlebih dalam
bidang pendidikan dengan munculnya dualism sistem pendidikan yaitu
antara pendidikan Barat dan pendidikan Timur (Malik, 1971: 84-86).
Iqbal menggemakan kembali perlunya membuka mata dan hati
untuk memahami realitas, tanpa harus terjebak dan mempunyai
semangat menjunjung tinggi kemanusiaan. Iqbal lewar sajak-sajaknya
tidak hanya mengkritik sistem pendidikan, melainkan ia juga
menawarkan gagasan pendidikannya berangkat dari filsafat manusia
yang ditawarkannya. Gagasan pendidikan Iqbal merupakan pendidikan
yang menyeluruh dan dinamis, dalam artian bahwa proses pendidikan
tidak statis melainkan melaju bersama kemajuan zaman. Sebab dalam
konsepsinya tentang manusia dan kehidupan, ia mengemukakan bahwa
manusia mempunyai kuasa atas hidupnya tidak semata-mata tunduk dan
pasrah atas keadaan kepada Tuhan. Dengan begitu bagi Iqbal
pendidikan merupakan suatu keseluruhan proses daya dan budaya yang
mempengaruhi kehidupan seseorang maupun kelompok masyarakat,
yang meliputi prinsip dasar: konsep individual, pertumbuhan
individualitas, keserasian jasmani dan ruhani, individu dan masyarakat,
evolusi kreatif, peranan intelek dan intuisi, pendidikan watak, tata
kehidupan sosial Islam, suatu pandangan kreatif tentang Pendidikan
(Sayidain, 1945: 12). Prinsip dasar tersebut merupakan gagasan filosofis
yang menjadi pondasi dasar bagi terciptanya pendidikan yang
menyeluruh.
Rekonstruksi pendidikan berangkat dari tema sentral Iqbal
tentang filsafat manusia, yang dapat dipahami sebagai pilihan Tuhan,
dan individu merdeka yang berkaitan dengan kebebasan pribadinya,
yang direpresentasikan dalam filsafat khudi (Hassan, 1970: 161). Khudi
yang spenuhnya milik Iqbal ini merupakan fondasi penopang seluruh
bangunan pemikirannya dan sumbangan terbesarnya. Khudi yang secara
harfiah berarti kedirian (selfhood), sebagai ego, pribadi atau
individualitas ini, melukiskan manusia sebagai peerus ciptaan Tuhan
yang mencoba membuat dunia yang belum sempurna. Khudi merupakan
suatu kesatuan yang nyata, dan benar-benar mempunyai arti yang
merupakan pusat dan landasan keseluruhan organisasi kehidupan
manusia (Sayidain, 1945: 12).
Iqbal mengajak seluruh manusia untuk memahami realitas khudi
(ego) yang ada pada setiap benda di alam semesta ini. Hanya saja,
masingmasing khudi tersebut mempunyai derajat bertingkat-tingkat,
dari yang tingkat rendah hingga tingkat yang tertinggi. Melalui
penyadaran akan khudi-nya sendiri itu, diharapkan tidak lagi
mengatasnamakan pihak lain, seperti atas nama Tuhan dan manusia.
Dalam contoh pendidikan perlu diarahkan menuju penyadaran manusia
bahwa nasib manusia di dunia ini bukan semata-mata sebagai kehendak
Tuhan, melainkan juga sebagai pilihannya sendiri. Di dunia ini, manusia
memiliki posisi sebagai partner kerja (co-worker) Tuhan, yang
mempunyai kebebasan untuk memilih dan melakukan tindakan. Melalui
proses inilah akan berakhir pada derajat khudi tertinggi manusia, yang
disebut insan kamil. Terkait dengan insan kamil yang menjadi tujuan
khudi-nya Iqbal, secara eksplisit ia juga menyatakan bahwa tujuan
pendidikan Islam menurut sebagai pembentukan kepribadian musim
insan kamil dengan pola takwa. Insan kamil berarti manusia yang utuh
rohani dan jasmani, dapat hidup dan berkembang secara wajar dan
normal karena takwanya kepada Allah (Iqbal, 1981: 97).
Dalam pendidikan Islam, insan kamil menjadi titik tuju yang akan
ditempuhnya untuk mengantarkan peserta didik agar mampu
menghadapi masa depan yang baik, di dunia maupun di akhirat.
Menurut Iqbal insan kamil sebenarnya tidak lain dari mukmin sejati.
Mukmin sejati dalam dunia ini adalah harapan dan kerja, perbaikan dan
pembinaan, perdamaian dan keserasian, tidak menjadi lemah karena
adanya halangan dan tidak menjauhi kesukaran (Azzam, 1954: 79).
Bagi Iqbal ciri-ciri insan kamil yaitu; a) manusia yang siap
menjadikan dirinya seolah-olah seperti tuhan, dengan menjelmakan
sifat-sifat Tuhan dalam dirinya. b) manusia yang memposisikan dirinya
secara proporsional bahwa eksistensinya adalah sebagai wakil Tuhan
(khalifah Allah) yang berkewajiban mengolah, menata, dan
memberdayakan bumi. c) insan kamil adalah poros (pusat)
sesungguhnya dari daya ruhani, kesejahtteraan, kedamaian, serta
keselamatan dunia tergantung kepadanya (ibid).
Iqbal menunjukkan jalan untuk mencapai kesempurnaan diri
(insan kamil) dengan cara, pertama, penguasaan diri. Penguasaan diri
dapat terwujud dengan menanamkan ketauhidan dalam jiwa. Tauhid
menurut Iqbal, merupakan esensi yang mengubah abu menjadi emas dan
merupakan rahasia pertumbuhan agama, hukum, hikmah, kekuatan, dan
kekuasaan. Ia adalah obat yang mematikan ketakutan dan keraguan serta
membangkitkan kerja dan harapan (Luce, 1985: 92). Kedua, ketaatan
kepada syari’ah. Ketaatan bisa membuat keterpaksaan menjadi
kehendak bebas dan manusia yang bebas bisa menundukkan alam
semesta ini, namun tetap mengikat dirinya dengan hukum syari’ah.
Ketiga, mewujudkan fungsi kekhalifahan Ilahi. Dalam mengemban
tugah kekhalifahan, seorang mukmin tidak menjauhkan diri dari dunia.
Seorang pembangun dunia harus berada di tengah-tengah dunia dan
menghargai alam fisik. Menurut Iqbal, Islam mengatakan “ya” kepada
dunia fisik dan menunjukkan jalan untuk menguasainya (Iqbal, 1981:
10).
4. Rekonstruksi pendidikan dalam perspektif Muhammad Iqbal
Dari pemaparan tentang gagasan filosofis Muhammad Iqbal
tentang pendidikan Islam dapat direlevansikan dengan pendidikan Islam
masa kini. Ada bebarapa poin yang dapat dijadikan rekonstruksi dalam
bidang pendidikan Islam yaitu:
a. Pendidikan Islam harus mampu mendidik peserta didik agar
memiliki keberdayaan diri dalam bentuk sumber daya
manusia, yang teraktualisasikan dan terarahkan pada kreasi
yang konstruktif.
b. Upaya pendidikan Islam adalah bagian tak terpisahkan dari
ajaran Islam secara keseluruhan. Karena itu, tujuan akhirnya
harus selaras dengan tujuan hidup dalam Islam, tujuan hidup
muslim juga menjadi tujuan akhir pendidikan Islam.
c. Untuk mencapai tujuan tersebut pendidikan harus tertuju pada
pengembangan keseluruhan potensi manusia yang
mencangkup intelektual, fisik dan kemauan untuk maju.
Dalam kaitanya dengan ini Muhammad Iqbal menjelaskan
beberapa pemikiranya tentang kehendak kreatif. Hidup adalah
kehendak kreatif yang oleh Muhammad Iqbal disebut dengan
Soz, yaitu diri yang selalu bergerak kesatu arah. Aktivitas
kreatif, perjuangan tanpa henti dan partisipasi aktif dalam
permaslahan dunia harus menjadi tujuan hidup (Iqbal, 1981:
85). Berkat kreativitas itulah manusia telah berhasil mengubah
dan menggubah yang belum tergarap dan belum terselesaikan
dan mengisinya dengan aturan dan keindahan.
d. Tujuan pendidikan harus mampu memecahkan masalah-
masalah baru dalam kondisi perorangan dan masyarakat atau
menyesuaikan dengan kondisi masyarakat.

Globalisasi seperti gelombang yang akan menerjang, tidak ada kompromi, kalau
tidak siap maka akan diterjang, kalau tidak mampu maka akan menjadi orang tak berguna
dan hanya akan menjadi penonton saja. Akibatnya banyak Desakan dari orang tua yang
menuntut sekolah menyelenggarakan pendidikan bertaraf internasional dan desakan dari
siswa untuk bisa ikut ujian sertifikasi internasional. Sehingga sekolah yang masih
konvensional banyak ditinggalkan siswa dan pada akhirnya banyak pula yang gulung tikar
alias tutup karena tidak mendapatkan siswa. K.G. Saiyidain (1945) dalam buku Iqbal’s
Educational Philosophy mengemukakan bahwa paling tidak ada delapan pandangan Iqbal
tentang pendidikan dalam rangka melaksanakan gagasan rekonstruksi pemikirannya.
Kedelapan pandangan ini adalah:

a. Konsep individu; Dengan konsep ini Iqbal menekankan bahwa hanya manusia
yang dapat melaksanakan pendidikan. Yang dimaksud dengan manusia
sempurna menurut Iqbal adalah manusia yang dapat menciptakan sifat-sifat
ketuhanan menjelma dalam dirinya, sehingga berprilaku seperti Tuhan. Sifat-
sifat ini diserap ke dalam dirinya sehingga terjadi penyatuan secara total.
b. Pertumbuhan individu; Muhammad Iqbal berpendapat bahwa manusia
sebagai makhluk individu akan mengalami berbagai perubahan secara dinamis
dalam rangka interaksinya dengan lingkungan. Oleh karena itu, pendidikan
dalam hal ini Upaya memformulasikan kembali teori dan praktek pendidikan
Islam sehingga kontekstual terhadap arus global dengan menghilangkan batas
pendidikan Islam yang dikotomik menuju pendidikan yang integralistik.
c. Keseimbangan jasmani dan rohani; Perkembangan individu dalam pandangan
Iqbal memiliki implikasi bahwa ia harus dapat mengembangkan kekayaan batin
dari esistensinya. Pengembangan kekayaan batin ini tidak dapat dilaksanakan
dengan melepaskannya dari kaitan dengan materi.
d. Pertautan individu dengan masyarakat; Pemahaman di atas memberikan
pengertian yang mendalam tentang hakikat pertautan antara kehidupan
individu dengan kebudayaan masyarakat. Masyarakat adalah tempat individu
menyatakan keberadaannya.
e. Kreativitas individu; Muhammad Iqbal menolak kausalitas yang tertutup, yang
menyebabkan seolah-olah tak ada satu pun yang baru yang dapat atau
mungkin terjadi lagi (Iqbal, 1981: 78).
f. Peran intelek dan intuisi; Ada dua cara untuk dapat menangkap realita.
Masing-masing cara mempunyai peran khusus dalam mengarahkan dan
memperkaya kerativitas manusia. Intelek berperan menangkap realita
melaluipancaindera bagian demi bagian, tidak menyeluruh. Dalam hal ini Iqbal
berpendapat bahwa kebenaran metafisik tidak dapat diraih dengan jalan
melatih intelek. Kebenaran metafisik hanya dapat diperoleh dengan jalan
memusatkan perhatian pada apa yang mungkin ditangkap oleh suatu
kemampuan yang disebut dengan intuisi (ibid: 120). Maksud dari pernyatan ini
adalah bahwa Iqbal menghendaki pertemuan antara kekuasaan lahir yang
diperoleh dari ilmu pengetahuan dengan kekuasaan batin yang muncul dari
intuisi. Dengan ini Iqbal menyimpulkan bahwa pendidikan hendaknya
memperhatikan aspek intelektual manusia dan intuisinya sekaligus.
g. Pendidikan watak; Itulah yang disebut Iqbal dengan watak yang tangguh.
Watak ini mencakup sensivitas dan kekuatan. Sensitif terhadap
perikemanusiaan dan nilai –nilai ideal, dan kekuatan dalam berpegang pada
maksud yang telah dicetuskan dalam kalbu. Untuk dapat mengembangkan
watak seperti ini, menurut Iqbal, pendidikan hendaknya dapat memupuk tiga
sifat yang merupakan unsur utama manusia, yaitu keberanian, toleransi dan
keprihatinan (ibid: 56).
h. Pendidikan sosial; Dengan ini Iqbal bermaksud mengungkapkan bahwa tata
kehidupan sosial seharusnya secara aktif dapat menguras dan menggali segala
kekuatan yang tersirat dalam ilmu pengetahuan, di samping dapat pula
mengontrol dan mengawasi lingkungan kebendaan. Tidak mungkin
membangun suatu tatanan sosial tanpa disertai dengan pemupukan ilmu
pengetahuan dan pemanfaatannya, demi mencapai tujuan yang hendak
dicapai masyarakat manusia
BAB IV
ANALISIS RELEVANSI PERKADERAN HMI DENGAN AKTUALISASI REKONSTRUKSI
PENDIDIKAN ISLAM

A. Substansi materi Perkaderan HMI

Dalam menjalankan fungsinya sebagai organisasi kader, HMI menggunakan


pendekatan sistematik dalam keseluruhan proses perkaderannya. Semua bentuk
Aktivitas /kegiatan perkaderan disusun dalam semangat integralistik untuk
mengupayakan tercapainya tujuan organisasi. Oleh karena itu sebagai upaya
memberikan kejelasan dan ketegasan sistem perkaderan yang dimaksud harus dibuat
pola dasar perkaderan HMI secara nasional. Pola dasar ini disusun dengan
memperhatikan tujuan organisasi dan arah perkaderan yang telah ditetapkan. Selain
itu juga dengan mempertimbangkan kekuatan dan kelemahan organsiasi serta
tantangan dan kesempatan yang berkembang di lingkungan eksternal organisasi.

Pola dasar ini membuat garis besar keseluruhan tahapan yang harus ditempuh
oleh seorang kader dalam proses perkaderan HMI, yakni sejak rekrutmen kader,
pembentukan kader dan gambaran jalur-jalur pengabdian kader.

Secara garis besar, NDP ini diformalkan menjadi dokumen ideologis organisasi
HMI pada Kongres IX tahun 1969 di Malang.  NDP berguna untuk menjawab tantangan
dan kebutuhan perjuangan kader-kader pemimpin muslim di HMI dalam misi
mewujudkan “masyarakat adil makmur yang diridhai Allah swt.” NDP juga berfungsi
sebagai landasan etis dan  normatif kader dalam mencapai 5 Kualitas Insan Cita (5KIC),
atau mencapai maqam kesempurnaan (insan kamil). Oleh sebab itu, NDP merupakan
ideologi bagi bagi HMI.

B. Pola Perkaderan HMI


Pembentukan kader merupakan sekumpulan aktivitas perkaderan yang
terintegrasi dalam upaya mencapai tujuan HMI.
a. Latihan Kader.

Latihan kader merupakan perkaderan HMI yang dilakukan secara sadar,


terencana, sitematis, dan berkesinambungan serta memiliki pedoman dan aturan yang
baku secara rasional dalam rangka mencapai tujuan HMI. Latihan ini berfungsi
memberikan kemampuan tertentu kepada para pesertanya sesuai dengan tujuan dan
target pada masing-masing jenjang latihan. Latihan kader merupakan media perkaderan
formal HMI yang dilaksanakan secara berjenjang serta menuntut persyaratan tertentu
dari pesertanya, pada masing-masing jenjang latihan ini menitikberatkan pada
pembentukan watak dan karakter kader HMI melalui transfer nilai, wawasan, dan
keterampilan serta pemberian rangsangan dan motivasi untuk mengaktualisasikan
kemampuannya. Latihan kader terdiri dan 3 (tiga) jenjang, yaitu:

1) Basic Training (latihan Kader 1)


2) Intermediate Training (latihan Kader ll )
3) Advance Training (latihan Kader III )

b. Pengembang
an

Pengembangan merupakan kelanjutan atau kelengkapan latihan dalam


keseluruhan proses perkaderan HMI. Hal ini merupakan penjabaran dari pasal 5
Anggaran Dasar HMI.

1) Up Grading

Up Grading dimaksudkan sebagai media perkaderan HMI yang


menitikberatkan pada pengembangan nalar, minat dan kemampuan peserta
pada bidang tertentu yang bersifat praktis, sebagai kelanjutan dari
perkaderan yang dikembangkan melalui latihan kader.

2) Pelatihan

Pelatihan adalah training jangka pendek yang bertujuan membentuk dan


mengembangkan profesionalisme kader sesuai dengan latar belakang disiplin
ilmunya masing-masing.

3) Aktivitas
a) Aktivitas organisasional

Aktivitas organisasional merupakan suatu Aktivitas yang bersifat


organsiasi yang dilakukan oleh kader dalam lingkup tugas organisasi.
 Intern organisasi yaitu segala Aktivitas organisasi yang dilakukam oleh
kader dalam Iingkup tuas HMI.
 Ekstern organisasi yaitu segala Aktivitas organisasi yang dilakukan oleh
kader dalam lingkup tugas organisasi diluar HMI.

b) Aktivitas Kelompok

Aktivitas kelompok merupakan aktivitas yang dilakukan oleh kader


dalam suatu kelompok yang tidak rnerniliki hubungan struktur dengan
organisasi formal tertentu.

 Intern organisasi yaitu segala aktivitas kelompok yang dilakukan oleh kader
HMI dalam lingkup organisasi HMI yang tidak memiliki hubungan struktur
(bersifat informal).
 Ekstern organisasi yaitu segala aktivitas kelompok yang dilakukan oleh
kader diluar lingkup organisasi dan tidak memi;iki hubungan dengan
organisasi formal manapun.

c) Aktivitas Perorangan

Aktifiatas perorangan merupakan Aktivitas yang dilakukan oleh kader


secara perorangan.

 Intern Organisasi yaitu segala Aktivitas yang dilakukan oleh kader secara
perorangan untuk menyahuti tugas dan kegiatan organisasi HMI.
 Ekstern Organisasi yaitu segala aktititas yang dilakukan oleh kader secara
perorangan di luar tuntutan tugas dan kegiatan organisasi HMI.
c. Pengabdian Kader.

Dalam rangka meningkatkan upaya mewujudkan masyarakat cita HMI yaitu


masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT, maka diperlukan peningkatan
kualitas dan kuantitas pengabdian kader. Pengabdian kader ini merupakan penjabaran
dari peranan HMI sebagai organisasi perjuangan. Oleh karena itu seluruh bentuk-
bentuk pembangunan yang dilakukan merupakan jalur pengabdian kader HMI, maka
jalur pengabdiannya adalah sebagai berikut :

1) Jalur akademis (pendidikan,penelitian dan pengembangan).


2) Jalur dunia profesi (dokter, konsultan, pangacara, manager, jurnalis dan lain-lain).
3) Jalur birokrasi dan pemerintahan.
4) Jalur dunia usaha (koperasi, BUMN dan swasta)
5) Jalur sosial politik
6) Jalur TNI/Kepolisan
7) Jalur sosial kemasyarakatan
8) Jalur LSM/LPSM
9) Jalur kepemudaan
10) Jalur olahraga dan seni budaya
11) Jalur-jalur lain yang masih terbuka yang dapat dimasuki oleh kader-
kader HMI

d. Arah Perkaderan

Arah dalam pengertian umum adalah petunjuk yang membimbing


jalan dalam bentuk bergerak menuju ke suatu tujuan. Arah juga dapat diartikan
sebagai pedoman yang dapat dijadikan patokan dalam melakukan usaha yang
sisternatis untuk mencapai tujuan.

Jadi, arah perkaderan adalah suatu pedoman yang dijadikan petunjuk


untuk penuntun yang menggambarkan arah yang harus dituju dalam
keseluruhan proses perkaderan HMI. Arah perkaderan sangat kaitannya
dengan tujuan perkaderan, dan tujuan HMI sebagai tujuan umum yang
hendak dicapai HMI merupakan garis arah dan titik senteral seluruh
kegiatan dan usaha-usaha HMI. Oleh karena itu, tujuan HMI merupakan
titik sentral dan garis arah setiap kegiatan perkaderan, maka ia merupakan
ukuran atau norma dari semua kegiatan HMI.

Bagi anggota HMI merupakan titik pertemuan persamaan kepentingan


yang paling pokok dari seluruh anggota, sehingga tujuan organisasi adalah
juga merupakan tujuan setiap anggota organisasi. Oleh karenanya peranan
anggota dalam pencapaian tujuan organisasi adalah sangat besar dan
menentukan.

1) Maksud dan Tujuan

Maksud dan tujuan perkaderan adalah usaha yang dilakukan dalam


rangka mencapai tujuan organisasi melalui suatu proses sadar dan
sisternatis sebagai alat transformasi nilai ke-lslaman dalam proses
rekayasa peradaban melalui pembentukan kader
berkualitas muslim-intelektual-profesional sehingga berdaya guna
dan berhasil guna sesuai dengan pedoman perkaderan HMI.

2) Target.

Terciptanya kader muslim-intelektual-profesional yang berakhlakul


karimah serta mampu mengemban amanah Allah sebagai khalifah
fil ardh dalam upaya mencapai tujuan organisasi.
C. Wujud Profil Kader HMI di Masa Depan
Bertolak dari landasan-landasan, pola dasar dan arah perkaderan HMI,
maka Aktivitas perkaderan HMI diarahkan dalam rangka membentuk
kader HMI, muslim-intelektual-profesional yang dalam aktualisasi
peranannya berusaha
mentransformasikan nilai-nilai ke-Islaman yang memiliki kekuatan
pernbebasan (liberation force).

Aspek-aspek yang ditekankan dalam usaha pelaksanaan kaderisasi


tersebut ditujukan pada:

1. Pembentukan integritas watak dan kepribadian

Yakni kepribadian yang terbentuk sebagai pribadi muslim yang menyadari


tanggung jawab kekhalifahannya di muka bumi, sehingga citra akhlakul
karimah senantiasa tercermin dalam pola pikir, sikap dan perbuatannya.
2. Pengembangan kualitas intelektual

Yakni segala usaha pembinaan yang mengarah pada penguasaan dan


pengembangan ilmu (sain) pengetahuan (knowledge) yang senantiasa
dilandasi oleh nilai-nilai Islam.

3. Pengembangan kemampuan Profesional

Yakni segala usaha pembinaan yang mengarah kepada peningkatan


kemampuan mentransformasikan ilmu pengetahuan ke dalam perbuatan
nyata sesuai dengan disiplin ilmu yang ditekuninya secara konsepsional,
sistematis dan praksis untuk mencapai prestasi kerja yang maksirnal
sebagai perwujudan arnal shaleh.
4. Pembentukan karakter kemandirian yakni segala usaha pembinaan kepribadian
mandiri dalam mewujudkan kader yang kreatif dan inovatif yang senantiasa
dilandasi oleh nilai-nilai islam.

Usaha mewujudkan keempat aspek harus terintegrasi secara utuh


sehingga kader HMI benar-benar lahir menjadi pribadi
dan kader Muslim-Intelektual-Profesional, yang mampu menjawab
tuntutan perwujudan masyarakat adil dan makmur yang diridhoi Allah SWT.

C.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai